Anda di halaman 1dari 14

TUGAS BIOPSIKOLOGI

(Review Jurnal)

Disusun oleh:
Yahya Muhaimin (C021181015)
PSIKOLOGI B 2018

Program Studi Psikologi


Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
Makassar
2020
Review Jurnal 1

Judul Jurnal 1 : Pemeriksaan Neuropsikologi pada Demensia

Pendahuluan

Latar Belakang Masalah Perkembangan Pemeriksaan Neuropsikologi sudah dimulai


sejak abad ke 19 pada penderita afasia, agnosia, apraksia, dan
aleksia. Tes intelegensi untuk mengeksplorasifumgsi kognitif
global mulai muncul untuk dikembangkan oleh psikolog.
Pada akhir abad ini para psikolog dan ahli sarafsaling bekerja
sama, dan saling membantu untuk mengembangkan batery,
tes-tes neuropsikoogi yang makin lama makin canggih.
Pemeriksaan neuro psikologi atau tes Neuropsikologi dapat
juga digunakan untuk memprediksi akan terjadinya demensia
Alzheimer dengan akurasi yang cukup tinggi (89%) ,
sensitifitas 70%, dan spesifisitas 94%. Salah satu tes
Neuropsikologi yang dikembangkan tersebut adalah IBCD
(Indonesian Battery for communication disoreder of
dementia) dan MMSE (Mini mental state examination)

Tujuan Penelitian Tujuan dari Penulisan ini adalah untuk mengetengahkan dua
cara pemeriksaan neuropsikologi yang mudah dilakukan dan
cukup sensitif untuk mengetahui adanya defisit kognitif
secara dini yaitu MMSE dan IBCD.
Manfaat Penelitian Manfaat yang disebutkan dalam penulisan inin adalah
mennyebutkan tindakan apa yang dapat diberikan pada pasien
sehingga kita dapat melihat gangguan disfungsi pada atensi,
memori, bahasa, visual ruang, dan fungsi eksekutif dan
menilai bahwa bahwa pada bagian otak tertentu mengalami
gangguan sehingga mengakibatkan pula disfungsi pada
kelima pokok area tersebut.
Kajian Pustaka Berbagai cara pemeriksaan untuk mengetahui adanya defisit
kognitif telah banyak dikemukakan. Namun, kebanyakan tes-
tes pemeriksaan neuropsikologi tersebut terlalu rumit
sehingga sulit untuk dilakukan dan membutuhkan waktu yang
lama, dengan nilai akurasi yang masih dipertanyakan.
Metode penelitian Metode yang digunakan adalah menggunakan perbandingan
untuk melihat manakah yang lebih efektif yang digunakan
dalam tes neuropsikologi antara MMSE dan IBCD.

Pembahasan Fungsi luhur yang ada pada manusia adalah terdapat lima
bagian pokok yaitu Atensi, memori, visual ruang, dan fungsi
eksekutif. Atensi adalah kemampuan mental untuk
memfokuskan, mempertahankan perhatian pada suatu
masalah, yang memerlukan kesadaran penuh dan konsentrasi.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan observasi apakah
perhatian pasien mudah terpengaruh oleh benda sekitarnya,
dapat dengan pasien diminta untuk menghitung angka 20 dari
belakang. Bahasa dapat di niliai pada waktu wawancara
bagaimana kelancarannya, berputar-putar atau kesulitan
mencari kata-kata, disatria, afasia. Kompehenrnsi dapat
dinilai dengan meminta pasien melakukan perintah-perintah,
menjawab pertanyaan. Adanya gangguan bahasa
komprehensi menunjukkan disfungsi otak pada bagian parieto
temporal, pengulangan dinilai dengan meminta pasien untuk
mengulang suatu kalimat atau cerita. Gangguan pengulangan
atau daya ingat diakibatkan karena kerusakan per sylvii di
hemisfer sinistra. MMSE diperkenal oleh folstein pada tahun
1975 dan telah banyak dipakai di dunia dan tentu saja di
Indonesia pula juga telah direkomendasikan. Tes-tes dalam
MMSE ini pada lampiran 1 berisi tentang tes orientasi, yakni
untuk menilai kesadaran dan daya ingat. Kemudian tes
registrasi untuk mennilai kinerja memori. Tes recall untuk
menilai agar memori dapat mengenal kembali apa yang sudah
di simpannya. Sedangkan IBCD adalah suatu perangkat tes
neuropsikologi untuk menyaring adanya demensia, dalam hal
berat ringannya dan perjalanannya sehingga dapat dipakai
untuk mengikuti proses penyakit dan pengembangan hasil
terapi. Tes IBCD dimulai dengan tes tes skrinning untuk
mengetahui ada tidaknya gangguan pendengaran, tuna aksara,
gangguan lapangan pengelihatan dan agnosis visual.
Kesimpulan Telah di uraikan sedikit tentang MMSE dan IBCD, tes
neuropsikologi dapat untuk, membedakan gangguan kognitif
karena umur, delirium, dan multipel. Dapat mendeteksi
demensia sejak dini, dapat pula mengidentifikasi dan mencari
lesilokal serebral dimana gejala klinik belum nampak, dan
dapat memantau perjlanan gagguan kognitif, progresifnya dan
efek terapi.

