Anda di halaman 1dari 44

PROPOSAL

KARYA TULIS ILMIAH

GAMBARAN KADAR ENZIM CHOLINESTERASE PADA


PETUGAS FOGGING DINAS KESEHATAN MATARAM

Oleh :

Ni Nyoman Sukamiani
NIM.P07134018172R

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MATARAM
JURUSAN AHLI TEKHNOLOGI LABORATORIUM MEDIK
RPL PROGRAM STUDI DIPLOMA III (D-III)
MATARAM
2018/2019
LEMBAR PERSETUJUAN
PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan
Program Pendidikan Diploma III (DIII) Kesehatan
Jurusan Analis Kesehatan Mataram
Tahun Akademik 2018/2019

Oleh :
Ni Nyoman Sukamiani
NIM.P07134018172R

Mataram, Maret 2019

Menyetujui,

Pembimbing I

(Lale Budi Kusuma Dewi,S.Pd,.M.Si)


NIP. 197905011998032007

Pembimbing II

(I Wayan Getas,S.Si,M.Sc)
NIP.196312311989031040

ii
LEMBAR PENGESAHAN
PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH
Dipertahankan di depan Tim Penguji Proposal Karya Tulis Ilmiah
Jurusan Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram dan
diterima untuk Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan
Program Pendidikan Diploma III (DIII) Kesehatan Jurusan Analis
Kesehatan
Tahun Akademik 2018/2019
Mengesahkan,
Ketua Jurusan Analis Kesehatan
Poltekkes Mataram

Zainal Fikri,SKM,.M.Sc
NIP.197512311994021001

Tim Penguji

1. Lale Budi Kusuma Dewi,S.Pd,.M.Si ( )


Ketua Penguji

2. I Wayan Getas,S.Si,M.Sc ( )
Penguji I

3. Ida Bagus Rai Wiadnya,S.Si,M.Si ( )


Penguji II

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan Tuhan Yang Maha Kuasa, berkat


rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Proposal
Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Gambaran Kadar Enzim
Cholinesterase Pada Petugas Fogging Dinas Kesehatan Mataram”

Penulisan Proposal Karya Tulis Ilmiah ini, banyak memperoleh


bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
penyempurnaan tulisan ini. Untuk itu pada kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram Kemenkes RI.


2. Ketua Jurusan Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Kemenkes
Mataram Kemenkes RI.
3. Ketua Program Studi Diploma Tiga (D-III) Jurusan Analis
Kesehatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram
4. Lale Budi Kusuma Dewi,S.Pd,.M.Si selaku pembimbing I yang telah
memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis.
5. I Wayan Getas,S.Si,M.Sc selaku pembimbing II yang telah banyak
juga memberikan masukan.
6. Semua Dosen Analis Kesehatan Mataram yang telah memberikan
bekal pengetahuan, wawasan dan saran kepada penulis.
7. Keluarga yang selalu memberikan kasih sayang, doa serta
dukungan hingga penulis dapat menyeleseikan skripsi ini.
8. Rekan-rekan mahasiswa serta semua pihak yang telah banyak
membantu dalam penyelesaian Proposal Karya Tulis Ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa Proposal Karya Tulis Ilmiah ini masih
belum sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan selanjutnya.

iv
Demikian, semoga proposal karya tulis ilmiah ini bisa bermanfaat
dan menambah wawasan bagi penulis dan para pembaca pada
umumnya.

Mataram, Maret 2019

Penulis

v
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................i
LEMBAR PERSETUJUAN...........................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................iii
KATA PENGANTAR....................................................................................iv
DAFTAR ISI.................................................................................................vi
DAFTAR TABEL........................................................................................viii
DAFTAR GAMBAR......................................................................................ix
DAFTAR SINGKATAN.................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................4
C. Tujuan.............................................................................................4
D. Manfaat...........................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................6
A. Kerangka Teori...............................................................................6
1. Pestisida.........................................................................................6
2. Fogging Fokus..............................................................................12
3. Kadar Enzim Cholinesterase........................................................16
B. Kerangka Konsep.........................................................................25
BAB III METODE PENELITIAN................................................................26
A. Tempat dan Waktu Penelitian......................................................26
B. Rancangan Penelitian...................................................................26
C. Besar Sampel...............................................................................26
D. Variabel Penelitian........................................................................27
E. Definisi Operasional......................................................................27
F. Jenis Data dan Skala Data...........................................................27
G. Alur Kerja Penelitian.....................................................................28
H. Cara Pengumpulan Data..............................................................29
I. Cara Pengolahan Data dan Analisa Data....................................31

vi
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................33

vii
DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

Tabel 3.1 Hasil Pengukuran Enzim Cholinesterase pada Petugas


Fooging…………………………………………………………….31

viii
DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

Gambar 2.1 Pembentukan dan pemecahan asetikolin


Organofosfat….....................................................................18

ix
DAFTAR SINGKATAN

DBD : Demam Berdarah Dengue

KLB : Kejadian Luar Biasa

PSN : Pemberantasan Sarang Nyamuk

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah

satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Sejak tahun 1968

jumlah kasusnya cenderung meningkat dan penyebarannya

bertambah luas. Keadaan ini erat kaitannya dengan peningkatan

mobilitas penduduk sejalan dengan semakin lancarnya hubungan

transportasi serta tersebar luasnya virus dengue dan nyamuk

penularnya di berbagai wilayah di Indonesia (Yuliyanti, 2011).

Pada tahun 2016 terdapat jumlah kasus DBD sebanyak 204.171

kasus dengan jumlah kematian sebanyak 1.598 orang. Jumlah kasus

DBD tahun 2016 meningkat dibandingkan jumlah kasus tahun 2015

(129.650 kasus). Jumlah kematian akibat DBD tahun 2016 juga

meningkat dari tahun 2015 (1.071 kematian). Namun pada tahun 2017

kasus DBD mencapai 59.047 kasus dengan jumlah kematian 444

kasus. Hal ini menandakan adanya penurunan jumlah kasus DBD dari

tahun 2016 dan 2017 sebanyak145.124 kasus (Kementerian

Kesehatan RI, 2018).

