Anda di halaman 1dari 147
| Jalaluddin Rakhmat IREKAYASA ISOSTAL REFORMAS! ATAU REVOLUSI? eee RR.UM. 60-01-99 REKAYASA SOSIAL Reformasi atau Revolusi? Penulis: Jalaluddin Rakmat Editor: Musa Kazhim dan Miftah F. Rakhmat Editor penerbit: Cucu Cuanda Diterbitkan oleh PT Remaia Rosdaka a Oivisi Buku Umum . Jl. Ibu Inggit Garnasih No. 49 9 Telp, (022) 5200287, Fax, Pee pe (022) 5202529 Cetakan pertama, Juni Hak cipta dilindungi unday undang pea Penyy; Dicetak oleh Remaja Rosdakarya Offset - tana Ing __ SNe ANTARA DOSA SOSIAL DAN REKAYASA SOSIAL memunculkan isu-isu utama_ tentang perubahan sosial. Beberapa pertanyaan klasik muncul: Apakah perubahan sosial merupakan sesuatu yang deterministis atau sesuatu yang ada dalam jangkauan ikhtiari manusia? Sekiranya ia suatu hal yang ikhtiari, apa yang menjadi kausa efisien (baca: sebab efektif) suatu perubahan sosial? Apakah infrastruktur, suprastruktur, atau bukan keduanya? Lebih lanjut, bagaimana cara melakukan perubahan sosial yang efektif? Bagi para reformer ataupun mereka yang pro status quo, isu-isu di atas terasa amat menggelitik. Momen seperti sekarang ini merupakan saat yang paling tepat dilakukannya social engineering. Dr. Jalaluddin Rakhmat, penulis buku ini —yang lebih akrab dengan panggilan Ustad (Kang) Jalal— mendeskripsikan social engineering .6ébagai per- ubahan sosial yang direncanakan. Perubahan sosjal ini disebut dengan berbagai jSttlah. Ada yan (Givers reformasi pasca-Orba kembali bak tatanan dan institusi-institusi sosial, sehingga menghasilkan suatu masyarakat yang mandiri, res- ponsible, terbuka, yang di dalamnya rantai ling- karan setan berbagai permasalahan sosial berhasil diputuskan. Istilah rekayasa sosial jelas mengandung peno- lakan esensial terhadap ide determinisme sejarah, baik dialektika historis ala Marx dan Hegel maupun determinisme teologis yang berkedok agama. Lebih dari itu, istilah rekayasa sosial, secara hakiki, mengandung penerimaan terhadapa eksistensi masyarakat sebagai suatu entitas yang tidak sekadar kumpulan dari individu-individu. Syahid Allamah Murtadha Muthahhari menje- laskan panjang lebar mengenai konsep Islam tentang eksistensi masyarakat. Masyarakat, sebagaimana individu, memiliki eksistensi yang mandiri: suatu masyarakat bisa memiliki dosa masyarakat, sebagaimana seorang individu bisa memiliki dosa individu. Imam Ali bin Abi Thalib, dalam salah satu khotbahnya, dalam Nahjul Balaghah, menjelaskan: “Hai manusia, sesungguh- nya yang membentuk suatu masyarakat ialah perasaan bersama untuk setuju dan tidak setuju. Sungguh, hanya satu orang yang telah membunuh unta betina Tsamud, tetapi Allah menghukum mereka semua, sebab mereka mengiyakan per- buatannya. Maka Allah berfirman: Mereka membu- nuhnya, lalu mereka menyesal. (Q.S. 26: 157).” Eksistensi masyarakat berimplikasi eksistensi masalah masyarakat (social problems), Karena itu, Vili tidak mungkin akan memecahkan masalah masya- rakat dengan memecahkan permasalahan indi- vidual. Kemiskinan di Indonesia atau di negara-negara Dunia Ketiga, bukan masalah individual. Tapi jelas- jelas. kausa efisien kemiskinannya adalah bobrok- nya tatanan sosial, ekonomi, atau lebih jelas lagi sifat tirani dari elite politik di negara-negara ini. Pernyataan bahwa sebab kemiskinan adalah kebodohan dan kemalasan orang miskin, termasuk kesalahan logika yang penulis sebut sebagai blaming the victims (menyalahkan korban). Dulu, apabila ada aktivis yang ditangkap rezim Orba atas tuduhan subversi dan lain-lain, sering para aktivis lain yang merasa lebih moderat mengatakan bahwa mereka (yang ditangkap) itu terlalu emosional dan kurang strategi. Menggunakan logika blaming the victims seperti ini memang terasa cukup nyaman untuk mengurangi rasa bersalah atau’ rasa gelisah. Rumusnya: salahkan korban dan lepaskanlah tanggung jawab. Penulis menjelaskan secara elabo- ratif distingsi masalah sosial dengan masalah individu, dengan suatu pesan rasional: letakkan masalah sosial sebagai masalah sosial dan pecah- kan ia secara sosial; tidak mungkin memecahkan masalah sosial dengan mengebirinya menjadi suatu masalah individu. Dimulai dengan pembahasan mengenai kesalah- an-kesalahan berpikir, buku ini menjelaskan bahwa Perubahan sosial, yang bergerak melalui rekayasa Sosial, harus dimulai dengan perubahan cara ber- pikir. Karena itu, dalam kuliah-kuliahnya ini, penulis terlebih dahulu memaparkan kesalahan- kesalahan berpikir yang acap terjadi ketika meren- canakan perubahan sosial. "Mustahil ada perubahan ke arah yang benar kalau kesalahan berpikir masih menjebak benak kita. Dan itu adalah misi saya. Karena, pada saat itu (zaman Orde Baru), terjadi pengacauan intelektual yang intensif. Acapkali kita ditipu mentah-mentah. Sampai detik ini, pengacauan intelektual itu sebe- narnya masih terjadi dengan berbagai cara yang halus (delicate). Jelas, dalam pandangan saya, aktivitas intelektual, mau tidak mau, mendahului aktivitas material. Jiwa (mind), dengan semua per- sepsinya, memiliki prioritas terhadap aktualisasinya di alam material. Atau dalam bahasa yang lebih mistis, ruh lebih utama ketimbang materi." Maka bagaimana mengubah jiwa masyarakat dan organ-organ tubuh masyarakat (baca pula: tatanan dan institusinya) menjadi suatu masyarakat yang mandiri dan terus-menerus menjadi lebih baik? Jawabannya ada dalam bab-bab panjang buku ini yang telah diungkap secara elaboratif oleh penulis. Yang menarik untuk digarisbawahi adalah sebuah tips khusus bagi kelompok masyarakat yang benar-benar menghendaki perubahan menyeluruh dalam masyarakat. Bab terakhir