Anda di halaman 1dari 10

TECHNOPEX-2018 Institut Teknologi Indonesia ISSN: 2654-489X

PENGEMBANGAN PROSES PRE-TREATMENT POME (PALM OIL MILL


EFFLUENT) SEBAGAI UMPAN DIGESTER JENIS CSTR DI PLTBg SEI PAGAR
PTPN V RIAU

Nurdiah Rahmawati, Astri Pertiwi, Erlan Rosyadi, Galuh Wirama Murti, Imron Masfuri,
Tyas Puspita Rini, Atti Sholihah, Arya Bhaskara Adiprabowo, Muhammad Hidayatullah
Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi dan Industri Kimia (PTSEIK)
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
E-mail: astri.pertiwi@bppt.go.id

Abstrak
Palm Oil Mill Effluent (POME) merupakan limbah cair proses pengolahan kelapa sawit.
Produksi Crude Palm Oil (CPO) di Indonesia pada tahun 2017 mencapai 35,36 juta
ton/tahun, dengan potensi POME sebesar 2,5 ton dari tiap ton CPO yang diproduksi. POME
akan menimbulkan polusi dan emisi gas rumah kaca jika dilepaskan langsung ke lingkungan.
Di sisi lain, pengolahan POME secara anaerobik membentuk biogas dapat menghasilkan
listrik sebagai nilai tambah. Dalam penelitian ini, dilakukan kajian dan pengembangan
proses pre-treatment POME sebagai umpan digester anaerobik jenis CSTR pada Pembangkit
Listrik Tenaga Biogas (PLTBg) Sei Pagar di PTPN V Riau. Dalam proses pre-treatment,
dilakukan modifikasi pada parameter-parameter fisik dan kimia POME agar memenuhi
kualifikasi yang diperlukan. POME dari PKS Sei Pagar memiliki pH sebesar 4,2, dengan
kandungan COD rerata 39.751 mg/L, TSS rerata 10.217 mg/L, dan O&G rerata 370,13
mg/L, dan temperatur antara 64 – 71°C. Umpan digester diharapkan dalam kondisi pH
netral dengan temperatur pada kisaran operasi mesofilik. Nilai TSS dan O&G relatif rendah
sehingga sistem pre-treatment hanya fokus pada penyesuaian pH dan temperatur.
Konfigurasi konseptual desain proses pre-treatment mencakup empat alat utama yaitu
vibrating screen, equalization tank, cooling tower dan buffer tank. Sistem pre-treatment
diharapkan memiliki tingkat Kandungan Dalam Negeri yang tinggi dan mudah dioperasikan.
Kata kunci: pre-treatment, POME, biogas, anaerobik, CSTR

Pendahuluan
Indonesia merupakan produsen Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia, dengan nilai
produksi pada tahun 2017 diestimasi mencapai 35,36 juta ton/tahun [1]. Dalam proses produksinya,
industri pengolahan sawit menghasilkan berbagai jenis limbah, di antaranya adalah limbah cair
yang dikenal sebagai Palm Oil Mill Effluent (POME). Setiap satu ton produksi CPO, dihasilkan
limbah POME sebesar 2,5 – 3 ton [2][3].
Kandungan organik di dalam POME sangat tinggi, sehingga akan meningkatkan oxygen
depleting di wilayah akuatik jika langsung dibuang ke lingkungan. Metana hasil dekomposisi
POME juga akan lepas ke atmosfer sebagai emisi Gas Rumah Kaca. Di sisi lain, pengolahan
POME secara anaerobik membentuk biogas dapat menghasilkan listrik sebagai nilai tambah bagi
industri pengolahan kelapa sawit. Pabrik kelapa sawit dengan kapasitas 60 ton/jam berpotensi
menghasilkan biogas sebesar 20.500 Nm3/hari yang setara dengan pembangkitan listrik sebesar 1,5
– 2 MW [4]. Kandungan organik dalam POME di antaranya adalah senyawa gula dalam bentuk
arabinose, xylose, glucose, galactose dan manose serta senyawa selulosa yang merupakan nutrisi
untuk perkembangan mikroorganisme.
Pada PLTBg Sei Pagar di PTPN V Riau ini akan digunakan teknologi Continuos Stirred
Tank Reactor (CSTR) untuk mengolah POME menjadi biogas. Teknologi ini dinilai lebih unggul
dibandingkan teknologi Covered Lagoon (CAL) yang telah lebih banyak diaplikasikan di lapangan.
Volume digester CSTR lebih kecil hingga 50% dibanding digester CAL untuk besaran produksi
biogas yang sama. Hal ini berdampak pada kebutuhan lahan yang lebih kecil serta harga digester
308
TECHNOPEX-2018 Institut Teknologi Indonesia ISSN: 2654-489X

yang lebih murah sehingga lebih menarik dari aspek keekonomiannya. Digester CSTR di Sei Pagar
ini akan dioperasikan pada kondisi mesofilik.
Dalam penelitian ini, akan dilakukan pengembangan konfigurasi proses pre-treatment
POME sebagai bahan baku digester. Dalam proses pre-treatment, dilakukan modifikasi pada
parameter-parameter fisik dan kimia POME agar memenuhi kualifikasi yang diperlukan oleh
digester sehingga akan mendukung produktivitas biogas dan diperoleh yield biogas yang tinggi.
Konfigurasi proses pre-treatment POME diharapkan sederhana, efisien, dan memiliki nilai
kandungan lokal yang tinggi serta rendah biaya.

