NIM : 4101419029
Prodi : Pendidikan Matematika
Matkul : Dasar dan Proses Pembelajaran Matematika
MERINGKAS TEORI PEMBELAJARAN MATEMATIKA
TEORI KOGNITIF
Piaget yakin bahwa individu melalui empat tahap dalam memahami dunia.
Masingmasing tahap terkait dengan usia dan terdiri dari cara berfikir yang khas/berbeda.
Tahapan perkembangan kognitif menurut Piaget adalah sebagai berikut:
B. TEORI BRUNNER
Salah satu teori kognitif yang terkemuka adalah teori yang di kembangkan oleh
Jerome bruner. Menurut Bruner proses perkembangan kognitif berlansung sejalan dengan
perkembangan anak, dalam masa ini terjadi beberapa transisi perkembangan kognitif.
Belajar merupakan aktifitas yang berproses, tentu didalamnya terjadi perubahan-
perubahan yang bertahap. Perubahan-perubahan tersebut timbul melalui tahap-tahap yang
antara satu dan yang lainnya berkaitan secara berurutan. Dengan teorinya yang di sebut
free discovery learning. Dalam proses belajar, Bruner menyarankan pengembangan
kemampuan dalam berfikir intuitif. Dalam hal ini, guru menyajikan bukti-bukti yang
kurang lengkap kemudian siswa diminta memprediksi kemungkinan adanya bukti-bukti
yang dpat melengkapai bukti tersebut dengan menggunakan berfikir intuitif secara
sistematis. Bruner mengemukakan perlunya ada teori pembelajaran yang akan
menjelaskan asas-asas untuk merancang pembelajaran efektif di kelas. Menurut
pandangan Brunner bahwa teori belajar itu bersifat deskriftif dimaksudnya untuk
memberikan hasil, karena tujuan utama teori belajar adalah menjelaskan proses belajar.
Sedangkan teori pembelajaran itu bersifat prespektif dimaksudkan untuk mencapai tujuan
dan tujuan utama teori pembelajaran itu sendiri adalah
menetapkan metode pembelajaran yang optimal.
Bruner sendiri mengemukakan beberapa inti pemikirannya yaitu:
1) Discovery Learning
Salah satu model instruksional kognitif yang berpengaruh ialah model dari Bruner
yang dikenal dengan Belajar Penemuan (Discovery Learning). Bruner menyarankan
agar siswa hendaknya belajar sendiri melalui partisipasi aktif dengan menggunakan
pengalaman dan pengetahuan yang sebelumnya telah didapatkan untuk menemukan
konsep belajar lainnya secara mandiri. Dimana tahapan penerapan Discovery
Learning adalah:
- Stimulus (pemberian perangsang/stimuli): Kegiatan belajar dimulai dengan
memberikan pertanyaan yang merangsang berfikir pembelajar, menganjurkan dan
mendorongnya untuk membaca buku dan aktivitas belajar lain yang mengarah
pada persiapan pemecahan masalah.
- Problem Statement (mengidentifikasi masalah) : Memberikan kesempatan kepada
pembelajar untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin masalah yang relevan
dengan bahan belajar kemudian memilih dan merumuskan dalam bentuk hipotesa
(jawaban sementara dari masalah tersebut).
- Data Collection (pengumpulan data) : Memberikan kesempatan kepada para
pembelajar untuk mengumpulkan informasi yang relevan sebanyak banyaknya
untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesa tersebut.
- Data Processing (pengolahan data) : Mengolah data yang telah diperoleh siswa
melalui kegiatan wawancara, observasi dan lain-lain. Kemudian data tersebut
ditafsirkan.
- Verifikasi : Mengadakan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar
dan tidaknya hipotesis yang diterapkan dan dihubungkan dengan hasil dan proses.
- Generalisasi : Mengadakan penarikan kesimpulan untuk dijadikan prinsip umum
dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama dengan
memperhatikan hasil verifikasi.
C. TEORI GESTALT
I. Tokoh teori Getalt
1. Max Wertheimer (1880-1943)
Max Wertheimer adalah tokoh tertua dari tiga serangkai pendiri aliran
psikologi Gestalt. Wertheimer dilahirkan di Praha pada tanggal 15 April 1880.
Bersama-sama dengan Wolfgang Koehler (1887-1967) dan Kurt Koffka (1887-
1941) melakukan eksperimen yang akhirnya menelurkan ide Gestalt. Konsep
pentingnya: Phi phenomenon, yaitu bergeraknya objek statis menjadi rangkaian
gerakan yang dinamis setelah dimunculkan alam waktu singkat dan dengan
demikian memungkinkan manusia melakukan interpretasi. Weirthmeir
menunjuk pada proses interpretasi dari sensasi obyektif yang kita terima.
Wertheimer dianggap sebagai pendiri teori Gestalt setelah dia melakukan
eksperimen dengan menggunakan alat yang bernama stroboskop, yaitu alat
yang berbentuk kotak dan diberi suatu alat untuk dapat melihat ke dalam kotak
itu. Pada tahun 1923, Wertheimer mengemukakan hukum-hukum Gestalt
dalam bukunya yang berjudul “Investigation of Gestalt Theory”. Hukum-
hukum itu antara lain:
a. Hukum Kedekatan (Law of Proximity)
b. Hukum Ketertutupan ( Law of Closure)
c. Hukum Kesamaan (Law of Equivalence)
2. Kurt Koffka (1886-1941)
Koffka lahir di Berlin tanggal 18 Maret 1886. Kariernya dalam psikologi
dimulai sejak dia diberi gelar doktor oleh Universitas Berlin pada tahun 1908.
Pada tahun 1910, ia bertemu dengan Wertheimer dan Kohler, bersama kedua
orang ini Koffka mendirikan aliran psikologi Gestalt di Berlin. Sumbangan
Koffka kepada psikologi adalah penyajian yang sistematis dan pengamalan dari
prinsip-prinsip Gestalt dalam rangkaian gejala psikologi, mulai persepsi,
belajar, mengingat, sampai kepada psikologi belajar dan psikologi sosial.
