Anda di halaman 1dari 29

Nama : Bena Korneliya

NIM : 4101419029
Prodi : Pendidikan Matematika
Matkul : Dasar dan Proses Pembelajaran Matematika
MERINGKAS TEORI PEMBELAJARAN MATEMATIKA
TEORI KOGNITIF

A. TEORI KOGNITIF JEAN PIAGET


Teori perkembangan kognitif Piaget adalah salah satu teori yang menjelasakan
bagaimana anak beradaptasi dengan dan menginterpretasikan objek dan kejadian-kejadian
sekitarnya. Piaget memandang bahwa anak memainkan peran aktif dalam menyusun
pengetahuannya mengenai realitas. Piaget percaya bahwa pemikiran anak-anak
berkembang menurut tahap-tahap atau priode-periode yang terus bertambah kompleks.
Menurut teori tahapan Piaget, setiap individu akan melewati serangkaian perubahan
kualitatif yang bersifat invarian, selalu tetap, tidak melompat atau mundur. Perubahan
kualitatif ini terjadi karena tekanan biologis untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan
serta adanya pengorganisasian struktur berpikir. Menurut Piaget, bahwa perkembangan
kognitif dimulai dengan kemampuan bawaan untuk beradaptasi dengan lingkungan.
Dengan kemampuan bawaan yang bersifat biologis itu, Piaget mengamati bayi-bayi
mewarisi reflek-reflek seperti reflek menghisap.
Pertumbuhan atau perkembangan kognitif terjadi melalui tiga proses yang saling
berhubungan, yaitu:
1. Organisasi, merupakan istilah yang digunakan Piaget untuk mengintegrasikan
pengetahuan kedalam system-sistem. Dengan kata lain, organisasi adalah system
pengetahuan atau cara berfikir yang disertai dengan pencitraan realitas yang semakin
akurat. Dalam sistem kognitif, organisasi memiliki kecenderungan untuk membuat
struktur kognitif menjadi semakin komplek.
2. Adaptasi, dalam teori Piaget terdiri dari interaksi antara proses asimilasi dan
akomodasi merupakan cara anak untuk memperlakukan informasi baru dengan
mempertimbangkan apa yang telah mereka ketahui. Adaptasi ini dilakukan dengan
dua langkah, yaitu: a) Asimilasi merupakan istilah yang digunakan Piaget untuk
merujuk pada peleburan informasi baru kedalam struktur kognitif yang sudah ada. b)
Akomodasi merupakan istilah yang digunakan Piaget untuk merujuk pada perubahan
yang terjadi pada sebuah struktur kognitif dalam rangka menampung informasi baru.
3. Ekuilibrasi, yaitu istilah yang merujuk pada kecenderungan untuk mencari
keseimbangan pada elemen-elemen kognisi. Ekuilibrasi diartikan sebagai
kemampuan yang mengatur dalam diri individu agar ia mampu mempertahankan
keseimbangan dan menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.

Piaget yakin bahwa individu melalui empat tahap dalam memahami dunia.
Masingmasing tahap terkait dengan usia dan terdiri dari cara berfikir yang khas/berbeda.
Tahapan perkembangan kognitif menurut Piaget adalah sebagai berikut:

1. Tahap Sensori Motor.


Tahap ini merupakan tahap pertama. Tahap ini dimulai sejak lahir sampai usia 2
tahun. Pada tahap ini, bayi membangun suatu pemahaman tentang dunia dengan
mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman sensor (seperti melihat dan mendengar)
dengan tindakan-tindakan fisik.
Piaget membagi tahap sensori motor ini kedalam 6 periode, yaitu:
a) Periode 1: Penggunaan Refleks-Refleks (Usia 0-1 bulan). Refleks yang paling
jelas pada periode ini adalah refleks menghisap (bayi otomatis menghisap
kapanpun bibir mereka disentuh) dan refleks mengarahkan kepala pada sumber
rangsangan secara lebih tepat dan terarah.
b) Periode 2: Reaksi Sirkuler Primer (Usia 1-4 bulan). Reaksi ini terjadi ketika bayi
menghadapi sebuah pengalaman baru dan berusaha mengulanginya.
c) Periode 3: Reaksi Sirkuler sekunder (Usia 4-10 bulan) Reaksi sirkuler primer
terjadi karena melibatkan koordinasi bagian-bagian tubuh bayi sendiri,
sedangkan reaksi sirkuler sekunder terjadi ketika bayi menemukan dan
menghasilkan kembali peristiwa menarik diluar dirinya.
d) Periode 4: Koordinasi skema-skema skunder (Usia 10-12 bulan) Pada periode
ini bayi belajar untuk mengkoordinasikan dua skema terpisah untuk
mendapatkan hasil.
e) Periode 5: Reaksi Sirkuler Tersier (Usia 12-18 bulan). Pada periode 4, bayi
memisahkan dua tindakan untuk mencapai satu hasil tunggal. Pada periode 5 ini
bayi bereksperimen dengan tindakan-tindakan yang berbeda untuk mengamati
hasil yang berbeda-beda.
f) Periode 6: Permulaan Berfikir (Usia 18-24 bulan) Pada periode 5 semua temuan-
temuan bayi terjadi lewat tindakan fisik, pada periode 6 bayi kelihatannya mulai
memikirkan situasi secara lebih internal sebelum pada akhirnya bertindak.
2. Tahap Pemikiran Pra-Operasional
Tahap ini berada pada rentang usia antara 2-7 tahun. Pada tahap ini anak mulai
melukiskan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar atau simbol. Penggunaan
simbol bagi anak pada tahap ini tampak dalam lima gejala berikut:
a) Imitasi tidak langsung. Anak mulai dapat menggambarkan sesuatu hal yang
dialami atau dilihat, yang sekarang bendanya sudah tidak ada lagi.
b) Permainan Simbolis. Sifat permainan simbolis ini juga imitatif, yaitu anak
mencoba meniru kejadian yang pernah dialami.
c) Menggambar. Pada tahap ini merupakan jembatan antara permainan simbolis
dengan gambaran mental.
d) Gambaran Mental. Merupakan penggambaran secara pikiran suatu objek atau
pengalaman yang lampau.
e) Bahasa Ucapan. Anak menggunakan suara atau bahasa sebagai representasi
benda atau kejadian.
3. Tahap Operasi berfikir Kongkret.
Periode operasional konkrit adalah antara usia 7-11 tahun. Tingkat ini merupakan
permulaan berpikir rasional. Ini berarti anak memiliki operasi-operasi logis yang
dapat di terapkannya pada masalah-masalah konkrit. Proses-proses penting selama
tahapan ini adalah:
a) Kombinatifitas atau Klasifikasi. Kemampuan untuk memberi nama dan
mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau
karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian bendabenda dapat
menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut.
b) Reversibilitas. Merupakan kriteria utama dalam berpikir operasional dalam
system piaget. Ini berarti setiap operasi logis atau matematis dapat ditiadakan
dengan operasi yang berlawanan.
c) Asosiativitas. Merupakan operasi penggabungan kelas-kelas dalam urutan
apa saja.
d) Identitas. Ialah operasi dimana terdapat suatu unsur nol yang bila
digabungkan dengan unsure atau kelas apapun, tidak menghasilkan
perubahan.
4. Tahap Operasi berfikir Formal
Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori
Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia 11 tahun dan terus berlanjut sampai
dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir
secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang
tersedia. Seorang remaja pada tahap ini sudah mempunyai ekuilibrum yang tinggi,
sehingga ia dapat bepikir fleksibel dan efektif, serta mampu berhadapan dengan
persoalan yang kompleks. Remaja dapat berfikir fleksibel karena dapat melihat
semua unsur dan kemungkinan yang ada. Dan remaja dapat berfikir efektif karena
dapat melihat pemikiran mana yang cocok untuk persoalan yang dihadapi.
Piaget (Dahar, 2011) menyatakan lima faktor yang mempengaruhi tingkat
perkembangan intelektual, yaitu sebagai berikut:
 Kedewasaan (maturation)
Perkembangan sistem saraf sentral, otak, koordinasi motorik, dan manifestasi fisik
lainnya mempengaruhi perkembangan kognitif. Walaupun kedewasaan atau maturasi
merupakan faktor penting dalam perkembangan intelektual, maturasi tidak cukup
menerangkan perkembangan intelektual ini.
 Pengalaman Fisik (physical experience)
Interaksi dengan lingkungan fisik digunakan anak untuk mengabstraksi berbagai sifat
fisik benda-benda.
 Pengalaman Logika Matematis (logical-mathematical experience)
Bila anak mengamati benda-benda, selain pengalaman fisik ada pula pengalaman lain
yang diperoleh anak itu, yaitu pada waktu ia mengkonstruksi hubungan-hubungan
antara objek-objek.
 Interaksi sosial.
Pengetahuan yang diperoleh anak dari pengalaman fisik diabstraksi dari benda-benda
fisik. Dalam hal pengalaman logiko matematik, pengetahuan yang dikonstruksi dari
tindakan-tindakan anakanak terhadap benda-benda itu.
 Keseimbangan
Pengaturan sendiri atau equilibirasi adalah kemampuan untuk mencapai kembali
kesetimbangan selama periode ketidakseimbangan.
Beberapa implementasi yang harus diketahui dan diterapkan adalah sebagai
berikut:
 Memfokuskan pada proses berfikir atau proses mental anak tidak sekedar pada
produknya. Di samping kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses
yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban tersebut.
 Pengenalan dan pengakuan atas peranan anak-anak yang penting sekali dalam
inisiatif diri dan keterlibatan aktif dalam kegaiatan pembelajaran.
 Tidak menekankan pada praktek - praktek yang diarahkan untuk menjadikan anak-
anak seperti orang dewasa dalam pemikirannya.
 Penerimaan terhadap perbedaan individu dalam kemajuan perkembangan, teori
Piaget mengasumsikan bahwa seluruh anak berkembang melalui urutan
perkembangan yang sama namun mereka memperolehnya dengan kecepatan yang
berbeda.

