Anda di halaman 1dari 41

BAB I PENDAHULUAN

1.1. UMUM
Penyelidikan tanah diperlukan untuk menentukan stratifikasi (pelapisan) tanah dan
karakteristik teknis tanah, sehingga perancangan dan konstruksi pondasi dapat
dilaksanakan dengan ekonomis. Biasanya informasi dari hasil penyelidikan tanah tidak
hanya digunakan untuk perancangan pondasi saja, melainkan untuk evaluasi dan
rekomendasi pekerjaan yang lain, seperti kestabilan galian dan cara dewatering. Dengan
demikian pihak kontraktor juga dapat menyiapkan peralatan yang sesuai dengan kondisi
tanah dan dapat memperkirakan biaya secara lebih terinci. Informasi mengenai pondasi
dari bangunan sekitar lokasi proyek, jalan, bangunan eksisting disekitarnya, fasilitas
tertanam (underground facilities), dan lain-lain perlu diperoleh sebelum proses
perancangan.
Karakteristik tanah pada suatu lokasi umumnya amat variabel dan dapat berbeda
drastis dalam jarak beberapa meter. Oleh sebab itu penyelidikan tanah harus dapat
mencakup informasi kondisi tanah sedekat mungkin dengan kenyataan untuk mengurangi
resiko akibat variasi tersebut, dan jumlahnya cukup untuk dapat merancang pondasi yang
mendekati kenyataan. Perencanaan pengujian tanah menjadi bagian dari explorasi tanah
dan perancangan pondasi.

1.2. TUJUAN PENYELIDIKAN TANAH


1. Untuk mendapatkan informasi mengenai pelapisan tanah dan batuan.
Dari stratifikasi tanah yang diperoleh, dapat diketahui kedalaman lapisan tanah keras
yang dapat dijadikan lapisan pendukung untuk pondasi, ketebalan tanah yang
kompresibel dan variasi kondisi tanah.
2. Untuk mendapatkan informasi mengenai kedalaman muka air tanah.
Pada bangunan yang mempunyai lantai basement diperlukan informasi mengenai tinggi
muka air tanah, agar dapat ditentukan besarnya tekanan pada basement baik tekanan
pada dinding basement maupun besarnya gaya angkat (uplift). Selain itu juga perlu di
pertimbangkan metoda konstruksi dan sistem dewatering.
3. Untuk mendapatkan informasi sifat-sifat fisis dan sifat-sifat mekanis tanah/batuan.
Sifat-sifat fisis tanah adalah karakteristik dari suatu material yang diperoleh secara
alami. Sifat-sifat mekanis tanah adalah respon material terhadap pembebanan. Sifat-
sifat fisis digunakan untuk klasifikasi tanah sedangkan sifat-sifat mekanis digunakan
untuk memperkirakan kemampuan tanah mendukung beban yang direncanakan dan
deformasi pada tanah.
4. Menentukan parameter tanah untuk analisis.
Dari informasi diatas, dapat diturunkan parameter tanah untuk analisis pondasi atau
untuk simulasi proses konstruksi. Dalam hal tertentu, perancangan pondasi dapat
dilakukan dengan menggunakan korelasi langsung berdasarkan hasil uji lapangan,
khususnya SPT dan CPT.

1.3. TAHAP PENYELIDIKAN TANAH DAN STUDI PONDASI

V.A. Assa

-1-
Umumnya penyelidikan tanah dapat dikategorikan atas "confirmatory" atau
"exploratory". Dimana kondisi tanah telah diketahui oleh pelaksana, maka kategori
confirmatory lebih menonjol dan sebaliknya pada daerah yang sama sekali baru maka
bersifat exploratory. Dalam hal yang kedua maka untuk penghematan sering dilakukan
penyelidikan pendahuluan dan kemudian baru dilakukan penyelidikan terinci. Informasi
lain yang penting dalam perancangan pondasi adalah elevasi dari muka air tanah.
Umumnya data ini diperoleh bersamaan dengan pelaksanaan penyelidikan tanah.
Tahapan penyelidikan tanah dan studi pondasi dapat mengikuti prosedur berikut ini:
1. Evaluasi dan Studi Kondisi Lapangan
Sebelum diadakan suatu penyelidikan tanah diperlukan informasi mengenai keadaan di
lapangan. Pengamatan mengenal topografi, vegetasi, bangunan yang telah ada, jalan
akses, dan lain-lain. Peninjauan seperti ini perlu dilakukan oleh seorang ahli geoteknik.
Informasi lain yang dapat dikumpulkan adalah kondisi geologi, kegempaan regional,
peraturan setempat, dan besarnya beban dari struktur. Informasi ini akan membantu
ahli geoteknik dalam memutuskan tahap penyelidikan selanjutnya.
2. Penyelidikan Tanah Awal
Pada tahap ini dilakukan pemboran dan uji lapangan dalam jumlah yang terbatas.
Gunanya adalah untuk merencanakan penyelidikan tanah selanjutnya. Tetapi pada
proyek dengan skala kecil, tahap ini ditiadakan. Penyelidikan tanah awal juga sering
digunakan untuk studi kelayakan.
3. Penyelidikan Tanah Terinci
Pada tahap ini, informasi mengenai keadaan tanah yang dibutuhkan untuk perancangan
dan konstruksi pondasi dalam dikumpulkan. Informasi ini harus mencukupi perencana
dan kontraktor untuk menentukan jenis, kedalaman, daya dukung pondasi dan untuk
mengantisipasi penurunan yang akan terjadi dan masalah yang mungkin timbul selama
konstruksi dan lain-lain.
Untuk itu pada tahap ini diperlukan sejumlah pemboran yang dilengkapi dengan SPT,
pengambilan sampel, sondir, pengamatan muka air tanah dan penyelidikan lapangan
yang lain. Faktor yang menentukan disini adalah skala proyek, kepentingan penyelidikan
tanah untuk perancangan dan konstruksi bangunan, ketersediaan dana, ketersediaan
waktu dan ketersediaan informasi dari sumber-sumber yang lain. Pada beberapa proyek
besar, beberapa kontraktor melakukan penyelidikan tanah tambahan untuk
memastikan bahwa konstruksi dapat dilaksanakan sesuai spesifikasi yang tertulis dalam
dokumen perencanaan. Analisis pondasi sebaiknya diikuti dengan pengujian pondasi di
lapangan.

1.4. JUMLAH DAN KEDALAMAN BOR


Jumlah dan kedalaman pemboran amat bergantung kepada kondisi di lapangan. Pada
kategori ‘confirmatory’, maka kedalaman pengujian pada umumnya, dapat ditetapkan
secara lebih pasti, tetapi pada kategori ‘exploratory’ maka kedalaman pemboran
ditentukan berdasarkan prinsip-prinsip umum dalam penyelidikan tanah.

V.A. Assa

-2-
Perencanaan penyelidikan tanah meliputi penentuan jumlah banyaknya titik bor,
kedalaman pemboran, jumlah sampel yang hendak diambil dan diuji di laboratorium,
jumlah test pit, pengamatan muka air tanah dan lain – lain. Biasanya, jika kondisi tanah
setempat diketahui dari laporan geologi atau pengujian terdahulu, jumlah pekerjaan
penyelidikan tanah dapat mengalami perubahan selama pelaksanaan di lapangan.
1. Jarak dan Jumlah Titik Bor
Bila kondisi tanah cukup homogen, maka jumlah titik bor dapat dikurangi. Tetapi bila
pelapisan tanah amat acak, maka sejumlah titik bor dibutuhkan untuk dapat
menggambarkan potongan melintang melalui titik-titik bor tersebut. Jumlah dan jarak
pemboran tergantung dari jenis struktur dan beberapa faktor lain.
Jarak antara titik bor untuk pekerjaan pondasi tiang pada abutment jembatan umumnya
dikonsentrasikan pada lokasi abutment. Untuk bangunan gedung bertingkat, pada
umumnya sebuah titik bor mewakili hingga radius 20,0 – 30,0 m. Tiga buah titik bor
untuk sebuah tower disepakati sebagai jumlah minimum di DKI Jakarta. Untuk pekerjaan
jalan, jarak pemboran berkisar 50 m – 200 m. Sowers (1979) memberikan anjuran untuk
penentuan jarak antara titik bor (Tabel 1) yang dapat dipakai sebagai acuan.
Tabel 1. Pedoman Penentuan Jarak Titik Bor