buku ini meng- ungkapkan realitas sebuah revolusi, baik secara teoretis maupun praktis, dan bagaimana sebuah revolusi (dapat) dilaksukan. Dengan cermat dan x tajam. penulis memberikan korelasi antara reformasi dan revolusi; yang memberikan tanda tanya besar bagi kaum reformer moderat dan radikal menghadapi status quo atau stagnasi intelektualitas dan aktivitas masyarakat: Apakah reformasi merupakan pilihan terbaik atau malah sebuah revolusi sosial? Benarkah harga yang harus dibayar sebuah revolusi terlalu mahal ketimbang harga sebuah reformasi yang tersendat-sendat, bila saja tidak mati? Benarkah gradualitas (keberangsur- angsuran) reformasi menjamin lebih aman untuk tercapainya misi reformasi ketimbang sudden (kemendadakan) dan radical change (perubahan radikal) yang diberikan oleh revolusi? Mungkinkah ketika reformasi gagal, kita akan melakukan revolusi? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi begitu penting belakangan ini. Karena itu, Anda perlu membaca buku ini, secara utuh, sebagai sébuah rujukan yang akurat. Selamat membaca. Bandung, 15 Juni 1999 Dr. Ir. Dimitri Mahayana, M. Eng. DAFTAR ISI ——_—_ PENGANTAR v BAB I KERANCUAN BERPIKIR DAN MITOS 3 Kesalahan-Kesalahan Berpikir 4 Fallacy of Dramatic Instance 5 Fallacy of Retrospective Determinisme 11 . Post Hoc Ergo PropterHoc 13 . Fallacy of Misplaced Concretness 16 Argumentum ad Verecundiam 17 . Fallacy of Composition 19 Circular Reasoning 20 Mitos-Mitos Sosial 22 1. Mitos Deviant 22 2. Mitos Trauma 25 NOV AWN BAB It MAKNA REKAYASA SOSIAL 37 Dimensi-Dimensi Perubahan Sosial 45° Sebab-Musabab Perubahan Sosial 41 Pembangunan dan Reformasi 49 Strategi-Strategi Perubahan Sosial/ 53° Problem Sosial dan Problem Indiviiual 54 xiii Problem Sosial dan Aksi Sosial 58 Analisis Aksi Sosial 82 Tanya-Jawab 93 Pertanyaan1 93 Pertanyaan2 94 BAB III PROSES PERUBAHAN SOSIAL 103 Ideas Menentukan Sejarah 103 Profit Motive 106 Ascetic Orientation 107 Ideas of Calling 107 Tiga Kebutuhan 118: Projection Technique 117 Ideas as Historical Forces 122 Homo Sovieticus 124 Ciri-ciri Homo Sovieticus 126 Tanya-Jawab 133 Pertanyaan1 133 Pertanyaan2 134 Pertanyaan3 135 Bab IV HOMO ORBAICUS 141] 1. Double Talk 151 2. Phoney Actions and Ritualistic Activities (Rekayasa dan Ritualisasi Makna) 151 3. Strukture of Organized Lying (Struktur Kebohongan yang Terorganisir) 154 4. Parasitic Innovativeness (Kepribadian untuk Menemukan Hal-hal Baru) 158 xiv 5. Prolonged Infantilism (Masa Kanak-Kanak yang Kelamaan) 160 6. Disinterested Envies (Iri Hati yang tidak Memihak) 163 Bab V MANUSIA-MANUSIA BESAR 167 Shades of Greatness (Bayang-Bayang Kebesaran) 171 Bab VIREVOLUSI 177 Definisi Revolusi 184 Jalannya Revolusi, The Course of Revolution 191 Pembunuhan di medanJaleh 191 Teori-Teori Revolusi 198 Mazhab Behavioral 199 Mazhab Psikologis 201 Mazhab Struktural 207 Mazhab Politik 208 DAFTAR PUSTAKA 213 a eM coy Nr SI"ATAU"REVOLUSI2™ ++ perubahan sosial yang bergerak melalui rekayasa sosial harus dimulai dengan Perubahan cara berpikir ... . Mustahil ada perubahan ke arah yang benar, kalau kesalahan berpikir masih menjebak benak kita. BAB | KERANCUAN BERPIKIR DAN MITOS gagasan saya pribadi. Tidak ada teori muluk- muluk yang saya sampaikan. Muatan kuliahnya sebatas ideas saya yang ketika itu (sekitar tahun 1986) bersemangat mengubah pandangan para mahasiswa supaya merencanakan perubahan sosial. Tetapi, sebagai ilmuwan, saya sadar sekali bahwa perubahan sosial yang bergerak melalui rekayasa sosial harus dimulai dengan perubahan cara berpikir. Karena itu, dalam kuliah-kuliah ini, terlebih dahulu saya akan memaparkan kesalahan- kesalahan berpikir yang acap kali terjadi saat kita merencanakan perubahan sosial. Mustahil ada perubahan ke arah yang benar kalau kesalahan berpikir masih menjebak benak kita. Dan itu adalah misi saya. Karena, pada saat itu (zaman Orde Baru) terjadi \penj yang intensif. Acapkali kita diti Sampai detik ini, pengacauan intelektual itu sebenarnya masih terjadi dengan berbagai cara yang I eens ini umumnya merupakan halus (delicate). Padahal, kita sepenuhnya tahu dan sadar bahwa pengeruhan dan Ppengacauan intelektual itu merupakan keliruan. Tetapi, apa hendak dikata, namanya saja sudah rekayasa yang di dalamnya terdapat unsur-unsur manipulasi, Pada waktu kuliah-kuliah ini saya sampaikan,. sering saya dengar pernyataan pejabat yang) sebetuinya jatuh pada intellectual cul-de-sacs | (kesalahan-kesalahan berpikir). Dalam membahas masalah sosial, perlu juga kita membicarakan berbagai kesalahan pemikiran dalam memperlakukan masalah sosial. Oleh Para | ilmuwan, kesalahan seperti ini biasa disebut dengan | intellectual cul-de-sac, suatu istilah dalam bahasa | Perancis untuk menunjukkan kebuntuan pemi- Kiran. Ada dua macam kesalahan: intellectual cul-de- sac dan mitos. Mitos adalah sesuatu yang tidak benar, tetapi dipercayai oleh banyak orang, | termasuk para ilmuwan. | Kesalahan-Kesalahan Berpikir | Secara umum, intellectual cul-de-sac terbagi atas Jallacy of dramatic instance, Jallacy of retrospective determinism, post hoc ergo Propter hoc, fallacy of misplaced concretness, argumentum ad verecundiam. Sallacy of compositiion, dan circular reasoning. 