A - 2010416310007 - Sayid Lutfi Rama Chaniago Alaydrus - Tugas 2 Konflik Lahan Tanah Adat - Perencanaan Penggunaan Lahan
A - 2010416310007 - Sayid Lutfi Rama Chaniago Alaydrus - Tugas 2 Konflik Lahan Tanah Adat - Perencanaan Penggunaan Lahan
ABSTRAK
Konflik agraria terutama yg melibatkan Masyarakat Hukum Adat jumlahnya semakin
semakin tinggi setiap tahunnya. Masyarakat Hukum Adat menjadi bagian menurut
rakyat Indonesia sering dilemahkan menggunakan perkara klaim atas status tanah
istinorma mereka. Hal ini berdampak dalam bentuk penindasan terhadap HAM menurut
rakyat istinorma itu sendiri. Salah satu solusi yg mampu dilakukan menjadi indera
advokasi pada penyelesaian perseteruan ini merupakan menggunakan pemetaan
partisipatif. Penggunaan teknologi misalnya GPS bisa dipakai sang LSM bekerja sama
menggunakan rakyat istinorma buat melakukan pemetaannya sendiri supaya mampu
menerima bukti yg lebih terdokumentasi buat melakukan klaim atas status huma
istinorma mereka. Artikel ini ingin membahas bagaimana pemetaan partisipatif
dipandang menurut kacamata resolusi perseteruan & pemberdayaan rakyat bisa dipakai
menjadi instrumen buat merampungkan perseteruan huma ini & apa saja problem yg
ada saat pemetaan partisipatif memakai teknologi terkini dipakai pada upaya resolusi
perseteruan huma rakyat istinorma.
Kata Kunci : Masyarakat Hukum Adat, Pemetaan Partisipatif, Konflik Lahan,
Resolusi Konflik.
PENDAHULUAN
Konflik agraria setiap tahun semakin semakin tinggi. Dalam laporan Konsorsium
Pembaruan Agraria, setidaknya dalam 2017 telah terjadi 659 insiden permasalahan
agraria pada semua Indonesia menggunakan luasan 520.491,87 Ha & melibatkan 652.738
KK. apabila dibandingkan menggunakan yg terjadi dalam 2016, jumlah permasalahan yg
terjadi semakin tinggi sampai hampir 50 persen (Konsorsium Pembaruan Agraria, 2017).
Pertarunga agraria tadi sebagian pula dialami sang rakyat istinorma. Banyaknya perkara
konkurensi hutan istinorma misalnya yg terjadi pada Kalimantan Timur (Fadhli, 2017) &
Papua (Wamebu, 2002) menerangkan masih adanya permasalahan agraria yg melibatkan
rakyat istinorma, terutama tentang status hutan istinorma yg mulai ada pasca Putusan MK
No. 35 Tahun 2012 mengenai Hutan Adat (programsetapak.org, 12 Oktober 2016).
Masyarakat Hukum Adat (MHA) tak jarang sebagai korban atas perkara tumpang
tindih huma terutama antara huma negara menggunakan huma istinorma yg kurang
mempunyai bukti sah yg kuat. Walaupun pemerintah telah melakukan beberapa upaya
buat menuntaskan konflik huma istinorma misalnya mendirikan Badan Registrasi
Wilayah Adat, tetapi permanen saja masih poly huma istinorma yg belum selesai
permasalahannya (mongabay.co.id, 8 Januari 2018).
Perjuangan MHA buat berdaulat atas tanah air & ruang hidupnya merupakan usaha
menurut sebagian masyarakat Indonesia buat mewujudkan impian kemerdekaan menjadi
rakyat negara Republik Indonesia. Kini, tidak kurang lebih kurang 70 juta, atau lebih
kurang 20 % (menurut total penduduk Indonesia) MHA hayati pada semua nusantara.
Lebih menurut separohnya hayati & bergantung menurut asal daya pada daerah hutan.
Sebagian tuntutan MHA yg suarakan melalui Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN) terwakili menggunakan kalimat “apabila Negara Tidak Mau Mengakui Kami,
Maka Kami Tidak Mau Mengakui Negara” merupakan wujud protes menurut sejarah
panjang pengabaian hak-hak MHA menjadi rakyat negara yg absah sebagaimana rakyat
negara lainnya pada negeri ini (Komnas HAM, 2016). Sebaliknya, majemuk
permasalahan agraria, kriminalisasi, kekerasan, penyingkiran, perampasan & pelanggaran
HAM atas MHA, khususnya pada daerah hutan terus semakin tinggi. Hasil menurut
kajian pada Inkuiri Nasional Komnas HAM mengenai “Hak MHA Atas Wilayahnya pada
Kawasan Hutan (2014-2015) pada 40 perkara semua Indonesia pada kompilasi kitab ini
menguatkan bukti-bukti kongkrit permasalahan agraria, pengabaian hak & pelanggran
HAM atas MHA tadi masih terus terjadi secara sitematis & kronis (Komnas HAM, 2016).
