Anda di halaman 1dari 14

DILEMA PEMETAAN PARTISIPATIF WILAYAH

MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA: UPAYA RESOLUSI


KONFLIK AGRARIA DAN KRITIKNYA
Sayid Lutfi Rama Chaniago Alaydrus

Program Studi Geografi, FISIP, Universitas Lambung Mangkurat


Jl. Brigjen H. Hasan Basri, Pangeran, Kec. Banjarmasin Utara
Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan 70123
E-mail : 2010416310007@mhs.ac.id

ABSTRAK
Konflik agraria terutama yg melibatkan Masyarakat Hukum Adat jumlahnya semakin
semakin tinggi setiap tahunnya. Masyarakat Hukum Adat menjadi bagian menurut
rakyat Indonesia sering dilemahkan menggunakan perkara klaim atas status tanah
istinorma mereka. Hal ini berdampak dalam bentuk penindasan terhadap HAM menurut
rakyat istinorma itu sendiri. Salah satu solusi yg mampu dilakukan menjadi indera
advokasi pada penyelesaian perseteruan ini merupakan menggunakan pemetaan
partisipatif. Penggunaan teknologi misalnya GPS bisa dipakai sang LSM bekerja sama
menggunakan rakyat istinorma buat melakukan pemetaannya sendiri supaya mampu
menerima bukti yg lebih terdokumentasi buat melakukan klaim atas status huma
istinorma mereka. Artikel ini ingin membahas bagaimana pemetaan partisipatif
dipandang menurut kacamata resolusi perseteruan & pemberdayaan rakyat bisa dipakai
menjadi instrumen buat merampungkan perseteruan huma ini & apa saja problem yg
ada saat pemetaan partisipatif memakai teknologi terkini dipakai pada upaya resolusi
perseteruan huma rakyat istinorma.
Kata Kunci : Masyarakat Hukum Adat, Pemetaan Partisipatif, Konflik Lahan,
Resolusi Konflik.
PENDAHULUAN
Konflik agraria setiap tahun semakin semakin tinggi. Dalam laporan Konsorsium
Pembaruan Agraria, setidaknya dalam 2017 telah terjadi 659 insiden permasalahan
agraria pada semua Indonesia menggunakan luasan 520.491,87 Ha & melibatkan 652.738
KK. apabila dibandingkan menggunakan yg terjadi dalam 2016, jumlah permasalahan yg
terjadi semakin tinggi sampai hampir 50 persen (Konsorsium Pembaruan Agraria, 2017).
Pertarunga agraria tadi sebagian pula dialami sang rakyat istinorma. Banyaknya perkara
konkurensi hutan istinorma misalnya yg terjadi pada Kalimantan Timur (Fadhli, 2017) &
Papua (Wamebu, 2002) menerangkan masih adanya permasalahan agraria yg melibatkan
rakyat istinorma, terutama tentang status hutan istinorma yg mulai ada pasca Putusan MK
No. 35 Tahun 2012 mengenai Hutan Adat (programsetapak.org, 12 Oktober 2016).
Masyarakat Hukum Adat (MHA) tak jarang sebagai korban atas perkara tumpang
tindih huma terutama antara huma negara menggunakan huma istinorma yg kurang
mempunyai bukti sah yg kuat. Walaupun pemerintah telah melakukan beberapa upaya
buat menuntaskan konflik huma istinorma misalnya mendirikan Badan Registrasi
Wilayah Adat, tetapi permanen saja masih poly huma istinorma yg belum selesai
permasalahannya (mongabay.co.id, 8 Januari 2018).
Perjuangan MHA buat berdaulat atas tanah air & ruang hidupnya merupakan usaha
menurut sebagian masyarakat Indonesia buat mewujudkan impian kemerdekaan menjadi
rakyat negara Republik Indonesia. Kini, tidak kurang lebih kurang 70 juta, atau lebih
kurang 20 % (menurut total penduduk Indonesia) MHA hayati pada semua nusantara.
Lebih menurut separohnya hayati & bergantung menurut asal daya pada daerah hutan.
Sebagian tuntutan MHA yg suarakan melalui Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN) terwakili menggunakan kalimat “apabila Negara Tidak Mau Mengakui Kami,
Maka Kami Tidak Mau Mengakui Negara” merupakan wujud protes menurut sejarah
panjang pengabaian hak-hak MHA menjadi rakyat negara yg absah sebagaimana rakyat
negara lainnya pada negeri ini (Komnas HAM, 2016). Sebaliknya, majemuk
permasalahan agraria, kriminalisasi, kekerasan, penyingkiran, perampasan & pelanggaran
HAM atas MHA, khususnya pada daerah hutan terus semakin tinggi. Hasil menurut
kajian pada Inkuiri Nasional Komnas HAM mengenai “Hak MHA Atas Wilayahnya pada
Kawasan Hutan (2014-2015) pada 40 perkara semua Indonesia pada kompilasi kitab ini
menguatkan bukti-bukti kongkrit permasalahan agraria, pengabaian hak & pelanggran
HAM atas MHA tadi masih terus terjadi secara sitematis & kronis (Komnas HAM, 2016).
Pemetaan partisipatif didorong sang aneka macam organisasi rakyat sipil buat
membantu rakyat istinorma pada Indonesia buat melindungi tanah adatnya. Upaya
pemetaan tanah secara partisipatif sang rakyat istinorma krusial dilakukan. Langkah tadi
diperlukan bisa meminimalisir terjadinya permasalahan antar suku, juga menggunakan
pihak partikelir atau pemerintah atas klaim kepemilikan tanah istinorma. Selain itu peta
yg sudah didapatkan bisa sebagai indera advokasi pada mempertahankan hak-hak rakyat
istinorma (ugm.ac.id, 29 Oktober 2012).
Penyelenggaraan pemetaan partisipatif umumnya bukan awal hubungan antara LSM
pendamping menggunakan rakyat. Biasanya pengorganisasian terjadi lantaran terdapat
dilema- dilema pada kampung terkait tanah, asal daya alam dll. Sehingga pemetaan
adalah termin berikutnya buat menanggapi konflik yg terdapat pada kampung. Pemetaan
sebagai indera buat memperjelas hak rakyat atas tanah terkait menggunakan kasus tenure
atau klaim menurut pihak luar misalnya perusahaan yg mengantongi perizinan buat
memanfaatkan tanah. Pemetaan pula bertujuan buat menerangkan interaksi rakyat
menggunakan tanah, sejarah eksistensi rakyat pada daerah itu, menerangkan pada mana
loka-loka bersejarah dsb. Proses pemetaan partisipatif ini semakin membuka pikiran
rakyat tentang pengelolaan daerah istinorma mereka (downtoearth-indonesia.org, Oktober
2014).
Pengkajian tentang pemetaan partisipatif yg dilaksanakan pada Indonesia bagi rakyat
istinorma krusial buat didalami & dinilai terutama pada kacamata resolusi permasalahan
& pemberdayaan komunitas. Pemetaan partisipatif sebagai instrumen bagi rakyat
istinorma buat bernegosiasi menggunakan aktor lain buat mempertahankan tanah
ulayatnya. Pendalaman terhadap pemetaan partisipatif yg dilakukan sang rakyat istinorma
& organisasi rakyat sipil perlu ditinjau tentang prosedur reclaim yg digunakan, sebagai
akibatnya bisnis counter-mapping justru nir terkesan menggurui & memperlemah daya
tawar rakyat istinorma.
PEMBAHASAN

