Anda di halaman 1dari 13

Review 1

Judul

Dunia berada di tengah-tengah transformasi besar yang bersifat multidimensi:


teknologi, ekonomi, sosial, budaya, politik, geopolitik. Tulisan ini bertujuan untuk
memperjelas makna transformasi ini, terutama dengan berfokus pada proses yang biasanya
dianggap sebagai pemicunya: revolusi teknologi informasi dan proses globalisasi.
Sebagaimana akan kita lihat, pada kenyataannya, kedua proses ini berinteraksi dengan yang
lain, dalam serangkaian tindakan dan reaksi yang sangat kompleks. Teknologi informasi
bukanlah penyebab perubahan yang kita jalani. Tetapi tanpa teknologi informasi dan
komunikasi baru, tidak ada yang mengubah hidup kita. Teknologi semata tidak
menyelesaikan masalah sosial. Tetapi ketersediaan dan penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi merupakan prasyarat bagi perkembangan ekonomi dan sosial di dunia kita.

Peran penting teknologi informasi dan komunikasi dalam merangsang perkembangan


adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, itu memungkinkan negara-negara untuk melompati
tahapan pertumbuhan ekonomi dengan mampu memodernisasi sistem produksi mereka dan
meningkatkan daya saing mereka lebih cepat daripada di masa lalu. Di sisi lain, bagi negara-
negara yang tidak mampu beradaptasi dengan sistem teknologi baru, keterbelakangan mereka
menjadi kumulatif. Selanjutnya, kemampuan untuk memasuki Era Informasi tergantung pada
kapasitas seluruh masyarakat untuk dapat mengasimilasi dan memproses informasi yang
kompleks. Singkatnya, teknologi informasi dan komunikasi adalah alat penting untuk
pembangunan ekonomi dan kesejahteraan dengan basis kekuatan, pengetahuan dan
kreativitas yang saat itu tidak terdistribusi secara merata di dalam negara dan antar negara.

Sistem yang saling terkait dari organisasi yang fleksibel dan lembaga yang
berorientasi pada informasi. Aspek lain adalah globalisasi, meskipun globalisasi bersifat
multidimensional, tetapi dapat dipahami lebih baik dimulai dengan dimensi ekonominya.
Ekonomi global adalah ekonomi yang kegiatan intinya bekerja sebagai unit secara real time.
Globalisasi ini erat kaitannya dengan jaringan atau networking. Jaringan adalah organisasi
yang tepat untuk adaptasi tanpa henti dan fleksibilitas ekstrem yang dibutuhkan oleh ekonomi
global yang saling berhubungan dengan perubahan permintaan ekonomi dan teknologi yang
terus berinovasi, dan oleh berbagai strategi (individu, budaya, politik) yang dikerahkan oleh
berbagai aktor, yang menciptakan sistem sosial yang tidak stabil pada tingkat kompleksitas
yang meningkat. Jaringan merupakan bentuk yang paling kuat untuk mengorganisasikan
instrumentalitas, alasannya secara fundamental bersifat teknologi.

Semua jaringan akan ada di depan dengan restrukturisasi, bahkan jika mereka
mengubah komposisi mereka, keanggotaan mereka, dan bahkan tugas mereka. Masalahnya
adalah orang-orang, dan wilayah-wilayah, yang mata pencaharian dan nasibnya bergantung
pada posisi mereka di jaringan-jaringan ini, tidak dapat beradaptasi dengan mudah.
Disinvestasi modal, insinyur perangkat lunak bermigrasi, wisatawan menemukan tempat lain
yang modis, dan media global ditutup di wilayah yang diturunkan peringkatnya. Jaringan
dapat pula mereformasi tempat lain, atau dengan orang lain. Tetapi masalah manusia di mana
jaringan itu hidup tidak dapat dengan mudah bermutasi dan ini mengarah pada
keterbelakangan sosial.