B. TEORI BRUNNER
Salah satu teori kognitif yang terkemuka adalah teori yang di kembangkan oleh
Jerome bruner. Menurut Bruner proses perkembangan kognitif berlansung sejalan dengan
perkembangan anak, dalam masa ini terjadi beberapa transisi perkembangan kognitif.
Belajar merupakan aktifitas yang berproses, tentu didalamnya terjadi perubahan-
perubahan yang bertahap. Perubahan-perubahan tersebut timbul melalui tahap-tahap yang
antara satu dan yang lainnya berkaitan secara berurutan. Dengan teorinya yang di sebut
free discovery learning. Dalam proses belajar, Bruner menyarankan pengembangan
kemampuan dalam berfikir intuitif. Dalam hal ini, guru menyajikan bukti-bukti yang
kurang lengkap kemudian siswa diminta memprediksi kemungkinan adanya bukti-bukti
yang dpat melengkapai bukti tersebut dengan menggunakan berfikir intuitif secara
sistematis. Bruner mengemukakan perlunya ada teori pembelajaran yang akan
menjelaskan asas-asas untuk merancang pembelajaran efektif di kelas. Menurut
pandangan Brunner bahwa teori belajar itu bersifat deskriftif dimaksudnya untuk
memberikan hasil, karena tujuan utama teori belajar adalah menjelaskan proses belajar.
Sedangkan teori pembelajaran itu bersifat prespektif dimaksudkan untuk mencapai tujuan
dan tujuan utama teori pembelajaran itu sendiri adalah
menetapkan metode pembelajaran yang optimal.
Bruner sendiri mengemukakan beberapa inti pemikirannya yaitu:
1) Discovery Learning
Salah satu model instruksional kognitif yang berpengaruh ialah model dari Bruner
yang dikenal dengan Belajar Penemuan (Discovery Learning). Bruner menyarankan
agar siswa hendaknya belajar sendiri melalui partisipasi aktif dengan menggunakan
pengalaman dan pengetahuan yang sebelumnya telah didapatkan untuk menemukan
konsep belajar lainnya secara mandiri. Dimana tahapan penerapan Discovery
Learning adalah:
- Stimulus (pemberian perangsang/stimuli): Kegiatan belajar dimulai dengan
memberikan pertanyaan yang merangsang berfikir pembelajar, menganjurkan dan
mendorongnya untuk membaca buku dan aktivitas belajar lain yang mengarah
pada persiapan pemecahan masalah.
- Problem Statement (mengidentifikasi masalah) : Memberikan kesempatan kepada
pembelajar untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin masalah yang relevan
dengan bahan belajar kemudian memilih dan merumuskan dalam bentuk hipotesa
(jawaban sementara dari masalah tersebut).
- Data Collection (pengumpulan data) : Memberikan kesempatan kepada para
pembelajar untuk mengumpulkan informasi yang relevan sebanyak banyaknya
untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesa tersebut.
- Data Processing (pengolahan data) : Mengolah data yang telah diperoleh siswa
melalui kegiatan wawancara, observasi dan lain-lain. Kemudian data tersebut
ditafsirkan.
- Verifikasi : Mengadakan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar
dan tidaknya hipotesis yang diterapkan dan dihubungkan dengan hasil dan proses.
- Generalisasi : Mengadakan penarikan kesimpulan untuk dijadikan prinsip umum
dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama dengan
memperhatikan hasil verifikasi.

Beberapa keunggulan metode penemuan sebagai berikut:

a) Siswa aktif dalam kegiatan belajar, sebab ia berpikir dan menggunakan


kemampuan untuk menemukan hasil akhir
b) Siswa memahami benar bahan pelajaran, sebab mengalami sendiri proses
menemukannya. Sesuatu yang diperoleh dengan cara ini lebih lama diingat
c) Menemukan sendiri menimbulkan rasa puas. Kepuasan batin ini mendorong
ingin melakukan penemuan lagi sehingga minat belajarnya meningkat;
d) Siswa yang memperoleh pengetahuan dengan metode penemuan akan lebih
mampu mentransfer pengetahuannya ke berbagai konteks

Selain memiliki kelebihan, Discovery Learning juga memiliki kekurangan,


diantaranya:
a) Siswa yang lamban mungkin bingung dalam usahanya mengembangkan
pikirannya jika berhadapan dengan hal-hal yang abstrak, atau menemukan
saling ketergantungan antara pengertian dalam suatu subjek, atau dalam
usahanya menyusun suatu hasil penemuan dalam bentuk tertulis.
b) Metode ini kurang berhasil untuk mengajar kelas besar. Misalnya sebagian
besar waktu dapat hilang.
2) Tahap Perkembangan Intelektual dalam Proses Belajar
Menurut Bruner seiring dengan pertumbuhan kognitif, para pembelajar harus
melalui tiga tahap intelektual, yaitu:
a) Enaktif, seseorang belajar tentang dunia melalui respon atau aksi-aksi terhadap
suatu objek.
b) Ikonik, pembelajaran terjadi melalui penggunaan model-model dan visualisasi
verbal.
c) Simbolik, siswa sudah mampu menggabarkan kapasitas berpikir dalam istilah-
istilah yang abstrak.
3) Scaffolding
Bruner menegaskan bahwa guru yang efektif harus membantu pembelajar
dan memimbingnya untuk melewati ketiga fase tersebut, dengan suatu proses yang
disebut Scaffolding. Tujuan pokok pendidikan menurut Bruner adalah bahwa guru
harus memandu para siswanya sehingga mereka dapat membangun basis
pengetahuannya sendiri dan bukan karena diajari melalui memori hafalan (rote
memorization). Menurut Bruner, interkoneksi antara pengetahuan baru dengan
pengetahuan terdahulu menghasilkan reorganisasi dari struktur kognitif, yang
kemudian menciptakan makna dan mengizinkan individu memahami secara
mendalam informasi baru yang diberikan.
4) Fase- Fase dalam Proses Belajar
Menurut Bruner, dalam proses pembelajaran siswa menempuh tiga fase,
yaitu:
a) Informasi, seorang siswa yang sedang belajar memperoleh sejumlah
keterangan mengenai materi yang sedang dipelajari.
b) Transformasi, dalam fase ini informasi yang telah diperoleh, dianalisis, diubah
atau ditransformasikan menjadi bentuk yang abstrak atau konseptual.
c) Evaluasi, dalam tahap evaluasi ini, menilai sejauh mana informasi yang telah
ditransformasikan dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala atau
memecakan masalah yang dihadapi.
5) Kurikulum Spiral
Tentang kurikulum, konsep Bruner yang terkenal adalah kurikulum
berbentuk spiral (a spiral curriculum) sebagai suatu cara menyajikan suatu materi
pelajaran dengan mengorganisasikan materi pelajaran pada tingkat makro. Contoh
sederhana penyajian spiral, yaitu jika pada awalnya siswa diajar tentang penambahan,
maka pada pembelajaran berikutnya siswa diajar tentang perkalian, dalam hal ini
dijelaskan bahwa perkalian tidak lain adalah melakukan kegiatan penambahan
berulang- ulang.

