Kontradiksi Perubahan Kebijakan Luar Negeri Cina Terkait Masalah Hak Asasi Manusia Tahun 2005
Kontradiksi Perubahan Kebijakan Luar Negeri Cina Terkait Masalah Hak Asasi Manusia Tahun 2005
ABSTRAK
Ada begitu banyak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Cina, diantaranya adalah masalah
kebijakan satu anak dan tragedi Tiananmen. Awalnya dunia internasional tidak tahu bahwa
ternyata begitu banyak pelanggaran HAM terjadi karena dulunya begitu tertutup, sehingga tidak
banyak informasi dalam negeri Cina yang diketahui dunia internasional. Dengan adanya
keterbukaan sistem ekonomi dan informasi sejak jaman Deng Xiao Ping, berbagai kecaman
internasional mulai menyoroti masalah pelanggaran HAM di Cina. Selain itu masuknya paham
liberal ikut serta dalam memunculkan aktivis Cina yang peduli HAM, seperti Han Depei, Li
Buyun, dan Liu Xiaobo. Perjuangan mereka dan dukungan berbagai tekanan internasional seperti
media dan organisasi HAM internasional selama puluhan tahun akhirnya membuahkan hasil,
pemerintah perlahan mulai peduli dengan pelaksanaan HAM di Cina serta aktif mengikuti
berbagai konferensi HAM internasional. Keberhasilan tersebut bukan berarti tanpa kendala,
karena pembatasan informasi yang masih terjadi meskipun tidak seradikal saat era Mao dan
sulitnya mengubah pola pikir rakyat Cina yang memang tidak mengenal konsep HAM
sebelumnya. Konfusianisme yang merupakan paham yang dianut bangsa Asia terutama Cina
hanya mengajarkan tentang apa yang menjadi kewajiban mereka saja berdasarkan status sosial
yang disandang tanpa berbicara tentang hak. Kontradiksi kemudian muncul di saat tahun 2005-
2010 dimana pelanggaran masih saja terjadi bahkan meningkat seperti penangkapan aktivis
HAM, represi kelompok minoritas seperti Tibet dan praktisi Falun Gong, serta pembatasan
media yang terlalu kritis menyoroti kinerja pemerintah. Selain itu apakah memang HAM
menjadi begitu penting bagi pemerintah Cina dengan adanya peran dari para aktivis HAM dan
tekanan internasional saja. Bukan dikarenakan oleh kepentingan nasional dari pemerintah Cina
yang sempat mengalami pergantian pemerintahan. Untuk menjawab permasalahan tersebut,
peneliti akan menggunakan teori pengambilan keputusan kebijakan dalam negeri,
konstruktivisme, image, dan sistem pengaruh kebijakan untuk merumuskan dugaan sementara
yang sekaligus menjadi penguat argumen peneliti jika memang ada pengaruh antara variabel-
variabel tersebut dengan masalah yang ada.
Cina dikenal sebagai negara yang banyak melakukan pelanggaran HAM, mulai dari
masalah tidak terpenuhinya berbagai hak sipil-politik, kebijakan satu anak di Cina, sampai
masalah hak-hak buruh yang tidak dipedulikan. Puncak pelanggaran HAM di Cina terjadi pada
peristiwa Tiananmen Square pada tahun 1989, di mana ribuan penduduk ditembak secara brutal
oleh militer pemerintah Cina karena ingin menggulingkan rezim diktator dan menggantinya
dengan sistem demokrasi (http://internasional.kompas.com). Ratusan nyawa melayang pada
peristiwa itu dan ribuan yang mengalami luka-luka. Dunia internasional pun berang dan Cina
pun dikecam (Erika, 2009). Demonstrasi ini sebenarnya merupakan hal yang wajar, karena
seharusnya setiap individu memiliki hak untuk berpendapat. Namun tidak demikian dengan
Cina, saat itu rakyat Cina masih belum memiliki kebebasan dan hak untuk berpendapat, sehingga
demonstrasi ini dinilai sebagai kegiatan yang melanggar hukum karena melawan pemerintah
(http://internasional.kompas.com). Oleh karena itu pemerintah Cina boleh menghukum rakyat
yang dianggap tidak patuh. Peristiwa ini dikabarkan menelan korban 200-300 orang, menurut
pemerintah Cina. Namun Chinese Red Cross menyebutkan bahwa korban yang meninggal
karena insiden tersebut mencapai 2000-3000 orang (Erika, 2009). Selepas insiden itu, pemerintah
Cina kemudian menangkap secara paksa orang-orang yang terlibat dalam demonstrasi tersebut,
serta membatasi penyebaran berita sehubungan peristiwa Tiananmen Square oleh seluruh media
Cina.
