Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PRAKTIUM FARMAKOGNOSI

“RIMPANG TEMULAWAK
DAN JAHE MERAH”

Dosen Pengampu:
Apt. Noveri Rahmawati, M.Farm

Asisten Dosen:
Senti Dwi Suryani, S.Farm

Disusun Oleh:
Wiedya Alfitrya Zamri
2001088

KELAS:
S1-2B

PROGRAM STUI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
YAYASAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
T.A 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-nya kami dapat menyelesaikan Laporan
Praktikum Farmakognosi-Farmasi “Rimpang Temulawak dan Jahe Merah” ini
dengan benar.
Laporan Praktikum farmakognosi-Farmasi ini diajukan untuk memenuhi
salah satu nilai dari praktikum Farmakognosi
Pada pengerjaan laporan praktikum kali ini saya menyadari sepenuhnya
bahwa banyak pihak yang teklat turut membantu dalam penyelesaian laporan
praktikum ini. Dengan demikian melalui kesempatan ini, dengan segala
kerendahan hati, kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Apt. Noveri Rahmawati, M.Farm selaku Dosen yang telah
membimbing dalam penyusunan laporan Praktikum Farmakognosi.
2. Kak Senti Dwi Suryani Selaku Asisten Laboratorium Farmakognosi
yang telah mengarahkan dalam kegiatan praktikum farmakognosi.
3. Dan, saya sendiri yang telah berusaha menyusun laporan ini dengan
benar serta tepat waktu.
Saya menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam
penyusunan laporan praktikum farmakognosi, oleh sebab itu kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan guna perbaikan yang lebih baik di kemudian hari.
Semoga laporan praktikum farmakognosi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Ujungbatu, 30 mei 2021

Wiedya Alfitrya Zamri


I. TUJUAN
1. Mahasiswa menganalisis perbedaan simplisia rimpang yang
dihasilkan dengan perbedaan sumber tumbuhan dan metoda
pengeringan yang diterapkan.
2. Mahasiswa mampu melakukan penyiapan simplisia rimpang dari
beberapa sumber tumbuhan dengan melakukan proses pengolahan
simplisia yang benar.
3. Mahasiswa mapu melakukan evaluasi secara makroskopis,
mikroskopis dan beberapa parameter standar lainnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Temulawak
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) adalah tumbuhan obat
yang tergolong dalam suku temu-temuan (Zingiberaceae). Ia
berasal dari Indonesia, khususnya Pulau Jawa, kemudian menyebar
ke beberapa tempat di kawasan wilayah biogeografi Malaysia.
Rimpang temulawak dapat tumbuh dan berkembang dengan
baik pada tanah yang gembur. Mempunyai kemiripan dengan
kunyit karena daging umbinya yang berwarna kuning. Namun
temulawak memiliki ukuran lebih besar dan tekstur lebih kasar.
Seperti kebanyakan tanaman dalam famili Zingiberaceae
lainnya, temulawak juga dikenal sebagai tanaman obat karena
mengandung senyawa yang berkhasiat bagi kesehatan tubuh
manusia yaitu minyak astiri. Dimana didalamnya terdapat zat
xanthorizol, germaken, isofuranogermakren, trisiklin,
alloaromadendren, fellandren, ar-turneron, dan turmerol, kurkumin,
desmetoksokurkumin, zat tepung, kamfer, glikosida,
toluylmetilkarbinol dan 1-sikloisoprenmyrsen.
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan
salah satu tanaman obat unggulan yang memiliki khasiat
multifungsi. Rimpang induk temulawak berbentuk bulat seperti
telur dan berwarna kuning tua atau cokelat kemerahan dimana
bagian dalamnya berwarna jingga kecokelatan (AFIFAH dan
LENTERA, 2003).
