Anda di halaman 1dari 86

BENCANA

INDONESIA
PENYUSUN

EDITOR EKSEKUTIF
Agus Wibowo
Harmawanti Marhaeni
Aryago Mulia
Richard J. Makalew
Elisabeth Sidabutar

EDITOR
Setio Nugroho
Tri Suryaningsih
Maryanto
Fery Irawan
Teguh Harjito
Narwawi Pramudhiarta
Jumita Siagian

PENULIS DAN PERANCANG


Pramudya Ajeng Safitri
Sri Astutiningsih
Ainun Rosyida
Miftah Aziz Maulani
Yudhi Firmansyah

KONSULTAN
PUJIONO Centre
IKHTISAR

I
ndonesia memiliki risiko bencana tinggi yang diperburuk oleh perubahan iklim yang berpotensi
mengganggu momentum dan capaian pembangunan. Oleh sebab itu Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJMN) 2020 - 2024 menetapkan ketahanan bencana diantara prioritas nasional dimana
salah satu strateginya adalah penguatan data dan informasi terkait bencana.
Pada tataran global, Kerangka kerja Sendai merupakan suatu peta jalan pengurangan risiko bencana
yang disertai target dan rincian indikatornya. Risiko bencana juga tercantum di 25 target pada 10 dari 17
SDGs, yang dengan demikian sudah meliputi target Sendai. Pada tataran regional, Konferensi Tingkat
Menteri Kawasan Asia Tentang Pengurangan Risiko Bencana pada tahun (AMCDRR) 2016 menyatakan
komitmen untuk melaksanakan pemantauan yang berkala dan bersiklus mulai tahun 2020, terutama
terkait pengurangan secara signifikan angka kematian, jumlah orang terdampak, kerusakan dan kerugian
terhadap ekonomi dan infrastruktur krusial. Semua ini menjadikan pengembangan basis data bencana
sebagai prasyarat untuk menghitung, memantau dan melaporkan capaian pembangunan nasional, dan
harus pula terbandingkan secara internasional untuk dapat digunakan secara global terhadap Kerangkakerja
Sendai dan SDGs.
Selama ini keperluan akan data bencana dipenuhi secara ad hoc, terutama dalam bentuk data tanggap
darurat. Meskipun sudah ada beberapa pola penyusunan data seperti InaRisk sebagai peta berbasis
geografis yang cukup kompleks dan berpotensi untuk menjadi suatu platform satu data bencana, tetapi
data tentang risiko, kejadian, dampak, dan pembiayaan terkait bencana dan penanggulangannya belum
didasari pada konsep dan definisi yang standar. Oleh sebab itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) dan Badan Pusat Statistik (BPS) bersama-sama menyusun Satu Data Bencana Indonesia (SDBI)
sebagai suatu domain statistik sektoral resmi dibawah sistem statistik nasional dengan mengacu kepada

i
Disaster-Related Statistical Framework (DRFS) yang dirancang oleh UN ESCAP, dan dipandu oleh kaidah-
kaidah Satu Data Indonesia.
SDBI merupakan suatu sintesis dari panduan internasional tentang statistik untuk meningkatkan
cakupan dan konsistensi dalam penghimpunan berdasarkan data primer terkait bencana dan statistik
dasar untuk semua jenis bencana. Statistik menyediakan konteks dan visi yang luas untuk perbandingan
dan untuk pemahaman yang lebih mendalam terhadap risiko lintas ancaman baik yang sifatnya tunggal
maupun majemuk.
SDBI meliputi pengelolaan data dan statistik tentang risiko bencana, kejadian, dampak serta
pemulihannya, dan pembiayaan penyelenggaraan penanggulangan bencana sesuai ketentuan Undang-
Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yakni prabencana baik dalam situasi
tidak terjadi bencana;dan dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana; saat tanggap darurat; dan
pascabencana. Untuk itu dilakukan penyelarasan konseptual, definisi dan variabel diantara semua
Kementerian/ Lembaga yang mengacu pada referensi induk dan panduan metodologi, serta pemetaan
terperinci dari sumber data yang ada.
SDBI dipandu oleh prinsip keruntutan, yaitu mengikuti suatu pola sesuai dengan dasar penalaran
yang termaktub dalam ketentuan perundangan; terbandingkan yaitu bahwa data dari satu wilayah atau
satu kurun waktu dapat dipadankan dengan data dari wilayah atau kurun waktu yang lain berdasarkan
nilai sebenarnya dari data yang bersangkutan; dan keajegan dimana berbagai bentuk data dari berbagai
pemangku kepentingan dihimpun dan dianalisa menggunakan suatu metodologi standar, metadata dan
referensi induk dan satu gerbang data demi memungkinkan saling kendali data (interoperable).
Diantara manfaat terpenting dari Satu Data Bencana adalah sebagai dasar analisis kecenderungan
lintas kejadian untuk keperluan peningkatan mutu pengkajian risiko kearah perbaikan penyelenggaraan
penanggulangan bencana. Untuk itu, SDBI mempunyai cakupan yang meliputi, pertama, data terkait risiko
bencana, yakni data tentang ancaman, kerentanan, keterpaparan, serta kemampuan terkait ketangguhan
menghadapi potensi peristiwa bencana. Kedua, data terkait peristiwa bencana yang meliputi ciri-ciri
peristiwa, jenis kejadiannya, tempat serta waktu awal dan akhir peristiwa bencana, kemudian status
bencananya. Ketiga adalah data tentang dampak terhadap manusia, kerusakan termasuk pada infrastruktur

ii
krusial, kerugian material dan ekonomis, gangguan pada pelayanan dasar, dan dampak terhadap lingkungan
dan warisan budaya.
Dampak tidak langsung, misalnya, pengungsian, kehilangan pekerjaan atau berkurangnya pendapatan
dan pada akhirnya kemiskinan. Statistik keempat adalah tentang pembiayaan penanggulangan bencana,
idealnya merupakan suatu satelit neraca nasional, yang memuat data tentang pembiayaan dan atau
investasi dalam penyelenggaraan pembangunan, penelitian dan pengembangan tentang pencegahan,
pengurangan risiko, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, pemulihan. Termasuk didalamnya adalah
data tentang transfer kerjasama internasional.
Penyelenggaraan SDBI mematuhi kisi-kisi yang ditetapkan oleh kebijakan Presiden terkait Satu Data
Indonesia. terkait kelembagaan, BNPB bertindak sebagai Walidata bencana melalui suatu mekanisme dan
satu portal data bencana melayani berbagai kementerian dan lembaga terkait sebagai Walidata Sektoral
sekaligus produsen data bencana. Mereka semua berhimpun dalam suatu Forum Data Bencana dan
mendapatkan dukungan dari BPS yang bertindak sebagai pembina data dasar dan BIG sebagai pembina
data geospasial. Pengaturan dan mekanisme ini direplikasi di daerah dalam bentuk yang konsisten dan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Demi konsistensi, maka daerah dan pusat
terhubung melalui mekanisme teknis berjenjang untuk, bersama-sama, menyelenggarakan perencanaan,
pengumpulan; pemeriksaan dan validasi, penyajian serta penyebarluasan data terkait bencana.
Melalui suatu sistem terpusat secara nasional akan didapatkan dokumentasi yang koheren sebagai
data resmi pemerintah untuk memperkuat basis bukti dalam penyusunan kebijakan, pengambilan
keputusan dan pedoman penyelenggaraan, mendorong keterbukaan dan hak memperoleh informasi, dan
menggalakkan keikutsertaan masyarakat, serta memenuhi komitmen tentang pemantauan dan pelaporan
penanggulangan bencana secara nasional, regional, dan global. Pada akhirnya, SDBI adalah sumbangsih
pemenuhan kewajiban negara untuk melindungi masyarakat Indonesia dari risiko, kejadian, dan dampak
bencana.

iii
BNPB
KATA PENGANTAR & PENGHARGAAN

P
uji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga Buku Satu Data Bencana Indonesia (SDBI)
ini dapat diselesaikan. Satu Data Bencana Indonesia merupakan gagasan yang
diprakarsai oleh BNPB bersama BPS dan didukung oleh UNFPA dibawah program
Satu Data Indonesia (SDI) sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 39 tahun
2019. Satu Data Bencana Indonesia akan menjadi satu-satunya rujukan sumber
Data dan Informasi tentang kebencanaan di Indonesia.
Presiden Indonesia, terkait dengan Satu Data Indonesia, memberikan
arahan bahwa data adalah jenis kekayaan baru bangsa Indonesia. Guna
mendukung Satu Data Indonesia, BNPB bergerak cepat menggagas Satu Data
Bencana Indonesia sebagai suatu impian besar dalam menghasilkan Data Bencana yang berkualitas; dan
menuju impian itu diperlukan peran serta semua pihak.
Satu Data Bencana Indonesia ini diharapkan dapat mengatasi banyak permasalahan yang timbul
akibat ketidaksesuaian data. Perbedaan dan tidak sinkronnya data dapat diminimalisir dengan mengacu
pada standarisasi “siapa melakukan apa”, sehingga tidak akan ada lagi tumpang tindih. Satu Data Bencana
Indonesia akan memperbaiki pengelolaan data dengan konsep, definisi, dan metodologi yang terstandar.
Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan buku ini,
diantaranya Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertanian,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, TNI, Polri, BASARNAS, BPPT,PMI, serta UNFPA dan
Pujiono Centre serta banyak pihak lainnya yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu.
Semoga buku ini bermanfaat bagi setiap pegiat Penanggulangan Bencana dan masyarakat umum
untuk penanggulangan bencana di Indonesia yang semakin baik di masa mendatang.

Ir. Bernardus Wisnu Widjaja, M.Sc.


Deputi Bidang Sistem dan Strategi

v
BPS-STATISTICS INDONESIA
KATA PENGANTAR & PENGHARGAAN

P
uji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkah dan
rahmatNya, kami dapat menerbitkan kerangkakerja statistik terkait bencana
yang diberi judul “Satu Data Bencana Indonesia”. Buku ini disusun dalam rangka
mendorong semua Kementerian dan Lembaga untuk menghargai pentingnya
satu data bencana yang terintegrasi.

Mengingat bahwa selama ini data bencana masih tersebar di berbagai


Kementerian dan Lembaga, BPS, BNPB dan Pujiono Centre menyusun
kerangkakerja nasional untuk menyatukan data tersebut. Kegiatan ini terselenggara
atas bantuan dari UNFPA.
Akhir kata, semoga buku ini dapat dimanfaatkan oleh banyak kalangan, seperti lembaga-lembaga
pemerintah, akademisi serta pihak lain yang berkepentingan dengan data bencana. Ucapan terima kasih
kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu tersusunnya kerangkakerja statistik terkait
bencana: “Satu Data Bencana Indonesia”.

Dr. Margo Yuwono, S. Si, M. Si


Deputi Bidang Statistik Sosial

vi
UNFPA
KATA PENGANTAR & PENGHARGAAN

K
etersediaan data yang akurat, andal, dan tepat waktu sangat penting
untuk semua tahapan penanggulangan bencana. Data bermutu tinggi
membantu perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan yang
cepat dan berdasar analisis yang lebih cermat dalam merespon populasi,
kelompok rentan, dan infrastruktur yang terpapar. Gambaran yang jelas dan
lengkap tentang ancaman bencana, karakteristik penduduk, dan kapasitas
di kawasan rawan bencana menjadi bagian dari perencanaan pengurangan
risiko, kesiapsiagaan dan tanggap darurat yang efektif.
Pengelolaan data yang baik memerlukan suatu Kerangkakerja Nasional
yang menyediakan panduan, standar, konsep, dan definisi terkait bencana yang berlaku secara nasional.
Demikian juga dengan aturan kebijakan, pengaturan kelembagaan, dan mekanisme aliran data sehingga
dapat dihasilkan statistik dan indikator yang diperlukan pada berbagai tahap penanggulangan bencana.
Satu Data Bencana Indonesia ini sejalan dengan visi Presiden Republik Indonesia, yaitu Satu Data
Indonesia yang digunakan sebagai referensi untuk perencanaan program, pengembangan, implementasi,
dan pemantauan program pembangunan. Ia juga menjadi referensi utama untuk menyelaraskan
penyelarasan data terkait bencana. Indonesia merupakan salah satu negara pertama yang mengembangkan
dan mengimplementasikan suatu Kerangka Nasional Statistik terkait bencana. Pengalaman ini akan
didokumentasikan untuk dapat dibagipakaikan dengan negara-negara lain di tingkat regional dan global.
UNFPA bangga dapat memberikan dukungan teknis dalam penyusunan Kerangkakerja Statistik
Nasional ini. Kerangkakerja ini dihasilkan bersama oleh BNPB, BPS Statistik Indonesia, difasilitasi oleh
Pujiono Centre dengan kontribusi dari banyak pemangku kepentingan yang terkait di Sulawesi Tengah dan

vii
di tingkat nasional, dengan dukungan pendanaan dari Australian AID (DFAT). UNFPA akan terus
mendukung BNPB dan BPS Statistik Indonesia dalam penyusunan kerangka hukum dan implementasinya
di tingkat nasional maupun di daerah, demi tersedianya data yang akurat dan andal terkait bencana.

Anjali Sen
Perwakilan UNFPA

viii
DAFTAR ISI

RINGKASAN EXECUTIVE
KATA SAMBUTAN
PENYUSUN
PENDAHULUAN............................................................................................................................................... 4
Prakarsa Satu Data Bencana..................................................................................................................... 4
SDBI dan Komitmen Global...................................................................................................................... 5
Kerangka Peraturan..................................................................................................................................... 8
Prinsip............................................................................................................................................................. 9
Tujuan.............................................................................................................................................................. 10
Lingkup........................................................................................................................................................... 12
Kemitraan....................................................................................................................................................... 13
SATU DATA BENCANA INDONESIA......................................................................................................... 14
Pengaturan kelembagaan........................................................................................................................... 14
Penatakelolaan di tingkat pusat............................................................................................................... 14
Penatakelolaan di tingkat daerah............................................................................................................. 18
Penyelenggaraan SDBI................................................................................................................................ 19
Perencanaan Data Bencana....................................................................................................................... 19
Pengumpulan Data Bencana..................................................................................................................... 21
Pemeriksaan Data........................................................................................................................................ 22
Penyebarluasan Data................................................................................................................................... 22
Kerjasama internasional............................................................................................................................. 23

ix
CAKUPAN DASAR SDBI................................................................................................................................ 24
Statistik Risiko Bencana.............................................................................................................................. 25
Ancaman......................................................................................................................................................... 26
Keterpaparan................................................................................................................................................. 27
Kerentanan..................................................................................................................................................... 27
Ketangguhan.................................................................................................................................................. 30
Statistik Peristiwa Bencana........................................................................................................................ 31
Peristiwa Bencana........................................................................................................................................ 31
Ambang Akibat............................................................................................................................................. 32
Pengenal.......................................................................................................................................................... 33
Status dan tingkatan.................................................................................................................................... 33
Statistik Dampak........................................................................................................................................... 35
Keterkaitan dampak dan Agregasi Data................................................................................................ 36
Dampak Terhadap Manusia....................................................................................................................... 40
Dampak Material.......................................................................................................................................... 43
Dampak Pertanian........................................................................................................................................ 45
Kerugian Ekonomi......................................................................................................................................... 46
Dampak ekonomi dan kemiskinan........................................................................................................... 50
Gangguan pada Pelayanan Dasar............................................................................................................ 51
Statistik Pembiayaan Penanggulangan Bencana.................................................................................. 52
Pengeluaran.................................................................................................................................................... 52
Transfer............................................................................................................................................................ 53
Bantuan internasional.................................................................................................................................. 55
LAMPIRAN-LAMPIRAN................................................................................................................................. 56
Lampiran-1: Komitmen Global Penanggulangan Bencana................................................................ 56
Kerangkakerja Sendai.................................................................................................................................. 56

x
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)....................................................................................... 64
Lampiran - 3: Keterkaitan Indikator SDGs dan Kerangkakerja Sendai.......................................... 68
Lampiran-4: Statistik dan Penanggulangan Bencana........................................................................ 69
Lampiran-5: Daftar Istilah.......................................................................................................................... 72
Referensi........................................................................................................................................................ 75
CATATAN

xi
xii
Pendahuluan
Peristiwa-peristiwa bencana, baik yang ditimbulkan faktor alami, teknologi, dan biologis, merenggut
banyak korban, kerusakan dan kerugian yang mengganggu keselamatan, keamanan dan kesejahteraan
masyarakat. Dampak semacam ini terkait erat dengan pembangunan dan pencapaian kesejahteraan
ekonomi, sosial, dan lingkungan baik pada jangka pendek, menengah, maupun panjang.
Ketersediaan data yang sistematis terkait penanggulangan bencana menjadi perhatian pemerintah.
Selama ini, keperluan akan data bencana dipenuhi secara ad hoc, terutama dalam bentuk pengumpulan
data pada saat darurat. Beberapa pola penyusunan data seperti InaRisk sudah dikembangkan sejak lama
dan menjadi peta berbasis geografis yang cukup kompleks dan berpotensi untuk menjadi suatu platform
satu data bencana.
Data dan statistik mempunyai peran penting dalam penyelenggaraan termasuk pemantauan dan
pelaporan penanggulangan bencana. Mulai dari pencegahan timbulnya risiko, kesiapsiagaan, respon,
hingga pemulihan. Kebutuhan akan data yang tepat waktu dan akurat menjadi lebih penting mengingat
meningkatnya frekuensi dan tingkat keparahan kejadian bencana yang diperburuk oleh dampak perubahan
iklim. Tantangannya, data yang dibutuhkan untuk penanggulangan bencana yang efektif tidak selalu
tersedia saat dibutuhkan. Kalaupun tersedia, data-data itu kerap tersebar di berbagai sumber resmi,
kemudian berbeda satu dari yang lain atau bahkan bertentangan, baik secara metodologi dan secara
substansi. Oleh sebab itu dipandang perlu untuk memperkuat peran statistik resmi untuk memberikan
data kunci yang relevan dengan semua tahapan penanggulangan bencana. Data bencana yang baik juga
membantu mengidentifikasi dan mengatasi risiko bencana demi pencapaian tujuan pembangunan jangka
pendek dan jangka panjang.

Prakarsa Satu Data Bencana


Satu Data Bencana Indonesia (SDBI) merupakan suatu prakarsa untuk meningkatkan pemanfaatan
data terkait bencana dalam suatu sistem statistik nasional resmi. Hal ini penting untuk memberikan
konteks ke arah pemahaman yang lebih baik tentang risiko bencana lintas ancaman, meningkatkan

1
kedayagunaan penyelenggaraan penanggulangan bencana dan memenuhi keperluan pemantauan dan
pelaporan dalam kerangka pertanggungjawaban penyelenggaraan penanggulangan bencana. Data
bencana yang lebih baik juga diharapkan dapat membantu pengerahan keikutsertaan semua pihak sebagai
sumberdaya dalam mengatasi risiko-risiko bencana secara menyeluruh.
SDBI meliputi unsur-unsur pengukuran faktor-faktor risiko, yaitu probabilitas yang terkait dengan
bahaya, paparan terhadap bahaya, sesuai dengan lokasi penduduk dan infrastruktur, kerentanan dan
kapasitas ketangguhan. Risiko bencana dapat dianalisis pada besaran yang berbeda - misalnya pada
tingkat individu atau rumah tangga, komunitas, wilayah, maupun negara. Oleh karena itu, SDBI berlaku
pada berbagai besaran, dan dapat diterapkan secara luwes, tergantung pada keperluan masing-masing
pengguna statistik.

SDBI dan Komitmen Global


Para pemimpin dunia menyepakati Kerangka kerja Sendai sebagai suatu peta jalan global tentang konsep
dan target untuk pengurangan risiko bencana. Indonesia memerlukan suatu kerangka statistik untuk
melakukan pemantauan dan pelaporan, termasuk melalui Sendai Framework Monitor1, terhadap tujuh
target inti.
Lebih jauh, dimasukkannya target pengurangan risiko bencana dalam Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (SDGs) juga menuntut pengembangan basis data bencana yang terbandingkan secara
internasional. Risiko bencana melintasi berbagai aspek dan sektor pembangunan pada SDGs. Ada 25
target yang terkait dengan pengurangan risiko bencana di 10 dari 17 tujuan pembangunan berkelanjutan,
dengan tegas menetapkan peran pengurangan risiko bencana sebagai strategi pembangunan inti. Maka,
SDBI merupakan prasyarat statistik untuk menghitung indikator internasional yang dilaporkan kepada
BAPPENAS untuk sistem pemantauan global SDGs.
Mengingat konteks global dari kedua komitmen ini, maka SDBI juga memastikan bahwa data bencana
Indonesia harus memenuhi kelengkapan, ajek, dan terbandingkan dengan data bencana milik negara
negara lain. SDBI merupakan suatu sintesis dari panduan internasional yang ada saat ini yang diharapkan
dapat meningkatkan cakupan dan konsistensi dalam penghimpunan statistik yang konsisten di seluruh

1
 https://sendaimonitor.unisdr.org

2
dan untuk semua jenis bencana.
SDBI menjembatani sumber data, membentuk keruntutan, dan konsistensi data lintas sumber, terkait
semua jenis bencana terlepas dari tingkatannya, dan menjadikannya serangkaian statistik sektoral terkait
bencana yang terpusat secara nasional.
SDBI digagas sebagai bagian dari program Satu Data Indonesia, suatu prakarsa pemerintah untuk
memperbaiki dan meningkatkan kualitas tata kelola data pemerintah, baik sebagai dasar pengambilan
kebijakan maupun sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan data publik bagi masyarakat.