C. TEORI GESTALT
I. Tokoh teori Getalt
1. Max Wertheimer (1880-1943)
Max Wertheimer adalah tokoh tertua dari tiga serangkai pendiri aliran
psikologi Gestalt. Wertheimer dilahirkan di Praha pada tanggal 15 April 1880.
Bersama-sama dengan Wolfgang Koehler (1887-1967) dan Kurt Koffka (1887-
1941) melakukan eksperimen yang akhirnya menelurkan ide Gestalt. Konsep
pentingnya: Phi phenomenon, yaitu bergeraknya objek statis menjadi rangkaian
gerakan yang dinamis setelah dimunculkan alam waktu singkat dan dengan
demikian memungkinkan manusia melakukan interpretasi. Weirthmeir
menunjuk pada proses interpretasi dari sensasi obyektif yang kita terima.
Wertheimer dianggap sebagai pendiri teori Gestalt setelah dia melakukan
eksperimen dengan menggunakan alat yang bernama stroboskop, yaitu alat
yang berbentuk kotak dan diberi suatu alat untuk dapat melihat ke dalam kotak
itu. Pada tahun 1923, Wertheimer mengemukakan hukum-hukum Gestalt
dalam bukunya yang berjudul “Investigation of Gestalt Theory”. Hukum-
hukum itu antara lain:
a. Hukum Kedekatan (Law of Proximity)
b. Hukum Ketertutupan ( Law of Closure)
c. Hukum Kesamaan (Law of Equivalence)
2. Kurt Koffka (1886-1941)
Koffka lahir di Berlin tanggal 18 Maret 1886. Kariernya dalam psikologi
dimulai sejak dia diberi gelar doktor oleh Universitas Berlin pada tahun 1908.
Pada tahun 1910, ia bertemu dengan Wertheimer dan Kohler, bersama kedua
orang ini Koffka mendirikan aliran psikologi Gestalt di Berlin. Sumbangan
Koffka kepada psikologi adalah penyajian yang sistematis dan pengamalan dari
prinsip-prinsip Gestalt dalam rangkaian gejala psikologi, mulai persepsi,
belajar, mengingat, sampai kepada psikologi belajar dan psikologi sosial.
Teori Koffka tentang belajar antara lain:
a. Jejak ingatan (memory traces), adalah suatu pengalaman yang membekas
di otak.
b. Perjalanan waktu berpengaruh terhadap jejak ingatan
c. Latihan yang terus menerus akan memperkuat jejak ingatan.
3. Wolfgang Kohler (1887-1967)
Kohler lahir di Reval, Estonia pada tanggal 21 Januari 1887. Saat bertugas
sebagai asisten dari F. Schumman, ia bertemu dengan Wartheimer dan Koffka.
Kohler berkarier mulai tahun 1913-1920, ia bekerja sebagai Direktur stasiun
“Anthrophoid” dari Akademi Ilmu-Ilmu Persia di Teneriffe, di mana pernah
melakukan penyelidikannya terhadap inteligensi kera. Eksperimennya adalah:
seekor simpanse diletakkan di dalam sangkar. Pisang digantung di atas sangkar.
Di dalam sangkar terdapat beberapa kotak berlainan jenis. Mula-mula hewan
itu melompat-lompat untuk mendapatkan pisang itu tetapi tidak berhasil.
Karena usaha-usaha itu tidak membawa hasil, simpanse itu berhenti sejenak,
seolah-olah memikir cara untuk mendapatkan pisang itu. Tiba-tiba hewan itu
dapat sesuatu ide dan kemudian menyusun kotak-kotak yang tersedia untuk
dijadikan tangga dan memanjatnya untuk mencapai pisang itu. Menurut Kohler
apabila organisme dihadapkan pada suatu masalah atau problem, maka akan
terjadi ketidakseimbangan kognitif, dan ini akan berlangsung sampai masalah
tersebut terpecahkan.
4. Kurt Lewin (1890-1947)
Pandangan Gestalt diaplikasikan dalam field psychology oleh Kurt Lewin.
Lewin lahir di Jerman, lulus Ph.D dari University of Berlin dalam bidang
psikologi thn 1914. Mula-mula Lewin tertarik pada paham Gestalt, tetapi
kemudian ia mengkritik teori Gestalt karena dianggapnya tidak adekuat. Lewin
kurang setuju dengan pendekatan Aristotelian yang mementingkan struktur dan
isi gejala kejiwaan. Ia lebih cenderung kearah pendekatan yang Galilean, yaitu
yang mementingkan fungsi kejiwaan. Konsep utama Lewin adalah Life Space,
yaitu lapangan psikologis tempat individu berada dan bergerak. Lapangan
psikologis ini terdiri dari fakta dan obyek psikologis yang bermakna dan
menentukan perilaku individu (B=f L). Tugas utama psikologi adalah
meramalkan perilaku individu berdasarkan semua fakta psikologis yang eksis
dalam lapangan psikologisnya pada waktu tertentu. Life space terbagi atas
bagian-bagian yang memiliki batas-batas. Gerakan individu mencapai tujuan
(goal) disebut locomotion. Dalam lapangan psikologis ini juga terjadi daya
(forces) yang menarik dan mendorong individumendekati dan menjauhi tujuan.
Apabila terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium), maka terjadi ketegangan
(tension). Berdarkan kepada vector yang saling bertentangan itu. Lewin
membagi konflik dalam 3 jenis:
a. Konflik mendekat-mendekat (Approach-Approach Conflict)
Konflik ini terjadi jika seseorang menghadapi dua obyek yang samasama
bernilai positif.
b. Konflik menjauh-menjauh (Avoidance-Avoidance Conflict)
Konflik ini terjadi kalau seseorang berhadapan dengan dua obyek yang
sama-sama mempunyai nilai negative tetapi ia tidak bisa menghindari
kedua obyek sekaligus.
c. Konflik mendekat-menjauh (Approach-Avoidance Conflict)
Konflik ini terjadi jika ada satu obyek yang mempunyai nilai positif dan
nilai negatif sekaligus.
II. Pokok-pokok Teori Belajar Menurut Aliran Gestalt
1. Pandangan Gestalt Tentang Belajar dan The Memory Trace (Kesan
Ingatan)
Menurut teori Gestalt, belajar adalah berkenaan dengan keseluruhan
individu dan timbul dari interaksinya yang matang dengan lingkungannya.
Melalui interaksi ini, kemudian tersusunlah bentuk-bentuk persepsi, imajinasi
dan pandangan baru. Kesemuanya, secara bersama-sama membentuk
pemahaman atau wawasan (Insight), yang bekerja selama individu melakukan
pemecahan masalah. Dalam hal ini terdapat empat prinsip yang dikembangkan
oleh Wertheimer dan kemudian diaplikasikan Kohler mengenai berfikir dan
persepsi. Karena Gestaltis punya perhatian dengan aspek-aspek molar dalam
belajar dan prilaku sebagaimana stimuli dan respons, keterangan mereka
tentang belajar dan memori lebih banyak bersifat global dan tidak spesifik
seperti halnya keterangan dari behaviorist. Persepsi adalah kemampuan
manusia untuk mengenal dan untuk memahami apa yang tidak diketahuinya.
Penerimaan sesuatu berarti bahwa manusia dapat mengingat pengalaman-
pengalaman, objek atau kejadian masa lalu. Karena itu persepsi memerlukan
proses lebih banyak dari sekedar kemampuan melakukan reaksi terhadap
sesuatu, yaitu pemrosesan yang sungguh-sungguh untuk mengintegrasikan