Di era informasi saat ini, terjadi de-sosialisasi tenaga kerja, dan terdapat peningkatan
fleksibilitas serta individualisasi kinerja tenaga kerja. Hal ini mengakibatkan adanya
perubahan relasi sosial antara modal dan tenaga kerja, manajemen dan pekerja, serta diantara
pekerja itu sendiri. Kondisi relasi tersebut pada saat ini bersifat “over” eksploitasi, sebab
pengenaan norma-norma tidak menguntungkan tenaga kerja pada kategori tertentu (misalnya
imigran dan perempuan), serta rentan terhadap diskriminasi. Selain itu, di era informasi ini
terdapat pengucilan sosial, adanya batasan akses ke posisi sosial yang dapat memberikan
ruang otonom, bagi tenaga kerja. Jumlah orang yang mengalami pengucilan sosial tersebut,
mengalami peningkatan yang luar biasa di hampir semua negara.

Kemudian, adanya fleksibilitas dan jangkauan global kapitalisme informasi


menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan sosial yang ekstrim. Hal tersebut karena terdapat
individualisasi dan mobilitas yang ekstrim dari sumber daya. Di sisi lain, kualitas pendidikan
dan infrastruktur informasi masih kurang memadai, sehingga menyebabkan sebagian besar
dunia harus bergantung pada kinerja beberapa segmen ekonomi global, yang membuat
mereka rentan terhadap badai arus keuangan global.

Di luar itu, munculnya teknologi baru dan sistem produksi baru, membuat akhir
milenium ketiga ini hanya sekitar dua pertiga orang-orang yang ada di dunia ini yang masih
dipekerjakan. Namun, berdasarkan penelitian yang dilakukan Carnoy, teknologi baru tidaklah
mengakibatkan penganguran. Tetapi di Eropa Barat sendiri, terjadi pengangguran yang
disebabkan karena perusahaan mengahapi peraturan tenaga kerja yang ketat dan upah tinggi,
sehingga menolak menciptakan lapangan pekerjaan. Perusahaan tersebut dimungkinkan
melakukan otomatisasi, subkontrak dan atau berinvestasi ditempat lain, sementara masih
menjual barang dan jasa di pasar Eropa. Dalam kondisi seperti ini, hanya minoritas sajalah
yang dapat merasakan kesejahteraan dan kemakmuran secara signifikan.

Di samping itu, interaksi antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial di era
informasi sangatlah kompleks. Kebebasan pribadi merupakan prasyarat bagi
entrepreneurialism. Solidaritas sosial sangat penting untuk stabilitas, sehingga dapat tercipta
prediktabilitas investasi. Dalam hal ini, pembangunan sosial mengarah kepada
pengembangan budaya, inovasi, pengembangan ekonomi, kelembagaan stabilitas, dan
kepercayaan. Dimana ini mendasari model baru, yang bersifat sinergis dan mengintegrasikan
pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan kualitas kehidupan.

Difusi pembangunan ekonomi dimungkinan masih ada, jika tanpa adanya


pengembangan sosial dan kelembagaan stabilitas. Tetapi pembangunan ekonomi yang terjadi,
lebih mengacu pada menurunkan biaya daripada peningkatan produktivitas. Pada intinya,
persekutuan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial di era informasi tidak
hanya salah secara moral, tetapi juga tidak mungkin dipertahankan. Sementara itu,
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial melalui inovasi teknologi dan manajemen
informasi, tidak mungkin dicapai dengan hanya mengandalkan kekuatan tak terkekang pasar
dengan strategi defensif.
Review 2
Freedom To Hate: Social Media, Algorithmic Enclaves, And The Rise Of Tribal
Nationalism In Indonesia