Peran pemerintah tidak terlepas dari menurunnya kasus DBD.

Upaya pemerintah dalam menanggulangi penyakit DBD ini secara

teoritis menggunakan empat cara untuk memutuskan rantai penularan

DBD seperti melenyapkan virus, isolasi penderita, mencegah gigitan

1
2

nyamuk (vektor) dan pengendalian vektor. Untuk pengendalian vektor

dilakukan dengan dua cara yaitu salah satunya dengan cara kimia

yaitu dengan penggunaan pestisida.

Pestisida adalah bahan kimia yang digunakan untuk

mengkontrol, menolak, menarik atau membunuh hama. Pestisida

umumnya beracun, karena mengandung zat kimia berbahaya seperti

pestisida golongan organofosfat dan golongan karbamat. Pestisida

jenis insektisida organofosfat dan karbamat paling banyak digunakan

dalam membasmi serangga.(Anam et al., 2015)

Salah satu kegunaannya yaitu untuk memberantas vector

penyebab penyakit menular melalui seranga yaitu menggunakan

metode pengasapan atau fogging. Pemberantasan serangga

menggunakan fogging masih marak dilakukan. Penggunaan fogging

juga berdampak bagi kesehatan manusia karena zat kimia yang

digunakan adalah golongan organophospat. Racun golongan

organophospat dapat masuk kedalam tubuh melalui inhalasi, oral, dan

dermal (Raini, 2007).

Mekanisme kerja insektisida golongan organophospat ini adalah

menghambat aktivitas enzim kholinesterase secara irreversibel. Enzim

kholinesterase adalah suatu bentuk dari katalis biologis yang di dalam

jaringan tubuh berperan untuk menjaga agar otot, kelenjar dan sel

syaraf bekerja secara terorganisir dan harmonis. Akibat

penghambatan aktivitas enzim kholinesterase, kadar neurotransmitter

asetilkolin dalam tubuh meningkat sehingga aktivitas syaraf


3

parasimpatis meningkat/berlebihan. Peningkatan aktifitas syaraf

parasimpatis yang berlebihan menyebabkan gangguan fungsi pada

berbagai sistim organ seperti kardiovaskuler, syaraf, respirasi,

pencernaan dan urinarius. Efek toksik ini, tergantung dari peningkatan

kadar asetilkolin endogen. Efek yangditimbulkan oleh pestisida ini

berupa iritasi ringan hingga gangguan syaraf (Anam et al., 2015a)

Jika aktifitas kholinesterase jaringan tubuh menurun, dampaknya

tidak dapat mempengaruhi aktivitas asetil kholinesterase syaraf,

sehingga asetilkolin akan menumpuk di bagian ujung syaraf,

mengakibatkan pengaliran impuls syaraf terganggu dan akhirnya

terjadi paralisis otot (Anam et al., 2015)

Terlepas dari itu, peran petugas fogging perlu diperhatikan.

Secara tidak langsung petugas fogging terpapar secara akut dan

dapat menimbulkan gejala seperti sakit kepala, muntah – muntah,

mual, sakit dada, sakit otot, keringat berlebihan, diare, sulit bernafas,

pandangan kabur dan akhirnya dapat menimbulkan kematian.

Pemaparan pestisida secara kronis, dapat menyerang otak dan sistem

syaraf dengan gejala antara lain masalah ingatan yang gawat, sulit

konsentrasi, perubahan kepribadian, kelumpuhan, kehilangan

kesabaran dan koma. Peningkatan yang sangat tinggi dapat

menyebabkan kematian. Kontak para petugas fogging dengan asap

fogging dapat melalui penyerapan kulit, inhalasi, memakai baju yang

tidak layak atau tidak tertutup, dan tidak mengunakan alat pelindung

diri (APD) (Sartono, 2001).


4

Efek yang ditimbulkan oleh racun organophospat pada petugas

Fogging perlu diketahui. Kenyataan ini mendorong peneliti untuk

melakukan pengkajian lebih lanjut tentang Kadar Enzim

Cholinesterase Pada Petugas Fogging Dinas Kesehatan Mataram.

B. Rumusan Masalah

Bagaiamana Gambaran Kadar Enzim Cholinesterase Pada Petugas

Fogging Dinas Kesehatan Mataram ?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui Gambaran Kadar Enzim Cholinesterase Pada

Petugas Fogging Dinas Kesehatan Mataram.

2. Tujuan Khusus

a. Mengukur kadar enzim Cholinesterase pada petugas Fogging

Dinas Kesehatan Mataram

b. Menganalisis hasil pengukuran kadar enzim Cholinesterase

pada petugas Fogging Dinas Kesehatan Mataram dan bukan

Petugas fogging Dinas Kesehatan Mataram


5

D. Manfaat

1. Bagi Peneliti

Sebagai pengalaman yang sangat berharga dan memperluas

wawasan keilmuan untuk mengembangkan diri dalam bidang

penelitian

2. Bagi Institusi yang terkait

Hasil penelitian ini dapat menjadi landasan pengmbilan kebijakan

kedepan untuk petugas fogging Dinas Kesehatan Kota Mataram.

3. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pegetahuan bagi

masyarakat tentang bahaya fogging


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Pestisida

Pestisida merupakan terjemahan dari pesticide (Inggris)

yang berasal dari bahasa Latin pestis dan caedo yang bisa

diterjemahkan secara bebas menjadi racun untuk jasad

pengganggu. Menurut “United States Federal Environment

Pesticide Control Act,” pestisida merupakan semua zat atau

campuran zat yang khusus untuk memberantas atau mencegah

gangguan serangga, binatang pengerat, nematoda, cendawan,

gulma, virus, bakteri, jasad renik yang dianggap hama kecuali

virus, bakteri atau jasad renik yang terdapat pada manusia atau

binatang lainnya, atau semua campuran zat yang digunakan

sebagai pengatur pertumbuhan tanaman atau pengering tanaman

(Purba, 2009).

