Anda di halaman 1dari 24

Apendisitis infiltrat Yessica Florence (406090053)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Penulisan

Apendisitis infiltrat merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai di mukosa dan melibatkan
seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh
dengan membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa
sehingga terbentuk massa periapendikular (1)

Periapendisitis infiltrate sering terjadi pada usia tertentu dengan range 22-30 tahun. Pada wanita
dan laki-laki insidensinya sama kecuali pada usia pubertas dan usia 25tahun wanita lebih banyak dari
laki-laki dengan perbandingan 3:2. Angka kematian berkisar 2-6%, 19 %kematian jika terjadi pada wanita
hamil, dan pada amak usia kurang dari 2 tahun meningkat hingga 20%. (2,3)

Morbiditas meningkat dengan bertambahnya usia, keterlambatan diagnosis, bila apendiks tidak
diangkat yang dapat menimbulkan serangan berulang. Sedangkan mortalitas adalah 0,1% jika apendisitis
akut tidak pecah dan 5% jika pecah. Keterlambatan dalam mendiagnosis juga berpengaruh pada angka
mortalitas jika terjadi komplikasi. (4)

Komplikasi utamanya menurut Junaidi;1982 adalah perforasi apendiks, yang dapat berkembang
menjadi peritonitis atau abses. Insiden perforasi adalah 10% sampai 32%. Insiden lebih tinggi pada anak
kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam
dengan suhu 37,70 C atau lebih tinggi, nyeri tekan abdomen yang kontinu.

Apendektomi direncanakan pada apendisitis infiltrate tanpa pus yang sudah ditenangkan. Dimana
sekitar 6-8 minggu sebelumnya diberikan antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob dan
anaerob. Pada anak kecil, wanita hamil , dan usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau
berkembang menjadi abses dianjurkan drainase saja dan apendektomi setelah 6-8 minggu kemudian. Jika
ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan jasmani dan laborayorium tidak
menunjukkan tanda radang atau abses, dapat dipertimbangkan pembatalan tindakan bedah. (1) Menurut
sumber lain mengatakan bila massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan
tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi abses apendiks
dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit
infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi. (2)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Kodya Semarang 1
Apendisitis infiltrat Yessica Florence (406090053)

Pencegahan pada apendisitis infiltrat dapat dilakukan dengan cara menurunkan resiko obstruksi
atau peradangan pada lumen apendik atau dengan penanganan secara tuntas pada penderita apendisitis
akut. Pola eliminasi klien harus dikaji, sebab obstruksi oleh fecalit dapat terjadi karena tidak adekuatnya
diit serat, diit tinggi serat. Perawatan dan pengobatan penyakit cacing juga meminimalkan resiko.
Pengenalan yang cepat terhadap gejala dan tanda apendisitis dan apendisitis infiltrat meminimalkan
resiko terjadinya gangren, perforasi, dan peritonitis. (1)

I.2 Ruang lingkup pembahasan

Pada kesempatan ini penulis berusaha membahas mengenai apendisitis infiltrate dan
penanganannya. Hal-hal yang akan dibahas dalam referat ini meliputi anatomi apendiks, definisi,
insidensi, patofiologi, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, komplikasi, dan penanganannya.

I.3 Tujuan penulisan


Referat ini disusun untuk melengkapi tugas kepaniteraan klinik ilmu bedah dan diharapkan dapat
menambah pengetahuan penulis juga sebagai bahan informasi bagi para pembaca, khususnya kalangan
medis agar dapat membuat diagnosa, membuat perencanaan perioperatif appendektomi, mampu
mengevaluasi tindakan yang telah dilakukan pada pasien post operatif appendektomi.

I.4 Teknik pengumpulan data

Dalam penyusunan referat ini , penulis menggunakan metode pengumpulan data secara tidak
langsung melalui study kepustakaan, yaitu dari buku-buku referensi dan pustaka elektronik yang
berkaitan dengan tema referat ini serta pengarahan dari narasumber yang berwenang serta ahli
dibidangnya.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Kodya Semarang 2
Apendisitis infiltrat Yessica Florence (406090053)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi
Appendiks merupakan organ berbentuk tabung. Pada orang dewasa panjang dari
apendiks sekitar 10 cm, diameter terluar bervariasi antara 3 sampai 8 mm dan diameter dalam
lumennya berukuran antara 1 sampai 3 mm, dan berpangkal pada sekum. Lumen appendiks
sempit dibagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun pada bayi appendiks berbentuk
kerucut dengan pangkal yang lebar dan menyempit ke bagian ujungnya. Bagian ujung dari
appendiks dapat berlokasi dimana saja pada kuadran kanan bawah dari abdomen atau pelvis.
Basis dari appendisitis dapat ditemukan dengan menelusuri taenia coli yang berjalan longitudinal
dan berkonfluensi pada caecum.