Lampiran

Pemeriksaan
neuropsikologi pada demensi.pdf

Jurnal 2

Judul Jurnal 2 : Demensia Terkait Infeksi


Pendahuluan
Latar belakang masalah Demensia terkait infeksi (infection-associated dementia)
adalah demensia yang berkembang bersama-sama atau
setelah terjadinya infeksi SSP, dengan berbagai macam
etiologi agen penyebab infeksi. Epidemiologi demensia
terkait infeksi yang terdokumentasikan dengan baik
saat ini adalah demensia terkait HIV-1 (HIV-1 associated
dementia/HAD). Prevalensi HAD di Asia Pasifik sebesar
12%, di Afrika Selatan dan Uganda masing-masing
sebesar 25,4% dan 31%, dan di negara maju sebesar
10%.Demensia terkait infeksi dengan agen infeksi selain
HIV-1 saat ini masih belum didokumentasikan
dengan baik, sehingga umumnya ditemukan secara sporadis.
Patofisiologi terjadinya demensia terkait infeksi masihjelas.
Peran infeksi SSP terhadap proses neurodegenerasi yang
mendasari terjadinya demensia terkait infeksi dari berbagai
literatur yang ada bersifat asosiatif. Berbagai agen infeksi
menyebabkan infeksi pada SSP dengan memanfaatkan faktor
virulensi yang dimilikinya.4 Dengan faktor virulensi tersebut,
agen infeksi mampu menginduksi respon inflamasi di otak
dengan akibat terjadinya proses neurodegenerasi, suatu proses
yang mengakibatkan terjadinya demensia.

Tujuan penelitian Tujuan penulisan ini adalah untuk membahas aspek klinik
demensia terkait infeksi, meliputi definisi, epidemiologi,
etiologi, patofisiologi, manifestasi klinik, penegakan
diagnosis, terapi, dan prognosis demensia terkait infeksi.
Manfaat penelitian Untuk mengetahui aspek aspek yang ada pada demensia
terkait dengan infeksi