Studi Pustaka
Karakteristik POME
POME merupakan suatu cairan kecoklatan yang kental (suspensi koloidal) dengan bau
yang khas, memiliki temperatur antara 60 – 80°C, bersifat asam (pH 3,3 – 4,6), dengan kandungan
padatan serta minyak dan gemuk (O&G) yang tinggi, dan nilai Chemical Oxygen Demand (COD)
dan Biochemical Oxygen Demand (BOD) yang tinggi [2]. Dalam industri pengolahan kelapa sawit,
POME dihasilkan dari 3 (tiga) proses utama, yaitu proses sterilisasi buah kelapa sawit
menggunakan uap bertekanan 3 kg/cm2 pada temperatur 140 – 145°C, proses penjernihan CPO dan
proses pengepresan tandan kosong sawit [5]. Karakteristik POME berbeda-beda di tiap pabrik,
karena dipengaruhi oleh discharge limit di tiap pabrik, temperatur dan kondisi pemrosesan minyak
[6][7], teknik pemrosesan, serta usia dan jenis buah sawit yang diproses [8]. Dalam Tabel 1. berikut
ditampilkan karakteristik POME dari berbagai literatur.

Tabel 1. Karakteristik POME dari berbagai literatur


Nasrullah Loh et Bala et Chan Nwoko&
Vijayaraghavan
Parameter et al. al. al. et al. Ogunyemi
et al. (2007)
(2017) (2017) (2015) (2012) (2010)
COD (mg/L) 25.000 50.340 75.900 70.000 13.452 55.775
BOD (mg/L) 15.600 21.060 34.393 30.100 16.307 25.545
TSS (mg/L) 20.000 54.748 14.467 28.900 11.978 -
O&G (mg/L) 2.000 7.213 191 10.540 - 8.020
pH 3,6 4,5 4,7 4,5 4,5 3,5

Secara umum, POME terdiri dari 95 – 96% air, 0,6 – 0,7% minyak dan 4 – 5% padatan,
termasuk di dalamnya 2 – 4% padatan tersuspensi [9]. POME mengandung bahan selulosik [10] di
antaranya adalah lignin sebesar 4.700 ppm, dan bahan organik lain seperti karoten sebesar 8 ppm,
fenolik sebesar 5.800 ppm dan pektin sebesar 3.400 ppm [11][12]. POME juga mengandung asam
amino, serat-serat pendek, senyawa nitrogen, asam organik bebas, karbohidrat dan nutrien
inorganik seperti sodium, potasium, magnesium, kalsium, mangan, besi, seng, kobal, tembaga dan
kadmium [13].

Proses Anaerobik dan Faktor yang Mempengaruhinya


Dalam mengkonversi bahan-bahan organik menjadi biogas, proses anaerobik melibatkan 4
(empat) tahap proses yaitu hidrolisis, asidogenesis, asetogenesis dan metanogenesis. Dalam proses
hidrolisis, zat organik kompleks seperti karbohidrat, lemak, asam nukleat, dan protein, dipecah
menjadi monosakarida (glukosa), gliserol, asam amino, purin, piridin dan asam lemak. Proses
selanjutnya adalah asidogenesis, dimana sebesar 70% dari produk hidrolisis dikonversi menjadi
asam asetat, CO2, dan H2, dan sisanya sebesar 30% dikonversi menjadi asam lemak volatil (VFA)
dan alkohol. Proses asidogenesis merupakan tahapan yang paling cepat dalam proses anaerobik.
Selanjutnya adalah proses asetogenesis dimana H2 dan CO2 dikonversi menjadi asam asetat.
309
TECHNOPEX-2018 Institut Teknologi Indonesia ISSN: 2654-489X

Terakhir adalah proses metanogenesis yaitu pembentukan metan, melalui 2 (dua) jalur reaksi yaitu
jalur pemecahan asam asetat (70%) dan jalur reaksi antara CO2 dan H2 (30%) [14].
Keempat tahap proses tersebut di atas melibatkan jenis mikroba yang berbeda, yang akan
membutuhkan kondisi lingkungan yang berbeda. Parameter yang mempengaruhi proses anaerobik
adalah temperatur, karakteristik substrat, pH atau alkalinitas dan pengadukan.

