Anda di halaman 1dari 19

PERENCANAAN DIAGNOSA KEPERAWATAN PADA LANSIA

DENGAN MASALAH KOMUNIKASI

Ditunjukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gerontik


Program Studi S1 Keperawatan Di STIKes YPIB Majalengka
Dosen Pengampus : Yophi Nugraha,Skep.,Ners.,MKes

Disusun oleh :
Kelompok 2
1Ainun Noercahayadewi : 18142011002
2Ahmad Taufik : 18142011004
3DD Ike Mirna : 18142011010
4Ega Okita Irawan : 18142011015
5Je’an Zeina Fahira : 18142011019
6Mega Sri Rahayu : 18142011023
7Muthia Yulia Fasya : 18142011027
8Novia Rosa Khairany : 18142011031
9Pebri Rukmana : 18142011034
10RahmawatyLengkoano : 18142011037
11 Silviana E Sriwulandari : 18142011042
12 Yeyen Nendiawati : 18142011050

PRODI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes)
YPIB MAJALENGKA
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................... i

KATA PENGANTAR.................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.......................................................................... 4
B. Rumusan Masalah..................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan....................................................................... 5
D. Manfaat Studi Kasus................................................................. 5

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Teori Penuaan............................................................................ 6
B. Perencanaan Keperawatan Gerontik......................................... 11
C. Penentuan Tujuan dan Hasil yang diharapkan.......................... 13
D. Rencana Tindakan..................................................................... 14

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan............................................................................... 18
B. Saran.......................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA..................................................................... 19
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan


rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul Makalah Laporan Pendahuluan dan Asuhan
Keperawatan dengan Ruptur Uteri ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk


memenuhi tugas Bapak Yophi Nugraha,Skep.,Ners.,MKes pada mata
kuliah Keperawatan Gerontik. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang Perencanaan Diagnosa
Keperawatan pada Lansia dengan masalah komunikasi bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang


telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Majalengka, 01 Mei 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dengan meningkatnya pertumbuhan populasi penduduk lanjut usia


berbagai masalah klinis pada pasien lanjut usia akan menjadi semakin sering
dijumpai di praktik klinis. Jumlah penduduk di Indonesia menurut data PBB,
Indonesia diperkirakan mengalami peningkatan jumlah warga lanjut usia yang
tertinggi di dunia, yaitu 414%, hanya dalam waktu 35 tahun (1990-2025),
sedangkan di tahun 2020 diperkirakan jumlah penduduk lanjut usia akan
mencapai 25,5 juta. Menurut Lembaga Demografi Universitas Indonesia,
presetase jumlah penduduk berusia lanjut tahun 1985 adalah 3,4% dari total
penduduk, tahun 1990 meningkat menjadi 5,8% dan di tahun 2000 mencapai
7,4%. Dokteryang berpraktek perlu memahami kebutuhan yang unik pada
populasi pasien lanjut usia ini sehingga mereka akan lebih siap berkomunikasi
secara efektif selama kunjungan pasien lanjut usia tersebut (Hingle dan Sherry,
2009).
Terdapat banyak bukti bahwa kesehatan yang optimal pada pasien lanjut
usia tidak hanya bergantung pada kebutuhan biomedis akan tetapi juga
tergantung dari perhatian terhadap keadaan sosial, ekonomi, kultural dan
psikologis pasien tersebut. Walaupun pelayanan kesehatan secara medis pada
pasien lanjut usia telah cukup baik tetapi mereka tetap memerlukan komunikasi
yang baik serta empati sebagai bagian penting dalam penanganan persoalan
kesehatan mereka. Komunikasi yang baik ini akan sangat membantu dalam
keterbatasan kapasitas fungsional, sosial, ekonomi, perilaku emosi yang labil
pada pasien lanjut usia (William et al.,2007)

B. Rumusan Masalah
Bagaimana perencanaan Diagnosa keperawatan Pada Lansia dengan
Masalah Komunikasi ?
C. Tujuan Penulisan

 Tujuan Umum

1. Diharapkan makalah ini dapat menambah pengetahuan dan


keterampilan kelompok dalam menerapkan komunikasi terapeutik pada
lansia.
2. Menambah pengetahuan dan wawasan bagi semua pembaca tentang
komunikasi terapeutik pada lansia.

 Tujuan Khusus
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan dan
keterampilan pada mahasiswa dalam menerapkan proses komunikasi
terapeutik pada klien lansia.