Teori Koffka tentang belajar antara lain:
a. Jejak ingatan (memory traces), adalah suatu pengalaman yang membekas
di otak.
b. Perjalanan waktu berpengaruh terhadap jejak ingatan
c. Latihan yang terus menerus akan memperkuat jejak ingatan.
3. Wolfgang Kohler (1887-1967)
Kohler lahir di Reval, Estonia pada tanggal 21 Januari 1887. Saat bertugas
sebagai asisten dari F. Schumman, ia bertemu dengan Wartheimer dan Koffka.
Kohler berkarier mulai tahun 1913-1920, ia bekerja sebagai Direktur stasiun
“Anthrophoid” dari Akademi Ilmu-Ilmu Persia di Teneriffe, di mana pernah
melakukan penyelidikannya terhadap inteligensi kera. Eksperimennya adalah:
seekor simpanse diletakkan di dalam sangkar. Pisang digantung di atas sangkar.
Di dalam sangkar terdapat beberapa kotak berlainan jenis. Mula-mula hewan
itu melompat-lompat untuk mendapatkan pisang itu tetapi tidak berhasil.
Karena usaha-usaha itu tidak membawa hasil, simpanse itu berhenti sejenak,
seolah-olah memikir cara untuk mendapatkan pisang itu. Tiba-tiba hewan itu
dapat sesuatu ide dan kemudian menyusun kotak-kotak yang tersedia untuk
dijadikan tangga dan memanjatnya untuk mencapai pisang itu. Menurut Kohler
apabila organisme dihadapkan pada suatu masalah atau problem, maka akan
terjadi ketidakseimbangan kognitif, dan ini akan berlangsung sampai masalah
tersebut terpecahkan.
4. Kurt Lewin (1890-1947)
Pandangan Gestalt diaplikasikan dalam field psychology oleh Kurt Lewin.
Lewin lahir di Jerman, lulus Ph.D dari University of Berlin dalam bidang
psikologi thn 1914. Mula-mula Lewin tertarik pada paham Gestalt, tetapi
kemudian ia mengkritik teori Gestalt karena dianggapnya tidak adekuat. Lewin
kurang setuju dengan pendekatan Aristotelian yang mementingkan struktur dan
isi gejala kejiwaan. Ia lebih cenderung kearah pendekatan yang Galilean, yaitu
yang mementingkan fungsi kejiwaan. Konsep utama Lewin adalah Life Space,
yaitu lapangan psikologis tempat individu berada dan bergerak. Lapangan
psikologis ini terdiri dari fakta dan obyek psikologis yang bermakna dan
menentukan perilaku individu (B=f L). Tugas utama psikologi adalah
meramalkan perilaku individu berdasarkan semua fakta psikologis yang eksis
dalam lapangan psikologisnya pada waktu tertentu. Life space terbagi atas
bagian-bagian yang memiliki batas-batas. Gerakan individu mencapai tujuan
(goal) disebut locomotion. Dalam lapangan psikologis ini juga terjadi daya
(forces) yang menarik dan mendorong individumendekati dan menjauhi tujuan.
Apabila terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium), maka terjadi ketegangan
(tension). Berdarkan kepada vector yang saling bertentangan itu. Lewin
membagi konflik dalam 3 jenis:
a. Konflik mendekat-mendekat (Approach-Approach Conflict)
Konflik ini terjadi jika seseorang menghadapi dua obyek yang samasama
bernilai positif.
b. Konflik menjauh-menjauh (Avoidance-Avoidance Conflict)
Konflik ini terjadi kalau seseorang berhadapan dengan dua obyek yang
sama-sama mempunyai nilai negative tetapi ia tidak bisa menghindari
kedua obyek sekaligus.
c. Konflik mendekat-menjauh (Approach-Avoidance Conflict)
Konflik ini terjadi jika ada satu obyek yang mempunyai nilai positif dan
nilai negatif sekaligus.
II. Pokok-pokok Teori Belajar Menurut Aliran Gestalt
1. Pandangan Gestalt Tentang Belajar dan The Memory Trace (Kesan
Ingatan)
Menurut teori Gestalt, belajar adalah berkenaan dengan keseluruhan
individu dan timbul dari interaksinya yang matang dengan lingkungannya.
Melalui interaksi ini, kemudian tersusunlah bentuk-bentuk persepsi, imajinasi
dan pandangan baru. Kesemuanya, secara bersama-sama membentuk
pemahaman atau wawasan (Insight), yang bekerja selama individu melakukan
pemecahan masalah. Dalam hal ini terdapat empat prinsip yang dikembangkan
oleh Wertheimer dan kemudian diaplikasikan Kohler mengenai berfikir dan
persepsi. Karena Gestaltis punya perhatian dengan aspek-aspek molar dalam
belajar dan prilaku sebagaimana stimuli dan respons, keterangan mereka
tentang belajar dan memori lebih banyak bersifat global dan tidak spesifik
seperti halnya keterangan dari behaviorist. Persepsi adalah kemampuan
manusia untuk mengenal dan untuk memahami apa yang tidak diketahuinya.
Penerimaan sesuatu berarti bahwa manusia dapat mengingat pengalaman-
pengalaman, objek atau kejadian masa lalu. Karena itu persepsi memerlukan
proses lebih banyak dari sekedar kemampuan melakukan reaksi terhadap
sesuatu, yaitu pemrosesan yang sungguh-sungguh untuk mengintegrasikan
sumber-sumber informasi ke dalam gambaran tunggal. Menurut pandangan
psikologi gestalt dapat disimpulkan bahwa seseorang memperoleh
pengetahuan melalui sensasi atau informasi dengan melihat strukturnya secara
menyeluruh kemudian menyusunnya kembali dalam struktur yang lebih
sederhana sehingga mudah dipahami. Persoalan umum pandangan Gestalt
diekspresikan dalam statemen bahwa hukumhukum atau dalil-dalil organisasi
menerapkan persepsi dan belajar secara sama-sama. Tetapi ada problem khusus
di dalam belajar dimana gestatltis menguraikan gagasan-gagasannya.