Pemetaan partisipatif didorong sang aneka macam organisasi rakyat sipil buat
membantu rakyat istinorma pada Indonesia buat melindungi tanah adatnya. Upaya
pemetaan tanah secara partisipatif sang rakyat istinorma krusial dilakukan. Langkah tadi
diperlukan bisa meminimalisir terjadinya permasalahan antar suku, juga menggunakan
pihak partikelir atau pemerintah atas klaim kepemilikan tanah istinorma. Selain itu peta
yg sudah didapatkan bisa sebagai indera advokasi pada mempertahankan hak-hak rakyat
istinorma (ugm.ac.id, 29 Oktober 2012).
Penyelenggaraan pemetaan partisipatif umumnya bukan awal hubungan antara LSM
pendamping menggunakan rakyat. Biasanya pengorganisasian terjadi lantaran terdapat
dilema- dilema pada kampung terkait tanah, asal daya alam dll. Sehingga pemetaan
adalah termin berikutnya buat menanggapi konflik yg terdapat pada kampung. Pemetaan
sebagai indera buat memperjelas hak rakyat atas tanah terkait menggunakan kasus tenure
atau klaim menurut pihak luar misalnya perusahaan yg mengantongi perizinan buat
memanfaatkan tanah. Pemetaan pula bertujuan buat menerangkan interaksi rakyat
menggunakan tanah, sejarah eksistensi rakyat pada daerah itu, menerangkan pada mana
loka-loka bersejarah dsb. Proses pemetaan partisipatif ini semakin membuka pikiran
rakyat tentang pengelolaan daerah istinorma mereka (downtoearth-indonesia.org, Oktober
2014).
Pengkajian tentang pemetaan partisipatif yg dilaksanakan pada Indonesia bagi rakyat
istinorma krusial buat didalami & dinilai terutama pada kacamata resolusi permasalahan
& pemberdayaan komunitas. Pemetaan partisipatif sebagai instrumen bagi rakyat
istinorma buat bernegosiasi menggunakan aktor lain buat mempertahankan tanah
ulayatnya. Pendalaman terhadap pemetaan partisipatif yg dilakukan sang rakyat istinorma
& organisasi rakyat sipil perlu ditinjau tentang prosedur reclaim yg digunakan, sebagai
akibatnya bisnis counter-mapping justru nir terkesan menggurui & memperlemah daya
tawar rakyat istinorma.
PEMBAHASAN
Pertama, misalnya halnya rakyat tata cara Lusan & Kasepuhan Cisitu. Pemetaan
adalah hal yg asing bagi pengetahuan spasial rakyat tata cara. Setiap tradisi pengetahuan
spasial berkembang pada suatu konteks interaksi sosial & peta kartografi nir bisa
sepenuhnya merepresentasi interaksi sosial rakyat tata cara. Kedua, keterbatasan
transformasi pengetahuan pemetaan sanggup melemahkan rakyat tata cara menjadi
pemilik orisinil pengetahuan tersebut. Keahlian memakai software yaitu teknologi
pemetaan yg berbasasi personal komputer nir dimiliki secara spesifik sang rakyat tata cara
(Pramono, 2014).
Pemetaan partisipatif menjadi sebuah bentuk cara lain pada pengelolaan rapikan
ruang ternyatamendapat tanggapan yg baik berdasarkan banyak sekali kalangan buat
dilakukan secaramultipihak. Dengan melihat berdasarkan masalah pada Masyarakat Adat
Nambluong pada Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua misalnya, pemetaan partisipatif
sebagai bagian berdasarkan penguatan & pengorganisasianmasyarakat istinorma pada
proses pembelajaran mendukung pengelolaan rapikan ruang.