D. Manfaat Studi Kasus

Hasil studi kasus ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan ilmu


terutama pada bagian ilmu gerontologi dan keperawatan gerontik, sehingga
para tenaga kesehatan dapat mengetahui proses perawatan lansia dengan
demesia secara benar.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Penuaan
Proses penuaan merupakan proses alamiah yang terjadi pada setiap
individu. Proses penuaan menyebabkan fungsi organ tubuh dapat mengalami
penurunan bahkan kerusakan. Teori wear and tear dan teori radikal bebas
menjelaskan bagaimana proses menua dapat mempengaruhi fungsi atau
kerja sistem kardiovaskular. Teori wear and tear mengansumsikan tubuh
manusia seperti mesin yang akan usang setelah dipakai terus-menerus
selama bertahun-tahun (Miller, 2012). Perubahan pada sistem kardiovaskular
salah satunya, yaitu pembuluh darah mengalami penyempitan dan menjadi
kurang elastis akibat penumpukan plak atau yang disebut aterosklerosis
(Miller, 2012). Plak pada satu atau lebih pembuluh darah otak dapat
mengakibatkan penyumbatan total atau parsial aliran darah sehingga sirkulasi
serebral menurun (Smeltzer dan Bare, 2005). Penurunan sirkulasi serebral ini
dapat menyebabkan stroke dan mengakibatkan terjadinya hemiplegia, afasia,
disfagia, hemianopia, penurunan kesadaran, disfungsi usus dan kandung kemih,
hal ini bergantung pada bagian otak yang terkena.
Teori radikal bebas menjelaskan penurunan fungsi kerja tubuh merupakan
akibat dari akumulasi radikal bebas dalam tubuh (Miller, 2012). Radikal bebas
merupakan zat yang terbentuk dalam tubuh manusia sebagai hasil metabolisme
(Stanley dan Beare, 2007). Bertambahnya umur seseorang menyebabkan
terakumulasinya kolestrol jahat berbentuk plak yang menutupi pembuluh darah
atau yang biasa disebut aterosklerosis. Plak yang menutupi pembuluh darah
secara total akan menghambat, bahkan menghentikan aliran darah ke otak.
Sementara itu, plak yang menghambat sebagian lumen pembuluh darah,
sewaktu-waktu dapat terlepas dan terbawa aliran darah. Plak yang sampai
pada pembuluh darah yang kecil seperti kapiler, disebut tromboemboli, akan
menghambat total aliran darah ke otak sehingga menyebabkan stroke (Price
dan Wilson, 2003). Selain itu, akumulasi dari zat karsiogenik dapat
menyebabkan terjadinya tumor atau kanker pada tubuh (Smeltzer dan Bare,
2005).
1. Prinsip Komunikasi Efektif
Komunikasi efektif diperlukan dalam berinteraksi dengan orang lain.
Komunikasi efektif terjadi jika pesan, ide, atau gagasan dari komunikator
tersampaikan dalam sebuah kontak sosial (Potter dan Perry, 2005).
Kegagalan dalam berkomunikasi akan menyebabkan tidak tersampaikannya
pesan dengan baik. Komunikasi efektif terdiri dari lima prinsip, yaitu
respect, empathy, audible, clarity, dan humble. Respect merupakan sikap
menghormati dan menghargai lawan bicara. Empathy merupakan
kemampuan untuk menempatkan diri pada situasi yang dihadapi orang lain.
Empati dapat melatih kemampuan mendengar dan menerima umpan balik
dengan sikap positif. Audible merupakan kemampuan mendengarkan pesan
dari pemberi pesan dengan baik. Clarity berarti pesan yang disampaikan
harus jelas dan tidak menyebabkan ambiguitas. Humble merupakan sikap
rendah hati yang diperlukan untuk menumbuhkan respect dan empathy
kepada orang lain (Potter dan Perry, 2005).
2. Hambatan Komunikasi Verbal pada Lansia Post Gangguan Cerebrovaskular