Awal mulanya dunia internasional tidak tahu-menahu bahwa ternyata begitu banyak
pelanggaran hak asasi manusia terjadi di Cina. Hal tersebut dikarenakan Cina dulunya begitu
tertutup, sehingga tidak banyak informasi dalam negeri Cina yang diketahui oleh masyarakat
internasional. Media-media internasional dilarang masuk ke wilayah Cina tanpa izin dari
Pemerintah. Hal ini menyebabkan banyak pelanggaran-pelanggaran HAM yang lantas tidak
terekspos oleh media internasional. Kalaupun ada, informasi yang keluar tersebut tentulah sudah
diseleksi oleh pemerintah Cina, sehingga tidak mudah membuktikan masalah pelanggaran HAM
yang terjadi di sana. Namun semenjak diadopsinya Open Door Policy oleh pemerintahan Deng
Xiao Ping pada tahun 1978-lah yang menandai keterbukaan sistem ekonomi dan informasi,
berbagai pelanggaran HAM yang terjadi mulai terkuak (Tempo, 1985). Keterbukaan informasi
ini memudahkan paham liberal untuk masuk ke Cina yang saat itu menerapkan sistem komunis,
dengan agenda yang diusungnya yaitu hak asasi manusia. Hal ini akhirnya memunculkan
aktivis-aktivis Cina yang peduli HAM, baik yang tergabung dalam lembaga HAM Cina ataupun
bergerak atas nama perorangan. Mereka berasal dari berbagai kalangan yaitu anggota lembaga
sosial masyarakat, individu, maupun para intelektual yang aktif menyuarakan pentingnya konsep
HAM yang diakui secara universal untuk diterapkan oleh pemerintah Cina pada rakyatnya
(Erika, 2009).
Deklarasi universal HAM dan kegiatan internasional di bidang perlindungan HAM ini
sebenarnya telah dilakukan sejak 1946, terutama di lingkungan PBB yang diselenggarakan oleh
majelis umum dan dewan ekonomi serta sosial dan berbagai komite dan komisi yang dibentuk
secara khusus (Plano, 1999: 268). Namun banyak masyarakat Cina tidak mengetahui apa yang
menjadi hak-nya sebagai seorang individu maupun rakyat. Para aktivis ini kemudian melakukan
berbagai cara untuk membuat rakyat Cina sadar akan hak-hak yang mereka miliki, baik itu
melalui pemikiran, tulisan, seminar, dan lain-lain. Salah satu aktivis yang cukup vokal kala itu
adalah Han Depei, yang mendefinisikan hak asasi manusia sebagai hak fundamental bagi setiap
orang. Han Depei mengkritik ajaran Konfusianisme yang cenderung memberi kedudukan khusus
bagi status sosial tertentu, Han mengatakan bahwa setiap orang seharusnya memperoleh hak
untuk hidup yang sama, hak untuk dihargai, dan berbagai hak-hak lainnya dalam porsi yang
sama tanpa memperhatikan status sosial orang tersebut (Depei, 1995).
Aktivis HAM lain adalah Li Buyun, Li mengatakan bahwa hukum dan pemerintah
seharusnya ada untuk melindungi hak-hak rakyatnya, bukan sebaliknya seperti yang terjadi di
Cina (Buyun, 1991). Aktivis Cina lain yang juga cukup berpengaruh di Cina adalah Zhang
Wenxian, seorang professor hukum dari Jilin University. Zhang mengatakan bahwa hanya
seorang individulah yang memiliki hak asasi, hak asasi adalah sebuah konsep yang terbatas, yang
hanya mengacu pada individu, sebagai anggota dari sebuah masyarakat (Wenxian, 1991). Oleh
karena itu Zhang mengakui adanya unsur individual dalam konsep HAM, dan menegasikan
unsur kolektif dalam konsep HAM. Zhang menentang diutamakannya kepentingan kolektif
daripada kepentingan individu apabila ternyata kepentingan kolektif itu akan melanggar hak
asasi seorang individu. Ketiadaan konsep HAM ini pada masyarakat Cina membuat Wang Jiafu,
Liu Hainian, dan Li Buyun mempermasalahkan masalah beratnya kewajiban yang harus
ditanggung rakyat Cina, di mana ternyata unsur kewajiban itu kemudian menghancurkan
kebebasan dan otonomi seorang individu atas dirinya. Lebih lanjut lagi, mereka menyalahkan
pemerintah yang cenderung memanfaatkan ketidakpahaman rakyat Cina akan konsep HAM
untuk kemudian menindas hak-hak mereka dan melakukan berbagai penyalahgunaan kekuasaan
(Jiafu, 1989). Wang dan kawan-kawan juga kemudian menyerukan dan melakukan berbagai cara
agar hak asasi individual dapat lebih diperhatikan dalam berbagai kebijakan pemerintah baik
dalam negeri maupun luar negeri terkait masalah HAM.