Kajian pustaka Penegakan diagnosis demensia terkait infeksi cukup sulit


karena banyak kondisi medis yang menjadi diagnosis banding
demensia terkait infeksi, diantaranya adalah depresi,
penyalahgunaan obat, serta bentuk lain dari demensia seperti
penyakit Alzheimer dan demensia vaskuler.6 Penegakan
diagnosis demensia terkait infeksi merujuk pada Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition,
Text Revision (DSMIV-TR). Dalam DSM-IV-TR, demensia
terkait infeksi masuk dalam kriteria diagnosis demensia
akibat kondisi medis lain. 7 Pemeriksaan penunjang yang bisa
digunakan yaitu tes neuropsikologis, pemeriksaan
laboratorium, dan pemeriksaan radiologis. 8 Terapi untuk
demensia terkait infeksi secara umum sama dengan terapi
untuk terapi demensia pada umumnya, meliputi terapi non-
farmakologik dan farmakologik. 9 Tujuan penulisan artikel
ini adalah untuk membahas aspek klinik demensia terkait
infeksi, meliputi definisi, epidemiologi, etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinik, penegakan diagnosis, terapi,
dan prognosis demensia terkait infeksi.
Metode penelitian
Pembahasan Definisi
Infeksi sistem saraf pusat (SSP) dapat menimbulkan
komplikasi berupa penurunan fungsi kognitif dengan
spektrum yang luas, mulai dari gangguan kognitif ringan
(mild cognitive impairment/MCI) hingga gangguan kognitif
yang berat berupa demensia terkait infeksi (infection-
associated dementia). Demensia terkait infeksi dapat
berkembang bersama-sama atau setelah terjadinya infeksi
SSP oleh berbagai agen infeksi. Pasca infeksi SSP, inflamasi
yang berlebihan berlebih akibat mikroglia yang teraktivasi
dapat terus berlanjut meskipun agen infeksi telah
dieradikasi.5 Agen infeksi, baik bakteri, virus, protozoa,
spirochaeta, maupun fungi, dapat secara tunggal atau
bersama-sama menyebabkan infeksi otak sebelum
berkembangnya demensia.
Epidemiologi
Prevalensi demensia terkait infeksi saat ini belum
terdokumentasikan dengan baik, kecuali untuk HAD,
sehingga demensia terkait infeksi umumnya ditemukan secara
sporadis. Secara umum prevalensi demensia terkait infeksi
berkorelasi dengan prevalensi infeksi SSP. Pasca
ditemukannya antimikroba, secara umum kejadian infeksi
SSP menurun secara signifikan, sehingga kejadian demensia
terkait infeksi cenderung menurun dan ditemukan secara
sporadis.4 HIV-1 associated dementia (HAD), seperti
disebutkan sebelumnya telah didokumentasikan dengan
cukup baik. Epidemi infeksi HIV/AIDS saat ini menjadi
masalah kesehatan dan sosial yang utama. Lebih dari 95%
kasus AIDS ditemukan di negara berkembang.9 Data WHO
menunjukkan setiap tahun jumlah individu terinfeksi HIV-1
terus meningkat. Tahun 2010, jumlah individu terinfeksi
HIV-1 sebanyak 34 juta jiwa.10 Laporan mengenai
prevalensi HAD untuk tiap-tiap wilayah bervariasi. Studi di
Asia Pasifik menunjukkan bahwa prevalensi HAD sebesar
12%, di Afrika Selatan sebesar 25,4%, di Uganda sebesar
31%, dan di negara maju diperkirakan sebesar 10%.1,2,3
Rendahnya prevalensi HAD di negara maju tersebut berkaitan
dengan meningkatnya penggunaan antiretroviral treatment
(ART), namun penurunan angka kejadian HAD tersebut