a. Definisi Hambatan Komunikasi Verbal

Hambatan komunikasi verbal merupakan penurunan, keterlambatan,


atau tidak adanya kemampuan untuk menerima, memproses,
menghantarkan, dan menggunakan sistem simbol, yaitu segala sesuatu
yang memiliki atau menghantarkan makna (Wilkinson dan Ahern, 2012).
Penyebab terjadinya hambatan komunikasi verbal meliputi perubahan
pada sistem saraf pusat, perubahan konsep diri, defek anatomi seperti
celah palatum perubahan pada sistem neuromuskular, sistem
pendengaran, atau pita suara. Selain itu, tumor otak, kondisi emosi,
perbedaan budaya, efek samping obat, dan kondisi lingkungan juga
merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya hambatan
komunikasi verbal (Wilkinson dan Ahern, 2012). Batasan karakteristik
residen dengan hambatan komunikasi verbal meliputi tidak adanya
kontak mata ketika berinteraksi, kesulitan dalam mengolah kata-kata atau
kalimat, kesulitan mengungkapkan pikiran secara verbal, gangguan
penglihatan, bicara pelo, bicara gagap, dan kesulitan dalam
mempertahankan pola komunikasi yang sebelumnya dapat dilakukan
(Wilkinson dan Ahern, 2012).
b. Patofisiologis Hambatan Komunikasi Verbal pada Lansia Post Gangguan
Cerebrovaskular
Residen yang pengalami gagguan cerebrovaskular dapat mengalami
gangguan berbicara atau berkomunikasi. Hal ini dapat terjadi karena
gangguan cerebrovaskular mempengaruhi sistem neurologi. Penelitian
Nadeau, Rothi, dan Crosson(2000) menunjukkan hambatan komunikasi
verbal dapat terjadi mengikuti stroke dan traumatic brain injury, dapat
pula dihubungkan dengan penyakit yang mempengaruhi unsur dan fungsi
otak.
Bertambahnya umur seseorang menyebabkan terakumulasinya
kolestrol jahat berbentuk plak yang menutupi pembuluh darah atau yang
biasa disebut aterosklerosis. Plak yang menutupi pembuluh darah secara
total akan menghambat, bahkan menghentikan aliran darah ke otak.
Sumbatan tersebut mengakibatkan pembuluh darah ruptur sehingga aliran
darah mengalami gangguan dan mengakibatkan sel kekurangan oksigen
sehingga terjadi infark (Price dan Wilson, 2003). Selain itu, akumulasi
dari zat karsiogenik dapat menyebabkan terjadinya tumor atau kanker
pada tubuh (Smeltzer dan Bare, 2005).
Lesi yang terdapat pada hemisfer dominan tepatnya lobus frontalis,
pada lobus ini terdapat area broca, kerusakan yang ditimbulkan tidak
akan menghalangi seseorang mengeluarkan suara. Akan tetapi
mengakibatkan seseorang tidak mampu menggucapkan seluruh kata-kata
atau hanya memahami kata-kata sederhana dan kemampuan
mengekspresikan kata-kata bermakna dalam bentuk tulisan atau lisan
akan terganggu, hal ini disebut disfasia ekspresif (Smeltzer dan Bare,
2005).
Residen yang mengalami lesi pada lobus temporalis kiri masih
mampu mengekspresikan bahasa secara utuh, tetapi pemahaman terhadap
kata-kata yang diucapkan atau tertulis terganggu hal ini disebut disfasia
reseptif (Smeltzer dan Bare, 2005). Hal ini terjadi karena pada lobus
temporalis superior di hemisfer dominan yang dinamakan area wernicke
berfungsi untuk pendengaran dan penglihatan. Informasi dari area
wernicke tersebut akan disampaikan ke area broca melalui fasikulus
arkuatus, kemudia diproses menjadi gambaran yang mendetail dan
tersusun untuk bicara, kemudian berproyeksi ke kortek motorik yang
menimbulkan gerakan lidah, bibir dan larinx yang sesuai untuk
menghasilkan suara. Girus angularis dibelakang area wernicke akan
memproses informasi dari kata-kata yang dibaca sehingga menjadi kata-
kata bentuk auditorik pada area wernicke (Smeltzer dan Bare, 2005).
c. Jenis-jenis Hambatan Komunikasi Verbal
Penelitian Ninds (2006) menyebutkan satu dari empat residen post
stroke di United Kingdom menggalami gangguan berbicara, menulis, dan
membaca. Cigna (2005) menyebutkan gangguan yang mungkin terjadi
meliputi gangguan artikulasi, gangguan kelancaran berbicara, dan
gangguan suara. Sedangkan menurut Touhy dan Jett (2010) gangguan
komunikasi post stroke meliputi dysatria, afasia, dan apraxia.
Gangguan artikulasi merupakan ketidakmampuan individu
menghasilkan suara yang jelas. Cigna (2005) menyebutkan gangguan
artikulasi merupakan gangguan phonologikal yang memunculkan
ketidaksesuaian antara bunyi suara dan kata- kata sehingga kalimat
kurang dapat dipahami. Gangguan ini dapat diklasifikasikan menjadi dua,
yaitu gangguan artikulasi motorik dan gangguan artikulasi fungsional.
Gangguan artikulasi motorik melibatkan kerusakan di susunan otak pusat
atau perifer, sedangkan gangguan artikulasi fungsional belum diketahui
penyebabnya.