Dalam artikel ini Merlyna Lim berargumen bahwa media sosial telah melekat dalam
kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk politik, terutama di daerah perkotaan seperti
Jakarta dengan penetrasi internet yang tinggi. Bahkan, perluasan penggunaan media sosial
telah memicu harapan baru dan hype tentang partisipasi politik dan keterlibatan masyarakat
sipil. Misalnya, berkaca pada pengalaman Prita Mulyasari yang kasusnya menjadi populer
secara online ketika halaman Facebook “Coin for Prita” dibuat. Situs tersebut menjadi
saluran bagi ribuan orang Indonesia untuk berbagi pendapat dan menyumbangkan uang untuk
membayar denda pengadilan Prita, sebelum akhirnya dinyatakan tidak bersalah. Disisi lain,
penggunaan media sosial menunjukkan sisi gelap seperti pengawasan negara dan pasar,
hilangnya privasi, penurunan informasi berkualitas dan munculnya kelompok-kelompok
radikal daring. Kedua sisi penggunaan media sosial, cukup menggambarkan adanya
hubungan yang kompleks dan dinamis antara platform media sosial dan
penggunanya. Berangkat dari pernyataan tersebut, Lim secara spesifik menyajikan analisis
hubungan antara media sosial dan politik elektoral yang mengacu pada kasus Pilkada DKI
2017.

Kampanye Sebagai Branding


Dalam Pilkada DKI 2017, ketiga kandidat saling bersaing untuk membentuk branding
di kampanye masing-masing. Menurut Lim (2011), istilah branding dalam konteks
pemasaran politik mengacu pada nilai simbolis atau representasi atas suatu
produk. Sederhananya, branding adalah upaya yang berfungsi sebagai jalan pintas pilihan
konsumen dan menjadi pembeda antara produk-produk serupa.
Dari ketiga pasangan calon yang ada, yaitu Anies-Sandi, Agus-Sylvi dan Ahok-
Djarot, menunjuk tim media sosial sebagai bagian dari strategi branding mereka. Ahok
mengandalkan “Jakarta Ahok Social Media Volunteers” atau Jasmev dan Teman Ahok.
Tugas mereka adalah untuk menyebarkan pesan-pesan positif tentang Ahok, dengan fokus
pada pencapaiannya dan sikapnya yang anti-korupsi, bersih, dan jujur.  Agus Harimurti
Yudhoyono didukung oleh KaribAgus (Best Friends of Agus). Kemudian Anies Baswedan
didukung oleh tim kampanye yang bernama JakartaMajuBersama.com. Akun media sosial
yang dibentuk oleh masing-masing tim relawan pemenangan pasangan calon, bertujuan untuk
membranding citra kandidat dimata pemilih. Selain relawan, ketiganya menggunakan jasa
buzzer dan selebriti.
Persaingan politik di Pilkada DKI 2017 semakin problematik saat memasuki putaran
ke-2, dimana masing-masing pasangan berusaha untuk mengoptimalkan kinerja relawan,
buzzer dan selebiti. Implikasinya, setiap peristiwa yang dialami oleh kedua pasangan calon
selalu dimanfaatkan untuk membentuk opini publik yang menguntungkan masing-masing
pasangan. Seperti peristiwa pada 27 September 2016, saat memberikan pidato di Kepulauan
Seribu (Kepulauan Seribu), Ahok mengkritik lawan-lawan politiknya karena menggunakan
Islam sebagai alat kampanye. Dia menyatakan bahwa para pemilih “ditipu dengan
menggunakan ayat lima puluh satu al-Maidah”. Ungkapan tersebut diabadikan melalui
sebuah video berdurasi tiga puluh tujuh detik yang dipasang secara online. Video itu dengan
cepat menjadi viral dan memicu kemarahan di kalangan Muslim karena dianggap menistakan
agama. Hal ini kemudian mendorong kelompok garis keras mengerahkan massa untuk
berunjuk rasa menyerukan penangkapan Ahok.
Lebih lanjut, kampanye di Pilkada DKI 2017 terjebak pada era post-modern, dimana
individu sering menggunakan frasa "kebebasan berbicara" untuk membela hak mereka
sendiri, untuk menyuarakan pendapat mereka secara aktif, dan tanpa disadari berusaha untuk
membungkam orang lain. Kampanye media sosial antar pasangan Anies-Sandiaga dan
Basuki-Djarot, misalnya, tidak lagi mementingkan kekuatan fakta sehingga kampanye penuh
dengan informasi negatif dan “berita palsu.” Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya
polarisasi kampanye pro-Ahok dan anti-Ahok yang menciptakan dan memelihara situs web
yang memberikan informasi satu sisi.  Sebagai contoh, arrahmahnews.com (spoof of
arrahmah.com), voa-islamnews.com (salinan voa-islam.com), dan pkspuyengan.com selama
Kampanye Pilkada menyebarkan pandangan-pandangan konservatif dan sektarian yang anti-
Ahok. Sebagai tanggapan, kelompok-kelompok pro-Ahok mengarang fakta-fakta yang
mencakup berbagai masalah, terutama dengan menuduh Anies dari terlibat dalam berbagai
kasus korupsi, berencana untuk memerintah Jakarta berdasarkan hukum Syariah (Islam), dan
didukung oleh Syiah Iran, ISIS, dan Al-Qaeda.