Wulf (1983) mendiskripsikan kecenderungan organisasional dari
memori dengan memberi nama penyamarataan (leveling), Penajaman
(Sharpening),dan normalisasi (Normalizing). Penyamarataan (leveling) adalah
kecenderungan menuju simatri atau menuju pendangan yang simpel dari
kepelikan pola perseptual. Penajaman (Sharpening) adalah tindakan penekanan
pada ketiadaan perbedaan pola. Normalisasi (normalizing) terjadi ketika objek
yang direproduksi dimodifikasi agar sesuai dengan memori sebelumnya.
Beberapa problem yang menjadi perhatian Gestalt antara lain sebagai berikut:
a. Kecakapan (Capacity)
Karena belajar memerlukan pembedaan dan restrukturisasi persoalan,
kondisi yang lebih tinggi dari belajar sangat banyak bergantung pada
kecakapan alamiah untuk memberi reaksi dalam kebiasaan itu.
b. Praktek (Practice)
Memori kita adalah bekas yang dinyatakan (secara positif tanpa bukti) dari
persepsi, asosiasi sebuah produk organisasi perceptual. Hukum perceptual
juga menentukan hubungan elemen-elemen di dalam memori.
c. Motivasi (Motivation)
Hukum empiris dari akibat, mengenai peran reward dan hukuman, diterima
oleh psikologi Gestalt, tetapi mereka berbeda dari Thorndike di dalam
memberi interpretasi. Mereka percaya bahwa akibat yang datang kemudian
tidak terjadi ”secara otomatis dan tanpa di sadari” untuk
memperkuattindakan sebelumnya.
d. Pemahaman (Understanding)
Pemahaman hubungan, kesadaran hubungan antara bagian-bagian dan
keseluruhan, berhubungan dengan konsekuensi, ditekankan oleh para
penulis Gestalt.
e. Transfer (Transfer)
Konsep Gestalt paling suka transfer perubahan. Pola hubungan dipahami di
situasi yang bisa diterapkan pada situasi yang lain. Satu keuntungan dari
belajar dengan pemahaman itu lebih baik daripada dengan proses
penghafalan tanpa berfikir.
f. Pelupaan (forgetting)
Pelupaan dihubungkan dengan bagian perubahan di dalam bekas. Bekas
bisa tidak kelihatan melalui pengurangan secara gradual (kemungkinan
susah untuk membuktikan atau tidak), melalui perusakan karena sebagian
kacau balau, bidang yang terstruktur sakit, atau karena asimilasi pada bekas
atau proses baru.
2. Hukum-hukum Pengamatan (Hukum-hukum Belajar)
Menurut Aliran Gestalt karena asumsi bahwa hukum-hukum atau
prinsip-prinsip yang berlaku pada proses pengamatan dapat ditransfer kepada
hal belajar, maka untuk memahami proses belajar orang perlu memahami
hukum-hukum yang menguasai proses pengamatan itu. Melalui penelitian-
penelitian yang dilakukan oleh para tokoh Gestalt, disusunlah hukum-hukum
Gestalt yang berhubungan dengan pengamatan (Fudyartanto,2002) sebagai
berikut :
a. Hukum Pragnanz (good form)
Hukum Pragnanz merupakan hukum umum dalam psikologi Gestalt.
Hukum ini menyatakan bahwa organisasi psikologis selalu cenderung untuk
bergerak ke arah penuh arti Pragnanz. Menurut hukum ini jika seseorang
mengamati sebuah atau sekelompok objek, maka orang tersebut akan
cenderung memberi arti terhadap objek yang diamatinya, dengan
memberikan kesan sedemikian rupa terhadap objek tersebut.
b. Hukum Kesamaan (law of similarity)
Hukum ini menyatakan hal-hal yang sama cenderung membentuk Gestalt
atau kesatuan.
c. Hukum Keterdekatan (law of proximity)
Hukum yang menyatakan bahwa hal-hal yang saling berdekatan cenderung
membentuk kesatuan.
d. Hukum Ketertutupan (law of closure)
Prinsip hukum ketertutupan ini menyatakan bahwa hal-hal yang tertutup
cenderung membentuk gestalt, Menyatakan bahwa kita mempunyai
tendensi untuk melengkapi atau mengisi pengalaman-pengalaman yang
tidak lengkap, agar menjadi lebih berarti.
e. Hukum kontinuitas
Hukum ini menyatakan bahwa hal-hal yang kontinu atau yang merupakan
kesinambungan (kontinuitas) yang baik akan mempunya tendensi untuk
membentuk kesatuan atau gestalt.
3. Memecahkan Problem (Problem Solving), Mendapatkan pencerahan
(Insight)
Dalam teori belajar menurut Gestalt, yang terpenting dalam belajar
adalah adanya penyesuaian pertama, yaitu memperoleh respon yang tepat untuk
memecahkan masalah yang dihadapi. Belajar yang penting bukan mengulangi
hal-hal yang harus dipelajari, tetapi mengerti/memperoleh insight
(pemahaman). Insight barulah berfungsi bila ada persepsi terhadap masalahnya.
Hilgard ( 1948 : 190-195) (Sumadi Suryabrata, 1984:302-304) memberikan
enam macam sifat khas belajar dengan insight, sebagai berikut:
a. Insight itu dipengaruhi oleh kemampuan dasar.