Jenis Struktur Jarak Titik Bor (m)

Gedung Tinggi 15 - 45
Bangunan Industri 30 - 90

2. Kedalaman Pemboran
Pemboran harus dilakukan hingga kedalaman dimana lapisan tanah keras (umumnya
diasumsikan nilai NSPT > 50) dicapai beberapa meter (sekurangnya 3 kali pembacaan nilai
NSPT).
Bila di bawah lapisan keras masih terdapat tanah kompresibel, maka pemboran
diteruskan kecuali jika lapisan tersebut tidak akan mengakibatkan penurunan yang
berlebihan.
Bila terdapat rencana penggalian, maka kedalaman pemboran di lokasi tersebut
sekurangnya 1,5 – 2,0 kali kedalaman galian. Batas atas dilakukan bila kondisi tanah
lembek. Hal ini adalah untuk memungkinkan analisis kestabilan lereng galian dan
mengevaluasi kemungkinan penyembulan (heaving). Bila didapati lapisan aquifer,
maka pemboran mungkin dapat lebih dalam lagi. Bila kaki pondasi tiang diharapkan
masuk ke dalam batuan, maka pemboran dilakukan sekurangnya 3,0 m ke dalam lapis
batuan tersebut.
Untuk struktur yang berat seperti bangunan tinggi, satu titik bor perlu dilakukan hingga
mencapai batuan dasar bila kondisi memungkinkan. Tabel 2, adalah kedalaman
minimum pemboran yang perlu dilakukan menurut Sowers (1979).
Tabel 2. Kedalaman Minimum Pemboran

V.A. Assa

-3-
Jenis Struktur Kedalaman Titik Bor (m)

Sempit dan Ringan 3×𝑆 ,

Luas dan Berat 6×𝑆 ,

dimana S adalah banyaknya lantai pada gedung tinggi.

1.5. TEKNIK PEMBORAN


Teknik pemboran dalam umumnya dipakai untuk penyelidikan tanah bagi
kepentingan perancangan pondasi dalam. Dengan pemboran, contoh tanah dan batuan
dapat diambil dan diuji di laboratorium untuk klasifikasi dan pengujian sifat fisis maupun
sifat mekanisnya.
1. Bor Tangan
Bor tangan digunakan untuk pengambilan sampel pada kedalaman maksimum 6,0 m.
Alat yang digunakan berupa suatu auger yang diputar secara manual. Pada umumnya
bor tangan digunakan untuk kedalaman 5,0 – 6,0 m saja dan hanya untuk mendeteksi
tanah dekat permukaan. Bila pemboran dilakukan dengan dibantu oleh mesin kecil
maka kedalaman dapat mencapai 10,0 m.

Gambar 1. Bor Tangan

2. Bor Mesin
Bor Basah (Wash Boring)
Pemboran basah dilakukan dengan cara kombinasi pemotongan dan jetting air ke dalam
tanah. Hasil pemotongan tanah diangkat ke atas dengan aliran air bertekanan melalui
casing. Cara ini tidak dapat digunakan untuk mengambil sampel dan fungsi utamanya
adalah hanya untuk pemboran. Untuk pengambilan sampel, alat pemotong (chopping
bit) dinaikkan ke atas dan diganti dengan tabung contoh tanah. Jenis tanah diidentifikasi
secara visual dari material yang terbawa oleh air pencuci.
Pemboran basah dapat dilakukan dengan atau tanpa casing. Casing digunakan bila
dijumpai tanah pasiran karena umumnya runtuh ke dalam lubang bor bila tanpa casing.

V.A. Assa

-4-
Gambar 2. Bor Basah (Wash Boring)
Pemboran Perkusi (Percussion Drilling)
Pemboran dapat dilakukan dengan cara memukul-mukul alat bor ke dalam lubang
dengan diameter 600 mm. Tanah yang terpotong bercampur dengan air menjadi bubur
(slurry). Bubur ini secara berangsur-angsur dikeluarkan dengan bailer atau pompa
lumpur. Jenis tanah diidentifikasi dari lumpur yang diangkat keluar. Kejelekan dari cara
ini adalah karena tanah mengalami gangguan yang besar sehingga sampel yang diambil
memiliki kualitas rendah.

Gambar 3. Pemboran Perkusi (Percussion Drilling)

Bor Kering (Rotary Drilling/Dry Coring)


Metoda pemboran dengan cara kering (rotary drilling atau dry coring) dilakukan tanpa
air, dengan menggunakan rotasi pada mata bor (drill–bit) bersamaan dengan penekanan
untuk membuat lubang bor. Pelaksanaan pemboran dengan cara ini memerlukan waktu
yang lebih lama daripada menggunakan metode bor basah. Bor kering memiliki
keuntungan karena dengan metoda ini contoh tanah dapat disimpan pada core–box dan
diidentifikasi secara visual. Disamping itu cara ini umumnya dapat digunakan pada jenis
tanah apapun dan dapat untuk membor batuan.

V.A. Assa

-5-
Gambar 4. Bor Kering (Rotary Drilling/Dry Coring)

1.6. PENGAMBILAN CONTOH TANAH


Pengambilan contoh tanah dapat berupa contoh tanah terganggu (disturbed
samples) atau contoh tanah asli (undisturbed samples). Contoh tanah terganggu dapat
dilakukan dengan auger atau dari tabung SPT. Contoh tanah yang diperoleh sekurang
kurangnya 0,5 kg, merupakan jumlah minimum untuk pengujian di laboratorium.
Contoh tanah asli diasumsikan sebagai contoh tanah yang diperoleh dari kondisi
aslinya di lapangan, dengan tidak mengalami perubahan struktur, kepadatan, porositas dan
kadar airnya. Namun demikian pada saat contoh tanah dikeluarkan dari tabung,
sesungguhnya contoh tanah itu tidak lagi asli karena sudah kehilangan tegangan
kelilingnya. Disamping itu penekanan dinding tabung ke dalam tanah juga menyebabkan
gangguan mekanis.
Agar sampel yang diambil dari lapangan sesedikit mungkin mengalami gangguan,
maka ketebalan dinding tabung harus memenuhi syarat. Untuk menjamin desakan sekecil
mungkin pada tanah, maka ketebalan dinding tabung harus mempunyai rasio luas (area
ratio) A, kurang dari 10%, dimana A, didefinisikan sebagai :

𝐷 −𝐷
𝐴= × 100%
𝐷
Dimana :
𝐷 = diameter luar tabung
𝐷 = diameter dalam tabung

Tabung contoh tanah (open tube sampel) tipikal/standar diperlihatkan dalam


Gambar 5. (a). Tabung ini mempunyai diameter 100 mm dan panjangnya 450 mm. Jenis
tabung ini mampu mengambil tanah lempung dengan kuat geser kurang dari 0,5 kg/cm2.
Contoh tanah yang telah terambil, dijaga kadar airnya dengan menutup tabung dengan
parafin atau lilin.

V.A. Assa

-6-
Bila tanah amat lembek, maka tabung ini tidak akan membantu banyak karena
gangguan sampel amat besar. Untuk jenis tanah ini harus digunakan piston sampel.
Ukuran diameter piston sampel dari 54-250 mm. Gambar 5. (b) memberikan ilustrasi
fixed piston sampler.

