Anda di halaman 1dari 8

PROSPEK TANAH ADAT DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL

Sayid Lutfi Rama Chaniago Alaydrus

Program Studi Geografi, FISIP, Universitas Lambung Mangkurat


Jl. Brigjen H. Hasan Basri, Pangeran, Kec. Banjarmasin Utara
Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan 70123
E-mail : 2010416310007@mhs.ac.id

ABSTRAK
Prospek Tanah Adat pada Menghadapi Pembangunan Nasional. Menurut penelitian yg
dilakukan sang World Resources Institute bahwa terjadi kesenjangan antara perusahaan & warga
istinorma pada memperoleh kesempatan buat menerima hak pada dominasi huma. Dengan luas
huma lebih kurang 24.000 hektar milik warga istinorma & berbanding terbalik menggunakan 37
juta hektar huma konsesi mengancam kedudukan tanah istinorma yg belum diakui lainnya.
Tujuannya penulisan artikel ini merupakan mengetahui keberadaan tanah istinorma pada bertahan
pada era pembangunan ekonomi ketika ini. Tulisan ini membahas Citra Lingkungan Masyarakat
Nusantara, Pengakuan Terhadap Masyarakat Adat Atas Tanah Adat, & Prospek Tanah Adat Dalam
Pembangunan Ekonomi Nasional. Oleh karenanya, analisa dibutuhkan buat mengetahui bagaimana
prospek tanah istinorma pada pembangunan nasional. Dalam output analisa ini memberitahuakn
bahwa pembangunan ekonomi turut berperan akbar pada menggeser keberadaan tanah istinorma.
Kata Kunci: Pembangunan Ekonomi Nasional, Tanah Adat, Citra Lingkungan.

1
PENDAHULUAN

Sebagai negara kepulauan, Indonesia mempunyai keanekaragaman suku & budaya. Dengan
keanekaragaman tadi terbentuklah negara yg bersifat multikultural menggunakan kesatuan sistem
warga tata cara yg majemuk antara satu kepulauan menggunakan kepulauan lainnya. Tentu
menggunakan aneka macam macam keanekaragaman suku & budaya, Indonesia sangat rentan
terhadap pertarungan yg terjadi dampak benturan kebudayaan dan suku yg mempunyai sifat
ekslusifitasnya masing- masing. Namun, dewasa ini pertarungan yg terjadi bukan hanya
melibatkan antara warga tata cara menggunakan sesamanya melainkan terhadap pertarungan
menggunakan negara yg menaunginya.
Indonesia menjadi negara aturan mengakui kesatuan sistem warga aturan tata cara melalui
Undang-Undang Dasar NRI 1945 Pasal 18B ayat (2) bahwa “Negara mengakui & menghormati
kesatuan-kesatuan warga aturan tata cara bersama hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hayati
& sinkron menggunakan perkembangan warga & prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yg diatur pada undang- undang”. Konsekuensi yuridis terhadap pengakuan kesatuan warga tata
cara maka negara wajib menaruh proteksi secara penuh terhadap terselenggaranya sistem
kesatuan warga tata cara pada daerah adatnya masing-masing. Dalam putusan MK Nomor
35/PUU-X/2012, tentang uji materiil berkaitan menggunakan tanah tata cara yg diuji sang Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) beserta menggunakan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
Kenegerian Kuntu & Kasepuhan Cisitu mengajukan pengujian terhadap beberapa pasal pada UU
Kehutanan yg dipercaya merugikan warga tata cara & hasilnya MK mengabulkan permohonan
pemohon buat sebagiannya misalnya pada Pasal 1 nomor 6, Pasal 4 ayat (tiga), pasal lima ayat
(1), pasal lima ayat (2), dan frasa “& ayat” dalam Pasal lima ayat (tiga) dikabulkan sang MK.
Pada pada dasarnya pada putusan tadi warga aturan tata cara diakui menjadi subyek aturan
berdikari yg termasuk didalamnya dominasi atas Tanah Ulayat. Hal tadi memberitahuakn bahwa
MK turut melegitimasi kepentingan dan eksistensi warga tata cara melalui putusannya tadi.
Namun. dalam kenyataannya masih poly pertarungan yg terjadi antara negara menggunakan
warga tata cara. Menurut data menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) terdapat
lebih kurang 118 komunitas tata cara yg berkonflik menggunakan pemerintah (Purwantari,
http://brwa.or.id, akses dalam 7 Mei 2020).
Faktor pembangunan ekonomi & perebutan kuasa atas hak pengelolaan asal daya sebagai hal
krusial pada latar belakang terjadinya pertarungan antara negara & warga tata cara. Pembangunan
ekonomi acapkalikali kali melanggar hak-hak yg dimiliki sang warga tata cara. Percepatan
ekonomi menyebabkan terabaikannya aspek-aspek budaya yg sudah diakui melalui instrumen