“Satu Data Indonesia adalah kebijakan tata kelola Data pemerintah untuk menghasilkan Data
yang akurat, mutakhir, terpadu, dan dapat dipertanggungjawabkan, serta mudah diakses dan
dibagipakaikan antar Kementerian/ Lembaga dan Pemerintah Daerah melalui pemenuhan Standar
Data, Metadata, Interoperabilitas Data, dan menggunakan Kode Referensi dan Data Induk2”

Perbaikan data pemerintah Indonesia ini meliputi penyediaan data dalam format terbuka dan mudah
digunakan kembali, sehingga dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah serta
meningkatkan keikutsertaan masyarakat dalam mengawal pembangunan.
Kriteria yang diterapkan adalah:
• Mudah didapatkan: Data yang mudah diperoleh, dimanfaatkan dan dapat diolah kembali, serta
dapat diakses melalui internet.
• Bermutu: Data yang utuh, dalam bentuk yang mudah digunakan dan dapat diolah kembali, sesuai
syarat-syarat yang telah ditentukan, dan dapat dipertanggungjawabkan .
• Akses umum: Data dapat diperoleh secara gratis dan dapat diakses melalui internet oleh semua
pihak tanpa membedakan berdasarkan bidang usaha, orang, atau kelompok3.
Kesimpangsiuran data bencana merupakan persoalan yang kerap kali menjadi pokok bahasan terkait
kebijakan, program dan kegiatan penanggulangan bencana. Selisih, perbedaan, ketidaksesuaian, sampai
pertentangan data berakibat pada kurangnya dayaguna penyelenggaraan penanggulangan bencana.

2
  Pasal 1 ayat (1) Perpres No. 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia
3
  Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik

3
Satu Data Indonesia adalah kebijakan tata kelola data pemerintah untuk menghasilkan data yang
akurat, mutakhir, terpadu, dipertanggungjawabkan, serta mudah diakses dan dibagipakaikan antar
Kementerian/ Lembaga dan Pemerintah Daerah melalui pemenuhan standar data, metadata,
interoperabilitas data, dan menggunakan kode referensi induk.
Sebagai bagian tidak terpisahkan dari Satu Data Indonesia, SDBI memadukan beraneka ragam
sumber data dari berbagai lembaga pemerintah. Data semacam itu, bersama-sama, menyediakan basis
bukti dan informasi yang lebih luas dan lebih mendalam dalam penyusunan kebijakan dan rencana
penanggulangan bencana, peningkatan kesiapsiagaan dan tanggap darurat baik di tingkat nasional, di
daerah, maupun sektoral. Maka, SDBI juga merupakan suatu standardisasi konsep dan metode pengukuran
lintas kejadian bencana dan penerapan kerangkakerja pengukuran yang konsisten dan disepakati bersama
dalam kebijakan, kesepakatan dan koordinasi di tingkat nasional dan di daerah.
Disamping meningkatkan produksi statistik dari basis data yang ada SDBI juga menjembatani
representasi statistik penanggulangan bencana dengan statistik sosial-ekonomi di lain dalam kancah
pembangunan nasional. Pada akhirnya, SDBI membuat data bencana menjadi bagian tidak terpisahkan
dari Satu Data Indonesia yang merupakan salah satu pilar pencapaian tujuan pembangunan nasional.
Hal ini sangat penting untuk menghasilkan indikator terkait penanggulangan bencana baik dalam
konteks pembangunan nasional maupun pemantauan dan pelaporan komitmen global. Untuk itu diperlukan
koordinasi yang kuat antara BNPB, BPS, Kementerian/ Lembaga dan Pemerintah Daerah terkait dengan
memanfaatkan semangat saling pengertian tentang konsep-konsep inti dan metodologi untuk menerapkan
konsep-konsep tersebut pada praktik penyusunan statistik yang runtut.

Kerangka Peraturan
Sebagai suatu kerangkakerja statistik yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem statistik nasional,
SDBI mendasarkan diri pada ketentuan peraturan perundangan yang mengatur bidang penanggulangan
bencana, statistik, pemerintahan daerah, dan pengelolaan data, sebagai berikut:
1. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaga Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4723);
2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3683)

4
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara
Republik Indonesia tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4846);
5. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5038);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan UU No. 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik
9. Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal
10. Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia
Tugas dan fungsi institusi pemerintah untuk menghasilkan dan menghimpun data resmi terkait
bencana dicerminkan dalam suatu kerangka kebijakan yang mengatur tatalaksana SDBI. Kerangka tersebut
diperlukan untuk memungkinkan fasilitasi dan akses ke sumber daya yang diperlukan untuk membangun
dan mengembangkan kemampuan dalam pengelolaan basis data bencana nasional.

Prinsip
Sesuai dengan kaidah Satu Data, pemanfaatan data dan statistik bencana merupakan upaya selain
pendayagunaan data secara internal dan antar lembaga Pemerintah adalah juga merupakan bentuk
pemenuhan hak dan kebutuhan masyarakat akan data dalam rangka mengurangi risiko dan dampak
bencana.
SDBI memanfaatkan data yang ada untuk menghasilkan informasi yang relevan dengan semua fase
penanggulangan bencana, termasuk untuk pengkajian risiko, pencegahan, dan mitigasi serta untuk
kesiapsiagaan bencana, tanggap darurat dan pemulihan, serta pembiayaan yang terkait penyelenggaraan
penanggulangan bencana tersebut.
Terkait dua hal di atas, SDBI menganut beberapa prinsip sebagai berikut:

Runtut: data bencana mengikuti suatu pola keruntutan sesuai dengan dasar penalaran yang termaktub
dalam ketentuan perundangan. Satu data terkait satu sama lain untuk mewakili suatu konsep, yang
kemudian bersama-sama dengan konsep yang lain, menjadi suatu unsur yang pada akhirnya secara
menyeluruh membentuk suatu paradigma.

5
Terbandingkan: data bencana dalam SDBI dari satu wilayah atau satu kurun waktu dapat dipadankan
dengan data dari wilayah atau kurun waktu yang lain berdasarkan nilai sebenarnya dari data yang
bersangkutan. Kemampuan data untuk pembandingan dicapai berdasar kesepakatan tentang konsep
standar, klasifikasi, dan referensi induk. SDBI disusun sesuai dengan kaidah- kaidah yang telah ditetapkan
oleh kelompok kerja pakar yang dibentuk oleh Sidang Umum PBB untuk mengembangkan terminologi dan
indikator Kerangkakerja Sendai4.
Ajek: data yang berasal dari berbagai pemangku kepentingan dalam berbagai bentuk, dihimpun dan
dianalisa menggunakan suatu metodologi yang mempunyai standar data, metadata dan referensi induk.
Dengan demikian data dapat menjadi ajek baik untuk kepentingan di daerah, nasional ataupun secara
internasional. Terkait hal tersebut, SDBI berlandaskan pada prinsip satu standar data, satu metadata, dan
satu gerbang data demi memungkinkan saling kendali data (interoperable).
Terkait hal ini data yang dihasilkan oleh Produsen Data, harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Standar Data: Standar Data Statistik ditetapkan oleh BPS sebagai pembina statistik, Data
Geospasial ditetapkan oleh BIG sebagai pembina data geospasial, dan data lainnya oleh Pembina
Data lainnya tingkat pusat, yang merupakan salah satu Kementerian/ Lembaga yang diberi
kewenangan melakukan pembinaan terkait Data.
b. Metadata: informasi tentang data yang dibuat sesuai struktur dan format yang baku merujuk
pada keterangan tentang Data yang, merujuk pada spesifikasi atau standar teknis yang ditetapkan
oleh Pembina Data tingkat pusat atau Menteri atau kepala Kementerian/ Lembaga terkait Data
yang pemanfaatannya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan instansi sesuai dengan tugas dan
fungsinya.
c. Interoperabilitas Data: penyajian data yang konsisten dalam sintak/bentuk, struktur/skema/
komposisi penyajian, dan semantik/ artikulasi keterbacaan; dan disimpan dalam format terbuka
yang dapat dibaca sistem elektronik.
d. Referensi Induk: Kode Referensi yang disepakati oleh Kementerian/ Lembaga yang unit kerjanya
menjadi Walidata atas Kode Referensi dan/atau Data Induk tersebut dan Forum Satu Data Bencana

4
A/71/664 Report of the open-ended intergovernmental expert working group on indicators and terminology relating to
disaster risk reduction

6
Tujuan
Melalui SDBI, BNPB bersama BPS bekerjasama dengan Badan Informasi Geospasial, Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas dan kementerian/lembaga terkait, melakukan
pembenahan tata kelola statistik terkait bencana dengan tujuan menghasilkan kompilasi statistik untuk
pengambilan keputusan, perancangan dan pelaksanaan upaya pengurangan risiko bencana, dan sekaligus
membantu penyusunan pelaporan indikator nasional dan internasional.

Tujuan Umum
1. Menyediakan dasar kebijakan dan aturan pelaksanaan serta pedoman bagi lembaga pusat dan
daerah dalam pengelolaan data dan statistik terkait penyelenggaraan penanggulangan bencana
yang mudah diunduh dan dibagipakaikan antar lembaga pemerintah sebagai dasar perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi, dan pengendalian penanggulangan bencana;
2. Memperkuat basis bukti bagi penyusunan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan
penilaian dan pengendalian terkait penanggulangan bencana dan terkait tujuan pembangunan
berkelanjutan (SDGs) melalui suatu sistem statistik yang modern sesuai peraturan perundang-
undangan
3. Mendorong keterbukaan dan hak memperoleh keterangan sehingga menggalakkan peran dan
tanggung jawab masyarakat dalam dalam mengurangi risiko dan kesiapsiagaan bencana, dan
meningkatkan kemampuan penanganan serta pemulihan dari dampaknya sesudah terjadi bencana.
4. Menyusun data dan statistik yang tepat, mutakhir, terpadu dan dapat dipertanggungjawabkan
untuk menghitung indikator internasional untuk pelaporan tentang perkembangan, pencapaian dan
hasil penanggulangan bencana sesuai dengan sistem pemantauan dan pelaporan Kerangkakerja
Sendai dan SDGs.

Tujuan Khusus
Secara khusus SDBI bertujuan untuk
1. Menyamakan pandangan tentang pengelolaan data dan statistik bencana antara BNPB, BPBD,
Kementerian/Lembaga Terkait dan pemangku kepentingan lainnya.
2. Meningkatkan pendayagunaan data bencana termasuk melalui penyelarasan metodologi
pengelolaan data bencana demi penguatan pertanggungjawaban kepada khalayak.

7
3. Mempermudah pengumpulan, pengolahan, analisis dan pelaporan data bencana, pada saat pra
bencana, tanggap darurat maupun rehabilitasi dan rekonstruksi.

Lingkup
SDBI berisi panduan yang koheren secara internal dan konsisten secara internasional untuk memanfaatkan
data yang sudah ada demi menghasilkan informasi yang relevan dengan semua tahapan penanggulangan
bencana, termasuk untuk pengenalan dan pemahaman risiko, pencegahan, dan mitigasi serta untuk
kesiapsiagaan bencana, tanggapan dan pemulihan.
1. SDBI meliputi pengelolaan data dan statistik tentang risiko bencana, kejadian, dampak serta
pemulihannya, dan kegiatan penanggulangan bencana.
2. SDBI mencakup data dan statistik pada semua tahapan penanggulangan bencana, yakni
prabencana baik dalam situasi tidak terjadi bencana;dan dalam situasi terdapat potensi terjadinya
bencana; saat tanggap darurat; dan pascabencana.

Sdbi Sebagai Sistem Koordinasi Statistik


Data bencana kebanyakan merupakan bagian dari statistik dasar, tematik atau sektoral yang dikumpulkan
dan disimpan tersebar di antara berbagai lembaga, dikelola dalam berbagai format, dan mengikuti
kerangka kerja yang berbeda beda pula. Oleh sebab itu koordinasi statistik sangat penting dalam SDBI
karena sebagian besar kompilasi statistik melibatkan kerjasama antara institusi pemerintah pusat dan
daerah serta produsen data resmi lainnya.
Pembangunan SDBI sebagai suatu sistem terpusat secara nasional dalam penyusunan statistik
terkait bencana dimaksud untuk mendapatkan data yang terdokumentasi dan koheren serta mengelola
arus informasinya untuk dihimpun ke dalam tabel - tabel standar.
Fungsi dari SDBI sebagai sistem statistik bencana nasional adalah:
• Menghasilkan data primer terkait bencana
• Menghasilkan statistik baseline
• Menyajikan data dalam format informasi geospasial
• Mengkoordinasikan arus informasi
• Menyediakan platform berbagi data

8
• Memelihara basis data bencana; dan
• Menghasilkan statistik dan indikator resmi tentang bencana
Kementerian/ Lembaga SDBI adalah mereka yang menghasilkan data resmi pada skala nasional atau
daerah dan, sejauh memungkinkan, melibatkan organisasi non-pemerintah yang terlibat dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana.
SDBI melibatkan penyelarasan konseptual dimana semua Kementerian/ Lembaga terkait
menggunakan variabel yang memiliki definisi yang sama, dikenal dan dibagikan dan dikodekan dengan
cara yang sama, dengan mengacu pada referensi induk dan panduan metodologi selama fase penyusunan
statistik dan setelah pengelolaan data akhir. SDBI meliputi pemetaan terperinci dari sumber data yang
ada dan dapat diakses di sektor dan daerah untuk menghitung variabel dalam cakupan tabel statistik
terkait bencana. Semua ini untuk memastikan bahwa statistik resmi terkait bencana dapat diakses untuk
digunakan dalam kebijakan, perencanaan, program dan pelaksanaan pengurangan risiko bencana dan
keperluan lain termasuk penelitian terkait bencana.

Kemitraan
Pelibatan mitra sejak tahap awal pengembangan basis data memainkan peranan penting untuk mendorong
pemahaman yang sama dan jelas tentang ruang lingkup pengumpulan data dan pentingnya statistik
untuk memahami, mengkaji, dan mengurangi risiko bencana.
Kemitraan bertujuan untuk menyusun basis data terkait kegiatan peningkatan kapasitas, memastikan
kepemilikan, dan pengelolaan data bencana sektoral dan daerah, serta memastikan bahwa pengumpulan
dan validasi data bencana dilakukan sejalan dengan kerangka dan standar untuk sumber dan metodologi
data yang ditetapkan secara nasional.
Terkait kemitraan, Forum Data Bencana merupakan platform dan mekanisme koordinasi teknis yang
melibatkan semua Kementerian/ Lembaga penyedia data bencana untuk membuat keputusan tentang
terminologi, metodologi, dan panduan teknis. Forum ini dibentuk dengan tujuan untuk menciptakan
keruntutan di semua langkah mulai pengumpulan data, pemrosesan data, kompilasi, agregasi, penyebaran,
dan analisis statistik terkait bencana.

9
10
Satu Data Bencana Indonesia
Kementerian/ Lembaga dan Pemerintah daerah yang mempunyai tugas dan fungsi pemantauan dan
penanggulangan bencana wajib mengumpulkan data statistik dan geospasial untuk menilai risiko,
peristiwa bencana, dampak, dan pembiayaan penanggulangan bencana. Statistik dapat berasal dari
sensus, survei yang relevan, dan sumber data resmi lainnya sesuai dengan model standar untuk aplikasi
data yang ditetapkan.
Meskipun basis data bencana secara nasional dihimpun oleh BNPB, namun secara fisik data tidak
harus berada di BNPB. Data tersebut bisa disimpan melalui Portal Satu Data Bencana yang dapat diakses
dan dimanfaatkan untuk berbagai statistik terkait bencana dengan sistem kueri basis data yang dapat
digunakan untuk menghitung indikator, melakukan penilaian risiko dan pascabencana, dan keperluan
statistik lainnya yang muncul terkait penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Dengan pembinaan dari BIG, basis data dikelola menggunakan kode dan format yang kompatibel
dengan penggunaan dalam sistem informasi geografis. Berbagai platform data bencana yang sudah ada
seperti InaRISK, InaSAFE, DIBI, IRBI dan sebagainya akan dipadukan untuk memastikan bahwa basis data
bencana mempunyai keluwesan yang melekat dalam hal skala geografis dan tingkat rincian analisis
sehingga input data dasar yang sama dapat digunakan kembali untuk melakukan analisis di berbagai
skala geografis.

Pengaturan Kelembagaan

Penatakelolaan di tingkat pusat


Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaksanakan fungsi perumusan dan penetapan
kebijakan penanggulangan dan pengoordinasian pelaksanaan penanggulangan bencana. Lebih jauh, BNPB
memberikan pedoman dan pengarahan tentang penanggulangan bencana; menetapkan standar dan
kebutuhan penyelenggaraan; dan melaporkan kepada Presiden serta menyampaikan informasi kepada
masyarakat tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana. Terkait SDBI, BNPB merumuskan
kebijakan, menyusun pedoman dan menyediakan bimbingan teknis secara substantif.BNPB dengan

11
masukan teknis metodologis dari BPS dan BIG menetapkan struktur dan format yang baku untuk data
bencana. Dengan demikian BNPB akan dapat menghimpun data bencana dari para produsen data,
mencocokkan kesesuaiannya dengan standar, serta memastikan bahwa metadata diikutsertakan sebagai
bagian yang tidak terpisahkan. BNPB juga menerbitkan referensi induk data bencana sebagai acuan para
produsen data.
BNPB dengan masukan teknis metodologis dari BPS dan BIG menetapkan struktur dan format yang
baku untuk data bencana. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa BNPB akan dapat menghimpun data
bencana dari para produsen data dan memastikan kesesuaiannya dengan standar, serta memastikan
bahwa metadata diikutsertakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan. BNPB juga menerbitkan referensi
induk data bencana sebagai acuan para produsen data.

12
Terkait tanggap darurat bencana BNPB memastikan bahwa setiap kali suatu operasi tanggap darurat
sudah selesai, maka data yang dihasilkan oleh Pos Komando tanggap darurat dihimpun sesuai dengan
standar data dan referensi induk.
Pelaksanaan tugas ini juga dilakukan bersama-sama penyusunan dan penyebarluasan panduan
teknis SDBI dan penyelenggaraan pengembangan kapasitas baik untuk jajaran penyelenggaraan
penanggulangan bencana maupun instansi Kementerian/ Lembaga dan daerah serta para pemangku
kepentingan lainnya.
BNPB membentuk dan mengelola portal satu data bencana sebagai platform tunggal dalam
penghimpunan penyampaian dan penyebarluasan data bencana. Terkait hal itu BNPB juga memastikan
bahwa semua portal data bencana yang ada dipadukan dan disediakan mekanisme untuk melakukan
sinkronisasi data yang terpadu.
BNPB sebagai Walidata Bencana menyerahkan data beserta metadata dan referensi induk kepada
Walidata nasional untuk kemudian dimanfaatkan dalam proses perencanaan perencanaan pembangunan
pemantauan serta pelaporan baik pada tingkat nasional dan global.
Dalam kapasitasnya sebagai sekretariat Forum Satu Data Bencana Indonesia, BNPB menyediakan
pelayanan kesekretariatan termasuk, tetapi tidak terbatas pada, pengusulan anggota forum
pengorganisasian pertemuan secara berkala dan penyediaan sumber daya manusia dan kebakaran dalam
pelaksanaan tugas-tugas forum satu data bencana.
Badan Pusat Statistik (BPS) mempunyai peran dan fungsi sebagai pembina statistik dalam kapasitasnya
sebagai lembaga resmi pengelola sistem statistik nasional. Fungsi BPS termasuk pengkajian, penyusunan
dan perumusan kebijakan statistik terkait bencana, pengkoordinasian kegiatan statistik terkait bencana;
pengembangan dan penerapan standar teknik dan metodologi statistik, serta penyediaan bimbingan teknis
tentang statistik. BPS juga berfungsi sebagai “bank” data dasar kependudukan dalam suatu sistem statistik
nasional guna membantu kegiatan statistik di Kementerian/ Lembaga atau institusi lainnya.
Dalam pelaksanaannya BPS menyediakan statistik dasar kependudukan yang terkait dengan SDBI.
Manakala dipandang perlu, BPS dapat memasukkan unsur-unsur data bencana yang masih harus
dikumpulkan kedalam berbagai kegiatan statistik. Termasuk diantaranya survei sosial ekonomi nasional,
pendataan potensi desa, dan survei-survei lain yang yang dapat dirancang khusus untuk memenuhi
keperluan data bencana tersebut di atas.