Enclave Algoritmik
Pemaparan informasi di media sosial yang hanya berasal dari satu sisi, didorong oleh
algorithms yang disebut filter bubble atau gelembung filter. Filter bubble ialah algoritma
yang terbentuk dari penggunaan atas mesin pencari, platform jejaring sosial, dan perantara
online besar lainnya yang kemudian diasumsikan dapat mengurangi keragaman informasi
[CITATION Eng15 \p 249 \l 1033 ] . Algorithms ini mengisolasi pengguna media sosial dari
keragaman sudut pandang atau konten. Akibatnya, informasi yag diterima adalah informasi
berdasarkan preferensi politik mereka sendiri dan preferensi kontak mereka.
Lim kemudian menyimpulkan bahwa kondisi yang demikian akan membentuk
"enclave algoritmik" atau kantong-kantong digital yang terbentuk dari interaksi konstan
mereka dengan algoritma, bukan dibentuk secara sengaja. Kantong-kantong ini adalah sejenis
"komunitas yang dibayangkan" yang dibangun secara tekno-sosial. Enclave algoritmik
berhasil menciptakan identitas online bersama untuk membela keyakinan mereka. Di dalam
kantong-kantong ini terjadi musyawarah online, meningkatkan konsensus di antara anggota,
dan memperkuat setiap sentimen, keyakinan, dan opini yang sudah ada sebelumnya. Diskusi
di dalam kantong-kantong online ini mewujudkan serangkaian sikap dan keyakinan yang
melegitimasi keunikan mereka secara eksklusif. Dalam kasus Pilkada, jenis kantong-kantong
algoritmik yang muncul seperti Cina-Kristen, hijabis66 (baik pro dan anti-Ahok ), dan
pribumi (pribumi). Kantong-kantong ini didasarkan pada identitas bersama yang dirasakan.
Lim menyebut hal ini dengan nasionalisme kesukuan versi digital.

Penutup
Berkaca dari pengalaman Pilkada DKI Jakarta 2017, media sosial dapat dengan
mudah digunakan untuk menyebarkan informasi yang dapat menjangkau dan mempengaruhi
publik. Pada kampanye di media sosial, masing-masing kandidat berupaya menyusun stategi
branding dengan melibatkan relawan, buzzer, dan selebriti, yang setiap hari bertugas
menyampaikan pesan-pesan yang bersifat satu sisi. Alhasil, kampanye DKI Jakarta
terperangkap pada praktik politik pasca-kebenaran, dimana individu secara bebas
menyuarakan apa yang mereka anggap benar, meskipun dengan membungkam orang lain.
Hal menarik lain yang perlu diperhatikan dalam penelitian Liem ini adalah, kebebasan
luar biasa yang didapatkan dari media sosial sebagai teknologi informasi telah membentuk
“clan-clan” tersendiri dimasyarakat. Dalam konteks ini, Liem menyebutnya sebagai kantong
algoritma (algorithmic enclave), dimana kubu-kubu yang saling berlawanan berkumpul
dalam satu titik dan membentuk algoritma digital berdasarkan kesamaan tertentu. Hal ini
pada akhirnya mengindikasikan hubungan antara media sosial dan politik elektoral di
Indonesia (khususnya di Jakarta) berdampak pada munculnya sekterianisme dan rasisme
diantara kalangan tertentu, yang pada gilirannya menghasilkan nasionalisme kesukuan versi
digital. Meskipun media sosial berpotensi meningkatkan polarisasi di masyarakat, pada sisi
lain media sosial juga memberi harapan baru bagi partisipasi politik dan keterlibatan
masyarakat sipil di Indonesia.
Review 3