Appendiks menerima suplai darah dari cabang appendikular arteri ileocolica. Arteri ini
terletak posterior dari ileum terminalis, masuk ke mesoapendiks dekat dari basis appendiks.
Percabangan arteri kecil terbentuk pada titik tersebut dan meneruskan diri sebagai arteri caecal.
Perdarahan appendiks berasal dari arteri appendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral.
Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, appendiks akan mengalami
gangren.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Kodya Semarang 3
Apendisitis infiltrat Yessica Florence (406090053)

Suplai darah ileum terminalis, caecum, dan appendiks

Pengaliran aliran limfatik dari appendiks menuju nodus limfatikus yang terletak sepanjang
perjalanan arteri ileocolica. Inervasi dari appendiks berasal dari elemen simpatis pleksus mesenteric
superior (T10-L1), oleh karena itu nyeri visceral pada appendisitis bermula di sekitar umbilicus. Serabut
afferentnya berasal dari elemen parasimpatis nervus vagus.

Gambaran histologis dari appendiks termasuk diantaranya: pertama, lapisan muskularis yang
tidak tersebar secara merata dan mungkin terdapat defisiensi pada beberapa lokasi. Kedua, submukosa,
dimana terdapat agregasi jaringan limfoid dengan atau tanpa disertai struktur tipikal dari centrum
germinativum. Pembuluh limfe lebih prominen pada regio dibawah agregasi limfoid. Ketiga, mukosa
yang menyerupai dari usus besar kecuali terdapat perbedaan densitas dari folikel limfoid. Kripta pada
appendiks memiliki iregularitas baik dari ukuran dan bentuk, berbeda dengan kripta pada colon yang
memiliki gambaran uniform.

Kompleks neuroendokrin dari appendiks yang terdiri dari sel ganglion, sel Schwann, serat
neural, dan sel-sel neurosekretorik terletak tepat dibawah dari kripta-kripta pada appendiks. Serotonin
merupakan produk sekretorik utama dan dihubungkan dengan nyeri yang muncul pada appendiks non-
inflamasi. Kompleks ini diduga sebagai sumber dari tumor-tumor karsinoid, dan oleh karenanya
appendiks dikenal sebagai tempat asal utama tumor-tumor karsinoid.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Kodya Semarang 4
Apendisitis infiltrat Yessica Florence (406090053)

II.2 Fisiologi

Appendiks tidak memiliki fungsi yang sesuai dengan bentuk anatomisnya sebagai organ
berongga, dimana fungsi dari appendiks ini tidak diketahui dengan pasti. Imunoglobulin sekretoar yang
dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk
appendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terdapat infeksi. Namun
demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfe
di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.

Mukosa appendiks memiliki kemampuan yang sama dalam memproduksi cairan, musin, dan
enzim-enzim proteolitik, Appendiks dapat menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir tersebut
normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum.

II.3 Insidensi

Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan
terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun. Appendicitis lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan
perempuan dengan perbandingan 3:2. Bangsa Caucasia lebih sering terkena dibandingkan dengan
kelompok ras lainnya. Appendicitis akut lebih sering terjadi selama musim panas. 1

Insidensi Appendicitis acuta di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang, tetapi
beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Appendicitis dapat ditemukan pada
semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada
kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidensi pada laki-laki dan perempuan umumnya
sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidensi lelaki lebih tinggi6.

II.4 Etiologi dan faktor resiko

Obstruksi lumen merupakan penyebab paling sering terjadinya appendisitis akut. Fekalit adalah
penyebab paling sering terjadinya obstruksi appendiks. Penyebab lainnya adalah hipertrofi jaringan
limfe, tumor, sayuran dan biji buah, serta parasit usus yang menyebabkan erosi mukosa seperti E.
histolytica. Frekuensi obstruksi meningkat dengan adanya proses inflamasi. Fekalit ditemukan pada 40%
kasus appendisitis akut sederhana, 65% kasus adalah appendisitis gangrenosa tanpa disertai ruptur, dan
hampir 90% kasus adalah appendisitis gangrenosa dengan ruptur.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Kodya Semarang 5
Apendisitis infiltrat Yessica Florence (406090053)

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendisitis. Sedangkan serat diperkirakan menurunkan
viskositas dari feses, menurunkan waktu transit di usus, dan melunakkan formasi dari fekalit. Konstipasi
akan menaikkan tekanan intracaecal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional appendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora colon.

II.5 Patogenesis

Obstruksi proksimal dari lumen appendiks merupakan close-loop obstruction, dan produksi
sekresi normal yang terus menerus dari mukosa appendiks menyebabkan distensi. Normalnya kapasitas
lumen appendiks hanya 0,1 mL. Sekresi sebanyak 0,5 mL meningkatkan tekanan intraluminal menjadi 60
cm H2O. Distensi appendiks menstimulasi saraf visceral afferen sehingga menyebabkan rasa tidak enak,
rasa nyeri yang tumpul dan merata pada mid-abdomen atau epigastrium bawah. Peristaltik juga
distimulasi sehingga rasa seperti kram perut sering menyertai. Distensi terus bertambah akibat sekresi
mukosa yang terus menerus dan multiplikasi dari bakteri appendiks yang cepat. Distensi yang besar ini
biasanya menimbulkan reflek mual dan muntah. Dengan meningkatnya tekanan dalam rongga appendiks,
tekanan vena menjadi besar. Kapiler dan venula tertutup, tapi aliran masuk arteriola tetap sehingga
menghasilkan pembesaran dan kongesti. Proses inflamasi ini akan mengenai lapisan serosa appendiks
sampai peritoneum parietalis. Hal ini dikarakteristikan dengan adanya perpindahan rasa sakit ke kuadran
kanan bawah, dan terjadi dalam 24 – 48 jam pertama.