2
konstitusi. Hal tadi bisa ditinjau melalui pembangunan yg terjadi pada Kota Solo yg
menyebabkan banjir dampak pencemaran & rusaknya lingkungan sungai (Ferdinand,
http://mediaindonesia.com, akses dalam 9 Mei 2020). Pembangunan ekonomi yg nir melihat
batasan ruang tata cara & sosial membuat dibagi dua pada bidang pembangunan & Hak Asasi
Manusia (HAM). Terdapat poly pelanggaran terhadap HAM yg acapkalikali kali dilakukan sang
negara pada melaksanakan instrumen pembangunan berkelanjutan secara inklusif. Misalnya saja
pembangunan yg dilakukan sang PT. Semen Indonesia pada wilayah pegunungan Kendeng yg
menyebabkan kerusakan dalam cekungan air tanah (CAT) sebagai akibatnya bisa mengakibatkan
krisis air disana (Riandini, lex scientia law review, 2019) Negara menggunakan mengikuti
perkembangan dunia wajib terus mengupayakan peningkatan terhadap nilai perekonomian, bila
negara nir mengupayakan peningkatan tadi maka syarat ekonomi pada negeri akan mengalami
ketertinggalan & tentu akan menghipnotis nomor investasi yg masuk ke Indonesia.
Perebutan kuasa atas pengelolaan asal daya alam pada lingkungan warga tata cara sebagai
pertarungan yg dihadapi sang negara selanjutnya. Pasal tiga UU No lima tahun 1960 mengenai
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sudah menegaskan bahwa: “Dengan mengingat ketentuan-
ketentuan pada Pasal 1 & 2, aplikasi hak ulayat & hak-hak yg serupa itu menurut warga -warga
aturan tata cara, sepanjang dari kenyataannya masih terdapat, wajib sedemikian rupa sebagai
akibatnya sinkron menggunakan kepentingan nasional & negara, yg dari atas persatuan bangsa
dan nir boleh bertentangan menggunakan Undang-undang & peraturan-peraturan lain yg lebih
tinggi”. In casu, warga tata cara mempunyai kuasa penuh terhadap pengelolaan asal daya alam yg
berada pada tanah-tanah milik warga tata cara menggunakan kondisi bahwa nir boleh
bertentangan menggunakan kepentingan nasional. Namun, pada praktiknya pengelolaan terhadap
asal daya alam yg terkandung & berada pada tanah warga tata cara acapkalikali kali nir diakui
sang pemerintah. Perkumpulan buat Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat & Ekologi
(HUMA) mencatat terdapat sevanyak 326 pertarungan asal daya alam yg terjadi pada Indonesia
& sebanyak 176.337 orang adalah warga tata cara yg memperjuangkan dan mempertahankan
pengelolaan asal daya alam yg berada pada tanah adatnya (Purningsih, http://greeners.co, akses
dalam 9 Mei 2020).