sumber-sumber informasi ke dalam gambaran tunggal. Menurut pandangan
psikologi gestalt dapat disimpulkan bahwa seseorang memperoleh
pengetahuan melalui sensasi atau informasi dengan melihat strukturnya secara
menyeluruh kemudian menyusunnya kembali dalam struktur yang lebih
sederhana sehingga mudah dipahami. Persoalan umum pandangan Gestalt
diekspresikan dalam statemen bahwa hukumhukum atau dalil-dalil organisasi
menerapkan persepsi dan belajar secara sama-sama. Tetapi ada problem khusus
di dalam belajar dimana gestatltis menguraikan gagasan-gagasannya.
Wulf (1983) mendiskripsikan kecenderungan organisasional dari
memori dengan memberi nama penyamarataan (leveling), Penajaman
(Sharpening),dan normalisasi (Normalizing). Penyamarataan (leveling) adalah
kecenderungan menuju simatri atau menuju pendangan yang simpel dari
kepelikan pola perseptual. Penajaman (Sharpening) adalah tindakan penekanan
pada ketiadaan perbedaan pola. Normalisasi (normalizing) terjadi ketika objek
yang direproduksi dimodifikasi agar sesuai dengan memori sebelumnya.
Beberapa problem yang menjadi perhatian Gestalt antara lain sebagai berikut:
a. Kecakapan (Capacity)
Karena belajar memerlukan pembedaan dan restrukturisasi persoalan,
kondisi yang lebih tinggi dari belajar sangat banyak bergantung pada
kecakapan alamiah untuk memberi reaksi dalam kebiasaan itu.
b. Praktek (Practice)
Memori kita adalah bekas yang dinyatakan (secara positif tanpa bukti) dari
persepsi, asosiasi sebuah produk organisasi perceptual. Hukum perceptual
juga menentukan hubungan elemen-elemen di dalam memori.
c. Motivasi (Motivation)
Hukum empiris dari akibat, mengenai peran reward dan hukuman, diterima
oleh psikologi Gestalt, tetapi mereka berbeda dari Thorndike di dalam
memberi interpretasi. Mereka percaya bahwa akibat yang datang kemudian
tidak terjadi ”secara otomatis dan tanpa di sadari” untuk
memperkuattindakan sebelumnya.
d. Pemahaman (Understanding)
Pemahaman hubungan, kesadaran hubungan antara bagian-bagian dan
keseluruhan, berhubungan dengan konsekuensi, ditekankan oleh para
penulis Gestalt.
e. Transfer (Transfer)
Konsep Gestalt paling suka transfer perubahan. Pola hubungan dipahami di
situasi yang bisa diterapkan pada situasi yang lain. Satu keuntungan dari
belajar dengan pemahaman itu lebih baik daripada dengan proses
penghafalan tanpa berfikir.
f. Pelupaan (forgetting)
Pelupaan dihubungkan dengan bagian perubahan di dalam bekas. Bekas
bisa tidak kelihatan melalui pengurangan secara gradual (kemungkinan
susah untuk membuktikan atau tidak), melalui perusakan karena sebagian
kacau balau, bidang yang terstruktur sakit, atau karena asimilasi pada bekas
atau proses baru.
2. Hukum-hukum Pengamatan (Hukum-hukum Belajar)
Menurut Aliran Gestalt karena asumsi bahwa hukum-hukum atau
prinsip-prinsip yang berlaku pada proses pengamatan dapat ditransfer kepada
hal belajar, maka untuk memahami proses belajar orang perlu memahami
hukum-hukum yang menguasai proses pengamatan itu. Melalui penelitian-
penelitian yang dilakukan oleh para tokoh Gestalt, disusunlah hukum-hukum
Gestalt yang berhubungan dengan pengamatan (Fudyartanto,2002) sebagai
berikut :
a. Hukum Pragnanz (good form)
Hukum Pragnanz merupakan hukum umum dalam psikologi Gestalt.
Hukum ini menyatakan bahwa organisasi psikologis selalu cenderung untuk
bergerak ke arah penuh arti Pragnanz. Menurut hukum ini jika seseorang
mengamati sebuah atau sekelompok objek, maka orang tersebut akan
cenderung memberi arti terhadap objek yang diamatinya, dengan
memberikan kesan sedemikian rupa terhadap objek tersebut.
b. Hukum Kesamaan (law of similarity)
Hukum ini menyatakan hal-hal yang sama cenderung membentuk Gestalt
atau kesatuan.
c. Hukum Keterdekatan (law of proximity)
Hukum yang menyatakan bahwa hal-hal yang saling berdekatan cenderung
membentuk kesatuan.
d. Hukum Ketertutupan (law of closure)
Prinsip hukum ketertutupan ini menyatakan bahwa hal-hal yang tertutup
cenderung membentuk gestalt, Menyatakan bahwa kita mempunyai
tendensi untuk melengkapi atau mengisi pengalaman-pengalaman yang
tidak lengkap, agar menjadi lebih berarti.
e. Hukum kontinuitas
Hukum ini menyatakan bahwa hal-hal yang kontinu atau yang merupakan
kesinambungan (kontinuitas) yang baik akan mempunya tendensi untuk
membentuk kesatuan atau gestalt.
3. Memecahkan Problem (Problem Solving), Mendapatkan pencerahan
(Insight)
Dalam teori belajar menurut Gestalt, yang terpenting dalam belajar
adalah adanya penyesuaian pertama, yaitu memperoleh respon yang tepat untuk
memecahkan masalah yang dihadapi. Belajar yang penting bukan mengulangi
hal-hal yang harus dipelajari, tetapi mengerti/memperoleh insight
(pemahaman). Insight barulah berfungsi bila ada persepsi terhadap masalahnya.
Hilgard ( 1948 : 190-195) (Sumadi Suryabrata, 1984:302-304) memberikan
enam macam sifat khas belajar dengan insight, sebagai berikut:
a. Insight itu dipengaruhi oleh kemampuan dasar.
Kemampuan dasar itu berbeda-beda dari individu yang satu ke individu
yang lain. Pada umumnya anak yang masih sangat muda sukar untuk
belajar dengan insight ini.
b. Insight itu dipengaruhi oleh pengalaman belajar masa lampau yang
relevan. Walaupun insight itu tergantung kepada pengalaman masa lampau
yang relevan, namun memiliki pengalaman masa lampau tersebut belum
menjamin dapatnya memecahkan masalah.
c. Insight tergantung kepada pengaturan secara eksperimental.
Insight itu hanya mungkin terjadi apabila situasi belajar diatur sedemikian
rupa sehingga segala aspek yang perlu dapat diambil.
d. Insight itu didahului oleh suatu periode mencoba-coba.
Insight bukanlah hal yang dapat jatuh dari langit dengan sendirinya,
melainkan hádala hal yang harus di cari. Sebelum dapat memperoleh
insight orang harus sudah meninjau problemnya dari berbagai arah dan
mencoba-coba memecahkan.
e. Belajar yang dengan Insight itu dapat diulangi.
Jika sesuatu problem yang telah dipecahkan dengan insight lain kali
diberikan lagi kepada pelajar yang bersangkutan, maka dia akan dengan
langsung dapat memecahkan problem itu lagi.
f. Insight yang telah sekali di dapatkan dapat dipergunakan untuk menghadapi
situasi-situasi yang baru.

