MEMAHAMISulut tak akan lepas dari keberadaan tiga wilayah budaya yang membentuk karakter
masyarakatnya. Nasrun Sandiah, antropolog dari Universitas Sam Ratulangi, memilah ketiga
wilayah budaya tersebut ke dalam tiga suku bangsa yang mendiami Kepulauan Sangihe dan
Talaud, Bolaang Mongondow, dan Minahasa.
Dari ketiga wilayah budaya tersebut, masyarakat di Kepulauan Sangihe dan Talaud dan Bolaang
Mongondow mempunyai akar sejarah yang panjang dalam bentukan kerajaan. Catatan sejarah
menunjukkan, sebelum tahun 1500 Kerajaan Tabukan, Bohontehu, Kendahe, Tahuna,
Manganitu, Siau, dan Tagulandang, tumbuh di sepanjang Kepulauan Sangihe dan Talaud.
Sementara di wilayah Bolaang Mongondow, terdapat Kerajaan Bolaan Uki, Kaidipang, Bintauna,
Suwawa, dan Bone. ”Kerajaan-kerajaan di Bolaang Mongondow umumnya penganut Islam dan
kerajaan di Sangihe dan Talaud penganut Kristen atau Katolik,” kata Nasrun.
Karakter khas yang melekat di wilayah-wilayah kerajaan juga tampak di kedua wilayah budaya
ini. Sifat paternalis maupun kepatuhan yang kuat terhadap pemimpin, misalnya, menjadi
karakter masyarakat. ”Kalau pemimpin itu bilang apa, itu akan sampai ke bawah,” ungkap
Nasrun. Kondisi demikian tak terhindarkan munculnya pengkultusan terhadap pemimpin
sebagaimana di Bolaang Mongondow. ”Bupati masih dikultuskan sampai saat ini,” imbuh
Nasrun.
Berbeda di wilayah kerajaan, berbeda pula karakter di wilayah yang tidak dijumpai kerajaan.
Minahasa dalam sejarahnya tidak pernah mengenal sistem kerajaan.
Masyarakat di kawasan ini terhimpun dalam walak yang merupakan sebuah komunitas sosial
masyarakat tradisional terdiri atas kumpulan beberapa permukiman. Dengan tidak adanya raja
atau pemimpin yang harus dihormati dan dianuti masyarakat, menurut Schouten dalam
Leadership and Social Mobility in a South Asia Society: Minahasa 1677-1983, hubungan sosial
masyarakat Minahasa umumnya didasarkan pada sikap kompetitif dan egaliter.
Cerita Mokodoludut dari orang Sangir yang ditulis oleh orang Amerika yang dipresentasikan di
Universitas California oleh Kheneth, diterbitkan dalam tiga bahasa.
Pada Suatu ketika Tahun 1000-an Masehi terjadi pergolakan perang disana-sini sehingga
Mokodoludud beserta para pengikut yang setia meninggal Molibagu lalu tiba di Pasang
Bentenan di baling-baling yaitu tempat yang bernama Posolo berada disebelah timur Malesung
atau Minahasa sekarang disebut Lembe. Ditempat ini mereka tinggal tidak lama sebab diserang
oleh Suku Mori, Laloda dan Mangindanouw. Mokodoludud dan rombongan mengungsi ke
sebuah gunung dengan jalan mengintari (belitan) lalu tempat itu disebut Lokong. Baunia
melahirkan seorang putra bagi Mokodoludud lalu diberi nama Lokonbanua. Kemudian
Mokodoludud ingin mencari tempat seperti pasang bentenan lalu berangkat dan tiba di pulau
Manarauw (Manado Tua). Kata Manarou berasal dari bahasa Sangir yaitu Mararau; Marau yang
artinya Jauh.
Pada tahun 1380 seorang pedagang arab bernama Sharif Makdon setelah mengunjungi ternate
lalu tiba di Manarouw(Manado Tua) menyebarkan Agama Islam kemudian berangkat ke
Mindanouw. Kemudian jalur ini diikuti oleh pelaut asal Portugis Pedro Alfonso pada tahun 1511,
Pedro Alfonso menemukan Ternate, setelah itu armada dagang asal Portugis secara resmi
mengirimkan Antonio de Abreu ke Maluku tahun 1512. Pada tahun itu juga Portugis
mengirimkan tiga kapal layar ke Manarouw,(Pulau Manado Tua).