Untuk itu keterlibatan seluruh pihak sangat krusial pada mewujudkan suatuproses
pembelajaran beserta warga menggunakan melibatkan banyak sekali pihak lainnyauntuk
mencapaI output yang layak & bisa menaruh warta tentangkebutuhan-
kebutuhanmasyarakatdalamkaitannyadenganpengelolaan danpengembangan tempat-
tempat yg siap dibangun. Hal ini akan terkait puladengan acara investasi yg meliputi
diantaranya merupakan peremajaan & pembaharuan tempat, penataan
tempat,pembangunan infrastruktur, dll (Wamebu, 2002).
Peta daerah istinorma yg didapatkan berdasarkan proses pemetaan partisipatif atau
pemetaankomunitas mempunyai 2 dokumen krusial, yaitu data spasial & sosial. Peta
inimenggambarkan rekanan antara komunitas-komunitas istinorma menggunakan ruang
hidupnya(daerah) yg ditunjukkan melalui penggunaan huma & perairan dari tradisidan
budaya yg dimiliki. Hal ini mengakibatkan peta daerah istinorma menjadi
countermapping terhadap peta-peta yg didapatkan sang pemerintah. Selama ini, peta-
petakehutanan, pertambangan & sektor lainya secara konkret ditujukan
untukmengekploitasi asal daya tanpa memperhatikan pemulihannya. Sementara
dalampeta rakyat istinorma mampu terlihat sistem pengelolaan “ruang” yg menunjukan
keberlanjutan lantaran berdasar dalam dimensi budaya, religi & keberlanjutan
layananalam bagi masa depan (Widodo, 2015).
Pasca Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 35/2012 mengenai pengakuan hutan
istinorma bukan menjadi hutan negara, maka KLHK mendapat peta daerah istinorma
menjadi rujukan pada menyusun Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS), menjadi
upaya buat pengakuan hutan istinorma. Hal ini memberitahuakn mulainya denyut hayati
peta daerah istinorma pada kancah kebijakan pada Indonesia. Ini perlu terus dikawal sang
rakyat istinorma, mengingat pertama, PIAPS ini nir memasukkan areal yg telah terdapat
ijin kehutanan. Kedua, perlu dimunculkan peta perseteruan tenurial pada tempat hutan, &
ketiga, perlu diperiksa pulang peta tempat hutan menggunakan peta penggunaan huma
rakyat istinorma (Widodo, 2015).
Advokasi pengakuan hutan istinorma bisa sebagai sebuah titik masuk bagi
pengakuan rakyat istinorma & daerah istinorma secara utuh, lantaran masih perlu
kebijakan wilayah yg mengakui eksistensi rakyat istinorma & daerah. Jalan ini dipilih
walau bukan hal gampang mendorong pemerintah wilayah mengeluarkan kebijakan
wilayah buat pengakuan rakyat istinorma. Sejalan menggunakan gerakan itu, rakyat
istinorma & pendukungnya memperluas pemetaan daerah istinorma menggunakan basis
dokumentasi peta daerah istinorma menggunakan sistem dokumentasi & pendaftaran
BRWA (Badan Registrasi Wilayah Adat). Hal ini buat menguatkan ketersediaan data &
warta yg memadai pada penyusunan naskah akademik peraturan wilayah juga keputusan
bupati yg mengakui rakyat istinorma & daerah adatnya (Widodo, 2015).
Hasil pemetaan partisipatif akan sebagai dasar bagi rakyat istinorma buat melakukan
negosiasi menggunakan pihak lain pada mempertahankan tanah ulayatnya. Ada beberapa
faktor yg akan mensugesti proses pemanfaatan peta output pemetaan partisipatif pada
penyelesaian perseteruan tanah istinorma menggunakan melihat pembelajaran yg
dilakukan sang Center For International Forestry Research pada Sungai Malinau dalam
Januari s.d. Juli Tahun 2000. Pertama, imbas asal perseteruan terhadap penyelesaiannya.
Di wilayah Sungai Malinau terlihat 2 asal perseteruan yg krusial, yaitu kebutuhan huma
pertanian & pengetahuan mengenai potensi batu bara. Di bagian hilir yg daerahnya nisbi
kecil, ketersediaan & kepastian kepemilikan huma pertanian sebagai asal primer
perseteruan antardesa. Di bagian tengah Sungai Malinau masih ada potensi batu bara yg
relatif poly & luas yg telah disurvei sang perusahaan pertambangan. Informasi mengenai
potensi batu bara ini jua diketahui sang rakyat sebagai akibatnya mensugesti konvensi
mengenai letak batas & proses negosiasi antardesa buat mencari konvensi mengenai letak
batas (Anau et.al., 2001).