Temperatur
Digester anaerobik umumnya beroperasi pada kondisi mesofilik (37 – 42°C) atau
termofilik (50 – 60°C). Proses mesofilik lebih stabil karena komunitas mikroba yang hidup dalam
rentang temperatur tersebut lebih beragam. Pengoperasiannya pun lebih mudah, namun produksi
biogasnya lebih rendah. Proses termofilik unggul dalam proses degradasi yang berlangsung lebih
cepat karena perpindahan massa dan tingkat penguraian yang lebih tinggi pada temperatur yang
lebih tinggi, yang terkait dengan nilai viskositas dan tegangan muka. Namun, proses termofilik
sangat sensitif karena cenderung mengalami akumulasi asam lemak volatil. Selain itu, juga
membutuhkan kendali sistem temperatur yang lebih ketat. Dalam manajemen proses plant biogas,
menjaga temperatur tetap konstan pada satu titik tertentu menjadi hal yang krusial karena mikroba
sangat terganggu oleh perubahan temperatur yang cepat di dalam digester [14].

Karakteristik substrat
Kandungan nutrisi dalam substrat
Kandungan nutrisi yang mendasar adalah karbon yang dibutuhkan mikroba untuk energi
dan nitrogen yang berperan dalam pembentukan sel mikroba itu sendiri. Rasio karbon/nitrogen
(C/N) dijaga dalam rentang 20 – 30. Rasio C/N yang terlalu kecil, akan menyebabkan proses
anaerobik berjalan lambat, sebaliknya jika terlalu besar, akan terjadi akumulasi amonia yang
merupakan inhibitor dalam proses. Nutrisi makro lainnya adalah fosfor dan sulfur. Rasio C:N:P:S
harus dijaga pada nilai 600:15:5:3. Selain itu, juga diperlukan nutrisi mikro untuk menjaga
pertumbuhan mikroba di antaranya adalah Ni, Co dan Mo yang dibutuhkan dalam proses
metabolisme; serta Mn, Fe dan Mg yang diperlukan untuk transport elektron dan berfungsinya
enzim tertentu [14].

Biodegradabilitas substrat
Kandungan air akan mengontrol transfer masa dan kelarutan bahan organik dalam sistem
digester, sehingga menjadi faktor penting terkait bioaksesibilitas bahan organik oleh konsorsium
mikroba yang pada akhirnya akan mempengaruhi biodegradabilitas substrat. Umpan proses dengan
kandungan padatan tinggi, cenderung akan mengalami lebih banyak halangan dan masalah.
Selain kandungan air, biodegradabilitas substrat juga dipengaruhi oleh kompleksitas dari
komponen substrat dan kandungan lipid dalam substrat. Tingginya kandungan lipid dalam POME,
akan menyebabkan akumulasi Long Chain Fatty Acids (LCFAs) sebagai produk metabolit lipid.
LCFA akan menghambat produksi metan dan meningkatkan ketidakstabilan proses. Namun, lipid
berpotensi menghasilkan biogas lebih tinggi dibandingkan dengan karbohidrat dan protein [15].

Konsentrasi padatan
Kandungan solid total (TS) dapat mengindikasikan laju penghancuran limbah organik,
idealnya untuk memproduksi biogas adalah sebesar 7 – 9% kandungan kering. Sedangkan padatan
volatil (VS) merupakan bagian dari TS yang berubah menjadi fase gas pada tahap asidifikasi dan
metanogenesis.

310
TECHNOPEX-2018 Institut Teknologi Indonesia ISSN: 2654-489X

Keberadaan inhibitor/toksikan
Inhibitor dapat masuk ke dalam digester melalui penambahan substrat, atau dapat terbentuk
sebagai produk intermediet dari tahap-tahap dekomposisi anaerobik. Jenis-jenis inhibitor di
antaranya adalah oksigen yang bersifat toksik bagi methanogenic archaea, H2S (terlarut), asam
lemak volatil, ammoniacal-nitrogen, logam berat, dan disinfektan serta antibiotik. Dari semua
mikroba yang terlibat dalam proses anaerobik, bakteri metanogen merupakan yang paling sensitif
terhadap toksisitas.

pH dan alkalinitas
Bakteri asidogen berkembang optimal pada pH 5,2 – 6,3, namun masih dapat hidup pada
pH yang sedikit lebih tinggi, meskipun aktivitasnya akan sedikit turun. Di sisi lain, nilai pH dalam
rentang netral, antara 6,5 – 8 merupakan kebutuhan yang esensial bagi bakteri asetogenik dan
methanogenic archaea. Oleh karena itu, ketika proses anaerobik dijalankan dalam satu digester
tunggal, nilai pH harus dijaga pada nilai netral [14].