1, Fallacy of Dramatic Instance Fallacy of dramatic instance berawal dari kecen- derungan orang untuk melakukan apa yang dikenal dengan over-generalisation. Yaitu, penggunaan satu- dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat general atau umum. Kerancuan berpikir semacam ini banyak terjadi dalam berbagai telaah sosial. Argumen yang overgeneralized ini biasanya agak sulit, dipatahkan. Karena, satu-dua kasus rujukan itu seringkali diambil dari pengalaman pribadi seseorang (individual's personal experience). Misalnya, suatu ketika pernah saya diskusi di TVRI tentang dampak sosial dari direct broadcast satellite. Waktu itu saya membahas dampak- dampak sosial yang mungkin terjadi bila antena pa- rabola menyebar di suatu komunitas. Dalam diskusi itu, kebetulan hadir seorang insinyur yang mendapat gelar doktor dari Jerman dalam bidang teknik, bukan bidang logika. Setelah saya menyebut beberapa efek yang mungkin terjadi karena spillover (informasi yang meluber) dari Singapura yang bisa mengancam kepribadian bangsa, dia mengatakan: “Saya ini sudah lama tinggal di Riau. Dan televisi di sana sudah lama mengalami spillover dari siaran-siaran Malaysia, Singapura... And toh saya masih merasa sangat Pancasilais; tidak terpengaruh oleh siaran-siaran itu. Oleh sebab itu, saya menduga tidak bakal ada Pengaruh sosial yang besar dari direct broadcast sat- ellite itu.” Sahabat kita ini sebetulnya sudah jatuh pada fallacy of dramatic instance. Dia menyamakan semua orang dengan dirinya lewat pernyataan: “Karena saya tidak mengalami apa-apa, pastilah orang lain juga tidak bakal mengalami apa-apa.” Berikut adalah contoh lain dari kesalahan serupa, Sekarang ini banyak orang Indonésia yang jatuh miskin. Dari kenyataan ini, muncul teori bahwa kemiskinan mereka disebabkan oleh struktur ekonomi yang timpang. Ketimpangan struktur ekonomi sebagai pangkal kemiskinan ini lantas disebut dengan teori ‘Kemiskinan Struktura!’. Teori itu lantas dibantah orang dengan contoh seorang buruh berpenghasilan kecil yang punya semangat kewirausahaan tinggi, tekun, dan tabah, akhirnya menjadi pengusaha rokok yang besar. Walhasil, menurut pembantah teori “Kemiskinan Struktural’ ini, kalau orang mau tekun dan bekerja keras seperti Pengusaha rokok itu, pasti akan menjadi pengusaha besar atau konglomerat. Jelas, ini kesalahan dari sebuah contoh dramatis Pengalaman pribadi yang diovergeneralisasikan kepada kasus-kasus lain yang bercakupan lebih luas. Saya ingin memberikan satu contoh yang berkaitan dengan keadaan orang-orang Islam. Pernah Seseorang mengatakan bahwa orang-orang Islam itu jorok. Buktinya, Indonesia yang mayoritas Muslim, orang-orangnya jorok, Orang itu lalu menyimpulkan bahwa Muslim di mana pun jorok. Sebaliknya, orang-orang Nasrani itu bersih dan rapi. 6 a aD ee ed Buktinya, orang-orang Nasrani di negera-negara Barat umumnya bersih dan rapi. Ironisnya, kesimpulan seperti ini bukan diucapkan oleh orang awam, melainkan oleh seorang profesor doktor dari sebuah lembaga perguruan tinggi Islam di Jakarta. Saya tidak akan menyebut namanya, karena itu “tidak ilmiah”. Profesor ini menyimpulkan bahwa orang Nasrani lebih bersih daripada orang Islam dengan menjadikan Inggris, Amerika, Perancis, dan beberapa negara Eropa lain sebagai contoh untuk negara Kristen. Indonesia dijaidkannya sebagai contoh untuk negara Islam; itu pun tidak mengambil daerah elite, seperti Pondok Indah atau Kelapa Gading, atau Bintaro, tapi tempat-tempat kumuh. Dari dua contoh itu, digeneralisasikanlah bahwa orang Islam itu jorok-jorok dan orang Nasrani itu bersih-bersih. Untuk menolak asumsi yang salah itu, kita dapat dengan mudah mengambil contoh yang sebaliknya, dan menggeneralisasikannya, seperti dilakukan Pak Profesor Doktor tadi. Mungkin dia akan terkejut. Umpamanya, ketika dia mengatakan orang Nasrani lebih bersih, saya katakan saja bahwa } orang Nasrani di Filipina itu jorok, orang Nasrani di Argentina itu jorok, dan orang Nasrani di Brazil itu juga jorok. Kesimpulannya: orang Nasrani jorok- jorok. Orang Islam di Inggris itu bersih, orang Islam di Amerika juga bersih, dan orang-orang Islam di negara-negara Barat lain pada umumnya juga bersih-bersih. Dengan demikian, kesimpulannya. orang-orang Islam itu bersih dan orang-orang Nasrani itu jorok. Satu contoh lagi yang berkaitan dengan Islam. Ketika kita hendak mengetahui apakah betui umat Islam sekarang ini sedang bermasalah, ada orang yang mengatakan: “Tidak! Justru sebaliknya. Islam sekarang sedang bangkit. Lihat saja pengajian di Jami'ul ‘Anam yang biasanya sepi, kini dipadati pe- ngunjung. Motor hampir tidak bisa menemukan tem- pat parkir di sana. Itu adalah tanda bahwa Islam sedang bangkit!" Kesimpulan ini diambil dari contoh orang-orang yang sedang datang ke mesjid itu. Atau: “Siapa bilang pemerintah Orde Baru tidak mendukung umat Islam? Lihat, betapa banyak mesjid yang dibangun selama masa pemerin- tahannya. Bukankah itu menunjukkan besarnya perhatian Orde Baru kepada umat Islam?” Tentu Saja, orang bisa memberikan contoh-contoh yang bertolak-belakang dengan semua itu. Contoh lain yang lebih fatal —karena mem- pengaruhi rencana rekayasa sosial itu sendiri— adalah seseorang yang membaca sejarah Islam dan Rasulullah Saw, dan menemukan adanya satu-dua kesamaan antara situasi dan kondisi saat itu dengan saat ini, lalu dengan serta-merta, menyim- pulkan bahwa yang lainnya’pun akan sama. Kesalahan serupa ini pernah benar-benar terjadi. Suatu hari di pengajian Mesjid Al-Azhar, Jakarta, seseorang berkata begini: “Jika kita melihat fase perjalanan Nabi, sekarang ini kita berada pada fase Mekah. Mengapa? Karena, kaum Muslim kini 8 berada pada kondisi, situasi, dan posis; lemahnya dengan kaum Muslim ae Sebaliknya, ketika di Madinah, orang-orang Islam sudah kuat." Karena (satu) kesamaan a maka yang lain-lain juga pasti sama. Kalau begitu arti- nya, pada fase Mekah, kaum Muslim tidak ‘perlu mengeluarkan