digantikan oleh meningkatnya angka kejadian gangguan
kognitif yang lebih ringan terkait dengan infeksi HIV-1.11
Pada penderita infeksi HIV-1 tahap lanjut, gangguan kognitif
akibat infeksi virus tersebut diperkirakan sebesar 20% kasus.
Saat ini masih diperlukan data epidemiologik yang lebih baik,
terutama untuk negara berkembang karena laporan yang ada
masih bervariasi.
Etiologi
Etiologi demensia terkait infeksi adalah semua agen
penyebab infeksi pada SSP, yaitu dapat berupa bakteri, virus,
protozoa, spirochaeta, maupun fungi, yang dapat secara
tunggal atau bersama-sama menyebabkan terjadinya infeksi
otak sebelum berkembangnya demensia.4 Mycobacterium
tuberculosa merupakan penyebab penting meningoensefalitis
atau tuberkuloma, terutama pada pasien dengan kondisi
imunosupresi, misalnya pasien dengan infeksi HIV-1.9
Enterovirus, arbovirus, herpes virus, prion protein bentuk
patogenik (PrPSc) penyebab penyakit sporadic Cruetzfeldt-
Jacob disease (sCJD), dan HIV-1 adalah beberapa kelompok
virus yang sering menyebabkan ensefalitis. Enterovirus
merupakan penyebab utama meningitis viral. Enterovirus
penyebab ensefalitis viral diantaranya adalah coxsackievirus,
echovirus, poliovirus, dan human enterovirus 68 hingga 70.
Virus dari golongan herpes yang sering menyebabkan
meningoensefalitis viral adalah herpes simplex virus type 2
(HSV-2), Epstein-Barr virus, dan varicella-zoster virus
(VZV).9 Saat ini mulai banyak diteliti mengenai keterkaitan
infeksi virus herpes simpleks dengan kejadian penyakit
Alzheimer.12 Prion protein bentuk patogen (PrPSc)
merupakan penyebab terjadinya Cruetzfeldt-Jacob disease
(CJD) yang ditandai dengan demensia progresif.
Patofisiologi
Berbagai agen infeksi, baik bakteri, virus, protozoa,
spirochaeta, maupun fungi pada kondisi tertentu mampu
menginfeksi otak melalui berbagai mekanisme spesifik
dengan memanfaatkan berbagai faktor virulensi. Agen infeksi
dari golongan bakteri mengandung lipopolysaccharide (LPS),
teichoic acid, peptidoglycan, dan toksin bakteri yang mampu
menginduksi pelepasan mediator proinflamasi, ekspresi
faktor kemotaktik, dan ekspresi molekul adhesi.
Mycobacterium tuberkulosa mampu bertahan hidup didalam
makrofag/monosit, sehingga dapat menyebar secara
hematogen ke ekstrapulmoner, termasuk SSP.9 Virus HIV-1
mampu menginfeksi makrofag, mikroglia, dan astrosit, dan
mampu menghasilkan protein toksik seperti gp120 dan Tat. 5
Prion protein bentuk patogenik (PrPSc) memiliki gugus
glycosylphosphatidylinositol (GPI) yang memfasilitasi
melekatnya prion protein pada membran sel neuron.13,19
Plasmodium falciparum dalam eritrosit terinfeksi mampu
menghasilkan protein antigenik Plasmodium falciparum
erythrocyte membrane protein-1 (PfEMP1) yang memediasi
terjadinya cytoadherence. 14 Toxoplasma gondii mampu
membentuk kista, menembus dinding sel host dan bereplikasi
didalam sel host, 16,20 dan memiliki protein permukaan yang
memediasi melekatnya parasit tersebut pada dinding leukosit
dan menyebar ke berbagai organ, termasuk otak.21,22
Cryptococcus neoformans memiliki kapsul polysaccharide
sebagai faktor virulensinya.