3
Hal tadi mengakibatkan dalam terabaikannya hak-hak milik warga tata cara yg seharusnya
diakui sang negara pada penyelenggaraan pemerintahan yg tunduk dalam Konstitusi dan nilai-
nilai HAM yg masih ada didalamnya. Padahal UU No lima Tahun 1960 mempunyai tujuan yakni:
(a) meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan aturan agraria nasional, yg adalah indera buat
membawakan kemakmuran, kebahagiaan & keadilan bagi Negara & masyarakat, terutama
masyarakat tani, pada rangka warga yg adil & makmur; (b) meletakkan dasar-dasar buat
mengadakan kesatuan & kesederhanaan pada aturan pertanahan; (c) meletakkan dasar-dasar buat
menaruh kepastian aturan tentang hak-hak atas tanah bagi masyarakat seluruhnya. Melalui UU
No lima Tahun 1960, negara mempunyai kewajiban buat menaruh kepastian aturan tentang hak-
hak atas tanah bagi masyarakat seluruhnya, tetapi sekiranya hal tadi belum bisa terealisasi
menggunakan baik sebagai akibatnya masih poly hak-hak atas tanah terutama warga tata cara
terabaikan.
Pembangunan ekonomi & perebutan atas kuasa pengelolaan asal daya alam sebagai faktor
mayoritas yg memperburuk rekanan negara menggunakan warga tata cara. Dari uraian tadi,
lahirlah pertarungan yg akan dibahas tentang bagaimana prospek keberadaan tanah tata cara yg
dimiliki sang warga tata cara, pada pada era pembangunan ekonomi nasional.

4
PEMBAHASAN
Pengaruh Pembangunan Ekonomi Nasional Terhadap Tanah Adat
Peningkatan yg terjadi pada perekonomian belum tentu sebagai hal yg baik bila dipandang
pada aneka macam perspektif. Jika dipandang melalui kajian agraria, maka nomor pengaduan yg
masuk pada Komnas HAM mengalami kenaikan yg signifikan berdasarkan tahun 2018 sampai
April 2019 tercatat, terdapat 196 masalah perseteruan agraria yg terjadi diberbagai wilayah pada
Indonesia. Dalam kurun 5 tahun terakhir, pengaduan rakyat pada komisi ini menunjukkan,
perseteruan agraria jadi kasus fundamental & membutuhkan penyelesaian yg mendesak. Luasan
perseteruan mencapai 2.713.369 hektar, tercatat,42,3% atau 48,8 juta jiwa desa berada pada daerah
hutan yg termasuk jua hutan istinorma (Arumingtyas, https://mongabay.co.id, akses dalam 25
Februari 2020). Kerusakan lingkungan yg terjadi pada negara-negara berkembang, keliru satunya
adalah dampak berdasarkan pembangunan ekonomi akbar -besaran & tanpa batasan. Misalkannya
saja dalam tahun 2018 dampak pembangunan pesat diberbagai negara menyebabkan kenaikan suhu
planet bumi yg mencapai 1,lima derajat celcius, kemudian dampak produksi plastik output pabrik
menyebabkan produksi sampah pada Indonesia mencapai 64 juta ton & lebih kurang 3,lima juta ton
dibuang ke bahari Indonesia (Ambari, https://mongabay.co.id, akses dalam 7 Mei 2020).
Negara berkembang sebagai keliru satu sasaran operasi buat melakukan eksplorasi juga
pendayagunaan asal daya alam lantaran umumnya mempunyai asal daya yg melimpah, misalnya
Indonesia, India & poly negara lainnya. Ekspansi kapitalisme pada bentuk proses imprealisme
sebagai alasan primer pendayagunaan secara hiperbola terhadap asal daya alam pada aneka macam
negara berkembang yg berlangsung semenjak abad XV. Keserakahan kaum kapitalis pada
melakukan penumpukan asal daya alam membentuk pendayagunaan yg hiperbola berdasarkan
ambang batas kewajarannya. Fenomena ini sudah mengakibatkan perusakan lingkungan karena
potensinya dikeruk melebihi kapasitasnya. Clifford Geertz (1976) menganalisa keterkaitan antara
kebijakan politik kolonial yg bersifat kapitalistik menggunakan syarat sosial rakyat pribumi yg
diberikan tekanan berat sang pemerintah kolonial buat mengeksploitasi alam masih tersisa sampai
waktu ini. Pada masa kini, praktik kolonial yg sebelumnya diterapkan sang pemerintah Belanda &
berdampak tidak baik dalam ekologi rakyat belum bisa hilang sepenuhnya dan hadir menggunakan
konsep yg tidak sinkron. Keberadaan & peranan rakyat istinorma pada sistem pengelolaan asal daya
alam secara berkelanjutan belum menerima perhatian & loka pada sistem perencanaan
pembangunan & pemanfaatan asal daya alam nasional.
Percepatan pembangunan ternyata mengakibatkan poly grup rakyat istinorma kehilangan akses
atas asal daya alam berupa hutan, pesisir, & samudera dan tanah yg dalam gilirannya jua akan
menghancurkan kelembagaan & aturan rakyat istinorma setempat (Syafa’at dkk, 2015). Menurut
Rostow (1960) bahwa kerangka berpikir pembangunan ekonomi yg poly diterapkan waktu ini
berorientasi penuh dalam industrialisasi buat memacu pertumbuhan ekonomi. Konsep pemikiran
tadi bersumber berdasarkan pola kapitalisme yg menduga penumpukan kapital merupakan hal
primer yg wajib dilakukan buat menciptakan sebuah korporasi. Salah satu cara yg dilakukan buat
melakukan penumpukan kapital merupakan menggunakan membuka pabrik-pabrik juga huma
bisnis buat membuatkan sayap korporasi sebagai lebih akbar . Pembukaan huma buat kepentingan
bisnis bila nir melihat keadaan ekologis akan berdampak panjang sebagai akibatnya bisa
menghambat ekuilibrium lingkungan. Pola kapitalisme tadi akan berdampak jua terhadap
keberadaan eksistensi tanah-tanah istinorma milik rakyat menurut kerangka berpikir bahwa tradisi