13
Selain di BPS Pusat, panduan dan bimbingan teknis terkait pengelolaan statistik satu data bencana
juga dapat dilakukan oleh BPS Provinsi dan BPS Kabupaten/ Kota.
BPS sebagai pembina statistik satu data bencana memastikan bahwa metodologi yang digunakan
memadai, seragam, dan konsisten. Dengan demikian dapat memastikan bahwa data bencana dapat dibagi
pakai oleh para pemangku kepentingan dan dapat dimanfaatkan secara baik untuk pemantauan dan
pelaporan baik terkait sasaran pembangunan nasional maupun pemantauan dan pelaporan indikator
indikator komitmen Global.
Badan Informasi Geospasial (BIG) mempunyai fungsi, antara lain, perumusan dan pengendalian
kebijakan teknis, penyusunan rencana dan program, serta penyelenggaraan informasi geospasial dasar.
Selain itu, BIG juga melaksanakan pengintegrasian dan penyelenggaraan infrastruktur, serta
penyelenggaraan dan pembinaan jaringan informasi geospasial terkait bencana yang diselenggarakan
oleh Kementerian/ Lembaga dan/atau pemerintah daerah.
Dalam pelaksanaan fungsinya sebagai pembina geospasial BIG memastikan bahwa data bencana
mempunyai kemampuan antarmuka dengan sistem informasi geospasial nasional sehingga dapat dijembatani
pemanfaatannya dengan data dari sektor-sektor lain. Hal ini termasuk penyediaan data di bawah prinsip
satu peta Indonesia yang dapat melengkapi baik acuan maupun substansi dasar satu data bencana.
Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) mempunyai fungsi, antara lain perumusan
dan penetapan kebijakan, penatakelolaan aplikasi, dan pengelolaan informasi serta komunikasi publik;
pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi dan dukungan yang bersifat substantif tentang keseluruhan
SDBI kepada seluruh Kementerian/ Lembaga dan/atau pemerintah daerah.
Dalam pelaksanaannya Kementerian komunikasi dan informasi melakukan pemaduan data bencana
dengan data-data lain dari berbagai sektor untuk dapat disajikan sebagai satu kesatuan di bawah SDBI.
Kementerian/ lembaga dapat menjadi sumber dan penyedia sekaligus juga pengguna data bencana
sesuai dengan peran, tugas dan fungsi masing-masing. Masing-masing Kementerian/ lembaga
menyatakan dengan jelas tentang tugas dan fungsinya terkait penyelenggaraan bencana di semua
tahapan. Selain itu juga harus menyatakan jenis-jenis data yang digunakan untuk melaksanakan tugas
dan fungsi tersebut. Masing-masing Kementerian/ Lembaga bertanggung jawab untuk menyusun dan
menyerahkan metadata dari sektornya masing-masing dan menyesuaikan penyajiannya dalam format
yang telah ditetapkan terkait standar bencana dan referensi induk data bencana.

14
Penatakelolaan di tingkat daerah
BPBD atau OPD penanggulangan bencana dalam kapasitasnya sebagai wali data bencana pendukung
harus memastikan bahwa data bencana yang diserahkan oleh produsen Data sudah memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan dalam standar bencana yang disertai dengan metadata dan disusun sesuai dengan
format yang telah ditentukan dalam referensi induk data bencana.
Walidata Bencana Pendukung di daerah melaksanakan penghimpunan analisis dan penyajian serta
penyebarluasan data bencana terutama untuk menjadikannya sebagai masukan substantif dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana, pemantauan pembangunan di wilayahnya masing-masing
dan memberikan sumbangan pada pemantauan dan pelaporan indikator-indikator terkait penanggulangan
bencana sebagai bagian dari komitmen Global Indonesia.
Dalam pelaksanaan tugasnya sebagai sekretariat Forum Data Bencana Daerah, Walidata Bencana
Pendukung harus menyediakan dukungan kesekretariatan guna memfasilitasi kegiatan forum termasuk
pertemuan secara berkala.
BPS Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam kapasitasnya sebagai pembina statistik, memberikan
panduan dan pembinaan teknis kepada Walidata Bencana Pendukung dan Forum Satu Data Bencana di
Wilayahnya.
OPD sektoral mempunyai peran sebagai Walidata Pendukung di instansinya masing-masing. Dalam
kapasitas itu mereka juga berperan sebagai Produsen data bencana, dan dapat menjadi anggota Forum
Satu Data Bencana di wilayahnya.
Forum SDBI: Di tingkat pusat dan di daerah dibentuk Forum SDBI sebagai forum komunikasi yang
terdiri dari BNPB atau BPBD OPD PB sebagai Walidata Bencana, instansi sektoral sebagai Walidata
Sektoral dan Produsen Data Bencana, serta BPS dan BIG sebagai pembina data bencana. Dengan
dikoordinasikan oleh pimpinan tinggi dari Instansi Walidata Bencana, Forum SDBI melaksanakan fungsi
dan tugasnya sesuai ketentuan perundangan.
Sebagai kelengkapan kerja Forum SDBI, maka BNPB bersama dengan anggota forum dapat
menetapkan instrumen termasuk yang di bawah ini
• Katalog jenis bahaya bencana yang menjadi acuan dari penentuan jenis peristiwa bencana
• Daftar istilah baku sebagai bentuk kesepakatan konseptual yang berlaku dalam pengelolaan satu
data bencana

15
• Panduan teknis mengenai definisi data serta spesifikasi teknis tentang penghitungan dan
kompilasinya.
• Panduan teknis penghitungan dan konversi dampak peristiwa bencana baik terhadap manusia,
ekonomi, materi, lingkungan, infrastruktur krusial, maupun pelayanan dasar
• Katalog daftar data dasar yang memuat semua jenis data yang diperlukan dalam pengelolaan data
bencana. Daftar data ini menjadi acuan untuk menyusun tabel pengumpulan data tabel ringkasan
maupun dalam proses analisis.
• Himpunan statistik dasar terkait bencana, yaitu daftar data yang sudah terdapat pada statistik
dasar kependudukan dapat dimanfaatkan untuk mengisi tabel data bencana.
• Neraca satelit penanggulangan bencana yaitu suatu neraca yang dikembangkan khusus untuk
kepentingan penanggulangan bencana berdasarkan struktur pada neraca nasional.

Penyelenggaraan SDBI
Penyelenggaraan SDBI terdiri atas perencanaan data; pengumpulan data; dan penyebarluasan data yang
akan diuraikan pada bagian berikut.

Perencanaan data bencana


BNPB dengan dengan masukan teknis metodologis dari BPS melaksanakan Perencanaan Data Bencana
yang terdiri atas:
Daftar Data Bencana, yaitu data bencana yang ditargetkan untuk dikumpulkan pada tahun yang
bersangkutan dan tahun selanjutnya. BNPB mengajukan daftar data bencana tersebut kepada Forum SDBI
untuk dapat disepakati untuk menjadi target bersama dalam sistem SDBI. Pada umumnya, daftar
data tersebut sesuai dengan pilar-pilar kerangkakerja statistik terkait bencana yang secara konseptual
terdiri dari:
• Data Risiko bencana terdiri dari data berbagai kategori ancaman bencana yang mengacu kepada
katalog peristiwa bencana. Sementara itu data kerentanan, keterpaparan dan kemampuan /
ketangguhan dinyatakan terkait ciri-ciri kependudukan, lokasi sesuai dengan spesifikasi geografis
dan atau batasan administratif, dan spesifikasi lain sesuai ketentuan BNPB
• Data Peristiwa Bencana terdiri dari jenis peristiwa sesuai dengan katalog bahaya bencana, dan
dilengkapi dengan data peristiwa yang meliputi di mana terjadi, kapan mulai dan kapan berakhir,
dan dengan mengacu kepada tanda pengenal unik untuk masing-masing peristiwa bencana.

16
• Data Dampak terdiri dari dampak terhadap manusia; dampak material; dampak ekonomi; dan
dampak terhadap pelayanan dasar. BNPB melakukan konversi data Dampak menjadi format-format
data yang diperlukan menggunakan tabel konversi yang telah ditetapkan.
• Data Pembiayaan Penanggulangan Bencana terdiri dari semua pembiayaan yang terjadi untuk
kepentingan pencegahan risiko bencana; pengurangan risiko bencana, kesiapsiagaan dan tanggap
darurat, pemulihan bencana; dan pemerintahan umum, penelitian dan pengembangan, pendidikan.

Masing-masing jenis data yang disasar untuk dikumpulkan, disusun dengan dilengkapi dengan
keterangan tentang jenis data, jenis metadata, dengan referensi induk, akan dihasilkan oleh Produsen
Data yang mana, dan kapan akan diterbitkan dan dimutakhirkan. Butir-butir yang tercantum pada Daftar
Data, dapat ditetapkan daftar prioritas yang disasar untuk dikumpulkan pada tahun yang bersangkutan
berdasarkan pertimbangan bahwa data itu secara bersama-sama mendukung prioritas pembangunan
dan prioritas Presiden dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan/atau Rencana Kerja
Pemerintah; mendukung pencapaian tujuan penanggulangan bencana; dan/atau memenuhi kebutuhan
mendesak.
Walidata Bencana Pendukung di daerah menggunakan Daftar Data yang disusun pada tingkat pusat
sebagai pedoman untuk menyusun daftar data daerah dengan mempertimbangkan masukan dari Pembina
Data di wilayahnya, dan diajukan untuk disepakati pada Forum SDBI Daerah.
Daftar data bencana yang telah disepakati oleh Forum SDBI menjadi dasar penyusunan rencana aksi
SDBI yang terdiri dari tujuan, sasaran, kegiatan dan keluaran yang diharapkan dari kegiatan masing-
masing anggota Forum SDBI.
Rencana aksi SDBI dapat mencakup berbagai hal yang perlu dilaksanakan untuk memastikan
tercapainya sasaran bersama. Ini termasuk keperluan pengembangan sumber daya manusia, penyusunan
petunjuk teknis pelaksanaan dan kegiatan lain yang mendukung tercapainya tujuan SDBI sesuai dengan
prinsip statistik terkait bencana. Rencana aksi juga merencanakan tatalaksana bersama diantara anggota
Forum SDBI terkait pengelolaan data bencana yang meliputi pengumpulan Data Bencana, pemeriksaan
Data Bencana; dan penyebarluasan Data Bencana.

Pengumpulan data bencana


Bermodalkan Rencana Aksi SDBI, BNPB dan Kementerian/ Lembaga terkait akan melaksanakan
pengumpulan data bencana sesuai dengan daftar bencana yang telah disepakati dan dengan mengindahkan

17
standar data, dengan menyertakan senantiasa Metadata dan berpegang pada referensi induk data
bencana.
BNPB melakukan koordinasi bersama dengan BPS dalam pendayagunaan statistik dasar, hasil dari
Susenas dan Podes, atau hasil dari survei dan pengumpulan data lainnya yang khusus dilaksanakan dalam
rangka memenuhi keperluan pengumpulan data bencana. Dari waktu ke waktu, BNPB juga melakukan
koordinasi tentang kemungkinan pemaduan pengumpulan data terkait bencana dalam kegiatan-kegiatan
formal dalam sistem statistik Nasional. Ini termasuk memberikan masukan dalam perancangan Sensus
Penduduk, Sensus Ekonomi, Sensus Pertanian,Susenas, Podes, dsb.
Dalam konteks tanggap darurat, dimana BNPB dan atau BPBD membentuk Pos Komando, maka
pada akhir masa tanggap darurat, mereka memastikan bahwa data tanggap darurat disimpan - sejauh
mungkin setelah diklasifikasikan sesuai dengan standar data, dan dilengkapi dengan Metadata serta
diberikan marka sesuai dengan referensi induk data bencana.
BNPB sebagai Walidata Bencana menyampaikan data yang telah dikumpulkan kepada Kementerian
Komunikasi dan Informasi dengan tembusan kepada Bappenas, sementara BPBD atau OPB PB
menyampaikan kepada Dinas Komunikasi dan Informasi dan atau Bappeda.

Pemeriksaan data
Walidata Bencana juga mempunyai tugas untuk memastikan bahwa data yang dihasilkan oleh Produsen
Data Bencana sesuai dengan prioritas yang telah ditetapkan bersama, memenuhi syarat standar bencana,
dilengkapi dengan Metadata dan disampaikan dalam format yang sudah ditetapkan. Proses pemeriksaan
data ini diikuti dengan perbaikan baik melalui proses ulang-alik dengan Produsen Data terkait validasi
maupun verifikasi seperlunya. Dengan demikian Produsen Data dapat memperbaiki Data sesuai hasil
pemeriksaan sebagaimana dimaksudkan dengan dipandu oleh Pembina Data.

Penyebarluasan data
BNPB mengelola Portal SDBI sebagai satu - satunya platform statistik bencana yang menyediakan akses
terhadap Referensi induk, data Induk; data; metadata; data prioritas; dan jadwal penerbitan dan/ atau
pemutakhiran Data.
BNPB bertanggungjawab atas penyebarluasan data dilakukan melalui Portal SDBI dan media lainnya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan

18
teknologi. Dalam kapasitasnya sebagai pengelola portal SDBI, BNPB memberikan akses kepada pengguna
data baik melalui mekanisme akses khusus melalui perlindungan kata kunci maupun akses terbuka kepada
publik.
Berdasarkan kesepakatan forum SDBI, BNPB dapat melakukan penerbitan berkala tentang data
bencana sebagai bagian dari akuntabilitas publik maupun sebagai masukan untuk perbaikan
penyelenggaraan penanggulangan bencana, bagian dari perencanaan pemantauan dan pelaporan
pembangunan nasional, maupun pemantauan dan pelaporan terhadap komitmen Global terkait
penanggulangan bencana terutama untuk Kerangka kerja Sendai dan SDGs.

Kerjasama Internasional
Dengan pertimbangan bahwa penyusunan dan pelaksanaan STPI merupakan suatu praktik baik penyusunan
kerangka statistik terkait bencana, maka pengaturan tentang pelaksanaan kerjasama internasional menjadi
suatu unsur yang penting dalam keseluruhan konteks SDBI.
SDBI merupakan salah satu ekspresi dari kerangka akuntabilitas Indonesia terhadap komitmen
Global terutama terkait Kerangka kerja Sendai dan SDGs. Oleh sebab itu perlu dirancang agar statistik
terkait bencana dapat dihimpun bersama dengan statistik sektor lainnya melalui mekanisme baik sistem
statistik Nasional maupun sistem pemantauan nasional yang merupakan respons nasional terhadap
komitmen global tersebut.
Sebagai anggota organisasi kawasan seperti ASEAN dan UNESCAP, Indonesia perlu memanfaatkan
semua peluang untuk menyebarluaskan inovasi dan praktik terkait statistik bencana sehingga menjadi
bagian tidak terpisahkan dari pergaulan regional dan menjadi salah satu unsur dari soft diplomacy.
Di dalam negeri, dikembangkan suatu program yang terpadu guna mendayagunakan kerjasama
internasional dengan lembaga-lembaga perserikatan bangsa-bangsa UNS internasional dan lembaga-
lembaga lain yang terkait data bencana. Selain kerjasama yang langsung pertautan dengan penanggulangan
bencana, perlu juga dikembangkan advokasi dan bantuan teknis serta penguatan kapasitas terhadap
pengumpulan data di berbagai sektor pembangunan dalam situasi tidak terjadi bencana. Dengan demikian
maka dapat dihimpun data yang lebih menyeluruh dan di semua sektor di semua tingkatan tentang risiko
bencana.

19
20
Cakupan Dasar SDBI
Salah satu kegunaan terpenting dari statistik terkait bencana adalah sebagai dasar analisis kecenderungan
lintas kejadian untuk keperluan peningkatan mutu pengkajian risiko. Biasanya ini memerlukan analisis
untuk periode yang lama, mungkin berupa kecenderungan jangka panjang 50 hingga 100 tahun. Untuk
itu, diperlukan penggambaran ciri-ciri yang jelas dari kejadian bencana yang dibuat secara konsisten
tentang seluruh kejadian sepanjang rentang waktu.
Terkait hal itu, disusun cakupan dasar SDBI yang meliputi semua tahapan penanggulangan bencana
sesuai ketentuan perundangan dengan tahapan-tahapan berikut ini:
1. Prabencana yaitu dalam situasi tidak terjadi bencana; dan dalam situasi terdapat potensi terjadinya
bencana;
2. Saat tanggap bencana yang dapat mencakup siaga, tanggap dan transisi darurat; dan
3. Pascabencana yang terdiri dari rehabilitasi, dan rekonstruksi.

Cakupan Dasar SDBI


Pra-Bencana Saat terjadi dan Pasca Bencana
Risiko Peristiwa Dampak
Ancaman Ciri-ciri peristiwa Dampak langsung terhadap Dampak tidak langsung
• Jenis • Manusia
Kerentanan
• Waktu • Kerugian materi / ekonomi
Keterpaparan • Tempat • Pelayanan dasar
• Pengenal • Lingkungan / warisan budaya
Ketangguhan • Status

Biaya
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (penyelenggaraan pembangunan, penelitian dan pengembangan ten-
tang pencegahan, pengurangan risiko, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, pemulihan)

21
Hampir semua unsur pada tabel di atas dapat diukur, atau diperkirakan, dari pengamatan langsung
dan dapat dihimpun ke dalam database terpusat untuk kepentingan statistik terkait bencana. Dampak
tidak langsung, pada sisi yang lain, hanya dapat diperkirakan melalui penerapan asumsi atau pemodelan
berbasis analisis skenario rantai nilai dampak terhadap ekonomi atau perubahan lain pada kondisi sosial.

1) Statistik Risiko Bencana


Risiko bencana didefinisikan sebagai

“potensi kehilangan nyawa, kecederaan, ataupun kerusakan atau kehancuran aset yang dapat terjadi
pada suatu sistem, masyarakat atau komunitas dalam periode tertentu, ditentukan secara probabilistik
sebagai fungsi dari ancaman, paparan, kerentanan dan ketangguhan5”

Tinggi rendahnya risiko bencana di suatu wilayah ditentukan oleh besarnya6 ancaman (misalnya
kekuatan energi dari gempa bumi atau kategori badai) yang berkelindan dengan faktor-faktor sosial
ekonomi yang menimbulkan keterpaparan, kerentanan dan ketangguhan (UNISDR, 2015).
Risiko bersifat dinamis dan oleh karenanya untuk kepentingan pengukuran diperlukan kerjasama
antara BNPB, BPS dan penyedia statistik resmi lainnya untuk dapat mencakup bidang-bidang seperti
perubahan demografis, kemiskinan dan kesenjangan, struktur ekonomi, pembiayaan, produksi ekonomi,
kondisi ekosistem, dan pengelolaan lahan, dsb.
Risiko-risiko ini terkonsentrasi secara geografis dan tidak merata sehingga untuk mengukurnya
diperlukan gambaran umum cukup luas yang memperhitungkan perbedaan tinggi rendahnya risiko,
cakupan wilayah, dan ciri-ciri penduduk. Sementara pengukurannya juga harus dapat menghasilkan
statistik terpilah untuk titik-titik rawan yang berisiko relatif lebih tinggi ketimbang yang lainnya.
Pendekatan Indeks risiko bencana (DRI) dikembangkan berdasarkan jenis ancaman baik tunggal
(misalnya untuk banjir atau angin topan) ataupun majemuk yang mencakup berbagai dan jelas berbeda
jenis ancaman. Dengan demikian, secara geografis, suatu wilayah dianggap berisiko tinggi semata-mata
berdasarkan ancaman dan tanpa mengindahkan batas administratif.

5
UNISDR, 2017
6
Besarnya ancaman (Magnitude) mengacu pada ancaman dan bukan pada skala geografis atau skala dampak

22
Ancaman
Ancaman adalah suatu fenomena, peristiwa, proses, atau kegiatan manusia yang mempunyai potensi
menyebabkan kematian, cedera, atau dampak kesehatan lainnya, kerusakan harta benda, gangguan sosial
dan ekonomi atau kerusakan lingkungan.
Untuk dapat diperlakukan sebagai suatu informasi, suatu ancaman perlu digambarkan dengan
melengkapi kisi-kisi sebagai berikut:
• Cakupan: wilayah geografis dan tingkatan administratif
• Waktu: frekuensi dan lamanya ancaman,
• Dimensi: skala dan intensitas ancaman,
• Peluang : kemungkinan terjadinya ancaman, dan
• Kerentanan: fisik, ekonomi, lingkungan, dan sosial7
Salah satu cara untuk menggambarkan ancaman adalah menggunakan pendekatan HotSpot.
Pendekatan ini mencontoh model yang telah digunakan dalam domain statistik keanekaragaman hayati.
Analisis diterapkan pada suatu titik pusat pada peta geografis yang tidak selalu mengindahkan batas-
batas administratif. Data yang menunjukkan peluang ancaman yang relatif tinggi selanjutnya di lapis
(overlay) dengan informasi geografis terkait keterpaparan, kerentanan, dan ketangguhan. Skema InaRISK
milik BNPB, misalnya, memanfaatkan statistik tentang keterpaparan, kegiatan ekonomi (didapatkan dari
catatan pendapatan pajak daerah), dan anak- anak (dari catatan administrasi tentang pendaftaran di
sekolah-sekolah) untuk menggambarkan tingkat risiko.
Sistem informasi geografis (SIG) dapat menjadi suatu platform yang sangat membantu untuk
memadukan menghasilkan ringkasan statistik. Hasilnya dapat disajikan dalam bentuk peta risiko, pada
berbagai tingkat geografis yang berbeda-beda, dan juga pada cakupan administratif yang diinginkan -
misalnya nasional, provinsi, atau kabupaten/kota.