1.1. Dilema Participatory Land Use Planning dan Perjuangan Masyarakat


Adat atas Tanahnya
Pemetaan partisipatif pada Indonesia pertama kali ada dalam tahun 1992 pada 2
keadaan: (1) penyebaran perihal internasional mengenai pengelolaan asal daya alam
berbasis rakyat (CBNRM) & (2) evolusi gerakan lingkungan Indonesia menurut gerakan
melawan proyek-proyek pembangunan berskala akbar yg nir ramah lingkungan sebagai
gerakan buat menerima pulang hak-hak tata cara. Gerakan pemetaan partisipatif yg lebih
politis dimulai menjadi respon terhadap 2 dasa warsa industri pendayagunaan kayu &
pemerintah Indonesia menggantikan hak hutan tata cara melalui perencanaan resmi &
upaya pemetaan. Hal itu dilakukan sang aktivis lokal menggunakan donasi menurut
organisasi internasional & terkadang pemerintah, melukiskan & memformalkan klaim
buat daerah hutan & asal daya yg desa mereka secara tradisional dikelola menggunakan
memakai peta sketsa (Radjawali & Pye, 2015).
gerakan pemetaan partisipatif segera menghadapi perkara berfokus. Peluso (1998)
membuktikan adanya beberapa problematika pada memakai pemetaan partisipatif buat
sebagai indera perlawanan menurut rakyat tata cara. Pertama, pemetan partisipatif nir
mungkin sebagai ilmu massa hanya lantaran tingkatnya investasi yg diharapkan sang jenis
pemetaan menggunakan potensi buat menantang otoritas peta pihak lain. Investasi pada
personal komputer & software & pengetahuan spesifik akan menciptakan porto tinggi
bagi sebagian akbar rakyat lokal, terutama pada wilayah miskin. Kedua, porto teknologi
yg diharapkan membangun "tipe baru interaksi kekuasaan pada lebih kurang kontrol &
pengetahuan mengenai teknologi pemetaan”, menempatkan kekuatan mediator pada
tangan LSM internasional & forum donor. Ketiga, pemetaan partisipatif menggunakan
mendapat teritorialisasi, sanggup sebagai perkara waktu mempertahankan taktik
penghidupan yg berkecimpung & mengalir (misalnya perladangan berpindah) (Radjawali
& Pye, 2015).
Pemetaan partisipatif yang terbaru sebagai instrumen yg dipakai sang LSM buat
melakukan advokasi buat tanah tata cara pada Indonesia. Peta yg didapatkan menurut
pemetaan partisipatif diperlukan buat mendukung pengakuan aturan melalui formalisasi
atau tunjangan profesi tanah. Salah satunya merupakan yg dipakai buat menghentikan
perampasan huma melalui proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
Tetapi, taktik ini pula sudah diterapkan pada kabupaten Merauke, Papua. Masalah justru
ada menurut pemetaan partisipatif secara komunal sudah membawa impak negatif
terhadap ikatan rakyat tata cara (Dewi, 2016).
Untuk melindungi tanah tata cara pada Merauke, LSM sudah mengadopsi peta
partisipatif menjadi cara buat mengadvokasi hak-hak tata cara . Tujuan pemetaan
partisipatif merupakan buat menerima tunjangan profesi & formalisasi tanah buat tanah
tata cara . Land titling merupakan tipe khusus menurut formalisasi pada mana negara
mendemarkasi batas-batas tanah, mencatat, & mengakui kepemilikan pemilik tanah &
hak buat menjual, hipotek, atau mentransfernya. Banyak peneliti sudah menyelidiki
impak positif pemetaan partisipatif pada membantu rakyat tradisional buat melindungi
tanah leluhur mereka. Tetapi terdapat pula yg membantah bahwa rakyat lokal bisa
memakai peta yg dibentuk menurut pemetaan partisipatif buat melegitimasikannya klaim
atas tanah tata cara. Atau pada beberapa perkara, komunitas tradisional dihidupkan
pulang (Dewi, 2016). Selain itu, pemetaan partisipatif bisa mempromosikan rakyat tata
cara buat melakukan manajemen asal daya & mengurangi permasalahan.
Penelitian semacam itu menyediakan dorongan positif bagi LSM buat
mempromosikan pemetaan partisipatif. Tetapi, perangkap perangkap pemetaan
partisipatif komunal bisa ada, bagaimanapun pula membangun beberapa impak negatif.
Penelitian sudah memberitahuakn bahwa pemetaan partisipatif bisa mengakibatkan
fragmentasi atau permasalahan pada antara rakyat lantaran fiksasi kontrol huma &
kekakuan peta. Bisa melemahkan ilham-ilham orisinil & konsepsi ruang &
mempromosikan privatisasi tanah. Selain itu, pemetaan partisipatif yg diperlukan bisa
melawan pemetaan pemerintah bisa dilakukan diatur & dikooptasi sang negara.
Kekhawatiran mengenai pemetaan partisipatif disebutkan pada atas pula ditemukan pada
proses pemetaan partisipatif pada Merauke (Dewi, 2016).
Masyarakat tata cara & rakyat pedesaan merupakan forum yg memakai ruang terluas
secara langsung, meskipun selama ini, mereka hanya menerima manfaat paling sedikit
menurut penggunaan ruang.Masyarakat mempunyai peta mental yg secara mulut
berkembang & dieksploitasi menjadi konsensusdalam mekanisme kehidupan pada antara
mereka sendiri. Tetapi, satu-satunya peta mental pada kenyataannya adalahtidak
memadai. Banyak pengetahuan mengenai manajemen spasial yg hilang karenatransfer nir
paripurna ke generasi berikutnya. Pengetahuan & klaim yg hanya terdapat pada
formulirpengetahuan verbal atau peta mental pada kenyataannya secara formal
merupakan non- pengakuan (Kurniawan & Hanafi, 2004).
Fakta kebijakan yg terdapat pula memberitahuakn kurangnya penghargaan terhadap
pengetahuan lokal danpeta mental yg lalu menyebabkan permasalahan spasial yg
berfokus.Membicarakan perkara permasalahan spasial, tentu saja nir luput menurut
kebijakantata ruang itu sendiri. Kegagalan pengelolaan asal daya alam, selain lantaran
miskin keterangan mengenai syarat riil asal daya alam terendahlembaga penyelenggara
pada taraf Masyarakat masing-masing menurut seluruh pihak, pula kelemahansubstansi
regulasi & sistem birokrasi asal daya alam (Kurniawan & Hanafi, 2004).