Peraturan Menteri pertanian mendefenisikan bahwa

pestisida adalah zat kimia atau bahan lain dan jasad renik serta

virus yang digunakan untuk : 1) memberantas atau mencegah

hama-hama tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil

pertanian. 2) Memberantas rerumputan. 3) Mematikan daun dan

mencegah pertumbuhan tanaman yang tidak diinginkan. 4)

Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau

bagianbagian tanaman, tidak termasuk pupuk. 5) memberantas

6
7

atau mencegah hama luar pada hewan-hewan piaraan dan ternak.

6) Memberantas dan mencegah hama-hama air. 7) memberantas

atau mencegah binatang-binatang dan jasadjasad renik dalam

rumah tangga, bangunan dan alat-alat pengangkutan. 8)

Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat

menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu

dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air

(Republik Indonesia, 2007).

Pestisida adalah substansi yang digunakan untuk mencegah

atau membunuh hama (pest), yakni organisme yang bersaing

untuk mendapatkan makanan, mengganggu kenyamanan, atau

berbahaya bagi kesehatan manusia. Penggunaan pestisida sudah

sangat meluas, berkaitan dengan dampak positifnya, yaitu

meningkatnya produksi pertanian dan menurunnya penyakit-

penyakit yang penularannya melalui perantaraan makanan (food-

borne diseases) atau pun vektor (vector-borne diseases).33

Idealnya, pestisida mempunyai efek toksik hanya pada organisme

targetnya, yaitu hama. Namun, pada kenyataannya, sebagian

besar bahan aktif yang digunakan sebagai pestisida tidak cukup

spesifik toksisitasnya, sehingga berdampak negatif terhadap

kesehatan (manusia).34 Sampai saat ini, terdapat sekitar 20.000

jenis produk pestisida dengan sekitar 900 jenis bahan aktif yang

telah terdaftar, dengan tujuan pemakaian sebagai insektisida,

mitisida, herbisida, rodentisida, nematosida, fungisida, fumigan,


8

pengawet kayu, dan pengatur pertumbuhan tanaman (plant growth

regulator) (Purba, 2009).

Insektisida merupakan kelompok pestisida yang terbesar

dan berfungsi sebagai pembunuh serangga. Insektisida memiliki

beberapa sub kelompok kimiayang berbeda diantaranya

organoklorin, organofosfat, karbamat, dan piretiroid. Organoklorin

merupakan insektisida chlori- nated hydrocarbon secara kimiawi

ter- golong insektisida yang relatif stabil dan kurang reaktif,

ditandai dengan dampak residunya yang lama terurai di

lingkungan. Salah satu insektisida organoklorin yang terkenal

adalah DDT. Pestisida ini telah menimbulkan banyak perdebatan.

Kelompok organoklorin merupakan racun terhadap susunan syaraf

baik pada serangga maupun mamalia. Keracunan dapat bersifat

akut atau kronis. Keracunan kronis bersifat karsinogenik (kanker).

Insektisida organoklorin bekerja dengan merangsang sistem syaraf

dan menyebabkan paratesia, peka terhadap rangsangan,

iritabilitas, terganggunya keseimbangan, tremor dan kejang-

kejang. Cara kerja zat ini tidak diketahui secara tepat. Beberapa

zat kimia ini bekerja pada sistem syaraf (Yuantari, 2011).

Organofosfat merupakan ester asam fosfat atau asam tiofosfat.

Pestisida ini umumnya merupakan racun pembasmi serangga

yang paling toksik secara akut terhadap binatang bertulang

belakang seperti ikan, burung, cicak dan mamalia. Pestisida ini

mempunyai efek, memblokade memblokade penyaluran impuls


9

syaraf dengan cara mengikat enzim asetilkolin-esterase.

Keracunan kronis pestisida golongan organofosfat berpotensi

karsinogenik. Organofosfat bekerja menghambat enzim

asetilkolinesterase (AChE) yang mengakibatkan akumulasi

asetilkolin (ACh). Asetilkolin yang ditimbun dalam Sistem Syaraf

Pusat (SSP) akan menginduksi tremor, inkoordinasi, kejang-

kejang dan lain - lain. daya afinitas insektisida ini mampu

mengikat enzim AChE sehingga aset-ilkolin sebagai penghantar

impuls rang- sangan dari pre ke post sinaps (neurotransmitter)

kerjanya lebih berat karena tidak dapat dipecah oleh enzim AchE.

Beberapa organofosfat larut dalam air, mengakibatkan keracunan

sistemik pada serangga dan mamalia. Golongan organofosfat

hambatannya relatif stabil sehingga lebih berbahaya (Astuti and

Juliawati, 2010). Karbamat merupakan ester asam N-

metilkarbamat. Bekerja menghambat asetilkolinesterase. Tetapi

pengaruhnya terhadap enzim tersebut tidak berlangsung lama,

karena prosesnya cepat reversibel. Kalau timbul gejala, gejala itu

tidak bertahan lama dan cepat kembali normal. Pada umumnya,

pestisida kelompok ini dapat bertahan dalam tubuh antara 1

sampai 24 jam sehingga cepat diekskresikan. Piretroid dan yang

berasal dari tanaman lainnya Piretroid berasal dari piretrum

diperoleh dari bunga Chrysanthemum cinerariaefo- lium.

Insektisida tanaman lain adalah nikotin yang sangat toksik secara

akut dan bekerja pada susunan saraf. Piretrum mempunyai


10

toksisitas rendah pada manusia tetapi dapat menimbulkan alergi

pada orang yang peka.(Astuti and Juliawati, 2010)

a. Pintu Masuk Pestisida ke dalam Tubuh Manusia

Menurut Purba (2009) pestisida dapat masuk ke dalam tubuh

manusia melalui berbagai rute, antara lain :

1) Kontaminasi Lewat Kulit (Dermal Contamination)

Pestisida yang menempel di permukaan kulit dapat

meresap ke dalam tubuh dan menimbulkan keracunan.