Kesimpulan Infeksi SSP dapat menyebabkan terjadinya penurunan fungsi


kognitif dengan spektrum yang luas, mulai dari gangguan
kognitif ringan (mild cognitive impairment) hingga gangguan
kognitif yang berat berupa demensia terkait infeksi (infection-
associated dementia). Demensia terkait infeksi diduga terjadi
akibat serangkaian proses yang meliputi proses inflamasi,
eksitotoksisitas glutamat, dan akumulasi radikal bebas, yang
selanjutnya menyebabkan terjadinya proses neurodegenrasi.
Berbagai hasil observasi menunjukkan bahwa demensia
terkait infeksi cenderung berkembang sebagai respon
neuronal sekunder terhadap aktivasi selsel kekebalan di otak
yang diaktivasi oleh agen infeksi.

Lampiran

Demensia Terkait
Infeksi.pdf

Review Jurnal ke 3
Judul Jurnal ke 3 : Diagnosis dan tatalaksana Demensia Vascular

Pendahuluan
Latar Belakang masalah Demensia adalah sindrom neurodegeneratif yang timbul karena adanya
kelainan yang bersifat kronis dan progresif disertai dengan gangguan
fungsi luhur multipel. Demensia vaskular adalah penurunan kognitif dan
kemunduran fungsional yang disebabkan oleh penyakit serebrovaskular.
Demensia vaskular merupakan penyebab demensia terbanyak kedua (20 -
25%) setelah penyakit Alzheimer (60 -70%). Terdapat beberapa faktor
risiko demensia vaskular, yaitu faktor demografi, faktor aterogenik, faktor
non aterogenik, dan faktor yang berhubungan dengan stroke. Manifestasi
klinis demensia vaskular terdiri atas penurunan fungsi kognitif serta gejala
perilaku. Diagnosis demensia vaskular dapat ditegakkan dengan
menggunakan beberapa tes kognitif dan neurofisiologis, di antaranya
adalah Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, fourth
edition, text revision (DSM-IV-TR), Skor Iskemik Hachinski, dan the
National Institute of Neurological Disorders and Stroke-Association
International pour la Recherché at L'Enseignement en Neurosciences
(NINDS-AIREN). Kriteria diagnosis demensia vaskular terdiri atas
probable vascular dementia, gambaran klinis konsisten dengan diagnosis
probable vascular dementia, gambaran klinis yang tidak mendukung
demensia vaskular, diagnosis klinis untuk possible vascular dementia, dan
diagnosis definite vascular dementia. Manajemen demensia vaskular
dapat dilakukan dengan penatalaksanaan non-medikamentosa dan
medikamentosa. Penatalaksanaan non medikamentosa bertujuan untuk
memperbaiki memori dan mengatur diet. Sedangkan penatalaksaan
medikamentosa bertujuan untuk mencegah perburukan demensia vaskular
dan memperbaiki fungsi kognitif dan perilaku.
Tujuan penelitian Untuk membahasa mengenai diagnosis dan tatalaksana demensia
Vascular
Manfaat penelitian