Pengadukan
Pengadukan diperlukan untuk memperbesar kontak antara mikroba dan bahan organik,
mencegah presipitasi dari partikel padatan, distribusi larutan penyangga (buffer), dan mempercepat
pelepasan gelembung biogas yang terjebak dalam media. Perpindahan gelembung biogas dari
media yang berlangsung lebih lambat dari kecepatan pembentukan biogas, maka menyebabkan
terjadinya akumulasi biogas di dalam media yang berimbas pada naiknya konsentrasi gas CO2 dan
H2S terlarut sehingga nilai pH akan jatuh dan menghambat proses anaerobik. Selain dipengaruhi
oleh kualitas pengadukan, perpindahan gelembung biogas juga dipengaruhi oleh gas-liquid
interface dan temperatur yang akan terkait dengan viskositas dan tegangan muka cairan [2].

Persyaratan Umpan Proses Anaerobik


Persyaratan umpan untuk proses anaerobik secara umum adalah sebagai berikut.
a. Memiliki konsentrasi COD yang tinggi. Nilai COD menunjukkan jumlah oksigen yang
diperlukan untuk dapat menguraikan seluruh bahan organik yang terkandung dalam suatu
cairan (biasanya air). Nilai COD dapat digunakan untuk menghitung potensi biogas.
b. Temperatur yang sesuai dengan kondisi operasi yang dipilih
c. Konsentrasi garam yang rendah
d. Tidak mengandung senyawa inhibitor / toksikan
e. Kondisi umpan tidak mengganggu stabilitas sistem digester

Metodologi Penelitian
Penelitian ini diawali dengan investigasi awal POME sebagai feedstock digester CSTR
untuk menghasilkan biogas, termasuk di dalamnya pengambilan sampel secara langsung di lokasi,
analisa karakteristik POME secara langsung, estimasi perhitungan kapasitas ketersediaan POME
dari PKS untuk pengoperasian CSTR. Analisis karakteristik POME meliputi parameter-parameter
sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 2 berikut.

311
TECHNOPEX-2018 Institut Teknologi Indonesia ISSN: 2654-489X

Tabel 2. Parameter analisis karakteristik POME


Parameter Keterangan
Chemical Oxygen Jumlah oksigen yang diperlukan untuk dapat menguraikan seluruh
Demand (COD) bahan organik yang terkandung dalam suatu cairan (biasanya air).
Biological Oxygen Jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme
Demand (BOD) (biasanya bakteri) untuk dapat menguraikan bahan organik.
Total Suspended Solid Residu dari padatan total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran
(TSS) partikel maksimal 2 μm atau lebih besar dari ukuran partikel koloid
Oil and Grease Content Jumlah kandungan minyak dan lemak dalam suatu senyawa contoh
(O&G) yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran sehingga jumlah
konsentrasinya harus dibatasi.
Derajat Keasaman (pH) Tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan
Temperatur derajat panas suatu material

Selain itu, juga dilakukan investigasi awal mengenai kebutuhan kondisi POME pada saat
masuk digester, mencakup parameter-parameter temperatur, pH dan nilai COD yang
merepresentasikan kandungan nutrisi dalam POME. Dengan demikian, pada tahap selanjutnya
dapat diketahui parameter-parameter yang memerlukan penyesuaian.
Setelah itu, dilakukan suatu inventarisasi alternatif unit proses yang dapat digunakan untuk
penyesuaian tiap parameter, yang kemudian dilanjutkan denan pemilihan unit proses yang tepat.
Sebagai hasil akhir,diharapkan dapat diperoleh suatu konfigurasi sistem pre-treatment POME yang
paling tepat untuk mengakomodasi kebutuhan umpan digester CSTR di Sei Pagar ini.

Hasil dan Pembahasan


Identifikasi Awal dan Karakterisasi POME
Pabrik Kelapa Sawit Sei-Pagar merupakan salah satu PKS yang dimiliki oleh PTPN V
Riau, berlokasi di Desa Hang Tuah, Desa Pantai Raja, dan Desa Parit Baru, Kecamatan Perhentian
Raja, Kabupaten Kampar. PKS ini mempunyai kapasitas desain sebesar 30 ton/jam, dengan limbah
POME yang dihasilkan sekitar 280 m3/hari. Selama ini POME digunakan sebagai pupuk cair
organik untuk land application, setelah mengalirkannya melalui serangkaian kolam-kolam terbuka,
terdiri dari cooling pond, anaerobic pond, maturation pond I dan maturation pond II. Parameter
penting POME olahan untuk land application adalah kadar BOD yang kurang dari 5.000 mg/L dan
nilai pH yang berada dalam rentang antara 6 – 9 (netral ke arah basa).
Dalam Pilot Plant PLTBg yang akan dibangun ini, POME diambil dari keluaran fat pit.
Fat pit merupakan sebuah bak dari pelat besi yang dilengkapi koil pemanas sebagai tempat
penampungan sementara campuran sisa minyak sawit mentah yang masih bercampur dengan
sludge ataupun lumpur. Tujuan dari penampungan di fat pit ini adalah untuk dapat mengambil
minyak yang masih tersisa dengan bantuan penginjeksian uap sebagai media pemanas. Persentase
minyak yang dapat diperoleh kembali pada fat pit adalah sekitar 3%, yang dibiarkan melimpah
pada bagian overflow untuk nantinya dipompakan/dipisahkan secara khusus. Sedangkan POME
akan dialirkan ke bagian pengolahan limbah melalui saluran-saluran yang tersedia.