Keterpaparan
Pengkajian keterpaparan bertujuan untuk memperkirakan unsur yang berisiko (elements at-risk),
yaitu jumlah orang, perumahan, infrastruktur, bangunan atau kawasan terbangun, fasilitas; pemanfaatan

7
European Commission (2010)

23
lahan, kapasitas produksi, dan variabel potensial penting lainnya yang berpotensi terkena imbas ketika
terjadi suatu peristiwa yang merupakan suatu ancaman bencana.
Data tentang keterpaparan menjadi salah satu dari tiga matriks dasar risiko prabencana. Selain itu
data keterpaparan juga merupakan statistik yang dijadikan pijakan untuk menilai dampak setelah bencana.
Keterpaparan diukur dengan memanfaatkan beberapa dataset, yakni
a. data tentang peluang satu atau beberapa ancaman yang diperoleh dari badan-badan pengamatan
alam; dan
b. data seperti sensus kependudukan dan perumahan; dan
c. Data lain tentang infrastruktur, tutupan lahan seperti kawasan pertanian berdasar jenis tanaman,
dan berbagai kawasan ekologis penting lainnya.
Bidang tumpang tindih diantara ketiga dataset tersebut merupakan gambaran keterpaparan terhadap
suatu atau sekumpulan ancaman.
Lagi-lagi InaRISK merupakan contoh penting penggambaran keterpaparan. Pada skema ini
diperhitungkan adanya ancaman, kerentanan, dan ketangguhan. InaRISK menggunakan 9 jenis ancaman
yang berbeda-beda cirinya terkait frekuensi dan akses terhadap peringatan dini. Kemudian, dengan
menggunakan analisis data lintas ruang dan asimilasi grid yang dilapiskan, disimpulkan dalam bentuk
ramalan tentang peluang dan besaran dampak dari suatu peristiwa bencana yang diramalkan pada suatu
skenario. Dampak itu bisa mencakup potensi kematian, kerugian material dan ekonomi, kerusakan fisik,
dan sumber daya alam.

Kerentanan
Kerentanan didefinisikan sebagai ciri-ciri atau kondisi yang ditentukan oleh faktor fisik, sosial,
ekonomi dan lingkungan atau proses - proses yang meningkatkan kerawanan orang - perorangan,
komunitas, aset atau sistem terhadap dampak dari ancaman. Statistik kerentanan adalah statistik
keterpaparan yang dipilah lebih lanjut berdasarkan jenis kelamin, usia, penghasilan, dan kecacatan.
Statistik tentang kerentanan yang dihimpun dan diperbarui secara berkala berdasarkan wilayah
geografis, khususnya untuk kawasan terancam bencana, menjadi informasi apriori mengenai tinggi
rendahnya kerentanan dan cakupan wilayahnya. Informasi ini bermanfaat untuk mempertajam sasaran
strategi pengurangan risiko bencana atau peningkatan kesiapsiagaan di wilayah yang bersangkutan baik
pada tingkat daerah maupun secara nasional.

24
Peristiwa bencana menimbulkan tingkatan akibat yang berbeda-beda pada penduduk. Tingkatan ini
ditentukan oleh ciri-ciri orang perorangan terkait keterbatasan kekuatan dan keterampilannya untuk
menghadapi akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa bencana, terutama apabila jenis bencananya
mengancam ketangguhan jasmani.
Dibawah ini adalah beberapa ciri-ciri yang menentukan tingkat kerentanan:
• Usia kanak-kanak, lanjut usia, dan situasi kecacatan, misalnya, membuat satu orang atau
komunitas menjadi lebih rentan ketimbang yang lainnya walaupun ancamannya mungkin sama.
• Gender, misalnya, dapat menjadi faktor kerentanan terkait kesempatan mata pencaharian dan
keikutsertaan dalam upaya pemulihan.
• Ciri-ciri kelompok seperti kemiskinan dapat menjadi faktor penentu dasar lingkungan kurang sehat
dan kurang aman serta rendahnya tingkat pendidikan yang pada gilirannya menjadi faktor yang
penting yang membentuk kerentanan.
• Ciri-ciri fisik seperti keadaan infrastruktur dan lingkungan terbangun yang ditentukan oleh
keterbatasan dan kesenjangan sosial-ekonomi atau lingkungan lainnya. Kemiskinan dan kehidupan
komunitas miskin di perkotaan, misalnya, memaksa penghuni untuk tinggal dan bekerja di kawasan
yang tidak memenuhi syarat keamanan dan keselamatan di kawasan-kawasan terpapar ancaman8.
• Ciri-ciri fisik seperti pada tanah, badan air, sampai dengan polusi juga membentuk kerentanan fisik
yang menentukan tinggi rendahnya dampak bencana pada kehidupan dan kesehatan, membuat
tanggapan darurat lebih rumit ketika terjadi peristiwa bencana, serta membuat ongkos pemulihan
menjadi lebih tinggi.
• Ciri-ciri wilayah seperti susahnya akses mendapatkan air, tidak memadainya infrastruktur, dan
keterbatasan sarana MCK, misalnya, menjadikan kawasan tertentu menjadi rentan terkena dampak
peristiwa bencana. Apalagi kalau jenis ancamannya melibatkan perlunya ketersediaan air dan MCK
sebagai bagian dari layanan dasar, dan semakin diperlukan ketika memasuki tahap rehabilitasi dan
rekonstruksi.
• Lokasi geografis misalnya kawasan perdesaan, merupakan unsur kerentanan karena adanya
keterbatasan dan kesenjangan akses transportasi, fasilitas kesehatan, dan infrastruktur atau
layanan pendukung krusial lainnya. Walaupun begitu, patut juga dicatat bahwa aspek- aspek lain
dari masyarakat pedesaan seperti sistem kekeluargaan dan kearifan lokal, juga mendasari kapasitas
ketangguhan.

8
Rumah tangga kumuh mengalami kekurangan akses terhadap sumber air yang baik, akses ke fasilitas sanitasi, ruang hidup yang
memadai, daya tahan perumahan ataupun jaminan kepemilikan. (UN-Habitat,2016)

25
• Kepadatan penduduk, pada sisi yang lain, adalah salah satu ciri penentu kerentanan di kawasan
perkotaan. Pemusatan penduduk pada keadaan normal sehari-hari memang diperlukan untuk
melancarkan kegiatan perekonomian dan memudahkan penyediaan infrastruktur, sarana dan
pelayanan. Namun justru kepadatan penduduk seperti itu merupakan kerentanan terutama ketika
dilapiskan dengan unsur kemiskinan, tataruang yang semrawut tidak terencana, dan keterbatasan
pelayanan dasar terkait keselamatan dan keamanan.
Berbagai ciri-ciri perorangan, kelompok dan wilayah itu secara rumit berkelindan sedemikian rupa
sehingga, bersama-sama, mereka membentuk suatu kerentanan yang tadinya mungkin tidak ada.
Oleh sebab itu, terutama untuk kawasan-kawasan yang tinggi keterpaparannya, perlu dihimpun
statistik kerentanan yang memuat ciri-ciri dasar demografis, sosial dan ekonomi, baik dari data dasar
kependudukan yang ada ataupun data baru kalau diperlukan.
Statistik kerentanan dapat menghimpun unsur-unsur berikut ini:
• pendapatan dan belanja rumah tangga;
• keikutsertaan pendidikan berdasarkan kelompok umur;
• aset rumah tangga seperti jenis perumahan;
• perkembangan kelompok umur seperti status gizi dan kesehatan anak-anak;
• jenis pekerjaan; dan
• sebaran kawasan perkotaan dan pedesaan.

Ketangguhan
Ketangguhan menyiratkan daya tahan suatu sistem terhadap ancaman bencana dan daya lentingnya
untuk memulihkan fungsi dan perkembangan setelah peristiwanya terjadi sedemikian rupa dengan tanpa
menanggung dampak negatif permanen yang besar. Idealnya, pemulihan itu memanfaatkan peluang
untuk perbaikan di masa depan melalui“membangun kembali dengan lebih baik”.
Ketangguhan sendiri sebagai suatu konsep menyiratkan perilaku atau tindakan yang bertujuan
mengatasi, menguasai, menoleransi, atau mengurangi situasi keterpaparan terhadap ancaman.
Penentuan tingkat ketangguhan ditentukan oleh adanya akses terhadap keterangan dan pengetahuan
tentang ancaman, sumberdaya, dan kesempatan. Keterangan tentang ketangguhan menjadi dasar dalam
menentukan tingkat ketangguhan termasuk kesiapsiagaan (Wisner et al., 2003).
Strategi untuk mengatasi kesenjangan ketangguhan kebanyakan tumbuh dan terjadi secara alami
tanpa diprogramkan oleh pemerintah. Rumah tangga, infrastruktur, bisnis, masyarakat, sistem sosial-

26
ekologis, sampai dengan seluruh negara, melakukan berbagai cara untuk mengatasi kesenjangan semacam
itu, dan oleh karenanya sulit untuk diukur.
Sebagai contoh, salah satu strategi menghadapi bencana kekeringan adalah dengan bermigrasi
untuk mencari mata pencaharian di luar wilayah kekeringan, baik secara sementara maupun menetap.
Perpindahan orang secara berangsur-angsur seperti ini sangat sulit dicatat untuk diukur. Fenomena seperti
ini kadang-kadang dapat ditangkap melalui statistik, sensus, atau catatan administrasi kependudukan.
Walaupun demikian, agak sulit untuk mengaitkan migrasi seperti itu dengan ancaman, apalagi kalau
peristiwanya agak jauh di masa lalu dan prosesnya berjalan secara mengalir.
Strategi lainnya yang dapat ditangkap oleh statistik berdasarkan catatan pemerintah seperti survei
kesiapan rumah tangga atau bisnis di wilayah yang terpapar ancaman yang mencakup, misalnya, kenaikan
pengeluaran belanja dan ongkos rumah tangga.
Informasi tentang ketangguhan dan kesenjangannya memberikan dasar untuk merancang dan
melaksanakan kegiatan pengurangan risiko bencana termasuk melalui program pendidikan, sistem
peringatan dini, dan pendekatan lain yang memperkuat ketangguhan melalui peningkatan kesiapsiagaan.
Statistik ketangguhan menjadi sangat bermanfaat manakala dipilah berdasarkan jenis kelamin, usia,
kelompok pendapatan, jenis kecacatan dan kawasan perkotaan dan pedesaan.

1.  Statistik Peristiwa Bencana


Undang-Undang 24/2007 memuat definisi bencana sebagai berikut:
1. peristiwa atau rangkaian peristiwa disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam
maupun faktor manusia
2. mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
3. mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis
Dalam rangka mengoperasionalkan ketentuan perundangan tersebut, pencatatan peristiwa bencana
perlu mencatat ciri-ciri setiap peristiwa bencana yang datanya diperlukan untuk membuat hubungan
antar variabel dalam mengembangkan statistik runtun waktu, seperti, tren jangka panjang dari dampak
bencana. Pencatatan peristiwa bencana perlu mencakup:

27
Peristiwa Bencana
Waktu: tanggal, tahun, waktu, dan lamanya masa darurat
Tempat: cakupan wilayah baik dalam artian wilayah administratif ( provinsi, kabupaten/kota) dan wilayah
geografis)
Jenis ancaman: golongan besar jenis bencana meliputi bencana alam, non-alam, dan bencana sosial.
Masing-masing masih perlu dibagi lagi menjadi jenis-jenis9 yang, nantinya, perlu dihimpun dalam suatu
daftar atau katalog peristiwa yang resmi diumumkan sebagai salah satu bagian dari metadata.

Ambang Akibat
Mengingat tidak semua peristiwa adalah bencana, maka hanya peristiwa yang menimbulkan akibat yang
mengancam dan atau mengganggu kehidupan, yang disebut sebagai bencana. Demi keseragaman dan
konsistensi, maka diperlukan suatu kriteria ketentuan ambang (threshold) untuk menetapkan akibat
seperti apa yang menjadi pembeda antara peristiwa bencana dari peristiwa biasa.
Dapat dipahami bahwa pada saat sebelum ditetapkan SDBI, Pusdalop BNPB menerima semua jenis
kejadian yang dilaporkan oleh BPBD, instansi pemerintah daerah maupun kementerian/lembaga.
Sementara BPBD Provinsi menerima laporan dari BPBD kabupaten/kota.
Tanpa penetapan ambang akibat, maka peristiwa yang dilaporkan sepihak sebagai suatu peristiwa
bencana oleh suatu instansi, tidak mempunyai besaran yang seragam dengan peristiwa lain yang
dilaporkan oleh instansi lain.
Sehingga ambang akibat, diperlukan sebagai alat yang digunakan untuk menyaring data mana yang
memenuhi kriteria untuk dianggap sebagai peristiwa bencana, dan mana yang tidak pada saat BPBD dan
atau BNPB melakukan kompilasi. Hanya dengan begitu maka data peristiwa bencana dapat dianalisis dan
dibandingkan.
Sebagai contoh, EMDAT10 menerapkan bahwa suatu peristiwa hanya dapat dimasukkan kedalam
database manakala setidaknya satu dari kriteria berikut ini terpenuhi:

9
Peril Classification and Hazard Glossary - IRDRwww.irdrinternational.
org › IRDR_DATA- Project-Report-No.-1.pdf

28
• Sepuluh (10) atau lebih orang dilaporkan tewas
• Seratus (100) orang atau lebih dilaporkan terkena dampak
• Pemerintah menetapkan keadaan darurat bencana
• Pemerintah meminta bantuan internasional
Maka pada akhirnya, Pusdalops BNPB tetap akan merekam ratusan ribu peristiwa yang dilaporkan
oleh BPBD dan sumber-sumber lain; tetapi mungkin saja, untuk kepentingan SDBI, hanya ratusan peristiwa
saja yang dimasukan ke dalam database peristiwa bencana.

Pengenal
Untuk kepentingan pencatatan, acuan, dan pelacakan pada database multibahaya, tiap-tiap peristiwa
bencana perlu diberi kode register yang unik. Sistem disaster register seperti GLIDE11, misalnya, menjadi
suatu pilihan yang tepat untuk memastikan bahwa semua peristiwa yang memenuhi kriteria sebagai
peristiwa bencana dapat tercatat, dan bahwa pencatatan itu tidak tumpang tindih.
Komponen nomor GLIDE terdiri dari dua huruf untuk mengidentifikasi jenis bencana (mis. EQ -
gempa bumi); tahun bencana; enam angka nomor urut peristiwa bencana; dan kode ISO tiga huruf untuk
negara tempat kejadian.
Berikut ini adalah contoh penomoran peristiwa bencana pada register global:
Gempa Bumi Sulawesi Tengah: EQ-2018-000033-ID
Tsunami Selat Sunda:TS-2018-000423-IDN
Letusan gunung Merapi: VO-2010-000214-IDN

Status dan Tingkatan


Ketentuan perundangan12 mengatur penetapan kewenangan pemerintah untuk menetapkan status dan
tingkat bencana nasional dan daerah. Penetapan status dan tingkat ini menjadi proxy dari penetapan
apakah peristiwa tersebut disebut berdampak besar, sedang atau kecil.
Pemerintah pusat atau pemerintah daerah menetapkan status dan tingkatan peristiwa bencana
berdasarkan indikator yang meliputi:

10
https://www.emdat.be/explanatory-notes

29
• jumlah korban;
• kerugian harta benda;
• kerusakan prasarana dan sarana;
• cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan
• dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
Pada saatnya pemerintah perlu membuat ketentuan di atas lebih operasional melalui suatu Peraturan
Presiden untuk memandu para pengambil keputusan dalam menentukan status bencana.
Secara konseptual, status suatu peristiwa bencana berkaitan dengan skala risiko bencana, yaitu risiko
Intensif dan risiko Ekstensif13. Risiko Ekstensif digunakan untuk menggambarkan risiko terjadinya peristiwa
bencana yang mempunya peluang menimbulkan dampak keparahan yang rendah, tetapi frekuensi kejadian
tinggi atau kerap terjadi, terutama berupa peristiwa-peristiwa bencana di daerah yang bersifat tempatan
atau lokal. Misalnya banjir, tanah longsor, angin puting beliung dsb. Secara agregat, lintas bencana, karena
lebih sering terjadi maka bencana kecil dan menengah cenderung menimbulkan dampak lebih besar.
Sebaliknya, risiko intensif mengacu kepada risiko terjadinya peristiwa bencana yang jarang-jarang
terjadi, tetapi kalau sudah terjadi akan menimbulkan dampak yang sangat parah. Ini dapat dilihat pada
kasus Tsunami Aceh, gempa Yogya , likuifaksi di Sulawesi Tengah, dsb.

Status kedaruratan
Guna ketepatan data, diperlukan ketetapan apakah suatu peristiwa memenuhi kriteria sebagai suatu
“peristiwa bencana”, dan apabila memang merupakan suatu bencana, ditetapkan sebagai suatu “keadaan
darurat” atau bukan.

Tingkatan
Perundangan juga mengatur bahwa pemerintah daerah atau pemerintah dapat menetapkan suatu
peristiwa bencana sebagai bencana tingkat kabupaten/kota, provinsi atau nasional.
Bencana nasional adalah bencana dimana keadaan darurat menunjukkan ciri ciri akibat jangka
panjang dan meluas pada pembangunan berkelanjutan. Dampak dari bencana besar sering melintasi

13
UNISDR, 2015

30
batas administratif. Secara statistik bencana besar cenderung menghasilkan lebih banyak data dan sering
kali dicakup oleh berbagai kajian pascabencana.
Bencana provinsi atau kabupaten/kota daerah mengacu pada peristiwa bencana yang mempunyai
dampak dengan skala menengah dan kecil seperti digambarkan pada konsep peristiwa bencana ekstensif
di atas. Bencana skala menengah mengacu pada ambang akibat yang memerlukan tanggapan dari
beberapa - seperti dari beberapa kabupaten / kota atau provinsi beberapa kawasan administratif.

31
Statistik Dampak
Seperti telah diuraikan di atas, suatu peristiwa baru disebut sebagai suatu “bencana” apabila fenomena yang
bersangkutan menimbulkan situasi ikutan atau konsekuensi yang merugikan masyarakat. Konsekuensi itu
sendiri dapat secara operasional dapat dibagi dua yaitu:
• Akibat (effect): suatu keadaan yang langsung terjadi selama atau seketika sesudah terjadi
peristiwa bencana yang biasanya diukur dalam satuan fisik (mis., Meter persegi perumahan,
kilometer jalan, dll.), guna menjelaskan kerusakan total atau sebagian dari aset fisik, gangguan
pelayanan dasar, dan kerusakan sumber mata pencaharian di daerah yang terkena bencana.
• Dampak (impact): suatu keadaan yang terjadi berangsur-angsur dan bersama-sama sebagai
hasil gabungan dari beberapa situasi yang bersama-sama merupakan perubahan yang berarti
dalam pusa (sistem) yang terkena peristiwa bencana. Ini termasuk keseluruhan perubahan yang
merugikan bagi ekonomi, kesejahteraan fisik, mental, dan sosial manusia.
Oleh sebab itu, data tentang dampak peristiwa bencana lebih terfokus pada imbas kerugian umum
yang meliputi kerusakan, kerugian, dan gangguan terhadap pelayanan.
Data Dampak sangat penting untuk menjadi masukan untuk melakukan penilaian pascabencana
dan untuk komputasi indikator, serta dihimpun dalam suatu kompilasi umum yang biasanya dikenal
sebagai database kerusakan dan kerugian (damage and losses database).

Keterkaitan dampak dan Agregasi Data


Untuk menjadi acuan statistik bencana, data dampak memerlukan kejelasan tentang keterkaitan
(attribution) apakah data ini mempunyai keterkaitan sebab akibat langsung dengan peristiwa bencana.
Kematian, misalnya, dapat dikaitkan secara langsung dengan peristiwa bencana yang ada dalam katalog
peristiwa bencana. Kerugian ekonomi, dilain pihak, bisa saja menjadi akibat langsung dan tidak langsung
dari suatu peristiwa bencana dan, oleh karenanya agak sulit untuk serta merta menghubungkannya
dengan peristiwa bencana.
Statistik dampak perlu mempunyai rentang yang lebih panjang untuk dapat merekam akibat langsung
dan tidak langsung dari peristiwa bencana. Data tentang dampak langsung biasanya didapatkan dari pada
pengamatan di wilayah terkena bencana ketika atau segera setelah peristiwa terjadi maupun akibat yang
tertunda. Misalnya bangunan retak yang terpaksa dihancurkan beberapa minggu setelah gempa bumi,
orang yang meninggal setelah cedera berminggu-minggu setelah peristiwa.