Kemampuan dasar itu berbeda-beda dari individu yang satu ke individu
yang lain. Pada umumnya anak yang masih sangat muda sukar untuk
belajar dengan insight ini.
b. Insight itu dipengaruhi oleh pengalaman belajar masa lampau yang
relevan. Walaupun insight itu tergantung kepada pengalaman masa lampau
yang relevan, namun memiliki pengalaman masa lampau tersebut belum
menjamin dapatnya memecahkan masalah.
c. Insight tergantung kepada pengaturan secara eksperimental.
Insight itu hanya mungkin terjadi apabila situasi belajar diatur sedemikian
rupa sehingga segala aspek yang perlu dapat diambil.
d. Insight itu didahului oleh suatu periode mencoba-coba.
Insight bukanlah hal yang dapat jatuh dari langit dengan sendirinya,
melainkan hádala hal yang harus di cari. Sebelum dapat memperoleh
insight orang harus sudah meninjau problemnya dari berbagai arah dan
mencoba-coba memecahkan.
e. Belajar yang dengan Insight itu dapat diulangi.
Jika sesuatu problem yang telah dipecahkan dengan insight lain kali
diberikan lagi kepada pelajar yang bersangkutan, maka dia akan dengan
langsung dapat memecahkan problem itu lagi.
f. Insight yang telah sekali di dapatkan dapat dipergunakan untuk menghadapi
situasi-situasi yang baru.
Belajar yang disertai insight (insight full learning) biasanya mempunyai empat
ciri. (1) Transisi dari pemecahan permulaan sampai pemecahan terjadi dengan
tiba-tiba. (2) Pemecahan yang dilakukan dengan insight biasanya lancar dan
bebas dari kesalahan. (3) Pemecahan masalah yang disertai insight, dipegang
teguh untuk pertimbangan lamanya waktu. (4) Satu prinsip adanya insight
adalah mudahnya aplikasi terhadap problem yang lain.
a. Dibidang kurikulum
Kurikulum concentris merupakan pengetrapan prinsip-prinsip ilmu Jiwa
Gestalt. Kurikulum ini mempunyai pusat yang sama (con-centris). Dalam
tingkatan yang rendah, disusun kurikulum dari suatu kesatuan yang utuh. Disini
diajarkan yang pokok-pokok secara garis besar. Di tingkat yang lebih tinggi,
kesatuan itu diberikan lagi, tetapi dibahas lebih mengarah ke bagian-bagian
lebih mendalam. Sedang ditingkat yang lebih tinggi lagi, kesatuan tersebut
tetap digunakan, tetapi dibahas menjadi kesatuan-kesatuan yang lebih
mendalam lagi. Dalam perwujudan dan perkembangan selanjutnya, kurikulum
concentris ini dapat terwujud dalam:
a.) Penagajaran pusat minat
b.) Penagajaran Proyek
c.) Penagajaran alam sekita
d.) Salah satu prinsip dalam sistim among oleh Ki Hajar Dewantara.
b. Dalam bidang dikatik metodik
Dalam bidang Didaktik Metodik, khususnya mengenai metode mengajar
membaca, menulis. Pengaruh Ilmu Jiwa Gestalt itu sangat besar. Ternyata
pengetrapan Ilmu Jiwa Gestalt dalam metode mengajar membaca menulis itu
telah mampu menggoyahkan metode mengajar yang telah berabad-abad sejak
zaman Yunani Kuno hingga awal abad 20 ini.
c. Dalam metode mengajar
Sangat penting artinya bagi individu (murid), bila ia dapat menemukan
pemahaman (insight) dengan caranya sendiri tanpa diberi tahu. Karena itu guru
harus pandai mengatur strategi (membuat siasat) bagaimana cara mengajar
untuk menimbulkan pemahaman (insight) oleh murid sendiri tanpa murid
merasa digurui secara langsung. Buatlah siasat agar murid menemukan
pemahaman sendiri. Metode ini terkenal dengan metode problem solving
(pemecahan masalah).
D. TEORI BROWNELL
Salah satu ahli yang memberikan sumbangan pikiran dalam teori belajar adalah William
Arthur Brownell adalah tokoh besar dalam matematika pendidikan di awal abad dua
puluh. Brownell lahir pada tanggal 19 Mei 1895 di Smethport Pensylvania dan wafat
pada tanggal 24 Mei 1977. Pada penelitiannya mengenai pembelajaran anak
khususnya pada aritmetika mengemukakan belajar matematika harus merupakan belajar
bermakna dan belajar pengertian atau yang dikenal dengan Meaning Theory (teori
bermakna) dan dalam perkembangannya ia meletakkan pondasi munculnya matematika
baru. Khusus dalam hubungan pembelajaran matematika di SD, Meaning Theory
(teori makna) yang diperkenalkan oleh Brownell merupakan alternatif dari Drill Theory
(latihan hafal/ulangan) yang dikembangkan oleh Thorndike di awal abad 20- an.
Pandangan aliran ini dengan aliran pengaitan, mengenai latihan hafal itu sejalan.
1. Drill Theory (Teori Hafalan)
Pada permulaan abad ke-20 berkembang aliran mental yang mempunyai keyakinan
bahwa otak itu seperti otot terdiri dari gumpalangumpalan yang disebut fakulti-
fakulti. Karena itu agar supaya kuat otak itu harus dilatih. Makin kuat dan keras
latihannya makin baik, dan makin belakangandil akukan makin kuat latihannya.
Namun seiring perkembangannya, para ahli psikologi membantah kebenaran aliran
itu, bahwa otak tidak terdiri dari fakulti-fakulti. Cara yang dianggap cocok untuk
menanamkan konsep baru (yang semestinya ada kaitannya dengan konsep lama)
adalah dengan cara stimulus-respons yang dilakukan melalui latihan hafal (drill) yang
cepat, tepat, dan berulang-ulang.