Ketidakberpihakan keterangan ini mengakibatkan kesalahan pada merogoh


keputusan pengelolaan asal daya alam. Sangat kentara bahwa institusi lokal &
orang /rakyat pribumi sudah menjamin asal daya alam, namun kenyataannya
memberitahuakn bahwa kurang perhatian buat klaim. Dan warta konkret sudah
menunjukan bahwa institusi terkait asal daya alam, tanpa melibatkan rakyat, nir bisa
mengendalikan poly orang mengendalikan pengelolaan asal daya alam tidak terkendali.
apabila rakyat tata cara /komunitas ingin merogoh manfaat akbar menurut ruang
hidupnya, karenanya, satu-satunya cara rakyat / komunitas pribumi wajib menciptakan &
memberitahuakn kepemilikan atas planning rapikan ruang sendiri. Alat yg sederhana
tetapi sangat bertenaga merupakan MAPS. Peta didapatkan melalui proses pemetaan
partisipatif pada mana rakyat /komunitas pribumi memetakan ruangnya sendiri, & lalu
memaksimalkan penggunaan. Bagaimana mungkin suatu generasi /seorang tahu & tahu
tanah rakyat adatnya tanpa mempunyai pandangan utuh mengenai tanahnya &
pengetahuan mengenai ruang kehidupannya? Pernyataan apapun dibentuk buat
mengklaim hak rakyat atas tanah & asal daya alamnya nir terdengar atau terlihat berfokus
selama nir mempunyai pengetahuan utuh mengenai rapikan ruangnya sendiri (Kurniawan
& Hanafi, 2004). Sebagai mana disampaikan sang Pramono (2014), pembuatan peta
terkini pada pemetaan partisipatif mengharuskan grup-grup atau forum-forum yg terlibat
pada gerakan ini buat tunduk dalam nilai-nilai, teknologi, & praktik-praktik kartografi.
Akibat yg terjadi merupakan tersingkirnya grup-grup eksklusif & pengetahuan keruangan
mereka, termasuk pada dalamnya kaum wanita & grup terpinggirkan, yg memiliki akses
sangat terbatas pada pengambilan keputusan pada komunitas.
Konflik ada output menurut pemetaan partisipatif, galat satunya menggunakan
melihat perkara daerah tata cara pada daerah tata cara Lusan yg berada pada Kabupaten
Paser, Kalimantan Timur (Widodo, 2014). Hasil menurut pemetaan partisipatif daerah
tata cara Lusan luasnya 53.542,37 ha. Wilayah tata cara ini sebagian akbar merupakan
tempat hutan yaitu 50.597,09 ha. Tumpang tindih perizinan lebih kurang 3.538,27 ha
memarginalkan komunitas tata cara Lusan atas tanah & hutan adatnya terhadap kegiatan
bercocok tanam & menjalankan rekanan sosial budayanya. Pada studi perkara lain berada
pada Kasepuhan Cisitu yg tergabung pada Kesatuan Adat Banten Kidul berada pada
tempat Pegunungan Halimun, Kabupaten Lebak, Banten. Penelitian yg dilakukan sang
Zakaria (2014). Pemetaan partsisipasi partisipatif (Januari 2010) yg difasilitasi Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), &
Forest Watch Indonesia (FWI), luas daerah tata cara atau dianggap wewengkon
Kasepuhan Cisitu 7.200 hektare. Pemetaan memakai indera Global Positioning System
(GPS) & Citra Landsat belum bisa melindungi rakyat tata cara akan kedaulatan
wilayahnya.
Hal ini dicermati menurut semua daerah tata cara (bukan saja tempat hutan tata cara)
Kasepuhan Cisitu masuk pada tempat taman nasional, sebagai akibatnya kesatuan rakyat
aturan adatnya kehilangan akses & hak atas pemanfaatan & pengelolaan tempat tata cara,
bahkan beberapa anggota kesatuan rakyat adatnya mengalami tindakan kriminalisasi
lantaran masuk ke pada tempat hutan Taman Nasional Halimun Salak. Dari 2 studi
perkara diatas, terasa bahwa pemetaan partisipatif yg semula dilakukan buat
memberdayakan rakyat tata cara justru berpotensi melemahkan mereka lantaran
penggunaan peta terkini. Dalam uraian ini pemetaan partisipatif yg didampingi sang
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menjadi reaksi atas pengorganisasian warga buat
reklaming daerah menggunakan mempertahankan partisipasi rakyat tata cara
menyebabkan perkara. Dengan nir melimitasi nilai & praktik kartografi penggunaan
teknologi pemetaan, rakyat tata cara sudah mempunyai pengetahuan keruangan tersendiri.
Secara rinci 2 dilema yg ada pada hal ini.