Rimpang tersebut berkhasiat obat yang mampu mengobati
berbagai penyakit kelainan pada hati (lever), kantong empedu dan
pankreas. Di samping itu, temulawak juga dapat menambah nafsu
makan, menurunkan kadar kolesterol dalam darah, meningkatkan
sistem imunitas dalam tubuh, berkhasiat antibakteri, anti diabetik,
anti hepatotoksik, anti inflamasi, anti oksidan, anti tumor, diuretika,
depresan, dan hipolipidemik (Raharjo dan Rostiana, 2003), dan
juga anti mikroba, anti hiperlipidemia dan pencegah kolera
(HWANG, 2006). Khasiat lainnya yang dimiliki oleh komponen
kimia adalah anti bakteri (DARUSMAN et al., 2006, Hwang et al.,
2000). Rimpang temulawak mengandung berbagai komponen
kimia temulawak di antaranya protein, pati, zat warna kuning
kurkuminoid, dan minyak atsiri. Sedangkan kandungan kimia dari
minyak atsirinya adalah xanthorhizol (40%), kamfer, turmerol,
felandren, tolilmetilkarbinol, arkurkumen, zingiberen kuzerenon,
germakron dan b-tumeron (Raharjo dan Rostiana, 2003).
Senyawa xanthorhizol dan kurkumin dalam temulawak
inilah yang menyebabkan tanaman ini menjadi sangat berkhasiat
sebagai obat, karena kurkuminoid dapat digunakan sebagai anti-
oksidan, antiinflamasi dan anti-hiperkolesterolemia (Peschel et
al.,2006).
Sebagai bahan baku obat, selain produksi rimpang tinggi
temulawak juga harus bermutu tinggi. BPOM (2005) menegaskan
bahwa obat herbal harus memenuhi persyaratan yang meliputi
mutu, keamanan, dan khasiat. Kecenderungan masyarakat
menggunakan cara pengobatan dengan obat dari bahan alami telah
meningkatkan permintaan benih temulawak. Permintaan terhadap
temulawak untuk keperluan industri obat tradisional di Provinsi
Jawa Tengah mencapai 3,14 ton rimpang segar/ tahun (Kemala et
al., 2003).
Menurut Bermawie et al. (2006) sekitar 70% jamu yang
beredar di pasaran mengandung temulawak dan sekitar 70% hasil
produksi temulawak dari Indonesia diekspor ke luar negeri.
Kondisi ini memberi peluang kepada petani sebagai penyedia
bahan baku temulawak. Meningkatnya permintaan rimpang telah
mendorong meningkatnya permintaan akan bibit temulawak.
Namun sampai saat ini kebutuhan yang tinggi terhadap bahan
tanaman belum dapat dipenuhi sehingga diperlukan alternatif lain
untuk penyediaan bahan tanamandalam jumlah yang cukup. Upaya
penyediaan bahan tanaman secara massal dalam waktu relatif
singkat serta bebas hama dan penyakit dapat dilakukan melalui
teknik kultur jaringan. Penggunaan teknik ini masih terkendala oleh
tingginya biaya bahan kimia khususnya zat pengatur tumbuh
(ZPT). Keberhasilan perbanyakan in vitro dipengaruhi oleh
berbagai faktor di antaranya jenis media dasar yang digunakan,
aplikasi ZPT yang tepat serta kondisi lingkungan kultur (George,
1993). Benzyl Adenin (BA) merupakan salah satu jenis ZPT dari
golongan sitokinin yang berperan dalam proses pembelahan sel.
Peran utamanya adalah dalam pemben-tukan benang gelondong
pada proses metafase (George dan Sherington, 1984). Aplikasi
sitokinin dalam perbanyakan tanaman in vitro dapat berasal dari
bahan kimia sintetik maupun bahan alami seperti air kelapa.
Bagian yang berkhasiat dari temu lawak adalah rimpangnya
yang mengandung berbagai komponen kimia di antaranya zat
kuning kurkumin, protein, pati dan minyak atsiri. Pati, salah satu
komponen terbesar temu lawak sering disebut sebagai pati yang
mudah dicerna sehingga disarankan digunakan sebagai makanan
bayi. Minyak atsirinya mengandung senyawa phelandren,kamfer,
borneol, sineal, xanthorhizol. Kandungan xanthorizol dan
kurkumin ini yang menyebabkan temulawak sangat berkhasiat
(Taryono et al., 1987).