Intisari pengajaran matematika menurut teori drill adalah sebagai berikut.
a. Matematika (aritmetika) untuk tujuan pembelajaran (belajar mengajar)
dianalisis sebagai kumpulan fakta (unsur) yang berdiri sendiri dan tidak saling
berkaitan.
b. Anak diharuskan untuk menguasai unsur-unsur yang banyak sekali tanpa
diperhatikan pengertiannya.
c. Anak mempelajari unsur-unsur dalam bentuk seperti yang akan digunakan nanti
pada kesempatan lain.
d. Anak akan mencapai tujuan ini secara efektif dan efisien dengan melalui
pengulangan atau drill.
Brownell mengemukakan tiga keberatan utama berkenaan dengan teori drill pada
pengajaran matematika.
a. Teori drill memberikan tugas yang harus dipelajari siswa yang hampir tidak
mungkin dicapai
b. Keberatan yang lainnya berkaitan dengan reaksi yang dihasilkan oleh drill.
c. Aritmetika adalah paling tepat dipandang sebagai suatu sistem berpikir kuantitatif.
Pandangan ini merupakan kriteria penilaian suatu sistem pengajaran matematika
yang memadai atau tidak.
2. Meaning Theory (Teori Bermakna)
Menurut teori makna, anak itu harus melihat makna dari apa yang
dipelajarinya, anak harus tahu makna dari simbol yang ditulis dan kata yang
diucapkannya. Dan ini adalah isu utama pada pembelajaran matematika. Teori makna
mengakui perlunya drill dalam pembelajaran matematika, bahkan dianjurkan jika
memang diperlukan. Jadi, drill itu penting tetapi dilakukan apabila suatu konsep,
prinsip atau proses telah dipahami dan dimengerti oleh para siswa. Brownell
memberikan saran dalam pengajaran matematika, siswa sebaiknya memahami
pentingnya bilangan baik dalam segi kehidupan sosial manusia maupun segi
intelektual dalam sistem kualitatif. Jadi pembelajaran aritmetika yang dikembangkan
oleh Brownel, menekankan bahwa keterampilan hitung tidak hanya sekedar
mengetahui cara menyelesaikan prosedur-prosedur, tetapi juga harus mengetahui
bagaimana prosedur-prosedur tersebut bekerja atau dengan kata lain harus mengetahui
makna dari apa yang dipelajari.
Teori makna memandang matematika sebagai suatu sistem dan konsep-
konsep, prinsip-prinsip dan proses-proses yang dapat dimengerti. Menurutnya, tes
belajar untuk mengukur kemampuan matematika anak bukanlah semata-mata
kemampuan mekanik anak dalam berhitung saja. Tes harus mengungkapkan
kemampuan intelektual anak dalam melihat antara bilangan, dan kemampuan untuk
menghadapi situasi aritmetika dengan pemahaman yang sempurna baik aspek
matematikanya maupun aspek praktisnya. Menurut brownell kemampuan
mendemontrasikan operasi-operasi hitung secara mekanis dan otomatis tidaklah
cukup. Tujuan utama dari pengajaran aritmetika adalah mengembangkan atau
pentingnya kemampuan berfikir dalam situasi kuantitatif.
Brownell mengusulkan agar pengajaran aritmetika pada anak lebih
menantang kegiatan berfikirnya dari pada kegiatan mengingatnya. Program aritmetika
di SD haruslah membahas tentang pentingnya (significance) dan makna (meaning)
dari bilangan. Pentingnya bilangan (the significance of number) adalah nilainya
atau pentingnya dalam kehidupan keseharian manusia. Pengertian signifikansi
bilangan bersifat fungsional atau dengan kata lain penting dalam kehidupan sosial
manusia. Sedangkan makna bilangan (the meaning of number) adalah bersifat
intelektual, yaitu bersifat matematis sebagai suatu sistem kuantitatif.
Implikasi teori perkembangan kognitif Brownell dalam pembelajaran sebagai berikut.
a. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu,
guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir
anak.
b. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
c. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
d. Siswa hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan siswa
lain.
E. TEORI DIENES
Dienes (dalam Ruseffendi, 1992) berpendapat bahwa pada dasarnya
matematika dapat dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-misahkan
hubunganhubungan di antara struktur-struktur dan mengkategorikan hubungan-hubungan
di antara struktur-struktur. Seperti halnya dengan Bruner, Dienes mengemukakan bahwa
tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang
konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti bahwa jika bendabenda
atau objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan
baik dalam pengajaran matematika. Untuk memperoleh pemahaman terhadap suatu
konsep dengan baik maka siswa harus belajar secara aktif, tidak sekedar pasif saja
menerima apa yang diberikan guru. Proses aktif yang dimaksud tidak hanya bersifat
secara mental tetapi juga keaktifan secara fisik. Dengan kata lain, pembelajaran
matematika adalah proses membangun pengetahuan matematika.Sebagai implikasinya
maka proses pembelajaran matematika merupakan pembentukan lingkungan belajar yang
dapat membantu siswa untuk membangun konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika
berdasarkan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi. Dari penjelasan di atas
maka dapat dinyatakan bahwa suatu pembelajaran harus dilakukan secara konstruktif,
yaitu dengan cara membangun pemahaman anak terhadap suatu konsep yang diajarkan
berdasarkan dari sejumlah kegiatan yang dilakukannya.
Menurut Dienes, ada tiga jenis konsep matematika yaitu konsep murni
matematika, konsep notasi, dan konsep terapan.
1. Konsep murni matematis
Konsep matematis murni berhubungan dengan klasifikasi bilangan-bilangan dan
hubungan-hubungan antar bilangan, dan sepenuhnya bebas dari cara bagaimana
bilangan-bilangan itu disajikan.
2. Konsep notasi
Sifat-sifat bilangan yang merupakan akibat langsung dari cara penyajian bilangan.
Fakta bahwa dalam basis sepuluh, 275 berarti 2 ratusan ditambah 7 puluhan ditambah
5 satuan merupakan akibat dari notasi nilai tempat dalam menyajikan bilangan-
bilangan yang didasarkan pada sistem pangkat dari sepuluh.