5
adalah suatu kasus yg akan merusak pembangunan. Hal tadi bisa terlihat kentara terhadap
pergeseran budaya yg terjadi pada Kampung Cibitung, Margamukti,Kecamatan Pangalengan
Kabupaten Bandung dampak pembangunan PLTP yg membarui pola tradisi rakyat yg dahulunya
menghargai alam menjadi sebuah agama lantaran akan mengganggu ekuilibrium, tetapi waktu ini
lantaran pembangunan yg nir terkendali maka perlahan jua budaya menghargai alam rakyat turut
berkurang (Armanto, http://wartahijau.com, akses dalam 9 Mei 2020).

Berawal berdasarkan hal tersebutlah pengakuan terhadap tanah-tanah istinorma tak jarang
diabaikan & secara eksklusif akan merubah kerangka berpikir gambaran lingkungan spesial
nusantara buat saling berkesinambungan menggunakan alamnya. Perebutan konkurensi tanah
terhadap pembangunan ekonomi hingga waktu ini sebagai pertarungan ironis. Di wilayah Jawa
Timur, terjadi konkurensi huma Taman Nasional Baluran, Situbondo. Ada lebih kurang 500 famili
& 1450 jiwa mendiami 363 hektar huma menjadi petani, peternak sapi, pekebun & nelayan.
Sengketa tadi bermula berdasarkan penetapan lokasi tadi sebagai Suaka Margasatwa Baluran dalam
1937 & dalam tahun 1975 terbit biar PT Gunung Gumitir pada daerah Taman Nasional. Di
Kabupaten Batanghari terjadi konkurensi huma pada hak guna bisnis PT Wira Karya Sakti,
berdasarkan Polda Jambi terdapat 61 masyarakat tersangka berdasarkan petani & suku anak pada
Jambi, tetapi hal tadi tidak sinkron menggunakan data yg dimiliki sang Pemkab Batanghari, bahwa
berdasarkan data Pemkab terdapat lebih kurang 119 masyarakat yg sebagai tersangka
(Arumingtyas. https://mongabay.co.id, akses dalam 25 Februari 2020) Pola ekonomi kapitalisme yg
membayangi Indonesia perlahan menggerus tanah milik masyarakat demi kepentingan berusaha. In
casu, proses modernisasi yg didukung sang teknologi bisa menumbuhkan prosedur produksi,
konsumsi, & distribusi menggunakan pola ekonomi bergaya modern. Mekanisme produksi
menggunakan memakai teknologi sophisticated tentu membutuhkan kapital ekonomi yg akbar
sebagai akibatnya keliru satu cara buat melakukan hal tadi merupakan menggunakan melakukan
perluasan bisnis sebesar- besarnya yg secara perlahan akan mengurangi huma pertanian juga
perkebunan.
Terkait menggunakan proteksi aturan pemegang hak ulayat yg pada hal ini merupakan rakyat
istinorma, sudah diatur sang pemerintah pada mengatur peruntukkan & penyediaan tanah maka
hak-hak privat yg terkristalisasi pada aneka macam hak sebagaimana tertuang pada Pasal 6 UUPA
wajib tunduk dalam peraturan-peraturan yg didasarkan dalam hak menguasai berdasarkan negara
atas tanah & kekayaan alam yg terkandung didalamnya. In casu, hak milik atas tanah masyarakat
bisa diambil alih atau dicabut haknya guna pemenuhan kebutuhan atas tanah yg diperuntukkan bagi
aplikasi aktivitas pembangunan buat kepentingan umum.
Mengingat pengambilalihan tanah menyangkut hak- hak individu atau rakyat, maka