32
Database dampak memerlukan struktur yang jelas dan spesifik dengan melibatkan komponen
dampak, pengenal peristiwa bencana, dan metadata terkait. Data dampak diatur sedemikian rupa dengan
mengintegrasikan beberapa dataset terkait suatu peristiwa bencana ke dalam suatu database yang
terpusat. Pada tahap-tahap tertentu dilakukan kompilasi data, dengan metadata tersendiri, yang dikaitkan
dengan suatu pengenal peristiwa bencana yang unik. Dengan cara itu maka data dampak, pada waktu
pemanfaatannya nanti, dapat dilacak berdasarkan ciri-ciri dasar bencana, yaitu waktu, tempat, skala, dan
jenis ancaman.

Struktur dasar database dampak


Langkah - langkah metodologis untuk statistik dampak dapat diringkas sebagai berikut:

Data awal: Pengamatan dan penilaian terhadap akibat langsung yang biasanya dilakukan sebagai bagian
dari respons bencana selama dan segera setelah keadaan darurat, diringkas dan dikonversi menjadi
statistik dan dihimpun menurut wilayah geografis.

Register
Peristiwa
bencana

Waktu
Versi Pengamatan
Pengenalan Tempat
Peristiwa
Dampak
Jenis
terhadap
manusia

Dampak materi Dampak ekonomi


Skala
/ kerusakan langsung

Dampak Dampak ekonomi


tidak tidak langsung
langsung

Metadata Dampak tidak


langsung lainnya

33
Pelengkapan: Pelengkapan: Menyediakan baseline atau statistik latar belakang tentang peristiwa bencana
untuk membantu menghasilkan metrik pelengkap data awal bagi statistik dampak. Ini dapat meliputi
karakteristik dasar infrastruktur dan populasi yang diketahui sebelum peristiwa bencana.

Pendalaman: Menggunakan alat bantu seperti citra penginderaan jauh, data pelayanan dasar dan ekonomi,
laporan sektoral, atau klaim-klaim asuransi, untuk memperdalam pemahaman tentang tingkat kerusakan
dan kerugian serta tentang bagaimana faktor - faktor risiko menentukan besaran dampak bencana.

Klasifikasi: Menggunakan statistik latar belakang sebagai informasi kontekstual untuk menyesuaikan
pengamatan awal terhadap kerusakan dan gangguan pelayanan pasca bencana menjadi unit-unit
pengukuran yang terbandingkan. Dengan demikian dapat dilakukan pengembangan agregasi dan
disagregasi lebih jauh yang diinginkan.

Dampak tidak langsung: Menggunakan sumber-sumber statistik runtun waktu reguler dalam sistem
statistik nasional untuk menetapkan kecenderungan sebelum dan sesudah peristiwa bencana sebagai
dasar penilaian dampak tidak langsung. Data yang perlu dirujuk dapat meliputi sensus penduduk, statistik
Potensi Desa, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), sensus penduduk dan perumahan, survei bisnis,
statistik sektoral seperti Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), statistik pendidikan yang memuat informasi
mengenai jumlah sekolah, peserta didik, guru, dan sarana prasarana pendidikan. Pada sektor ekonomi,
dapat digunakan Laporan Perekonomian Indonesia yang memberikan gambaran perkembangan kinerja
perekonomian melalui indikator makro terpilih untuk menyajikan informasi mengenai pertumbuhan
ekonomi, laju inflasi, perdagangan luar negeri, perkembangan ekonomi maritim, bidang moneter, investasi,
ketenagakerjaan, dan pariwisata.

Agregasi dampak
Agregasi dampak pada dasarnya adalah penghitungan nilai dampak peristiwa bencana secara luas untuk
melacak gambaran nilai kerusakan dan kerugian seketika setelah peristiwa bencana dan perubahan
yang terjadi pada suatu konteks selama jangka waktu tertentu. Agregasi ini dicapai dengan melakukan
penghimpunan data secara menyeluruh di suatu wilayah atau secara berkala, misalnya tahunan. Dengan
demikian dapat diperoleh pola dan kecenderungan yang secara statistis lebih bermakna dan mengurangi
data-data rinci yang banyak sekali tetapi kurang berarti (data noise).

34
Agregasi runtun waktu
Data dampak yang telah dihimpun pada masing-masing peristiwa bencana sesuai dengan struktur dasar
yang digambarkan pada bagian sebelumnya, disimpan oleh BNPB dalam suatu database yang terpusat secara
nasional. Setelah data dari semua kejadian bencana pada periode tertentu sudah terhimpun, maka data
dampak dapat dianalisis berdasarkan query tertentu. Misalnya agregasi dan pembandingan berdasarkan
jenis ancaman, tempat, atau ciri-ciri lain. Apabila runtun waktunya cukup panjang, misalnya 10 tahun, maka
akan muncul pola data yang kemudian dapat dijadikan bahan penelitian, misalnya untuk membandingkan
dampak antara dua kejadian yang berbeda atau menggambarkan kecenderungan dampak bencana. Dan
lebih penting lagi, pola semacam itu menjadi dasar bagi perbaikan penyelenggaraan penanggulangan
bencana, perencanaan pembangunan, serta pemantauan dan pelaporan kinerja penanggulangan bencana
baik untuk konteks daerah, nasional, maupun regional dan global.

Agregasi geografis
Statistik dampak juga mencatat suatu peristiwa bencana, berdasarkan struktur dasar seperti dijelaskan
di atas, dengan mengacu tempat kejadiannya secara geografis pada suatu wilayah yang juga disebut
sebagai ‘tapak bencana’14. Setelah data dihimpun berdasarkan wilayah geografis, maka statistik dampak
dapat disajikan sesuai jenis ancaman dan wilayahnya. Dengan memanfaatkan SIG, agregasi geografis
dapat dihimpun, diagregasi dan dianalisis pada skala nasional, provinsi, kabupaten/kota, sampai ke desa/
kelurahan. Data dapat juga dianalisis dengan mengacu pada jenis wilayah tertentu lainnya seperti daerah
aliran sungai, kawasan rawan bencana, dsb.

Disagregasi demografis dan sosial


Bencana menimbulkan akibat yang berbeda-beda terhadap anggota masyarakat. Pemilahan data
dampak peristiwa bencana diperlukan untuk memungkinkan penilaian yang menyeluruh tentang akibat
sosial ekonomi. Maka diperlukan pemilahan data penduduk terdampak berdasarkan kategori sosial dan

14
Selama belum ada metodologi standar untuk menentukan ‘tapak bencana’, pendefinisian kawasan bencana dapat dilakukan
dengan menelusuri wilayah yang berdekatan di mana dampak langsung dapat diamati, serta melakukan identifikasi dengan standar
acuan wilayah administratif tingkat paling rendah (biasanya Admin 03) yang memiliki statistik dasar kependudukan sebagai latar
belakang.

35
demografis setidaknya berdasarkan ancaman, geografi, jenis kelamin, usia, kecacatan dan pendapatan.
Pemilahan semacam itu juga memperkuat pembuatan kebijakan berbasis bukti di semua tingkatan
termasuk perkiraan kecenderungan dampak kejadian bencana masa depan. Sebagai contoh, data terpilah
terkait umur dapat diatur menurut tiga kelompok: 0-15, 16-64 dan 65+, agar selaras dengan pelaporan
internasional. Tambahan lagi, pemilahan data dampak terhadap bayi (0-4 tahun) juga dapat dilakukan
dengan pertimbangan bahwa dalam keadaan darurat anak-anak usia ini bergantung pada orang tua atau
orang lain.

Dampak terhadap manusia


Berbagai bentuk data dampak peristiwa bencana terhadap manusia diperlukan untuk melaporkan jumlah
agregat dari “populasi yang terkena dampak”. Data ini memenuhi keperluan untuk menghasilkan statistik
terpilah tentang dampak terhadap manusia dalam rangka memahami kebutuhan tanggap darurat,
pemulihan pascabencana, dan untuk pengkajian risiko guna mencegah, mengurangi dan memitigasi risiko
bencana di masa depan. Data dampak terhadap manusia juga secara langsung memenuhi keperluan data
terkait indikator untuk pemantauan terhadap Kerangkakerja Sendai dan SDGs.
Dampak peristiwa bencana direkam dalam tabel-tabel dampak menurut wilayah geografis, jenis
ancaman, atau kategori demografis dan sosial. Beberapa data dan statistik melaporkan dampak peristiwa
bencana terhadap manusia maupun dampak material. Sumber data yang sama, misalnya tentang
kerusakan tempat tinggal, dapat digunakan untuk menghitung tempat tinggal yang rusak atau hancur,
kerugian ekonomi, dan perkiraan jumlah penduduk yang terdampak.
Data akhir tentang dampak terhadap manusia perlu disimpan dalam suatu kompilasi statistik yang
terpusat. Pada tahap tanggap darurat dapat menjadi bagian dari data Pos Komando Tanggap Darurat, dan
setelah itu pada saatnya juga dihimpun pada Portal Bencana. Selain itu, kompilasi data akhir harus
dipastikan untuk dapat dimasukkan ke dalam sistem catatan administrasi resmi yang lebih luas seperti
sistem pencatatan sipil dan statistik, dan menjadi sumber statistik resmi jangka panjang tentang kematian
dan kesehatan.

36
Kematian dan hilang
Kematian dan hilang adalah dampak peristiwa bencana yang perlu didefinisikan dan diklasifikasi dengan
jelas dan tegas sesuai dengan peraturan perundangan. Terkait kematian, perlu ditegaskan sebab-musabab,
dimana, dan kapan terjadinya setelah peristiwa bencana. Sementara untuk orang hilang, perlu ketegasan
tentang prosedur pelaporan serta kapan dan berapa lama orang-orang tersebut tidak ditemukan setelah
peristiwa bencana.
Secara umum definisi itu perlu mencakup:
1. kematian atau orang hilang yang terjadi langsung selama masa darurat, atau kematian yang
disebabkan oleh cedera atau penyakit yang diderita selama darurat, dan diyakini disebabkan oleh
peristiwa bencana, dan
2. kematian tidak terkait langsung dengan peristiwa bencana. Contohnya adalah kematian akibat
penyakit yang disebabkan oleh akibat dari peristiwa bencana, misalnya karena terhalangnya akses
untuk mendapatkan air dan sanitasi.
Angka kematian dan hilang biasanya dilaporkan pada tahap tertentu sebagai pernyataan resmi BNPB
melalui pers kepada publik. Seiring waktu setelah mengkaji sumber dan memverifikasi data yang
dikumpulkan, BNPB dapat melakukan perbaikan data kematian dan dampak lainnya terhadap manusia.

Cedera dan sakit.


Dampak lain peristiwa bencana terhadap manusia adalah cedera dan sakit. Cedera dapat dikenali sebagai
akibat langsung dari peristiwa bencana. Jenis dan ciri-ciri peristiwa dan kerentanan penduduk ikut
menentukan akibat macam apa yang kemungkinan menjadi dampak terhadap manusia.
Misalnya peristiwa gempa bumi menimbulkan banyak cedera patah tulang dan erupsi gunung api
menimbulkan cedera luka bakar. Data ini bisa didapatkan baik dari pengamatan langsung, laporan ke pos
komando, ataupun dari rekaman pos-pos medik dan Puskesmas.
Data tentang fenomena sakit agak lebih rumit cara pengumpulannya semata-mata karena biasanya
keadaan sakit timbul tidak seketika setelah peristiwa bencana, dan jenis serta keparahannya juga tidak
dapat secara langsung dihubungkan dengan peristiwa bencana yang bersangkutan. Misalnya Infeksi
Saluran Pernafasan Atas (ISPA) bisa timbul beberapa minggu setelah peristiwa gempa bumi atau
kebakaran hutan, disentri dan kolera bisa terjadi beberapa hari setelah kejadian banjir, bahkan sesudah
banjir itu sendiri sudah surut dan berlalu.

37
Pengungsian
Istilah pengungsian digunakan untuk semua jenis perpindahan penduduk sebagai akibat langsung dari
peristiwa bencana. Ini bisa saja terjadi mulai dari evakuasi, menempati tenda darurat, menempati hunian
sementara, untuk kemudian relokasi ke hunian tetap, atau resettlement ke wilayah yang sama sekali baru.
Evakuasi adalah pemindahan orang dan aset untuk sementara waktu ke tempat yang lebih aman
sebelum, selama atau setelah terjadinya peristiwa bencana untuk keperluan perlindungan. Evakuasi itu
sendiri dapat terjadi atas keputusan penduduk sendiri, atau secara terorganisasi atas perintah dan
“paksaan” pihak yang berwenang.
Data tentang evakuasi bermanfaat baik untuk menilai akibat peristiwa bencana terhadap penduduk,
maupun untuk mengkaji kedayagunaan program atau pendekatan pengurangan risiko bencana. Misalnya,
jumlah orang yang mengungsi dapat menjadi petunjuk tentang kedayagunaan sistem peringatan dini.
Pengungsian biasanya diakibatkan oleh kerusakan atau kehancuran rumah. Seperti juga evakuasi,
pengungsian dapat bersifat mandiri atau terorganisasi. Pemerintah dan para pelaku tanggap darurat dapat
menyediakan tenda penampungan atau hunian sementara. Kemudian sebagai bagian dari tahap rehabilitasi
dan rekonstruksi, kebanyakan pengungsi dapat dibantu memperbaiki atau membangun kembali rumah
mereka untuk kemudian dibantu untuk pulang kembali. Untuk sebagian kecil dari para pengungsi yang
wilayahnya menjadi tidak layak huni, dilakukan relokasi ke hunian tetap atau resettlement ke wilayah baru.
Maka statistik pengungsian dapat dibagi menjadi pengungsian sementara atau permanen.
Pergerakan penduduk terutama evakuasi dan pengungsian dapat ditangkap dari laporan program
tanggap darurat dan rehabilitasi/rekonstruksi, melalui catatan kependudukan dan catatan sipil, atau
sensus penduduk. Walaupun demikian, agak sulit untuk secara khusus mengaitkan evakuasi dan
pengungsian dengan peristiwa bencana masa lalu. Ini lebih sulit lagi dilakukan dalam kasus migrasi.
Dalam beberapa keadaan, ini dapat diatasi dengan menggunakan pertanyaan spesifik dalam survei khusus
atau sensus.

Matapencaharian
Akibat peristiwa bencana terhadap mata pencaharian adalah bagian dari indikator global dan didefinisikan
sebagai: “kemampuan, aset produktif (baik yang hidup maupun material) dan kegiatan yang diperlukan
untuk memenuhi sarana hidup, secara berkelanjutan, dan secara bermartabat.”

38
Kategori ini meliputi akibat terhadap lapangan kerja yang unit pengukurannya kurang lebih sama
dengan pengukuran gangguan pada layanan dasar, yaitu a) jumlah orang yang terkena mengalami dan b)
jumlah hari mereka tidak dapat bekerja. Data bisa didapatkan, misalnya, dari survei rumah tangga yang
dirancang khusus.
Perlu diingat bahwa berbeda dengan akibat lain terhadap kehidupan, akibat mata pencaharian
merupakan akibat tidak langsung yang berpotensi juga menimpa orang-orang di luar wilayah geografis
yang terdampak.

Dampak material
Dampak material langsung, atau kerusakan, merupakan ruang lingkup untuk menilai dampak ekonomi
langsung. Ini diukur berdasarkan pengamatan terhadap akibat langsung dari peristiwa bencana, yaitu
“kerusakan” pada stok fisik, entah sebagian atau total, yang relatif seketika setelah peristiwa. Biasanya
data ini dihasilkan dari pelaporan dari kegiatan tanggap darurat. Pada tahap awal ini, data biasanya
menggunakan ukuran fisik. Misalnya, terkait rumah dan hunian, jumlah unit atau bangunan, luas tapak
dalam meter kubik, dan kategori kerusakan atau kehancuran.
Pengamatan akibat dalam pengertian fisik pada tahap awal menjadi dasar dalam perkiraan skala
dampak dari sudut pandang ekonomi, baik dalam hal volume15 dan dalam nilai uang. Data kerusakan
material yang dihimpun dalam database nasional dengan mengikuti struktur yang ditentukan dan
mengikuti sistem pelaporan runtun waktu, dapat menjadi dasar pelaporan tentang dampak ekonomi.
Disamping aspek ekonomi, dampak material juga dapat dilaporkan dari sisi jumlah orang yang
terkena dan, jika memungkinkan, dipilah berdasarkan gender dan kategori pendapatan.
Dampak tidak langsung, berbentuk aliran atau flow “kerugian” ekonomi, yaitu “penurunan nilai
tambah ekonomi sebagai akibat dari kerusakan dan/atau akibat langsung bencana terhadap manusia dan
lingkungan.16”. Dampak tidak langsung mempengaruhi perorangan, bisnis, dan masyarakat kadang-
kadang berlanjut selama bertahun-tahun atau bahkan mungkin beberapa dekade setelah bencana.

15
  Lihat definisi pengukuran dari sisi volume pada Sistem Neraca Nasional 2008

39
Selain rumah dan hunian, unsur penting lain yang terkait dampak material langsung terhadap stok
fisik adalah infrastruktur krusial, yaitu “bangunan fisik, fasilitas, jaringan, dan aset lainnya yang menyediakan
layanan yang penting bagi fungsi sosial dan ekonomi suatu komunitas atau masyarakat.17”. Daftar
infrastruktur krusial perlu dibuat sebagai sub-kelompok klasifikasi dari objek dampak material langsung.
Selain itu perlu pula dimasukkan komponen lain dari lingkungan terbangun (built environment), dan
bangunan warisan budaya.
Dampak material juga meliputi kerusakan pada tanah dan sumber daya alam lainnya, terutama lahan
pertanian, kehancuran pepohonan, dan kerusakan pada kondisi ekosistem penting seperti hutan dan
tandon air. Tanah dan sumber daya alam adalah bagian dari keseluruhan cakupan aset ekonomi yang
dimasukkan sebagai aset pada Sistem Neraca Nasional (SNN). Aset lingkungan yang didefinisikan sebagai
“unsur-unsur yang hidup secara alami dan tidak hidup di Bumi, yang secara bersama-sama merupakan
lingkungan biofisik, yang dapat memberikan manfaat bagi umat manusia18”, adalah komponen yang
berpotensi penting untuk cakupan dasar statistik terkait bencana.

Dampak pertanian
Sektor pertanian di negara agraris seperti Indonesia merupakan pengguna lahan yang intensif dan
memegang peranan penting, dan oleh karenanya seringkali terpapar dampak peristiwa bencana yang
signifikan.
Seperti juga kerusakan fisik, akibat peristiwa bencana pada pertanian19 juga melibatkan kerusakan
(stok aset fisik yang mengalami kehancuran total atau sebagian), dan kerugian (perubahan flow ekonomi
yang timbul dikemudian hari).
Dampak bagi setiap sub-sektor pertanian di semua sub-sektor dibagi menjadi dua komponen utama:
• Kerusakan produksi: nilai input pertanian yang hancur (bibit, pupuk, dan pakan ternak) dan output
(produk yang disimpan) dan produksi pertanian yang hilang.

16
  UNISDR, 2017
17
  UNISDR, 2017
18
  Lihat Sistem Akuntansi Ekonomi-Lingkungan / System of Environmental-Economic Accounting (SEEA) 2012 - Central
Framework adalah suatu standar yang disepakati secara internasional untuk menghasilkan statistik terbandingkan tentang
lingkungan dan hubungannya dengan ekonomi, mengikuti struktur akuntansi yang sama seperti Sistem Neraca Nasional (SNN)

40
• Kerusakan aset: nilai fasilitas, mesin, peralatan, dan infrastruktur utama yang hancur yang dihitung
baik dalam artian satuan fisik maupun nilai harga moneter. Ini didapatkan berdasarkan biaya
perbaikan atau penggantian.
Pengkajian kerugian produksi dilakukan untuk semua tanaman primer20 baik yang musiman dan
tanaman menahun. Kerusakan (stock) tanaman musiman dinilai dari kerugian satu kali dan dapat
dipulihkan segera tanpa mempengaruhi panen berikutnya, sedangkan kerugian (flow) dari nilai pasar
yang diantisipasi (tetapi belum terlaksana) dari produk yang terkena dampak.
Kerusakan tanaman tahunan dihitung dari penggantian yang akan mengambil waktu panjang
melampaui musim yang akan datang, dan kerugiannya diukur dari penurunan hasil yang dianggap akan
terjadi.
Ternak, aset kehutanan hutan baik hutan budidaya maupun non-budidaya, dan akuakultur dimasukkan
sebagai bagian dari kerugian ekonomi langsung.
Penghitungan nilai keuangan untuk statistik dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Nilai pra-bencana dari tanaman menahun atau hewan yang terbunuh oleh bencana
b. Biaya penggantian aset yang rusak sepenuhnya/sebagian, dengan harga pascabencana;
c. Perbedaan antara nilai yang diharapkan dan aktual dari tanaman menahun dan hewan yang
selamat di tahun bencana; dan
d. Nilai penurunan yang dianggap akan terjadi dari pemulihan sepenuhnya tanaman dan/atau
penggantian ternak mati.
Dampak terhadap tanah itu sendiri, atau perbaikan lahan, pada prinsipnya juga harus dimasukkan.
Bangunan dan mesin pertanian yang rusak atau hancur dinilai berdasarkan biaya penggantian, seperti
yang umumnya dilakukan untuk pengukuran kerugian ekonomi langsung.