3. Konsep Terapan
Penerapan dari konsep matematika murni dan notasi untuk penyelesaian masalah
dalam matematika dan dalam bidang-bidang yang berhubungan. Panjang, luas dan
volume adalah konsep matematika terapan. Konsep-konsep terapan hendaknya
diberikan kepada siswa setelah mereka mempelajari konsep matematika murni dan
notasi sebagai prasyarat. Konsep-konsep murni hendaknya dipelajari oleh siswa
sebelum mempelajari konsep notasi, jika dibalik para siswa hanya akan menghafal
pola-pola bagaimana memanipulasi simbol-simbol tanpa pemahaman konsep
matematika murni yang mendasarinya.
1. Prinsip dinamik
Proses pemahaman konsep berjalan dari pengalaman ke penetapan klasifikasi
(Hudojo, 2001:85). Jadi, anak-anak mempelajari sesuatu melalui proses penjelasan
dan eksperimen untuk membentuk atau menemukan satu konsep matematika.
2. Prinsip konstruktivis
Konstruksi harus mengambil bagian sebelum analisis dapat berfungsi secara efektif.
Mengkonstruksi setiap ide matematika atas konsep yang menghendaki sifatsifat
tertentu adalah konstruktif (Hudojo, 2001:85). Proses pembelajaran matematika
haruslah melalui proses pengkonstruksian, yaitu dari sifat-sifat atau hal-hal yang
ditemukan melalui sejumlah kegiatan yang terurut kemudian disusun suatu hubungan
untuk memperoleh suatu konsep matematika.
3. Prinsip variabilitas matematik
Setiap konsep matematika menyertakan variabel-variabel esensial yang perlu dibuat
bermacam-macam bila generalisasi dari konsep matematika itu telah tercapai
(Hudojo, 2001:86).Jadi suatu konsep matematika itu mengandung berbagai variabel
yang bervariasi sehingga pembelajaran terhadap suatu konsep haruslah
memperhatikan variabel-variabel tersebut.
4. Prinsip variabilitas perseptual
Bahwa untuk mencapai suatu abstraksi yang efektif dari struktur matematika, haruslah
diakomodasikan sebanyak mungkin situasi-situasi yang berbeda untuk struktur atau
konsep yang sama (Hudojo, 2001:85). Hal ini mengandung arti bahwa apabila dalam
pembelajaran suatu konsep matematika, agar konsep tersebut bisa dipahami dengan
baik maka haruslah diberikan berbagai contoh atau perspektifperspektif yang berbeda
mengenai konsep tersebut.
Keunggulan teori Dienes (1) Melatih anak untuk mendramatisasikan sesuatu serta melatih
keberanian (2) Menarik perhatian siswa (3) Mudah mengambil kesimpulan berdasarkan
penghayatan sendiri (4 )Melatih siswa untuk menyusun pikirannya dengan teratur
Kelemahan teori Dienes (1) Tidak semua topik pembahasan dapat disajikan dengan
permainan (2) Memerlukan banyak waktu (3) Mengganggu ketenangan kelas lain (4) Tidak
semua siswa antusias dengan metode permainan ini
F. TEORI VAN HIELE
Tahap berpikir Van Hiele adalah kecepatan untuk berpindah dari satu tahap ke
tahap berikutnya lebih banyak dipengaruhi oleh aktifitas dalam pembelajaran.Dengan
demikian, pengorganisasian pembelajaran, isi, dan materi merupakan faktor penting
dalam pembelajaran, selain guru juga memegang peran penting dalam mendorong
kecepatan berpikir siswa melalui suatu tahapan.Tahap berpikir yang lebih tinggi hanya
dapat dicapai melalui latihan-latihan yang tepat bukan melalui ceramah semata.Dalam
perkembangan berpikir, van Hiele (dalam Clements dan Battista, 1992:436) menekankan
pada peran siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara aktif. Siswa tidak akan
berhasil jika hanya belajar dengan menghapal fakta-fakta, nama-nama atau aturan-aturan,
melainkan siswa harus menentukan sendiri hubungan-hubungan saling Keterkaitan antara
konsep-konsep geometri daripada proses-proses geometri.
Teori van Hiele yang dikembangkan oleh Pierre Marie van Hiele dan Dina van
HieleGeldof sekitar tahun 1950-an telah diakui secara internasional (Martin dalam
Abdussakir, 2003:34) dan memberikan pengaruh yang kuat dalam pembelajaran geometri
sekolah. Uni Soviet dan Amerika Serikat adalah contoh negara yang telah merubah
kurikulum geometri berdasar pada teori van Hiele (Anne, 1999). Pada tahun 1960-an, Uni
Soviet telah melakukan perubahan kurikulum karena pengaruh teori van Hiele (Anne,
1999). Sedangkan di Amerika Serikat pengaruh teori van Hiele mulai terasa sekitar
permulaan tahun 1970-an (Burger & Shaughnessy, 1986:31 dan Crowley, 1987:1). Sejak
tahun 1980-an, penelitian yang memusatkan pada teori van Hiele terus meningkat
(Gutierrez, 1991:237 dan Anne, 1999).
Van Hiele adalah seorang pengajar matematika di Belanda, dia telah
mengadakan penelitian di lapangan melalui observasi dan tanya jawab.Penelitian Van
Hiele ditulis dalam disertasinya pada tahun 1954 yang melahirkan beberapa kesimpulan
mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri.
1. Tahap Pengenalan
Pada tahap ini siswa hanya baru mengenal bangun-bangun geometri seperti bola,
kubus, segitiga, persegi dan bangun-bangun geometri lainnya. Seandainya kita
hadapkan pada bangunbangun geometri, anak dapat menunjukkan bentuk segitiga.
Namun pada tahap pengenalan anak belum dapat menyebutkan sifat-sifat dari bangun-
bangun geometri yang dikenalnya.