(a) Tabung Contoh Tanah - U100 (b) Fixed Piston Sampel


Gambar 5. Tabung pengambilan sampel tanah
1.7. PENGUJIAN LABORATORIUM
Contoh tanah yang diperoleh dari pemboran diuji di laboratorium untuk klasifikasi
dan pengujian sifat fisis dan mekanisnya. Tujuan pengujian laboratorium adalah untuk
mendapatkan parameter yang dibutuhkan untuk analisis.
1. Klasifikasi, Berat Isi dan Pengujian Indeks Properties Tanah
Pengujian rutin untuk tanah adalah uji klasifikasi, berat isi, dan pengujian indeks
properties tanah. Yang termasuk dalam jenis pengujian ini adalah : kadar air (), berat
isi tanah (), berat jenis tanah (Gs), batas-batas Atterberg (LL, PL, PI) dan uji gradasi +
hidrometer.
Pengujian batas-batas atterberg dan indeks properties perlapisan tanah dapat
digunakan untuk menentukan parameter hasil korelasi yang mungkin dibutuhkan dalam
desain.
2. Uji Kuat Geser
Kuat geser tanah mempunyai pengaruh yang besar dalam perancangan pondasi
sehingga salah satu tujuan penyelidikan tanah yang penting adalah untuk menentukan
parameter tersebut. Beberapa uji laboratorium yang umum digunakan adalah uji geser
langsung (Direct Shear), uji Triaxial, dan uji kuat tekan tidak terkekang (Unconfined
Compression Test).
Ukuran contoh tanah dalam uji geser langsung umumnya berdiameter 60 mm, dan
penggeseran dilakukan hingga 6 mm. Contoh tanah diberi tegangan normal kemudian
digeser untuk menentukan hubungan antara tegangan normal tersebut dengan
tegangan geser saat runtuh. Pengujian dilakukan tiga kali dengan tegangan normal yang
berbeda dan hasilnya di plotkan (Gambar 6.) untuk mendapatkan nilai kohesi (c) dan
sudut geser dalam.

V.A. Assa

-7-
SHEAR STRESS VS NORMAL STRESS GRAPHIC
0,60

0,48

Shear Stress (kg/cm2)


0,36

0,24

0,12

0,00
0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60
Normal Stress (kg/cm2)

(a) Alat UJi Geser Langsung (Direct Shear) (b) Hasil Uji Geser Langsung
Gambar 6. Uji kuat geser

3. Uji Kuat Tekan Tak Terkekang (Unconfined Compression Test)


Merupakan cara uji yang sederhana untuk tanah kohesif. Contoh tanah silinder ditekan
dengan kecepatan konstan hingga runtuh. Cara ini umumnya memberikan harga kohesi
yang lebih rendah karena peniadaan tegangan keliling (Gambar 7). Dari hasil uji ini
diperoleh kuat tekan tak terkekang (qu), kohesi (cu) dan modulus tanah.
Umumnya dalam uji ini juga dilakukan uji tekan pada tanah yang dibentuk kembali
sehingga diperoleh kuat geser tanah yang dibentuk kembali (remolded). Rasio dari kuat
geser tanah dalam kondisi asli dan kuat geser tanah dalam kondisi dibentuk kembali
disebut sensitivitas (St)

Gambar 7. Alat Uji Unconfined Compression Test

4. Uji Triaxial

V.A. Assa

-8-
Pada uji triaxial, contoh tanah diberi tegangan keliling sebelum digeser. Cara ini adalah
cara yang paling ideal untuk menentukan kuat geser tanah. Contoh tanah diuji dengan
tiga buah tegangan keliling untuk dapat ditentukan perilakunya. Konfigurasi alat uji
diberikan pada Gambar 8, dan uji yang lazim digunakan adalah :
Uji UU (Unconsolidated Undrained) :
Tegangan sel diberikan dalam kondisi air dalam contoh tanah tidak teralir. Demikian
pula saat menggeser, air tidak diberi kesempatan mengalir.
Uji CU (Consolidated Undrained)
Konsolidasi tanah dilakukan dengan memberikan tegangan sel, kemudian saat
penggeseran, aliran air ditutup (undrained).
Uji CD (Consolidated Drained) :
Pada uji CD tanah diberi kesempatan berkonsolidasi dibawah tegangan sel dan
pengujian diberikan amat lambat dalam keadaan air dari contoh tanah teralir sehingga
terjadi perubahan volume pada contoh tanah tetapi tekanan air pori nol.
Perancang harus dapat memutuskan jenis uji sesuai kebutuhan untuk analisis.

Gambar 8. Alat Uji dan Hasil Triaxial Test


5. Uji Konsolidasi
Uji konsolidasi terutama dilakukan untuk menentukan sifat kemampatan tanah dan
karakteristik konsolidasi yang dipengaruhi oleh sifat permeabilitas.

Gambar 9. Uji Konsolidasi (Oedometer)

V.A. Assa

-9-
1.8. UJI LAPANGAN (IN–SITU TEST)
Uji lapangan menjadi populer karena dapat memberikan informasi profil tanah
secara kontinu dan dewasa ini telah dikembangkan untuk perancangan pondasi tiang
secara langsung dengan korelasi empirik.
1. Uji Sondir (Cone Penetration Test = CPT)
Uji sondir saat ini merupakan salah satu uji lapangan yang telah diterima oleh para
praktisi dan pakar geoteknik. Uji sondir ini telah menunjukkan manfaat untuk
pendugaan profil atau pelapisan (stratifikasi) tanah, karena jenis perilaku tanah telah
dapat diidentifikasi dari kombinasi hasil pembacaan tahanan ujung dan gesekan
selimutnya.
Sondir standar memiliki luas penampang ujung konus sebesar 10 cm2 dan sudut puncak
60°. Luas selimut 150 cm2. Kecepatan penetrasi 2 cm/det. Standar alat yang pada saat
ini secara luas diterima tercantum dalam ASTM D3411–75T.
Pada sondir mekanis, penetrasi ujung konus dilakukan mendahului selimutnya, gaya
pada konus diukur, kemudian baru penetrasi ujung dan selimut dilakukan bersama–
sama sehingga tercatat perlawanan total. Selisih antara pengukuran perlawanan kedua
dan pertama adalah gaya yang bekerja pada selimut sondir, sehingga gesekan selimut,
fs, dapat ditentukan.
Penggunaan Uji sondir yang makin luas terutama disebabkan oleh beberapa faktor:
 Cukup ekonomis dan dapat dilakukan berulang kali dengan hasil yang konsisten.
 Korelasi empirik yang telah berkembang semakin andal.
Perkembangan yang semakin meningkat khususnya dengan ada penambahan sensor
pada sondir listrik seperti batu pori dan stress cell untuk mengukur respon tekanan
lateral tanah.
 Kebutuhan untuk pengujian di lapangan (insitu test) dimana sampel tanah tidak
dapat diambil (tanah lembek dan pasir).
 Dapat digunakan untuk menentukan daya dukung tanah dengan baik.

V.A. Assa

-10-
Gambar 10. Bentuk Ujung Konus Sondir Listrik dan Sondir Mekanis

Pengujian awal dengan sondir dapat merupakan arahan untuk pemilihan jenis uji tanah
berikutnya dan dapat membantu menentukan posisi (kedalaman) untuk uji lapangan
yang lain (misalnya pressuremeter dan uji geser baling (vane shear test) maupun lokasi
pengambilan contoh tanah untuk uji laboratorium. Untuk uji lapangan, sebaiknya uji
sondir dilaksanakan lebih dahulu.

V.A. Assa

-11-
Gambar 11. Pelaporan Hasil Uji Sondir
Interpretasi Hasil Uji
Penggunaan hasil uji sondir untuk klasifikasi tanah juga berdasarkan data secara empiris,
demikian pula untuk kepentingan interpretasi parameter tanah yang lain seperti kuat
geser dan kompresibilitas tanah. Oleh sebab itu pembaca diminta memperhatikan
keterbatasan pemakaian korelasi yang ada. Dalam praktek dianjurkan agar uji sondir
didampingi dengan uji lain baik uji lapangan maupun uji laboratorium.