Pertama, misalnya halnya rakyat tata cara Lusan & Kasepuhan Cisitu. Pemetaan
adalah hal yg asing bagi pengetahuan spasial rakyat tata cara. Setiap tradisi pengetahuan
spasial berkembang pada suatu konteks interaksi sosial & peta kartografi nir bisa
sepenuhnya merepresentasi interaksi sosial rakyat tata cara. Kedua, keterbatasan
transformasi pengetahuan pemetaan sanggup melemahkan rakyat tata cara menjadi
pemilik orisinil pengetahuan tersebut. Keahlian memakai software yaitu teknologi
pemetaan yg berbasasi personal komputer nir dimiliki secara spesifik sang rakyat tata cara
(Pramono, 2014).

1.2. Pemetaan Partisipatif dan Upaya Penyelesaian Konflik Tanah


Masyarakat Hukum Adat di Indonesia

Pemetaan partisipatif menjadi sebuah bentuk cara lain pada pengelolaan rapikan
ruang ternyatamendapat tanggapan yg baik berdasarkan banyak sekali kalangan buat
dilakukan secaramultipihak. Dengan melihat berdasarkan masalah pada Masyarakat Adat
Nambluong pada Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua misalnya, pemetaan partisipatif
sebagai bagian berdasarkan penguatan & pengorganisasianmasyarakat istinorma pada
proses pembelajaran mendukung pengelolaan rapikan ruang.
Untuk itu keterlibatan seluruh pihak sangat krusial pada mewujudkan suatuproses
pembelajaran beserta warga menggunakan melibatkan banyak sekali pihak lainnyauntuk
mencapaI output yang layak & bisa menaruh warta tentangkebutuhan-
kebutuhanmasyarakatdalamkaitannyadenganpengelolaan danpengembangan tempat-
tempat yg siap dibangun. Hal ini akan terkait puladengan acara investasi yg meliputi
diantaranya merupakan peremajaan & pembaharuan tempat, penataan
tempat,pembangunan infrastruktur, dll (Wamebu, 2002).
Peta daerah istinorma yg didapatkan berdasarkan proses pemetaan partisipatif atau
pemetaankomunitas mempunyai 2 dokumen krusial, yaitu data spasial & sosial. Peta
inimenggambarkan rekanan antara komunitas-komunitas istinorma menggunakan ruang
hidupnya(daerah) yg ditunjukkan melalui penggunaan huma & perairan dari tradisidan
budaya yg dimiliki. Hal ini mengakibatkan peta daerah istinorma menjadi
countermapping terhadap peta-peta yg didapatkan sang pemerintah. Selama ini, peta-
petakehutanan, pertambangan & sektor lainya secara konkret ditujukan
untukmengekploitasi asal daya tanpa memperhatikan pemulihannya. Sementara
dalampeta rakyat istinorma mampu terlihat sistem pengelolaan “ruang” yg menunjukan
keberlanjutan lantaran berdasar dalam dimensi budaya, religi & keberlanjutan
layananalam bagi masa depan (Widodo, 2015).
Pasca Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 35/2012 mengenai pengakuan hutan
istinorma bukan menjadi hutan negara, maka KLHK mendapat peta daerah istinorma
menjadi rujukan pada menyusun Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS), menjadi
upaya buat pengakuan hutan istinorma. Hal ini memberitahuakn mulainya denyut hayati
peta daerah istinorma pada kancah kebijakan pada Indonesia. Ini perlu terus dikawal sang
rakyat istinorma, mengingat pertama, PIAPS ini nir memasukkan areal yg telah terdapat
ijin kehutanan. Kedua, perlu dimunculkan peta perseteruan tenurial pada tempat hutan, &
ketiga, perlu diperiksa pulang peta tempat hutan menggunakan peta penggunaan huma
rakyat istinorma (Widodo, 2015).