Kerugian ekonomi
Perkiraan tentang kerugian ekonomi, “nilai keuangan dari kehancuran total atau sebagian aset fisik yang
ada di daerah yang terkena dampak”, merupakan suatu data dan statistik yang krusial. RPJMN Teknokratik

19
  Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) berkolaborasi dengan UNISDR untuk mengembangkan
metodologi penilaian kerusakan dan kerugian pertanian yang terintegrasi kedalam struktur indikator untuk kerugian ekonomi
langsung.
20
  Tanaman primer adalah tanaman yang tumbuh langsung dari tanah tanpa harus melalui pemrosesan, kecuali pembersihan.

41
2020 - 2024, misalnya, mencanangkan rencana untuk menurunkan pengurangan PDB akibat “kerugian
ekonomi sebagai akibat langsung bencana” sampai 0.021% pada tahun 2024”. Indikator target C dalam
Kerangkakerja Sendai juga mempunyai indikator kerusakan ekonomi, yang juga merupakan target di
bawah SDGs - terkait pengurangan kemiskinan (Sasaran 1), kota berkelanjutan dan pemukiman manusia
(Sasaran 11), dan aksi perubahan iklim (Sasaran 13).
Seperti dijelaskan sebelumnya, akibat kerusakan material langsung lebih mudah diamati secara
eksplisit. Dampak dalam artian kerugian ekonomi lebih sulit untuk dikaitkan melalui hubungan sebab
akibat langsung dengan bencana. Oleh sebab itu, penghitungannya memerlukan estimasi atau data dari
berbagai sumber data lain.
Statistik kerugian ekonomi perlu dibangun dengan konsep pengukuran yang jelas dan diterapkan
secara konsisten. Hal ini penting demi menghindari kerancuan, pencampuran, dan penghitungan ganda
antara penilaian tentang stok dengan flow, diperlukan kejelasan konseptual dan operasional.
Beberapa jenis kerugian ekonomi secara implisit termasuk dalam neraca nasional dan statistik
ekonomi lainnya. Tetapi hal ini tidak serta merta dapat dipisahkan menjadi variabel dampak peristiwa
bencana semata-mata karena menurut kaidah akuntansi, beberapa nilai akan muncul sebagai kontribusi
positif untuk indikator utama seperti PDB dan pembiayaan21.
Pemulihan pascabencana menyebabkan kenaikan jangka pendek pada lapangan kerja, kegiatan
produksi, dan pendapatan. Hal ini kadang memberikan kesan seperti ketangguhan dan pertumbuhan
ekonomi, tetapi sejatinya fenomena ini tidak mempengaruhi penghitungan PDB secara langsung.
Aset didefinisikan dalam Sistem Neraca Nasional (SNN) sebagai nilai-nilai tersimpan

“mewakili manfaat atau serangkaian manfaat ekonomis yang diperoleh oleh pemilik dengan memiliki
atau menggunakan satuan yang bersangkutan selama periode waktu tertentu. Ini adalah cara
mentransfer nilai dari satu periode akuntansi ke periode akuntansi lainnya22“.

42
Dengan kata lain, aset memiliki nilai intrinsik yang diwakili oleh manfaat yang diharapkan bagi
pemilik, dan nilai ini dapat hilang atau terkurangi secara langsung oleh bencana.
Kerugian ekonomi langsung dilakukan berdasarkan biaya penggantian seperti rehabilitasi dan
rekonstruksi aset yang rusak atau hancur, yang mewakili aliran sumber daya keuangan yang diperlukan
untuk mengembalikan aset fisik kembali ke kondisi sebelum bencana. Pengukuran ini cukup praktis karena
(a) lebih mudah menginterpretasi nilai kerugian untuk kepentingan analisis, (b) sebagai bagian dari
kegiatan produktif ekonomi yang lebih luas maka pengukuran ini dapat dibandingkan langsung dengan
PDB, dan, (c) nilai hasil penghitungannya juga merupakan komponen neraca akuntansi pengeluaran
pengurangan risiko bencana, dan (d) nilai yang sama juga menjadi pengukuran pembiayaan untuk
pemulihan pascabencana pada Kerangkakerja Sendai dan SDGs.
Beberapa sumber utama untuk memperkirakan nilai biaya penggantian untuk aset yang rusak atau
hancur dapat digunakan secara saling melengkapi. Kementerian Pekerjaan Umum yang bertanggung
jawab untuk jenis infrastruktur terkait (jalan, bangunan, lahan pertanian, dll.) dapat melakukan penilaian
ini sebagai bagian dari tanggap darurat dan pemulihan dini. Penilaian itu dapat mencakup perkiraan biaya
penggantian berdasarkan statistik yang ada (pra-bencana) berdasarkan biaya rata-rata per unit menurut
jenis infrastruktur di wilayah yang terkena dampak.
Perkiraan berdasarkan biaya rata-rata selalu sering berpotensi untuk tidak akurat. Oleh karenanya
biaya rata-rata per unit atau proxy lainnya untuk memperkirakan biaya penggantian, perlu dikuantifikasi
dan dimasukkan ke dalam metadata.
Data kerusakan dan kerugian ekonomi dapat diperoleh dari laporan belanja pengeluaran dari lembaga
pemerintah, misalnya, Kementerian Perhubungan untuk jalan, Kementerian Pekerjaan Umum untuk
infrastruktur lain, survei sektor bisnis, atau laporan catatan klaim asuransi bencana23. Apabila data
tersebut dihimpun dengan baik, maka dapat digunakan untuk menghasilkan perkiraan pengeluaran
agregat untuk pemulihan pascabencana.

21
  Misalnya, rekonstruksi atau perbaikan aset setelah bencana adalah kegiatan yang produktif yang meningkatkan lapangan kerja
dan menghasilkan pendapatan sehingga pada jangka pendek dapat meningkatkan PDB
22
  SNA 2008, paragraf 3.30

43
Tujuan pengukuran dasar untuk indikator kerugian ekonomi langsung adalah untuk mengukur
pemulihan aset fisik. Tetapi tidak semua aset yang rusak atau hancur akan dipulihkan. Memang aset-aset
yang tadinya sudah ada sebelum peristiwa bencana dapat diganti, tetapi ada juga aset yang hanya dapat
dihapuskan, dan ada pula yang hanya dapat digantikan oleh aset yang sama sekali baru.
Penyusunan statistik dampak ekonomi dimaksudkan untuk membantu berbagai analisis ekonomi,
termasuk penilaian tidak langsung dampak kerugian ekonomi, dan memperhitungkan biaya untuk
pembangunan kembali pascabencana dan pengukuran yang lebih luas dari pengeluaran pengurangan
risiko bencana, termasuk biaya untuk membangun kembali dengan lebih baik.
Ongkos “membangun kembali dengan lebih baik”, merupakan ongkos baru, yang ditambahkan pada
ongkos pemulihan kerugian biasa, untuk membiayai upaya-upaya struktural yang dimaksud untuk
mengurangi risiko bencana masa depan. Aspek ini juga merupakan statistik yang berguna, dan menjadi
komponen penting dari keseluruhan data pembiayaan terkait pengurangan risiko bencana .

Kerugian ekonomi dan SNN


Pembuat kebijakan memerlukan gambaran tentang dampak tidak langsung dari suatu bencana terhadap
kegiatan ekonomi menurut sektor dan keseluruhan perekonomian. Pada kasus peristiwa bencana yang
besar, diperlukan analisis dengan menggunakan neraca nasional dan sumber statistik.
Kerugian ekonomi tidak langsung cenderung jauh lebih besar nilainya ketimbang kerusakan, Maka
pengukuran nilai kerusakan yang baik sangat penting karena data input ini menjadi modal dasar untuk
penilaian dan pemodelan dampak kerugian ekonomi tidak langsung nantinya.
Nilai dampak langsung terhadap aset, yang dinilai dalam hal kerugian terhadap nilai basis aset,
sudah secara eksplisit termasuk dalam SNN melalui rekaman khusus yang disebut kerugian katastropik24.
Perubahan dalam stok aset yang tidak memiliki efek langsung atau eksplisit pada bagian flow dalam
kerangka akuntansi, seperti produksi dan pendapatan, disajikan sebagai jenis perubahan khusus
(“perubahan volume lainnya”) pada aset fisik.

  Perlu dicatat bahwa tidak semua pengeluaran penggantian dapat diamati (atau bahkan terjadi), tidak semua aset telah
23

diasuransikan, dan proksi yang sesuai tidak selalu tersedia ( mis. Biaya rata-rata per unit untuk aset yang terkena dampak). Oleh
sebab itu, beberapa kombinasi antara penyusunan statistik ini dengan estimasi berdasarkan proksi menjadi suatu praktik yang
umumnya dilakukan untuk menyusun biaya penggantian.

44
Dampak ekonomi dan kemiskinan
Statistik dampak ekonomi merupakan unsur penting untuk memahami hubungan antara bencana dengan
pengurangan kemiskinan. Pemilahan kerugian ekonomi berdasarkan kategori penyintas diperlukan untuk
analisis terfokus tentang pengurangan risiko bencana. Ini dapat dicapai melalui pemilahan statistik
dampak bencana terhadap manusia berdasarkan pendapatan, khususnya rumah tangga yang terkena
dampak kerusakan tempat tinggal atau aset lainnya. Ini dapat digabungkan dengan pemetaan kerentanan
sebelum dan setelah bencana.
Setelah setiap peristiwa bencana, sejauh memungkinkan harus disusun statistik tentang bantuan
keuangan atau bantuan lainnya kepada rumah tangga pada wilayah geografis. Walaupun rumah tangga
miskin yang hancur karena dampak bencana melibatkan biaya penggantiannya sangat kecil dari perspektif
PDB, tetapi sangat besar dari perspektif rumah tangga yang bersangkutan, terutama karena umumnya
dampak itu tidak diasuransikan.
Dampak tidak langsung, misalnya, pengungsian, kehilangan pekerjaan atau berkurangnya pendapatan
bisa menjadi lebih buruk. Data dasar dan metadata mengenai dampak material dan orang-orang yang
terdampak perlu dikumpulkan dan disimpan untuk memungkinkan analisis terpilah yang berfokus pada
kemiskinan demi mencapai pemulihan dan pembangunan yang leaving no one behind.

Gangguan pada Pelayanan Dasar


Gangguan pada berfungsinya suatu komunitas atau masyarakat adalah salah satu elemen terpenting
dari kejadian bencana yang biasanya dihubungkan dengan dampak material. Statistik tentang gangguan
pelayanan ini dapat dihasilkan berdasarkan input data dasar yang juga digunakan dalam penilaian dampak

  Perubahan volume yang dicatat sebagai kerugian besar dalam perubahan lain pada volume akun aset adalah akibat dari
24

peristiwa berskala besar, terpisah, dan dapat dikenali, yang dapat menghancurkan sejumlah besar aset dalam kategori aset mana
pun. Peristiwa semacam itu umumnya mudah diidentifikasi. Misalnya gempa bumi besar, letusan gunung berapi, gelombang
pasang, badai yang sangat parah, kekeringan dan bencana alam lainnya; aksi perang, kerusuhan dan peristiwa politik lainnya;
dan kecelakaan teknologi seperti tumpahan kimia atau pelepasan partikel radioaktif ke udara. Termasuk dalam kerugian besar
adalah misalnya penurunan kualitas tanah yang disebabkan oleh banjir besar atau kerusakan akibat angin; kehancuran aset yang
diakibatkan oleh kekeringan atau wabah penyakit; kehancuran bangunan, peralatan atau barang berharga karena kebakaran hutan
atau gempa bumi.”[SNA 12.46]

45
material. Pengukuran gangguan terhadap layanan dasar dapat dilakukan melalui penghitungan jumlah
dari jenis infrastruktur krusial yang relevan yang mengakibatkan gangguan pelayanan dasar.
UNISDR mengembangkan daftar layanan dasar yang dapat terganggu oleh bencana untuk membantu
memandu penyusunan statistik untuk indikator-indikator sebagai berikut25:
• Layanan kesehatan (CPC 86: “Layanan kesehatan manusia”)
• Layanan Pendidikan (ISIC 85);
• Layanan Administrasi Publik (CPC 91 “Layanan administrasi pemerintah”);
• Layanan Transportasi (ISIC 49: “Transportasi darat dan transportasi melalui jaringan pipa”, ISIC 50
“Transportasi air”, ISIC 51: “Transportasi udara”);
• Layanan Listrik dan Energi (ISIC 35: “Pasokan listrik, gas, uap dan pendingin udara”);
• Layanan Air (ISIC 36: “Pengumpulan, pengolahan, dan suplai air”); dan
• Layanan TIK (CPC 4 “Telekomunikasi, penyiaran, dan layanan pasokan informasi”)
Apabila tersedia data tambahan tentang sifat gangguan pada layanan dasar, dapat juga dikembangkan
dimensi lain untuk memperkaya analisis, misalnya, dengan menghitung jumlah orang yang terkena
dampak dan lamanya waktu gangguan.

Statistik Pembiayaan Penanggulangan Bencana


Ada anggapan bahwa dampak bencana menyebabkan kerugian sosial dan ekonomi yang signifikan
terhadap negara dan dalam beberapa kasus, peningkatan kerusakan dan kerugian disebut melebihi
pengeluaran nasional dalam penanggulangan bencana. Sayangnya pernyataan semacam ini kurang
didukung oleh bukti, dan hampir belum ada data pembanding yang tersedia tentang pengeluaran nasional
untuk penanggulangan bencana.
Memang, ancaman dan peristiwa bencana adalah peristiwa yang terjadi secara acak dalam hal waktu
dan lokasi. Tetapi penyelenggaraan penanggulangan bencana sebagai serangkaian upaya yang meliputi
penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana,

25
  Klasifikasi Produk Pusat PBB / UN Central Product Classification# (CPC rev 2.1), dalam Bagian 9: “Layanan masyarakat,
sosial dan pribadi” dan dalam Klasifikasi Industri Standar Internasional untuk Semua Kegiatan Ekonomi ( ISIC Rev 4) Bagian O,
P, atau Q.

46
tanggap darurat, dan rehabilitasi26, adalah kegiatan pemerintahan yang diatur, direncanakan, dilaksanakan
dan dievaluasi; dan oleh karenanya dapat dihitung pembiayaannya.
Dengan dasar pemikiran seperti itu, statistik pembiayaan penanggulangan bencana sejatinya dapat
disusun secara berkelanjutan dan berkala, misalnya sebagai neraca tahunan. Dengan cara ini, maka
statistik pembiayaan penanggulangan bencana dapat menjadi domain statistik terintegrasi dan relatif
konvensional sebagai perluasan dari akun nasional yang ada.

Pengeluaran
Statistik pembiayaan penanggulangan bencana bertujuan untuk menghitung pengeluaran penanggulangan
bencana sebagai bagian dari pembelanjaan rutin tahunan. Dengan cara ini, pemerintah dapat melacak
kecenderungan pembiayaan dalam mengurangi risiko bencana. Penilaian terhadap kerusakan, kerugian dan
pembiayaan tanggapan dan pemulihan juga menjadi lebih terukur. Terlebih lagi, pembiayaan pemerintah
dan pelaku-pelaku lain setelah bencana juga digunakan untuk memperkirakan kerugian ekonomi langsung.
Statistik pembiayaan biasanya dikumpulkan pada skala nasional. Patut diperhatikan bahwa statistik
ini meliputi juga aspek transfer, termasuk transfer dari anggaran nasional, atau sumber internasional, ke
proyek-proyek dan pemerintah daerah. Penyusunan statistik tentang transfer ini sangat penting untuk
menemukan siapa saja penerima manfaatnya dan potensi kesenjangan atau peluang intervensi yang
ditujukan untuk mengurangi risiko.
Penyelenggaraan ini sebagian besar dibiayai dari pendanaan publik. Terutama kegiatan kesiapsiagaan,
tanggap darurat, dan pemulihan bencana biasanya merupakan transfer dari anggaran pemerintah ke
pemerintah daerah, dan / atau pada kasus tertentu transfer dari sumber internasional kepada anggaran
nasional dan atau daerah.
Pembiayaan penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam Sistem Neraca Nasional secara
implisit dicatat sebagai bagian dari klasifikasi transaksi agregat nasional yang lebih luas. Maka masih sulit
untuk dilacak dengan tepat kecuali dengan melacaknya melalui neraca pembayaran dan statistik akun
nasional seperti jenis transfer dan kegiatan lainnya (produksi, investasi, pekerjaan) dalam perekonomian.

26
  Undang Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

47
Transfer
Ada dua pendekatan saling melengkapi yang dapat diterapkan untuk menghasilkan statistik pembiayaan
penanggulangan bencana khususnya dalam hal kuantifikasi nilai keuangan, transfer dan pengeluaran
penanggulangan bencana.
Pertama, membuat analisis transfer yang terfokus dari lembaga terkait dan menganalisis transfer
dan pengeluaran untuk wilayah geografis dan periode waktu tertentu dimana pemulihan bencana berskala
besar sedang berlangsung. Data keuangan dan statistik pemerintah bisa didapatkan dari catatan
administrasi, hasil survei, atau sensus bisnis dan kegiatan rumah tangga. Konteks pemulihan bencana
skala besar juga memungkinkan analisis yang dapat menunjukkan perubahan trend yang bersifat spesifik
dan sementara. Ini dapat menjadi dasar perkiraan pengeluaran untuk kegiatan penanggulangan bencana
pada pemulihan di wilayah yang bersangkutan. Selain itu, dapat pula dibangun mekanisme koordinasi dan
berbagipakai data di antara lembaga pemerintah untuk mendapatkan pengukuran proxy yang berguna
untuk melacak kegiatan yang mempunyai karakteristik pengurangan risiko bencana atau Disaster Risk
Reduction Characteristic Activities (DRRCA).
Pendekatan kedua adalah dengan mengembangkan serangkaian neraca dan indikator fungsional
yang melacak semua jenis transfer dan pengeluaran yang mempunyai tujuan khusus untuk penanggulangan
bencana. Para pakar statistik dapat mengembangkan klasifikasi fungsional tertentu untuk menentukan
domain yang dianggap penting yang bersifat lintas sektor ekonomi misalnya, kesehatan, pariwisata,
pendidikan, lingkungan, dsb. Neraca semacam ini sering dirancang sebagai “neraca satelit” (satellite
account) yang khusus digunakan untuk mengekstrak data dari Sistem Neraca Nasional (SNN). Neraca
satelit itu memiliki struktur dan aturan akuntansi yang sama dengan SNN inti, tetapi dengan ruang lingkup
yang dirancang khusus untuk memantau kegiatan terkait penanggulangan bencana.
Klasifikasi kegiatan penanggulangan bencana dapat mempunyai lingkup sebagai berikut:
a. Pencegahan Risiko Bencana;
b. Pengurangan Risiko Bencana;
c. Tanggap Darurat;
d. Pemulihan Bencana; dan
e. Pemerintahan Umum, Penelitian & Pengembangan, Pengeluaran Pendidikan
Adapun transfer yang mempunyai karakteristik penanggulangan bencana meliputi:

48
a. Transfer internal antara layanan pemerintah;
b. Transfer risiko, premi asuransi dan ganti rugi;
c. Transfer internasional terkait bencana; dan
d. Transfer lainnya
Output khas dari akun pengeluaran atau transfer kegiatan penanggulangan bencana berdasarkan
kerangka dasar SNA mencakup:
a. Total pengeluaran nasional dengan tujuan penanggulangan bencana;
b. Pengeluaran penanggulangan bencana berdasarkan sumber pembiayaan, misalnya, pemerintah
pusat, pemerintah daerah, sektor swasta ;
c. Pengeluaran dan transfer penanggulangan bencana oleh penerima manfaat;
d. Pengeluaran penanggulangan bencana menurut jenis kegiatan, mis. Kesiapsiagaan bencana,
pemulihan dan rekonstruksi, sistem peringatan dini;
e. Nilai transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah; dan
f. Nilai transfer dari donor internasional, yaitu bantuan pembangunan (ODA) terkait penanggulangan
bencana.

Bantuan Internasional
Bantuan pembangunan luar negeri (ODA) adalah aliran dana yang seperti berikut a) disediakan oleh
lembaga resmi atau oleh lembaga pelaksana mereka; dan b) setiap transaksi yang tujuan utamanya
mendorongkan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan negara-negara berkembang dan bersifat lunak
dan menyampaikan 25% unsur hibah setidaknya 25 persen. Diperkirakan sekitar 80 persen dari arus
bantuan kemanusiaan internasional adalah berkaitan dengan konflik, atau jenis situasi bencana kompleks
lainnya yang melibatkan krisis pengungsi atau konflik kekerasan.
Bantuan kemanusiaan adalah bagian dari ODA yang terkait dengan tiga sektor: Pencegahan dan
Kesiapsiagaan Bencana; Tanggap Darurat; dan Bantuan dan Rehabilitasi Rekonstruksi.
Pada saat-saat tertentu, seperti segera setelah bencana berskala besar, dan kadang-kadang keadaan
darurat yang menimbulkan peningkatan pembelanjaan penanggulangan bencana dan transfer internasional,
yang dapat dilacak melalui kompilasi reguler dari statistik penanggulangan bencana dan kemudian
dikaitkan dengan bencana spesifik untuk keperluan analisis.