Mukosa traktus gastrointestinal, termasuk appendiks, mudah terpengaruh akibat kerusakan aliran
darah. Hal ini mengakibatkan mudah terjadinya invasi bakteri. Karena pertumbuhan bakteri yang
berlebihan dan reaksi inflamsi (edem), dapat menyebabkan appendiks menjadi semakin edem dan iskemi.
Nekrosis dari dinding appendiks dapat menyebabkan translokasi dari bakteri. Hal ini yang disebut
sebagai appendisitis gangrenosa. Bila tidak ditangani, appendiks yang mengalami gangren tersebut
akan pecah (appendisitis perforasi) dan mengeluarkan isi appendiks ke cavum peritoneal.

Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup appendiks dengan
omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periappendikular yang secara salah dikenal
dengan istilah infiltrat appendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses
(appendiceal abses) yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, appendicitis akan
sembuh dan massa periappendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya mengurai diri secara lambat.

Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk jaringan
parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Kodya Semarang 6
Apendisitis infiltrat Yessica Florence (406090053)

keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu ketika, organ ini dapat meradang akut lagi dan
dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut (appendicitis kronik eksaserbasi akut).

Patofisiologi Terjadinya Appendicitis

Sembelit Katup ileocaecal kompeten

Tekanan ↑ dalam caecum

Erosi selaput lendir


(E. histolytica)

Flora kuman colon ↑

Pengosongan isi appendiks terhambat :


Stenosis
Appendicitis mukosa Gangguan motilitas
Mesoappendiks pendek

Appendicitis komplit

Sumber : Sjamsuhidajat, 1997

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Kodya Semarang 7
Apendisitis infiltrat Yessica Florence (406090053)

Perjalanan Penyakit Akibat Close Loop Obstruction dari Lumen

Obstruksi

Distensi

↑ tekanan intraluminal

Obstruksi limfatik Kongesti vena

Edem

Diapedesis bakteri

Ulserasi mukosa

Invasi bakteri

Inflamasi lapisan serosa yang berhubungan dengan peritoneum parietal

Trombosis vena

Gangren

Perforasi

Bakteri keluar

Peritonitis
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Kodya Semarang 8
Apendisitis infiltrat Yessica Florence (406090053)

Sumber : Stead, 2004

Perjalanan Alami Appendicitis Akut

Appendicitis mukosa

Sembuh

Appendicitis flegmonosa

Appendicitis dengan
Nekrosis setempat

Appendicitis supurativa Perforasi

Appendicitis gangrenosa

Sumber : Sjamsuhidajat, 1997

II.6 Gambaran klinis

Nyeri abdomen adalah gejala utama pada appendisitis akut. Secara klasik, nyeri tersebut tersebar
merata pada epigastrium bawah atau daerah umbilical, nyerinya berat dan menetap, kadang-kadang
disertai dengan rasa seperti kram perut. Setelah 1 – 12 jam (rata-rata 4 – 6 jam) rasa nyeri tersebut
dirasakan di perut kanan bawah. Tetapi pada beberapa pasien, rasa sakit appendisitis mulai di perut
kanan bawah dan menetap. Variasi lokasi anatomi menentukan pula variasi dari lokasi rasa nyeri,
contohnya, appendiks yang panjang dengan inflamasi pada ujung tepi di perut kiri bawah menyebabkan
rasa nyeri di daerah tersebut; appendiks retrocaecal dapat menyebabkan rasa seperti sakit pinggang;
appendiks pelvis menyebabkan nyeri dearah suprapubik; dan appendiks retroileal dapat menyebabkan
nyeri testikular, yang sering dikira sebagai iritasi dari a. Spermatica dan ureter.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Kodya Semarang 9
Apendisitis infiltrat Yessica Florence (406090053)

Anoreksia biasanya sering dialami pada penderita appendisitis. Walaupun muntah ada pada 75%
pasien, tetapi biasanya tidak menetap dan sebagian besar pasien hanya muntah 1 atau 2 kali. Muntah
disebabkan karena stimulasi neural dan adanya ileus.

Kebanyakan pasien ada riwayat obstipasi sebelum timbulnya nyeri. Tetapi pada sebagian pasien,
terutama anak-anak terjadi diare. Urutan kemunculan gejala mempunyai perbedaan yang signifikan
dalam mendiagnosis banding. Lebih dari 95% pasien appendisitis akut, anoreksia merupakan gejala yang
pertama muncul, diikuti dengan nyeri perut, serta muntah (bila ada). Bila muntah merupakan gejala yang
pertama kali dirasakan, diagnosa appendicitis masih harus dipertanyakan.

Gejala appendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak
mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Dalam beberapa jam kemudian akan
timbul muntah-muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering
appendisitis diketahui setelah terjadi perforasi. Pada bayi, 80 – 90% appendisitis baru diketahui setelah
terjadi perforasi.

Pada orang berusia lanjut, gejalanya juga sering samar-samar saja. Tidak jarang terlambat
didiagnosis. Akibatnya lebih dari ½ penderita baru dapat didiagnosis setelah perforasi.

Pada pasien-pasien khusus, seperti pasien yang dalam penggunaan imunosupresan, pasien yang
menerima transplantasi organ, pasien dengan HIV, pasien dengan diabetes melitus, pasien yang mengidap
kanker atau yang sedang menerima kemoterapi, dan pada pasien-pasien yang obesitas, gejala yang
dirasakan hanyalah rasa tidak enak secara umum.