Advokasi pengakuan hutan istinorma bisa sebagai sebuah titik masuk bagi
pengakuan rakyat istinorma & daerah istinorma secara utuh, lantaran masih perlu
kebijakan wilayah yg mengakui eksistensi rakyat istinorma & daerah. Jalan ini dipilih
walau bukan hal gampang mendorong pemerintah wilayah mengeluarkan kebijakan
wilayah buat pengakuan rakyat istinorma. Sejalan menggunakan gerakan itu, rakyat
istinorma & pendukungnya memperluas pemetaan daerah istinorma menggunakan basis
dokumentasi peta daerah istinorma menggunakan sistem dokumentasi & pendaftaran
BRWA (Badan Registrasi Wilayah Adat). Hal ini buat menguatkan ketersediaan data &
warta yg memadai pada penyusunan naskah akademik peraturan wilayah juga keputusan
bupati yg mengakui rakyat istinorma & daerah adatnya (Widodo, 2015).
Hasil pemetaan partisipatif akan sebagai dasar bagi rakyat istinorma buat melakukan
negosiasi menggunakan pihak lain pada mempertahankan tanah ulayatnya. Ada beberapa
faktor yg akan mensugesti proses pemanfaatan peta output pemetaan partisipatif pada
penyelesaian perseteruan tanah istinorma menggunakan melihat pembelajaran yg
dilakukan sang Center For International Forestry Research pada Sungai Malinau dalam
Januari s.d. Juli Tahun 2000. Pertama, imbas asal perseteruan terhadap penyelesaiannya.
Di wilayah Sungai Malinau terlihat 2 asal perseteruan yg krusial, yaitu kebutuhan huma
pertanian & pengetahuan mengenai potensi batu bara. Di bagian hilir yg daerahnya nisbi
kecil, ketersediaan & kepastian kepemilikan huma pertanian sebagai asal primer
perseteruan antardesa. Di bagian tengah Sungai Malinau masih ada potensi batu bara yg
relatif poly & luas yg telah disurvei sang perusahaan pertambangan. Informasi mengenai
potensi batu bara ini jua diketahui sang rakyat sebagai akibatnya mensugesti konvensi
mengenai letak batas & proses negosiasi antardesa buat mencari konvensi mengenai letak
batas (Anau et.al., 2001).
Kedua, Pengaruh proses negosiasi & jenis konvensi . Berdasarkan masalah pada
Sungai Malinau, Ada 15 masalah menggunakan konvensi tertulis & proses yg transparan,
sepuluh masalah stabil & 5 masalah yg nir stabil. apabila masalah-masalah konvensi nir
ditulis dilihat lebih naratif maka mampu disimpulkan bahwa berdasarkan 5 masalah
empat pada antaranya permanen stabil, lantaran prosesnya transparan, & hanya terdapat
satu masalah pada mana hasilnya nir ditulis & prosesnya transparan, tetapi hasilnya dalam
akhirnya nir stabil. Hasil yg diperoleh selama aktivitas pada lapangan memberitahuakn
bahwa keliru satu faktor yg mendukung negosiasi merupakan transparansi pada sepanjang
prosesnya (Anau et.al., 2001).
Ketiga, Faktor Kelembagaan desa/satuan istinorma. Kekuatan kelembagaan pada
taraf desa/satuan istinorma & perbandingan kekuatan kelembagaan antardesa. Kekuatan
kelembagaan pada taraf desa/istinorma dievaluasi berdasarkan faktor kepemimpinan
ketua desa/istinorma, eksistensi rakyat dan akses rakyat terhadap warta generik menjadi
faktor- faktor yg bisa menunjang rakyat pada negosiasi . Untuk menilai faktor
kepemimpinan & eksistensi rakyat aspek-asepk yg dilihatadalah: keadaan ekonomi, asal
daya manusia (taraf pendidikan), interaksi menggunakan pihak luar dan kolaborasi pada
antara ketua desa menggunakan rakyat & kolaborasi antara sesama anggota rakyat (Anau
et.al., 2001).
Keempat, Pengaruh Pihak Luar. Di wilayah Sungai Malinau terdapat beberapa pihak
berdasarkan luar yg memiliki kepentingan terhadap asal daya alam & mampu mensugesti
pemanfaatan & dominasi asal daya alam sang rakyat setempat. Pihak luar ini merupakan
perusahaan pertambangan, perusahaan pemegang HPH, & Pemerintah Kabupaten. Pada
waktu berlangsung aktivitas pemetaan mulai berlangsung imbas aktivitas pemegang IPPK
(Izin Pemanfaatan & Pemungutan Kayu) terhadap pengakuan daerah mulai dirasakan.
Kegiatan pemegang IPPK yg ditujukan pada wilayah-wilayah menggunakan potensi kayu
yg tinggi mensugesti konvensi & perseteruan rakyat mengenai batas. Tetapi kadang-
kadang eksistensi pemegang IPPK sebagai dorongan bagi rakyat buat memperoleh
konvensi mengenai batas & bahkan menandai batas (misalnya, pada antara Loreh
menggunakan Adiu) kadang-kadang mempertajam perseteruan antardesa (Setulang
menggunakan Sentaban) (Anau et.al., 2001).
Terakhir, Hubungan kekeluargaan antardesa yg kuat. Berdasarkan masalah pada
Sungai Malinau, enam desa mencapai konvensi lantaran kekuatan interaksi famili.
Lantaran nilai asal daya berubah terdapat impian buat memperluas daerah masing-
masing, namun lantaran terdapat interaksi famili akhirnya mereka permanen
mempertahankan konvensi batas yg telah terdapat (Anau et.al., 2001). Pengkajian
kepemilikan huma & pemanfaatan huma secara partisipatif dilakukan buat
mengklarifikasi bagaimana hak istinorma dialokasikan & huma dimanfaatkan sang rakyat
terkait. Pemetaan partisipatif dilakukan beserta buat sepenuhnya memetakan hak-hak &
pemanfaatan secara istinorma, termasuk huma pertanian, hutan yg ditinggalkan pada
syarat terkini, tempat penangkapan ikan & meramu, tempat suaka, situs sakral & daerah
kolektif (Colshester, Anderson, Chao, 2015).
Dalam proses penyelesaian perseteruan konkurensi tanah istinorma menggunakan
pihak lain menggunakan menggunakan pemetaan partisipatif menjadi langkah awal,
rakyat istinorma sebagai aktor kunci pada penyelesaian. Masyarakat menentukan siapa yg
mereka inginkan buat bertindak menjadi pendamping & atau penasihat aturan atau
penasihat lainnya, juga menjadi pengamat independen. Diperlukan adanya pendanaan
buat membayar porto yg dibutuhkan buat membantu memastikan rakyat menerima warta
memadai. Saat seluruh elemen ini telah berada pada tempatnya, rakyat diberi ketika buat
mengakses warta tentang opsi pembangunan cara lain & apa arti pengelolaan tempat
hutan buat tujuan perlindungan, menelaah seluruh warta yg diberikan, membahas
implikasinya pada antara mereka sendiri & menggunakan penasihat yg mereka pilih, &
tetapkan apakah mereka ingin melakukan perundingan (Colshester, Anderson, Chao,
2015). apabila demikian, perundingan dilakukan antara perwakilan rakyat & pihak
operator buat memperjelas persyaratan divestasi juga pengembalian hak apapun. Waktu
& ruang lingkup wajib disediakan buat rendezvous menggunakan rakyat buat membahas
tawaran ad interim & menyusun usulan balasan buat perundingan termin berikutnya. Jika
dalam dasarnya sudah dicapai suatu persetujuan maka konvensi bisa diselesaikan
menggunakan ketentuan terkait pemanfaatan, perlindungan & pengelolaan tanah, tempat
ter-enclave (berdasarkan pembangunan & perlindungan) buat produksi pangan,
pembagian manfaat, mitigasi, prosedur pengaduan, dll (Colshester, Anderson, Chao,
2015).
Identifikasi & sepakati prosedur & indera buat memutuskan & mengelola tempat
perlindungan misalnya konvensi & pengelolaan perlindungan beserta, dan kompensasi yg
adil atas hilangnya pemanfaatan tempat perlindungan. Langkah selanjutnya merupakan
melakukan legalisasi atas pencapaian konvensi .Selanjutnya merupakan mengatur sistem
pengelolaan jika prosedur supervisi atau pengaduan mengidentifikasi kekurangan pada
penerapan atau kasus yg nir terduga (Colshester, Anderson, Chao, 2015).Pemetaan
partisipatif menjadi sebuah bentuk cara lain pada pengelolaan rapikan ruang
ternyatamendapat tanggapan yg baik berdasarkan banyak sekali kalangan buat dilakukan
secaramultipihak. Dengan melihat berdasarkan masalah pada Masyarakat Adat
Nambluong pada Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua misalnya, pemetaan partisipatif
sebagai bagian berdasarkan penguatan & pengorganisasianmasyarakat istinorma pada
proses pembelajaran mendukung pengelolaan rapikan ruang. Untuk itu keterlibatan
seluruh pihak sangat krusial pada mewujudkan suatuproses pembelajaran beserta warga
menggunakan melibatkan banyak sekali pihak lainnyauntuk mencapai output yg layak &
bisa menaruh warta tentangkebutuhan-
kebutuhanmasyarakatdalamkaitannyadenganpengelolaan danpengembangan tempat-
tempat yg siap dibangun. Hal ini akan terkait puladengan acara investasi yg meliputi
diantaranya merupakan peremajaan & pembaharuan tempat, penataan
tempat,pembangunan infrastruktur, dll (Wamebu, 2002).