2. Standard Penetration Test (SPT)


Standard Penetration Test (SPT) telah memperoleh popularitas dimana–mana sejak
tahun 1927 dan telah diterima sebagai uji tanah yang rutin di lapangan. SPT dapat
dilakukan dengan cara yang relatif mudah sehingga tidak membutuhkan ketrampilan
khusus dari pemakainya. Metoda pengujian tanah dengan SPT termasuk cara yang
cukup ekonomis untuk memperoleh informasi mengenai kondisi di bawah permukaan
tanah dan diperkirakan 85% dari desain pondasi untuk gedung bertingkat menggunakan
cara ini. Karena banyaknya data SPT korelasi empiris telah banyak memperoleh
kemajuan.
Alat uji ini terdiri dari beberapa komponen yang sederhana, mudah ditransportasikan,
dipasang, dan mudah pemeliharaannya. Pandangan para ahli masih sama yaitu bahwa
alat ini akan terus dipakai untuk penyelidikan tanah rutin karena relatif masih ekonomis
dan dapat diandalkan.
Alat dan Prosedur Uji
Alat uji berupa sebuah tabung yang dapat dibelah (split tube, split spoon) yang
mempunyai driving shoe agar tidak mudah rusak pada saat penetrasi. Pada bagian atas
dilengkapi dengan coupling supaya dapat disambung dengan batang bor (drill rod) ke
permukaan tanah. Sebuah sisipan pengambil contoh (sampel insert) dapat dipasang
pada bagian bawah bila tanah yang harus diambil contohnya berupa pasir lepas atau
lumpur. Gambar 12, menunjukkan split spoon sampel dan sampel insert.

V.A. Assa

-12-
Prosedur Uji mengikuti urutan sebagai berikut :
 Mempersiapkan lubang bor hingga kedalaman uji.
 Memasukkan alat split barrel sampel secara tegak.
 Menumbuk dengan hammer dan mencatat jumlah tumbukan setiap 15 cm. Hammer
dijatuhkan bebas pada ketinggian 760 mm.
 Nilai tumbukan dicatat 3 kali (N15, N30, N45) dimana harga NSPT = N30 + N45. Split spoon
sampler diangkat ke atas dan kemudian dibuka. Sampel yang diperoleh dengan cara
ini umumnya sangat terganggu.
 Sampel yang diperoleh dimasukkan ke dalam plastik untuk diuji di laboratorium.
Pada plastik tersebut harus diberikan catatan nama proyek, kedalaman, dan nilai N.

Jenis–jenis hammer yang digunakan bisa bermacam–macam (Gambar 13), namun


demikian semua mempunyai berat yang sama yaitu 63,5 kg (140 lb).
Secara konvensional, uji SPT dilakukan dengan interval kedalaman 1,5 m – 3,0 m dan
sampel tanah yang diperoleh dari tabung SPT digunakan untuk klasifikasi. Penting untuk
ditegaskan disini bahwa identifikasi dari jenis tanah pada SPT harus dilakukan karena
interpretasi dari data SPT hanya dapat dilakukan dengan baik bila dikaitkan dengan
kondisi tanah tersebut.

Gambar 12. Cara Konvensional Uji SPT dan Sampel SPT menurut ASTM D–1586
(Sumber: Kovacs, 1981)

Variasi dari hasil uji dapat disebabkan oleh :


 Peralatan dibuat oleh pabrik yang berbeda. Namun demikian rotary auger dengan
safety hammer merupakan kombinasi yang lebih ekonomis dan umum.
 Konfigurasi hammer

V.A. Assa

-13-
 Panjang batang penghubung (drill rod). Untuk panjang batang lebih dari 10 m dan
nilai NSPT < 30 pengaruh panjang batang ini cukup besar. Drill rod yang panjang lebih
berat dan memperkecil energi yang diterima oleh batang dan sampel.
 Tegangan vertikal efektif. Variasi tinggi jatuh.
 Bila digunakan cat–head, jumlah lilitan dapat mempengaruhi energi.
 Cara pemboran dan metoda stabilisasi dinding lubang bor berpengaruh terhadap
nilai NSPT.
 Lubang yang tidak sempurna pembersihan-nya dapat mengakibatkan
terperangkapnya lumpur ke dalam sampel dan dapat menyebabkan kenaikan NSPT.
 Dipakai atau tidaknya liner pada sampel.
 Ukuran lubang bor.

Gambar 13. Diagram Skematis Jenis–jenis Hammer


(Sumber: Bowles, 1988)
Di Indonesia hal lain yang perlu diperhatikan adalah spesifikasi alat SPT yang berbeda,
khususnya yang mengacu kepada ASTM (standard USA) dan kepada JIS (standard
Jepang) (Makarim, 1992).

3. Uji Geser Baling (Vane Shear Test)


Uji geser baling dilakukan dengan cara memasukkan baling pada kedalaman titik uji dan
memutar baling tersebut dengan kecepatan 6°/menit hingga runtuh. Torsi (T) diukur dan
nilai kuat geser undrained Cu dapat ditentukan berdasarkan formula :

V.A. Assa

-14-
𝑇
𝐶𝑢 =
ℎ 𝑑
𝜋𝑑 2+6
dimana :
Cu = Undrained shear strength of the soil
T = Maximum torque at failure
h = height of the vane
d = diameter dari baling

Gambar 14. Uji vane shear

4. Uji Pressuremeter
Uji Pressuremeter (Gambar 15) dikembangkan oleh Menard, berupa silinder karet yang
dimasukkan ke dalam lubang bor dan dikembangkan. Respon tanah (perubahan volume
atau jari-jari lubang) terhadap pengembangan karet di ukur dan interpretasikan ke
dalam besaran kuat geser dan sifat kemampatan tanah.
Keuntungan dari uji ini adalah karena modulus tanah dapat diperoleh di lapangan (in–
situ), demikian pula besarnya tekanan tanah at rest. Besaran besaran lain seperti kuat
geser tanah dan tekanan air pori juga dapat diperoleh dari uji ini.

V.A. Assa

-15-
Gambar 15. Uji Pressuremeter dan Hasil Uji Tipikal

5. Uji Dilatometer
Uji dilatometer (Marchetti 1980, Schmertmann, 1988) merupakan uji sederhana untuk
mengukur modulus tanah. Alat ini berupa suatu blade dengan lebar 95 mm dan tebal
15 mm. Ditengahnya terdapat suatu plat lingkaran yang dapat bergerak keluar jika
dikembangkan.
Prosedur pengujian dilatometer mengikuti langkah-langkah sebagai berikut :
a. Dilatometer dimasukkan kedalam lubang galian, lakukan pembacaan setelah
dikoreksi (p1).
b. Membran dikembangkan dan tekanan dibaca saat mencapai 1,1 mm (p2).
c. Tekanan diturunkan dan saat membran kembali ke posisi semula, kembali dibaca (p3).
d. Dilatometer diturunkan ke titik berikutnya dan langkah 1 s/d 3 diulang kembali.
Setiap pengujian hanya membutuhkan waktu 1-2 menit. Keuntungan utama dari
dilatometer adalah bahwa alat ini dapat memperkirakan tekanan at rest di lapangan.
Disamping itu kemampatan tanah dapat diperoleh (modulus subgrade).
Dari data diatas dapat diperoleh beberapa parameter dilatometer sebagai berikut :
o Modulus dilatometer, Ed
Ed =34,7 (p2–p1)
o Indeks Tegangan Lateral, Kd
o Indeks Material, ID

V.A. Assa

-16-
Berdasarkan parameter tersebut maka jenis tanah, modulus, dan kekuatan gesernya
dapat diperkirakan.

V.A. Assa

-21-
Gambar 16. Korelasi Antara Jenis Tanah dengan Indeks Material dan Modulus Dilatometer
(Sumber : Lacasse & Lunne. 1986)

6. Pengamatan Muka Air Tanah


Pengamatan muka air tanah dan fluktuasinya untuk beberapa proyek amat dibutuhkan
khususnya dimana pengaruh dari posisi muka air tanah memberikan beban hidrostatik
dan beban uplift. Disamping itu pengetahuan mengenai muka air tanah juga amat
dibutuhkan untuk tahapan konstruksi.
Cara umum untuk memperoleh informasi muka air tanah adalah dengan menggunakan
piezometer yang dapat dipasang pada bekas lubang bor.