Lokon Banua II (leken artinya nama yang diangkat kembali) adalah keturunan kesembilan dari
Raja Mokodoludud Kulano(raja) Bowontehu. Berlayar dari Manarouw bersama dengan
pengikutnya pergi ke pulau Siauw lalu mendirikan kerajaan Leken Banua II atau Karangetang
pada tahun 1510. Lokongbanua II Keturunan ke 9 dari Raja Gumansalangi putra raja Tumondai
dengan Boki Bitang Keramat kakak kandung pendiri Kiraha (Kedatuan ternate) dari Cotabato di
Mindanauw Philipina Selatan Pendiri Kedatuan Tampung Lawo abad 12 serta cucu dari Datu
Hinbawo I dari kerajaan Sulu beristrikan Sangiang nilighidé dan mempunyai anak perempuan,
Umbongduata namanya. Umbongduata ini jadi salah satu isteri dari Datuk Pahawonsulugé, lalu
mempunayai anak Lokongbanua II
Bangsa barat yang pertama-tama menemukan Manarouw ialah pelayar Portugis Simao d’Abreu
pada tahun 1523.
Nama Manarow dicantumkan dalam peta dunia oleh ahli peta dunia, Nicolas_Desliens‚ pada
1541. Manarouw menjadi pintu gerbang transit kawasan timur Indonesia bagi kapal-kapal
dagang bangsa asing, sehingga menjadi daya tarik bagi pedagang Cina.
Pada tahun 1563 Peter Diego de Magelhaes dari Portugis berangkat dari Ternate menuju
Manarouw mengajarkan pokok-pokok iman Kristen. Lalu Raja Manarouw bersama rakyatnya
1500 orang dibaptis kesemuanya adalah orang Sangir. Baptisan dilakukan di muara sungai
Tondano dan dihadiri oleh Raja Siauw bernama Possuma. Raja Possuma lalu memberi diri untuk
dibaptis dengan nama Don Jeronimo (nama portugis) Kemudian Peter Diego de Magelhaes ke
Kaidipan (pesisir utara Gorontalo) membaptis 2000 orang selama 8 hari.
Tahun 1570 Bulango dari kerajaan Bowontehu (pulau Manarouw) berlayar menuju Tagulandang.
Bulango mempunyai seorang anak perempuan bernama Lohoraung mendirikan kerajaan
Taghulandang atau Mandorokang di pulau itu bersama para pengikutnya. Bulango adalah
saudara dari Lokongbanua II dimana keduanya adalah keturunan ke sembilan dari raja
Mokodoludut dengan istrinya Baunia dari kerajaan Bowontehu.
Pada tahun 1585 Peter lain mengunjungi Manarouw ternyata iman Kristen telah lenyap kembali
menjadi kafir. 1606 Spanyol merebut kembali Maluku Utara maka penyebaran agama Kristen
kembali dilakukan di Ternate.
Pada tahun 1614 Spanyol memusatkan kekuatannya di Manarouw untuk menghadapi serbuan
Belanda, dibangun sebuah benteng dipesisir kota itu yang berhadapan dengan pulau Manado
Tua
1619 Penduduk Manarouw sebagian besar telah beralih agama menjadi islam. Oleh karena itu
Misi Injil mengalihkan penyebaran ke pegunungan yaitu orang-orang dari suku pedalaman yang
disebut alifuru lalu tiba Tomohon dan Tondano. Namun misi ini gagal, karena kedatangan
misionaris dihubungkan dengan hasil panen. Saat itu panen tidak berhasil sehingga dikatakan
dewa telah murka, para misionaris di usir. Seperti dalam surat Pater Blas Palomino tanggal 8 Juni
1619. Sebelum dia terbunuh di Minahasa pada tahun 1622, dia menulis mengenai sikap
permusuhan para Walian pemimpin agama suku terhadap para Missionaris asal Spanyol. Juga
Walian Kali yang menghasut kepala Negeri Kali bernama Wongkar untuk menolak dan melarang
para Missionaris Spanyol untuk masuk ke pedalaman Minahasa.
Pada tahun 1623 Kerajaan Bawontehu yang berpusat di pulau Manarouw (Manado Tua)
dipindakan ke Gahenang/Mahenang nama kuno Wenang berasal dari bahasa Sangir artinya api
yang menyala atau bersinar (Suluh,obor), oleh karena dialek bangsa Portugis, Spanyol dan
Belanda mereka mengucapkan Wenang demikian juga dengan Manarouw disebut Manado.
Kemudian Bowontehu/Wowontehu berubah menjadi Kerajaan Manarouw dengan raja bernama
Laloda Daloda Mokoagow pada kurun waktu tahun 1644-1674. Penduduk kerajaan ini adalah
orang sangihe (Graafland, Minahasa masa lalu dan masa kini, terjemahan Joost Kulit). Raja
Loloda Daloda Mokoagow ini adalah anak dari Raja Tadohe. Sedangkan Tadohe sendiri adalah
cucu dari Raja Siauw yang bernama Possuma dan cicit dari raja Tabukan(Rimpulaeng) Don
Francesco Macaapo Juda I. Kerajaan Manarouw adalah sebagai kerajaan terjauh dari wilayah
toritorial kerajaan Sangihe. Setelah Raja Laloda Daloda Mokoagow kemudian menjadi raja
adalah Donangbala yang memiliki pedang sakti.