Usaha para aktivis HAM ini banyak menemui kendala diantaranya adalah pembatasan
informasi yang masih terjadi meskipun tidak seradikal saat era Mao dan sulitnya mengubah pola
pikir rakyat Cina yang memang tidak mengenal konsep HAM sebelumnya. Penyebabnya adalah
kepercayaan Konfusianisme yang mereka anut memang tidak mengenal konsep hak (Erika,
2009). Para aktivis ini sendiri mulai aktif bersuara sejak tahun 1980-an, seiring dengan berbagai
tekanan yang didapat Cina dari dunia internasional karena terkuaknya pelanggaran-pelanggaran
HAM di Cina. Dari sinilah titik balik perubahan kebijakan masalah HAM mulai terjadi di Cina.
Berbagai kendala yang ada tidak menyurutkan perjuangan para aktivis HAM karena
dukungan dari media dalam negeri maupun internasional yang terus memberitakan aksi
pelanggaran yang terjadi, sehingga mampu menarik simpati dari keluarga korban pelanggaran
HAM maupun masyarakat luas. Reaksi internasional juga terlihat dari tekanan organisasi HAM
internasional seperti Amnesti Internasional dan Human Right Watch yang terus mengecam
pelanggaran yang terjadi (www.epochtimes.co.id). Akhirnya pemerintah Cina pun mulai
mengubah kebijakan dalam negeri maupun luar negerinya terkait masalah HAM seperti
pembuatan undang-undang HAM yang berisi sanksi bagi para pelanggarnya, pelibatan
masyarakat dalam edukasi mengenai HAM, dan perijinan adanya buku-buku yang membahas
tentang HAM untuk di jual di China. Ditambah dengan dikeluarkannya Human Rights White
Paper oleh Pemerintah China tahun 1991 sebagai wujud kepeduliannya untuk ikut serta dalam
berbagai konferensi HAM internasional seperti Konferensi Hubungan Legal Antara Hak dan
kewajiban tahun 1988 di Changchun, China; Konferensi Konsep HAM di China oleh Law
Institute of Chinese Academy of Social Sciences 18-21 Juni 1991; World Conference on Human
Rights 1993 Vienna, Austria; Konferensi Internasional Tentang HAM 21 Oktober 1998 di China
(Erika, 2009).
Dari seluruh konferensi-konferensi yang diadakan ataupun dihadiri oleh China tersebut
diatas, China telah membuktikan perubahan sudut pandang pemikiran dan pola pemerintahan
mereka yang telah lebih baik dari sebelumnya. Ketertarikan Cina pada masalah HAM saat itu
juga ditunjukkannya melalui partisipasi aktif Cina di PBB. Selain itu, Cina juga menyatakan
kesediaannya untuk memperkuat kerjasama internasional lebih lanjut mengenai HAM.