zakat. Sebab, zakat baru diwajibkan setelah Nabi di Madinah. Juga, haji dan sebagainya. Akibatnya, si penanya tadi benar-benar tidak mengeluarkan zakat. Ketika ditanya mengapa tidak mengeluarkan zakat, dengan enteng dia menjawab: “Masih di fase Mekah.” Penanya itu jatuh pada fal- lacy of dramatic instance. Saya ingin memberikan suatu contoh dalam kehidupan kita sehari-hari, supaya lebih memudah- kan kita memahami fallacy of dramatic instance ini: Harry adalah mahasiswa ITB Dimitri adalah mahasiswa ITB Dimitri sudah punya anak Jadi, Harry juga sudah punya anak (karena keduanya mahasiswa ITB). Kadang-kadang, overgeneralisasi terjadi dalam pemikiran kita saat memandang seseorang. sesuatu, atau tempat. Padahal, orang itu selalu berubah, sehingga hal yang sama tidak bisa kita terapkan pada orang yang sama terus-menerus dan selama-lamanya. Alfred Korzybski, salah seorang ahli linguistik dan psikiatri, menyebutkan betapa Seringnya kita tidak melihat adanya perubahan Pada sesuatu. Contoh berikut ini betul-betul terjadi pada seorang teman wanita saya semasa kuliah duly, Setelah puluhan tahun, saya berjumpa lagj dengannya. Dia mengenal saya ketika masih menjadi mahasiswa. Setelah sekian tahun tak ber. temu, dia terkejut melihat saya menjadi mubalig, Heran sekali dia. Tidak terbayangkan dalam benak-. nya kalau saya bisa menjadi seorang mubalig. Dia membayangkan masa lalu saya yang setengah ateis itu. Dulu, sewaktu di kampus, saya memang sering membela ateisme. Jadi, hampir tidak terbayangkan olehnya, tiba-tiba saya bisa berdiri di mimbar | mesjid, di kampung halamannya, sebagai seorang | mubalig. Sebetulnya teman saya ini terjebak pada fallacy of dramatic instance. Dia menilai saya dengan | “ukuran saya” tahun 1967-1968. Dikiranya saya akan terus seperti itu sepanjang hidup. Dalam daftar kategori, memori, dan storage dia, jika ada la- | bel “Jalaluddin”, yang otomatis ter-retrieve adalah gambaran saya pada tahun 60-an itu. Oleh karena itu, kata Alfred Korzybski, ada baiknya dalam berpikir kita melakukan dating (penanggalan). Kalau kita menilai sesuatu, tulislah hari dan tanggalnya. Misalnya, ‘Jalaluddin tahun 1967’, agar kita tidak terjebak pada fallacy of dramatic instance. Ini berlaku juga ketika kita menilai orang lain. Munculnya stereotip pada benak kita merupakan salah satu akibat dari kesalahan berpikir seperti itu. Misalnya, ada orang Batak yang | menyakiti hati Anda saat pertama kali Anda | 10 berjumpa dengannya. Pada perjumpaan lain, seorang Batak lain menyakiti hati Anda lagi. Biasanya, tidak harus sepuluh orang; tiga saja sudah cukup untuk membentuk stereotip pada diri Anda bahwa semua orang Batak galak. Karena itu, masih kata Korzybski, untuk membereskan fallacy of dramatic instance ini, jika Anda bertemu dengan orang Batak, Anda harus membuat indeks (indexing). Batak-4 tidak sama dengan Batak-1, Batak-2, Batak-3 atau Batak-5 yang ada dalam pikiran Anda. Indexing ini persis seperti yang dilakukan komputer. Tanpa indeks itu, kita akan terjebak pada fallacy of dramatic instance. Perumpamaan orang Batak di sini hanya contoh. Dan, sekali lagi, harus dipandang secara ilmiah. jangan dipolitisir. 2. Fallacy of Retrospective Determinism Istilah yang panjang ini sebetulnya hanya untuk menjelaskan kebiasaan orang yang menganggap masalah sosial yang sekarang terjadi sebagai Sesuatu yang secara historis memang selalu ada, tidak bisa dihindari, dan merupakan akibat dari Sejarah yang cukup panjang. Determinisme selalu Saja lebih memperhitungkan masa silam ketimbang masa mendatang. Misalnya, ada suatu masalah sosial yang bernama pelacuran alias prostitusi. Sebagian orang Mengatakan: “Mengapa pelacuran itu harus 11 dilarang? Sepanjang sejarah pelacuran itu ada dan tidak bisa dibasmi. Oleh karena itu, yang harus kita lakukan bukan menghilangkan pelacuran, melainkan melokalisasikannya agar terhindar dari dampak-dampak yang tidak diinginkan. Karena, sekali lagi, pelacuran itu sudah ada sepanjang sejarah,” Dengan demikian, cara berpikir ini selalu mengambil acuan “kembali ke belakang” atau “historis", Karena itu, kesalahan berpikir ini disebut restrospective (melihat ke belakang). Determinisme restrospektif adalah upaya kembali pada sesuatu yang seakan-akan sudah ditentukan (determined) di dalam sejarah yang telah lalu. Orang yang punya kesalahan berpikir semacam ini, umapamanya, melihat perpecahan umat Islam sekarang ini sebagai suatu yang lumrah dan sudah terjadi sepanjang sejarah. Bahkan, sejak zaman Rasulullah Saw, perpecahan di kalangan para sahabat sudah terjadi. Seperti yang tampak pada peristiwa Sagifah Bani Sa’idah. Karena itu, perpe- cahan tidak usah kita hilangkan. Malah, perpecahan itu sebaiknya kita lestarikan saja. Paling-paling, kita mengaturnya melalui management of conflict. Pikiran yang begitu sebenarnya sudah terjebak pada Jallacy of retrospective determinism. Contoh lainnya adalah perkara kemiskinan. Orang yang berpendirian seperti di atas, akan mengatakan bahwa kemiskinan sudah ada Sepanjang sejarah. Dari dulu ada orang kaya dan miskin. Mengapa orang sekarang mesti ribut-ribut 12 memberantas kemiskinan, Padahal, kemiskinan tidak bisa diberantas, sudah ada sejak baheula. 