2. Tahap Analisis
Jika pada tahap pengenalan anak belum mengenal sifat-sifat bangun-bangun geometri,
tidak demikian pada tahap analisis. Pada tahap ini anak sudah dapat mengenali sifat-
sifat dari bangun-bangun geometri. Seandainya kita tanyakan apakah kubus itu juga
sebuah balok?, maka anak belum bias menjawab pertanyaan ini, karena pada tahap ini
anak belum memahami hubungan antara balok dan kubus, dengan kata laian bahwa
pada tahapan ini anak belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu
bangun geometri dengan bangun geometri lainnya.
3. Tahap Pengurutan
Pada tahap ini pemehaman anak lebih meningkat lagi dari sebelumnya yang hanya
mengenal bangun-bangun geometri beserta sifat-sifatnya. Pada tahap ini anak sudah
mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan
bangun geometri lainnya. Anak yang berada pada tahap ini sudah memahami
pengurutan bangun-bangun geometri.
4. Tahap Deduksi
Pada tahap ini anak sudah dapat memahami deduksi, yaitu mengambil kesimpulan
secara deduktif dengan menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa matematika adalah Ilmu deduktif. Anak pada
tahap ini telah mengerti pentingnya peranan unsure-unsur yang tidak didefenisikan,
disamping unsure-unsur yang didefenisikan aksioma atau masalah, dan teorema.
Tetapi pada tahapan ini anak belum memahami kegunaan dari suatu sistem deduktif.
Oleh karena itu anak pada tahap ini belum bisa menjawab pertanyaan mengapa
sesuatu itu disajikan teorema atau dalil.
5. Tahap Keakuratan
Tahap terakhir dari perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri adalah
tahap keakuratan. Pada tahap ini anak sudah memahami betapa pentingnya ketepatan
dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Anak pada tahap ini
sudah memahami mengapa sesuatu itu dijadikan postulat atau dalil. Dari eksistensi
kelima tahapan yang berbeda tentang pemikiran geometri di atas adalah merupakan
tingkatan yang tidak secara langsung terkait dengan usia.
1.) Guru dapat mengambil manfaat dari tahap-tahap perkembangan kognitif anak yang
dikemukakan Van Hiele, dengan mengetahui mengapa seorang anak tidak memahami
bahwa kubus itu merupaka balok, karena anak tersebut tahap berpikirnya masih
berada pada tahap analisis ke bawah.
2.) Supaya anak dapat memahami geometri dengan pengertian, bahwa pengajaran
geometri harus disesuaikan dengan tahap perkembangan berpikir anak itu sendiri.
3.) Agar topic-topik pada materi geometri dapat dipahami dengan baik dan anak dapat
mempelajari topic-topik tersebut berdasarkan urutan tingkat kesukarannya yang
dimulai dari tingkat yang paling mudah sampai dengan tingkat yang paling rumit dan
kompleks.
Menurut teori Pierre dan Dina Van Hiele (dalam Muharti, 1993) tingkat-tingkat
pemikiran geometrik dan fase pembelajaran siswa berkembang atau maju menurut
tingkat-tingkat sebagai berikut: dari tingkat visual Gestalt-like melalui tingkat-tingkat
sophisticated dari deskripsi, analisis, abstraksi dan bukti. Teori ini mempunyai
karakteristik sebagai berikut:
a. Belajar adalah suatu proses yang diskontinu, yaitu ada loncatan-loncatan dalam kurva
belajar yang menyatakan adanya tingkat-tingkat pemikiran yang diskrit dan berbeda
secara kualitatif.
b. Tingkat-tingkat itu berurutan dan berhirarki. Supaya siswa dapat berperan dengan
baik pada suatu tingkat yang lanjut dalam hirarki van Hiele, ia harus menguasai
sebagian besar dari tingkat yang lebih rendah. Kenaikan dari tingkat yang satu ke
tingkat yang berikutnya lebih banyak tergantung dari pembelajaran daripada umur
atau kedewasaan biologis.
c. Konsep-konsep yang secara implisit dipahami pada suatu tingkat menjadi dipahami
secara eksplisit pada tingkat berikutnya. Pada setiap tingkat muncul secara ekstrinsik
dari sesuatu yang intrinsik pada tingkat sebelumnya.
d. Setiap tingkat mempunyai bahasanya sendiri, mempunyai simbol linguistiknya sendiri
dan sistem relasinya sendiri yang menghubungkan simbol-simbol itu. Suatu relasi
yang benar pada suatu tingkat, ternyata akan tidak benar pada tingkat yang lain.
G. TEORI VYGOTSKY
Lev Semyonovich Vygotsky, beliau lahir pada tahun 1896 di kota Orsha Rusia
yang merupakan keturunan Yahudi. Vygotsky adalah seorang sarjana Hukum, lulusan
Universitas Moskow pada tahun 1917, kemudian melanjutkan studi dalam bidang filsafat,
psikologi, dan sastra pada fakultas Psikologi Universitas Moskow dan lulus pada tahun
1925 dengan judul disertasi “The Psychology of Art”. Vygotsky melakukan banyak
penelitian mengenai proses berpikir anak antara tahun 1920-1934 (Ormrod, 1995:179).
Dalam pengantar buku The Collected Works of L.S Vygotsky (1987), Bruner
mengemukakan bahwa Vygotsky bukan hanya seorang ahli psikologi, tetapi juga teoritis
kebudayaan. Semasa hidupnya Vygotsky sangat produktif dengan karya-karyanya.