Gangguan kelancaran berbicara dapat terjadi akibat ketidakmampuan


individu mengontrol bunyi suara. Cigna (2005) menyebutkan gangguan
kelancaran berbicara terjadi akibat adanya perpanjangan atau
pengulangan dalam memproduksi bunyi suara. Gangguan kelancaran
berbicara termasuk dalam abnormalitas kelancaran aliran suara yang
keluar, misalnya gagap.
Gangguan suara dapat terjadi karena abnormalitas fungsi laring dan
saluran pernafasan. Cigna (2005) menyebutkan gangguan suara terjadi
karena ketidakmampuan memproduksi suara (fonasi) secara akurat.
Individu yang mengalami gangguan suara tidak mampu menghasilkan
suara yang berkualitas, nada, resonan, dan durasi yang efektif.
Disatria merupakan kesulitan dalam berbicara.Touhy dan Jett
(2010) menyatakan disatria dapat terjadi akibat kasus neurologik seperti
paralisis otot yang bertanggung jawab menghasilkan bicara. Disatria
menyebabkan ketidakjelasan dan kesalahan dalam pengucapan suatu
kata. Individu yang mengalami disatria dapat mengalami kesulitan dalam
berbicara sehingga pembicaraannya sulit untuk dipahami.
Disfasia atau afasia merupakan hilangnya kemampuan individu
mengekspresikan diri sendiri atau mengerti bahasa. Touhy dan Jett
(2010) mengemukakan kerusakan yang terjadi di area lobus frontal
menyebabkan hilangnya kemampuan ekspresif, yaitu ketidakmampuan
untuk mengekspresikan diri, sedangkan kerusakan pada lobus temporal
kiri mengakibatkan hilangnya kemampuan reseptif, yaitu
ketidakmampuan mengerti apa yang dikatakan orang lain. Afasia terbagi
dalam enam jenis, meliputi aculcullia, agnosia, agraphia, dyslexia,
anomia, paraphasia, dan perseveration (Touhy dan Jett, 2010). Aculcullia
merupakan ketidakmampuan mengerjakan matematika atau simbol-
simbol angka umum. Agnosia merupakan ketidakmampuan mengenali
benda-benda yang sudah dikenal sebelumnya dengan merasakannya
melalui panca indera. Agraphia merupakan ketidakmampuan menulis
kata-kata. Dyslexia merupakan kesulitan dalam membaca. Anomia
merupakan kesuitan dalam memilih kata-kata yang tepat terutama kata
benda. Paraphasia merupakan kesalahan penggunaan kata-kata.
Perseveration merupakan pengulangan terus- menerus pada satu aktivitas
atau kata atau kalimat yang tidak tepat.
Apraxia merupakan kelainan bicara yang disebabkan kelainan
motorik.Apraxia menghambat kemampuan seseorang untuk
menggerakkan lidah dan biir secara benar (Touhy dan Jett, 2010).
Apraxia juga dapat diartikan sebagai kesukaran dalam pembentukan dan
menghubungkan katakata yang dimengerti walaupun susunan otot-otot
utuh. Apraxia juga dapat mempengaruhi proses mengunyah dan menelan.

B. Perencanaan Keperawatan Gerontik


Perencanaan Keperawatan Gerontik ini merupakan langkah ketiga dalam
proses keperawatan. Perawat memerlukan berbagai pengetahuan dan
keterampilan diantaranya pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan klien,
nilai dan kepercayaan klien, batasan praktek keperawatan, peran dari tenaga
kesehatan lainnya. Pengetahuan dan keterampilan lain yang harus dimiliki
perawat adalah kemampuan memecahkan masalah, kemampuan mengambil
keputusan, kemampuan menulis tujuan serta memilih dan membuat strategi
keperawatan yang aman dalam memenuhi tujuan, menulis intruksi keperawatan
serta kemampuan dalam melaksanakan kerja sama dengan perangkat kesehatan
lain.