Suku Bantik bukan penduduk pertama yang mendiami Manarow menurut cerita Pada Tahun
1654 Salah satu kerajaan di Sangir yakni kerajaan Malingaheng Kendahe yang dipimpin oleh Raja
Sahmensi Arang (Syam Syach Alam)mempunyai seorang anak bernama Putri Bulaeng Tanding.
Kerajaan ini dengan wilayah bagian barat pulau sangihe hingga pulau Kaluwurang. Kerajaan ini
tenggelam oleh karena peritiwa Dimpuluse (air jatuh dari langit)mereka terdampar di tempat
yang bernama Panimbuhing. Bukti peristiwa ini adalah Tanjung Maselihe di dalam terkubur kursi
emas dan makota raja konon katanya di jaga oleh ikan hiu. Dari peristiwa tersebut sebagian
selamat termasuk seorang yang bernama Bantik. Kemudian mereka mengangkat Bantik sebagai
pemimpin lalu berihkrar menjadi satu suku yang baru yaitu Suku Bantik, dengan catatan mereka
tidak boleh hidup bersama dalam satu wilayah, agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
Maka diatur kelompok-kelopok berlayar dengan perahu menuju ke Mindanao,ke Beo, ke kema,
ke Belang,ke Manaraw, Leok-Buol sedangkan Bantik sendiri pergi ke Mongondow. Jadi suku
Bantik merupakan anak suku dari suku Sangir.
Dalam surat Pater Juan Yranzo yag ditulis di Manila tahun 1645 menyebutkan tentang
pengusiran Spanyol dari tanah Minahasa pada tanggal 10 Agustus 1644. Pengusiran tersebut
mengakibatkan terbunuhnya Pater Lorenzo Garalda. Para Walian Minahasa menghasut
masyarakat untuk membunuh semua Missionaris Spanyol. Rencana para walian bocor hingga
para Missionaris Spanyol sempat mengungsi ke tepi pantai dan berperahu ke Siauw.
Tahun 1675 Pendeta J. Montanus mendapati bahwa jemaat-jemaat di Manado sudah sangat
lemah. Tahun 1677 VOC menetapkan Pendeta Zacharias Cacheing di Manado. Sampai tahun
1700 tidak banyak lagi pendeta yang mau datang ke Indonesia. Kekristenan pada masa VOC
terjadi bukan karena keimanan tetapi karena tekanan politik. (Prof.Dr.I.H.Enklaar.Sejarah gereja
ringkas,81,1966)
Pada tahun 1677 Compeni mengadakan perjanjian dengan Raja Siau dengan persaratan
kesepakatan bahwa Raja serta rakyat harus beralih agama dari Kristen Katolik menjadi
Protestan. Gubernur VOC Maluku, Robertus Padtbrugge ketika berada di Manado tahun 1677
mengatakan bahwa orang Sangir Tualah adalah penduduk pribumi yang pertama di Manado,
yakni sekitar tahun 1332.
Manado bukan Minahasa,(sejarah Minahasa-Kontrak 19 Januari 1679 hal 61). Minahasa itu
Malesung, disebut oleh orang Sangir Tau Kaporo (orang yang hidup digunung), sehingga orang
Minahasa disebut orang gunung. Manarauw adalah wilayah toritorial dari kerajaan Sangihe-
Talaud.
Perserikatan Pekabaran Injil Belanda Van der Kamp mendirikan NZG Tahun 1797. Tahun 1817
Pendeta Josep Kam berkunjung ke Minahasa. Tahun 1819 Lenting berkunjung ke
Minahasa.Pendeta Josep Kam dan Ds. Lenting mendapati orang Kristen tidak ada pelayanan
lagi,lalu mereka melaporkan keadaan itu pada NZG di Belanda. Pada tahun 1822 atas laporan
diatas maka NZG mengirim 2 orang berkebangsaan Swiss, L.Lamers di Kema ( meninggal 1824 di
Kema ) W. Muller di Manado (meninggal 1827 di Manado) Mereka meninggal karena penyakit
Typus.Dalam pelayanan, mereka mengalamai banyak hambatan dan tantangan terutama dari
kalangan turunan Eropa.Tahun 1827 pelayanan manado diganti oleh Ds. G. J. Helendoorn. 4
tahun kemudian tahun 1831 dikirim lagi 2 Orang pelayan yaitu : Johann Friedrich Riedel dan
Johann Gottlieb Schwars. Tahun 1855, NZG mengutus S.D. van der Velde van Capellen dari
Minahasa ke Sangihe dan membaptis 5033 orang.Ketika itu S.D. van der Velde van Capellen
sedang bertugas di Tareran,Minahasa.
Artikel ini telah tayang di TribunManado.co.id dengan judul Asal Usul Manado, Siau dan Sangihe
Talaud, https://manado.tribunnews.com/2013/06/25/asal-usul-manado-siau-dan-sangihe-talaud.
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Aswin_Lumintang