Anda di halaman 1dari 8

PARLEMEN DAN DEMOKRATISASI: PERAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM

TRANSISI DEMOKRASI DI INDONESIA

Yuwanto

Abstract

The end of the authoritarian Suharto’s Orde Baru marked a crucial turning point not
only for the country, but for the parliament as well. Indonesia’s parliament has been both
subject as well as object of the transition process. A subject because it was actively involved
in the regime change and the establishment of a more democratic order, and an object
because the composition, status and fuctions of this institution were part of the deals in the
debates on constitutional and legal change. Therefore, this article argued, against the
theoritical mainstream, that the institution of parliament is important during the period of
democratic transition.

Keywords: democratization, transition of democracy, parliament

A. PENDAHULUAN
Sejak akhir 1960an, Indonesia adalah mencalonkan diri sebagai presiden. MPR
negara yang paling stabil di Asia Tenggara. juga membuat sejarah ketika pada Juni
Di bawah pemerintahan Presiden Suharto 2001 memakzulkan Presiden Abdurrahman
dan rezim Orde Baru yang dibangunnya, Wahid, pengganti Presiden Habibie. Ia
Indonesia mengalami perkembangan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri,
ekonomi dan peningkatan kemakmuran presiden yang menyadari terjadinya
yang sangat mengesankan. Perkembangan pergeseran dan penguatan lembaga
positif tersebut patut disayangkan harus perwakilan rakyat.
disertai meluasnya penindasan politik dan Indonesia mengalami perubahaan
pelanggaran HAM yang efektif dan pergolakan besar dalam waktu singkat.
membungkam perbedaan pendapat dan Dua lembaga negara, MPR dan DPR, tidak
aspirasi demokrasi (Schwarz, 1994: 249). hanya aktif terlibat namun juga menjadi
Pada 1997, krisis ekonomi yang simbol bagi perubahan politik yang terjadi
melanda Asia mulai mengguncang fondasi antara 1998-2004. Julukan legislatif
rezim otoriter Suharto, sekaligus (parlemen) sebagai “setempel pemerintah”
mendorong keberanian pihak-pihak pada masa Orde Baru (Djiwandono, 1995:
prodemokrasi untuk mulai secara terbuka 23) tidak lagi dikenal; berubah menjadi
memertanyakan legitimasi rezim tersebut. legislatif yang kuat (superbody).
Meskipun demikian, pada 10 Maret 1998 Perubahan peran parlemen Indonesia
Presiden Suharto secara aklamasi terpilih harus dilihat dalam kerangka perubahan
kembali ke-7 kali untuk masa jabatan 5 rezim politik dan transisi demokrasi. Rezim
tahun oleh MPR diiringi puja-puji sebagai Orde Baru Presiden Suharto telah diganti
“pemimpin yang dicintai rakyat” namun oleh sistem politik yang lebih demokratis.
hanya bertahan dua bulan hingga Keruntuhan rezim otoriter dan dimulainya
pengunduran dirinya pada 21 Mei 1998 dan demokratisasi kehidupan politik di Indonesia
digantikan Presiden Habibie. seharusnya dipandang sebagai suatu
Satu setengah tahun pemerintahan “kombinasi antara mobilisasi kekuatan
Presiden Habibie sangat berkebalikan rakyat dan retaknya elit penguasa”
dengan masa Orde Baru. Tidak hanya kritik (Aspinall, 1999: 130). Mobilisasi merujuk
keras, tetapi cemoohan dan keraguan pada rangkaian demonstrasi mahasiswa
terhadap kapabilitas pemerintah untuk dan rakyat yang secara masif turun ke jalan;
mengawal dan mewujudkan agenda sedangkan keretakan elit penguasa terjadi
reformasi terus menjadi wacana sehari-hari. ketika tuntutan demokratisasi menguat
Bahkan laporan pertanggungjawaban dalam bentuk negosiasi dan kesepakatan
Presiden Habibie ditolak oleh MPR untuk mewujudkan agenda reformasi antara
sehingga menutup pintu baginya untuk

Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Vol 2, No. 2, Maret 2016


43
elit yang memerintah dan kalangan mengarah pada peran parlemen nasional;
reformis. tetapi pada aspek-aspek lain seperti aspek
Berbagai langkah dan tindakan yang krisis ekonomi dan dampaknya terhadap
menentukan dalam proses demokratisasi transisi demokrasi (Aspinall 1999; Bourchier
tersebut sesungguhnya tidak hanya 2000; Suryadinata 2002; King 2003).
dijalankan oleh para aktor dan kelompok Barangkali parlemen terabaikan karena
masyarakat, tetapi juga oleh institusi- para peneliti dan masyarakat umum
institusi politik seperti legislatif (parlemen). menganggap perannya tidak jelas dan
Perubahan-perubahan dalam berbagai kurang menarik (King, 2003: 3). Berbeda
institusi yang mengarah pada tatakelola dan dari arus utama literatur tersebut, tulisan ini
keterwakilan yang lebih demokratis bermaksud menunjukkan bahwa parlemen
sangatlah penting bagi proses transisi Indonesia memiliki peran penting dalam
demokrasi di Indonesia. Salah satu institusi keseluruhan tahap demokratisasi, termasuk
yang sangat penting karena mengemban transisi demokrasi.
amanat rakyat yang baru saja memenangi
kedaulatannya kembali adalah parlemen. B. PEMBAHASAN
Selama proses transisi demokrasi, B.1. Peran Parlemen di Penghujung
parlemen bisa menjadi agen perubahan Rezim Orde Baru
yang kuat atau penghalang yang Parlemen hasil pemilu 1997
menentukan cara dan hasil reformasi mengawali masa jabatan bersamaan mulai
(Djiwandono, 1995: 22). terjadinya krisis moneter di Asia. DPR masih
Dalam konteks pentingnya potensi meneruskan “tradisi” pendirian dan sikap
peran parlemen tersebut, tulisan ini sebagai institusi yang tunduk sepenuhnya
berusaha memaparkan bermacam peran pada presiden. Format politik yang
parlemen dalam berbagai tahap proses dikembangkan di parlemen masih tetap
demokratisasi di Indonesia. Dapat mengarah pada penguatan kekuasaan
ditunjukkan bahwa parlemen di akhir rezim presiden. Konservatisme ini berasal dari
Orde Baru tidak melulu sebagai “setempel keyakinan kuat para legislator bahwa sistem
pemerintah” serta mengapa dan bagaimana politik Orde Baru yang bertumpu pada
parlemen berkembang menjadi semacam kekuasaan absolut presiden ternyata
superbody, meskipun tentu masih memiliki membawa keberhasilan (Fatwa, 2003: 56).
berbagai kekurangan. Seiring merebak dan mendalamnya
Dalam sebagian besar teori transisi krisis ekonomi, perlahan mulai terjadi
demokrasi, sebenarnya fokus utama perubahan sikap di kalangan parlemen.
bukanlah parlemen; melainkan fokus pada Berbagai kritik terus disuarakan dan
aktor-aktor utama yang lain seperti dialamatkan kepada Suharto, khususnya
kelompok kepentingan (interest groups) dan perihal pembatasan masa jabatan presiden;
partai politik. Salah satu alasan meskipun ditentang oleh sebagian
terabaikannya peran parlemen dalam pendukung Suharto, termasuk Golkar.
proses demokratisasi ialah karena Tokoh oposisi seperti Amien Rais
keberadaan banyaknya aktor utama bersikukuh bahwa MPR tidak boleh
lainnya; khususnya pada saat sebelum dan membuat kesalahan kolektif para
segera setelah perubahan rezim. Aktor- pendahulu sebelum 1965 ketika menunjuk
aktor utama yang lain tersebut dipandang Soekarno sebagai presiden seumur hidup
lebih menentukan, sementara parlemen (van Dijk, 2001: 60). Meskipun demikian,
dianggap hanya penting pada tahap hingga 2 bulan pertama 1998, perbedaan
konsolidasi demokrasi (Ruland et al, 2005: pendapat dengan Suharto belum tampak
41). Pada saat sebelum perubahan rezim, jelas. Ketua DPR Harmoko pada 10
fokus utama adalah gerakan massa, Februari 1998 bahkan menyatakan bahwa
politisasi masyarakat sipil dan kelompok- semua 500 legislator mendukung langkah-
kelompok di luar parlemen (O’Donnel & langkah kebijakan moneter Suharto untuk
Schmitter, 1986: 53). menstabilkan nilai tukar rupiah. Namun di
Kecenderungan fokus tersebut juga awal Maret 1998, bersamaan memburuknya
terlihat pada kajian proses transisi krisis ekonomi dan menguatnya sikap anti-
demokrasi di Indonesia yang tidak Suharto yang diwujudkan dalam berbagai

Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Vol 2, No. 2, Maret 2016


44
demonstrasi mahasiswa, kalangan keutuhan bangsa, pimpinan DPR meminta
parlemen semakin kritis terhadap presiden dengan bijaksana untuk
pemerintah dan kebijakannya yang otoriter. mengundurkan diri. Keputusan sangat
Selama sidang umum MPR pada penting yang disepakati dalam waktu
Maret 1998, PPP dan PDI menuntut singkat tersebut diyakini sudah melalui
pencabutan sejumlah pembatasan yang proses pembahasan yang mendalam
mencirikan sistem politik waktu itu. Mereka (Irawan, 2002: 40).
meminta ijin untuk membentuk Di dalam tubuh Golkar juga terjadi
kepengurusan partai pada tingkat desa dinamika luar biasa dalam merespon
yang sebelumnya terhalang oleh kebijakan pernyataan Ketua DPR sekaligus Ketua
“massa mengambang”, selain tuntutan agar Umum Golkar tersebut. Malam hari 18 Mei
partai politik diikutsertakan dalam 1998 DPP Golkar mengadakan rapat
organisasi penyelenggara pemilu. Baik pimpinan yang diwarnai pro-kontra;
Ketua PDI Soerjadi dan Ketua PPP Ismail dilanjutkan hari berikutnya Rapat Pleno
Hasan Metareum juga mengkritik isi pidato Fraksi yang dipimpin oleh Slamet Effendy
Presiden Suharto yang tidak menyinggung Yusuf yang menggambarkan perdebatan
pentingnya pembaruan politik serta tidak hanya antara pihak “garis keras” dan
berbagai persoalan korupsi dan monopoli “garis lunak” tetapi muncul kelompok ketiga
bisnis (Eklof, 2003: 286). yang lebih mengutamakan sikap “tunggu
Pada 29 April 1998, 5 pimpinan DPR dan lihat” (Yusuf, 2000: 124). Pada
mengunjungi Presiden Suharto untuk akhirnya, pertama dalam sejarah Golkar,
memberi tahu bahwa pertama kali sejak tidak tercapai mufakat sehingga dilakukan
berdiri, parlemen akan menggunakan hak pemungutan suara untuk menentukan siapa
inisiatif untuk mengajukan 3 RUU yaitu yang mendukung Harmoko (meminta
tentang monopoli, perlindungan konsumen Suharto mundur) dan siapa yang tidak.
dan urusan haji. Ketua DPR Harmoko juga Hasilnya 160 suara mendukung pernyataan
merespon usulan PPP dan PDI untuk Harmoko dan 125 suara menolaknya.
merevisi 5 UU Politik dan UU Anti-Subversi. Banyak pengamat menggambarkan
Para pengamat menilai inisiatif DPR yang berbagai peristiwa dramatis pada Mei 1998
belum pernah terjadi sebelumnya sebagai terjadi dalam rentetan tindakan yang sangat
“unjuk kemandirian” (van Dijk, 2001: 186) mengejutkan yang didasarkan pada reaksi
atau “awal mula berakhirnya peran sebagai jangka pendek para elit politik (O’Rourke,
institusi setempel pemerintah” (O’Rourke, 2002: 86); meskipun banyak pula yang
2002: 88). memandang runtuhnya rezim otoriter Orde
Pada 17 Mei 1998, ribuan aktivis baru terjadi secara evolusioner karena
politik, sebagian besar mahasiswa dari demokratisasi dalam derajat tertentu sudah
berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan dimulai di awal 1990an.
sekitarnya, secara damai menduduki
gedung DPR di Senayan dan mendesak B.2. Peran Parlemen di Masa
pimpinan DPR untuk meminta pengunduran Pemerintahan Habibie
diri Presiden Suharto. Pagi hari berikutnya Periode transisi demokrasi di
tokoh utama oposisi Amien Rais dan aktivis Indonesia dimulai sejak pengunduran diri
reformasi lainnya diundang berdiskusi Presiden Suharto pada 21 Mei 1998 (dan
dengan komisi DPR, dan akhirnya naiknya Wakil Presiden Habibie
mendapat dukungan dari para anggota menggantikannya) hingga terpilihnya
komisi tersebut. Amien Rais menyatakan Abdurrahman Wahid sebagai presiden baru
bahwa hari-hari Orde Baru akan segera pada 22 Oktober 1999. Habibie memangku
berakhir dan Suharto harus mundur segera. berbagai jabatan penting, termasuk menteri,
Peta politik secara keseluruhan telah selama lebih dari dua dasawarsa
berubah total namun diperlukan perubahan pemerintahan Orde Baru; dan dipilih
rezim dan reformasi damai tanpa sebagai wakil presiden oleh MPR pada
pertumpahan daerah (Fatwa, 2003: 63). Maret 1998. Ketiadaan dukungan
Siang hari itu, 18 Mei 1998, Ketua DPR masyarakat serta terbatasnya pengaruh di
Harmoko dalam konferensi pers dalam elit penguasa dan di kalangan
menyatakan bahwa demi persatuan dan oposisi, Presiden Habibie lebih banyak

Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Vol 2, No. 2, Maret 2016


45
dipandang sebagai pemimpin transisional dalam bernegara mulai pecah terurai.
yang tugas utamanya mengelola Ketidakpastian memang merupakan hal
kelancaran transisi dari rezim otoriter ke tipikal dalam tahap transisi demokrasi.
tertib politik yang lebih demokratis. Namun dari sisi peran parlemen, penulis
Penilaian atas kontribusi Presiden tetap berpandangan bahwa parlemen
Habibie bagi demokratisasi Indonesia pada memiliki peran penting dalam proses
umumnya bersifat mendua. Ada yang transisi demokrasi di Indonesia.
menilai positif karena “berhasil bertahan Pada intinya, parlemen mengalami
dan memimpin di tengah gejolak ekonomi perubahan mendasar dari aspek
dan politik, serta menempatkan berbagai pemenuhan fungsi-fungsi dan kinerja para
reformasi politik walaupun di bawah legislator. Dari institusi yang tidak terlalu
tekanan politik yang besar” (Bourchier, penting karena hanya berfungsi sebagai
2000: 31). Ada pula pengamat yang pendukung pemerintahan Orde baru,
menyatakan bahwa pemerintahan Habibie parlemen menjadi pusat perhatian dalam
terus memertahankan status quo politik perpolitikan nasional (Nainggolan, 2001:
karena tidak ada perubahan terhadap 322). Hubungan antara parlemen dan
berbagai institusi politik yang sudah ada dan pemerintah menjadi semakin kontroversial
berlindung di balik status quo tersebut agar karena muncul perlawanan terhadap
tidak tersingkir dari kekuasaan (Budiman, Presiden Habibie dan pemerintahannya dari
1999: 45). fraksi-fraksi di DPR, bahkan dari partainya
Dari sisi parlemen, setelah sendiri Golkar. Akibatnya, misalnya, MPR
pengunduran diri Presiden Suharto pada 21 menolak pidato pertanggungjawabannya
Mei 1998, DPR yang dihasilkan dari pemilu sekaligus penolakan atas rencana
1997 masih hampir sama seperti pada masa pencalonannya sebagai presiden.
Orde Baru sampai pemilu demokratis Hal menarik dalam kasus ini adalah
pertama pada Juni 1999. Bagi sebagian posisi Golkar yang sampai pemilu 1999
pengamat, parlemen di masa transisi memiliki majoritas anggota di DPR. Konflik
“masih mencerminkan oligarkhi lama dari internal Golkar terbukti berakibat langsung
keluarga besar Suharto dan sekitar 50 dan ikut memengaruhi bekerjanya
keluarga yang lain” (Aditjondro, 1999: 212). parlemen. Kontroversi berawal ketika
Legislator Dimyati Hartono Golkar mencalonkan Habibie dalam sidang
menggambarkan bahwa ketika Habibie umum MPR pada 1998. Ada unsur-unsur di
mulai memerintah, telah terjadi kekacauan dalam Golkar yang meyakini bahwa Habibie
di dalam parlemen. Aturan-aturan lama bukan pilihan yang tepat karena beberapa
tidak lagi bisa diterima dan aturan-aturan alasan; salah satu alasan terpenting karena
baru belum dibuat. Para politisi tidak ia masih identik dengan “orangnya
berkehendak mengembangkan bentuk Suharto”. Pencalonannya dikuatirkan akan
demokrasi yang lebih baik, melainkan menghalangi berbagai upaya Golkar untuk
hanya terdorong untuk memenuhi berbagai membangun citra baru yang ingin menarik
kepentingan pribadi. Mereka tidak memiliki jarak dari Suharto dan Orde Baru.
konsep yang jelas untuk melakukan Dewi Fortuna Anwar, penasihat
reformasi politik (Ziegenhain, 2008: 84). presiden pada waktu itu, melaporkan bahwa
Secara lebih luas, sistem politik di Habibie sebenarnya sudah mengambil
masa transisi ini secara keseluruhan prakarsa untuk menjalin hubungan yang
digambarkan menjadi rapuh dan kurang lebih baik dengan parlemen. Dalam satu
koheren dibandingkan era Suharto. minggu setelah dilantik, Habibie melakukan
Bourchier (2000: 16) menjelaskan bahwa kunjungan kepada para pimpinan DPR.
penyebab utamanya ialah warisan Langkah itu merupakan hal baru karena
kegagalan Suharto untuk menciptakan sebelumnya Presiden Suharto cukup
berbagai mekanisme tatakelola memanggil pimpinan DPR jika ia ingin
pemerintahan yang baik. Kekuasaan memberi mereka “petunjuk” berkaitan
mengalami personalisasi dan birokrasi tugas-tugas legislatif (Anwar, 1999: 39).
dipolitisasi sedemikian rupa sehingga ketika Tekanan berat dari parlemen dan
Suharto jatuh, keluasan jejaring patronase fraksi partainya sendiri Golkar, terus
yang membantu mengikat kebersamaan berlangsung ketika keterkaitannya dengan

Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Vol 2, No. 2, Maret 2016


46
skandal Bank Bali mencuat pada Juni-Juli Dalam pidato selama 1 jam Habibie
1999. Bank Bali memberi dana sekitar 550 menjelaskan berbagai alasan, termasuk
milyar rupiah kepada sejumlah petinggi alasan agar Indonesia segera bebas dari
Golkar untuk mendukung kampanye pemilu tekanan internasional, sekaligus meminta
mereka. DPR kemudian berencana DPR menghormati hasil referendum
memanggil Presiden Habibie untuk tersebut. Beberapa legislator seperti Ade
memberi kesaksian terkait penanganannya Komaruddin, Ferry Mursidan Baldan dan Ali
atas skandal tersebut. Di Komisi IX DPR Yahya yang semuanya dari Fraksi Golkar,
yang mengurusi APBN, Keuangan dan berusaha melakukan interupsi tetapi
Perbankan, sejumlah legislator Golkar diabaikan oleh pimpinan sidang pleno Wakil
bahkan mengancam akan mengeluarkan Ketua DPR Abdul Gafur. Sementara banyak
berbagai sanksi lebih lanjut terhadap legislator yang kecewa karena tidak diberi
Habibie. Di sisi lain, para petinggi Bank Bali kesempatan untuk bertanya, Abdul Gafur
yang terlibat juga mendapatkan serangan menilai positif pertemuan tersebut dan
keras, termasuk rapat-rapat dengan DPR menyatakan bahwa baru pertama kali
yang diliput dan disiarkan oleh televisi seorang presiden menjelaskan
nasional; sesuatu yang tak terbayangkan di kebijakannya kepada parlemen terkait
masa Orde Baru dan sekaligus menjadi sebuah isu serius.
cerminan kebebasan baru bagi media di Fungsi legislasi juga dijalankan oleh
Indonesia. Melalui Ketua Umum Golkar parlemen periode transisi ini. Pada bulan-
Akbar Tanjung, Presiden Habibie bulan setelah pengunduran diri Suharto,
memintanya mendisiplinkan legislator DPR sibuk menyiapkan kerangka aturan
Golkar yang “vokal”. Pada akhirnya hukum baru sebagai landasan juridis-formal
memang DPR memutuskan untuk tidak proses demokratisasi sistem politik
memanggil Habibie dan kasus tersebut juga Indonesia. Dalam hitungan hari setelah
hilang dari agenda. Kasus Bank Bali Presiden Habibie berkuasa, sebuah panitia
memerlihatkan kecenderungan bahwa yang diketuai oleh Ryaas Rasyid dibentuk
sementara ada kalangan legislator yang untuk menyiapkan 3 RUU tentang pemilu,
ingin melaksanakan fungsi pengawasan partai politik serta susunan dan kedudukan
terhadap eksekutif secara lebih sungguh- DPR/MPR. Ketiga RUU tersebut diajukan
sungguh; namun di sisi lain ada majoritas di ke DPR pada September 1998.
dalam DPR yang tetap mantap memberikan Dalam konteks ini perlu juga
dukungan bagi presiden. dipaparkan peristiwa 10-13 November
Fungsi pengawasan DPR juga 1998, yaitu sidang istimewa MPR di Jakarta.
diberlakukan untuk mengkritisi salah satu Majoritas anggotanya masih sama dengan
keputusan Presiden Habibie yang paling mereka yang mengikuti sidang istimewa
kontroversial, yaitu rencana Maret 1998, ketika secara aklamasi mereka
penyelenggaraan referendum rakyat memilih Suharto untuk masa jabatan ke-7.
Provinsi Timor Timur. Legislator dari Perlu juga ditekankan bahwa komposisi
kalangan nasionalis mengecam keras MPR pada November 1998 sebagian besar
keputusan itu; misalnya Sembiring Meliala terdiri dari anggota yang dipilih oleh
(PDI-P) yang menyatakan bahwa Habibie Suharto; namun kemudian berputar haluan
telah membuat keputusan fatal ketika melalui berbagai pernyataan politik mereka.
menawarkan referendum tersebut. Para pendukung dan pembela sistem
Keputusan yang dibuat tanpa konsultasi pemerintahan otoriter berubah menjadi
dengan DPR atau MPR dan memerlihatkan kaum demokrat yang terinspirasi oleh
penggunaan kekuasaan presiden sebelum bergulirnya era reformasi. MPR juga
amandemen konstitusi (Ziegenhain, 2008: menghasilkan berbagai ketetapan yang
92). menjadi landasan hukum bagi proses
Pada 21 September 1999, Presiden demokratisasi di Indonesia.
Habibie dipanggil untuk memberi
penjelasan di depan sidang pleno DPR atas B.3. Parlemen Antara 1997 dan 2004:
hasil referendum yang dimenangi oleh Perubahan dan Keberlanjutan
suara rakyat Timor Timur yang Berakhirnya rezim Orde Baru
menghendaki kemerdekaan dari Indonesia. menandai titik balik penting, tidak hanya

Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Vol 2, No. 2, Maret 2016


47
untuk bangsa dan negara Indonesia, tetapi pemerintah bisa dikeluarkan dari daftar
juga untuk parlemen sebagai institusi calon, pemilu yang dimanipulasi untuk
perwakilan politik. Sesudah setahun lebih kemenangan majoritas Golkar sebagai
transisi bersama parlemen Orde Baru, partai pemerintah, dan anggota parlemen
pemilu demokratis pertama diadakan pada yang bisa ditarik (recalling) jika dinilai tidak
Juni 1999 sekaligus secara simbolik loyal (Ziegenhain, 2008: 178).
menandai awal babak baru Setelah pemilu 1999, komposisi DPR
parlementarisme di Indonesia. berubah drastis dan parlemen bisa menjadi
Berbagai kerumitan dan persoalan sebuah “cermin” yang realistik dari peta dan
yang terjadi pada masa pemerintahan kontelasi politik Indonesia. Para pemimpin
Presiden Abdurrahman Wahid dan proses partai besar yang reformis -Abdurrahman
amandemen konstitusi mengakibatkan Wahid, Amien Rais dan Megawati
terjadinya konfrontasi antara parlemen dan Soekarnoputri- muncul dan menjadi
eksekutif yang berakhir dengan perluasan kekuatan utama di parlemen. Parlemen juga
masif kekuasaan parlemen. Pemakzulan menyediakan berbagai forum bagi semua
Presiden Abdurrahman Wahid kelompok sosial utama sehingga mereka
menghasilkan pemerintahan baru di bawah merasa tidak dikecualikan dalam proses
Presiden Megawati Soekarnoputri sejak reformasi politik, termasuk dalam proses
Juni 2001; sekaligus mendorong DPR untuk pembuatan kebijakan publik. Pandangan
merumuskan dan menegaskan kembali masyarakat terhadap DPR berangsur
perannya yang baru dalam sistem politik. meningkat positif; meskipun setelah
Setelah melewati masa nonkooperatif beberapa tahun mulai merosot negatif
selama pemerintahan Gus Dur, parlemen karena harapan mereka tidak terpenuhi.
berusaha menemukan bentuk baru Apalagi ketika mulai merebak kasus-kasus
kerjasama dengan pemerintah dan korupsi yang melibatkan anggota DPR,
mengembangkan keseimbangan yang lebih termasuk kompetensi, disiplin dan etos
baik antara legislatif dan eksekutif. Untuk kerja mereka yang mengecewakan publik.
mencapai keseimbangan itu, konstitusi Dari sisi fungsi pengawasan
perlu lebih lanjut diamandemen guna (oversight function), parlemen Orde Baru
mengatur kembali hubungan di antara tidak melaksanakan fungsi tersebut dengan
kedua lembaga negara tersebut, sehingga baik, sehingga DPR dijuluki sebagai
masing-masing dapat melaksanakan “setempel pemerintah.” Pada masa
berbagai fungsi dengan lebih baik. pemerintahan Presiden Habibie, fungsi
Berkait fungsi perwakilan pengawasan pada umumnya lebih baik
(representative function), parlemen daripada masa Orde Baru; meskipun tidak
Indonesia berubah sangat signifikan antara sebaik di masa-masa sesudahnya. Secara
1997 dan 2004. Gagasan perwakilan, dalam teoritis, parlemen harus bertindak sebagai
teori, mengharuskan parlemen bertindak pengawal kepentingan rakyat biasa
atas nama kepentingan dan pendapat berhadapan dengan pemerintah sebagai
sebagian besar konstituen mereka. Apabila pembuat kebijakan (the executive policy-
fungsi ini bisa dipenuhi dengan baik, maka maker).
parlemen akan memeroleh legitimasi di DPR hasil pemilu 1999 memandang
mata rakyat. Satu pertanyaan terkait fungsi sangat serius fungsi pengawasan yang
perwakilan ialah sampai tingkat apa harus mereka jalankan; bahkan kemudian
berbagai kelompok sosial dan politik utama ada yang menilai justru “kebablasan”
terwakili di dalam DPR. Parlemen di (overstretched). Pemakzulan Presiden
sepanjang Orde Baru tentu sulit dikatakan Abdurrahman Wahid adalah puncak dari
mewakili kepentingan rakyat Indonesia, gambaran proses panjang pelaksanaan
karena lebih berfungsi sebagai fungsi pengawasan tersebut. Oleh karena
kepanjangan tangan pemerintahan otoriter itu, untuk meminimalisir kemungkinan yang
yang berusaha melegitimasi kekuasaannya. sama, Presiden Megawati berupaya
Beberapa indikator bisa dikemukakan, menghindari konfrontasi langsung dengan
seperti: hanya 3 partai yang diijinkan dalam DPR; meskipun para legislator terus gigih
pemilu, semua partai dikontrol ketat oleh menemukan kesalahan dan penyimpangan
pemerintah, kandidat yang tidak diinginkan di dalam pemerintahannya. Apa yang

Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Vol 2, No. 2, Maret 2016


48
terkenal dengan skandal “asramagate” dan C. PENUTUP
“sukhoigate” merupakan contoh upaya Parlemen memainkan peran penting
keras parlemen untuk melaksanakan fungsi yang terus meningkat selama proses
pengawasan. Walaupun berkembang demokratisasi. Di tahap awal, perannya
dugaan bahwa kasus-kasus tersebut belum tampak tetapi mendekati senjakala
dieksploitasi untuk tujuan-tujuan politik, pemerintahan Presiden Suharto, parlemen
paling tidak mereka memerlihatkan semakin kritis dan dalam tingkat tertentu
pentingnya parlemen bersikap kritis memiliki andil terhadap pengunduran
terhadap pemerintah. dirinya. Jika dalam literatur teori transisi,
Dari sisi fungsi legislasi (legislative parlemen biasanya dipandang hanya
function), selama Orde Baru DPR tidak sebagai aktor di pinggiran; maka pada
berkesempatan memengaruhi proses kasus Indonesia parlemen memiliki peran
legislasi; tidak ada satupun RUU inisiatif penting bersama aktor-aktor lainnya.
DPR dan tidak ada perubahan signifikan Pergantian rezim disebabkan oleh banyak
yang diajukan DPR terhadap semua RUU faktor yang saling berinteraksi dan tidak
dari pemerintah. Berbeda dengan parlemen memberi pilihan kepada Presiden Suharto
hasil pemilu 1999 yang mulai sungguh- kecuali turun dari kekuasaan.
sungguh melaksanakan fungsi pembuatan Di bawah pemerintahan Presiden
undang-undang tersebut. Hal ini juga Habibie, parlemen mulai berusaha
berkait langsung dengan perluasan meningkatkan kewenangannya untuk
kewenangan dan peran DPR dalam proses mendapatkan pengaruh yang lebih besar
legislasi maupun dalam keseluruhan dalam sistem politik. Parlemen mengalami
beroperasinya sistem politik yang lebih perubahan mendasar dari aspek
demokratis. pemenuhan fungsi-fungsi dan kinerja para
Dalam keseluruhan perspektif legislator. Dari institusi yang tidak terlalu
perubahan dan kesinambungan, parlemen penting karena hanya berfungsi sebagai
memiliki potensi dampak yang besar pendukung pemerintahan Orde baru,
terhadap proses demokratisasi, termasuk parlemen menjadi pusat perhatian dalam
pada tahap awal transisi demokrasi. perpolitikan nasional. Bahkan setelah
Parlemen mempunyai kemampuan pemilu 1999, DPR berangsur menjadi
menghasilkan berbagai kesepakatan pada institusi sentral yang diandalkan untuk
banyak hal penting dalam atmosfir toleransi menuntaskan transisi demokrasi sekaligus
dan pluralisme; dimana semua pendapat meletakkan dasar bagi proses konsolidasi
dapat disuarakan serta kebebasan demokrasi.
berbicara dan berpikir diutamakan.