Kurkumin merupakan salah satu produk senyawa metabolit
sekunder dari tanaman Zingiberaceae, khususnya kunyit dan
temulawak. Yang telah di-manfaatkan dalam industri farmasi,
makanan, parfum, dan lain-lain. Ada banyak data dan literatur yang
menun-jukkan bahwa kunyit dan temulawak berpotensi besar
dalam aktifitas farma-kologi yaitu anti imflamatori, anti
imunodefisiensi, anti virus (virus flu burung), anti bakteri, anti
jamur, anti oksidan, anti karsinogenik dan anti infeksi (Joe et al.,
2004; Chattopadhyay et al., 2004; Araujo dan Leon, 2001).
Senyawa kurkumin ini, seperti juga senyawa kimia lain seperti anti-
biotik, alkaloid, steroid, minyak atsiri, resin, fenol dan lain-lain
merupakan hasil metabolit sekunder suatu tanaman (Indrayanto,
1987). Tanaman obat dan aromatik dapat menghasilkan senyawa
metabolit sekunder bernilai ekonomi tinggi, seperti
vinblastina/vinkristina pada tanaman tapak dara (Vinca rosea),
ajmalisina, digitalis (Dioscorea sp), kinina pada tanaman kina
(Cinchoa sp.), kodeina, yasmin pada tanaman melati (Jasminum
sambac), piretrin pada tanaman Piretrum (Pyrethrum pe-
largonium) dan spearmint pada tanam-an mentha (Mentha sp.)
(Harris, 1989). Dalam kenyataannya, produksi kurkumin untuk
pabrik-pabrik industri sangat dipengaruhi oleh keberadaan dan
pertumbuhan tanaman di lapang yang ditentukan oleh berbagai
faktor lingkungan seperti tanah, nutrisi, iklim serta hama dan
penyakit. Salah satu upaya untuk menghasilkan kurkumin dengan
jumlah yang banyak adalah dengan teknologi kultur jaringan
seperti kultur kalus. Ada peluang untuk meningkatkan kadar
kurkumin dalam kultur kalus tanaman kunyit dan temu-lawak
dengan in duksi elisitor. Dilain pihak, masyarakat dunia
membutuhkan kurkumin untuk obat flu burung sebagai pengganti
Tamiflu. Tetapi Tamiflu terbukti tidak efektif pada suatu kasus di
Vietnam dan men-jadi tidak berguna selain karena mahal juga
terjadi resistensi akibat sebuah mutasi yang sederhana.
Kurkuminoid adalah kelompok senyawa fenolik yang
terkandung da-lam rimpang tanaman famili Zingibera-ceae antara
lain : Curcuma longa syn. Curcuma domestica (kunyit) dan Cur-
cuma xanthorhiza (temulawak). Kurku-minoid bermanfaat untuk
mencegah timbulnya infeksi berbagai penyakit. Kandungan utama
dari kurkuminoid adalah kurkumin yang berwarna ku-ning.
Kandungan kurkumin di dalam kunyit berkisar 3 – 4% (Joe et al.,
2004; Eigner dan Schulz, 1999).
Tiga varietas unggul kunyit yang telah di-lepas Balittro
memiliki kadar kurkumin cukup tinggi yaitu 8,7%. Kurkumin
(C2H20O6) atau diferu-loyl methane (Gambar 1) pertama kali
diisolasi pada tahun 1815. Kemudian tahun 1910, kurkumin
didapatkan ber-bentuk kristal dan bisa dilarutkan tahun 1913.
Kurkumin tidak dapat larut dalam air, tetapi larut dalam etanol dan
aceton (Joe et al., 2004; Chattopadhyay et al., 2004; Araujo dan
Leon, 2001). Tamiflu adalah salah satu jenis antibiotik yang
digunakan untuk meng-atasi penyakit flu burung merupakan
neuraminidase inhibitor sebuah enzim pada membran virus yang
memotong partikel virus yang menyebabkan sel membran
terinfeksi, sehingga virus tidak dapat berkembang biak di dalam sel
atau tubuh manusia yang sudah terinfeksi virus tersebut.