II.7 Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik menentukan posisi anatomik dari appendiks dan apakah appendiks sudah
mengalami ruptur ketika pasien pertama kali di periksa. Tanda-tanda vital hanya mengalami sedikit
perubahan pada appendicitis tanpa komplikasi. Kenaikan suhu jarang melebihi 1 oC (sekitar 37,5 –
38,5oC) dan nadi normal atau sedikit meningkat. Perubahan tanda-tanda vital yang bermakna biasanya
mengindikasikan adanya komplikasi atau adanya penyakit lain.

Pasien dengan appendisitis biasanya lebih enak dengan posisi supine (telentang) dengan tungkai
atas ditarik, karena adanya gerakan meningkatkan rasa nyeri. Apabila diperintahkan untuk bergerak,
mereka akan melakukannya dengan perlahan-lahan dan dengan hati-hati.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Kodya Semarang 10
Apendisitis infiltrat Yessica Florence (406090053)

Tanda ”klasik” kuadran kanan bawah muncul bila appendiks terdapat pada posisi anterior. Rasa
nyeri terutama pada titik Mc Burney atau sekitar Mc Burney. Hal ini mengindikasikan adanya iritasi
lokal peritoneum.

Rovsing’s sign : Nyeri di kuadran kanan bawah ketika di tekan pada kuadran kiri bawah

(daerah kontralateralnya).

Hal ini mengindikasikan adanya iritasi peritoneum.

Blumberg sign : Nyeri di kuadran kanan bawah ketika tekanan pada kuadran kiri bawah

(daerah kontralateralnya) dilepaskan.

Hal ini mengindikasikan adanya iritasi peritoneum.

Psoas sign : Mengindikasikan adanya fokus iritatif yang dekat dengan otot

tersebut. Pasien berbaring pada sisi kiri, pemeriksa pelan-pelan

mengekstensikan paha kanan yang mengakibatkan peregangan

dari m. Iliopsoas. Test (+) bila ekstensi menimbulkan rasa

sakit karena appendiks yang meradang menempel di m. Psoas.

Obturator sign : Mengindikasikan iritasi pada pelvis. Prinsipnya dengan

meregangkan m. Obturator internus, dan melihat apakah

appendiks yang meradang kontak dengan muskulus tersebut.

Pasien dalam posisi telentang, paha kanan dalam posisi fleksi

lalu dilakukan rotasi interna secara pasif.

Dunphy’s sign : Adanya rasa nyeri yang tajam pada kuadran kanan bawah bila

sengaja dibatukkan (cough sign).

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Kodya Semarang 11
Apendisitis infiltrat Yessica Florence (406090053)

Cutaneus hiperestesi sering menyertai. Dipersarafi oleh n. Spinalis bagian kanan dari Th 10, 11,
dan 12. Tahanan muskuler dinding abdomen berjalan sesuai dengan proses inflamasinya. Adanya defans
muskular ini menunjukkan rangsangan peritoneum parietale. Variasi posisi anatomik dari appendiks
menyebabkan gejala yang berbeda pula. Pada appendiks retrocaecal, rasa nyeri pada abdomen anterior
jarang, dan pasien lebih banyak mengeluhkan rasa nyeri pada pinggang kanan sampai ke belakang. Pada
appendiks letak pelvik, tanda-tanda pada abdomen bisa tidak ada sama sekali dan bisa tidak terdiagnosis
bila Rectal Touche (RT) tidak dilakukan. Rectal touche juga untuk membedakan ada atau tidaknya suatu
massa.

Hubungan Patofisiologi dengan Manifestasi Klinik

Kelainan patologi Gejala dan tanda


Peradangan awal Kurang enak ulu hati, mungkin kolik
Appendicitis mukosa Nyeri tekan kanan bawah (rangsangan
otonomik)
Radang di seluruh ketebalan dinding Nyeri sentral pindah ke kanan bawah,
mual, dan muntah
Appendicitis komplit / radang peritoneum Rangsangan peritoneum lokal (somatik),
parietal appendiks nyeri pada gerak aktif dan pasif, defans
muskular lokal
Radang jaringan yang menempel pada Genitalia interna, ureter, m. Psoas, vesica
appendiks urinaria, rectum
Appendicitis gangrenosa Demam, takikardi, leukositosis
Perforasi Nyeri dan defans muskular seluruh perut
Pendindingan :
 Tidak berhasil Sda + demam tinggi, dehidrasi, syok,
toksik
 Berhasil Massa perut kanan bawah, keadaan umum
berangsur membaik

 Abses Demam remiten, KU toksik, keluhan dan


tanda setempat
Sumber : Sjamsuhidajat, 1997

II.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

 LABORATORIUM

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Kodya Semarang 12
Apendisitis infiltrat Yessica Florence (406090053)

Pada laboratorium darah terdapat leukositosis ringan (10.000 – 18.000 / mm 3) yang didominasi >
75% oleh sel polimorfonuklear (PMN), netrofil (shift to the left) pada 90% pasien. Hal ini biasanya
terdapat pada pasien dengan akut appendicitis dan appendicitis tanpa komplikasi. Sedangkan leukosit >
18.000 / mm3 meningkatkan kemungkinan terjadinya perforasi appendiks dengan / tanpa abses.
Pemeriksaan laboratorium lain yang mendukung diagnosa appendicitis adalah C-reaktif protein. CRP
merupakan reaktan fase akut terhadap infeksi bakteri yang dibentuk di hepar. Kadar serum mulai
meningkat pada 6 – 12 jam setelah inflamasi jaringan. Tetapi pada umumnya, pemeriksaan ini jarang
digunakan karena tidak spesifik. Spesifisitasnya hanya mencapai 50 – 87% dan hasil dari CRP tidak dapat
membedakan tipe dari infeksi bakteri.