Kejadian kontaminasi pestisida lewat kulit merupakan

kontaminasi yang paling sering terjadi. Lebih dari 90 %

dari kasus keracunan di seluruh dunia disebabkan oleh

kontaminasi lewat kulit.

2) Terhisap Lewat Hidung

Keracunan pestisida karena partikel pestisida terhisap

lewat hidung merupakan yang terbanyak kedua sesudah

kontaminasi kulit. Gas dan partikel semprotan yang sangat

halus (misalnya, kabut asap dari fogging) dapat masuk ke

paru-paru, sedangkan partikel yang lebih besar akan

menempel di selaput lendir hidung atau di kerongkongan.

Bahaya penghirupan pestisida lewat saluran pernafasan

juga dipengaruhi oleh LD50 pestisida yang terhisap dan

ukuran partikel dan bentuk fisik pestisida.

Pestisida yang berbentuk gas mudah masuk ke dalam

paru-paru dan sangat berbahaya. Partikel atau droplet


11

yang berukuran kurang dari 10 mikron dapat mencapai

paru-paru, namun droplet yang berukuran lebih dari 50

mikron mungkin tidak mencapai paru-paru, tetapi dapat

menimbulkan gangguan pada selaput lendir hidung dan

kerongkongan. Gas beracun yang terhisap ditentukan oleh

konsentrasi gas di dalam ruangan atau di udara, lamanya

pemaparan, kondisi fisik seseorang (pengguna).

3) Pestisida Masuk ke dalam Sistem Pencernaan Makanan

Peristiwa keracunan lewat mulut dapat terjadi karena

kasus bunuh diri; Makan, minum, dan merokok ketika

bekerja dengan pestisida; Menyeka keringat di wajah

dengan tangan, lengan baju, atau sarung tangan yang

terkontaminasi pestisida; Drift pestisida terbawa angin

masuk ke mulut; Meniup nozzle yang tersumbat langsung

dengan mulut; Makanan dan minuman terkontaminasi

pestisida, misalnya diangkut atau disimpan dekat pestisida

yang bocor atau disimpan dalam bekas wadah atau

kemasan pestisida; Kecelakaan khusus, misalnya

pestisida disimpan dalam bekas wadah makanan atau

disimpan tanpa label sehingga salah ambil (dikira bukan

pestisida).

2. Fogging Fokus
12

Fogging fokus adalah kegiatan penyemprotan insektisida dan

PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) DBD (Demam Berdarah)

serta penyuluhan pada masyarakat sekitar kasus dengan radius

200 meter, dilaksanakan dua siklus interval satu oleh petugas.

Kegiatan ini merupakan salah satu upaya pengendalian vektor

yang bertujuan mencegah terjadinya KLB (Kejadia Luar Biasa)

dengan memutuskan rantai penularan di lokasi terjadinya kasus

DBD, yaitu di rumah penderita atau tersangka DBD dan lokasi

sekitarnya yang diperkirakan menjadi sumber penularan. Fogging

(pengabutan dengan insektisida) dilakukan bila hasil penyelidikan

epidemologi positif, yaitu ditentukan penderita atau tersangka DBD

lainnya, atau ditemukan tiga atau lebih penderita panas tanpa

sebab yang jelas dan ditemukan jentik. Sasaran (target) fogging

fokus dihitung berdasarkan jumlah fokus yang akan ditanggulangi (

1 fokus: 300 rumah atau 15 Ha) dalam satu tahun. Kegiatan ini

dilaksanakan oleh petugas puskesmas atau bekerjasama dengan

dinas kesehatan kabupaten atau kota. Petugas fogging adalah

petugas puskesmas atau petugas harian lepas terlatih.(Seno,

2012).

Petugas Fogging adalah salah satu Tenaga Pelaksana Aplikasi

insektisida yang mempunyai keterampilan dan penanganan dalam

bidang fogging (Pengasapan) untuk pengendalian vector penyakit

yang ditularan melalui nyamuk. Kompetensi yang diperlukan oleh

tenaga pelaksana aplikasi insektisida yaitu memiliki pengetahuan


13

tentang vektor dan binatang pengganggu (minimal general),

pemilihan alat dan bahan sesuai kebutuhan, keterampilan

menggunakan peralatan pengendalian vektor sesuai prosedur,

keterampilan melakukan penyemprotan (penyemprotan residu,

space spraying), pemahaman tentang perlunya penggunaan

Perlengkapan Perlindungan Diri (PPD) yang standard dan

memenuhi syarat, Pengetahuan tentang insektisida d paling

penting yaitu keterampilan merawat peralatan. Tenaga pelaksana

pengendalian vektor selama melaksanakan tugasnya harus

menggunakan PPD (peralatan perlindungan diri) agar terhindar

dari bahaya keracunan insektisida, terutama wanita usia subur

(WUS) harus mendapatkan perhatian khusus karena pada jenis

insektisida tertentu dapat menimbulkan gangguan produksi

hormon tiroid. Tenaga pelaksana (semua yang terpapar dengan

insektisida) wajib melakukan pemeriksaan kesehatan minimal

setiap 6 bulan sekal (Dirjen P2PL, 2012).