Respon tumbuh dan multiplikasi tunas terbaik diperoleh
pada penggunaan konsentrasi air kelapa 15% (yang disterilisasi
dengan autoclave) menghasilkan jumlah tunas 3,4 tunas/2 bulan,
berbeda nyata dengan perlakuan ZPT sintetik BA 1,5 mg/l yaitu 2,4
tunas. Aplikasi air kelapa sebagai substitusi Benzyl Adenin
menghasilkan respon tumbuh yang bervariasi.
Aplikasi air kelapa pada konsentrasi 15% yang diautoclave
menghasilkan respon tumbuh dan multiplikasi tunas temulawak
terbaik, dengan rataan jumlah tunas 3,4 buah yang tidak berbeda
nyata dengan Benzyl Adenin 1,5 mg/l pada umur delapan minggu.
Konsentrasi ini merupakan konsentrasi optimal yang mendukung
pertumbuhan kultur pada umur 2 bulan. Air kelapa merupakan zat
pengatur tumbuh alami yang banyak digunakan dalam perbanyakan
in vitro berbagai tanaman hias di antaranya anggrek karena
memiliki ZPT sitokinin. Dalam air kelapa terdapat vitamin C, asam
nikotianat, asam folat, asam pantotenat, biotin, riboflavin (ANON.,
2007). Komponen tersebut yang mendorong pertumbuhan kultur
sehingga fungsi sitokinin sintetik dapat digantikan oleh air kelapa.
Aplikasi air kelapa 15% juga efektif pada multiplikasi tunas
tanaman krisan in vitro (MANDANG, 1993). Model perbanyakan
in vitro dapat dikembangkan dari awal benih sebanyak 20 kg
sebagai sumber eksplan, sehingga dalam waktu delapan bulan akan
diperoleh benih temulawak in vitro sebanyak 30.000 tunas. Dari
hasil perhitungan efisiensi media cair dapat diketahui bahwa
penggunaan media dasar MS cair yang diperkaya zat pengatur
tumbuh (ZPT) alami air kelapa konsentrasi 15% lebih murah Rp. 1
dibandingkan dengan media dasar MS cair yang diperkaya ZPT
sintetik Benzyl Adenin 1,5 mg/l, dengan harga jual benih di tingkat
laboratorium sebesar Rp.322,87/tanaman. Tetapi apabila
menggunakan air kelapa dari limbah pasar, harga jual benih akan
lebih murah Rp. 4,646 dibandingkan dengan media dasar MS cair
yang diperkaya ZPT sintetik Benzyl Adenin 1,5 mg/l. Walaupun
secara finansial perbedaan harga jual benih tidak terlalu signifikan,
namun bila penggunaan bahan BA sintetik akan banyak menemui
kendala di antaranya bahan BA yang tidak selalu ready stock
(memerlukan proses yang lebih lama) yang secara ekonomis bila
dikalkulasi antara waktu, biaya, dan target yang akan dicapai akan
memberikan dampak yang sangat signifikan.
Respon pemupukan memberikan hasil yang berbedabeda
terhadap parameter pertumbuhan. Jumlah anakan, tinggi tanaman,
jumlah dan panjang daun tidak dipengaruhi oleh pemupukan,
sedangkan lebar daun pada pemupukan taraf 4 dan 5 serta lingkar
batang pada pemupukan taraf 5 memperlihatkan pengaruh yang
berbeda dengan kontrol (tanpa pemupukan). pupuk kandang
kambing maupun pupuk buatan, tidak berpengaruh terhadap
banyaknya anakan temulawak yang dihasilkan, begitu juga tinggi
tanaman, panjang maupun jumlah daun. Berarti daya tumbuh
rimpang hasil rimpang kultur jaringan sangat tinggi sehingga tanpa
pemberian pupuk mampu menghasilkan pertumbuhan yang
optimal. Hasil penelitian ini berbeda dibandingkan pertumbuhan
rimpang jahe hasil kultur jaringan generasi kedua yang
pertumbuhannya tidak optimal tanpa pemberian pupuk kandang
maupun pupuk buatan (HOBIR et al., 1998).