3. Post Hoc Ergo Propter Hoc Istilah ini berasal dari bahasa latin: post artinya sesudah; hoc artinya demikian; ergo artinya karena itu; propter artinya disebabkan; dan hoc artinya demikian. Singkatnya: sesudah itu - karena itu - oleh sebab itu. Jadi, apabila ada peristiwa yang terjadi dalam urutan temporal, maka kita menyatakan bahwa yang pertama.adalah sebab dari yang kedua. Misalnya si X datang sesudah Y. Maka X dianggap sebagai sebab dan Y sebagai akibat. Alasannya apa? Karena, urut-urutan waktunya begitu. Saya akan beri contoh yang paling ekstrem pada kejadian yang sering kita alami. Pada suatu ketika, bersama Mas Amien Rais, saya mendapat jadwal ceramah di Universitas Trisakti. Tetapi, ceramah itu akhirnya gagal. Persis setelah saya kembali ke Bandung, terjadi kecelakaan kereta api di Bintaro, Jakarta. Lalu, orang mengambil kesimpulan bahwa tabrakan kereta api itu terjadi karena acara ceramah saya itu digagalkan. Ini adalah contoh post hoc ergo propter hoc. Kesalahan berpikir dalam contoh di atas memang kentara sekali. Akan tetapi, pada sejumlah kasus lain, post hoc ergo propter hoc ini terjadi secara halus alias tidak kentara. Pernah salah seorang politisi di negara 13 Antah Berantah berkata begini: “Keberhasilan pembangunan Orde Baru (Orba) terbukti dengan banyaknya jumlah kendaraan bermotor yang dimiliki masyarakat. Dulu, sebelum Orba, antara tahun sekian sampai tahun sekian, kendaraan bermotor adalah kendaraan yang langka. Seluruh mahasiswa berangkat kuliah naik sepeda. Kini, hampir setiap mahasiswa punya kendaraan bermotor. Ini menunjukkan keberhasilan peme- rintahan Orba.” Pejabat ini sebetulnya terjebak ke dalam post hoc ergo propter hoc. Dengan mudah kita bisa mem- buktikan kesalahan ini dengan mengatakan: “Betul itu, Tetapi, dulu pada tahun sekian sampai tahun sekian, sebelum Anda memerintah, jumlah penduduk hanya 10 juta. Sekarang, setelah Anda memerintah, penduduk bertambah menjadi 20 juta. Berarti Anda bertanggung jawab terhadap pertam- bahan penduduk. Dulu jumlah orang yang miskin sekian. Sekarang, setelah Anda memerintah, jumlahnya bertambah sekian.” Padahal, penduduk bertambah, otomatis orang miskin bertambah. Tetapi. karena ini terjadi sesudah itu, maka dikatakan karena itu. Atau dalam bahasa Latinnya: Post hoc ergo propter hoc. Ada satu ulasan dari sebuah majalah: “Setelah pemerintahan keluarga Saudi, jumlah jemaah haji bertambah setiap tahunnya. Ini menunjukkan bahwa hanya pemerintahan keluarga Saudilah yang bisa dipercaya untuk menjadi khadimul haramain (penjaga dua tempat suci). Hal ini terbukti bahwa 14 setelah keluarga Saudi memerintah, maka jumlah jemaah haji bertambah terus.” Contoh itu juga bisa kita carikan kebalikannya. Misalnya, setelah pemerintahan keluarga Saudi, jumlah jemaah haji yang meninggal bertambah banyak. Pertambahan ini sebetulnya bukan karena keluarga Saudi, tapi karena hal-hal lain. Sebenarnya, banyak dari kita yang cenderung berpikir seperti itu. Misalnya, Anda menulis surat dengan pulpen tertentu pada seorang yang sangat Anda cintai. Surat itu diterimanya. Pulpen yang sama kemudian Anda gunakan untuk mengerjakan ujian, Anda pun lulus. Lalu, Anda minta uang pada orangtua melalui surat yang ditulis dengan menggunakan pulpen itu. Tak lama kemudian orangtua Anda mengirimkan uang pada Anda. Nanti, Anda akan sangat mencintai pulpen itu. “Ini bukan pulpen sembarang pulpen!” kata Anda. “Pulpen ini mendatangkan keberuntungan.” Ada orangtua yang lebih mencintai seorang anak dibandingkan anak yang lain hanya karena orangtua itu kebetulan naik pangkat atau ekono- minya menjadi lebih stabil setelah memperoleh anak kesayangannya itu. Dulu, ketika zaman anak Pertama, orangtua ini sengsara. Maklum, kehidupan berkembang. Tapi, malangnya, yang kena getah malah anak pertama. Orangtua itu berkata: “Ini anak membawa sial. Dulu, zaman anak ini saya sengsara. Nah, anak saya yang terakhir ini yang membawa keberuntungan.” Lagi-lagi. itu adalah contoh post hoc ergo propter hoc. 15 4. Fallacy of Misplaced Concretness isplaced berarti salah letak. Concretness artinya hpueearal Jadi, kesalahan berpikir ini muncu] karena kita mengkonkretkan sesuatu yang pada hakikatnya abstrak. Misalnya, mengapa orang Islam secara ekonomi dan politik lemah? Mengapa kita tidak bisa menjalankan syariat Islam dengan baik? Lalu ada orang menjawab: “Kita hancur karena kita berada pada satu sistem jahiliyah. Kita hancur karena ada thaghut yang berkuasa.” Tetapi, sistem jahiliyah dan thaghut itu adalah dua hal yang abstrak. Sehingga jika jawabannya seperti itu, lalu_ + apa yang bisa kita lakukan? Kita harus mengubah - c sistem! Tetapi. “siapa” sistem itu? Sistem yang | G abstrak itu kita pandang sebagai sesuatu yang r konkret. is Dalam istilah logika, kesalahan seperti di atas | p itu disebut reification. Yaitu, menganggap real) s Sesuatu yang sebetulnya hanya berada dalam d Piltiran kita, Misalnya, dari mana kita bisa memulai /P Pembenahan kemiskinan struktural itu? Kita tidak | “i tahu. Yang jelas, kemiskinan disebabkan oleh 2 struktur, titik. Selesai Pembicaraan. Oleh sebab itu, ™ Pemikiran seperti ini kita sebut intellectual cul-de- sac. Cul-de-sac, seperti telah disebutkan, berarti Jalan buntu’, Termasuk ke dalam kesalahan ini adalah mentay ini semua sudah takdir Allah.” Saya Pperdebatan dalam buku Dalail al-Shidg. HA mM aA Ren 5 B w K 16 Seorang ulama bernama Al-Hilly mengatakan: “Sahabat itu tidak semuanya bagus. Bahkan, dalam salah satu peperangan yang terkenal dengan Perang Hunain, seluruh sahabat melarikan diri, kecuali 12 orang yang berkumpul di sekitar Rasulullah Saw. Akhirnya turun ayat yang mengecam para sahabat dan mengatakan: ‘Kemudian kalian lari semua’. Nah, ini menunjukkan bahwa sahabat itu tidak semuanya baik. Bahkan, kebanyakan sahabat lari dari pertempuran. Padahal, lari dari pertempuran itu merupakan dosa besar.” Lawan bicara Al-Hilly, Al-Fadhl, menjawabnya begini: “Peristiwa itu terjadi karena sudah dikehendaki oleh Allah Swt (wa hadzihi al-harb qadhaullah). Perang itu ialah ketentuan Allah untuk menunjukkan kepada Rasulullah Saw bahwa sebetulnya kekuatan Rasulullah tidak dibantu oleh para sahabat tetapi langsung oleh Allah Swt. Supaya orang tahu bahwa Rasulullah langsung dibantu oleh Allah, maka Allah menentukan agar para sahabat itu melarikan diri.” Mengatakan bahwa “tni sudah takdir” adalah mereifikasi sesuatu yang abstrak. Pembicaraan selesai sampai di situ jika kita mengatakan bahwa itu karena takdir Allah. 