1. Pengertian perencanaan keperawatan gerontik


Perencanaan keperawatan gerontik adalah suatu proses penyusunan
berbagai intervensi keperawatan yang berguna untuk untuk mencegah,
menurunkan atau mengurangi masalah-masalah lansia.
2. Prioritas masalah keperawatan
Penentuan prioritas diagnosis ini dilakukan pada tahap perencanaan
setelah tahap diagnosis keperawatan. Dengan menentukan diagnosis
keperawatan, maka perawat dapat mengetahui diagnosis mana yang akan
dilakukan atau diatasi pertama kali atau yang segera dilakukan. Terdapat
beberapa pendapat untuk menentukan urutan prioritas, yaitu:
a. Berdasarkan tingkat kegawatan (mengancam jiwa)
Penentuan prioritas berdasarkan tingkat kegawatan (mengancam
jiwa) yang dilatarbelakangi oleh prinsip pertolongan pertama, dengan
membagi beberapa prioritas yaitu prioritas tinggi, prioritas sedang dan
prioritas rendah.
1) Prioritas tinggi:
Prioritas tinggi mencerminkan situasi yang mengancam
kehidupan (nyawa seseorang) sehingga perlu dilakukan terlebih
dahulu seperti masalah bersihan jalan napas (jalan napas yang tidak
effektif).
2) Prioritas sedang:
Prioritas ini menggambarkan situasi yang tidak gawat dan tidak
mengancam hidup klien seperti masalah higiene perseorangan.
3) Prioritas rendah:
Prioritas ini menggambarkan situasi yang tidak berhubungan
langsung dengan prognosis dari suatu penyakit yang secara spesifik,
seperti masalah keuangan atau lainnya.
b. Berdasarkan kebutuhan Maslow
Maslow menentukan prioritas diagnosis yang akan direncanakan
berdasarkan kebutuhan, diantaranya kebutuhan fisiologis keselamatan
dan keamanan, mencintai dan memiliki, harga diri dan aktualisasi diri.
Untuk prioritas diagnosis yang akan direncanakan, Maslow membagi
urutan tersebut berdasarkan kebutuhan dasar manusia, diantaranya:
1) Kebutuhan fisiologis
Meliputi masalah respirasi, sirkulasi, suhu, nutrisi, nyeri, cairan,
perawatan kulit,mobilitas, dan eliminasi.
2) Kebutuhan keamanan dan keselamatan
Meliputi masalah lingkungan, kondisi tempat tinggal,
perlindungan, pakaian, bebas dari infeksi dan rasa takut.

3) Kebutuhan mencintai dan dicintai


Meliputi masalah kasih sayang, seksualitas, afiliasi dalam
kelompok antar manusia.
4) Kebutuhan harga diri
Meliputi masalah respect dari keluarga, perasaaan menghargi diri
sendiri.
5) Kebutuhan aktualisasi diri
Meliputi masalah kepuasan terhadap lingkungan.

C. Penentuan Tujuan Dan Hasil Yang Di Harapkan

Tujuan merupakan hasil yang ingin dicapai untuk mengatasi masalah


diagnosis keperawatan, dengan kata lain tujuan merupakan sinonim kriteria
hasil (hasil yang diharapkan) yang mempunyai komponen sebagai berikut:
S (subyek) P (predikat) K (kriteria) K (kondisi) W (waktu), dengan
penjabaran sebagai berikut:
S : Perilaku lansia yang diamati.
P : Kondisi yang melengkapi lansia.
K : Kata kerja yang dapat diukur atau untuk menentukan tercapainya tujuan.
K : Sesuatu yang menyebabkan asuhan diberikan.
W : Waktu yang ingin dicapai.
Kriteria hasil (hasil yang diharapkan) merupakan standard evaluasi yang
merupakan gambaran faktor-faktor yang dapat memberi petunjuk bahwa tujuan
telah tercapai. Kriteria hasil ini digunakan dalam membuat pertimbangan
dengan cirri-ciri sebagai berikut: setiap kriteria hasil berhubungan dengan
tujuan yang telah ditetapkan, hasil yang ditetapkan sebelumnya memungkinkan
dicapai, setiap kriteria hasil adalah pernyataan satu hal yang spesifik, harus
sekongkrit mungkin untuk memudahkan pengukuran, kriteria cukup besar atau
dapat diukur, hasilnya dapat dilihat, didengar dan kriteria menggunakan kata-
kata positif bukan menggunakan kata negatif. Contoh: gangguan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh pada lansia teratasi dengan kriteria hasil berat badan
seimbang, porsi makan habis; setelah dilaksanakan asuhan keperawatan selama
7 hari.