Judul

Perkembangan teknologi dari tahun ketahun mengalami kemajuan pesat. Diawali


dengan revolusi industri pada abad ke 18 melalui ditemukannya mesin uap oleh James Watt.
Penemuan mesin uap oleh James Watt menjadi gerbang utama kemajuan teknologi. Berbagai
inovasi terus dikembangkan, lahirlah revolusi industri kedua dilanjutkan dengan penemuan
listrik. Adanya dampak peningkatan produksi masal yang signifikan membuat manusia
berusaha berlomba-lomba untuk menciptakan penemuan baru. Berlanjut dengan revolusi
industri ketiga yang ditandai dengan penemuan teknologi informasi dan elektronika. Ilmu
pengetahuan yang semakin berkembang mampu mengubah dunia sebagaimana revolusi
industri pertama hingga ketiga dan menghasilkan peralatan modern. Terlebih di abad 21 ini,
revolusi 4.0 menjadi isu seksi diberbagai media ataupun surat kabar melalui distrupsi sebagai
topic utama. Hal ini ditandai dengan munculnya robot pintar, kendaraan tanpa pengemudi,
3D printing, dan berbagai perpaduan teknlogi yang memunculkan algoritma pembeda.

Era Disrupsi (misal)

Batas ruang, waktu, dan kecepatan seolah-olah dengan mudah dikaburkan melalui
inovasi teknologi di revolusi industri ke empat ini. Ditambah dengan adanya globalisasi,
mampu menjadi elemen penting dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat. Efektifitas
dan efisiensi yang ditawarkan mampu menjadi pilihan untuk meningkatkan produktivitas dan
pertumbuhan ekonomi. Karakter tersebut juga menyusup ke berbagai bidang mulai dari
kesehatan, pendidikan, pertanian, bahkan politik sekalipun. Dibalik kemudahan yang
ditawarkan memunculkan paradox yang menjadi permasalahan di era ini. Sebagai contoh
kemunculan perubahan fisik menjadi virtual dan manusia menjai robot. Adanya hal tersebut
menggeser peran manusia yang semula menjadi pekerja berubah tergantikan oleh teknologi.

De-sosialisasi tenaga kerja menjadi hal yang jarang dibahas ketika membicarakan era
revolusi industri 4.0. Hal ini disinyalir mengakibatkan perubahan relasi sosial antara modal
dan tenaga kerja. Tidak hanya itu, perkembangan ini juga memperbesar jurang pemisah
antara mereka yang menguasai teknologi dan tidak. Serta rentan adanya tindakan diskriminasi
atau pengucilan sosial yang terdapat peningkatan yang luar biasa hampir disetiap negara.

Teknologi dan Kebebasan (misal)


Kemajuan teknologi di abad ini juga menjadi angin segar bagi pelaku bisnis kreatif,
namun juga menjadi petaka bagi pelaku bisnis yang tidak mampu mengikuti perkembangan.
Dampak nyata yang dapat dilihat berupa bergugurannya toko-toko ritel seperti 7 eleven,
matahari, lotus, dan lain sebagainya. Toko-toko tersebut kini telah digantikan oleh bukalapak,
tokopedia, ataupun alibaba.com. Bukalapak merupakan salah satu contoh bisnis modern yang
tidak asing dikalangan masyarakat. Ide untuk memberdayakan UKM, menjadi jalan
kesuksesan bisnis modern ini, dengan cara menyediakan wadah bagi UKM untuk melakukan
jual beli secara online. Memanfaatkan keterbatasan negara menjadi peluang besar bagi
berbagai pihak untuk tetap memenuhi kebutuhan pasar. Mengingat transaksi online tengah
menjamur seiring berkembangnya teknologi.