Kajian pustaka Demensia merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada usia tua.
Menurut WHO, demensia adalah sindrom neurodegeneratif yang timbul
karena adanya kelainan yang bersifat kronis dan progresif disertai dengan
gangguan fungsi luhur multipel seperti kalkulasi, kapasitas belajar,
bahasa, dan mengambil keputusan. Kesadaran pada demensia tidak
terganggu. Gangguan fungsi kognitif biasanya disertai dengan perburukan
kontrol emosi, perilaku dan motivasi. Sindrom ini terjadi pada penyakit
Alzheimer, pada penyakit serebrovaskuler, dan pada kondisi lain yang
secara primer atau sekunder mengenai otak 1 . Katzman melaporkan
bahwa penyebab terbanyak kedua demensia adalah penyakit
serebrovaskular (20 - 25%) sesudah penyakit Alzheimer (60-70%). Jadi
selain menyebabkan defisit neurologis fokal, stroke juga dihubungkan
dengan demensia. Sebagian pasien stroke akan mengalami demensia.
Diperkirakan sekitar 25% dari penderita stroke bisa mengalami penurunan
kemampuan kognitifnya hingga ke taraf demensia. Demensia paska stroke
iskemik akut berpengaruh terhadap lamanya survival paska stroke
iskemik akut dan memberikan akibat yang signifikan pada prognosis 1,2 .
Demensia vaskular adalah penurunan kognitif dan kemunduran fungsional
yang disebabkan oleh penyakit serebrovaskuler, biasanya stroke
hemoragik dan iskemik, juga disebabkan oleh penyakit substansia alba
iskemik atau sekuale dari hipotensi atau hipoksia. Demensia vaskuler
merupakan penyebab demensia terbanyak kedua (20 - 25%) setelah
sesudah penyakit Alzheimer (60 - 70%).1
Metode penelitian
Pembahasan FAKTOR RISIKO Faktor resiko demensia vaskuler yaitu3 :
1. Faktor demografi, termasuk diantaranya adalah usia lanjut, ras dan etnis
(Asia, Africo-American), jenis kelamin (pria), pendidikan yang rendah,
daerah rural.
2. Faktor aterogenik, termasuk diantaranya adalah hipertensi, merokok
cigaret, penyakit jantung, diabetes, hiperlipidemia, bising karotis,
menopause tanpa terapi penggantian estrogen, dan gambaran EKG yang
abnomal.
3. Faktor non-aterogenik, termasuk diantaranya adalah genetik,
perubahan pada hemostatis, konsumsi alkohol yang tinggi, penggunaan
aspirin, stres psikologik, paparan zat yang berhubungan dengan pekerjaan
(pestisida, herbisida, plastik), sosial ekonomi.
4. Faktor yang berhubungan dengan stroke yang termasuk diantaranya
adalah volume kehilangan jaringan otak, serta jumlah dan lokasi infark.
MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala kognitif pada demensia vaskular yaitu subkortikal,
bervariasi dan biasanya menggambarkan peningkatan kesukaran dalam
menjalankan aktivitas harian seperti makan, berpakaian, berbelanja dan
sebagainya. Hampir semua kasus demensia vaskular menunjukkan tanda
dan simptom motorik . Tanda dan gejala fisik :  Kehilangan memori,
pelupa
 Lambat berfikir (bradifrenia)
 Pusing
 Kelemahan fokal atau diskoordinasi satu atau lebih ekstremitas
 Inersia
 Langkah abnormal
 Konsentrasi berkurang
 Perubahan visuospasial
 Penurunan tilikan
 Defisit pada fungsi eksekutif seperti kebolehan untuk inisiasi,
merencana dan mengorganisasi
 Sering atau Inkontinensia urin dan alvi. Inkontinensia urin terjadi akibat
kandung kencing yang hiperrefleksi.
Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan demensia vaskular adalah:
• Mencegah terjadinya serangan stroke baru
• Menjaga dan memaksimalkan fungsi saat ini
• Mengurangi gangguan tingkah laku
• Meringankan beban pengasuh
• Menunda progresifitas ke tingkat selanjutnya.
Penatalaksanaan terdiri dari nonmedikamentosa dan medikamentosa:
1. Non-Medikamentosa
a. Memperbaiki memori The Heart and Stroke Foundation of Canada
mengusulkan beberapa cara untuk mengatasi defisit memori dengan lebih
baik:
 Membawa nota untuk mencatat nama, tanggal, dan tugas yang perlu
dilakukan.
 Melatih otak dengan mengingat kembali acara sepanjang hari sebelum
tidur. Ini dapat membina kapasiti memori
 Menjauhi distraksi seperti televisi atau radio ketika coba memahami
pesan atau instruksi panjang.
 Tidak tergesa-gesa mengerjakan sesuatu hal baru. Coba merencana
sebelum melakukannya.
 Banyak bersabar. Marah hanya akan menyebabkan pasien lebih sukar
untuk mengingat sesuatu. Belajar teknik relaksasi juga berkesan.
Kesimpulan Sindrom demensia vaskular biasanya disebabkan oleh stroke. Jadi,
prevensi (terapi primer) atau terapi sekunder stroke adalah kunci untuk
mencegah penurunan kognitif ini. Memodifikasi faktor resiko
kemunduran kognitif dapat membantu mencegah stroke dan demensia
vaskular. Faktor resiko yang paling penting adalah hipertensi. Penelitian
kohort epidemiologi dan percobaan intervensi dengan pengobatan
antihipertensi menunjukkan kegunaan obat antihipertensi dalam
mencegah demensia vaskular. Pasien dengan merokok harus berhenti
merokok karena dapat menyebabkan perbaikan perfusi serebral dan fungsi
kognitif. Faktor diet seperti hiperkolesterolemia juga dapat berperan.3,6
Sedangkan dalam penelitian yang lain pula mendapati bahwa individu
yang yang melakukan aktivitas yang menstimulasi intelektual seperti
interaksi sosial, catur, crossword puzzle dan bermain alat musik dapat
menurunkan resiko demensia secara signifikan. Prognosis demensia
vaskular lebih bervariasi dari penyakit Alzheimer. Berdasarkan beberapa
penelitian, demensia vaskular dapat memperpendek jangka waktu hidup
sebanyak 50% pada lelaki, individu dengan tingkat edukasi yang rendah
dan pada individu dengan hasil uji neurologi yang memburuk. Penyebab
kematian adalah komplikasi dari demensia, penyakit kardiovaskular dan
berbagai lagi faktor lainnya seperti keganasan.

Lampiran

Diagnosis dan
Tatalaksana Demensia Vascular.pdf

Anda mungkin juga menyukai