D. Rencana Tindakan
1. Terapi Wicara pada Residen dengan Hambatan Komunikasi Verbal
Asuhan keperawatan yang dapat diberikan pada residen dengan
hambatan komunikasi verbal, yaitu melalui terapi wicara. Terapi wicara
merupakan treatment yang dilakukan pada residen hambatan komunikasi
verbal agar memperoleh kembali bahasanya (Siguroardottir dan
Sighvatsson, 2006). Target terapi wicara adalah untuk meningkatkan
harapan hidup sehari-hari. selain itu, terapi yang diberikan pada lansia
dengan hambatan komunikasi verbal bertujuan meningkatkan komunikasi
lansia secara verbal, tulisan, atau isyarat (Bakheit et al., 2007). Tujuan terapi
wicara secara spesifik meliputi meningkatnya kejelasan dalam ucapan,
kemampuan untuk mengerti kata-kata sederhana, dan kemampuan
mengeluarkan kata-kata yang jelas dan dapat dimengerti (Nadeau, Rothi,
dan Crosson, 2000). Tugas-tugas dalam terapi wicara meliputi word finders,
everyday objects, objects and action, everyday activities, sentence builders,
dan phrase builders, (Berthier, 2005).
Senam lidah dapat dilakukan sebelum terapi wicara. Hal ini bertujuan
untuk merilekskan otot-otot lidah. Senam lidah terdiri dari sembilan
gerakan. Gerakan pertama adalah menjulurkan lidah ke depan. Gerakan
kedua adalah sentuhkan lidah dengan rahang atas. Gerakan ketiga adalah
sentuhkan lidah dengan rahang bawah. Gerakan keempat adalah sentuhkan
lidah dengan sudut bibir kanan. Gerakan kelima adalah sentuhkan lidah
dengan sudut bibir kiri. Gerakan keenam adalah tersenyum. Gerakan
ketujuh adalah memonyongkan bibir. Gerakan kedelapan adalah membuka
bibir hingga selebar-lebarnya. Gerakan terakhir adalah merapatkan bibir
(Nadeau, Rothi, dan Crosson, 2000).
Latihan pengucapan huruf vokal dan penggabungan huruf vokal dengan
huruf konsonan juga perlu dilakukan sebelum terapi wicara. Hal ini
bertujuan agar residen mengetahui cara pengucapan huruf sebelum belajar
mengucapkan kata atau kalimat (Nadeau, Rothi, dan Crosson, 2000).
Tahapan ini mengajarkan cara pengucapan huruf vokal a, i, u, e, o.
Selain itu, penggabungan huruf vokal dengan huruf konsonan juga
dilatih seperti pengucapan ba bi bu be bo, pa pi pu pe po, ma mi mu me mo,
ta ti tu te to, ya yi yu ye yo, dan za zi zu ze zo.
a. Word finders atau mencari kata-kata
Merupakan tugas pertama dalam terapi wicara. Residen diminta
menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana mengenai kehidupan sehari-
hari (Berthier, 2005). Contoh pertannyaannya yaitu, “Mencuci tangan
menggunakan sabun dan?” jawabnya, “Air”. “Setelah mandi kita
memakai baju dan?” jawabnya, “Celana”. “Seorang anak mempunyai
orang tua yang terdiri dari ayah dan?” jawabannya, “Ibu”.
b. Everyday objects atau benda sehari-hari
Merupakan tugas kedua dari terapi wicara. Residen pada tahap ini
akan ditunjukkan beberapa benda yang biasa digunakan untuk aktivitas
sehari- hari. Residen kemuadian dilatih untuk mengucapkan nama benda-
benda tersebut (Berthier, 2005). Contoh nama benda yang dilatih seperti
kursi, pulpen, lemari, bantal, buku, cermin, sepatu, tempat tidur, tempat
sampah, dan kain pel.
c. Objects and action atau benda dan aksi
Merupakan tugas ketiga dari terapi wicara. Residen pada tahap ini
ditunjukkan beberapa benda yang biasa digunakan sehari- hari. Setelah
itu, residen diminta untuk membuat kalimat berisi aktivitas menggunakan
benda tersebut (Berthier, 2005).
Contohnya residen ditunjukkan sebuah gelas, kemudian residen
dapat membuat kalimat seperti, “Saya minum teh menggunakan gelas.”
Selanjutnya residen ditunjukkan sebuah pulpen, kalimat yang dapat
dibuat seperti, “Saya menulis menggunakan pulpen.” Terakhir residen
ditunjukkan sebuah sepatu, kalimat yang dapat dibuat seperti, “Saya
pergi memakai sepatu.”