Peta daerah istinorma yg didapatkan berdasarkan proses pemetaan partisipatif atau


pemetaankomunitas mempunyai 2 dokumen krusial, yaitu data spasial & sosial. Peta
inimenggambarkan rekanan antara komunitas-komunitas istinorma menggunakan ruang
hidupnya(daerah) yg ditunjukkan melalui penggunaan huma & perairan dari tradisidan
budaya yg dimiliki. Hal ini mengakibatkan peta daerah istinorma menjadi
countermapping terhadap peta-peta yg didapatkan sang pemerintah. Selama ini, peta-
petakehutanan, pertambangan & sektor lainya secara konkret ditujukan
untukmengekploitasi asal daya tanpa memperhatikan pemulihannya. Sementara
dalampeta rakyat istinorma mampu terlihat sistem pengelolaan “ruang” yg
menunjukankeberlanjutan lantaran berdasar dalam dimensi budaya, religi & keberlanjutan
layananalam bagi masa depan (Widodo, 2015).
Pasca Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 35/2012 mengenai pengakuan hutan
istinorma bukan menjadi hutan negara, maka KLHK mendapat peta daerah istinorma
menjadi rujukan pada menyusun Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS), menjadi
upaya buat pengakuan hutan istinorma. Hal ini memberitahuakn mulainya denyut hayati
peta daerah istinorma pada kancah kebijakan pada Indonesia. Ini perlu terus dikawal sang
rakyat istinorma, mengingat pertama, PIAPS ini nir memasukkan areal yg telah terdapat
ijin kehutanan. Kedua, perlu dimunculkan peta perseteruan tenurial pada tempat hutan, &
ketiga, perlu diperiksa pulang peta tempat hutan menggunakan peta penggunaan huma
rakyat istinorma (Widodo, 2015).
Advokasi pengakuan hutan istinorma bisa sebagai sebuah titik masuk bagi
pengakuan rakyat istinorma & daerah istinorma secara utuh, lantaran masih perlu
kebijakan wilayah yg mengakui eksistensi rakyat istinorma & daerah. Jalan ini dipilih
walau bukan hal gampang mendorong pemerintah wilayah mengeluarkan kebijakan
wilayah buat pengakuan rakyat istinorma. Sejalan menggunakan gerakan itu, rakyat
istinorma & pendukungnya memperluas pemetaan daerah istinorma menggunakan basis
dokumentasi peta daerah istinorma menggunakan sistem dokumentasi & pendaftaran
BRWA (Badan Registrasi Wilayah Adat). Hal ini buat menguatkan ketersediaan data &
warta yg memadai pada penyusunan naskah akademik peraturan wilayah juga keputusan
bupati yg mengakui rakyat istinorma & daerah adatnya (Widodo, 2015).
Hasil pemetaan partisipatif akan sebagai dasar bagi rakyat istinorma buat melakukan
negosiasi menggunakan pihak lain pada mempertahankan tanah ulayatnya. Ada beberapa
faktor yg akan mensugesti proses pemanfaatan peta output pemetaan partisipatif pada
penyelesaian perseteruan tanah istinorma menggunakan melihat pembelajaran yg
dilakukan sang Center For International Forestry Research pada Sungai Malinau dalam
Januari s.d. Juli Tahun 2000. Pertama, imbas asal perseteruan terhadap penyelesaiannya.
Di wilayah Sungai Malinau terlihat 2 asal perseteruan yg krusial, yaitu kebutuhan huma
pertanian & pengetahuan mengenai potensi batu bara. Di bagian hilir yg daerahnya nisbi
kecil, ketersediaan & kepastian kepemilikan huma pertanian sebagai asal primer
perseteruan antardesa. Di bagian tengah Sungai Malinau masih ada potensi batu bara yg
relatif poly & luas yg telah disurvei sang perusahaan pertambangan. Informasi mengenai
potensi batu bara ini jua diketahui sang rakyat sebagai akibatnya mensugesti konvensi
mengenai letak batas & proses negosiasi antardesa buat mencari konvensi mengenai letak
batas (Anau et.al., 2001).
Kedua, Pengaruh proses negosiasi & jenis konvensi . Berdasarkan masalah pada
Sungai Malinau, Ada 15 masalah menggunakan konvensi tertulis & proses yg transparan,
sepuluh masalah stabil & 5 masalah yg nir stabil. apabila masalah-masalah konvensi nir
ditulis dilihat lebih naratif maka mampu disimpulkan bahwa berdasarkan 5 masalah
empat pada antaranya permanen stabil, lantaran prosesnya transparan, & hanya terdapat
satu masalah pada mana hasilnya nir ditulis & prosesnya transparan, tetapi hasilnya dalam
akhirnya nir stabil. Hasil yg diperoleh selama aktivitas pada lapangan memberitahuakn
bahwa keliru satu faktor yg mendukung negosiasi merupakan transparansi pada sepanjang
prosesnya (Anau et.al., 2001).
Ketiga, Faktor Kelembagaan desa/satuan istinorma. Kekuatan kelembagaan pada
taraf desa/satuan istinorma & perbandingan kekuatan kelembagaan antardesa. Kekuatan