pengambilalihan tanah wajib memperhatikan prinsip keadilan sebagai akibatnya nir merugikan
pemilik asal. Salah satu prinsip dasar berdasarkan pengambilalihan tanah yg universal merupakan
“no private property shall be taken for public use without just and fair compensation”. Artinya
merupakan proses pengambilalihan tanah dilakukan menggunakan kompensasi yg amanah & adil.
Tetapi demikian pada prakteknya prinsip-prinsip tadi tak jarang terabaikan & pemerintah selaku
penyelenggara negara lebih mengedepankan kekuasaannya menggunakan memakai tameng hak
menguasai negara & kepentingan umum (Maramis, 2013) Tetapi pada kenyataannya, menurut data
masalah yg terdapat bahwa proteksi hak rakyat istinorma terhadap tanahnya masih tak jarang
terabaikan. Memang pada pengaturan aturan terkait hak ulayat milik rakyat istinorma belum bisa
mengakomodasi semuanya, tetapi bila peraturan yg terdapat dilaksanakan secara baik, maka
setidaknya hak rakyat istinorma bisa terjamin secara baik pula.

6
Prospek Tanah Adat dalam Pembangunan Ekonomi Nasional
Menurut studi yang dilakukan oleh World Resources Institute (WRI) di 15 negara, Indonesia
dijuluki "Perjuangan Hak Atas Tanah", yang menyoroti kesenjangan antara bisnis dan masyarakat
adat dalam hal peluang untuk memperoleh hak guna tanah. 26 masyarakat adat telah dapat
memperoleh hak guna tanah tradisional dari pemerintah Indonesia di atas lahan seluas sekitar
24.000 hektar. Ini tentu saja sangat kecil dibandingkan dengan 37 juta hektar lahan yang
dialokasikan negara untuk perkebunan dan perusahaan penebangan kayu. Kesenjangan Pembebasan
Lahan adalah proses pemberian lahan kepada masyarakat adat yang memakan waktu, kompleks dan
terkadang tidak jelas. Masyarakat adat kekurangan sumber daya untuk memobilisasi advokasi dan
upaya advokasi (Affandi, http://wriindonesia.org, diakses 1 Maret 2020). Pada kenyataannya, dari
angka tersebut, hak masyarakat adat atas penguasaan tanah tradisionalnya sedang mengalami krisis
dan tidak menutup kemungkinan jumlah masyarakat adat yang memiliki hak atas tanahnya sendiri
akan berkurang. pertumbuhan ekonomi. Indonesia. ..
.Habermas berpendapat bahwa proporsi manusia tidak konsisten dengan waktu.
Kecenderungan ke arah rasionalitas objektif akan mengurangi sifat rasionalitas dalam komunikasi,
namun Habermas menganalisis bahwa orang harus menggunakan rasionalitas sesuai dengan
perkembangan zaman. Terkadang orang mengajukan tujuan rasionalitas, ini bukan saatnya orang
mengutamakan rasionalitas dalam komunikasi, inilah yang disebut Habermas sebagai sistem
kolonial dunia kehidupan. Dengan logika ini, sangat mungkin bahwa setiap tahun dunia tidak
memiliki tanah, masyarakat adat juga akan merasakan dampak perkembangan ekonomi kapitalis
dan, dengan pemikiran rasional dari tujuan yang diusulkan, itu akan terus digunakan sebagai
ideologi ekonomi.Pada akhirnya, tanah-tanah yang secara tradisional dimiliki oleh masyarakat adat
akan kehilangan eksistensinya karena perampasan berdasarkan pembangunan ekonomi.