Pemeriksaan urinalisa sering dilakukan dalam mengevaluasi pasien dengan keluhan nyeri perut.
Hal ini dilakukan untuk menghilangkan kemungkinan adanya infeksi saluran kemih (ISK).

 RADIOLOGI

Foto Polos Abdomen

Foto polos abdomen dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosa


banding. Pada appendicitis akut dapat terlihat abnormal ”gas pattern” dari
usus, tapi hal ini tidak spesifik. Ditemukannya fekalit dapat mendukung
diagnosa. Dapat ditemukan pula adanya local air fluid level, peningkatan
densitas jaringan lunak pada kuadran kanan bawah, perubahan bayangan
psoas line, dan free air (jarang) bila terjadi perforasi. Pemeriksaan ini
mungkin berguna pada pasien dengan gejala dan tanda-tanda yang tidak khas.
Walaupun demikian, foto polos abdomen bukanlah sesuatu yang rutin atau
harus dikerjakan dalam mengevaluasi pasien dengan nyeri abdomen yang
akut.

Ultrasonografi

Merupakan pemeriksaan yang akurat untuk mendiagnosis appendicitis. Tekniknya tidak mahal,
dapat dilakukan dengan cepat, tidak invasif, tidak membutuhkan kontras dan dapat digunakan pada pasien
yang sedang hamil karena tidak menggunakan paparan radiasi. Secara sonografi, appendiks diidentifikasi
sebagai ”blind end”, tanpa peristaltik usus. Kriteria sonografi untuk mendiagnosis appendicitis akut
adalah adanya noncompressible appendiks sebesar 7 mm atau lebih pada diameter anteroposterior, adanya
appendicolith, interupsi pada kontinuitas jaringan submukosa, dan cairan atau massa periappendiceal.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Kodya Semarang 13
Apendisitis infiltrat Yessica Florence (406090053)

Sensitivitas sonografi dalam mendiagnosis appendicitis sebesar 55 – 96% dan spesifisitas 85 –


98%. False (+) dapat ditemukan pada adanya dilatasi tuba falopii dan pada pasien yang obese hasilnya
bisa tidak akurat. Sedangkan false (-) didapat pada appendiks letak retrocaecal dan appendiks yang
membesar. Hal ini tergantung kemahiran operator.

Gambaran sagital graded compression yang menunjukkan


inlamasi akut dari appendiks. Struktur tubular
noncompressible, kurangnya gerakan peristaltik, diameter >6
mm, dan adanya cairan periappendiceal.

Gambaran transverse graded compression yang menunjukkan


inflamasi akut dari appendiks. Adanya gambaran target like appearance karena
penebalan dari dinding appendiks dan cairan pada sekelilingnya.

 Computed Tomography

CT-scan sangat berguna pada pasien yang dicurigai mengalami proses inflamasi pada abdomen
dan adanya gejala tidak khas untuk appendicitis. Appendiks normal akan terlihat sebagai struktur tubular
tipis pada kuadran kanan bawah yang dapat menjadi opak dengan kontras. Appendicolith terlihat sebagai
kalsifikasi homogenus berbentuk cincin, dan terlihat pada 25% populasi.

Appendicitis akut dapat didiagnosa berdasarkan CT-scan apabila didapatkan appendiks yang
abnormal dengan inflamasi pada periappendiceal. Appendiks dikatakan abnormal apabila terdistensi atau
menebal dan membesar > 5 – 7 mm. Sedangkan yang termasuk inflamasi periappendiceal antara lain
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Kodya Semarang 14
Apendisitis infiltrat Yessica Florence (406090053)

adalah abses, kumpulan cairan, edem, dan phlegmon. Inflamsi periappendiceal atau edem terlihat sebagai
perkaburan dari lemak mesenterium (”dirty fat”), penebalan fascia lokalis, dan peningkatan densitas
jaringan lunak pada kuadran kanan bawah. CT-scan khususnya digunakan pada pasien yang mengalami
penanganan gejala klinis yang telat (48 – 72 jam) sehingga dapat berkembang menjadi phlegmon atau
abses.

Fekalit dapat dengan mudah terlihat, tetapi adanya fekalit bukan patognomonik adanya
appendicitis. Temuan penting adalah arrowhead sign yang disebabkan penebalan dari caecum. Tingkat
sensitivitas 92 – 97%, spesifisitas 85 – 94%, keakuratan 90 – 98%, positive predictive value 75 – 95%,
negative predictive value 95 – 99%. Kerugiannya mahal, menggunakan radiasi, dan tidak dapat
digunakan saat hamil.

Gambaran pelebaran appendiks dengan penebalan


pada dindingnya, tidak terisi dengan kontras.