49
50
Lampiran-Lampiran

Lampiran-1: Komitmen Global Penanggulangan Bencana

Kerangkakerja sendai
Kerangkakerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana dihasilkan pada Konferensi Dunia PBB Ketiga
di Sendai, Jepang, pada bulan Maret 2015. Kerangkakerja Sendai diikuti dengan proses antar pemerintah
untuk mencapai kesepakatan tentang terminologi dan indikator yang bertujuan membantu keruntutan
antara proses kompilasi statistik resmi tingkat nasional dengan keperluan penyusunan indikator global.
Kerangkakerja Sendai memuat hasil yang disasar pada tahun 2030, yaitu pengurangan secara
signifikan risiko dan kerugian bencana terhadap kehidupan, mata pencaharian dan kesehatan dan terhadap
aset ekonomi, fisik, sosial, budaya, lingkungan oleh orang perorangan, bisnis, komunitas dan negara.
Kerangkakerja Sendai adalah suatu perjanjian 15 tahun yang bersifat sukarela, tidak mengikat, yang
mengakui bahwa Negara memiliki peran utama untuk mengurangi risiko bencana, dan berbagi tanggung
jawab tersebut dengan pemangku kepentingan lain termasuk pemerintah daerah, sektor swasta dan
pemangku kepentingan lainnya.
Kerangkakerja ini berlaku untuk risiko bencana dengan skala kecil dan besar, sering dan jarang terjadi,
yang datang secara tiba-tiba maupun yang berangsur-angsur, yang disebabkan oleh alam atau bahaya
yang ditimbulkan oleh manusia serta risiko yang berhubungan dengan lingkungan, teknologi dan biologi.
Kerangkakerja Sendai ini dimaksud untuk menjadi panduan pengelolaan risiko bencana yang bersifat
multi-hazard terkait pembangunan pada semua tingkatan dan lintas sektoral.

Hasil akhir yang diharapkan dari Pengurangan Risiko Bencana sampai dengan 2030 adalah sebagai
berikut:
Secara substansial menurunkan risiko bencana dan kerugian hidup, kehidupan dan kesehatan dalam
hal ekonomi, fisik, sosial, budaya dan aset lingkungan individu, bisnis, komunitas dan negara.
Untuk itu ditetapkan tujuan umum sebagai berikut:

51
Mencegah kemunculan yang baru dan mengurangi risiko bencana yang ada saat ini melalui langkah-
langkah terpadu dan inklusif dalam bidang ekonomi, struktural, hukum, sosial, kesehatan, budaya,
pendidikan, lingkungan, teknologi, politik dan kelembagaan secara terukur yang mencegah dan mengurangi
paparan hazard dan kerentanan terhadap bencana, meningkatkan kesiapsiagaan dalam respon dan
pemulihan, serta menguatkan ketangguhan.
Untuk mendukung penilaian kemajuan global dalam mencapai hasil yang diharapkan dan tujuan dari
kerangka ini, tujuh target global telah disepakati. Target ini akan diukur di tingkat global dan akan dilengkapi
melalui kerja untuk mengembangkan indikator yang tepat.
Target dan indikator nasional akan berkontribusi untuk mencapai hasil yang diharapkan dan tujuan
dari kerangka kerja ini.
Ketujuh target global beserta indikatornya tersebut adalah sebagai berikut :

Target global A: Secara substansial mengurangi kematian akibat bencana global pada tahun 2030, dengan
tujuan menurunkan rata-rata per 100.000 kematian global antara 2020-2030 dibandingkan dengan 2005-
2015.
A-1 (gab.) Jumlah kematian dan orang hilang terkait bencana, per 100.000 penduduk.
A-2 Jumlah kematian yang disebabkan oleh bencana, per 100.000 penduduk.
A-3 Jumlah orang hilang yang disebabkan oleh bencana, per 100.000 penduduk.
Ruang lingkup bencana dalam target ini dan selanjutnya didefinisikan dalam paragraf 15 dari
Kerangka Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana 2015-2030 dan berlaku untuk skala kecil dan
skala besar, sering dan jarang, bencana tiba-tiba dan lambat yang disebabkan oleh bencana alam
atau bahaya buatan manusia, serta bahaya dan risiko lingkungan, teknologi, dan biologi terkait.

52
Target global B: Secara substansial mengurangi jumlah orang yang terkena dampak secara global pada tahun
2030, yang bertujuan untuk menurunkan angka rata-rata global per 100.000 antara 2020-2030 dibandingkan
dengan 2005-2015.
B-1 (gab.) Jumlah orang yang terkena dampak langsung akibat bencana, per 100.000 penduduk.
B-2 Jumlah orang yang terluka atau sakit yang disebabkan oleh bencana, per
100.000 penduduk
B-3 Jumlah orang yang tempat tinggalnya rusak disebabkan oleh bencana.
B-4 Jumlah orang yang tempat tinggalnya hancur disebabkan oleh bencana.
B-5 Jumlah orang yang mata pencahariannya terganggu atau hancur, terkait dengan bencana.

Target global C: Mengurangi kerugian ekonomi akibat bencana langsung terkait dengan produk domestik
bruto global (PDB) pada tahun 2030.
C-1 (gab.) Kerugian ekonomi langsung yang diakibatkan oleh bencana terkait dengan produk domestik
bruto global.
C-2 Kerugian pertanian langsung yang disebabkan oleh bencana.
Pertanian dipahami mencakup sektor tanaman, ternak, perikanan, pemeliharaan lebah, akuakultur
dan hutan serta sarana dan prasarana terkait.
C-3 Kerugian ekonomi langsung ke semua aset produktif lainnya yang rusak atau hancur yang
disebabkan oleh bencana.
Aset produktif akan dipilah berdasarkan sektor ekonomi, termasuk jasa, sesuai dengan klasifikasi
internasional standar. Negara-negara akan melaporkan terhadap sektor-sektor ekonomi yang
relevan dengan ekonomi mereka. Ini akan dijelaskan dalam metadata terkait.
C-4 Kerugian ekonomi langsung di sektor perumahan yang disebabkan oleh bencana.
Data akan dipilah menurut tempat tinggal yang rusak dan hancur.

53
C-5 Kerugian ekonomi langsung akibat rusak atau hancurnya infrastruktur kritis yang terkait
dengan bencana.
Keputusan mengenai elemen-elemen infrastruktur kritis yang akan dimasukkan dalam perhitungan
akan diserahkan kepada Negara-negara Anggota dan dijelaskan dalam metadata yang menyertainya.
Infrastruktur pelindung dan infrastruktur hijau harus dimasukkan jika relevan.
C-6 Kerugian ekonomi langsung akibat warisan budaya yang rusak atau hancur yang disebabkan
oleh bencana.

Target global D: Secara signifikan mengurangi kerusakan akibat bencana pada infrastruktur kritis dan
gangguan layanan dasar, di antaranya fasilitas kesehatan dan pendidikan, termasuk melalui pengembangan
ketahanan mereka pada tahun 2030.
D-1 (gab.) Kerusakan infrastruktur kritis yang terkait dengan bencana.
D-2 Jumlah fasilitas kesehatan yang hancur atau rusak yang disebabkan oleh bencana.
D-3 Jumlah fasilitas pendidikan yang hancur atau rusak yang disebabkan oleh bencana.
D-4 Jumlah unit dan fasilitas infrastruktur kritis yang hancur atau rusak lainnya yang terkait dengan
bencana.
Keputusan mengenai elemen-elemen infrastruktur kritis yang akan dimasukkan dalam perhitungan
akan diserahkan kepada Negara-negara Anggota dan dijelaskan dalam metadata yang menyertainya.
Infrastruktur pelindung dan infrastruktur hijau harus dimasukkan jika relevan.
D-5 (gab.) Jumlah gangguan pada layanan dasar yang terkait dengan bencana.
D-6 Jumlah gangguan pada layanan pendidikan yang terkait dengan bencana.
D-7 Jumlah gangguan pada layanan kesehatan yang terkait dengan bencana.
D-8 Jumlah gangguan ke layanan dasar lainnya yang terkait dengan bencana.
Keputusan mengenai elemen-elemen layanan dasar yang akan dimasukkan dalam perhitungan akan
diserahkan kepada Negara-negara Anggota dan dijelaskan dalam metadata yang menyertainya.

54
Target global E: Secara substansial meningkatkan jumlah negara dengan strategi pengurangan risiko bencana
nasional dan lokal pada tahun 2020.
E-1 Jumlah negara yang menerima dan menerapkan strategi pengurangan risiko bencana nasional
sesuai dengan Kerangka Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana 2015-2030.
E-2 Persentase pemerintah daerah yang menerima dan menerapkan strategi pengurangan risiko
bencana lokal sesuai dengan strategi nasional.
Informasi harus diberikan pada tingkat pemerintahan yang sesuai di bawah tingkat nasional dengan
tanggung jawab untuk pengurangan risiko bencana.

Target global F: Secara substansial meningkatkan kerja sama internasional ke negara-negara berkembang
melalui dukungan yang memadai dan berkelanjutan untuk melengkapi tindakan nasional mereka untuk
implementasi kerangka kerja ini pada tahun 2030.
F-1 Total dukungan internasional resmi (bantuan pembangunan resmi (ODA) plus arus resmi
lainnya), untuk tindakan pengurangan risiko bencana nasional.
Pelaporan ketentuan atau penerimaan kerja sama internasional untuk pengurangan risiko bencana
harus dilakukan sesuai dengan modalitas yang diterapkan di masing-masing negara. Negara-negara
penerima didorong untuk memberikan informasi tentang perkiraan jumlah pengeluaran pengurangan
risiko bencana nasional.
F-2 Total dukungan internasional resmi (ODA plus aliran resmi lainnya) untuk tindakan pengurangan
risiko bencana nasional yang disediakan oleh lembaga multilateral.
F-3 Total dukungan internasional resmi (ODA plus arus resmi lainnya) untuk tindakan pengurangan
risiko bencana nasional diberikan secara bilateral.
F-4 Total dukungan internasional resmi (ODA plus arus resmi lainnya) untuk transfer dan pertukaran
teknologi terkait pengurangan risiko bencana.
F-5 Jumlah program dan inisiatif internasional, regional dan bilateral untuk transfer dan pertukaran
ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi dalam pengurangan risiko bencana untuk negara-
negara berkembang.

55
F-6 Total dukungan internasional resmi (ODA plus arus resmi lainnya) untuk pembangunan
kapasitas pengurangan risiko bencana.
F-7 Jumlah program dan inisiatif internasional, regional dan bilateral untuk pengembangan kapasitas
terkait pengurangan risiko bencana di negara- negara berkembang.
F-8 Jumlah negara berkembang yang didukung oleh inisiatif internasional, regional dan bilateral
untuk memperkuat kapasitas statistik terkait pengurangan risiko bencana mereka.

Target global G: Secara substansial meningkatkan ketersediaan dan akses ke sistem peringatan dini multi-
bahaya dan informasi serta penilaian risiko bencana kepada masyarakat pada tahun 2030.
G-1 Jumlah negara yang memiliki sistem peringatan dini multi-bahaya.
(gab. G2-G5)
G-2 Jumlah negara yang memiliki sistem pemantauan dan peramalan multi- bahaya.
G-3 Jumlah orang per 100.000 yang dicakup oleh informasi peringatan dini melalui pemerintah
daerah atau melalui mekanisme penyebaran nasional.
G-4 Persentase pemerintah daerah yang memiliki rencana untuk bertindak berdasarkan peringatan
dini.
G-5 Jumlah negara yang memiliki informasi dan penilaian risiko bencana yang dapat diakses,
dimengerti, dapat digunakan, dan relevan tersedia bagi orang-orang di tingkat nasional dan
lokal.
G-6 Persentase penduduk yang terpapar atau berisiko terhadap bencana yang dilindungi melalui
evakuasi pre-emptive setelah peringatan dini.
Negara-negara Anggota yang berada dalam posisi untuk melakukannya dianjurkan untuk memberikan
informasi tentang jumlah orang yang dievakuasi.

56
Dalam upaya mencapai hasil dan tujuan yang diharapkan, maka ditetapkan tindakan prioritas
sebagai berikut:
1. Memahami risiko bencana;
Kebijakan dan penyelenggaraan penatakelolaan risiko bencana harus didasarkan pada pemahaman
tentang risiko bencana pada semua dimensi kerentanan, kapasitas, orang dan aset yang terpapar,
karakteristik bahaya dan lingkungan. Pengetahuan tersebut dapat dimanfaatkan untuk tujuan
penilaian risiko sebelum bencana, untuk pencegahan dan mitigasi serta untuk pengembangan dan
pelaksanaan kesiapsiagaan yang memadai dan respon yang efektif terhadap bencana.
2. Memperkuat penatakelolaan untuk mengendalikan risiko bencana;
Tata kelola risiko bencana di tingkat nasional, regional dan global sangat penting untuk pengendalian
yang efektif dan efisien terkait risiko bencana. Visi yang jelas, rencana, kompetensi, panduan dan
koordinasi yang lintas sektoral serta partisipasi dari stakeholder terkait diperlukan. Penguatan tata
kelola risiko bencana untuk pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, respon, pemulihan dan rehabilitasi
diperlukan untuk mendorong mekanisme kolaborasi dan kemitraan di seluruh lembaga dan untuk
penggunaan instrumen yang relevan dengan pengurangan risiko bencana dan pembangunan yang
berkelanjutan.
3. Investasi dalam pengurangan risiko bencana demi ketangguhan;
Investasi publik dan swasta dalam pencegahan dan pengurangan risiko bencana melalui langkah-
langkah struktural dan non-struktural yang penting untuk meningkatkan ketangguhan perekonomian,
sosial, kesehatan dan budaya dari individu, komunitas, negara dan aset-aset mereka, seperti halnya
juga lingkungan. Hal ini untuk mendorong inovasi, pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja.
Langkah- langkah tersebut melalui pembiayaan yang efektif dan berperan untuk menyelamatkan
nyawa, mencegah dan mengurangi kerugian serta memastikan pemulihan dan rehabilitasi yang
efektif.
4. Meningkatkan kesiapsiagaan bencana untuk respon yang efektif, dan untuk “membangun kembali dengan
lebih baik” dalam pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi.
Pertumbuhan risiko bencana yang stabil, termasuk meningkatnya orang dan aset yang terpapar,
dikombinasikan dengan pembelajaran bencana di masa lalu, menunjukkan kebutuhan untuk lebih

57
memperkuat kesiapsiagaan bencana dan respon, dengan mengambil tindakan untuk mengantisipasi
kejadian, mengintegrasikan pengurangan risiko bencana dalam kesiapan serta memastikan
kapasitas respon dan pemulihan yang efektif di semua tingkatan. Memberdayakan perempuan dan
penyandang cacat bagi kepemimpinan publik dan mendorong keadilan gender dan akses terhadap
respon yang berlaku umum, pendekatan rehabilitasi pemulihan dan rekonstruksi adalah kunci.
Bencana telah menunjukkan bahwa tahap pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi perlu disiapkan
menjelang bencana, hal ini merupakan peluang penting untuk membangun kembali dengan lebih
baik, termasuk dengan mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam langkah-langkah
pembangunan, membuat bangsa dan masyarakat yang tangguh terhadap bencana.

Tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs)


Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan menetapkan 17 Sasaran dan 169 target untuk pengentasan
kemiskinan dan pencapaian pembangunan berkelanjutan. Pada bulan Maret 2016, Sesi ke-47 Komisi
Statistik Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNSC) menyetujui Kerangka Indikator Global, yang menetapkan
230 indikator untuk mengukur kemajuan menuju Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Dalam SDG, ada
11 target terkait bencana, tersebar diantara 17 tujuan, dan dicakup oleh 5 indikator, termasuk dibawah
Tujuan-1: “Mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuknya di mana-mana”, Tujuan-11 “Membuat Kota dan
Pemukiman Manusia, Inklusif , Aman, Tangguh, dan Berkelanjutan ”dan Tujuan-13“ Mengambil Tindakan
Mendesak untuk Memerangi Perubahan Iklim dan Dampaknya ”Kelompok Pakar Antar Lembaga (IAEG)
tentang indikator SDG, memutuskan bahwa definisi dari indikator-indikator ini akan diselaraskan dengan
indikator yang diadopsi untuk pemantauan internasional terhadap Kerangkakerja Sendai.
Pengurangan risiko bencana melintasi berbagai tujuan yang tercantum dalam Sustainable
Development Goals (SDGs).

Tujuan 1. Mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuknya di mana-mana


Sasaran 1.5 Pada tahun 2030, membangun ketangguhan kaum miskin dan mereka yang berada dalam
situasi rentan dan mengurangi keterpaparan dan kerentanan mereka terhadap peristiwa ekstrem terkait
iklim dan bencana lainnya seperti ekonomi, sosial dan lingkungan.
Tujuan 2. Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik, dan mendorongkan
pertanian berkelanjutan

58
Sasaran 2.4 Pada tahun 2030, memastikan sistem produksi pangan yang berkelanjutan dan menerapkan
praktik pertanian tangguh yang meningkatkan produktivitas dan produksi, membantu menjaga ekosistem,
memperkuat kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim, cuaca ekstrem, kekeringan, banjir
dan bencana lainnya; serta yang dapat secara progresif meningkatkan kualitas lahan dan tanah.

Tujuan 3. Memastikan kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan untuk semua usia Sasaran
3.d Memperkuat kemampuan semua negara, khususnya negara-negara berkembang, untuk peringatan
dini, pengurangan risiko dan pengelolaan risiko kesehatan pada tataran nasional dan global.

Tujuan 4. Memastikan kualitas pendidikan yang inklusif dan adil dan mendorong kesempatan belajar
seumur hidup untuk semua
Sasaran 4.7: Pada tahun 2030, memastikan bahwa semua peserta didik memperoleh pengetahuan dan
keterampilan yang dibutuhkan untuk mendorong pembangunan berkelanjutan termasuk, antara lain,
melalui pendidikan untuk pembangunan dan gaya hidup berkelanjutan, hak asasi manusia, kesetaraan
gender, budaya perdamaian dan non-kekerasan, kewarganegaraan global dan penghargaan terhadap
keanekaragaman budaya dan sumbangan budaya untuk pembangunan berkelanjutan.
Sasaran 4.a Membangun dan meningkatkan fasilitas pendidikan yang bersifat ramah anak, disabilitas
dan gender serta menyediakan lingkungan belajar yang aman, tanpa kekerasan, inklusif dan efektif untuk
semua.

Tujuan 6. Memastikan ketersediaan dan pengelolaan air dan sanitasi yang berkelanjutan untuk semua
Sasaran 6.6: Pada tahun 2020, melindungi dan memulihkan ekosistem terkait air, termasuk gunung,
hutan, lahan basah, sungai, akuifer dan danau.

Tujuan 9. Membangun infrastruktur yang tangguh, mendorongkan industrialisasi yang inklusif dan
berkelanjutan dan mendorong inovasi
Sasaran 9.1 Mengembangkan infrastruktur yang berkualitas, handal, berkelanjutan, dan tangguh, termasuk
infrastruktur regional dan lintas batas, untuk mendukung pembangunan ekonomi dan kesejahteraan
manusia, dengan fokus pada akses yang terjangkau dan adil bagi semua.
Sasaran 9.a: Memfasilitasi pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan dan tangguh di negara- negara
berkembang melalui peningkatan dukungan keuangan, teknologi dan teknis untuk negara- negara Afrika,

59
negara-negara terbelakang, negara-negara berkembang, negara-negara terkurung daratan, dan negara-
negara berkembang kepulauan.

Tujuan 11. Menjadikan kota dan permukiman manusia inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan Sasaran
11.1: Pada tahun 2030, memastikan akses semua terhadap layanan dasar yang memadai, aman dan
terjangkau serta memperbaiki permukiman kumuh.
Sasaran 11.3: Pada tahun 2030, meningkatkan urbanisasi yang inklusif dan berkelanjutan serta kemampuan
perencanaan dan pengelolaan pemukiman manusia yang partisipatif, terintegrasi dan berkelanjutan di
semua negara.
Sasaran 11.4: Memperkuat upaya untuk melindungi dan menjaga warisan budaya dan alam dunia Sasaran
11.5 Pada tahun 2030, secara signifikan mengurangi jumlah kematian dan jumlah orang yang terkena
dampak bencana termasuk yang terkait dengan air, dan secara substansial mengurangi kerugian ekonomi
langsung relatif terhadap produk domestik bruto global, dengan fokus pada pelindungan terhadap orang
miskin dan orang-orang yang dalam situasi rentan.
Sasaran 11.b Pada tahun 2020, secara substansial meningkatkan jumlah kota dan permukiman yang
mengambil dan menerapkan kebijakan dan rencana terpadu menuju inklusi, efisiensi sumber daya,
mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, ketangguhan terhadap bencana, dan mengembangkan
dan mengimplementasikan penanggulangan risiko bencana holistik di semua tingkatan sesuai dengan
Kerangka Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana 2015-2030.
Sasaran 11.c: Mendukung negara-negara yang paling kurang berkembang, termasuk melalui bantuan
keuangan dan teknis, dalam membangun bangunan yang berkelanjutan dan tangguh dengan menggunakan
bahan-bahan local.