5. Argumentum ad Verecundiam Berargumen dengan menggunakan otoritas, walaupun otoritas itu tidak relevan atau ambigu. Kata-kata di atas memang abstrak semua: otoritas; 17 =. Tet ree aw vO Dp orang ulama bernama A\I-Hi ee rebal itu tidak semuanya eee salah satu peperangan yang terkenal dengan Perang Hunain, seluruh sahabat melarikan diri, kecuali 12 orang yang berkumpul di sekitar Rasulullah Saw. Akhirnya turun ayat yang mengecam para sahabat dan mengatakan: ‘Kemudian kalian lari semua’. Nah, ini menunjukkan bahwa sahabat itu tidak semuanya baik. Bahkan, kebanyakan sahabat lari dari pertempuran. Padahal, lari dari pertempuran itu merupakan dosa besar.” Lawan bicara Al-Hilly, Al-Fadhl. menjawabnya begini: “Peristiwa itu terjadi karena sudah dikehendaki oleh Allah Swt (wa hadzihi al-harb qadhaullah). Perang itu ialah ketentuan Allah untuk menunjukkan kepada Rasulullah Saw bahwa sebetulnya kekuatan Rasulullah tidak dibantu oleh para sahabat tetapi langsung oleh Allah Swt. Supaya orang tahu bahwa Rasulullah langsung dibantu oleh Allah, maka Allah menentukan agar para sahabat itu melarikan diri.” Mengatakan bahwa “ini sudah takdir” adalah mereifikasi sesuatu yang abstrak. Pembicaraan selesai sampai di situ jika kita mengatakan bahwa itu karena takdir Allah. 5. Argumentum ad Verecundiam Berargumen dengan menggunakan otoritas, walaupun otoritas itu tidak relevan atau ambigu. Kata-kata di atas memang abstrak semua: otoritas: 17 relevan; dan ambigu. Otoritas itu sesuatu atay seseorang yang sudah diterima kebenarannya , secara mutlak, seperti Al-Qur'an dan Rasulullah Saw. Ada orang yang menggunakan otoritas untuk membela paham dan kepentingannya sendiri. Dengan mengutip suatu peristiwa dalam sirah (perjalanan) Nabi, dia bermaksud membenarkan paham dan kepentingannya sendiri. Padahal, peristiwa yang dikutipnya itu belum tentu relevan dengan masalah atau tema yang sedang dibincangkan. ' Lebih dari itu, petikan peristiwa sirah itu juga bisa ditafsirkan berbeda oleh orang yang berbeda. |! Itulah yang kita maksudkan dengan otoritas yang | ‘ ambigu atau taksa. Dengan demikian, salah besar’ ‘ jika ada orang yang hendak membenarkan |! tindakannya dengan mengutip Sunnah Nabi. ie Pasalnya, Sunnah Nabi itu sendiri mengundang pelbagai penafsiran dari kalangan lain yang berbeda paham alias ambigu. Apabila si A menyatakan bahwa ayat sekian dari surah sekian dalam Al-Qur'an menjelaskan definisi perjuangan Qur'ani secara demikian, maka sebenarnya si A tadi telah melakukan kesalahan berpikir. Karena, ayat yang sama itu masih bisa ditafsirkan secara berlainan oleh pikiran orang lain. Saya pernah mengusulkan, jika kita hendak menyebut otoritas, mestinya kita segera menam- bahkan frasa “menurut saya”. Jadi, “Beginilah cara berjuang menurut Al-Qur'an, menurut saya.” a dom 18 BIR, we w~rvos wy MAS mus Mengapa? Sebab, seringkali orang pertama memaksa lawan bicara untuk diam, tidak mem- bantah, bahkan mengkafirkan yang membantah (dengan alasan membantah Al-Qur‘an itu sendiri) setelah orang pertama itu dengan enaknya mengutip ayat dari Al-Qur’an, Padahal, andaipun lawan bicaranya ingin membantah, maka yang diban- tahnya itu bukan Al-Qur’an, melainkan penggunaan otoritas Al-Qur'an yang ditafsirkan seenaknya oleh orang pertama. 6. Fallacy of Composition Suatu saat, di kampung saya, Cicalengka, ada orang yang memelihara ayam. Ayam petelor negeri itu berhasil mendatangkan uang banyak bagi si empunya. Melihat itu, dengan serta-merta seluruh penduduk kampung menjual sawah untuk dijadikan modaf berbisnis ayam. Akibatnya, semua penduduk kampung itu bangkrut lantaran mero- sotnya permintaan (demand) dan membludaknya pasokan barang (oversupply). Masih cerita dari kampung saya, Cicalengka. Di kampung itu, ada seorang pemuda berkreasi Mengubah motornya menjadi ojek. Kemudian, usahanya booming. Melihat usaha pemuda ini boom, semua orang akhirnya membeli motor untuk di- ojek-kan. Akibatnya, karena lahan kerja ojek Menjadi rebutan semua orang kampung, terjadilah apa yang disebut dengan poverty sharing. saling 19 an. Semua itu karena dugaan erapi berhasil untuk satu orang past; pan cehaail untuk semua orang. Inilah yang disebut fallacy of composition. Contoh lainnya, ada seorang yang beragama dengan baik. Ia terkenal saleh dan jadi sarjana y, berhasil. la memusatkan perhatian untuk belajar agama sejak kecil sampai dia menjadi ulama. Sikapnya terhadap Islam luar biasa. Ia berjuang untuk Islam dan jadi ulama yang baik. Kesim. pulannya, kalau begitu, semua orang harus dicetak menjadi ulama seperti dia. Padahal repot juga kalay semua jadi ulama. Siapa yang menjadi pendengar. nya? Karena ulama biasanya tidak mau mendengar, Al-Qur’an memperingatkan agar ada segolongan di antara kita yang mempelajari agama, dan tidak ikut berperang. Dengan demikian, seakan-akan Al- Qur'an memperingatkan kita untuk tidak jatuh pada fallacy of composition. berbagi kemiskin: 7. Circular Reasoning Circular reasoning artinya pemikiran yang berputar- | putar; menggunakan konklusi (kesimpulan) untuk | mendukung asumsi yang digunakan lagi untuk 1 menuju konklusi semula. ‘ Misalnya, terjadi perdebatan tentang rendahnya 1 prestasi intelektual umat Islam di Indonesia. Orang ‘ pertama membuktikan konklusi tersebut dengan t membandingkan persentase mahasiswa Islam dan t 20 Fee te non-Islam pada program S2 dan S3. Hasilnya, makin tinggi tingkat pendidikan, makin menurun trend kehadiran orang Islam di dalamnya. Padahal, di tingkat sekolah dasar, persentase siswa Muslim adalah 95%. Kesimpulannya, umat Islam di Indone- sia menduduki posisi intelektual yang rendah. Lalu, orang kedua menyatakan bahwa hal ini terjadi lantaran orang-orang Islam diperlakukan tidak sederajat dengan orang-orang non-Islam. Jadi, ada perlakuan diskriminatif terhadap orang-orang Islam. Sampai-sampai, orang-orang Islam sering dicoret dari program-program pendidikan tinggi. Orang pertama menjawab lagi, “Ya, orang Islam itu dicoret karena orang meragukan kemampuan intelektualnya.” Dengan jawaban ini, kita kembali pada pokok masalah. Akhirnya, perdebatan itu terus-menerus berputar di sekitar itu. Inilah yang disebut circular reasoning. Saya sering menemukan circular reasoning ini pada skripsi-skripsi mahasiswa ilmu sosial, karena saya belum tahu skripsi mahasiswa teknik. Saya sebetulnya tidak mau memberi contoh di Fakultas Komunikasi, karena itu adalah almamater saya. Di FISIP, misalnya, saya mengikuti sebuah sidang. Ada mahasiswa yang mengemukakan hipotesis, “Apabila organisasi dikembangkan dengan baik, maka Program transmigrasi akan berjalan lancar.” Ketika ‘Saya tanya, “Apa buktinya bahwa organisasi itu erjalan lancar." Jawab mahasiswa itu, “Kalau Togramnya lancar, Pak.” Saya tanya lagi, “Kalau 'Programnya lancar, apa artinya?” Dia menjawab, 21 “Artinya pengembangan organisasinya baik.” Inilah contoh circular reasoning. Ini sama saja Sepery membuat hipotesis “apabila seorang manusig perempuan, maka dia pasti wanita. Mitos-Mitos Sosial 1. Mitos Deviant © Mitos ini berawal dari pandangan bahwa masyarakat itu stabil, statis, dan tidak berubah- ubah, Kalaupun terjadi perubahan, maka perubahan itu adalah penyimpangan dari sesuaty yang stabil. Mitos ini berkembang dari teori ilmu sosial yang disebut structural Jfunctionalism (fungsionalisme struktural). Menurut teori ini, kalau mau melihat perubahan sosial, kita harus mau melihat struktur dan fungsi masyarakat. Pusat perhatian dari penggagas teori ini bukan pada dinamika sosial, tetapi pada statika sosial. Jadi, kalau ada social dynamics (dinamika sosial), maka harus ada social statics (statika sosial)!. Menurut Para penganut teori ini, jika ada thermodinamika, maka harus juga'ada thermostatika, Saya pernah menggunakan analisis fungsional untuk sebuah ceramah tentang kemiskinan di Mesjid Istiqamah, Bandung, sewaktu mesjid itu esi bisa dipakai untuk “kegiatan-kegiatan Umiah". Dalam ceramah itu saya menyebutkan 22 QE AF Feo er RR ee em bahwa kemiskinan itu fungstonal, punya peran, dan berguna. Artinya, dalam struktur masyarakat, orang miskin itu punya satu struktur yang sangat penting. Kira-kira delapan fungsi orang miskin yang saya sebut waktu itu. Di antaranya, pertama, orang miskin berfungsi mengerjakan pekerjaan kotor. Kalau tidak ada orang miskin, siapa yang akan mengerjakan pekerjaan kotor itu? Kalau tidak ada orang miskin, kese- luruhan masyarakat akan terkena penyakit. Kedua, orang miskin berfungsi untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan berbahaya. Orang kaya tidak akan mau melakukan pekerjaan-pekerjaan berbahaya. Pekerjaan seperti menggali kapur di puncak bukit, menggali tambang dengan menyusup ke bawah tanah, dan serupa itu hanya bisa dilaksanakan oleh orang-orang miskin. Ketiga, orang-orang miskin berfungsi memberikan pekerjaan kepada kaum intelektual yang biasanya menggunakan LSM. Sekarang ini kemiskinan jadi komoditi yang bisa laku keras di pasaran internasiona]. Saya pernah diundang ke Hotel Ever- green, di Puncak. Di sana, saya membicarakan par- ticipatory communication untuk mengatasi kemiskinan di pedesaan. Bujetnya ditanggung oleh Neumann Stifting. LSM-LSM dari berbagai tempat dikumpulkan waktu itu. Tentu, tidak seluruh LSM ikut di situ, karena kita tidak =e Jallacy of dramatic instance. : Selain tiga fungsi tersebytt sida kesem} a ceramah di Mesjid Istiqan/ab dt saya sebutha i * \ a fungsi lain dari kemiskinan. Pokoknya, reese ae ia memiliki fungsi dalam strukty, masyarakat. Kalau tidak ada orang miskin, maka | struktur masyarakat akan rusak. Masy arakat tidak akan mencapai titik ekuilibrium dan akan terjad disequilibrium. Jika menggunakan analisis fungsional sepertj ini, kita akan menjadi anti perubahan dan pro status quo. Kita akan melihat perubahan sebagaj penyimpangan terhadap hal-hal yang sudah seimbang. Masalah pelacuran, misalnya, akan dikatakan memiliki fungsi untuk memelihara |, keluarga supaya suami-suami tidak mudah berpoligami. Kejahatan juga akan dikatakan |); mempunyai fungsi. Sebab, jika tidak ada kejahatan, apa gunanya polisi? Jadi, harus ada orang jahat, agar polisi dapat berkerja. Orang ahli maksiat pun akan dibiarkan saja supaya mubalig menjadi contoh orang yang suci. Pada gilirannya, semua disim- pulkan mempunyai manfaat. Dari kaca mata analisis fungsionalisme struktural ini, perubahan dianggap sebagai fenomena deviant, menyimpang.’ Pada kenyataannya, sebagai bantahan terhadap mitos ini, para ilmuwan alam mengemukakan bahwa tidak ada yang tidak berubah. Perubahan adalah hukum alam yang niscaya dan paling nyata. Dalam bahasa Alfred N. Whitehead, “Perubahan itu inheren dalam tabiat segala sesuatu.”