DAFTAR PUSTAKA
Aditjondro, George. 1999. “A New Regime, A More Consolidated Oligarchy, and a Deeply
Divided Anti-Suharto Movement”. Dalam The Fall of Suharto, diedit oleh Geoff
Forrester dan R.J. May, hlm. 211–18. Singapore: Select Books.
Anwar, Dewi Fortuna. 1999. “The Habibie Presidency”. Dalam Post-Soeharto Indonesia:
Renewal or Chaos?, diedit oleh Geoff Forrester, hlm. 33–47. Singapore: Institute of
Southeast Asian Studies.
Aspinall, Edward. 1999. “Opposition and Elite Conflict in the Fall of Suharto”. Dalam The Fall
of Suharto, diedited oleh Geoff Forrester dan R.J. May, hlm. 130–53. Singapore: Select
Books.
Bourchier, David. 2000. “Habibie’s Interregnum: Reformasi, Elections, Regionalism and the
Struggle for Power”. Dalam Indonesia in Transition: Social Aspects of Reformasi and
Crisis, diedit oleh Chris Manning dan Peter van Diermen, hlm. 15–38. Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies.
Budiman, Arief. 1999. “The 1998 Crisis: Change and Continuity in Indonesia”. Dalam
Reformasi Crisis and Change in Indonesia, diedit oleh Arief Budiman, Barbara Hatley
dan Damien Kingsbury, hlm. 41–58. Clayton: Monash Asia Institute.
Djiwandono, J. Soedjati. 1995. “Indonesia in 1994”. Asian Survey 35, no. 2 (February 1995),
hlm, 226–33.

Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Vol 2, No. 2, Maret 2016


49
Eklöf, Stefan. 2003. Power and Political Culture in Suharto’s Indonesia: The Indonesian
Democratic Party (PDI) and Decline of the New Order (1986–98). Copenhagen: NIAS
(Nordic Institute of Asian Studies) Press.
Fatwa, A.M. 2003. Dari Cipinang ke Senayan: Catatan Gerakan Reformasi dan Aktivitas
Legislatif hingga ST MPR 2002. Jakarta: Institute for Transformation Studies.
Irawan, Dedi. 1998. “Dampak Gerakan Reformasi terhadap Konflik Politik Internal Golongan
Karya (Periode 21 Mei 1998 20 Oktober 1999)”. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 3,
no. 6 (April 2002), hlm. 29–45.
King, Dwight Y. 2003. Half-hearted Reform. Electoral Institutions and the Struggle for
Democracy in Indonesia. Westport: Praeger Publishers.
Nainggolan, Poltak Partogi. 2001. “Parlemen dalam konteks sejarah 1959–1998”. Dalam
Panduan Parlemen Indonesia, diedit oleh Yayasan API, hlm. 299–324. Jakarta,
Yayasan API.
O’Donnell, Guillermo dan Philippe C. Schmitter. 1986. Transitions from Authoritarian Rule:
Tentative Conclusions about Uncertain Democracies. Baltimore/London: Johns
Hopkins University Pres.
O’Rourke, Kevin. 2002. Reformasi: The Struggle forPower in Post-Soeharto Indonesia. Crows
Nest: Allen & Unwin.
Rüland, Jürgen, Clemens Jürgenmeyer, Michael Nelson dan Patrick Ziegenhain. 2005.
Parliaments and Political Change in Asia. Singapore: Institute of Southeast Asian
Studies.
Schwarz, Adam. 1994. A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. St Leonards: Allen &
Unwin.
Suryadinata, Leo. 2002. Elections and Politics in Indonesia. Singapore: Institute of Southeast
Asian Studies.
Van Dijk, Kees. 2001. A Country in Despair: Indonesia between 1997 and 2000. Jakarta: KITLV
(Koningklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde) Press.
Yusuf, Slamet Effendy. 2002. “Dewan Perwakilan Rakyat dan Pengunduran Diri Presiden
Suharto.” Tesis Magister Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
Ziegenhain, Patrick. 2008. The Indonesian Parliament and Democratization. Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies.

Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Vol 2, No. 2, Maret 2016


50

Anda mungkin juga menyukai