Gambar 17. Pengamatan dengan Piezometer

V.A. Assa

-16-
7. Cara Pelaporan Hasil Penyelidikan Tanah
Pelaporan hasil penyelidikan tanah harus mencakup informasi yang dibutuhkan untuk
perancangan pondasi maupun untuk penentuan teknik pelaksanaan oleh kontraktor.
Bagian yang penting dari isi laporan meliputi :
 Geologi dan topografi di lokasi proyek.
 Bor log dan potongan – potongan melintang profil tanah.
 Hasil uji lapangan (SPT, CPT, VST, Pressuremeter dan lain-lain). Posisi muka air
tanah.
 Hasil uji laboratorium.
 Kondisi lapangan, diantaranya yang penting adalah bangunan sekitar yang sudah
ada, jalan akses, utilitas umum, lokasi sungai atau selokan dan lain- lain.
Pada umumnya laporan di atas disebut factual report yaitu berisi data-data apa adanya
tanpa memberikan engineering judgement ataupun rekomendasi. Dalam banyak hal di
Indonesia, pekerjaan penyelidikan tanah sering dituntut untuk melengkapi dengan
desain dan rekomendasi.

V.A. Assa

-17-
BAB II
DAYA DUKUNG TANAH

2.1. PENDAHULUAN
Pondasi adalah suatu konstruksi pada bagian bawah struktur (substructure) yang berfungsi
meneruskan beban dari bagian atas struktur (superstructure) ke lapisan tanah di bawahnya
dengan tidak mengakibatkan :
o Keruntuhan geser tanah
o Penurunan tanah saat penurunan pondasi yang berlebihan
Secara umum pondasi dikelompokkan menjadi dua yaitu:
a. Pondasi dangkal (shallow footing)  Peck (1953) : Df/B ≤ 1
Contohnya :
 Pondasi telapak (square footing)
 Pondasi menerus (continues footing)
 Pondasi lingkaran (circle footing)
 Pondasi rakit (raft footing)
b. Pondasi dalam (depth footing)  Peck (1953) : Df/B > 4
Contohnya:
 Pondasi sumuran
 Pondasi tiang pancang
 Pondasi kaison
Pondasi dangkal digunakan apabila lapisan tanah keras yang mampu mendukung beban
bangunan di atasnya, terletak dekat dengan permukaan sedangkan pondasi dalam dipakai
pada kondisi yang sebaliknya.
Selain itu masih banyak lagi jenis-jenis konstruksi yang erat hubungannya dengan rekayasa
pondasi, seperti :
Dinding penahan tanah atau turap, seperti :
o Dinding kantilever  turap kaku
o Turap kayu, turap baja, turap beton dll  turap lentur
Bendung elak sementara, seperti :
o Penurapan pada pembuatan pilar jembatan di dasar sungai
1. Syarat-syarat Perencanaan Pondasi
a. Syarat yang berhubungan dengan konstruksi dan beban yang diterima oleh pondasi
antara lain:
o Beban maksimum yang diterima
o Muatan sedapat mungkin merata
o Tanah dasar pondasi terlindung dari penggerusan air
b. Syarat yang berhubungan dengan perencanaan dan perluasan pondasi antara lain:
o Galian tanah sekecil-kecilnya
o Lubang pondasi harus dapat dikeringkan
o Menghindari kemungkinan terjadinya kebocoran dari air tanah
o Pondasi yang terbuat dari kayu harus terletak pada muka air tanah terendah.
c. Syarat yang berhubungan dengan stabilitas dan deformasi antara lain:

V.A. Assa

-18-
o Kedalaman pondasi harus cukup untuk menghindari kerusakan tanah dalam arah
lateral di bawah pondasi
o Kedalaman pondasi harus di bawah daerah yang mempunyai sifat kompresibilitas
yang tinggi
o Konstruksi harus aman terhadap guling, geser, rotasi dan keruntuhan geser tanah
o Konstruksi harus aman terhadap korosi atau kegagalan akibat bahan-bahan kimia
yang ada di dalam tanah.
o Konstruksi diharapkan mudah untuk dimodifikasi jika terdapat perubahan
geometri konstruksi
o Pondasi harus dapat memberikan toleransi terhadap pergerakan diferensial akibat
pergerakan tanah
o Pondasi harus memenuhi persyaratan standar
o Pondasi harus ekonomis dalam pelaksanaan
2. Pemilihan Jenis Pondasi
Selain tergantung pada faktor ekonomi maupun situasi lingkungan, pemilihan jenis
pondasi pada pokoknya tergantung pada kondisi atau sifat karakteristik tanah dasar atau
tanah pendukungnya.
Berikut ini adalah jenis-jenis pondasi sesuai dengan keadaan tanah pendukung yang
bersangkutan:
a. Bila lapisan tanah keras terletak pada kedalaman 2 m sampai dengan 3 m di bawah
permukaan tanah lunak atau soft soil maka digunakan pondasi telapak pondasi
menerus pondasi rakit
b. Bila lapisan tanah keras terletak pada kedalaman 10 m sampai dengan 20 m di bawah
permukaan tanah lunak maka digunakan pondasi tiang beton atau tiang kayu pondasi
tiang apung atau perbaikan tanah dasar
c. Bila lapisan tanah keras terletak pada kedalaman 20 m sampai dengan 30 m di bawah
permukaan tanah lunak maka digunakan :
o Pondasi tiang gesek (bila penurunan yang terjadi masih diijinkan)
o Pondasi tiang baja atau tiang beton yang dicor ditempat
o Pondasi kaison
d. Bila lapisan tanah keras terletak pada kedalaman 30 m sampai dengan 40 m di bawah
permukaan tanah lunak maka digunakan
o pondasi kaison
o pondasi tiang baja atau tiang beton yang dicor ditempat.
e. Jika lapisan tanah keras terletak pada kedalaman lebih besar dari 40 m maka yang
lebih baik untuk hal ini adalah pemakaian pondasi baja atau tiang beton yang dicor di
tempat.

2.2. PENGERTIAN
Tekanan overburden p0 (total overburden pressure) adalah intensitas tekanan total yang
terdiri dari berat material di atas dasar pondasi sebelum pondasi dibangun (berat tanah
dan air), [rumus umum : p0 = Df .  ].

V.A. Assa

-19-
Tekanan pondasi total q (total foundation pressure) adalah intensitas tekanan total yang
terdiri dari berat material di atas dasar pondasi sesudah struktur selesai dibangun dengan
pembebanan penuh (berat pondasi, struktur atas, tanah urug dan air).

Tekanan pondasi netto qn (net foundation pressure) adalah tekanan pondasi total (q)
dikurangi beban hidup dan mati yang berlaku, [rumus umum : qn = q – Df . ]
Daya dukung tanah (bearing capacity) adalah kekuatan tanah untuk menahan suatu beban
yang bekerja padanya yang biasanya disalurkan melalui pondasi.
Daya dukung batas qu (ultimit bearing capacity) adalah tekanan maksimum yang dapat
diterima oleh tanah akibat beban yang bekerja tanpa menimbulkan kelongsoran geser pada
tanah pendukung tepat di bawah dan sekeliling pondasi.
Daya dukung batas netto qun (net ultimit bearing capacity) adalah daya dukung batas (qu)
dikurangi tekanan overburden (p), [rumus umum : qun = qu – Df .  ].
Daya dukung ijin [qall = qs] (allowable bearing capacity) atau (safe bearing capacity) adalah
tekanan maksimum yang dapat diterima oleh tanah sehingga persyaratan keamanan (FK)
terhadap daya dukung dan penurunan terpenuhi.
Rumus umum : 𝑞 = 𝑞 = = + 𝐷 .𝛾

Fakor keamanan, FS (factor of safety), ditinjau dari :


– daya dukung batas (qult)
– daya dukung batas netto (qun)
Ultimit = maksimum = batas = total.
PONDASI DANGKAL (D/B  1)
Jenis-jenis pondasi dangkal :
a. Foot plate / continous plate

b. Strap footing

c. Combined footing

V.A. Assa

-20-
 Memikul beban yang sama

 Memikul beban yang berbeda

d. Raft / Mat foundation

Pondasi telapak adalah suatu pondasi yang mendukung bangunan secara langsung
pada tanah pondasi, bilamana terdapat lapisan tanah yang cukup tebal dengan kualitas
yang baik, yang mampu mendukung bangunan itu pada permukaaan tanah atau sedikit di
bawah permukaan tanah.
Pondasi telapak harus direncanakan sedemikian rupa sehingga keadaan-keadaan
berikut ini dapat dipenuhi :
a. Struktur secara keseluruhan adalah stabil dalam arah vertikal, horisontal dan terhadap
guling.
b. Pergeseran bangunan (besarnya penurunan, sudut kemiringan dan pergeseran
mendatar), harus lebih kecil dari nilai yang diijinkan bagi bangunan bagian atas.
c. Bagian – bagian pondasi harus memiliki kekuatan yang diperlukan.