Belajar yang disertai insight (insight full learning) biasanya mempunyai empat
ciri. (1) Transisi dari pemecahan permulaan sampai pemecahan terjadi dengan
tiba-tiba. (2) Pemecahan yang dilakukan dengan insight biasanya lancar dan
bebas dari kesalahan. (3) Pemecahan masalah yang disertai insight, dipegang
teguh untuk pertimbangan lamanya waktu. (4) Satu prinsip adanya insight
adalah mudahnya aplikasi terhadap problem yang lain.

III. Aplikasi Teori Gestalt pada Pendidikan dan Pengajaran


Prinsip belajar menurut teori gestalt adalah sebagai berikut:
a. Belajar berdasarkan keseluruhan
b. Belajar adlah suatu poses perkembangan
c. Siswa sebagai organisme keseluruhan
d. Terjadinya transfer
e. Belajar adalah reorganisasi pengalaman
f. Belajar dengan insight
g. Belajar lebih berhasil bila berhubungan dengan minat keinginan dan tujuan
siswa
h. Belajar berlangsung terus menerus
Banyak praktik pendidikan dan pengajaran yang menggunakan dasar psikologi
ilmu jiwa gestalt.

a. Dibidang kurikulum
Kurikulum concentris merupakan pengetrapan prinsip-prinsip ilmu Jiwa
Gestalt. Kurikulum ini mempunyai pusat yang sama (con-centris). Dalam
tingkatan yang rendah, disusun kurikulum dari suatu kesatuan yang utuh. Disini
diajarkan yang pokok-pokok secara garis besar. Di tingkat yang lebih tinggi,
kesatuan itu diberikan lagi, tetapi dibahas lebih mengarah ke bagian-bagian
lebih mendalam. Sedang ditingkat yang lebih tinggi lagi, kesatuan tersebut
tetap digunakan, tetapi dibahas menjadi kesatuan-kesatuan yang lebih
mendalam lagi. Dalam perwujudan dan perkembangan selanjutnya, kurikulum
concentris ini dapat terwujud dalam:
a.) Penagajaran pusat minat
b.) Penagajaran Proyek
c.) Penagajaran alam sekita
d.) Salah satu prinsip dalam sistim among oleh Ki Hajar Dewantara.
b. Dalam bidang dikatik metodik
Dalam bidang Didaktik Metodik, khususnya mengenai metode mengajar
membaca, menulis. Pengaruh Ilmu Jiwa Gestalt itu sangat besar. Ternyata
pengetrapan Ilmu Jiwa Gestalt dalam metode mengajar membaca menulis itu
telah mampu menggoyahkan metode mengajar yang telah berabad-abad sejak
zaman Yunani Kuno hingga awal abad 20 ini.
c. Dalam metode mengajar
Sangat penting artinya bagi individu (murid), bila ia dapat menemukan
pemahaman (insight) dengan caranya sendiri tanpa diberi tahu. Karena itu guru
harus pandai mengatur strategi (membuat siasat) bagaimana cara mengajar
untuk menimbulkan pemahaman (insight) oleh murid sendiri tanpa murid
merasa digurui secara langsung. Buatlah siasat agar murid menemukan
pemahaman sendiri. Metode ini terkenal dengan metode problem solving
(pemecahan masalah).
D. TEORI BROWNELL
Salah satu ahli yang memberikan sumbangan pikiran dalam teori belajar adalah William
Arthur Brownell adalah tokoh besar dalam matematika pendidikan di awal abad dua
puluh. Brownell lahir pada tanggal 19 Mei 1895 di Smethport Pensylvania dan wafat
pada tanggal 24 Mei 1977. Pada penelitiannya mengenai pembelajaran anak
khususnya pada aritmetika mengemukakan belajar matematika harus merupakan belajar
bermakna dan belajar pengertian atau yang dikenal dengan Meaning Theory (teori
bermakna) dan dalam perkembangannya ia meletakkan pondasi munculnya matematika
baru. Khusus dalam hubungan pembelajaran matematika di SD, Meaning Theory
(teori makna) yang diperkenalkan oleh Brownell merupakan alternatif dari Drill Theory
(latihan hafal/ulangan) yang dikembangkan oleh Thorndike di awal abad 20- an.
Pandangan aliran ini dengan aliran pengaitan, mengenai latihan hafal itu sejalan.
1. Drill Theory (Teori Hafalan)
Pada permulaan abad ke-20 berkembang aliran mental yang mempunyai keyakinan
bahwa otak itu seperti otot terdiri dari gumpalangumpalan yang disebut fakulti-
fakulti. Karena itu agar supaya kuat otak itu harus dilatih. Makin kuat dan keras
latihannya makin baik, dan makin belakangandil akukan makin kuat latihannya.
Namun seiring perkembangannya, para ahli psikologi membantah kebenaran aliran
itu, bahwa otak tidak terdiri dari fakulti-fakulti. Cara yang dianggap cocok untuk
menanamkan konsep baru (yang semestinya ada kaitannya dengan konsep lama)
adalah dengan cara stimulus-respons yang dilakukan melalui latihan hafal (drill) yang
cepat, tepat, dan berulang-ulang.
Intisari pengajaran matematika menurut teori drill adalah sebagai berikut.
a. Matematika (aritmetika) untuk tujuan pembelajaran (belajar mengajar)
dianalisis sebagai kumpulan fakta (unsur) yang berdiri sendiri dan tidak saling
berkaitan.
b. Anak diharuskan untuk menguasai unsur-unsur yang banyak sekali tanpa
diperhatikan pengertiannya.
c. Anak mempelajari unsur-unsur dalam bentuk seperti yang akan digunakan nanti
pada kesempatan lain.
d. Anak akan mencapai tujuan ini secara efektif dan efisien dengan melalui
pengulangan atau drill.
Brownell mengemukakan tiga keberatan utama berkenaan dengan teori drill pada
pengajaran matematika.

a. Teori drill memberikan tugas yang harus dipelajari siswa yang hampir tidak
mungkin dicapai
b. Keberatan yang lainnya berkaitan dengan reaksi yang dihasilkan oleh drill.
c. Aritmetika adalah paling tepat dipandang sebagai suatu sistem berpikir kuantitatif.
Pandangan ini merupakan kriteria penilaian suatu sistem pengajaran matematika
yang memadai atau tidak.
2. Meaning Theory (Teori Bermakna)
Menurut teori makna, anak itu harus melihat makna dari apa yang
dipelajarinya, anak harus tahu makna dari simbol yang ditulis dan kata yang
diucapkannya. Dan ini adalah isu utama pada pembelajaran matematika. Teori makna
mengakui perlunya drill dalam pembelajaran matematika, bahkan dianjurkan jika
memang diperlukan. Jadi, drill itu penting tetapi dilakukan apabila suatu konsep,
prinsip atau proses telah dipahami dan dimengerti oleh para siswa. Brownell
memberikan saran dalam pengajaran matematika, siswa sebaiknya memahami
pentingnya bilangan baik dalam segi kehidupan sosial manusia maupun segi
intelektual dalam sistem kualitatif. Jadi pembelajaran aritmetika yang dikembangkan
oleh Brownel, menekankan bahwa keterampilan hitung tidak hanya sekedar
mengetahui cara menyelesaikan prosedur-prosedur, tetapi juga harus mengetahui
bagaimana prosedur-prosedur tersebut bekerja atau dengan kata lain harus mengetahui
makna dari apa yang dipelajari.
Teori makna memandang matematika sebagai suatu sistem dan konsep-
konsep, prinsip-prinsip dan proses-proses yang dapat dimengerti. Menurutnya, tes
belajar untuk mengukur kemampuan matematika anak bukanlah semata-mata
kemampuan mekanik anak dalam berhitung saja. Tes harus mengungkapkan
kemampuan intelektual anak dalam melihat antara bilangan, dan kemampuan untuk
menghadapi situasi aritmetika dengan pemahaman yang sempurna baik aspek
matematikanya maupun aspek praktisnya. Menurut brownell kemampuan
mendemontrasikan operasi-operasi hitung secara mekanis dan otomatis tidaklah
cukup. Tujuan utama dari pengajaran aritmetika adalah mengembangkan atau
pentingnya kemampuan berfikir dalam situasi kuantitatif.
Brownell mengusulkan agar pengajaran aritmetika pada anak lebih
menantang kegiatan berfikirnya dari pada kegiatan mengingatnya. Program aritmetika
di SD haruslah membahas tentang pentingnya (significance) dan makna (meaning)
dari bilangan. Pentingnya bilangan (the significance of number) adalah nilainya
atau pentingnya dalam kehidupan keseharian manusia. Pengertian signifikansi
bilangan bersifat fungsional atau dengan kata lain penting dalam kehidupan sosial
manusia. Sedangkan makna bilangan (the meaning of number) adalah bersifat
intelektual, yaitu bersifat matematis sebagai suatu sistem kuantitatif.
Implikasi teori perkembangan kognitif Brownell dalam pembelajaran sebagai berikut.
a. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu,
guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir
anak.
b. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
c. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
d. Siswa hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan siswa
lain.

E. TEORI DIENES
Dienes (dalam Ruseffendi, 1992) berpendapat bahwa pada dasarnya
matematika dapat dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-misahkan
hubunganhubungan di antara struktur-struktur dan mengkategorikan hubungan-hubungan
di antara struktur-struktur. Seperti halnya dengan Bruner, Dienes mengemukakan bahwa
tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang
konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti bahwa jika bendabenda
atau objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan
baik dalam pengajaran matematika. Untuk memperoleh pemahaman terhadap suatu
konsep dengan baik maka siswa harus belajar secara aktif, tidak sekedar pasif saja
menerima apa yang diberikan guru. Proses aktif yang dimaksud tidak hanya bersifat
secara mental tetapi juga keaktifan secara fisik. Dengan kata lain, pembelajaran
matematika adalah proses membangun pengetahuan matematika.Sebagai implikasinya
maka proses pembelajaran matematika merupakan pembentukan lingkungan belajar yang
dapat membantu siswa untuk membangun konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika
berdasarkan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi. Dari penjelasan di atas
maka dapat dinyatakan bahwa suatu pembelajaran harus dilakukan secara konstruktif,
yaitu dengan cara membangun pemahaman anak terhadap suatu konsep yang diajarkan
berdasarkan dari sejumlah kegiatan yang dilakukannya.
Menurut Dienes, ada tiga jenis konsep matematika yaitu konsep murni
matematika, konsep notasi, dan konsep terapan.
1. Konsep murni matematis
Konsep matematis murni berhubungan dengan klasifikasi bilangan-bilangan dan
hubungan-hubungan antar bilangan, dan sepenuhnya bebas dari cara bagaimana
bilangan-bilangan itu disajikan.
2. Konsep notasi
Sifat-sifat bilangan yang merupakan akibat langsung dari cara penyajian bilangan.
Fakta bahwa dalam basis sepuluh, 275 berarti 2 ratusan ditambah 7 puluhan ditambah
5 satuan merupakan akibat dari notasi nilai tempat dalam menyajikan bilangan-
bilangan yang didasarkan pada sistem pangkat dari sepuluh.
3. Konsep Terapan
Penerapan dari konsep matematika murni dan notasi untuk penyelesaian masalah
dalam matematika dan dalam bidang-bidang yang berhubungan. Panjang, luas dan
volume adalah konsep matematika terapan. Konsep-konsep terapan hendaknya
diberikan kepada siswa setelah mereka mempelajari konsep matematika murni dan
notasi sebagai prasyarat. Konsep-konsep murni hendaknya dipelajari oleh siswa
sebelum mempelajari konsep notasi, jika dibalik para siswa hanya akan menghafal
pola-pola bagaimana memanipulasi simbol-simbol tanpa pemahaman konsep
matematika murni yang mendasarinya.