kelembagaan pada taraf desa/istinorma dievaluasi berdasarkan faktor kepemimpinan
ketua desa/istinorma, eksistensi rakyat dan akses rakyat terhadap warta generik menjadi
faktor- faktor yg bisa menunjang rakyat pada negosiasi . Untuk menilai faktor
kepemimpinan & eksistensi rakyat aspek-asepk yg dilihatadalah: keadaan ekonomi, asal
daya manusia (taraf pendidikan), interaksi menggunakan pihak luar dan kolaborasi pada
antara ketua desa menggunakan rakyat & kolaborasi antara sesama anggota rakyat (Anau
et.al., 2001).
Keempat, Pengaruh Pihak Luar. Di wilayah Sungai Malinau terdapat beberapa pihak
berdasarkan luar yg memiliki kepentingan terhadap asal daya alam & mampu mensugesti
pemanfaatan & dominasi asal daya alam sang rakyat setempat. Pihak luar ini merupakan
perusahaan pertambangan, perusahaan pemegang HPH, & Pemerintah Kabupaten. Pada
waktu berlangsung aktivitas pemetaan mulai berlangsung imbas aktivitas pemegang IPPK
(Izin Pemanfaatan & Pemungutan Kayu) terhadap pengakuan daerah mulai dirasakan.
Kegiatan pemegang IPPK yg ditujukan pada wilayah-wilayah menggunakan potensi kayu
yg tinggi mensugesti konvensi & perseteruan rakyat mengenai batas. Tetapi kadang-
kadang eksistensi pemegang IPPK sebagai dorongan bagi rakyat buat memperoleh
konvensi mengenai batas & bahkan menandai batas (misalnya, pada antara Loreh
menggunakan Adiu) kadang-kadang mempertajam perseteruan antardesa (Setulang
menggunakan Sentaban) (Anau et.al., 2001).
Terakhir, Hubungan kekeluargaan antardesa yg kuat. Berdasarkan masalah pada
Sungai Malinau, enam desa mencapai konvensi lantaran kekuatan interaksi famili.
Lantaran nilai asal daya berubah terdapat impian buat memperluas daerah masing-
masing, namun lantaran terdapat interaksi famili akhirnya mereka permanen
mempertahankan konvensi batas yg telah terdapat (Anau et.al., 2001). Pengkajian
kepemilikan huma & pemanfaatan huma secara partisipatif dilakukan buat
mengklarifikasi bagaimana hak istinorma dialokasikan & huma dimanfaatkan sang rakyat
terkait. Pemetaan partisipatif dilakukan beserta buat sepenuhnya memetakan hak-hak &
pemanfaatan secara istinorma, termasuk huma pertanian, hutan yg ditinggalkan pada
syarat terkini, tempat penangkapan ikan & meramu, tempat suaka, situs sakral & daerah
kolektif (Colshester, Anderson, Chao, 2015). Dalam proses penyelesaian perseteruan
konkurensi tanah istinorma menggunakan pihak lain menggunakan menggunakan
pemetaan partisipatif menjadi langkah awal, rakyat istinorma sebagai aktor kunci pada
penyelesaian.
Masyarakat menentukan siapa yg mereka inginkan buat bertindak menjadi
pendamping & atau penasihat aturan atau penasihat lainnya, juga menjadi pengamat
independen. Diperlukan adanya pendanaan buat membayar porto yg dibutuhkan buat
membantu memastikan rakyat menerima warta memadai. Saat seluruh elemen ini telah
berada pada tempatnya, rakyat diberi ketika buat mengakses warta tentang opsi
pembangunan cara lain & apa arti pengelolaan tempat hutan buat tujuan perlindungan,
menelaah seluruh warta yg diberikan, membahas implikasinya pada antara mereka sendiri
& menggunakan penasihat yg mereka pilih, & tetapkan apakah mereka ingin melakukan
perundingan (Colshester, Anderson, Chao, 2015). apabila demikian, perundingan
dilakukan antara perwakilan rakyat & pihak operator buat memperjelas persyaratan
divestasi juga pengembalian hak apapun. Waktu & ruang lingkup wajib disediakan buat
rendezvous menggunakan rakyat buat membahas tawaran ad interim & menyusun usulan
balasan buat perundingan termin berikutnya. Jika dalam dasarnya sudah dicapai suatu
persetujuan maka konvensi bisa diselesaikan menggunakan ketentuan terkait
pemanfaatan, perlindungan & pengelolaan tanah, tempat ter-enclave (berdasarkan
pembangunan & perlindungan) buat produksi pangan, pembagian manfaat, mitigasi,
prosedur pengaduan, dll (Colshester, Anderson, Chao, 2015).

Identifikasi & sepakati prosedur & indera buat memutuskan & mengelola tempat
perlindungan misalnya konvensi & pengelolaan perlindungan beserta, dan kompensasi yg
adil atas hilangnya pemanfaatan tempat perlindungan. Langkah selanjutnya merupakan
melakukan legalisasi atas pencapaian konvensi .Selanjutnya merupakan mengatur sistem
pengelolaan jika prosedur supervisi atau pengaduan mengidentifikasi kekurangan pada
penerapan atau kasus yg nir terduga (Colshester, Anderson, Chao, 2015).
KESIMPULAN