Laju Alir dan Karakteristik POME PKS Sei Pagar


Pengukuran laju alir POME dilakukan secara manual, dengan menampung keluaran POME
menuju fat pit pada wadah tertentu yang telah diketahui dimensinya lalu diukur per satuan waktu
tertentu. Hasil pengukuran ditampilkan dalam Tabel 3 berikut.

312
TECHNOPEX-2018 Institut Teknologi Indonesia ISSN: 2654-489X

Tabel 3. Pengukuran laju alir POME PKS Sei-Pagar


Laju Alir Laju Alir (m3/hari)
Pengulangan 3
(m /jam) Pabrik beroperasi 24 jam
1 10,23 245,52
2 10,50 252
3 9,75 234
4 10,27 246,48
5 11,06 265,44
6 10,35 248,4
Rata-rata 10,36 248,64

Sampel POME dianalisis karakteristiknya secara in situ dan ex situ. Proses pengambilan
sampel POME dilakukan secara manual, dengan memperhatikan derajat panas (temperatur) dari
POME tersebut. Temperatur POME pada saluran keluaran fat pit berkisar 64 – 70°C. Sampel
POME dimasukkan ke dalam wadah-wadah bertutup dengan volume antara 2 – 5 liter. Hasil
analisis in situ ditampilkan dalam Tabel 4, sedangkan hasil analisis ex situ ditampilkan dalam Tabel
5 sebagai berikut.

Tabel 4. Hasil analisis in situ POME dari keluaran fat pit


Parameter Nilai Unit
Temperatur 51 °C
pH 4,3
Densitas 0,982 g/ml
Viskositas 3,9 cSt

Tabel 5. Hasil analisis ex situ POME dari keluaran fat pitselama 5 hari
berturut-turut
Sampel
Parameter Rerata Satuan
Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5
pH 4,50 4,33 4,01 4,06 4,19 4,22 -
BOD 24.320 13.749 14.299 12.099 9.899 14.873,2 mg/L
COD 36.221 37.934 34.792 48.036 41.772 39.751 mg/L
TSS 5.205 21.490 6.675 4.230 13.487 10.217,4 mg/L
Minyak dan lemak 258,6 428,6 647,0 324,04 192,4 370,13 mg/L

Identifikasi Parameter yang Perlu Dimodifikasi


Identifikasi parameter-parameter yang perlu dimodifikasi dalam sistem pre-treatment ini
dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Digester CSTR akan dioperasikan pada kondisi mesofilik (36 – 39°C). Temperatur umpan harus
berada dalam kisaran tersebut agar tidak mengganggu stabilitas temperatur dalam digester.
Dengan kondisi temperatur POME segar dari fat pit adalah sebesar 64 – 71°C, maka akan
diperlukan suatu penyesuaian temperatur pada POME.

313
TECHNOPEX-2018 Institut Teknologi Indonesia ISSN: 2654-489X

b. pH dalam digester harus stabil pada kisaran netral. Sedangkan kondisi POME segar dari fat pit
memiliki nilai pH rerata sebesar 4,2. Dengan demikian, akan diperlukan pula suatu penyesuaian
keasaman POME.
c. Umpan digester CSTR dengan padatan tersuspensi dan komponen koloidal dalam konsentrasi
yang tinggi, seperti minyak dan biofiber, dapat menimbulkan permasalahan dalam
pengoperasian proses anaerobik terutama proses dengan laju tinggi (high rate). Permasalahan
yang dapat timbul di antaranya adalah pembentukan scum, tersumbatnya jalur pipa, sludge
flotation, dan yield metan yang rendah (Borja dan Banks, 1994). Selain itu, nilai padatan total
dalam rentang antara 30% - 50% dapat menghambat proses anaerobik karena akumulasi asam
lemak volatil (Liew, 2011). Nilai TSS serta minyak dan gemuk dalam POME hasil PKS Sei
Pagar ini sudah rendah, dikarenakan secara rutin dilakukan pengambilan (pengutipan) minyak
yang mengapung pada Fat Pit, maka tidak diperlukan proses penyesuaian lebih lanjut.
d. Dari segi toksisitas, diketahui bahwa POME tidak mengandung toksin atau inhibitor karena
proses pengolahan kelapa sawit menjadi CPO tidak melibatkan senyawa kimia.