Kestabilan Pondasi Dalam Arah Vertikal


 Daya dukung vertikal yang diijinkan
Gaya vertikal yang bekerja pada dasar pondasi tidak boleh melebihi daya dukung
(bearing capacity) tanah pondasi yang diijinkan. Daya dukung ijin dapat dihitung
dengan persamaan :

V.A. Assa

-21-
Qu
Qa 
n
dimana : Qu = daya dukung ultimate tanah pondasi.
n = faktor keamanan, biasanya 3.
 Daya dukung batas (ultimate bearing pressure)
Dalam menentukan daya dukung batas ini dapat ditentukan dengan menggunakan
persamaan Terzaghi, Meyerhof, Hansen, atau Vesic. Persamaan-persamaan ini akan
dijelaskan berikutnya.

Kestabilan Pondasi Dalam Arah Mendatar


 Daya dukung mendatar yang diijinkan
Gaya mendatar yang bekerja pada dasar pondasi tidak boleh melebihi daya dukung
mendatar yang diijinkan dari tanah pondasi. Daya dukung mendatar yang diijinkan
dapat dihitung dengan persamaan :
Hu
Ha 
n
dimana : Ha = daya dukung mendatar yang dijinkan.
Hu = daya dukung mendatar batas.
n = faktor keamanan, untuk jembatan jalan raya di Jepang, nilai n = 1,5
untuk beban menerus.
 Daya dukung mendatar batas
Bagi jembatan jalan raya, daya dukung mendatar batas bekerja sebagai gaya penahan
geser dari dasar pondasi. Berdasarkan hal ini ada suatu cara untuk memeperbesar gaya
penahan geser dari dasar pondasi, yaitu dengan membuat rusuk atau takik pada dasar
pondasi seperti pada gambar berikut :

Rusuk / takik

Gambar 18.
Rusuk ke dalam tanah

Besarnya Reaksi Tanah


Besarnya reaksi tanah yang dipakai untuk merencanakan tumpuan umumnya dibatasi
dengan persamaan berikut ini, biasanya berdasarkan anggapan bahwa tanah pondasi
merupakan suatu bahan yang elastis. Dalam hal ini, karena reaksi yang disebabkan oleh

V.A. Assa

-22-
berat sendiri dan berat tanah di atas tumpuan juga termasuk dalam anggapan ini, maka
gaya pada penampang tumpuan dihitung berdasarkan pengurangan bagian tersebut.

 Jika titik tangkap gaya resultan terletak di dalam batas 1/3 dari tepi dasar masing-
masing sisi (di dalam inti dari dasar pondasi) :
V  6.e 
q 1  
L B B

e
B
L
B/
3 /3

a. Bila gaya resultan bekerja di


qmax dalam inti (inti : 1/3 B)

x
b. Bila gaya resultan bekerja di
qmax luar inti

Gambar 19.
Reaksi tanah di bawah pondasi

 Jika titik tangkap resultan terletak di luar batas 1/3 dari tepi dasar masing-masing sisi
(di luar inti dari pondasi) :
2 .V
q max 
L .x
dimana :
V = beban vertikal yg bekerja di dasar pondasi
e = eksentrisitas
x = lebar manfaat dari kerja reaksi dasar pondasi
= 3 (B/2 – e)
B = lebar pondasi
L = panjang pondasi

V.A. Assa

-23-
V.A. Assa

-24-
DAYA DUKUNG PONDASI DANGKAL
Pengertian dari konsep daya dukung batas dan bentuk kegagalan geser dari tanah di
bawah pondasi, dapat dijelaskan dengan bentuk telapak persegipanjang dengan panjang
tak terhingga dan lebar B, yang diletakkan di atas permukaan lapisan pasir yang padat atau
tanah keras seperti yang ditunjukkan dalam gambar 20.
B

Gambar 20.
Model pengujian daya dukung batas untuk pondasi dangkal

Ketika beban merata q (beban per luas penampang) diberikan ke telapak tersebut,
maka akan terjadi penurunan. Jika beban merata ditambahkan, besar penurunan yang
terjadi pada telapak tersebut akan semakin bertambah. Ketika nilai q = qu dicapai (gambar
21), maka kegagalan daya dukung pasti terjadi; pondasi mengalami penurunan yang sangat
besar tanpa adanya peningkatan lebih lanjut dari q. Tanah pada satu atau kedua sisi ujung
pondasi dan permukaan gelincir meluas ke permukaan tanah. Hubungan antara beban dan
penurunan seperti kurva pada gambar 21. Dimana qu adalah daya dukung tanah batas.
Beban per
q’u qu satuan luas
Penurunan

II I

Kegagalan Kegagalan
geser setempat geser umum

Gambar 21.
Hubungan antara beban dan penurunan daya dukung batas untuk pondasi dangkal

V.A. Assa

-25-
Terdapat 3 kemungkinan pola keruntuhan kapasitas dukung tanah yaitu :
1. Kegagalan dari daya dukung sering disebut juga kegagalan geser umum (general shear
failure) dan dapat dijelaskan melalui gambar 22. Ketika penurunan telapak akibat beban
yang diberikan, zona bentuk baji segitiga (triangular wedge zone) dari tanah dibawah
telapak (ditandai dengan I), terdorong ke bawah dan selanjutnya menekan ke arah
samping di zona II dan III sampai ke permukaan tanah. Pada tekanan akhir, q’u, tanah
beralih menjadi keadaan keseimbangan plastik dan kegagalan terjadi oleh geser.
 Kondisi kesetimbangan plastis terjadi penuh di atas failure plane
 Muka tanah di sekitarnya mengembang (naik)
 Keruntuhan terjadi di satu sisi sehingga pondasi miring
 Terjadi pada tanah dengan kompresibilitas rendah (padat dan kaku)
 Kapasitas dukung batas (qult) bisa diamati dengan baik.

qu

Gambar 22. Pola keruntuhan geser umum (General Shear Failure)

2. Jika pengujian telapak ini dilakukan bukan dalam pasir padat yang lepas sampai medium,
hubungan antara beban dan penurunan adalah seperti kurva II dalam gambar 23. Di luar
nilai tertentu q = q'u, hubungan antara beban dan penurunan menjadi garis lurus yang
cenderung curam. Dalam hal ini, q'u didefinisikan sebagai kapasitas batas daya dukung
tanah. Jenis kegagalan tanah disebut kegagalan geser setempat dan ditunjukkan pada
gambar 23. Zona bentuk baji segitiga (ditandai I) di bawah pondasi bergerak ke bawah
tetapi tidak seperti kegagalan geser umum, permukaan gelincir berakhir pada suatu
tempat di dalam tanah. Beberapa tanda-tanda dengan terlihatnya tanah menggembung
di sekitar telapak.
 Muka tanah disekitar pondasi tidak terlalu mengembang, karena dorongan ke bawah
dasar pondasi lebih besar.