Menurut Dienes (Orton, 1992:150-151) pembelajaran matematika itu harus


memperhatikan 4 prinsip, yaitu:

1. Prinsip dinamik
Proses pemahaman konsep berjalan dari pengalaman ke penetapan klasifikasi
(Hudojo, 2001:85). Jadi, anak-anak mempelajari sesuatu melalui proses penjelasan
dan eksperimen untuk membentuk atau menemukan satu konsep matematika.
2. Prinsip konstruktivis
Konstruksi harus mengambil bagian sebelum analisis dapat berfungsi secara efektif.
Mengkonstruksi setiap ide matematika atas konsep yang menghendaki sifatsifat
tertentu adalah konstruktif (Hudojo, 2001:85). Proses pembelajaran matematika
haruslah melalui proses pengkonstruksian, yaitu dari sifat-sifat atau hal-hal yang
ditemukan melalui sejumlah kegiatan yang terurut kemudian disusun suatu hubungan
untuk memperoleh suatu konsep matematika.
3. Prinsip variabilitas matematik
Setiap konsep matematika menyertakan variabel-variabel esensial yang perlu dibuat
bermacam-macam bila generalisasi dari konsep matematika itu telah tercapai
(Hudojo, 2001:86).Jadi suatu konsep matematika itu mengandung berbagai variabel
yang bervariasi sehingga pembelajaran terhadap suatu konsep haruslah
memperhatikan variabel-variabel tersebut.
4. Prinsip variabilitas perseptual
Bahwa untuk mencapai suatu abstraksi yang efektif dari struktur matematika, haruslah
diakomodasikan sebanyak mungkin situasi-situasi yang berbeda untuk struktur atau
konsep yang sama (Hudojo, 2001:85). Hal ini mengandung arti bahwa apabila dalam
pembelajaran suatu konsep matematika, agar konsep tersebut bisa dipahami dengan
baik maka haruslah diberikan berbagai contoh atau perspektifperspektif yang berbeda
mengenai konsep tersebut.

Adapun tahapan belajar Dienes secara umum adalah sebagai berikut.

1. Permainan bebas (free play)


Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktifitasnya tidak
berstruktur dan tidak diarahkan. Anak didik diberi kebebasan untuk mengatur benda.
Dalam tahap permainan bebas anak-anak berhadapan dengan unsur-unsur dalam
interaksinya dengan lingkungan belajarnya atau alam sekitar. Dalam tahap ini anak tidak
hanya belajar membentuk struktur mental, namun juga belajar membentuk struktur sikap
dalam mempersiapkan diri dalam pemahaman konsep.
2. Permainan yang menggunakan aturan (games)
Dalam permainan yang disertai aturan siswa sudah mulai meneliti polapoladan
keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin terdapat dalam
konsep tertentu tapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya. Anak yang telah
memahami aturan-aturan tadi. Jelaslah, dengan melalui permainan siswa diajak untuk
mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu.
3. Permainan kesamaan sifat (searching for communalities)
Dalam mencari kesamaan sifat siswa mulai diarahkan dalam kegiatan
menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih
dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan
menstranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan lain. Translasi ini tentu tidak
boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan semula.
4. Permainan representasi (representation)
Representasi adalah tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa situasi
yang sejenis. Para siswa menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu. Setelah
mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang
dihadapinya itu. Representasi yang diperoleh ini bersifat abstrak. Dengan demikian siswa
telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat
dalam konsep yang sedang dipelajari.
5. Permainan dengan simbolisasi (symbolization)
Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan
merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol
matematika atau melalui perumusan verbal. Dari berbagai hal yang dilakukan anak
membuat suatu penyimbolan atau menyatakannya dengan suatu ungkapan yang
bersesuaian dengan segala sifat-sifat yang sama yang ditemukan dari percobaan-
percobaan terhadap benda-benda konkrit tadi. Pada tahap ini anak sudah memperoleh
suatu konsep yang besifat abstrak.
6. Permainan dengan formalisasi (formalization)
Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini
siswa-siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan
sifat-sifat baru konsep tersebut, sebagai contoh siswa yang telahmengenal dasar-dasar
dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampumerumuskan teorema dalam
arti membuktikan teorema tersebut. Pada tahap formalisasi anak tidak hanya mampu
merumuskan teorema serta membuktikannya secara deduktif, tetapi mereka sudah
mempunyai pengetahuan tentang sistem yang berlaku dari pemahaman konsep-konsep
yang terlibat satu sama lainnya.

Keunggulan teori Dienes (1) Melatih anak untuk mendramatisasikan sesuatu serta melatih
keberanian (2) Menarik perhatian siswa (3) Mudah mengambil kesimpulan berdasarkan
penghayatan sendiri (4 )Melatih siswa untuk menyusun pikirannya dengan teratur
Kelemahan teori Dienes (1) Tidak semua topik pembahasan dapat disajikan dengan
permainan (2) Memerlukan banyak waktu (3) Mengganggu ketenangan kelas lain (4) Tidak
semua siswa antusias dengan metode permainan ini
F. TEORI VAN HIELE
Tahap berpikir Van Hiele adalah kecepatan untuk berpindah dari satu tahap ke
tahap berikutnya lebih banyak dipengaruhi oleh aktifitas dalam pembelajaran.Dengan
demikian, pengorganisasian pembelajaran, isi, dan materi merupakan faktor penting
dalam pembelajaran, selain guru juga memegang peran penting dalam mendorong
kecepatan berpikir siswa melalui suatu tahapan.Tahap berpikir yang lebih tinggi hanya
dapat dicapai melalui latihan-latihan yang tepat bukan melalui ceramah semata.Dalam
perkembangan berpikir, van Hiele (dalam Clements dan Battista, 1992:436) menekankan
pada peran siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara aktif. Siswa tidak akan
berhasil jika hanya belajar dengan menghapal fakta-fakta, nama-nama atau aturan-aturan,
melainkan siswa harus menentukan sendiri hubungan-hubungan saling Keterkaitan antara
konsep-konsep geometri daripada proses-proses geometri.
Teori van Hiele yang dikembangkan oleh Pierre Marie van Hiele dan Dina van
HieleGeldof sekitar tahun 1950-an telah diakui secara internasional (Martin dalam
Abdussakir, 2003:34) dan memberikan pengaruh yang kuat dalam pembelajaran geometri
sekolah. Uni Soviet dan Amerika Serikat adalah contoh negara yang telah merubah
kurikulum geometri berdasar pada teori van Hiele (Anne, 1999). Pada tahun 1960-an, Uni
Soviet telah melakukan perubahan kurikulum karena pengaruh teori van Hiele (Anne,
1999). Sedangkan di Amerika Serikat pengaruh teori van Hiele mulai terasa sekitar
permulaan tahun 1970-an (Burger & Shaughnessy, 1986:31 dan Crowley, 1987:1). Sejak
tahun 1980-an, penelitian yang memusatkan pada teori van Hiele terus meningkat
(Gutierrez, 1991:237 dan Anne, 1999).
Van Hiele adalah seorang pengajar matematika di Belanda, dia telah
mengadakan penelitian di lapangan melalui observasi dan tanya jawab.Penelitian Van
Hiele ditulis dalam disertasinya pada tahun 1954 yang melahirkan beberapa kesimpulan
mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri.
1. Tahap Pengenalan
Pada tahap ini siswa hanya baru mengenal bangun-bangun geometri seperti bola,
kubus, segitiga, persegi dan bangun-bangun geometri lainnya. Seandainya kita
hadapkan pada bangunbangun geometri, anak dapat menunjukkan bentuk segitiga.
Namun pada tahap pengenalan anak belum dapat menyebutkan sifat-sifat dari bangun-
bangun geometri yang dikenalnya.
2. Tahap Analisis
Jika pada tahap pengenalan anak belum mengenal sifat-sifat bangun-bangun geometri,
tidak demikian pada tahap analisis. Pada tahap ini anak sudah dapat mengenali sifat-
sifat dari bangun-bangun geometri. Seandainya kita tanyakan apakah kubus itu juga
sebuah balok?, maka anak belum bias menjawab pertanyaan ini, karena pada tahap ini
anak belum memahami hubungan antara balok dan kubus, dengan kata laian bahwa
pada tahapan ini anak belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu
bangun geometri dengan bangun geometri lainnya.
3. Tahap Pengurutan
Pada tahap ini pemehaman anak lebih meningkat lagi dari sebelumnya yang hanya
mengenal bangun-bangun geometri beserta sifat-sifatnya. Pada tahap ini anak sudah
mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan
bangun geometri lainnya. Anak yang berada pada tahap ini sudah memahami
pengurutan bangun-bangun geometri.
4. Tahap Deduksi
Pada tahap ini anak sudah dapat memahami deduksi, yaitu mengambil kesimpulan
secara deduktif dengan menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa matematika adalah Ilmu deduktif. Anak pada
tahap ini telah mengerti pentingnya peranan unsure-unsur yang tidak didefenisikan,
disamping unsure-unsur yang didefenisikan aksioma atau masalah, dan teorema.
Tetapi pada tahapan ini anak belum memahami kegunaan dari suatu sistem deduktif.
Oleh karena itu anak pada tahap ini belum bisa menjawab pertanyaan mengapa
sesuatu itu disajikan teorema atau dalil.
5. Tahap Keakuratan
Tahap terakhir dari perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri adalah
tahap keakuratan. Pada tahap ini anak sudah memahami betapa pentingnya ketepatan
dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Anak pada tahap ini
sudah memahami mengapa sesuatu itu dijadikan postulat atau dalil. Dari eksistensi
kelima tahapan yang berbeda tentang pemikiran geometri di atas adalah merupakan
tingkatan yang tidak secara langsung terkait dengan usia.

