Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Istilah perkebunan pada zaman kolonial sudah tidak asing lagi, karena perkebunan
menjadi tonggak kehidupan bagi para penjajah. Arti dari perkebunan merupakan segala
kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah atau media tumbuh lainnya dalam
ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut,
dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk
mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat. Pada zaman
kolonial perkebunan memiliki peranan yang sangat penting. Salah satunya perkebunan yang
ada di Pulau Jawa. Pulau Jawa merupakan pulau yang sangat cocok untuk penanaman
tumbuh-tumbuhan, karena tanahnya begitu subur dan memiliki wilayah geologis yang berupa
gunung berapi di bagian tengah, sehingga dalam kegiatan perkebunan maupun pertanian
sangat bagus. Selain itu, di Pulau Jawa juga mereka memperoleh keuntungan banyak dari
hasil perkebunan.
Munculnya perkebunan-perkebunan baru diberbagai wilayah tersebut ketika diterapkannya
Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel). Adanya penerapan Sistem Tanam Paksa terjadi pada
tahun 1830 pada masa pemerintahan Van den Bosch. Menurut Van den Bosch penerapan
yang dicetuskan ini harus menghidupkan kembali unsur-unsur paksaan dalam penanaman
tanaman perdagangan yang diterapkan oleh VOC. Kemudian mempergunakan desa-desa
untuk memproduksi komoditi ekspor sebagai inti dari tanam paksa, karena dilingkungan desa
dimana kehidupannya masih pada tingkat ekonomi yang belum sepenuhnya terbuka. Bagi
rakyat hal ini memberatkan para petani karena pengusaha kolonial mempunyai tuntutan agar
dapat dijual di pasaran dunia. Kemudian varietas tanaman yang dianjurkan dalam Sistem
Tanam Paksa adalah tanaman kopi, teh, dan kina. Oleh sebab itu, pada masa kolonial yang
menjadi komoditi dagang utama adalah tanaman tebu dan kopi. Namun, saat itu yang
menghasilkan keuntungan sangat besar adalah perkebunan kopi.
Seiring perkembangan zaman, agar perkebunan tidak hanya menjadi monopoli
pemerintah kolonial maka dicetuskan Undang-Undang Agraria tahun 1870 (Agrarische
Wet ). Adanya undang-undang tersebut mempengaruhi sistem perkebunan yang membuka
Jawa bagi perusahaan swasta. Tidak hanya orang-orang Bumiputrayang memiliki tanah
melainkan orang asing juga bisa memiliki tanah. Namun, orang asing bisa menyewanya dari
pemerintah hingga 75 tahun.8Kemudian banyak pengusaha Barat telah menyewa tanah agar
bisa menanam perkebunan kopi, gula, dan tembakau, karena pada saat itu tanaman tersebut
mempunyai peranan penting dalam perekonomian. Salah satunya adalah perkebunan kopi
Jawa Timur khususnya di Karesidenan Surabaya. Keuntungan komoditi kopi begitu
melimpah sehingga mengalami peningkatan yang besar pada masa pemerintahan kolonial.
BAB II
PEMBAHASAN

Sistem Ekonomi Liberal


Periode sejarah Indonesia 1870-1900 sering disebut sebagai masa liberalisme. Pada
periode tersebut untuk pertama kalinya dalam sejarah kolonial Indonesia kepada kaum
pengusaha dan modal swasta diberikan peluang sepenuhnya untuk menanamkan modalnya
dalam berbagai usaha kegiatan di Indonesia terutama dalam industri-industri perkebunan
besar baik di Jawa maupun daerah-daerah luar Jawa. Selama masa ini modal swasta dari
Belanda dan negara-negara Eropa lainnya telah mendirikan berbagai perkebunan kopi, teh,
gula, dan kina yang besar di Deli, Sumatera Timur.
Perkebunan Di Sumatera Timur
Usaha perkebunan di Sumatera Timur dirintis pertama kali oleh Jacobus Nienhuys, seorang
pengusaha Belanda, yang berkesimpulan (setelah melakukan penelitian) bahwa tanah di
daerah itu sangat cocok untuk usaha perkebunan. Pada tahun 1863, ia memperoleh tanah
seluas 4.000 bau (bouw) dari Sultan Mahmud, penguasa Deli, untuk membuka usaha
perkebunan tembakau. Usaha Nienhuys itu ternyata berhasil, karena lahan di daerah tersebut
mampu menghasilkan daun tembakau pembungkus cerutu yang halus dan mahal harganya di
pasaran dunia. Maka begitulah, setelah dikirim ke Rotterdam dan dijual di pasaran Eropa,
harganya bisa mencapai 48 sen gulden per ½ kilogram. Bahkan pada tahun 1865, harganya
meningkat menjadi 149 sen gulden per ½ kilogram. Menurut Van der itu berarti bahwa harga
tembakau dari perkebunan di Sumatera Timur ini hampir 4 kali lipat dari harga daun
tembakau Kuba, dan lebih dari 4 kali lipat dari harga tembakau Jawa. Berkembangnya
perkebunan-perkebunan tersebut memberikan peluang kepada rakyat Indonesia untuk bekerja
sebagai buruh perkebunan.Selain itu juga penetrasi di bidang eksport import tekstil yang
mematikan kegiatan kerajinan tenun di Jawa. Perkembangan pesat perkebunan-perkebunan
teh, kopi, tembakau, dan tanaman-tanaman perdagangan lainnya berlangsung antara 1870-
1885.Selama masa ini mereka mampu meraup keuntungan yang besar dari penjualan barang-
barang ini di pasar dunia.
sistem usaha perkebunan yang dikembangkan sejalan dengan cita-cita politik liberal, telah
membawa dampak yang saling berlawanan. Di satu sisi para pengusaha perkebunan – dengan
dibantu oleh pemerintah kolonial Belanda – telah memperoleh keuntungan ekonomi yang
sangat besar. Sedangkan di sisi lain penduduk di daerah Sumatera Timur – tempat di mana
perkebunan itu berada – tidak mendapatkan kemajuan dan kesejahteraan hidup. bahwa salah
satu kebijaksanaan negara-negara kolonial di manapun berada – termasuk pemerintah
kolonial Belanda di Indonesia – akan selalu mempertahankan sistem kontrol politik yang
represif dan diskriminatif, serta sistem ekonomi yang eksploitatif. Yang terakhir ini
diupayakan agar dalam jangka panjang, sistem ekonomi daerah kolonial yang berada di
periferal(pinggiran) itu dapat dikuasai dan tergantung sepenuhnya kepada daerah sentral
(pusat), seperti di Eropa atau Amerika Serikat. Dan daerah perkebunan di Sumatera Timur,
nampaknya, adalah sebuah kasus sejarah dari sistem ekonomi kolonial yang dibangun dan
diupayakan untuk tujuan-tujuan seperti itu. Sebab pada akhirnya, sekali pemerintah kolonial
kehilangan. pengendalian atas komunitas-komunitas lokal yang mengelilingi perkebunan
tersebut, sekali lagi, maka masa depan perkebunan menjadi suram, bersamaan dengan
sirnanya penjajahan itu sendiri.