Berikut adalah prosedur pelaksaan fogging focus menurut

Dikes Kab Lebak (2018) adalah Adanya laporan penderita DBD

dari Rumah Sakit/Puskesmas lalu petugas puskesmas melakukan

Penyelidikan Epidemiologi (PE) di lingkungan penderita DBD untuk

mengetahui adakah penderita DBD lainnya dan penderita demam

dalam kurun waktu 1 minggu sebelumnya. apabiladitemukan

penderita demam tanpa sebab yang jelas pada saat itu ditemukan

pemeriksaan di kulit dan dilakukan uji Tourniquet. Sebelum itu


14

dapat dilakukan pemeriksaan jentik pada tempat penampungan air

(TPA) dan tempat-tempat lain yang dapat menjadi tempat

perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypty baik didalam maupun

di luar rumah/bangunan pada radius 100 meter dari lokasi tepat

tinggal penderita. Hasil pemeriksan adanya penderita DBD lainnya

dan hasil pemeriksaan terhadap penderita demam (tersangka

DBD) dan pemeriksaan jentik dicatat dalam formulir PE dan

dilaporkan ke Dinas Kesehatan. Berdasarkan hasil PE dilakukan

penanggulangan focus, sebagai berikut : Bila ditemukan penderita

DBD lainnya (1 atau lebih) atau ditemukan 3 atau lebih tersangka

DBD dan ditemukan jentik (≥5%) dari rumah/bangunan yang

diperiksa, maka dilakukan penggerakan masyarakat dalam

Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) DBD, larvasidasi,

penyuluhan dan pengasapan dengan insektisida di rumah

penderita DBD dan rumah/bangunan sekitarnya dalam radius 200

meter dan apabila tidak ditemukan penderita lainnya tetapi

ditemukan jentik, maka dilakukan penggerakan masyarakat dalam

PSN DBD, larvasidasi dan penyuluhan dan apabila tidak

ditemukan penderita lainnya dan tidak ditemukan jentik, maka

dilakukan penyuluhan kepada masyarakat.

Menurut Buku Pedoman Insektisida (Pestisida) oleh (Dirjen

P2PL, 2012) Operasional fooging dengan mesin fogging yang diisi

insektisida malathion 96% EC perlu memperhatikan beberapa

syarat sebagai berikut: Sasaran fogging yaitu rumah/bangunan


15

dan halaman/ pekarangan sekitarnya dengan waktu operasional;

pagi hari atau sore (Ae. aegypt) dan malam hari (Anopheles atau

culex). Perlu diperhatikan fogging di dalam rumah; dimulai dari

ruangan yang paling belakang, jendela dan pintu ditutup kecuali

pintu depan untuk keluar masuk petugas lalu fogging di luar

rumah; tabung pengasap harus searah dengan arah angin, dan

petugas berjalan mundur. Penghuni rumah; selama rumah di fog

dengan sistem thermal, semua penghuni supaya berada diluar,

Setelah fog dalam ruangan menghilang baru para penghuni boleh

masuk kembali. (15-30 menit setelah fogging) dan juga binatang

peliharaan, makanan dan minuman; untuk menhindari hal-hal yang

tdak diinginkan, maka dianjurkan semua makanan, bahan

makanan dan tempat penampungan air minum agar ditutup. Dosis

Malathion yang digunakan yaitu 438 gram, a.i./ha atau larutan max

500 ml malathion 96%EC/Ha dengan konsentrasi 4,8% dalam

solar (1 liter Malathion 96% dilarutkan dalam 19 liter solar dan Out

put fog; 10 liter larutan Malathion 4,8% perjam. Kecepatan gerak

fogging; sepert orang berjalan biasa (2-3 km/jam) Temperatur

udara ideal; 18oC, maksimal 28oC.


16

3. Kadar Enzim Cholinesterase

Cholinesterase atau disebut enzim asetylCholinesterase adalah

suatu enzim yang terdapat didalam membran sel terminal syaraf

kolinergik juga pada membran lainnya, seperti dalam plasma

darah, sel plasenta yang berfungsi sebagai katalis untuk

menghidrolisis acetylcholine menjadi choline dan acetat.

Acetylcholine adalah suatu agen yang terdapat dalam fraksi ujung

syaraf dari sistem syaraf yang akan menghambat penyebaran

impuls dari neuron ke post ganglionik. Cholinesterase disintesis

didalam hati atau liver, terdapat dalam sinaps, plasma darah dan

sel darah merah. Sekurang- kurangnya ada 3 jenis Cholinesterase

utama, yaitu enzim Cholinesterase yang terdapat dalam sinaps,

Cholinesterase dalam plasma, dan Cholinesterase dalam sel

darah merah. Cholinesterse sel darah merah merupakan enzim

yang ditemukan dalam sistem syaraf, sedangkan Cholinesterase

plasma diproduksi didalam hati. Cholinesterase dalam darah

umumnya digunakan sebagai parameter keracunan pestisida,

karena cara ini lebih mudah dibandingkan pengukuran

Cholinesterase dalam sinaps (Nariyati, 2006).

a. Faktor-faktor yang mempengaruhi Aktivitas Enzim


Cholinesterase

Menurut Soewasti seperti yang ditulis dalam laporan

penelitian Purba 2009. mengatakan bahwa berdasarkan

berbagai penelitian yang pernah dijalankan, kepekaan manusia

terhadap zat beracun dipengaruhi oleh beberapa faktor antara


17

lain seperti keadaan gizi yang kurang baik, kesehatan atau

penyakit yang diderita , konsumsi obat-obatan seperti

myastenia graves, paralytic ileus, glaukoma, dan obat

physostigmin, prostigmin, umur, jenis kelamin, suhu lingkungan

tempat beraktivitas dengan paparan pestisida dan kebiasaan

merokok dapat mengakibatkan turunnya kadar kolineterase.

b. Mekanisme Penghambatan Kerja Enzim Cholinesterase

1) Farmakokinetik

Inhibitor kolinesterase diabsorbsi secara cepat dan

efektif melalui oral, inhalasi, mata, dan kulit. Setelah

diabsorbsi sebagian besar diekskresikan dalam urin,

hampir seluruhnya dalam bentuk metabolit. Metabolit dan

senyawa aslinya di dalam darah dan jaringan tubuh terikat

pada protein. Enzim-enzim hidrolik dan oksidatif terlibat

dalam metabolisme senyawa organofosfat dan karbamat.

Selang waktu antara absorbsi dengan ekskresi bervariasi

(Purba, 2009).