Selain mengemukakan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif dalam


memahami geometri, Van Hiele juga mengemukakan beberapa teori berkaitan dengan
pengajaran geometri. Teori yang dikemukakan oleh Van Hiele antara lain adalah sebagai
berikut;
1. Tiga unsur yang utama pengajaran geometri yaitu, waktumateri pengajaran dan
metode penyusun. Apabila dikelola secara terpadu dapat mengakibatkan peningkatan
kemampuan berfikir anak kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap yang sebelumnya.
2. Bila dua orang yang mempunyai tahap berpikir berlainan satu sama lain, kemudian
saling bertukar pikiran, maka kedua orang tersebut tidak akan mengerti. Menurut Van
Hiele, seorang anak yang berada pada tingkat yang lebih rendah tidak akan mungkin
dapat mengerti/memahami materi yang berada pada tingkat yang lebih tinggi dari
anak tersebut. Kalaupun dipaksakan maka anak tidak akan memahaminya tapi nanti
bisa dengan melalui hafalan.
3. Untuk mendapatkan hasil yang diinginkan yaitu anak memahami geometri dengan
pengertian, kegiatan belajar anak harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan
anak itu sendiri, atau disesuaikan dengan tahap berpikirnya. Dengan demikian anak
dapat memperkaya pengalaman dan cara berpikirnya, selain itu sebagai persiapan
untuk meningkatkan tahap berpikirnya ke tahap yang lebih dari tahap sebelumnya.

Berikut hal-hal yang diambil manfaatnya dari teori yang dikemukakan;

1.) Guru dapat mengambil manfaat dari tahap-tahap perkembangan kognitif anak yang
dikemukakan Van Hiele, dengan mengetahui mengapa seorang anak tidak memahami
bahwa kubus itu merupaka balok, karena anak tersebut tahap berpikirnya masih
berada pada tahap analisis ke bawah.
2.) Supaya anak dapat memahami geometri dengan pengertian, bahwa pengajaran
geometri harus disesuaikan dengan tahap perkembangan berpikir anak itu sendiri.
3.) Agar topic-topik pada materi geometri dapat dipahami dengan baik dan anak dapat
mempelajari topic-topik tersebut berdasarkan urutan tingkat kesukarannya yang
dimulai dari tingkat yang paling mudah sampai dengan tingkat yang paling rumit dan
kompleks.

Menurut teori Pierre dan Dina Van Hiele (dalam Muharti, 1993) tingkat-tingkat
pemikiran geometrik dan fase pembelajaran siswa berkembang atau maju menurut
tingkat-tingkat sebagai berikut: dari tingkat visual Gestalt-like melalui tingkat-tingkat
sophisticated dari deskripsi, analisis, abstraksi dan bukti. Teori ini mempunyai
karakteristik sebagai berikut:
a. Belajar adalah suatu proses yang diskontinu, yaitu ada loncatan-loncatan dalam kurva
belajar yang menyatakan adanya tingkat-tingkat pemikiran yang diskrit dan berbeda
secara kualitatif.
b. Tingkat-tingkat itu berurutan dan berhirarki. Supaya siswa dapat berperan dengan
baik pada suatu tingkat yang lanjut dalam hirarki van Hiele, ia harus menguasai
sebagian besar dari tingkat yang lebih rendah. Kenaikan dari tingkat yang satu ke
tingkat yang berikutnya lebih banyak tergantung dari pembelajaran daripada umur
atau kedewasaan biologis.
c. Konsep-konsep yang secara implisit dipahami pada suatu tingkat menjadi dipahami
secara eksplisit pada tingkat berikutnya. Pada setiap tingkat muncul secara ekstrinsik
dari sesuatu yang intrinsik pada tingkat sebelumnya.
d. Setiap tingkat mempunyai bahasanya sendiri, mempunyai simbol linguistiknya sendiri
dan sistem relasinya sendiri yang menghubungkan simbol-simbol itu. Suatu relasi
yang benar pada suatu tingkat, ternyata akan tidak benar pada tingkat yang lain.

Fase-fase pembelajaran geometri:


Fase 1. Informasi
Pada awal tingkat ini, guru dan siswa menggunakan tanya-jawab dan kegiatan
tentang objek-objek yang dipelajari pada tahap berpikir siswa. Dalam hal ini objek yang
dipelajari adalah sifat komponen dan hubungan antar komponen bangun-bangun segi
empat.
Fase 2. Orientasi
Siswa menggali topik yang dipelajari melalui alat-alat yang dengan cermat telah
disiapkan guru. Aktivitas ini akan berangsur-angsur menampakkan kepada siswa struktur
yang memberi ciriciri sifat komponen dan hubungan antar komponen suatu bangun segi
empat.
Fase 3. Penjelasan
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, siswa menyatakan pandangan yang
muncul mengenai struktur yang diobservasi. Di samping itu, untuk membantu siswa
menggunakan bahasa yang tepat dan akurat, guru memberi bantuan sesedikit mungkin.
Fase 4. Orientasi Bebas
Siswa menghadapi tugas-tugas yang lebih kompleks berupa tugas yang
memerlukan banyak langkah, tugas yang dilengkapi dengan banyak cara, dan tugas yang
open-ended. Mereka memperoleh pengalaman dalam menemukan cara mereka sendiri,
maupun dalam menyelesaikan tugas-tugas.
Fase 5. Integrasi
Siswa meninjau kembali dan meringkas apa yang telah dipelajari. Guru dapat
membantu siswa dalam membuat sintesis ini dengan melengkapi survey secara global
terhadap apa yang telah dipelajari. Pada akhir fase kelima ini siswa mencapai tahap
berpikir yang baru. Siswa siap untuk mengulangi fase-fase belajar pada tahap
sebelumnya.
Pada sub unit ini Anda akan mempelajari suatu kegiatan belajar-mengajar yang
mengacu pada fase-fase pembelajaran model Van Hiele. Kegiatan belajar di sini
dimaksudkan untuk meningkatkan tahap berpikir siswa dari 0 (visualisasi) ke tahap 1
(analitik). Ciri-ciri dari tahap visualisasi adalah sebagai berikut: Siswa mengidentifikasi,
memberi nama, membandingkan, dan mengoperasikan gambar-gambar geometri seperti:
segitiga, sudut, dan perpotongan garis berdasarkan penampakannya. Sedangkan ciri-ciri
tahap analitik adalah: Siswa menganalisis bangun berdasarkan sifat-sifat dari komponen
dan hubungan antar komponen, menyusun sifat-sifat pada sebuah kelas bangunbangun
secara nyata, dan menggunakan sifat-sifat tersebut untuk memecahkan persoalan.
Pendekatan induktif pada awalnya dikemukakan oleh filosof Inggris Prancis
Bacon (1561) yang menghendaki agar penarikan kesimpulan didasarkan atas fakta-fakta
yang konkrit sebanyak mungkin. Berfikir induktif ialah suatu proses berfikir yang
berlangsung dari khusus menuju ke umum. Orang mencari ciri-ciri atas sifat-sifat tertentu
dari berbagai fenomena, kemudian menarik kesimpulan bahwa ciri-ciri itu terdapat pada
semua jenis fenomena. Pendekatan induktif berarti pengajaran yang bermula dengan
menyajikan sejumlah keadaan khusus kemudian dapat disimpulkan menjadi suatu konsep,
prinsip atau aturan. Pendekatan induktif menggunakan penalaran induktif yang bersifat
empiris. Dengan cara ini konsep-konsep matematika yang abstrak dapat dimengerti murid
melalui benda-benda konkret. Penalaran induktif yang dilakukan melalui pengalaman dan
pengamatan ada kelemahannya, yakni kesimpulannya tidak menjamin berlaku secara
umum.