Krisis Perdagangan Tahun 1885


Perkembangan tanaman perdagangan mulai berjalan seret, karena Krisis perdagangan
tahun 1885 juga mempersempit penghasilan penduduk Jawa, baik berupa upah yang berlaku
bagi pekerjaan perkebunan maupun yang berupa sewa tanah. Menurunnya tingkat
kesejahteraan rakyat Jawa dapat dilihat pula dari menurunnya angka-angka impor barang-
barang konsumsi. jatuhnya harga-harga gula dan kopi di pasaran dunia. Dalam tahun 1891
harga pasaran tembakau dunia juga turun drastis. Jatuhnya harga gula di pasaran dunia
dikarenakan penanaman gula bityang mulai ditanam di Eropa, sehingga mereka tidak perlu
mengimpor lagi gula dari Indonesia.Krisis perdagangan tahun 1885 mengakibatkan terjadinya
reorganisasi dalam kehidupan ekonomi. Perkebunan-perkebunan besar tidak lagi milik
perseorangan tetapi direorganisasi sebagai perseroan terbatas. Bank perkebunan jugam tetap
memberikan pinjaman bagi perkebunan, namun setelah adanya krisis 1885 mereka pun
mengadakan pengawasan atas operasi perkebunan-perkebunan besar itu. Pada akhir abad ke-
19, terjadi perkembangan baru dalam kehidupan ekonomi di Hindia- Belanda. Sistem
liberalisme murni dengan persaingan bebas mulai ditinggalkan dan digantikan dengan sistem
ekonomi terpimpin. Kehidupan ekonomi Hindia-Belanda, khususnya Jawa mulai
dikendalikan oleh kepentingan finansial dan industriil di negeri Belanda, dan tidak diserahkan
kepada pemimpin- pemimpin perkebunan besar yang berkedudukan di Jawa.
Berbeda dengan industri-industri perkebunan besar di Jawa yang berkembang dengan
pesat pada masa liberalisme dan sangat menguntungkan bagi pengusaha-pengusaha swasta
Belanda dan pemerintah kolonial, maka sebaliknya pada masa yang sama tingkat
kesejahteraan rakyat Indonesia terutama Jawa semakin mundur.

Kondisi Masyarakat Masa Liberal

Meskipun pada masa liberalisme industri perkebunan di Jawa berkembang pesat, kondisi
kesejahteraan rakyat Indonesia justru mundur. Hal ini karena penduduk di Jawa semakin
bertambah, sehingga memperbesar tekanan terhadap sumber-sumber bahan pangan. Tanah-
tanah dengan kualitas terbaik sudah digunakan untuk tanaman dagang, sehingga padi hanya
ditanam di lahan yang tandus. Pembebasan tanam paksa, ternyata hanya memberikan sedikit
perbaikan. Pasalnya pajak tanah dan bentuk pembayaran lain masih harus dilakukan rakyat kepada
pemerintah dan Menurunnya upah kerja dan sewa tanah bagi penduduk.
PENUTUP

Kesimpulan

sistem usaha perkebunan yang dikembangkan sejalan dengan cita-cita politik liberal, telah
membawa dampak yang saling berlawanan. Di satu sisi para pengusaha perkebunan – dengan
dibantu oleh pemerintah kolonial Belanda – telah memperoleh keuntungan ekonomi yang
sangat besar. Sedangkan di sisi lain penduduk di daerah Sumatera Timur – tempat di mana
perkebunan itu berada – tidak mendapatkan kemajuan dan kesejahteraan hidup dan membuat
dampak kemiskinan Masyarakat karena penduduk semakin bertambah. Dan sektor
perdagangan menurun membuat menurunya upah kerja para buruh.

Anda mungkin juga menyukai