 Barium Enema

Pemeriksaan tambahan lain yang berguna adalah barium enema. Pemeriksaan ini dikatakan
positif bila menunjukkan appendiks yang non-filling dengan indentasi dari caecum. Hal ini menunjukkan
adanya inflamasi pericaecal. False negative (partial filling) didapatkan pada 10% kasus. Barium enema
ini sudah tidak lagi digunakan secara rutin dalam mengevaluasi pasien yang dicurigai menderita
appendicitis akut.

Dalam rangka meningkatkan tingkat akurasi dari diagnosis apendisitis, maka telah disusun
sebuah system penilaian yang dibuat berdasarkan penelitian secara retrospektif oleh Alvarado. Sistem
penilaian ini meliputi gejala-gejala (nyeri yang berpindah dari periumbilikal ke perut kanan bawah, mual
dan penurunan nafsu makan), tanda-tanda (nyeri tekan pada perut kanan bawah, nyeri lepas, dan demam),
dan pemeriksaan laboratorium (leukositosis dan pergeseran ke kiri).

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Kodya Semarang 15
Apendisitis infiltrat Yessica Florence (406090053)

Alvarado Score

Symptoms

Migratory right iliac fossa pain 1 point

Anorexia 1 point

Nausea and vomiting 1 point

Signs

Right iliac fossa tenderness 2 points

Rebound tenderness 1 point

Fever 1 point

Laboratory

Leucocytosis 2 points

Shift to left (segmented neutrophils) 1 point

Total score 10 points

A score of 7 or more is strongly predictive of acute appendicitis.

In patients with an equivocal score of 5-6, CT scan further reduces the rate of negative appendicectomy

Sumber : www.wikipedia.com

II.9 DIAGNOSIS BANDING

Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding.
Inflamasi dari diverticulum Meckel’s jarang ditemukan, namun penyakit ini memiliki pathogenesis dan
perjalanan penyakit yang menyerupai appendicitis.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Kodya Semarang 16
Apendisitis infiltrat Yessica Florence (406090053)

Apabila gejala-gejala gastrointestinal seperti mual dan muntah lebih dominan, perlu
dipertimbangkan gastroenteritis sebagai diagnosis banding, terutama apabila gejala-gejala gastrointestinal
tersebut mendahului gejala nyeri perut, namun nyeri perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas.
Hiperperistaltik lebih sering ditemukan. Demam dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan
apendisitis akut.

Urolitiasis pielum atau ureter kanan (batu ureter atau batu ginjal kanan). Adanya riwayat kolik
dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering
ditemukan. Foto polos abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut. Pielonefritis
sering disertai dengan demam tinggi, menggigil, nyeri costovertebral di sebelah kanan dan piuria.

Kasus-kasus keganasan juga harus menjadi bahan pertimbangan. Karsinoma dengan perforasi
ke dalam sekum maupun kolon ascendens akan memberikan gejala nyeri yang akut disertai tanda-tanda
perangsangan peritoneum. Pada kasus yang jarang ditemui, dapat terjadi apendisitis sekunder akibat
obstruksi lumen sekum oleh karena karsinoma. Limfoma pada ileum terminal juga dapat memberikan
gejala-gejala yang menyerupai appendicitis. Secara umum pada kasus-kasus keganasan abdominal dapat
ditemukan tinja dengan test guaiac yang positif, anemia, riwayat penurunan berat badan, perubahan
kronis dari pola defekasi.

Pada wanita usia muda , penyebab dari nyeri perut kanan bawah termasuk yang telah
disebutkan diatas dan ditambah dengan kelainan-kelainan seperti: rupture dari kista maupun folikel ovarii,
torsio ovarii, kehamilan ektopik, juga salpingitis akut. Pada wanita usia premenopause, endometriosis
merupakan salah satu penyebab dari nyeri perut bawah kronik, yang pada keadaan akut sering
menyerupai apendisitis. Mengingat bahwa terdapat berbagai kelainan ginekologis yang dapat menyerupai
apendisitis maka perlu ditanyakan riwayat ginekologis pasien dan pola siklus menstruasinya.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Kodya Semarang 17
Apendisitis infiltrat Yessica Florence (406090053)

Sumber : Soybel DI, 2003

II.10 PENATALAKSANAAN

Indikasi Operasi

Apabila diagnosis apendisitis telah ditegakkan dengan berbagai pemeriksaan yang mendukung,
hal tersebut sudah merupakan suatu indikasi operasi (apendektomi), kecuali pada kasus-kasus tertentu
seperti halnya pada keadaan dimana masa akut telah dilewati namun muncul komplikasi dengan
terbentuknya abses. Pada beberapa kasus dapat digunakan antibiotic sebagai terapi tunggal untuk
mengurangi massa abses tersebut. Bila massa abses telah terbentuk di ekitar apendiks maka basis dari
sekum akan sulit untuk ditemukan, selain itu tindakan operatif secara aman akan sulit untuk dikerjakan.

Persiapan pre-operasi

Analgetik dapat diberikan pada pasien setelah diagnosis dari apendisitis sudah dapat ditegakkan
dan manajemen operatif telah direncanakan. Status cairan harus dipantau dengan ketat menggunakan
indicator klinis seperti nadi, tekanan darah, dan jumlah pengeluaran urine.