Dengan demikian, parameter yang harus disesuaikan dalam kajian ini adalah temperatur
dan pH.

Pemilihan dan Perancangan Peralatan


Penyesuaian Temperatur
Untuk menentukan peralatan yang akan dipilih terkait dengan penurunan temperatur, perlu
diketahui jumlah panas yang harus dilepas dari arus POME.
Diketahui bahwa temperatur POME dari Fat Pit berkisar 64 – 71°C. Diinginkan temperatur
POME dapat turun hingga 40°C karena proses anaerobik akan dijalankan dalam kondisi mesofilik,
antara 36 – 39°C.
Ditetapkan basis data perhitungan sebagai berikut.
 Temperatur inlet : 60°C
 Temperatur outlet : 40°C
 COD : 40.000 mg/L
 O&G : 370 mg/L
 Laju alir POME : 15 m3/jam
Dari hasil perhitungan neraca energi, penurunan temperatur POME dari 60°C ke 40°C
dengan laju alir 15 m3/jam akan melepaskan panas sebesar 1.223.997 kJ/jam. Dengan kapasitas
pendinginan yang besar tersebut, pendinginan melalui cooling pond menggunakan teknik
pendinginan pasif akan memerlukan waktu tinggal yang lama sehingga berdampak pada kebutuhan
area cooling pond yang cukup luas. Hal ini tidak memungkinkan karena area yang tersedia di
PLTBg relatif terbatas. Maka, pendinginan akan dilakukan mengguanakan suatu alat penukar panas
(heat exchanger). Secara garis besar, alat penukar panas diklasifikasikan menjadi direct contact
dan indirect contact. Jenis yang paling umum dari direct contact adalah cooling tower, sedangkan
indirect contact di antaranya adalah double pipe heat exchanger, shell and tube heat exchanger,
dan plate heat exchanger. Dalam pendinginan melalui direct contact, pertukaran panas akan
disertai dengan pertukaran massa, dimana sebagian massa fase cairan (umumnya air) akan ikut
teruapkan di dalam fase gas (umumnya udara). Pertukaran panas justru lebih banyak terjadi karena
adanya penguapan ini, sedangkan pertukaran panas secara konvektif hanya berperan kecil.
Pemilihan alat penukar panas, selain tergantung pada kapasitas pendinginan yang terkait
dengan keekonomian, juga tergantung pada kondisi fluida yang akan didinginkan. Dalam hal ini,
fluida yang akan didinginkan adalah POME yang memiliki sifat asam dengan pH 4,2 dan cukup
314
TECHNOPEX-2018 Institut Teknologi Indonesia ISSN: 2654-489X

kental karena adanya kandungan COD, padatan tersuspensi dan juga minyak serta lemak.
Penggunaan alat penukar panas dengan jenis indirect contact akan memerlukan biaya perawatan
yang besar jika digunakan untuk mendinginkan POME, karena ada resiko korosi dan juga
penyumbatan (fouling). Penukar panas jenis indirect contact umumnya menggunakan fluida
pendingin berupa air yang kemudian perlu didinginkan kembali sebelum dapat dibuang ke badan
air, sedangkan cooling tower sebagai contoh paling umum dari penukar panas jenis direct contact
menggunakan fluida pendingin berupa udara yang tidak memerlukan resirkulasi. Penguapan
sebagian air selama proses pendinginan dalam cooling tower juga menguntungkan karena akan
meningkatkan nilai COD dari POME yang diinginkan. Selain itu, dari segi keekonomiannya,
penukar panas jenis indirect contact lebih mahal daripada cooling tower.
Dengan berbagai pertimbangan sebagaimana disebutkan di atas, maka dipilih alat
pendingin berupa cooling tower.