KESIMPULAN

Menganalisis prospek pemanfaatan tanah adat dalam pembangunan ekonomi nasional, terlihat
bahwa tanah adat milik masyarakat hukum adat secara bertahap akan semakin berkurang karena
kebutuhan pembangunan ekonomi nasional. Ini juga merampas hak masyarakat adat atas tanah
mereka. Hal ini disebabkan belum adanya penegakan aturan hukum yang tegas tentang pengakuan
tanah adat, dan masih banyaknya tanah adat yang belum didaftarkan oleh pemerintah, sehingga
prospek keberadaan tanah adat semakin sulit. terancam oleh. di tengah perkembangan ekonomi saat
ini.
Dari analisis praktek pertanahan dalam pembangunan ekonomi, maka untuk menyelesaikan
dua kontradiksi ini, pemerintah harus, pertama, memberikan perlindungan hukum yang kuat melalui
pembentukan aturan yang sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. antara pembangunan
ekonomi negara. Kedua, melakukan land reform secara menyeluruh untuk menegaskan letak tanah
adat dengan segera mendaftarkan sebaran tanah adat di Indonesia agar tanah adat tersebut memiliki
hukum yang sah dari negara sehingga tidak mudah dirampas. pihak yang tidak bertanggung jawab.

7
DAFTAR PUSTAKA
Syafa’at dkk. 2015. “Relasi Negara Dan Masyarakat Adat”. Malang: Surya Pena Gemilang.
Rostow, W.W. 1960. “The Stage of Economic Growth”. New York: Cambridge Univ. Press.
Afifi, Irfan. 2019. “Jurgen Habermas: Senjakala Modernitas”.Yogyakarta: IRCiSoD.
Geertz, Clifford., 1976. “Involusi Pertanian”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Harsono, Boedi. 2005. “Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang- Undang
Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya”. Jakarta: Djambatan
Simajuntak, Bungaran Antonius. 2015. “Arti dan Fungsi Tanah Bagi Masyarakat Batak Toba,
Karo, Simalungun”. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Ismi, Hayatul. 2012. Pengakuan dan Perlindungan Hukum Hak Masyarakat Adat Atas
Tanah Ulayat Dalam Upaya Pembaharuan Hukum Nasional. Jurnal Ilmu Hukum Volume
2 nomor 2 Februari 2012, hlm 135-146.
Maramis, R. Marchel. 2013. Kajian Atas Perlindungan Hukum Hak Ulayat Dalam Perspektif Hak
Asasi Manusia. Jurnal Hukum Unsrat. Vol. XXI (4) April-Juni 2013, hlm 98-110.
Salsabilla AP, Riandini. 2019. Pemaknaan Kepentingan Masyarakat dan Kepentingan Hukum
Bisnis- Ekonomi dalam Pembangunan (Studi Kasus Pembangunan PT Semen Indonesia di
Rembang. Lex Scientia Law Review. Vol. 3 nomor 1 mei 2019, hlm 87-102.
Hilmy, M. I. (2020). PROSPEK TANAH ADAT DALAM MENGHADAPI PEMBANGUNAN
NASIONAL. Waskita: Jurnal Pendidikan Nilai dan Pembangunan Karakter, 4(1), 41-56.

Anda mungkin juga menyukai