Vygotsky banyak menghasilkan teori psikologi mengenai perkembangan intelektual,
antaranya bahasa dan pemikiran; peranan interaksi sosial; dan ZPD (Zone of Proximal
Development). Vygotsky juga menekankan pentingnya memanfaatkan lingkungan dalam
pembelajaran.
a. Bahasa dan Pemikiran
Menurut Vygotsky anak-anak menggunakan bahasa bukan hanya untuk komunikasi
sosial, tetapi juga untuk merencanakan, dan memonitor perilaku dengan cara mereka
sendiri yang dinamakan pembicaraan batin (inner speech). Pola pembicaraan bantu
(inner speech) merupakan transisi awal untuk lebih komunikatif sosial. Menurut
Vygotsky bahwa bahasa merupakan bentuk dan berbasis sosial. Menurut beberapa
penelitian, inner speech yang diungkapkan oleh Vygotsky memang merupakan faktor
perkembangan anak.
b. Peranan Interksi Sosial
Dalam pandangan Vygotsky setiap individu berkembang dalam konteks sosial. Semua
kerja kognitif tingkat tinggi pada manusia mempunyai asal-usul dalam interaksi sosial
setiap individu dalam konteks budaya tertentu. Kognisi merupakan internalisasi dari
interaksi social. Teori kognisi sosial Vygotsky ini mendorong perlunya landasan
sosial yang baru untuk memahami proses pendidikan. Dalam proses belajar setiap
anak akan melewati dua tingkat dalam proses belajar yang pertama pada level sosial,
yaitu anak melakukan kolaborasi dengan orang lain dan yang kedua pada level
individual, yaitu anak melakukan proses internalisasi. Internalisasi merupakan proses
transformasi tindakan eksternal (perilaku) menjadi psikologis internal (proses).
c. ZPD (Zone of Proximal Development)
Salah satu konsep yang dikemukakan Vygotsky yaitu Zone of Proximal
Development atau Daerah Perkembangan Terdekat. Menurut Vygotsky,
perkembangan kemampuan seseorang dapat dibedakan ke dalam dua tingkat, yaitu
tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Tingkat
perkembangan aktual tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-
tugas atau memecahkan berbagai masalah secara mandiri. Sedangkan tingkat
perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan
tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika di bawah bimbingan orang dewasa atau
ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten.
ZPD adalah jarak antara taraf perkembangan aktual, seperti yang nampak
dalam pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial,
seperti yang ditunjukkan dalam pemecahan masalah dibawah bimbingan orang
dewasa atau dengan bekerja sama dengan teman sebaya yang lebih mampu. Taraf
perkembangan aktual merupakan batas bawah ZPD, sedangkan taraf perkembangan
potensial merupakan batas atasnya. The More Knowledgeable Other (MKO), dalam
bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi orang lain yang lebih tahu. MKO mengacu
kepada siapa saja yang mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dari siswa, dalam
hal ini termasuk guru, teman sebaya, atau bahkan komputer.
Menurut Tharp & Gallimore (1988:35) tingkat perkembangan ZPD terdiri dari empat
tahap:
1. More Dependence toOthers Stage
Tahapan dimana kinerja anak mendapat banyak bantuan dari pihak lain, seperti
teman-teman sebayanya,orang tua, guru, masyarakat, ahli. Dari sinilah muncul
model pembelajaran kooperatif atau kolaborasi dalam mengembangkan kognisi
anak secara konstruktif.
2. Less Dependence External Assistence Stage
Tahap dimana kinerja anak tidak lagi terlalu banyak mengharapkan bantuan dari
pihak lain, tetapi lebih kepada self assistance, lebih banyak anak membantu
dirinya sendiri.
3. Internalization and Automatization Stage
Tahap dimana kinerja anak sudah lebih terinternalisasi secara otomatis. Kesadaran
akan pentingnya pengembangan diri dapat muncul dengan sendirinya tanpa
paksaan dan arahan yang lebih besar dari pihak lain.
4. De-automatization Stage
Tahap dimana kinerja anak mampu mengeluarkan perasaan dari kalbu, jiwa, dan
emosinya yang dilakukan secara berulang-ulang, bolak-balik, recursion. Pada
tahap ini, keluarlah apa yang disebut dengan deautomatisation sebagai puncak dari
kinerja sesungguhnya.
d. Implikasi teori Vygotsky dalam pembelajaran Matematika
Pembelajaran Matematika bertujuan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan
kognitif, psikomotor, dan afektif siswa dalam bermatematika. Vygotsky memperkuat
dengan posisi filsafat konstruktivisme sosial berkeyakinan bahwa pengetahuan
matematika suatu bentukan (konstruksi) secara social. Proses pembelajaran
matematika dikelas juga hendaknya bersifat interaktif, baik antara siswa dan guru
maupun antar siswa. Interaksi ini mengarah sampai kedua belah pihak mampu
mengerti, memeriksa, dan bernegosiasi.
Pemberian masalah dalam pembelajaran matematika, guru harus
memberikan permasalahan berada pada ZPD. ZPD sifatnya sangat khas untuk setiap
individu. Kekhasan ini timbul karena variasi jarak antara taraf kemampuan aktual dan
taraf kemampuan potensial. .ZPD juga melihatkan peranan teman sebaya untuk
mendukung pembelajaran sehingga dalam pembelajaran matematika penting
dikakukan secara kolaboratif. Oleh karena itu, kelas dengan siswa yang bervariasi
kemampuan matematikanya masih perlu dipertahankan, tetapi seiring dengan itu
perhatian individu tetap diperlukan.
e. Kelebihan dan Kekurangan teori Vygotsky
Adapun kelebihan dan kekurangan teori Vygotsky adalah sebagai berikut,
kelebihan teori ini: 1) mengurangi kesenjangan antar siswa; 2) membantu siswa
memahami bahan belajar secara lebih mudah; dan 3) memberikan kesempatan yang
lebih pada siswa untuk saling berinteraksi. Sedangkan kekurangan teori ini terbatas
pada perilaku yang tampak, proses-proses belajar yang kurang tampak sukar diamati
secara langsung. Guru hanya memberikan penjelasan secara umum dan siswa di suruh
mengembangkan sendiri pengetahuan yang di dapatkan.