Kedua, Pengaruh proses negosiasi & jenis konvensi . Berdasarkan masalah pada
Sungai Malinau, Ada 15 masalah menggunakan konvensi tertulis & proses yg transparan,
sepuluh masalah stabil & 5 masalah yg nir stabil. apabila masalah-masalah konvensi nir
ditulis dilihat lebih naratif maka mampu disimpulkan bahwa berdasarkan 5 masalah
empat pada antaranya permanen stabil, lantaran prosesnya transparan, & hanya terdapat
satu masalah pada mana hasilnya nir ditulis & prosesnya transparan, tetapi hasilnya dalam
akhirnya nir stabil. Hasil yg diperoleh selama aktivitas pada lapangan memberitahuakn
bahwa keliru satu faktor yg mendukung negosiasi merupakan transparansi pada sepanjang
prosesnya (Anau et.al., 2001).
Ketiga, Faktor Kelembagaan desa/satuan istinorma. Kekuatan kelembagaan pada
taraf desa/satuan istinorma & perbandingan kekuatan kelembagaan antardesa. Kekuatan
kelembagaan pada taraf desa/istinorma dievaluasi berdasarkan faktor kepemimpinan
ketua desa/istinorma, eksistensi rakyat dan akses rakyat terhadap warta generik menjadi
faktor- faktor yg bisa menunjang rakyat pada negosiasi . Untuk menilai faktor
kepemimpinan & eksistensi rakyat aspek-asepk yg dilihatadalah: keadaan ekonomi, asal
daya manusia (taraf pendidikan), interaksi menggunakan pihak luar dan kolaborasi pada
antara ketua desa menggunakan rakyat & kolaborasi antara sesama anggota rakyat (Anau
et.al., 2001).
Keempat, Pengaruh Pihak Luar. Di wilayah Sungai Malinau terdapat beberapa pihak
berdasarkan luar yg memiliki kepentingan terhadap asal daya alam & mampu mensugesti
pemanfaatan & dominasi asal daya alam sang rakyat setempat. Pihak luar ini merupakan
perusahaan pertambangan, perusahaan pemegang HPH, & Pemerintah Kabupaten. Pada
waktu berlangsung aktivitas pemetaan mulai berlangsung imbas aktivitas pemegang IPPK
(Izin Pemanfaatan & Pemungutan Kayu) terhadap pengakuan daerah mulai dirasakan.
Kegiatan pemegang IPPK yg ditujukan pada wilayah-wilayah menggunakan potensi kayu
yg tinggi mensugesti konvensi & perseteruan rakyat mengenai batas. Tetapi kadang-
kadang eksistensi pemegang IPPK sebagai dorongan bagi rakyat buat memperoleh
konvensi mengenai batas & bahkan menandai batas (misalnya, pada antara Loreh
menggunakan Adiu) kadang-kadang mempertajam perseteruan antardesa (Setulang
menggunakan Sentaban) (Anau et.al., 2001).
Terakhir, Hubungan kekeluargaan antardesa yg kuat. Berdasarkan masalah pada
Sungai Malinau, enam desa mencapai konvensi lantaran kekuatan interaksi famili.
Lantaran nilai asal daya berubah terdapat impian buat memperluas daerah masing-
masing, namun lantaran terdapat interaksi famili akhirnya mereka permanen
mempertahankan konvensi batas yg telah terdapat (Anau et.al., 2001). Pengkajian
kepemilikan huma & pemanfaatan huma secara partisipatif dilakukan buat
mengklarifikasi bagaimana hak istinorma dialokasikan & huma dimanfaatkan sang rakyat
terkait. Pemetaan partisipatif dilakukan beserta buat sepenuhnya memetakan hak-hak &
pemanfaatan secara istinorma, termasuk huma pertanian, hutan yg ditinggalkan pada
syarat terkini, tempat penangkapan ikan & meramu, tempat suaka, situs sakral & daerah
kolektif (Colshester, Anderson, Chao, 2015).