G. TEORI VYGOTSKY
Lev Semyonovich Vygotsky, beliau lahir pada tahun 1896 di kota Orsha Rusia
yang merupakan keturunan Yahudi. Vygotsky adalah seorang sarjana Hukum, lulusan
Universitas Moskow pada tahun 1917, kemudian melanjutkan studi dalam bidang filsafat,
psikologi, dan sastra pada fakultas Psikologi Universitas Moskow dan lulus pada tahun
1925 dengan judul disertasi “The Psychology of Art”. Vygotsky melakukan banyak
penelitian mengenai proses berpikir anak antara tahun 1920-1934 (Ormrod, 1995:179).
Dalam pengantar buku The Collected Works of L.S Vygotsky (1987), Bruner
mengemukakan bahwa Vygotsky bukan hanya seorang ahli psikologi, tetapi juga teoritis
kebudayaan. Semasa hidupnya Vygotsky sangat produktif dengan karya-karyanya.
Vygotsky banyak menghasilkan teori psikologi mengenai perkembangan intelektual,
antaranya bahasa dan pemikiran; peranan interaksi sosial; dan ZPD (Zone of Proximal
Development). Vygotsky juga menekankan pentingnya memanfaatkan lingkungan dalam
pembelajaran.
a. Bahasa dan Pemikiran
Menurut Vygotsky anak-anak menggunakan bahasa bukan hanya untuk komunikasi
sosial, tetapi juga untuk merencanakan, dan memonitor perilaku dengan cara mereka
sendiri yang dinamakan pembicaraan batin (inner speech). Pola pembicaraan bantu
(inner speech) merupakan transisi awal untuk lebih komunikatif sosial. Menurut
Vygotsky bahwa bahasa merupakan bentuk dan berbasis sosial. Menurut beberapa
penelitian, inner speech yang diungkapkan oleh Vygotsky memang merupakan faktor
perkembangan anak.
b. Peranan Interksi Sosial
Dalam pandangan Vygotsky setiap individu berkembang dalam konteks sosial. Semua
kerja kognitif tingkat tinggi pada manusia mempunyai asal-usul dalam interaksi sosial
setiap individu dalam konteks budaya tertentu. Kognisi merupakan internalisasi dari
interaksi social. Teori kognisi sosial Vygotsky ini mendorong perlunya landasan
sosial yang baru untuk memahami proses pendidikan. Dalam proses belajar setiap
anak akan melewati dua tingkat dalam proses belajar yang pertama pada level sosial,
yaitu anak melakukan kolaborasi dengan orang lain dan yang kedua pada level
individual, yaitu anak melakukan proses internalisasi. Internalisasi merupakan proses
transformasi tindakan eksternal (perilaku) menjadi psikologis internal (proses).
c. ZPD (Zone of Proximal Development)
Salah satu konsep yang dikemukakan Vygotsky yaitu Zone of Proximal
Development atau Daerah Perkembangan Terdekat. Menurut Vygotsky,
perkembangan kemampuan seseorang dapat dibedakan ke dalam dua tingkat, yaitu
tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Tingkat
perkembangan aktual tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-
tugas atau memecahkan berbagai masalah secara mandiri. Sedangkan tingkat
perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan
tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika di bawah bimbingan orang dewasa atau
ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten.
ZPD adalah jarak antara taraf perkembangan aktual, seperti yang nampak
dalam pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial,
seperti yang ditunjukkan dalam pemecahan masalah dibawah bimbingan orang
dewasa atau dengan bekerja sama dengan teman sebaya yang lebih mampu. Taraf
perkembangan aktual merupakan batas bawah ZPD, sedangkan taraf perkembangan
potensial merupakan batas atasnya. The More Knowledgeable Other (MKO), dalam
bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi orang lain yang lebih tahu. MKO mengacu
kepada siapa saja yang mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dari siswa, dalam
hal ini termasuk guru, teman sebaya, atau bahkan komputer.
Menurut Tharp & Gallimore (1988:35) tingkat perkembangan ZPD terdiri dari empat
tahap:
1. More Dependence toOthers Stage
Tahapan dimana kinerja anak mendapat banyak bantuan dari pihak lain, seperti
teman-teman sebayanya,orang tua, guru, masyarakat, ahli. Dari sinilah muncul
model pembelajaran kooperatif atau kolaborasi dalam mengembangkan kognisi
anak secara konstruktif.
2. Less Dependence External Assistence Stage
Tahap dimana kinerja anak tidak lagi terlalu banyak mengharapkan bantuan dari
pihak lain, tetapi lebih kepada self assistance, lebih banyak anak membantu
dirinya sendiri.
3. Internalization and Automatization Stage
Tahap dimana kinerja anak sudah lebih terinternalisasi secara otomatis. Kesadaran
akan pentingnya pengembangan diri dapat muncul dengan sendirinya tanpa
paksaan dan arahan yang lebih besar dari pihak lain.
4. De-automatization Stage
Tahap dimana kinerja anak mampu mengeluarkan perasaan dari kalbu, jiwa, dan
emosinya yang dilakukan secara berulang-ulang, bolak-balik, recursion. Pada
tahap ini, keluarlah apa yang disebut dengan deautomatisation sebagai puncak dari
kinerja sesungguhnya.
d. Implikasi teori Vygotsky dalam pembelajaran Matematika
Pembelajaran Matematika bertujuan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan
kognitif, psikomotor, dan afektif siswa dalam bermatematika. Vygotsky memperkuat
dengan posisi filsafat konstruktivisme sosial berkeyakinan bahwa pengetahuan
matematika suatu bentukan (konstruksi) secara social. Proses pembelajaran
matematika dikelas juga hendaknya bersifat interaktif, baik antara siswa dan guru
maupun antar siswa. Interaksi ini mengarah sampai kedua belah pihak mampu
mengerti, memeriksa, dan bernegosiasi.
Pemberian masalah dalam pembelajaran matematika, guru harus
memberikan permasalahan berada pada ZPD. ZPD sifatnya sangat khas untuk setiap
individu. Kekhasan ini timbul karena variasi jarak antara taraf kemampuan aktual dan
taraf kemampuan potensial. .ZPD juga melihatkan peranan teman sebaya untuk
mendukung pembelajaran sehingga dalam pembelajaran matematika penting
dikakukan secara kolaboratif. Oleh karena itu, kelas dengan siswa yang bervariasi
kemampuan matematikanya masih perlu dipertahankan, tetapi seiring dengan itu
perhatian individu tetap diperlukan.
e. Kelebihan dan Kekurangan teori Vygotsky
Adapun kelebihan dan kekurangan teori Vygotsky adalah sebagai berikut,
kelebihan teori ini: 1) mengurangi kesenjangan antar siswa; 2) membantu siswa
memahami bahan belajar secara lebih mudah; dan 3) memberikan kesempatan yang
lebih pada siswa untuk saling berinteraksi. Sedangkan kekurangan teori ini terbatas
pada perilaku yang tampak, proses-proses belajar yang kurang tampak sukar diamati
secara langsung. Guru hanya memberikan penjelasan secara umum dan siswa di suruh
mengembangkan sendiri pengetahuan yang di dapatkan.

Anda mungkin juga menyukai