Toko online menawarkan kemudahan, harga pas, dan hemat. Hal itu dikarenakan
berbelanja melalui online mampu menghemat waktu dan dapat dilakukan kapan saja dengan
barang yang sudah siap didepan mata. Perkembangan tersebut mendorong globalisasi
menjadi lebih menggurita, memungkinkan negara-negara untuk melompati tahapan
pertumbuhan ekonomi dengan memodernisasi produksi untuk memenuhi permintaan dan
meningkatkan daya saing. Namun, disisi lain menciptakan ketergantungan segmen ekonomi
global, yang berdampak pada badai arus keuangan global.

Tidak hanya bidang bisnis yang berdampak pada perekonomian, tetapi juga
perpolitikan dengan semakin berkembangnya teknologi melalui sistem big data, AI, dan
algoritma yang mampu memproyeksikan dan menyediakan data secara akurat . Hal ini
mampu digunakan sebagai instrument pendukung dalam berbagai kepentingan politik seperti
penyediaan data lapangan untuk mengambil arah kebijakan, basis data dalam melakukan
kampanye pemilu, dan sebagai alat untuk meningkatkan demokrasi.

Teknologi informasi tidak terlepas dari media sosial, yang berfungsi sebagai wadah
untuk berargumen, berbagai ilmu, ataupun tukar pendapat, hal itulah yang menjadi dasar
peningkatan demokrasi. Merry Liem menyebutkan bahwa melalui teknologi dan media sosial
kebebasan begitu mudah didapat. Setiap orang mampu menyuarakan pendapat mereka atas
suatu peristiwa sekaligus mampu dilihat, dibaca, ataupun didengar oleh orang lain yang
memiliki perbedaan tempat atau waktu. Hal tersebutlah yang sering dimanfaatkan oleh
beberapa pihak untuk membangun wacana publik. Tidak terkecuali dengan Pemilu yang
sering memanfaatkan media sosial sebagai ajang untuk membangun wacana publik melalui
kampanye. Kecanggihan teknologi yang didukung dengan algoritma telah dimanfaatkan
untuk membangun platform pendukung kampanye. Penggabungan opini atau argument yang
serupa secara otomatis menjadi kelebihan yang dimiliki teknologi masa kini. Sehingga
memudahkan beberapa kalangan untuk mematakan dan memanfaatkan argument tersebut
untuk kepentingan golongan.

Teknologi dan Pelayanan Publik (misal)

Perkembangan teknologi yang berlangsung saat ini memang cukup mencengangkan.


Pasalnya, semakin hari penggunaan teknologi tidak hanya pada sektor public, namun mullai
memasuki sektor privat. Hal ini sejalan dengan pemikiran Manuel Castells (1999), bahwa
dunia saat ini berada ditengah revolusi teknologi yang sangat besar. Dibuktikan dengan
bukan hanya pada dunia bisnis, perkembangan teknologi juga mulai memasuki dunia
perpolitikan serta pemerintahan. Dalam pemerintahan, teknologi ini sangat berperan dalam
sistem pelayanan publik, dimana menghasilkan perubahan pada tata kelola pemerintahan
yang berdampak pada semakin meningkatnya akuntabilitas, transparansi, partisipasi dan
responsibilitas pada sektor pelayanan publik.

Salah satu terobosan yang dilakukan oleh pemerintah dalam tata kelola pemerintahan
yaitu dengan menghadirkan aplikasi pendukung “smart cities” yaitu Qlue. Qlue mempunyai
tagline #BeraniBerubah karena SmartCity hanya akan berjalan saat pemerintah dan warga
mau untuk melakukan perubahan. Qlue sebagai salah satu platform intervensi via teknologi
yang sudah berlangsung di kota-kota besar di Indonesia sebagai aplikasi pengaduan
permasalahan yang terjadi agar segera ditindaklanjuti oleh pemerintah terkait.