Keberhasilan penegakan HAM tersebut selanjutnya menimbulkan kontradiksi saat data
resmi terbaru menunjukkan penangkapan aktivis HAM, represi kelompok minoritas seperti Tibet
dan praktisi Falun Gong, serta pembatasan media yang terlalu kritis menyoroti kinerja
pemerintah. Menurut Amnesti Internasional, jumlah pelanggaran HAM di Cina terus meningkat
dari tahun 2005 (http://www.infoanda.com). Bahkan pada tahun 2009 naik hingga 20 %, dimana
1.500 orang China dihukum atas tuduhan mengancam keamanan negara, Liu Xiaobo, Chen
Guangcheng, dan Gao Zhisheng adalah beberapa diantaranya. Liu, penulis terkemuka, telah
dijatuhi hukuman 11 tahun penjara karena dianggap menimbulkan subversi atas kekuasaan
negara. Guangcheng yang merupakan aktivis HAM tuna netra dipenjarakan selama empat tahun,
setelah membeberkan pelanggaran HAM satu anak di China dimana pejabat di Provinsi
Shandong memaksa 7.000 perempuan menjalani aborsi atau sterilisasi. Cheng disebut-sebut
dicalonkan menjadi penerima nobel perdamaian (http://internasional.kompas.com). Sedangkan
Gao dicabut izin prakteknya, disiksa, dipenjara dan dikucilkan dalam waktu lama, dibebaskan
hanya dalam dua minggu, kemudian diculik lagi oleh polisi rahasia. Hal ini kemudian mendapat
kritikan dari Senator Dorgan yang mengetuai dengar pendapat Kongres-Komisi Ekskutif China
di Capitol Hill bahwa ini adalah cara paling memalukan dan paling kejam dalam memperlakukan
kekerasan fisik dan psikologi terhadap seorang pengacara HAM terbesar China
(http://erabaru.net). Lebih parahnya lagi adalah dijatuhinya hukuman 15 tahun penjara pada 23
Juli 2010 lalu terhadap seorang wartawan Uyghur, Gheyret Niyaz karena dituduh pemberian
wawancara kepada media asing setelah kekerasan etnis di Xinjiang Juli 2009, menurut Human
Rigths Watch(http://www.infoanda.com).
Dari sinilah permasalahan sebenarnya mulai terlihat, dimana perubahan kebijakan luar
negeri Cina terkait masalah HAM di tahun 1990-an menimbulkan kontradiksi di tahun 2005-
2010. Ada banyak kemungkinan yang semestinya ditelaah lebih lanjut, dimana perubahan
kebijakan luar negeri Cina terjadi tidak sebatas karena peran para aktivis HAM dan tekanan
internasional saja maupun itikad baik dari pemerintah untuk memperbaiki hubungan dengan
rakyatnya. Namun bisa saja terjadi karena pemerintah Cina lebih mengutamakan kepentingan
nasionalnya karena sebagai negara dan bangsa yang besar Cina memiliki banyak tanggung jawab
di mata dunia internasional selain citranya yang semakin buruk akibat pemberitaan dari berbagai
media. Apalagi saat itu Cina juga terpilih menjadi kandidat dewan perlindungan HAM PBB
bersama AS dan Kuba. Belum lagi tekanan negara-negara Besar, khususnya AS dan Eropa yang
merupakan negara penjunjung HAM sangat menegur keras pelanggaran-pelanggaran HAM di
China dan menyaratkan penegakan HAM sebagai syarat kerjasama dengan negara lain. Hal ini
terlihat dari pembekuan hubungan diplomatik oleh Prancis, protes keras dan penghentian
penjualan senjata oleh AS dan Inggris paska tragedi Tianan Men. Bila pada awalnya saja protes
keras bangsa Barat berupa pembekuan hubungan diplomatik, maka bukan mustahil bila pada
suatu waktu bangsa-bangsa liberal itu akan menghentikan sama sekali kerjasama mereka dengan
China yang saat itu sangat memerlukan FDI untuk membangun perekonomiannya.
Hal ini terbukti dengan adanya kutukan dari parlemen Eropa atas pelanggaran HAM yang
terjadi di Cina, hal senada juga disampaikan oleh penyair, filsuf, dan anggota parlemen dari
Lithuania, Leonidas Donskis yang mengatakan bahwa cara Partai Komunis Cina memperlakukan
rakyatnya sangat mirip dengan bekas Uni Soviet. Alasan utama mengapa komunitas
internasional menolerir kondisi HAM China adalah bahwa banyak negara ingin melindungi
kepentingan mereka sendiri (http://www.clearwisdom.net). Komentar lain berasal dari Ketua
Human Rights Watch Asia, Brad Adams, yang mengatakan:
“Uni Eropa dan negara-negara anggotanya bersama dengan negara-negara lain di dunia harus secara
terbuka dan jelas membahas masalah HAM China, daripada menghabiskan tenaga – negosiasi tertutup dengan PKC
yang tidak berhasil karena tekanan publik dan deklarasi suci adalah cara yang efektif. Kita perlu mengingatkan
dunia, bahwa apa yang sedang terjadi pada 1,3 miliar rakyat China (pelanggaran HAM) adalah lebih penting
daripada perjanjian perdagangan itu dan membeli barang-barang murah China.” (http://www.clearwisdom.net)
Kemungkinan yang terakhir adalah penelitian ini dikhususkan pada rentang tahun 2005-
2010 di mana perubahan pertama kebijakan luar negeri Cina terkait HAM itu terjadi pada tahun
1990-an. Sehingga situasi serta pemerintah yang menjabat berbeda dan berimplikasi pada
perbedaan pengimplementasian kebijakan luar negeri Cina terkait masalah HAM sehingga
perubahan bisa saja terus terjadi. Dari sekian banyak alasan yang memungkinkan terjadinya
kontradiksi perubahan kebijakan luar negeri Cina, peneliti akan membuat skala prioritas pada
bagian hipotesis untuk menjawab rumusan masalah di bawah ini.