Pemberian antibiotik dapat dimulai, umumnya diberikan cephalosporine generasi 2 secara


tunggal atau dikombinasikan dengan antibiotic spectrum luas yang melingkupi bakteri gram negatif aerob
(e.coli) dan anaerob (bacteroides spp.). Perlu diingat bahwa tujuan utama dari pemberian antibiotic bukan
untuk memberantas apendisitis itu sendiri. Pada kasus yang tidak disertai dengan komplikasi, antibiotic

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Kodya Semarang 18
Apendisitis infiltrat Yessica Florence (406090053)

umumnya diberikan untuk mengurangi insidens infeksi dari luka dan peritoneum bagian dalam setelah
operasi dan melindungi terhadap kemungkinan terjadinya bakteremia.

Pada kasus-kasus dimana telah terjadi komplikasi berupa pembentukan abses maupun
bakteremia, maka pemberian antibiotic ditujukan untuk mengobati komplikasi tersebut. Terdapat beragam
pendapat tentang pemberian antibiotic profilaksis, namun terdapat konsensus bahwa:

1. Pemberian cephalosporin generasi 2 efektif dalam mengurangi komplikasi yang dapat timbul
oleh karena luka pada kasus non-komplikata

2. Waktu yang tepat dalam memberikan antibiotic adalah sesaat sebelum pembedahan atau pada
saat pembedahan dilakukan agar tercapai kadar yang optimal pada saat akan dilakukan incise

3. Pada kasus non-komplikata, pemberian antibiotic cukup dengan dosis tunggal. Penambahan
dosis setelah operasi tidak berguna dalam menurunkan resiko infeksi lebih lanjut.

Pertimbangan Operatif

Perlu ditentukan apakah prosedur operasi akan dilaksanakan melalui pendekatan secara
tradisional (terbuka) atau dengan bantuan laparoskopi. Terdapat berbagai penelitian yang
membandingkan antara pendekatan secara terbuka maupun dengan laparoskopi. Berdasarkan informasi
terkini dapat disimpulkan bahwa pada kasus apendisitis tanpa disertai komplikasi, pendekatan secara
laparoskopik dapat mengurangi nyeri, kebutuhan untuk dirawat dan juga menurunkan insidens infeksi
pada luka setelah operasi. Pasien juga dapat kembali bekerja lebih awal.

Perbandingan Antara Laparotomy dan Laparoskopi

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Kodya Semarang 19
Apendisitis infiltrat Yessica Florence (406090053)

Dilakukan pengangkatan apendiks apabila pada saat operasi ditemukan gambaran inflamasi. Hal
penting yang harus diingat adalah untuk melakukan disseksi apendiks sampai ke basis, yaitu pada
pertemuan taenia di dinding sekum. Kegagalan dalam mengangkat seluruh apendiks sampai ke basis-nya
dapat mengingkatkan resiko terjadinya apendisitis rekuren. Mengingat bahwa terdapat beberapa laporan
terjadinya appendicitis rekuren, maka penting untuk tetap berwaspada terhadap kemungkinan munculnya
apendisitis rekuren meski terdapat riwayat operasi apendiks dan bukti jaringan parut yang nyata. Apabila
diseksi secara aman tidak dimungkinkan oleh karena adanya inflamasi ataupun pembentukan abses,
sebuah closed suction drain dapat diletakan kedalam kavum peritoneum. Tindakan ini bermanfaat untuk
mengalirkan materi fekal maupun pus keluar sehingga mencegah tertimbunnya materi-materi tersebut
kedalam kavum peritoneum.

Pasca Operasi

Kasus-kasus apendisitis tanpa komplikasi, pasien dapat mulai minum dan makan segera setelah
mereka merasa mampu, dan defekasi dievaluasi dalam 24-48 jam. Pemberian antibiotic dan dekompresi
dengan nasogastric tube pasca operasi tidak rutin dikerjakan pada pasien apendisitis tanpa komplikasi.
Pada kasus-kasus yang disertai dengan peritonitis, pemberian antibiotic diberikan hingga 5-7 hari setelah
operasi.

II.11 KOMPLIKASI

Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
perforasi pada appendiks yang telah mengalami wall-off sehingga berupa massa yang terdiri dari
kumpulan apendiks, sekum dan lekuk usus halus.

Apendisitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi penyakit ini tidak dapat
diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan mengalami perforasi. Karena perforasi
jarang terjadi dalam 8 jam pertama, observasi aman untuk dilakukan dalam masa tersebut.

Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan
bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise, dan
leukositosis semakin jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum atau pembentukan abses telah terjadi
sejak pasien pertama kali datang, diagnosis dapat ditegakan dengan pasti.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Kodya Semarang 20
Apendisitis infiltrat Yessica Florence (406090053)

Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk menutup asal
perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang : tirah baring dalam posisi fowler medium
(setengah duduk), pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang,
pemberian antibiotik spektrum luas dilanjutkan dengan pemberian antibiotik yang sesuai dengan hasil
kultur, transfuse untuk mengatasi anemia, dan penanganan syok septik secara intensif, bila ada.