2) Farmakodinamik

Asetilkolin (Ach) adalah penghantar saraf yang

berada pada seluruh sistem saraf pusat (SSP), saraf

otonom (simpatik dan parasimpatik), dan sistem saraf

somatik. Asetilkolin bekerja pada ganglion simpatik dan

parasimpatik, reseptor parasimpatik, simpangan saraf otot,

penghantar sel-sel saraf dan medula kelenjar suprarenal.


18

Setelah masuk dalam tubuh, golongan organofosfat dan

karbamat akan mengikat enzim asetilkolinesterase (Ache),

sehingga Ache menjadi inaktif dan terjadi akumulasi

asetilkolin. Enzim tersebut secara normal menghidrolisis

asetilkolin menjadi asetat dan kolin. Pada saat enzim

dihambat, mengakibatkan jumlah asetilkolin meningkat dan

berikatan dengan reseptormuskarinik dan nikotinik pada

system saraf pusat dan perifer. Hal tersebut menyebabkan

timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada

seluruh bagian tubuh, Keadaan ini akan menimbulkan efek

yang luas. (Purba, 2009)

Sintesis dan pemecahan hidrolitik asetilkolin

digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.1. Pembentukan dan pemecahan


asetilkolin Organofosfat

Pembentukan dan pemecahan asetilkolin

Organofosfat menghambat aksi pseudokolinesterase

dalam plasma dan kolinesterase dalam sel darah merah

dan pada sinapsisnya. Penghambatan kerja enzim terjadi


19

karena organofosfat melakukan fosforilasi enzim tersebut

dalam bentuk komponen yang stabil. Potensiasi aktivitas

parasimpatik post-ganglionik, mengakibatkan kontraksi

pupil, stimulasi otot saluran cerna, stimulasi saliva dan

kelenjar keringat, kontraksi otot bronkial, kontraksi kandung

kemih, nodus sinus jantung dan nodus atrio-ventrikular

dihambat.

Mula-mula stimulasi disusul dengan depresi pada sel

sistem saraf pusat (SSP) sehingga menghambat pusat

pernafasan dan pusat kejang. Stimulasi dan blok yang

bervariasi pada ganglion dapat mengakibatkan tekanan

darah naik atau turun serta dilatasi atau miosis pupil.

Kematian disebabkan karena kegagalan pernafasan dan

blok jantung (Purba, 2009)

Pada pestisida golongan organofosfat dengan bahan

aktif 2,4- dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D), toksisitas

akut pada manusia dapat menyebabkan neurotoksik pada

paparan melalui inhalasi dan oral, serta timbulnya kudis

dan dermatitis pada kontak melalui kulit. Toksisitas kronik

pada manusia belum terlaporkan, namun toksisitas kronik

(non kanker) pada hewan uji melalui paparan oral dapat

menyebabkan penurunan kadar Hb, gangguan fungsi hati

dan kelainan pada ginjal. Golongan organofosfat dapat

dikelompokkan menjadi sebuah grup berdasarkan gejala


20

awal dan tanda-tanda yang mengikuti seperti anoreksia,

sakit kepala, pusing, cemas berlebihan, tremor pada mulut

dan kelopak mata, miosis, dan penurunan kemampuan

melihat. Tingkat paparan yang sedang menimbulkan gejala

dan tanda seperti keringat berlebihan, mual, air ludah

berlebih, lakrimasi, kram perut, muntah, denyut nadi

menurun, dan tremor otot. Tingkat paparan yang

berlebihan akan menimbulkan kesulitan pernafasan, diare,

edema paruparu, sianosis, kehilangan kontrol pada otot,

kejang, koma, dan hambatan pada jantung (Purba, 2009).

Efek keracunan pestisida organofosfat dan karbamat

pada sistem saraf pusat (SSP) termasuk pusing, ataksia,

dan kebingungan. Ada beberapa cara pada responden

kardiovaskular, yaitu penurunan tekanan darah dan

kelainan jantung serta hambatan pada jantung secara

kompleks dapat mungkin terjadi (Purba, 2009).

c. Metode Pemeriksaan Enzim Cholinesterase

1) Metode Konvensional

Menurut Soeprapto (1999) dalam Nariyati (2006)

untuk mengetahui sampai beberapa pestisida golongan

organofosfat dan karbamat yang terserap tubuh manusia ,

secara pasti sulit diukur walau dengan biopsi sekalipun. Hal

ini masalahnya pestisida tersebut tersebar di tiga tempat


21

yaitu plasma darah, sel darah merah dan synaps/jaringan

syaraf. Penentuan kadar pestisida tersebut yang diserap

tubuh hanya dapat diperiksa dengan cara tidak langsung,

yaitu dengan memeriksa aktivitas cholinesterase dalam

darah. Bagi tenaga lapangan (Kesehatan Masyarakat)

metode pemeriksaan kualitatif yang direkomendasikan

WHO ialah metode Tintometrik dari Edson. Metode ini

praktis, mudah dilaksanakan dan hasilnya dapat langsung

dibaca. Dasar pemeriksaan ini adalah sebagai berikut:

1) Enzim ChE yang terdapat dalam darah akan

melepaskan asam acetat dan cholin, apabila enzim

tersebut menghidrolisis Acetylcholine, sehingga darah

akan mengalami perubahan pH (derajat keasaman).

2) Bromo Thymol Blue (BTB) dan Acetylcholine Percholat

disiapkan. BTB dipakai sebagai indikator.

3) Darah yang akan diperiksa kadar Cholinesterasenya

diambil dari ujung jari dengan pipet mikro, kemudian

darah tersebut dicampur dengan indikator BTB dan

dibiarkan tercampur dalam waktu tertentu.

4) Perubahan pH dalam waktu tersebut adalah menjadi

ukuran aktivitas cholinesterase.