Dalam proses penyelesaian perseteruan konkurensi tanah istinorma menggunakan
pihak lain menggunakan menggunakan pemetaan partisipatif menjadi langkah awal,
rakyat istinorma sebagai aktor kunci pada penyelesaian. Masyarakat menentukan siapa yg
mereka inginkan buat bertindak menjadi pendamping & atau penasihat aturan atau
penasihat lainnya, juga menjadi pengamat independen. Diperlukan adanya pendanaan
buat membayar porto yg dibutuhkan buat membantu memastikan rakyat menerima warta
memadai. Saat seluruh elemen ini telah berada pada tempatnya, rakyat diberi ketika buat
mengakses warta tentang opsi pembangunan cara lain & apa arti pengelolaan tempat
hutan buat tujuan perlindungan, menelaah seluruh warta yg diberikan, membahas
implikasinya pada antara mereka sendiri & menggunakan penasihat yg mereka pilih, &
tetapkan apakah mereka ingin melakukan perundingan (Colshester, Anderson, Chao,
2015). apabila demikian, perundingan dilakukan antara perwakilan rakyat & pihak
operator buat memperjelas persyaratan divestasi juga pengembalian hak apapun. Waktu
& ruang lingkup wajib disediakan buat rendezvous menggunakan rakyat buat membahas
tawaran ad interim & menyusun usulan balasan buat perundingan termin berikutnya. Jika
dalam dasarnya sudah dicapai suatu persetujuan maka konvensi bisa diselesaikan
menggunakan ketentuan terkait pemanfaatan, perlindungan & pengelolaan tanah, tempat
ter-enclave (berdasarkan pembangunan & perlindungan) buat produksi pangan,
pembagian manfaat, mitigasi, prosedur pengaduan, dll (Colshester, Anderson, Chao,
2015).
Identifikasi & sepakati prosedur & indera buat memutuskan & mengelola tempat
perlindungan misalnya konvensi & pengelolaan perlindungan beserta, dan kompensasi yg
adil atas hilangnya pemanfaatan tempat perlindungan. Langkah selanjutnya merupakan
melakukan legalisasi atas pencapaian konvensi .Selanjutnya merupakan mengatur sistem
pengelolaan jika prosedur supervisi atau pengaduan mengidentifikasi kekurangan pada
penerapan atau kasus yg nir terduga (Colshester, Anderson, Chao, 2015).Pemetaan
partisipatif menjadi sebuah bentuk cara lain pada pengelolaan rapikan ruang
ternyatamendapat tanggapan yg baik berdasarkan banyak sekali kalangan buat dilakukan
secaramultipihak. Dengan melihat berdasarkan masalah pada Masyarakat Adat
Nambluong pada Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua misalnya, pemetaan partisipatif
sebagai bagian berdasarkan penguatan & pengorganisasianmasyarakat istinorma pada
proses pembelajaran mendukung pengelolaan rapikan ruang. Untuk itu keterlibatan
seluruh pihak sangat krusial pada mewujudkan suatuproses pembelajaran beserta warga
menggunakan melibatkan banyak sekali pihak lainnyauntuk mencapai output yg layak &
bisa menaruh warta tentangkebutuhan-
kebutuhanmasyarakatdalamkaitannyadenganpengelolaan danpengembangan tempat-
tempat yg siap dibangun. Hal ini akan terkait puladengan acara investasi yg meliputi
diantaranya merupakan peremajaan & pembaharuan tempat, penataan
tempat,pembangunan infrastruktur, dll (Wamebu, 2002).
Identifikasi & sepakati prosedur & indera buat memutuskan & mengelola tempat
perlindungan misalnya konvensi & pengelolaan perlindungan beserta, dan kompensasi yg
adil atas hilangnya pemanfaatan tempat perlindungan. Langkah selanjutnya merupakan
melakukan legalisasi atas pencapaian konvensi .Selanjutnya merupakan mengatur sistem
pengelolaan jika prosedur supervisi atau pengaduan mengidentifikasi kekurangan pada
penerapan atau kasus yg nir terduga (Colshester, Anderson, Chao, 2015).
KESIMPULAN
Anonim. (2017).“Indonesia Darurat Agraria: Luruskan Reforma Agraria dan Selesaikan Konflik-
konflik Agraria,” (diakses pada 17 Juli 2018, http://www.spi.or.id/indonesia-darurat-
agraria-luruskan-reforma-agraria-dan-selesaikan-konflik-konflik-agraria/).
Konsorsium Pembaharuan Agraria. (2017). Catatan Akhir Tahun 2017 Konsorsium Pembaharuan
Agraria: Reforma Agraria di Bawah Bayangan Investasi Gaung Besar di Pinggir Jalan.
Jakarta: Konsorsium Pembaharuan Agraria.
Kamim, A. B. M., Amal, I., & Khandiq, M. R. (2018). Dilema pemetaan partisipatif wilayah masyarakat
adat di Indonesia: upaya resolusi konflik agraria dan kritiknya. Prosiding Senaspolhi, 1(1).
14