? Tidak terkecuali masyarakat. Karena itu tidak ada masyarakat yang statis dan tidak pernah berubah. t \ Cee ee es Bahkan, seperti kata Arnold Toynbee, “Telaah 24 mengenai persoalan manusia sebagai objek yang bergerak, lebih bermanfaat dan realistis daripada semua upaya menelaah manusia dalam kondisi imajiner yang mandeg.”* Yang membedakan satu masyarakat dengan masyarakat yang lain hanyalah rate of change atau derajat perubahannya. Ada masyarakat yang berubah secara cepat dan ada yang secara lamban. Tetapi, seluruh masyarakat itu berubah. Ada seorang pemikir Cina yang mengatakan, “Setiap 100 tahun, terjadi perubahan kecil di Cina. Dan setiap 10,000 tahun terjadi perubahan besar.” Pokoknya, masyarakat Cina, walaupun terlihat lamban, sebetulnya mengalami perubahan. Tidak ada sesuatu yang tetap. Seluruh masyarakat itu mengalami perubahan. Oleh sebab itu, fung- sionalisme struktural sering mandul bila digunakan untuk menganalisis dinamika sosial. 2. Mitos Trauma Mitos ini mengatakan bahwa perubahan menimbulkan krisis emosional dan stres mental. Ada dua macam disintegrasi yang sering dibicarakan ilmuwan pendukung mitos ini dalam membahas rekayasa sosial; disintegrasi sosial dan disintegrasi individual. Setiap disintegrasi sosial ‘Selalu menimbulkan disintegrasi individual. isintegrasi terjadi karena proses perubahan yang ‘tidak seimbang. 25 William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff mempunyai teori yang mereka sebut cultural lag (kesenjangan budaya). Cultural lag terjadi apabila perubahan pada, satu aspek kebudayaan tidak diikuti oleh perubahan pada aspek kebudayaan yang lain. Dalam kata-kata Ogburn, “Cultural lag terjadi bila satu dari dua jalinan kebudayaan mengalami perubahan sebelum atau dalam derajat yang lebih besar ketimbang yang terjadi pada yang lain, sehingga mengurangi persesuaian (adjustment) yang telah ada antara keduanya.”> Sebagai contoh, sebuah perusahaan melengkapi kantornya dengan fasilitas komputer canggih. Tetapi, pola kerja para karyawan tetap saja tidak sistemik. Akibatnya, komputer tak terpakai dan dipasang hanya untuk menunjukkan bonafiditas perusahaan. Ini artinya: telah terjadi cultural lag antara perubahan dalam bidang teknologi dan mental. Situasi seperti itu, menurut Ogburn dan Nimkoff, dapat berdampak pada “krisis”. Setiap perubahan selalu menimbulkan krisis. Dan orang akan bereaksi terhadap krisis. Oleh sebab itu, setiap perubahan sosial akan mengundang reaksi para anggota masyarakat. Reaksi ini akan mengaki- , batkan timbulnya masalah-masalah sosial baru. 1 Karena itu, menurut Ogburn dan Nimkoff, , masalah sosial justru terjadi karena perubahan sosial. Orang berusaha melakukan mekanisme ; pertahanan untuk menghadapi trauma perubahan 7 sosial. Ogburn dan Nimkoff melakukan analisis 7 26 korelasional antara perubahan sosial dan peningkatan penderita penyakit jiwa. Ternyata, menurut mereka, ketika masyarakat berubah dengan cepat, jumlah penderita penyakit jiwa bertambah karena mengalami suasana traumatik.® Menariknya, menurut sebuah penelitian lain, dalam suasana perang, jumlah orang gila di rumah sakit menurun dratis. Saya tidak tahu, apakah itu karena orang gilanya keburu ditembak sehingga tidak sempat dirawat di rumah sakit atau apa? Tetapi, menurut sebuah penelitian lain, pada situasi perang, orang lebih bisa dan tanggap menyesuaikan diri dengan perubahan ketimbang pada situasi damai. Mitos ini juga dibuktikan salah oleh beberapa penelitian mutakhir. Argumennya: Pertama, setiap perubahan tidak an sich menimbulkan goncangan. Ada perubahan yang disambut dengan gembira. Banyak perubahan yang tidak menimbulkan trauma, malah diharapkan. Perubahan akan ditolak oleh anggota masyarakat apabila memenuhi beberapa persyaratan. Misalnya, apabila:perubahan itu diduga mengancam basic security (rasa tenteram) yang sangat dasar. Apabila perubahan dianggap mengancam rasa aman, maka yang j oe akan menentang perubahan itu mati- “Matian, Ketika menguraikan ayat, “Kami turunkan pada etiap kaum seseorang yang memberi peringatan, naka selalu saja orang kaya dari kaum itu engatakan, ‘Kami kafir dengan apa-apa yang 27 = ” bahas i han kepadamu. (Dalam a rere anna pima ursiltum bihi lakafirun). Ali Syart'att mengatakan bahwa semua orang kaya atau “Relompolk kapitalis” bakal terus menentang segala tuk perubahan. pen ebalikya. Murtadha Muthabhari mengatakan bahwa penyebab penentangan perubahan itu bukan saja kelompok kapitalis, tetapi juga setiap orang atau kelompok yang menganggap perubahan akan mengancam stabilitas dan kemapanan status quo. Jika ada kapitalis yang merasa bahwa perubahan akan menguntungkannya, dia tidak akan menen- tang perubahan itu. Jadi, inti masalah bukan terletak pada kapitalis atau proletarian, seperti analisis Kar] Marx. Singkatnya, sesuatu itu ditentang karena diduga mengancam basic security. Sekali lagi, ini bergan- tung persepsi individu yang bisa berbeda-beda. Sesuatu itu mengancam rasa aman atau tidak ber- gantung persepsi kita. Di kalangan ilmu sosial ada yang disebut dengan life change unit (LCU). LCU dihitung secara kuantitatif untuk mencari penyebab stres pada orang. Seorang lelaki yang lama mem- , bujang lalu menikah akan mengalami LCU. Orang yang punya pekerjaan lalu kehilangan pekerjaan- | nya, juga akan mengalami LCU. Orang yang punya teman setia yang tiba-tiba mati, juga akan | rea Semua orang akan mengalami | . ada skornya yang dihitung secara matematis untuk menent ‘ i t ukan I i kadar” stres 28

Anda mungkin juga menyukai