B. Rimpang Jahe Merah (Zingiberis officinalis var. rubrum
rhizoma)
1. Klasifikasi
Menurut Hapsoh (2008), klasifikasi atau kedudukan
tanaman jahe merah dalam taksonomi tumbuhan sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Zingiber
Spesies : Zingiber officinale Roxb. Var. Rubrum
2. Kandungan Kimia
Rimpang jahe merah mengandung minyak atsiri dan
oleoresin serta senyawa-senyawa lain.
a. Minyak Atsiri
Kandungan minyak atsirimenghasilkan aroma
harum pada jahe (Handrianto, 2016). Menurut Budi
Setyawan (2015, hlm. 103)dalam Meilanisari
(2017)menyatakan “Komponen utama minyak atsiri jahe
yang menyebabkan bau harum adalah zingiberen dan
zingiberol”.
Jahe merah mempunyai kandungan minyak atsiri
sebesar 3,9%,pada jahe empritterdapat sebesar3,5%dan jahe
gajah sebesar 2,5%, sehingga dikatakan minyak atsiri pada
jahe merah lebih banyak dibandingkan pada jenis jahe
lainnya (Setiadi et al.2014). Pernyataan tersebut juga
didukung oleh Guntari, et al.(2017, hlm: 1230) bahwa“Jahe
merah mengandung minyak atsiri yang lebih tinggi
dibandingkan jahe varitas lain.”
Minyak atsiri yang tersusun atas beberapa
komponen, yaituα-pinena, kamfena, kariofilena, β-pinena,
α-farnesena, sineol, dl-kamfor, isokariofilena, kariofilena-
oksida, dan germakron yang dapat menghasilkan
antibakteri untuk menghambat pertumbuhan bakteri (Mulyani
2010 dalam Handrianto 2016). Senyawa monoterpene (α-
pinene, β-pinene, α-terpinene) dalam minyak atsiri jahe
merah mengganggu fungsi membran sel bakteri. Kerusakan
yang terjadi pada membrane sel menyebabkan terganggunya
transport nutrisi (senyawa dan ion) sehingga sel bakteri
mengalami kekurangan nutrisi yang diperlukan bagi
pertumbuhannya (Handrianto, 2016).
Besarnya kandungan minyak atsiri dipengaruhi
oleh unsur tanaman. Artinya, semakin tua umur jahe
tersebut, semakin tinggi kandungan minyak atsirinya.
Namun, selama dan sesudah pembungaan, persentase
kandungan minyak atsiri tersebut berkurang, sehingga
dianjurkan tidak melakukan pemanenan pada saat itu.
Dengan demikian, selain umur tanaman, kandungan minyak
atsiri jahe juga dipengaruhi oleh umur panen (Tim lentera,
2002dalam Ismi 2017).
b. Oleoresin
Rasa pedaspada jahe disebabkan adanya oleoresin
(Handrianto, 2016). Jahe mengandung oleoresin 7-10%,
minyak atsiri 1-3%, sari pati sekitar 52%, sejumlah kecil
protein, vitamin, mineral (Awanis, Mutmainnah 2016).