5) Untuk mengetahui perubahan pH campuran darah +

BTB tersebut, warna larutan dibandingkan (disamakan)

dengan warna comparator disk (menunjukkan angka


22

dalam %). Oleh karena pestisida golongan organofosfat

dan karbamat paling tidak akan mengikat enzim

cholinesterase di tiga tempat (plasma, sel darah merah

dan synapse), tentunya untuk menentukan aktivitas

enzim cholinesterase harus pula diperiksa tiga tempat

tersebut, namun kenyataanya sulit mengukur aktivitas

enzim cholinesterase yang terdapat di dalam synapse.

Atas kesepakatan para ahli, pada umumnya aktivitas

cholinesterase dalam darah dianggap dapat dipakai

sebagai parameter keracunan atau indikator keracunan

pestisida. Oleh karena itu kita telah mempunyai

indikator keracunan pemantauan (monitoring) biologis

pada pekerja orang – orang yang mempunyai risiko

tinggi keracunan pestisida perlu diperiksa setelah

bekerja berat dengan pestisida atau secara berkala dan

kontinju agar diketahui penurunan aktivitas

cholinesterase, sebab gejala peringatan awal

keracunan tidak khas dan tiba – tiba timbul gejala

namun sudah terlambat, keracunan berat telah terjadi.

Diketahui bahwa terjadinya keracunan berat setelah

aktivitas enzim cholinesterase tinggal lebih kurang 30% dari

normal. Tanda – tanda keracunan memang ada tetapi tidak

khas, umpamanya antara lain selera makan menurun,

terasa ingin muntah , berkeringat banyak, sakit kepala dan


23

rasa lemah. Apabila tanda – tanda tersebut diikuti oleh

kesulitan pernafasan dan gangguan penglihatan, sudah

dapat diduga keracunan pestisida. Dari hasil pemeriksaan

aktivitas cholinesterase dalam darah dapat disimpulkan

sebagai berikut

a) Apabila ditemukan 100% - 75% dari normal,

pekerja/orang pemakai pestisida yang terpapar masih

diperkenankan bekerja terus.

b) Bila aktivitas cholinesterase berada dalam 75% - 50%

dari normal, pekerja tersebut mungkin mengalami

keracunan dan pemeriksaan diulangi. Kalau hasilnya

tetap seperti semula , sebaiknya istirahat 2 minggu,

kemudian diulangi lagi. Biasanya akan membaik bila

dijauhkan dari pestisida.

c) Apabila aktivitas cholinesterase berada dalam 50% -

25% dari normal, menujukkan keracunan cukup gawat

dan dilarang terpapar pestisida macam apapun, selang

2 minggu diperiksa lagi dan sebaiknya dalam

pengawasan dokter.

d) Bila cholinesterase hanya 25% - 0% dari normal,

termasuk keracunan berat dan terancam kematian,

mutlak dibawah pengawasan dokter.

2) Metode Spektrofotometri
24

Pemeriksaan enzim cholinesterase metode

spektrofotometri dengan prinsip Kinetik-DGKC dengan

tujuan untuk mengetahui aktivitas enzim Cholinesterase

dalam serum yang diperiksa. Reaksi yang terjadi yaitu

Butyrylthiocholine + H2O cholinesterase menjadi

Thiocholine + butyrate menjadi 2 thiocholine + 2 [ Fe

(CN)6 ]3- + H2O menjadi choline + 2 [ Fe (CN) 6 ]4- +

H2O yang diukur sesuai dengan panjang gelombang dan

setara dengan kadar enzim cholinesterase pada serum

tersebut (Joyce Lefever Kee, 2007)


25

B. Kerangka Konsep

Kimia

Pestisida Pestisida Pestisida


Golongan Golongan Golongan
Organoklorin Organophospat Karbamat

Kadar Enzim
Cholinesterase
Petugas Fogging

Keterangan:

: variabel yang diteliti

: variabel yang tidak diteliti

: mempengaruhi

: bagian
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian


1. Tempat Penelitian
Penelitian akan dilakukan di Laboratorium Dinas Kesehatan Kota

Mataram

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dari bulan Februari 2019 sampai Juni 2019.

B. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini menggunakan penelitian Deskriptif.

Rancangan ini digunakan untuk menerangkan atau menggambarkan

masalah penelitian yang terjadi berdasarkan karakteristik tempat dan

waktu. Pada penelitian ini akan menerangkan atau menggambarkan kadar

enzim cholinesterase pada petugas fogging Dinas Kesehatan Kota

Mataram (Hidayat, 2014).

C. Besar Sampel

1. Populasi Dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah semua Petugas Fogging Kota

Mataram dengan total populasi dalam penelitian ini adalah 16 orang

yang sekaligus menjadi sampel pada penelitian ini.

26
27

2. Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

sampling jenuh yaitu teknik dengan mengambil semua anggota

populasi menjadi sampel. Jumlah populasi yang sekaligus menjadi

sampel adalah 16 sampel(Hidayat, 2014).

D. Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas : Pestisida Organophospat

2. Variabel Terikat : Kadar Enzim Cholinesterase pada Petugas Fogging

Kota Mataram

E. Definisi Operasional

1. Kadar Enzim Cholinesterase adalah kadar enzim cholinesterase yang

diperiksa menggunakan metode tintometri pada petugas fogging

Dinas Kesehatan Mataram

2. Petugas fogging adalah petugas yang diberi tugas melakukan fogging

pada saat terjadi kasus DBD di wilayah kerja di Dinas Kesehatan Kota

Mataram.

F. Jenis Data dan Skala Data

1. Data dari variabel bebas berupa kadar enzim cholinesterase maka

jenis datanya adalah data primer dengan skala data nominal.


28

2. Data dari variabel terikat berupa Petugas Fogging, maka jenis datanya

adalah data primer dengan skala data nominal.