d. Everyday activities atau aktivitas sehari-hari


Merupakan tugas keempat dari terapi wicara. Residen pada tahap
diminta membuat sebuah kalimat dari kata kerja yang telah ditentukan
(Berthier, 2005). Kata kerja berupa yang dipilih berupa aktivitas sehari-
hari. Contohnya residen diberi kata kerja membaca, kemudian residen
dapat membuat kalimat seperti, “Mahasiswa membaca buku.” Contoh
lainnya residen diberi kata kerja menyetir, maka kalimat yang dapat
dibuat, “Ayah menyetir mobil.” Contoh terakhir residen diberi kata kerja
mencuci, maka kalimat yang dapt dibentuk, “Ibu mencuci baju.”
e. Sentence builders atau membuat kalimat
Merupakan tugas keempat dalam terapi wicara. Sentence buiders
terdiri dari dua tahapan. Tahap pertama, residen diminta untuk menjawab
pertanyaan berupa fakta pada kehidupan sehari-hari (Berthier, 2005).
Contoh pertanyaannya yaitu, “Apakah lampu merah tanda kendaraan
boleh melaju?” jawabannya, “Salah, lampu merah tanda kendaraan harus
berhenti.” Contoh pertanyaan selanjutnya yaitu, “Apakah matahari terbit
di barat?” jawabannya, “Bukan, matahari terbit di timur.” Tahap kedua
adalah menjawab pertanyaan membandingkan (Berthier, 2005). Contoh
pertanyaannya yaitu, “ Apakah bulu lebih lembut dari batu?”
jawabannya, “Benar, bulu lebih lembut dari batu.” Contoh pertanyaan
lainnya yaitu, “Apakah musim hujan lebih panas dari musim kemarau?”
jawabannya, “Tidak, musim hujan lebih dingin dari musim kemarau.”
f. Phrase builders atau membuat frase
Merupakan tugas kelima dari terapi wicara. Residen pada tahap ini
diberikan sebuah frase dan diminta membuat kalimat dari frase tersebut
(Berthier, 2005). Susunan kalimat yang dibuat pada tahap pertama bepola
subjek predikat object, misalnya frase raja hutan, kalimat yang dapat
dibuat “Singa adalah raja hutan.” Contoh lainnya frase kue coklat, maka
kalimat yang dapat dibuat “Laki-laki itu membuat kue coklat.” Susunan
kalimat yang dibuat pada tahap kedua berpola subjek predikat objek
keterangan.
Contohnya frase kue coklat, maka kalimat yang dapat dibentuk
seperti “Laki-laki itu membuat kue coklat di dapur.” Contoh lainnya frase
hari ibu, maka kalimat yang dapat dibuat “Dia mengirim bunga untuk
hari ibu.”
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perencanaan keperawatan gerontik adalah suatu proses penyusunan
berbagai intervensi keperawatan yang berguna untuk untuk mencegah,
menurunkan atau mengurangi masalah-masalah lansia.
Perencanaan Keperawatan Gerontik ini merupakan langkah ketiga dalam
proses keperawatan. Perawat memerlukan berbagai pengetahuan dan
keterampilan diantaranya pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan klien,
nilai dan kepercayaan klien, batasan praktek keperawatan, peran dari tenaga
kesehatan lainnya.
B. Saran
Kami ucapkan terima kasih terhadap semua pihak yang sudah
berpartisipasi did alam pembuatan makalah ini sehingga bisa diselesaikan tepat
pada waktunya.
DAFTAR PUSTAKA

http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351598-PR-Aulia%20Laili.pdf

http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-

content/uploads/2017/08/Keperawatan-Gerontik-Komprehensif.pdf

Anda mungkin juga menyukai