Penyesuaian pH
Terkait dengan nilai pH, POME dari fat pit memiliki nilai pH sebesar 4,2, sedangkan pH
POME masuk ke dalam digester diinginkan dalam nilai yang netral sebesar 7,0. Sistem anaerobik
pada umumnya memiliki sistem penyangga yang memadai untuk mengimbangi produksi asam
volatil dan CO2 yang akan terlarut dalam digester. Zat kapur, natrium bikarbonat, natrium
hidroksida, merupakan tiga sumber kimia utama alkalinitas yang dapat digunakan dalam sistem
penyangga. Namun demikian, sebagian besar aplikasi POME terutama teknologi CAL tidak
memerlukan penambahan bahan kimia untuk menetralkan pH. Hal ini terjadi karena air limbah
anaerobik mengandung penyangga alkalinitas dari bikarbonat (HCO3) sehingga resirkulasi air
limbah ke tangki pencampuran POME dapat menjaga pH tetap netral. Secara garis besar,
penyesuaian pH dapat dilakukan secara kimia atau secara fisik melalui pencampuran umpan segar
yang memiliki pH rendah dengan efluen digester yang telah memiliki pH di atas 7. Rasio antara
POME segar terhadap efluen akan mempengaruhi pH akhir POME sebelum diumpankan ke dalam
digester.
Dalam proses pre-treatment ini, dipilih metode penyesuaian pH secara fisik dengan
pertimbangan tidak memerlukan penambahan bahan kimia yang akan berdampak pada sisi
lingkungan maupun keekonomian proses. Penggunaan bahan kimia juga akan menambah sistim
kontrol yang diperlukan terkait dengan dosis kebutuhan bahan kimia. Dari simulasi perhitungan
neraca massa, diperoleh nilai recycle dari digester sebesar 9,46 m3/jam dengan temperatur arus
recycle adalah 35°C. Pengurangan COD dalam digester diasumsikan sebesar 85%. Rasio POME
segar terhadap arus POME recycle adalah sebesar 1,57. Dengan nilai rasio tersebut, diharapkan
nilai pH arus POME masuk ke dalam digester sudah mendekati netral.
Sedangkan dalam start-up proses, pengaturan pH dapat dilakukan melalui penambahan
larutan basa NaOH dengan konsentrasi 6 M dalam volume yang mencukupi.

Desain konseptual konfigurasi proses pre-treatment POME


Berikut ini adalah blok diagram proses pre-treatment POME yang diusulkan dalam PLTBg
di Sei Pagar.

315
TECHNOPEX-2018 Institut Teknologi Indonesia ISSN: 2654-489X

Gambar 1. Blok diagram proses pre-treatment POME sebagai umpan digester


CSTR pada PLTBg Sei Pagar

POME segar dari Fat Pit pada temperatur sekitar 68°C akan dialirkan melalui vibrating
screen untuk memisahkan pengotor-pengotor yang ada, misalnya pasir, serabut dari sisa tandan
sawit dan lain-lain. Vibrating screen yang digunakan memiliki 2 ukuran mesh yang akan
memisahkan pengotor secara bertahap. Proses dalam vibrating screen cukup singkat sehingga
perubahan temperatur tidak signifikan. Dari vibrating screen, POME dialirkan ke dalam
equalization tank yang berfungsi untuk tempat terjadinya homogenisasi karena dilengkapi dengan
pengaduk serta sebagai penampung sementara. Proses dalam equalization tank ini berlangsung
cukup singkat sehingga penurunan temperatur di dalamnya diasumsikan tidak signifikan. POME
keluar dari equalization tank pada temperatur 60°C dan pH 4,2 (asam). Selanjutnya POME
didinginkan dalam cooling tower dimana temperatur POME akan turun dari 60°C menjadi 40°C.
Dari cooling tower, POME dialirkan menuju buffer tank dimana POME akan dicampur dengan arus
recycle efluen digester berupa POME yang telah diolah. Temperatur POME recycle sebesar 35°C
dengan pH sebesar 8, sehingga di dalam buffer tank akan terjadi penyesuaian pH POME. Selain itu,
diharapkan di dalam buffer tank ini mulai terjadi tahap hidrolisis sehingga akan mengurangi beban
proses anaerobik di dalam digester. POME dari buffer tank telah memiliki temperatur dan pH yang
sesuai untuk umpan digester jenis CSTR.

Kesimpulan
Dalam kegiatan ini telah dilakukan kajian dan pengembangan konfigurasi proses pre-
treatment POME yang efisien sebagai umpan digester CSTR di PLTBg Sei Pagar PTPN V Riau.
Parameter dalam umpan POME yang berpengaruh terhadap kinerja reaktor CSTR di antaranya
adalah derajat keasaman (pH), temperatur, COD, TSS, dan kandungan lipid. POME segar dari Fat
Pit PKS Sei Pagar memiliki karakteristik pH sebesar 4,2, dengan kandungan COD rerata 39.751
mg/L, TSS rerata 10.217 mg/L, O&G rerata 370,13 mg/L, serta temperatur antara 64 – 71°C. Nilai
TSS dan O&G dalam POME dari PKS Sei Pagar sudah rendah, sehingga tidak diperlukan
penyesuaian lebih lanjut. Maka dalam proses pre-treatment ini, difokuskan pada penyesuaian
temperatur dan pH. POME masuk ke dalam digester diinginkan berada pada pH netral dengan
temperatur kisaran mesofilik (35 – 39 °C).
Penyesuaian temperatur dilakukan dalam suatu penukar panas jenis direct contact yaitu
cooling tower dengan pendingin berupa udara lingkungan. Pemilihan penukar panas jenis ini
ditetapkan berdasarkan karakter POME yang bersifat asam, kental dengan kandungan suspended
solid, minyak dan gemuk, sehingga akan menyulitkan proses maintenance jika digunakan penukar
panas jenis indirect contact. Dari segi keekonomian, jenis direct contact juga lebih
menguntungkan. Selain itu, media pendingin berupa udara tidak memerlukan proses sirkulasi
sebelum dibuang ke lingkungan. Sedangkan penyesuaian pH dilakukan dengan cara mencampur
POME segar dengan POME recycle dari digester. Hal ini akan meminimalisir penggunaan bahan
kimia.
316
TECHNOPEX-2018 Institut Teknologi Indonesia ISSN: 2654-489X