V.A. Assa

-26-
 Kondisi kesetimbangan plastis hanya terjadi pada sebagian tanah saja.
 Miring yang terjadi pada pondasi tidak terlalu besar.
 Terjadi pada tanah dengan kompresibilitas tinggi yang ditunjukkan dengan
penurunan yang relative besar.
 Kapasitas dukung batas sulit dipastikan sulit dianalisis, hanya bisa diamati
penurunannya saja.

Gambar 23. Pola keruntuhan geser setempat (Local Shear Failure)

3. Keruntuhan geser baji / penetrasi (Punching Shear Failure)


 Terjadi desakan di bawah dasar pondasi disertai pergeseran arah vertikal sepanjang
tepi
 Tidak terjadi kemiringan pondasi dan pengangkatan di permukaan tanah.
 Penurunan yang terjadi cukup besar
 Terjadi pada tanah dengan kompresibilitas tinggi dan kompresibilitas rendah jika
kedalaman pondasi agak dalam
 Kapasitas dukung batas tidak dapat dipastikan

V.A. Assa

-27-
Gambar 24. Pola Keruntuhan geser baji (Punching Shear Failure)

Vesic (1963) melakukan uji model untuk mengetahui pengaruh kepadatan tanah pasir (Dr)
dengan kedalaman pondasi dibanding lebar pondasi (Df/B) terhadap mekanisme
keruntuhan pondasi. Keruntuhan geser umum terjadi pada pondasi relatif dangkal yang
terletak pada pasir padat atau kira-kira ’ > 36° dan keruntuhan geser setempat kira-kira
nilai ’ < 29°. Hasil pengujiannya sebagaimana Gambar 25.

Gambar 25. Hubungan Df/B dan Dr pada model keruntuhan tanah pasir
Sedangkan Coduto (1994) untuk pondasi pada pasir berpendapat :
1. Keruntuhan geser umum : terjadi pada pasir padat (Dr > 67%)
2. Keruntuhan geser setempat : terjadi pada pasir kepadatan sedang (30% < Dr < 67%)
3. Keruntuhan geser penetrasi : terjadi pada pasir sangat longgar (Dr < 30%)
Dalam praktek, kapasitas daya dukung dihitung lebih dahulu pada kasus keruntuhan geser
umum, kemudian dilakukan hitungan penurunan untuk mengecek apakah pondasi turun
secara berlebihan. Analisa penurunan ini akan mengontrol hitungan yang didasarkan pada
keruntuhan geser setempat maupun penetrasi.
Catatan :

V.A. Assa

-28-
Persamaan Daya Dukung Terzaghi
Berbagai metode kesetimbangan batas dalam menghitung daya dukung tanah
dikembangkan pada paruh pertama abad kedua puluh, tapi yang pertama untuk diterima
adalah yang dikembangkan oleh dari Terzaghi (1943). Metodenya meliputi asumsi sebagai
berikut :
• Kedalaman pondasi kurang dari atau sama dengan lebar (D ≤ B).
• Bagian bawah pondasi cukup kasar sehingga tidak ada geser terjadi antara pondasi dan
tanah.
• Tanah di bawah pondasi adalah massa semi-infinite homogen (tanah memanjang untuk
kedalaman yang jauh di bawah dasar pondasi dan sifat tanah yang homogen).
• Kekuatan geser suatu tanah digambarkan oleh rumus ’ = c' + ' tan ' (Coulomb).
• Bentuk geser umum ditentukan oleh kegagalan.
• Tidak ada konsolidasi tanah terjadi (penurunan pondasi disebabkan hanya dari geser dan
gerakan tanah lateral).
• Pondasi ini sangat kaku dibandingkan dengan tanah.
• Antara permukaan tanah dan dasar pondasi, (yang dinyatakan dengan kedalaman Df)
tidak memiliki kekuatan geser, dan hanya berfungsi sebagai beban tambahan.
• Beban yang diterima pondasi adalah gaya tekan dan diberikan secara vertikal ke tengah
dari pondasi dan tidak ada beban momen.
B

J I
Df 𝑞 = 𝛾 .𝐷
𝑞

H   A   C   G

𝜙
β = 45 − D
2 F E
Gambar 26.
Kegagalan daya dukung tanah di bawah pondasi menerus yang kaku dan kasar

Zona I
Pondasi akan tertekan ke bawah dan menghasilkan suatu keseimbangan plastis dalam
bentuk zona segitiga di bawah pondasi dengan sudut ACD = CAD =  = 45° + /2. Gerakan
bagian tanah ACD ke bawah mendorong tanah disampingnya ke samping.
Zona II
Bagian ADF dan CDE disebut radial shear zone (daerah geser radial) dengan curve DE dan
DF yang bekerja pada busur spiral logaritma dengan pusat ujung pondasi.
Zona III

V.A. Assa

-29-
Bagian AFH dan CEG dinamakan zona pasif Rankine dimana bidang tegangannya
merupakan bidang longsor yang mengakibatkan bidang geser di atas bidang horisontal
tidak ada dan digantikan dengan beban sebesar q =  . Df
Tabel 3.
Persamaan daya dukung menurut beberapa peneliti

Terzaghi (lih. tabel 4. untuk nilai tipikal dan nilai Kp)


a2
qult  c Nc sc  q Nq  0,5 B N s Nq 
2 cos2 (45   )
2
 ( 0, 75 -  360) tan 
ae
Nq  1
Nc  ; untuk  > 0
tan
Nc = 5,7 ; untuk  = 0
tan   K p 
N    1

2  cos 
2

2 Nq  1 tan
N 
1  0,4.sin4 
Untuk : Menerus Bundar Bujursangkar
sc = 1,0 1,3 1,3
s = 1,0 0,6 0,8

Meyerhof (lih. tabel 5. untuk faktor bentuk, kedalaman,dan inklinasi)


Beban vertikal : qult  c Nc sc dc  q Nq sq dq  0,5 B N s d
Beban miring : qult  c Nc dc ic  q Nq dq iq  0,5 B N d i

N q  e π tan  tan 2  45   
 2
Nc = (Nq – 1) cot 
N = (Nq – 1) tan (1,4 )

Hansen (lih. tabel 6. untuk faktor bentuk, kedalaman,dan inklinasi)


Umum : qult  c Ncscdcicgcbc  q Nqsqdqiqgq bq  0,5 B N s d i g b
Bila : =0
Gunakan : qult  5,14su (1 s'c d'c - i'c - b'c - g'c )  q
Nq = sama seperti Meyerhof di atas
Nc = sama seperti Meyerhof di atas
N = 1,5(Nq - 1) tan 

V.A. Assa

-30-
Vesic (lih. Tabel 7. untuk faktor bentuk, kedalaman,dan lainnya)
Pakailah persamaan-persamaan Hansen di atas
Nq = sama seperti Meyerhof di atas
Nc = sama seperti Meyerhof di atas
N = 2(Nq + 1) tan 

V.A. Assa

-31-
Tabel 4.
Faktor daya dukung untuk persamaan Terzaghi

Nilai-nilai N untuk  sebesar 34 dan 48 adalah nilai Terzaghi yang asli dan digunakan untuk
menghitung balik Kp

,deg Nc Nq N Kp
0 5,7 
1,0 0,0 10,8
5 7,3 1,6 0,5 12,2
10 9,6 2,7 1,2 14,7
15 12,9 4,4 2,5 18,6
20 17,7 7,4 5,0 25,0
25 25,1 12,7 9,7 35,0
30 37,2 22,5 19,7 52,0
34 52,6 36,5 36,0
35 57,8 41,4 42,4 82,0
40 95,7 81,3 100,4 141,0
45 172,3 173,3 297,5 298,0
48 258,3 287,9 780,1
50 347,5 415,1 1153,2 800,0

= 1,5  + 1

Tabel 5.
Faktor –faktor bentuk, kedalaman dan kemiringan untuk
persamaan daya dukung Meyerhof dari Tabel 3.