1.5 Hipotesis
Dengan memahami latar belakang masalah dan kerangka pemikiran yang dipakai, dapat
ditemukan jawaban bahwa semua alasan yang dikemukakan di atas memiliki pengaruh yang
saling terkait terhadap kontradiksi perubahan kebijakan luar negeri Cina terkait HAM pada
tahun 2005-2010, dengan prioritas sebagai berikut:
Pertama, dalam kasus Cina ini peneliti melihat alur dimana dengan adanya keterbukaan
informasi dan ekonomi pada era Deng Xiaoping akhirnya membuat paham liberal dengan
agendanya yaitu HAM masuk ke Cina dan memunculkan aktivis HAM. Para aktivis tersebut
kemudian berjuang mengonstruksikan HAM melalui berbagai cara ssuai dengan latar belakang
pekerjaan masing-masing. Ada yang berupa tulisan, kritikan langsung pada pemerintah, sampai
pemberian keterangan pada berbagai media, meskipun banyak dari mereka yang ditangkap dan
disiksa. Keterbukaan informasi tersebut juga diiringi dengan tekanan dari media internasional
yang meliput berbagai pelanggaran yang terjadi sehingga menarik simpati internasional dari
rakyat Cina sendiri maupun berbagai organisasi HAM internasional. Sinergi antara keduanya,
peneliti kategorikan sebagai faktor pendorong terjadinya perubahan kebijakan luar negeri Cina
yang lebih peduli dan mengakui konsep HAM pada tahun 1990-an yaitu saat Jiang Zemin
menjabat sebagai presiden dan Deng Xiaoping menjadi pemimpin secara de facto. Perubahan ini
juga dipengaruhi oleh factor penarik di bawah ini yang sekaligus merupakan factor dominan
yang bisa menjawab mengapa kontradiksi perubahan kebijakan luar negeri terkait HAM ini
mengalami kenaikan pelangggaran HAM di tahun 2005-2010 saat Hu Jintao menjabat.
Pergantian pemerintah ini memang memiliki pengaruh dalam pengambilan kebijakan maupun
pengimplementasian kebijakan, namun idiosinkretik pemimpin di sini tidak berpengaruh terlalu
besar karena pada periode kepemimpinan Hujintao yang pertama sebelum tahun 2005 jumlah
pelanggaran belum menunjukkan kenaikan yang berarti.
Kedua, adanya faktor penarik berupa pertimbangan kepentingan nasional Cina yaitu
untuk menjaga image pemerintah Cina di depan rakyatnya maupun di depan negara lain karena
semakin intensnya tekanan yang muncul. Apalagi di tahun 1990-an Negara-negara Eropa dan AS
sempat melakukan pembekuan diplomatik dan urusan kerjasama paska tragedi Tiananmen. Jadi,
perubahan kebijakan HAM khususnya yang berhubungan dengan kebijakan luar negerinya lebih
disebabkan karena faktor kedua ini, sehingga bisa dipahami bila pemerintah Cina sudah tidak
terlalu mempedulikan image-nya lagi, tidak melakukan kerjasama dengan Eropa dan AS ataupun
kedua negara tersebut tidak lagi melakukan penekanan atas pelanggaran HAM yang terjadi di
Cina maka kontradiksi yang muncul akibat kenaikan jumlah pelanggaran HAM bisa dipahami
REFERENSI
Internet
Anonim. 2009. Tank Itu Melindas Banyak Orang. Diakses dari http://internasional.kompas.com
pada 26 September 2010
Anonim. 2010. Aktivis China dibebaskan diakses dari http://internasional.kompas.com pada 25
September 2010
Anonim. 2010. Cina dan Kebijakan satu anak diakses dari http://bataviase.co.id pada 25
September 2010
Anonim. Parlemen Eropa Mengutuk Pelanggaran HAM China pada Dengar pendapat umum
diakses dari http://clearwisdom pada 25 September 2010