Telah didapatkan suatu desain konseptual proses pre-treatment POME yang diharapkan
mampu menghasilkan POME dengan karakteristik yang sesuai, yang mencakup empat peralatan
utama yaitu vibrating screen, equalization tank, cooling tower, dan buffer tank.

Ucapan Terima kasih


Tim penulis menyampaikan terima kasih kepada Kementerian Riset, Teknologi dan
Pendidikan Tinggi (Kemenristek-dikti) RI yang telah mendanai melalui skema Flagship Insinas,
PKS Sei Pagar, PTPN V Riau, pimpinan di Pusat Teknologi Sumberdaya Energi dan Industri
Kimia (PTSEIK) – BPPT serta semua pihak yang telah ikut berkontribusi dalam penelitian ini.

Daftar pustaka
[1] Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, 2016
[2] Rahayu, A.S., Karsiwulan, D., Yuwono, H., Trisnawati, I., Mulyasari, S., Rahardjo, S.,
Hokermin, S., Paramita, V. 2015. Buku Panduan Konversi POME Menjadi Biogas,
Pengembangan Proyek di Indonesia. Winrock International
[3] Vijaya S, Ma AN, Choo YM, Meriam NIK. Life cycle inventory of the production of crude
palm oil - a gate to gate case study of 12. J Oil Palm Res 2008;20:484–94.
[4] USAID ICED II. 2016. Biogas Power Plant: Market Development & Technology Overview.
Belitung
[5] Ahmed, Y., Yaakob, Z., Akhtar, P., Sopian, K. Production of biogas and performance
evaluation of existing treatment processes in palm oil mill effluent (POME). Renewable and
Sustainable Energy Reviews 42 (2015) 1260 – 1278.
[6] Ahmad, A.L., Sumathi, S., Hameed, B.H. 2005. Adsorption of residue oil from palm oil mill
effluent using powder and flake chitosan:equilibrium and kinetic studies. WaterRes Volume
39 Halaman 2483 – 2494
[7] Ahmad, A.L., Sumathi, S., Hameed, B.H. 2006. Coagulation of residue oil and suspended
solid in palm oil mill effluent by chitosan, alum and PAC. Chemical Engineering Journal
Volume 118 Halaman 99 – 105.
[8] Ng, W.J., Goh, A.C.C., Tay, J.H. 1987. Palm oil mill effluent (POME) treatment - an
assessment of coagulants used to aid liquid–solid separation. Biol. Wastes 21, 237–248
[9] Khalid, R., Wan Mustafa, W.A. 1992. External benefits of environmental regulation:
Resource recovery and the utilisation of effluents. The Environmentalist Volume 12 Issue 4
(1992) pp: 277 – 285.
[10] Rupani, P.F., Singh, R.P., Ibrahim,M.H.,Esa, N. 2010. Review of Current Palm Oil Mill
Effluent (POME) Treatment Methods: Vermicomposting as a Sustainable Practice. World
Applied Sciences Journal 10(10): 1190-1201, 2010
[11] Ho, C.C., Tan, Y.K., Wang, C.W. 1984. The distribution of chemical constituents between the
soluble and the particulate fractions of palm oil mill effluent and its significance on its
utilization/treatment. Agricultural Wastes 11, 61–71
[12] Sundram K, Sambanthamurthi R, Tan YA. Palm fruit chemistry and nutrition. Asia Pac J Clin
Nutr 2003; 12: 355–62.
[13] Santosa, S.J., 2008. Palm oil boom in Indonesia: from plantation to downstream products and
biodiesel. Clean-Soil Air Water 36, 453–465
[14] Deutsches Biomasse Forschungs Zentrum (DBFZ). 2010. Guide to Biogas, From production
to use. Fachagentur Nachwachsende Rohstoffe e.V. (FNR).
[15] Rasit, N., Idris, A., Harun, R., Ghani W.A.W.A.K. 2015. Effects of lipid inhibition on biogas
production of an aerobic digestion from oily effluents and sludges : An overview. Renewable
and Sustainable Energy Reviews Volume 45 Halaman 351–358.
317

Anda mungkin juga menyukai