Meskipun pemerintah Indonesia memiliki komitmen kuat dalam mengelola disrupsi


digital seperti pornografi di internet dan berambisi mempersempit kesenjangan digital,
diplomasi digital belum bergaung di publik. Yang mungkin paling bisa dikatakan sebagai
agenda diplomasi digital oleh pemerintah Indonesia adalah ketika Kementerian Luar
Negeri menggelar sebuah pertemuan para pakar tentang diplomasi digital Mei tahun 2017.
Pertemuan itu memutuskan bahwa diplomasi digital akan digunakan untuk beberapa
agenda penting negara ini. Contohnya, diplomasi digital dapat digunakan untuk melindungi
pekerja migran Indonesia di luar negeri, juga dapat digunakan untuk mempromosikan dan
mengembangkan usaha kecil dan menengah kita.
Pemetaan partisipatif memang bisa digunakan sebagai alat untuk melakukan klaim atas
lahan adat oleh masyarakat hukum adat. Namun, pemetaan partisipatif sendiri
menimbulkan permasalahan baru. Permasalahan tersebut dapat digolongkan menjadi dua
permasalahan yaitu permasalahan teknologi dan permasalahan sosial.
Permasalahan teknologi berkaitan dengan masalah penguasaan teknologi oleh golongan
masyarakat tertentu sehingga menimbulkan kesenjangan penguasaan informasi dan
penggunaan peta dengan menggunakan teknologi modern seringkali bertubrukan dengan
peta modern lainnya sehingga mempersempit wilayah adat yang seharusnya ada.
Sedangkan permasalahan sosial berkaitan dengan tergerusnya pengetahuan keruangan
masyarakat adat karena penggunaan teknologi sebagai basis utama pemetaan alih-alih
menggunakan pengetahuan masyarakat adat. Selain itu juga, pemetaan partisipatif
menimbulkan konflik tersendiri dalam masyarakat akibat dari perbedaan hasil sertifikasi
lahan setelah dilakukan pemetaan.
Akan tetapi, pemetaan partisipatif terbukti dapat digunakan sebagai sarana resolusi
konflik tenurial yang terjadi selama ini. Penggunaan pemetaan partisipatif ini dapat
digunakan sebagai sarana advokasi dengan memberikan dokumentasi terhadap penggunaan
tata ruang milik masyarakat adat sehingga masyarakat adat dapat melakukan klaim
terhadap lahan adatnya dalam konflik tenurial yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Anau, Njau et.al. (2001). Pemetaan Desa Partisipatif dan Penyelesaian Konflik Batas: Studi Kasus
di Desa-Desa Daerah Aliran Sungai Malinau Januari s.d. Juli 2000. Jakarta: Center For
International Forestry Research.

Anonim. (2018).”Bagaimana Ketimpangan Kepemilikan Lahan di Indonesia?”(diakses pada 17 Juli


2018, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/01/25/ketimpangan-
kepemilikan- lahan-di-indonesia).
Anonim. (2016).”Hutan Adat dalam Penyelesaian Konflik Tenurial,”(diakses pada 15 Juli 2018,
https://programsetapak.org/setapak-blog/hutan-adat-dalam-penyelesaian-konflik-
tenurial/).

Anonim. (2017).“Indonesia Darurat Agraria: Luruskan Reforma Agraria dan Selesaikan Konflik-
konflik Agraria,” (diakses pada 17 Juli 2018, http://www.spi.or.id/indonesia-darurat-
agraria-luruskan-reforma-agraria-dan-selesaikan-konflik-konflik-agraria/).

Anonim. (2014).”Pemetaan Partisipatif: Menghadirkan Secara utuh Informasi


Mengenai Pengelolaan Wilayah Adat,”(diakses pada 18 Juli 2018,
http://www.downtoearth- indonesia.org/id/story/pemetaan-partisipatif-menghadirkan-
secara-utuh-informasi- mengenai-pengelolaan-wilayah-adat).
Arumingtyas, Lusia.”Pengakuan Hutan Adat Minim, Perlu Terobosan pada 2018,”(diakses pada 18
Juli 2018, https://www.mongabay.co.id/2018/01/08/pengakuan-hutan-adat-minim-perlu-
terobosan-pada-2018/).
Colchester, Marcus, Patrick Anderson dan Sophie Chao. (2015).”Menghormati Hak Masyarakat
Atas Tanah Mereka Dan Atas Persetujuan Atas Dasar Informasi Di Awal Tanpa Paksaan
Dalam Pendekatan Stok Karbon Tinggi,” Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon
Tinggi: Mempraktikkan Nihil Deforestasi, Versi 1.0: Agustus 2015: Hlm 11-27.
Dewi, Rosita. (2016).”Gaining Recognition Through Participatory Mapping? The Role of Adat Land
in the Implementation of the Merauke Integrated Food and Energy Estate in Papua,
Indonesia,” ASEAS – Austrian Journal of South-East Asian Studies, 9(1): 87-106.
Direktorat Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2013). Masyarakat Adat di
Indonesia: Menuju Perlindungan Sosial yang Inklusif. Jakarta: Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Fadli, Muhammad. (2017).”Kelembagaan Konflik Agraria Dan Lingkungan Hidup Di Kalimantan
Timur,” Kertas Kebijakan Yayasan Bumi #02/2017.

Hodgson, Dorothy L and Richard A. Schroeder. (2002).”Dilemmas of Community Mapping


Resources in Tanzania,” (diunduh pada 15 Juli 2018,
https://www.utsc.utoronto.ca/~kmacd/IDSC10/Readings/participatory
%20methods/proble ms%20in%20research.pdf).
Ika. (2012).”Penting, Pemetaan Partisipatif Masyarakat Adat,”(diakses pada 18 Juli 2018,
https://ugm.ac.id/id/berita/4641-penting.pemetaan.partisipatif.masyarakat.adat).

K, Kusters et.al. (2013).”Formalising Participatory Land-Use Planning Experiences From Sanggau


District, West Kalimantan, Indonesia,” Both Ends: pp.1-23.
Komnas HAM. (2016). Inkuiri Nasional Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Hak Masyarakat Hukum
Adat Atas Wilayahnya Di Kawasan Hutan. Jakarta: Komnas HAM.

Konsorsium Pembaharuan Agraria. (2017). Catatan Akhir Tahun 2017 Konsorsium Pembaharuan
Agraria: Reforma Agraria di Bawah Bayangan Investasi Gaung Besar di Pinggir Jalan.
Jakarta: Konsorsium Pembaharuan Agraria.
Kamim, A. B. M., Amal, I., & Khandiq, M. R. (2018). Dilema pemetaan partisipatif wilayah masyarakat
adat di Indonesia: upaya resolusi konflik agraria dan kritiknya. Prosiding Senaspolhi, 1(1).
14

Anda mungkin juga menyukai