G. Alur Kerja Penelitian

Alat dan bahan

Pengambilan
sampel darah
kapiler Petugas
Fogging

Pengukuran
Persentase enzim
Cholinesterase

Pengumpulan dan
pengolahan data

Analisa Data

Kesimpulan
29

H. Cara Pengumpulan Data

1. Alat, Bahan, dan Sampel Penelitian

a. Alat

1) Kuvet

2) Clinipet 20 µl, 250 µl, 1000 µl

3) Tip putih, tip kuning dan tip biru

4) Spektrofotometer

5) Tissue

b. Reagensia

R1 Pyrophospate : 95 mmol/L
Potasium hexacyanoferate : 2,5 mmol/L
R2 Butyrylthiochdine : 7,5 mmol/L

c. Sampel

Sampel yang digunakan adalah serum.

2. Prosedur Kerja

a. Pengumpulan Data Primer

Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara pemeriksaan

langsung pada masing-masing variabel, antara lain (Purba, 2009)

Pengukuran aktivitas kolinesterase darah untuk menentukan

kadar kolinesterase
30

a) Cara Kerja

(1) Masukkan kedalam tabung reaksi

Blanko Pemeriksaan
Aquadest 20 µl -
Serum - 20 µl
R1 1000 µl 1000

(2) Dicampur, diinkubasi 3 menit, kemudian ditambah

R2 250 µl 250 µl

(3) Dicampur, dibaca absorbans setelah 2 menit,

pembiasan pada menit ke 1, 2, dan 3, pada panjang

gelombang 405 nm.

(4) Nilai Normal : 5.320 – 12.920

(5) Catatan :

 Pada saat mencampur serum dengan reagen,

harus tercampur sempurna karena akan

mempengaruhi hasil pemeriksaan.

 Usahakan tidak ada gelembung dipermukaan

cairan, karena akan mempengaruhi hasil

pemeriksaan.

 Pegang kuvet bagian atas, bukan bagian bawah

karena warna yang diabsorpsi oleh

spektrofotometer adalah bagian bawah juga saat


31

memasukkan kedalam spektrofotometer dilap

dengan tissu.

b. Pengumpulan Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari data monografi kecamatan,

Puskesmas, dan dinas kesehatan.

I. Cara Pengolahan Data dan Analisa Data

1. Cara Pengolahan

Data diperoleh dari pengukuran enzim cholineterase pada

petugas fogging di Dinas Kesehatan Kota Mataram

Hasil ditampilkan pada tabel berikut :

Tabel 3.1 Hasil Pengukuran Enzim Cholineterase Pada Petugas


Fogging

No Kode Sampel Konsentrasi Ket

1 S1
2 S2

3 S3

4 S4

Dst.

2. Analisa Data
Untuk mengetahui ada tidaknya gambaran kadar cholinesterase

pada petugas fogging, dilakukan perhitungan persentase terhadap


32

keadaan petugas fogging setelah diukur kadar enzim

cholinesterasenya dengan rumus (Sugiyono, 2012) :

P = F x 100%
N

Ket :
P = Persentase

F = Jumlah Pasien

N = Jumlah Responden keseluruhan


33

DAFTAR PUSTAKA

Anam, H. et al. (2015a) ‘Kadar Enzim Kholinesterase Darah Petani


Terpapar Pestisida Yang Diberikan Rimpang Temulawak ( Curcuma
xanthorrhiza Roxb )’, Jurnal Kesehatan Prima, 9(2), pp. 1546–1558.
Anam, H. et al. (2015b) ‘Kadar Enzim Kholinesterase Darah Petani
Terpapar Pestisida Yang Diberikan Rimpang Temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb)’, Jurnal Kesehatan Prima, 9(2), pp. 1546–1558.
Astuti, E. P. and Juliawati, R. (2010) ‘Toksisitas Insektisida Organofosfat
Dan Karbamat Terhadap Nyamuk Aedes aegypti’, Aspirator, 2(2), pp.
77–83.
Dirjen P2PL (2012) Pedoma Penggunaan Insektisida (Pestisida) dalam
Pengendalian Vektor. Jakarta: Kemenkes RI.
Hidayat, A. A. A. (2014) Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis
Data : Contoh Aplikasi Studi Kasus. Jakarta: Salemba Medika.
Joyce Lefever Kee (2007) Pedoman Pemeriksaan Laboratorium &
Diagnostik. Jakarta: EGC.
Kementerian Kesehatan RI (2018) Profil Kesehatan Indonesia 2017.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Nariyati, N. G. M. A. (2006) Hubungan Pengetahuan, Pemakaian Alat
Pelindung Diri Dan Lama Pemaparan Pestisida Terhadap Aktivitas
Cholinesterase Darah Petugas Pemberantas Hama Tahun 2006.
Surabaya: Universitas Airlangga.
Purba, I. G. (2009) Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Kadar Kolinesterase pada Perempuan Usia Subur di Daerah
Perrtanian. Semarang: Universitas Dipenegoro Semarang.
Raini, M. (2007) ‘Toksikologi Pestisida dan Penanganan Akibat Keracunan
Pestisida’, Media Litbang Kesehatan, XVII(3), pp. 10–18.
Republik Indonesia (2007) Peraturan Menteri Pertanian No. 07 Tahun
2007 tentang Syarat da Tatacara Pendaftaran Pestisida. Jakarta:
Sekretariat Negara.
Sartono (2001) Racun dan Keracunan. Jakarta: Widiya Medika.
Seno, R. H. (2012) Implementasi Kebijakan Pengendalian Penyakit
Demam Berdarah Dengue Di DKI Jakarta. Depok: Universitas
Indonesia.
Sugiyono (2012) Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
34

Yuantari, M. C. (2011) ‘Dampak Pestisida Organoklorin Terhadap


Kesehatan Manusia Dan Lingkungan Serta Penanggulangannya’,
Prosiding Seminar Nasional, 1(April), pp. 187–199.
Yuliyanti, Z. (2011) Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan
Permintaan Fogging Focus Di Kelurahan Panggung Kecamatan
Tegal Timur Kota Tegal Tahun 2010. Semarang: Universitas Negeri
Semarang.

Anda mungkin juga menyukai