Tujuan 13. Mengambil tindakan segera dan luar biasa untuk memerangi perubahan iklim
Sasaran 13.1 Memperkuat kemampuan ketangguhan dan adaptif terhadap bahaya terkait iklim dan bahaya
alam di semua negara.
Sasaran 13.2 Mengintegrasikan tindakan perubahan iklim ke dalam kebijakan, strategi, dan perencanaan
nasional.
Sasaran 13.3 Meningkatkan pendidikan, peningkatan kesadaran dan kemampuan manusia dan
kelembagaan dalam mitigasi perubahan iklim, adaptasi, pengurangan dampak, dan peringatan dini

60
Sasaran 13.a Melaksanakan komitmen yang dibuat oleh pihak-pihak negara maju pada Konvensi Kerangka
Kerja PBB tentang Perubahan Iklim yang menetapkan sasaran memobilisasi $ 100 miliar per tahun pada
tahun 2020, dari semua sumber, untuk memenuhi kebutuhan negara-negara berkembang dalam konteks
tindakan mitigasi yang berarti dan implementasi yang transparan dan sepenuhnya dan sesegera mungkin
mengkapitalisasi dan mengoperasikan Climate Green Fund.
Sasaran 13.b Mendorong mekanisme untuk meningkatkan kemampuan perencanaan dan pengelolaan
terkait perubahan iklim yang efektif di negara-negara yang paling tidak berkembang, termasuk berfokus
pada perempuan, pemuda dan masyarakat lokal dan masyarakat terpinggirkan.

Tujuan 14. Melestarikan dan menggunakan samudera, lautan, dan sumberdaya kelautan secara
berkelanjutan untuk pembangunan berkelanjutan
14.2 Pada tahun 2020, mengelola dan melindungi ekosistem laut dan pesisir secara berkelanjutan untuk
menghindari dampak merugikan yang signifikan, termasuk dengan meningkatkan ketangguhannya , dan
mengambil tindakan untuk pemulihannya untuk mencapai lautan yang sehat dan produktif.

Tujuan 15. Melindungi, memulihkan, dan mendorongkan penggunaan ekosistem terestrial yang
berkelanjutan, mengelola hutan secara berkelanjutan, memerangi penggurunan, dan menghentikan serta
membalikkan degradasi lahan dan menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati
Sasaran 15.1 Pada tahun 2020, memastikan konservasi, restorasi dan penggunaan berkelanjutan ekosistem
air tawar darat dan darat dan layanannya, khususnya hutan, lahan basah, pegunungan dan lahan kering,
sejalan dengan kewajiban berdasarkan perjanjian internasional.
Sasaran 15.2 Pada tahun 2020, promosikan penerapan manajemen berkelanjutan dari semua jenis hutan,
menghentikan deforestasi, memulihkan hutan yang terdegradasi dan secara substansial meningkatkan
penghutanan kembali dan penghijauan secara global.
Sasaran 15.3 Pada tahun 2030, memerangi penggurunan, memulihkan tanah dan tanah yang terdegradasi,
termasuk lahan yang terkena dampak penggurunan, kekeringan dan banjir, dan berusaha untuk mencapai
dunia netral-degradasi lahan.
Sasaran 15.4 Pada tahun 2030, memastikan konservasi ekosistem gunung, termasuk keanekaragaman
hayati mereka, dalam rangka meningkatkan kapasitas mereka untuk memberikan manfaat yang penting
bagi pembangunan berkelanjutan.

61
Sasaran 15.9 Pada tahun 2020, mengintegrasikan nilai-nilai ekosistem dan keanekaragaman hayati ke
dalam perencanaan nasional dan lokal, proses pembangunan, strategi dan perhitungan pengentasan
kemiskinan.

Lampiran - 3: Keterkaitan Indikator SDGs dan Kerangkakerja Sendai

Indikator SDG Indikator Sendai


Tujuan 1. Mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuknya di mana-mana
1.5.1 Jumlah kematian, orang hilang dan orang-orang yang terkena dampak A1 dan B1
langsung akibat bencana per 100.000 penduduk
1.5.2 Kerugian ekonomi langsung yang diakibatkan oleh bencana terkait dengan C1
produk domestik bruto global (PDB)
1.5.3 Jumlah negara yang mengadopsi dan menerapkan strategi pengurangan E1
risiko bencana nasional sesuai dengan Kerangka Sendai untuk Pengurangan
Risiko Bencana 2015-2030
1.5.4 Proporsi pemerintah daerah yang mengadopsi dan menerapkan strategi E2
pengurangan risiko bencana lokal sejalan dengan strategi pengurangan
risiko bencana nasional
Sasaran 11. Menjadikan kota dan permukiman manusia inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan
11.5.1 Jumlah kematian, orang hilang dan orang-orang yang terkena dampak A1 dan B1
langsung akibat bencana per 100.000 penduduk
11.5.2 Kerugian ekonomi langsung dalam kaitannya dengan PDB global, kerusakan C1, D1, D5
infrastruktur kritis dan sejumlah gangguan pada layanan dasar, yang
dikaitkan dengan bencana
11.b.1 Jumlah negara yang mengadopsi dan menerapkan strategi pengurangan E1
risiko bencana nasional sesuai dengan Kerangka Sendai untuk Pengurangan
Risiko Bencana 2015-2030

62
11.b.2 Proporsi pemerintah daerah yang mengadopsi dan menerapkan strategi E2
pengurangan risiko bencana lokal sejalan dengan strategi pengurangan
risiko bencana nasional
Sasaran 13. Mengambil tindakan segera untuk memerangi perubahan iklim dan dampaknya
13.1.1 Jumlah kematian, orang hilang dan orang-orang yang terkena dampak A1 dan B1
langsung akibat bencana per 100.000 penduduk
13.1.2 Jumlah negara yang mengadopsi dan menerapkan strategi pengurangan E1
risiko bencana nasional sesuai dengan Kerangka Sendai untuk Pengurangan
Risiko Bencana 2015-2030
13.1.3 Proporsi pemerintah daerah yang mengadopsi dan menerapkan strategi E2
pengurangan risiko bencana lokal sejalan dengan strategi pengurangan
risiko bencana nasional

Lampiran-4: Statistik dan Penanggulangan Bencana


Pemerintah, masyarakat dan para pemangku kepentingan, pada masing-masing situasi, menghadapi issue
dan tantangan yang berbeda beda. Oleh karenanya, dituntut untuk membuat kebijakan dan keputusan
yang berbeda-beda pula sesuai dengan situasi yang dihadapi. Untuk itu, mereka memerlukan pula basis
data yang sesuai dengan kebutuhannya.

Kebijakan dan rencana tipikal yang


Issue issue tipikal Contoh penggunaan statistik
harus dibuat
PRABENCANA • Memprioritaskan pembiayaan Profil bahaya dinamis (besaran,
dalam pengurangan risiko temporal, dan distribusi spasial)
Tidak ada potensi bencana:
pengkajian risiko dan
pengurangan risiko

63
Risiko bencana dapat diperkirakan • Cara pembiayaan dalam Kerentanan dan garis pajanan
tetapi tidak diketahui secara pembangunan sambil paparan: (statistik demografis dan
menghindari risiko baru
pasti sosial ekonomi) misalnya rona
• Kebijakan terpadu untuk
Investasi pengembangan harus pajanan di daerah rawan bahaya
mengurangi keterpaparan dan
diinformasikan oleh profil risiko penguatan kapasitas untuk dan mengidentifikasi kelompok
kelompok rentan (termasuk, rentan
Menggunakan pengetahuan
berpotensi, melalui relokasi di
terbaik yang tersedia luar area bahaya)
sehingga pembangunan Rekaman dan kecenderungan
tidak memperburuk risiko dari pengalaman bencana masa
bencana yang ada (dan atau lalu, misalnya efektivitas sistem
menciptakan yang baru) peringatan dini
Ada potensi bencana: Mitigasi dan • Pengenalan langkah- langkah • Skala, lokasi, dan karakteristik
Kesiapsiagaan baru untuk mengurangi risiko investasi lainnya dalam
bencana pengurangan risiko bencana
• Profil Risiko berubah ketika
informasi baru tersedia dan • Pengenalan mekanisme untuk • Tanda-tanda risiko yang
pengembangan di daerah yang meningkatkan atau memastikan berkembang perlahan mendekati
berpotensi rawan terjadi peringatan dini yang memadai ambang batas untuk potensi
dan kesiapan yang memadai bencana
• Sistem peringatan dini dan
sistem pemantauan lainnya, jika • Bagaimana berinvestasi dalam • Tingkat kesadaran,
tersedia, memberikan informasi langkah-langkah pengurangan kesiapsiagaan, dan investasi
tentang risiko dan kemungkinan risiko sebagai bagian terpadu terhadap bencana oleh rumah
untuk mengurangi dampak dari inisiatif pengurangan tangga, bisnis, dan masyarakat
kemiskinan yang lebih luas dan • Mengidentifikasi faktor- faktor
• Menyiapkan kemampuan
pembangunan berkelanjutan yang menyebabkan dan atau
tanggap darurat sesuai dengan
potensi bencana, dan siaga • Apakah dan bagaimana memperburuk risiko bencana,
menggerakkan asset ketika mencegah pembangunan di misalnya degradasi lingkungan,
diperlukan daerah berbahaya infrastruktur yang sangat rentan,
atau kemiskinan ekstrem.

64
PADA SAAT TERJADI BENCANA • Menentukan letak geografisnya • Kejadian bencana, termasuk
• dan memprioritaskan kebutuhan skala bencana dan penyebaran
SIaga darurat
untuk bantuan darurat temporal, dan spasial dari
• Imperatif adalah bertindak cepat kejadian
dan efisien untuk menyelamatkan • Bagaimana membuat tanggapan
yang paling efisien • Jenis dan karakteristik
jiwa dan mengurangi penderitaan
yang tidak perlu • Bagaimana mengelola kebutuhan • dampak misalnya kejadian
yang diberikan sementara seketika atau berangsur- angsur,
• Skala injeksi sumber daya yang
pemasok lokal untuk barang dampak intensif atau ekstensif
memadai untuk mengendalikan
krisis dan jasa juga terdampak (upaya • Indikasi seketika tentang dampak
sementara macam apa yang terhadap populasi, kerusakan,
• Permintaan mendesak untuk
diperlukan untuk mengatasi kerugian, dan gangguan terhadap
memenuhi kebutuhan yang
kesulitan yang dihadapi pemasok pelayanan dasar
sangat besar akan tempat-
pelayanan lokal) • Kebutuhan pemulihan, yang
tempat di mana sistem vital
dan pemberian layanan dasar • Bagaimana melaksanakan berpotensi meningkat
terpengaruh tanggap darurat yang sekaligus • Respon bencana: siapa, apa, di
meletakkan dasar- dasar untuk mana, kapan, dan berapa banyak
pemulihan jangka menengah
dan jangka panjang
Pemulihan jangka menengah dan • Bagaimana memprioritaskan • Pengkajian pascabencana yang
panjang pemulihan sektor ekonomi komprehensif dan kredibel
dan penentuan skala upaya untuk kerusakan, kerugian, dan
• Belum memenuhi kebutuhan
pembangunan kembali yang gangguan fungsi / layanan
kemanusiaan
tepat di lokasi yang terkena • Persyaratan untuk pemulihan
• Risiko bahwa komunitas yang dampak ekonomi, misalnya kerugian
rapuh dapat mundur ke krisis
• Cara menentukan tingkat langsung dan ekonomi.
darurat baru jika kebutuhan
pembiayaan yang tepat yang • ketangguhan komunitas,
pemulihan tidak terpenuhi
diperlukan untuk pemulihan lokalitas dan sektor
• Lebih sedikit sorotan total dari dampak bencana:
pada respons awal dapat • Masukan pascabencana baru
• Kembali ke pertimbangan untuk perhitungan risiko insiden
diterjemahkan ke lebih sedikit
identifikasi risiko dan mitigasi masa depan
sumber daya untuk pemulihan
masa depan (lihat pengkajian
• Seringkali siklus perencanaan risiko)
kebijakan pembangunan yang
normal dilanjutkan dengan
banyak persyaratan tetapi,
dengan sumber daya yang lebih
sedikit karena bencana
Referensi: Dikembangkan oleh Kelompok Pakar Asia-Pasifik bekerja sama dengan UNECE TF- MEED

65
Lampiran-5: Daftar Istilah
Walidata Bencana adalah BNPB yang melaksanakan kegiatan pengumpulan, pemeriksaan, dan pengelolaan
data serta menyebarluaskan data yang disampaikan oleh produsen data bencana.

Walidata Bencana Pendukung adalah BPBD atau OPD Penanggulangan Bencana provinsi/kabupaten/kota
yang melaksanakan kegiatan pengumpulan, pemeriksaan, dan pengelolaan data serta menyebarluaskan
data yang disampaikan oleh produsen data di wilayahnya

Pembina Data Statistik adalah BPS yang melakukan pembinaan terkait data statistik

Pembina Data Statistik provinsi/kabupaten/kota adalah BPS provinsi/kabupaten/kota yang melakukan


pembinaan terkait data bencana di wilayahnya

Pembina Data Geospasial adalah BIG yang melakukan pembinaan terkait data geospasial

Walidata adalah Menkominfo yang melaksanakan kegiatan pengumpulan, pemeriksaan, dan pengelolaan
data serta menyebarluaskan data yang disampaikan oleh Walidata Bencana di tingkat pusat.

Walidata provinsi/kabupaten/kota adalah Diskominfotik yang melaksanakan kegiatan pengumpulan,


pemeriksaan, dan pengelolaan data serta menyebarluaskan data yang disampaikan oleh Walidata
Bencana di wilayahnya.

Walidata Sektoral Pusat adalah unit pada Kementerian/Lembaga yang melaksanakan kegiatan
pengumpulan, pemeriksaan, dan pengelolaan data bencana sektoral serta menyebarluaskan data yang
disampaikan oleh produsen data bencana sektoral

66
Walidata Sektoral Pendukung Provinsi/Kabupaten/Kota adalah unit pada instansi provinsi/kabupaten/
kota yang melaksanakan kegiatan pengumpulan, pemeriksaan, dan pengelolaan data bencana sektoral
serta menyebarluaskan data yang disampaikan oleh produsen data bencana sektoral di wilayahnya

Produsen Data adalah unit pada Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah yang menghasilkan data
bencana

Forum Satu Data Bencana pusat, provinsi/kabupaten/kota adalah wadah komunikasi dan koordinasi
Kementerian/Lembaga dan/atau Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan Satu Data Bencana di
wilayahnya

Portal Satu Data Bencana adalah media bagi-pakai data bencana di tingkat nasional dan provinsi/
kabupaten/kota yang dapat diakses melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi

Pengguna Data adalah Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, perseorangan, kelompok orang, atau
badan hukum yang menggunakan data bencana.

Pos Komando Penanganan Darurat Bencana yang selanjutnya disingkat Posko PDB adalah institusi yang
berfungsi sebagai pusat komando operasi penanganan darurat bencana yang merupakan posko utama
di dalam Sistem Komando Penanganan Darurat Bencana, untuk mengoordinasikan, mengendalikan,
memantau dan mengevaluasi pelaksanaan penanganan darurat bencana27.

Data bencana adalah sekumpulan fakta mentah atau keterangan yang menjadi dasar penggambaran dari
suatu hal (objek atau kejadian) tentang bencana. Fakta tersebut dapat berupa simbol, angka, kata-kata,

27
Perka BNPB Nomor 3 Tahun 2016 tentang Sistem Penanganan Darurat Bencana

67
atau citra, yang didapatkan melalui proses pengamatan atau pencarian ke sumber- sumber tertentu dan
dapat diolah menjadi bentuk yang lebih kompleks, seperti; informasi, database, atau jalan keluar terhadap
masalah tertentu

Statistik adalah sekumpulan metode, aturan mengenai pengumpulan, peringkasan, analisis, pengolahan,
dan penafsiran, serta himpunan data atau database dari sekelompok data mentah tentang bencana yang
dikumpulkan dari banyak sumber, termasuk database operasional dari kementerian/lembaga sektoral,
survei, sensus, sistem pemantauan, dan rekaman administrasi. Statistik memungkinkan tercapainya
suatu kesimpulan yang memudahkan proses pemantauan, pelaporan dan pengambilan keputusan terkait
peningkatan penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Indikator adalah angka-angka yang dihasilkan dari penghitungan database statistik tersebut yang
digunakan untuk memantau kemajuan dan melaporkan pencapaian, serta memberikan informasi tentang
pengurangan risiko bencana kepada pembuat kebijakan, pengambil keputusan dan pelaksana program,
dan masyarakat luas. Indikator merupakan basis bukti untuk menentukan dan mendorong tindakan untuk
mengurangi risiko dan menciptakan pembangunan berkelanjutan dalam situasi tidak terjadi bencana.

Standar Data adalah standar yang mendasari data tertentu.

Metadata adalah informasi dalam bentuk struktur dan format yang baku untuk menggambarkan,
menjelaskan, serta memudahkan pencarian, penggunaan, dan pengelolaan informasi data.

Kode Referensi adalah tanda berisi karakter yang mengandung atau menggambarkan makna, maksud,
atau norma tertentu sebagai rujukan identitas data yang bersifat unik

68
Referensi

Birkmann, J. (2013). Measuring Vulnerability to Natural Hazards: Towards Disaster Resilient Societies.
United Nations University Press.

BNPB (2013) Pilot Survey of Knowledge, Attitudes and Practice, Disaster Preparedness in Padang City
2013. National Agency for Disaster Management (BNPB), Statistics Indonesia (BPS) and United Nations
Population Fund (UNFPA). Jakarta

BNPB (2016), Risiko Bencana Indonesia (RBI). [Methodologies for InARisk -Disaster Risk Monitoring
Methodology of Indonesia - Avail. in Indonesian Language] National Agency for Disaster Management
(BNPB). Jakarta

European Commission (2010) Mapping of Risk Web-platforms and Risk Data: Collection of Good
Practices. Antofie, T. E., Doherty, B., Marin. JRC109146 Luxembourg

UNESCAP (2018) Disaster-related Statistics Framework, Expert Group on Disaster-related Statistics in


Asia and the Pacific, Bangkok

IRDR (2014), Peril Classification and Hazard Glossary (IRDR DATA Publication No.1), Beijing: Integrated
Research on Disaster Risk

United Nations (2008) International Standard Industrial Classification of All Economic Activities Revision
4. Department of Social and Economic Affairs ISBN: 978-92-1-161518-0, New York, New York

United Nations (2015) Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030. Adopted at the Third
UN World Conference on Diaster Risk Reduction, Sendai, Japan, March 18,2015

UNESCAP, Seventieth session. (13 June 2014 ). Resolution 70/2 (2014) [Disaster-related statistics in
Asia and the Pacific]. (E/ESCAP/RES/70/2).

UNESCAP, Seventy-second session . (24 May 2016). Resolution 72/11 (2016) [Advancing disaster-
related statistics in Asia and the Pacific for implementation of internationally agreed development goals].
(E/ESCAP/RES/72/11).

69
UNSDR (2017) A/71/664 Report of the open-ended intergovernmental expert working group on indicators
and terminology relating to disaster risk reduction

United Nations, European Commission; IMF; OECD; World Bank. (2009). System of National Accounts
2008. New York.

Weber, J.-L (2014) Ecosystem Natural Capital Accounts: A Quick Start Package. Convention on Biological
Diversity Technical Series 77. https://www.cbd.int/doc/publications/cbd-ts- 77-en.pdf

Catatan
Draft ini disusun oleh Dr. Puji Pujiono, MSW., konsultan UNFPA, berdasarkan pada Disaster- Related
Statistical Framework
http://communities.unescap.org/system/files/final_drsf_manual_190918_reduced.pdf
2019

70
Didukung oleh :

Badan Pusat Statistik United Nations Population Fund 7th


Jl. Dr. Sutomo 6-8 Jakarta 10710 Indonesia, Floor Menara Thamrin
Telp (62-21) 3841195, 3842508, 3810291, Jl. M.H. Thamrin Kav. 3, Jakarta 10250
Faks (62-21) 3857046, Tel: (62-21) 29802300
Email : bpshq@bps.go.id Fax: (62-21) 31927902
Website: http://indonesia.unfpa.org

Badan Nasional Penanggulangan Bencana


Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana,
Jl. Pramuka No.38, RT.11/RW.5, Utan Kayu Utara,Kec. Matraman, Kota
Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 13120
Telp. (021) 29827793
Fax. (021) 21281200
72 Email: contact@bnpb.go.id

Anda mungkin juga menyukai