Faktor Nilai Untuk


𝐵
Bentuk 𝑠 = 1 + 0,2 𝐾 Semua 
𝐿
𝐵
𝑠 = 𝑠 = 1 + 0,1 𝐾  > 10
𝐿
𝑠 =𝑠 =1 >0
𝐵
Kedalaman 𝑑 = 1 + 0,2 𝐾 Semua 
𝐿
𝐵
𝑑 = 𝑠 = 1 + 0,1 𝐾  > 10
𝐿
𝑑 =𝑑 =1 >0
𝜃°
Kemiringan 𝑖 = 𝑖 = 1− Semua 
90°
𝜃°
R 𝑖 = 1−  > 10
𝜙°

𝑖 =0 >0
Dimana Kp = tan2 (45 + /2)
 = sudut resultan diukur dari vertikal tanpa tanda
B, L, D = sudah ditentukan sebelumnya

V.A. Assa

-32-
V.A. Assa

-33-
Persamaan Daya Dukung Meyerhof
Meyerhof (1951,1963) menyarankan suatu persamaan daya dukung yang mirip saran
Terzaghi, tetapi memasukkan suatu faktor bentuk sq untuk ketentuan kedalaman Nq. Ia juga
memasukkan faktor kedalaman di dan faktor kemiringan ii untuk kasus-kasus dimana beban
telapak itu miring terhadap vertikal. Ini menghasilkan persamaan-persamaan dengan
bentuk umum seperti diperlihatkan pada tabel 3, dengan faktor N dalam tabel 6.

Metode Daya Dukung Hansen


Hansen (1970) menyarankan kasus daya dukung umum dan persamaan faktor N yang
dinyatakan dalam tabel 3. Mudah diketahui bahwa persamaan ini merupakan lanjutan lebih
jauh atas karya Meyerhof yang lebih dahulu (1951). Faktor-faktor bentuk, kedalaman dan
lainnya buatan Hansen yang menyusun persamaan daya dukung umum disajikan dalam
tabel 7. Perubahan-perubahan ini mewakili revisi-revisi dan lanjutan atas saran-saran
terdahulu dalam tahun 1957 dan 1961. Lanjutan-lanjutan itu mencakup suatu faktor untuk
telapak yang dimiringkan terhadap horisontal bi dan untuk kemungkinan telapak bila
dipasang pada suatu kemiringan gi. Tabel 6. memberikan nilai-nilai N yang terpilih untuk
persamaan Hansen bersama-sama dengan faktor pembantu untuk bentuk dan kedalaman
yang lebih sulit.
Untuk telapak pada suatu lereng dipakai faktor gi untuk menurunkan daya dukung,
akan tetapi, hal ini sebagaimana halnya faktor-faktor yang diberikan oleh Shields dkk
(1977), harus digunakan berhati-hati karena hanya terdapat sedikit data yang memakai
telapak model pada sebuah lereng kotak pasir. Sukar untuk diketahui suatu kasus lapangan
dimana kita harus memakai telapak sebar dalam suatu lereng tanah tak berkohesi, kecuali
bila sudut miring  itu sangat rendah dan kedalaman telapak D itu sangat besar.
Bagaimanapun juga, karena dalam bentuk tanah miring itu sudah ada tegangan-tegangan
geser (yang menahan lereng pada tempatnya), kita jangan menyesuaikan suatu tr
terhadap nilai regangan bidang yang lebih besar dan selain itu harus digunakan faktor
keamanan yang besar.

V.A. Assa

-34-
Tabel 6.
Faktor-faktor daya dukung untuk persamaan Meyerhof, Hansen dan Vesic’

Perhatikan bahwa Nc dan Nq sama untuk ketiga metode seluruhnya;


Subskrip menandakan penulisannya untuk N

 Nc Nq N(H) N(M) N(V) Nq / N c 2 tan (1-sin )2


0 5,14 1,0 0,0 0,0 0,0 0,195 0,000
5 6,49 1,6 0,1 0,1 0,4 0,242 0,146
10 8,34 2,5 0,4 0,4 1,2 0,296 0,241
15 10,97 3,9 1,2 1,1 2,6 0,359 0,294
20 14,83 6,4 2,9 2,9 5,4 0,431 0,315
25 20,71 10,7 6,8 6,8 10,9 0,514 0,311
26 22,25 11,8 7,9 8,0 12,5 0,533 0,308
28 25,79 14,7 10,9 11,2 16,7 0,570 0,299
30 30,13 18,4 15,1 15,7 22,4 0,610 0,289
32 35,47 23,2 20,8 22,0 30,2 0,653 0,276
34 42,14 29,4 28,7 31,1 41,0 0,698 0,262
36 50,55 37,7 40,0 44,4 56,2 0,746 0,247
38 61,31 48,9 56,1 64,0 77,9 0,797 0,231
40 75,25 64,1 79,4 93,6 109,3 0,852 0,214
45 133,73 134,7 200,5 262,3 271,3 1,007 0,172
50 266,50 318,5 567,4 871,7 761,3 1,195 0,131

Persamaan Daya Dukung Vesic


Prosedur Vesic (1973, 1974) yang pada asasnya merupakan metode Hansen akan
diperhatikan sebentar. Perbedaan-perbedaan hakiki pada metode ini adalah pada
pemakaian N yang sedikit berbeda (lih. Tabel 6.).

V.A. Assa

-35-
Tabel 7.
Faktor-faktor bentuk, kedalaman, kemiringan tanah dan alas yang diberikan pada tabel 3

V.A. Assa

-36-
'=sat – w
Pengaruh Muka Air Tanah
Bagian sebelumnya berasumsi bahwa muka air terletak di bawah permukaan kegagalan
dalam tanah mendukung pondasi. Namun, jika muka air berada di dekat pondasi, istilah q
dan  dalam persamaan daya dukung batas perlu dimodifikasi. Proses ini dapat dijelaskan
dengan mengacu pada gambar di bawah, di mana muka air ini terletak di kedalaman d di
bawah permukaan tanah.

Gambar 27. Pengaruh muka air tanah pada daya dukung batas

Case I: d = 0
Untuk d = 0, istilah q =  . Df terkait dengan Nq harus diubah menjadi q = ' . Df (' = berat isi
efektif tanah). Juga, istilah  yang terkait dengan N harus diubah dengan '.

Case II: 0 < d ≤ Df


Untuk kasus ini, q akan sama dengan d + (Df – d) ', dan istilah  yang terkait dengan N
harus diubah menjadi '.

Case III: Df ≤ d ≤ Df + B
Kondisi ini adalah salah satu di mana muka air tanah terletak pada atau di bawah bagian
alas pondasi. Sehingga, q =  . Df dan istilah  terakhir harus diganti oleh berat isi tanah
efektif rata-rata 𝛾̅ , atau
𝛾̅ = 𝛾 + (𝛾 − 𝛾′)

Case IV: d > Df + B

V.A. Assa

-37-
Untuk d > Df + B, q =  . Df dan istilah terakhir harus tetap . Ini berarti bahwa muka air
tanah tidak berpengaruh pada daya dukung batas.

V.A. Assa

-38-
Daya Dukung Menggunakan Cone Penetration Test
Meyerhof menyarankan formulasi untuk menentukan tegangan ijin dari qc agar tidak
melebihi settlement ijin (25 mm). Rumus ini berdasarkan pada kurva Terzaghi dan Peck.
a. Untuk pondasi setempat atau menerus dengan B < 1,2 m
qc kg
qa 
30 cm2
kg
qc adalah tahanan konus
cm2
b. Untuk pondasi setempat atau menerus dengan B > 1,2 m
qc
qa  (1 1 ) kg 2
30 B cm
c. Rumus umum yang mencakup semua pondasi :
qc kg
qa 
40 cm2
catatan :
- Rumus ini berdasarkan pendekatan bahwa N adalah ¼ dari nilai tahanan konus, tetapi
hubungan ini bervariasi untuk setiap tanah.
- Harga qa yang dihitung dari rumus di atas harus dikurangi setengahnya, jika pada pasir
yang air tanahnya di atas zona pengaruh pondasi.
- Harga qa harus dikalikan 2 untuk pondasi rakit.

V.A. Assa

-39-

Anda mungkin juga menyukai