Bila terbentuk abses apendik akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang cenderung
mengelembung ke arah rectum atau vagina. Terapi dini dapat diberikan kombinasi antibiotik (ampisilin,
gentamisin, metronidazol atau klindamisin). Dengan sediaan ini abses akan segera menghilang, dan
apendektomi dapat dilakukan 6-12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus segera
dilakukan drainase. Abses daerah pelvis yang menonjol ke arah rectum atau vagina dengan fluktuasi
positif juga perlu dilakukan drainase.

Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi, tetapi merupakan komplikasi yang
letal. Hal ini harus kita curigai bila ditemukan demam sepsis, menggigil, hepatomegali dan ikterus setelah
terjadi perforasi apendik. Pada kedaan ini diindikasikan pemberian antibiotik kombinasi dengan drainase.

Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa abses subfrenikus dan fokal sepsis intraabdominal
lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Kodya Semarang 21
Apendisitis infiltrat Yessica Florence (406090053)

Sumber : Soybel DI, 2003

II.11 PROGNOSIS

Sebagian besar pasien apendisitis sembuh dengan mudah melalui terapi operatif, namun
komplikasi dapat muncul apabila terjadi keterlambatan dalam penatalaksanaan atau bila sudah terjadi
peritonitis. Waktu yang diperlukan untuk penyembuhan sangat bergantung pada usia, kondisi fisik,
komplikasi, dan keadaan-keadaan lainnya, termasuk konsumsi alcohol, namun biasanya untuk
penyembuhan memerlukan waktu sekitar 10 dan 28 hari. Pada anak-anak (usia kurang lebih 10 tahun),
penyembuhan memerlukan waktu sekitar tiga minggu.

Peritonitis yang mengancam nyawa merupakan alasan mengapa apendisitis akut memerlukan
evaluasi dan penatalaksanaan secara cepat. Apendisitis tipikal memberikan respon yang sangat baik
dengan apendektomi, dan terkadang dapat sembuh dengan spontan. Apabila apendisitis sembuh dengan
spontan, masih merupakan kontroversi mengenai perlu tidaknya tindakan apendektomi elektif untuk
mencegah apendisitis rekuren.

Apendisitis atipikal (dihubungkan dengan apendisitis supuratif) lebih sulit untuk didiagnosis dan
lebih cenderung untuk terjadi komplikasi meskipun telah dilakukan operasi secara dini. Pada kedua
keadaan diatas diagnosis secara tepat dan apendektomi memberikan hasil yang baik, dan penyembuhan
penuh terjadi antara dua sampai empat minggu. Mortalitas dan komplikasi berat umumnya jarang ditemui,
namun dapat terjadi apabila peritonitis berlanjut dan tidak mendapat terapi. Terdapat pula topic
pembahasan yang sering mendapat perhatian mengenai massa apendikular, yaitu terbentuknya suatu
massa yang terdiri dari omentum dan usus yang saling melekat, hal ini terjadi apabila apendiks tidak
segera dipindahkan dengan segera selama terjadinya infeksi. Selama masa ini, tindakan apendektomi akan
sangat beresiko kecuali bila didapatkan pembentukan pus yang dibuktikan dengan adanya demam dan
toksisitas atau dengan USG.

Stump appendicitis, merupakan suatu komplikasi yang jarang ditemui, yaitu terjadinya inflamasi
pada sisa apendiks yang tertinggal setelah apendektomi yang tidak komplit.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Kodya Semarang 22
Apendisitis infiltrat Yessica Florence (406090053)

BAB III

PEMBAHASAN

Appendicitis inflitrat sebenarnya adalah istilah yang salah, seharusnya disebut dengan massa
periappendikular. Massa appendiks ini terjadi bila appendicitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi
oleh pendindingan oleh omentum dan / atau lekuk usus. Umumnya massa appendiks terbentuk pada hari
ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum. Massa appendiks lebih sering
dijumpai pada pasien berumur > 5 tahun karena daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik dan
omentum telah cukup panjang dan tebal untuk membungkus proses radang.

GEJALA DAN TANDA

Gejala klinisnya sama dengan gejala appendicitis ditambah dengan terabanya massa pada kuadran
kanan bawah.

TERAPI

Pada massa periappendikular yang pendindingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran
pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena
itu, disarankan massa periappendikular yang masih mobile di operasi segera untuk mencegah penyulit
tersebut. Disamping itu, operasi masih mudah.

Pada massa periappendikular yang terfiksir dan pendindingan sempurna, dirawat dulu dan diberi
antibiotik. Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain :
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Kodya Semarang 23
Apendisitis infiltrat Yessica Florence (406090053)

 Suhu tubuh
 Ukuran massa
 Luasnya peritonitis
 Leukosit
Bila sudah tidak ada demam, massa periappendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh
pulang dan appendektomi elektif dapat dikerjakan 2 – 3 bulan kemudian agar perdarahan akibat
perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin (interval appendektomi).

BAB IV

KESIMPULAN

1. De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2


2. Addis DG, Shaffer N, Fowler BS,et al :The epidemiology of appendicitis and appendectomy in
United States. Am J Epidemiol 132:910,1990
3. Flum DR, Morris A, Koepsell T,et al: Has misdiagnosis of appendicitis decreased over time? A
population-based analysis. JAMA 286:1748,2001
4. Harken. H Alden, Moore. E,Ernest.,2009. Aberanathy’s Surgical Edisi 6;188

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Kodya Semarang 24

Anda mungkin juga menyukai