Sebelum teknologi dilibatkan dalam peningkatan pelayanan publik, masyarakat


cenderung enggan menyampaikan aduan karena pemerintah dinilai lamban dalam merespon.
Masyarakat beranggapan bahwa aduan yang disampaikan tidak akan mengubah kondisi
menjadi lebih baik. Persoalan ini terjadi karena tidak adanya ketentuan pasti apakah aduan
yang disampaikan masyarakat telah diterima, diproses, dan dilaksanakan oleh pemerintah
terkait. Dalam hal ini, Qlue mendorong responsivitas pemerintah dalam menyelesaiakan
pengaduan. Selama ini warga tidak partisipatif karena respon pemerintah juga lamban,
sehingga warga beranggapan bahwa aduan yang disampaikan tidak akan mengubah situasi
yang terjadi. Secara bersamaan, Qlue mendorong partisipasi warga dan responsivitas
pemerintah.
Di era saat ini, teknologi adalah keniscayaan bagi pelayanan publik. Namun,teknologi
yang telah menghasilkan data untuk memudahkan pelayanan publik ini, tidak memiliki arti
jika pembuat kebijakan belum memiliki keberanian untuk mengeksekusi. Teknologi yang
mumpuni harus dikombinasikan dengan kapasitas ‘leader’ yang baik. Selain itu, data dari
sumber yang real time dan terintegrasi antar instansi, dapat dijadikan dasar pembuatan
kebijakan terkait pelayanan publik. Contohnya data titik kemacetan yang terjadi pada jam-
jam tertentu, menjadi informasi bagi dinas terkait untuk melakukan rekayasa lalu lintas atau
pengalihan trayek Busway sehingga kemacetan dapat dihindari.

Teknologi semata tidak menyelesaikan masalah sosial. Tetapi ketersediaan dan


penggunaan teknologi informasi dan komunikasi merupakan prasyarat bagi perkembangan
ekonomi dan sosial di dunia kita. teknologi informasi dan komunikasi adalah alat penting
untuk pembangunan ekonomi dan kesejahteraan dengan basis kekuatan, pengetahuan dan
kreativitas yang saat itu tidak terdistribusi secara merata di dalam negara dan antar negara.
negara yang tidak mampu beradaptasi dengan sistem teknologi baru, keterbelakangan mereka
menjadi kumulatif. Selanjutnya, kemampuan untuk memasuki Era Informasi tergantung pada
kapasitas seluruh masyarakat untuk dapat mengasimilasi dan memproses informasi yang
kompleks (Castells, 1999).

Dengan kata lain, ketika negara yang masyarakatnya belum melek teknologi pasti
akan sangat sulit menyesuaikan dengan perkembangan teknologi yang setiap hari
berkembang pesat ini. Disinilah peran negara sangat penting dalam proses sosialisasi kepada
masyarakat berkaitan dengan teknologi baru yang digunakan. Sehingga masyarakat dapat
aktif berpartisipasi dalam hal kemajuan teknologi pelayanan publik.

Hadirnya sebuah teknologi baru tidak lantas selalu berjalan mulus. Pasti penggunaan
teknologi atau media ini menimbulkan banyak sekali dampak baik positif maupun negative.
Karena teknologi informasi dan media sosial mendorong kita mendapatkan informasi dengan
mudah dan cenderung bebas (Liem, 2017). Sehingga setiap individu dapat dengan mudah
menembus batas-batas privasi orang lain.
Bibliography
Bozdag, E., & Hoven, J. v. (2015). Breaking the Filter Bubble: Democracy and Design. Ethnics and
Information Technologies Volume 17, Issue 4, 249-265.

Lim, M. (2017). Freedom to hate: Social Media, Algorithmic Enclaves, And The Rise Of Tribal
Nationalism In Indonesia. Critical Asian Studies`, 1-17.

Anda mungkin juga menyukai