Oleoresin merupakan campuran minyak atsiri dengan
senyawa terpenoid didalamnya. Terpenoid memiliki aktivitas
antimikroba pada membran sitoplasma dengan merusak
membran luar dan membran dalam sertadapat juga
berinteraksi dengan protein membran dan target
intraseluler (Awanis, Mutmainnah 2016). Oleoresin juga
mengandung komponen gingerol, shogaol, zingerone,
resin.Senyawa turunan fenol seperti gingerol dan shogaol
dapat digunakan sebagai senyawa antibakteri, protein dan
fenol adalah ikatan yang lemah dan segera
mengalami peruraian dan pada kadar tinggi fenol
menyebabkan koagulasi protein sehingga membran sel
mengalami lisis(Awanis, Mutmainnah 2016).
c. Senyawa Lain
Senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan
tumbuhan Zingiberacea ini umumnya dapat menghambat
pertumbuhan patogen yang merugikan kehidupan manusia,
diantaranya bakteri Escherichia coli, Bacillus subtilis
Staphylococcus aureus, jamur Neurospora sp, Rhizopus sp
dan Penicillium sp (Nursal et al. 2006 dalam Ismi 2017).
Jahe merah selain memiliki kandungan minyak atsiri dan
oleoresin, juga memiliki kandungan senyawa-senyawa
lain seperti gingerol, 1,8-cineole, 10-dehydrogingerdione,6-
gingerdione, arginine, a-linolenic acid, aspartic, β-sitosterol,
caprylic acid, capsaicin, chlorogenis acid, farnesal,
farnesene, farnesol, dan unsur pati seperti tepung kanji,
serta serat-serat resin dalam jumlah sedikit (Lentera, 2002).
C. Manfaat atau Penggunaan Tradisional
Aroma khas yang dihasilkan rimpang jahe merah
seringkali dimanfaatkan sebagaibumbu dalam masakan
indonesia. Selain itu, jahe juga biasa dibuat menjadi
minumantradisional seperti jamu yang berkhasiat untuk
menghangatkan tubuh(Meilanisari, 2017).Khasiat rimpang
jahe adalah sebagai pelega perut, obat batuk, obat rematik,
penawar racun, antitusif, laksatif dan antasida, juga sebagai
antioksidan, dan serbuk jahe merah berperan sebagai anti
inflamasi (Giyarto 2002dalam Ismi 2017).
Komponen kimia yang terdapat dalam jahe merah
memberikan efek farmakologi dan fisiologi seperti
antioksidan, anti-inflamasi, analgesik, antikarsinogenik,
antibakteri, non-toksik, dan non-mutagenik meskipun pada
konsentrasi tinggi(Martani, 2015).
Semua senyawa kimia yang terdapat dalam jahe
merah dapat digunakan sebagai obat. Menurut hasil penelitian
diketahui bahwa kandungan unsur kimia pada jahe merah
merupakan komponen senyawa yang banyak dibutuhkan oleh
tubuh manusia, baik untuk kesehatan maupun nutrisi dan salah
satunya sebagai senyawa antibakteri(Martani, 2015).
D. Evaluasi simplisia
1. Evaluasi organoleptis
a. Ambil secukupnya simplisia rimpang yang sudah disiapkan
b. Lakukan evaluasi organoleptis meliputi bentuk, warna, bau
dan rasa
c. Catat hasil pengamatan yang diperoleh
2. Analisis mikroskopis
a. Ambil secukupnya simplisia rimpang yang sudah dihaluskan
menggunakan lumping dan stanfer
b. Lakukan pengamatan bentuk mikroskopis rimpang
menggunakan mikroskop
c. Gambarkan hasil pengamatan yang diperoleh
3. Penetapan kadar air
a. Timbang kurs porselen, catat beratnya
b. Masukkan kurs porselen ke dalam oven dengan suhu 100-105
0
C selama 2 jam. Setelah itu, keluarkan dari oven dan
dinginkan kemudian ditimbang kembali. Catat beratnya.
Lakukan pemanasan sampai berat konstan
c. Timbang sebanyak 1 gram simplisia serbuk rimpang di dalam
kurs porselen, panaskan di dalam oven dengan suhu 100-105
0
C selama 5 jam. Setelah itu, keluarkan dari oven dan
dinginkan kemudian ditimbang kembali. Catat beratnya.
Lakukan pemanasan sampai berat konstan
d. Hitung kadar air dari simplisia rimpang
e. Lakukan penetapan kadar air dari kedua simplisia dengan
metoda pengeringan yang berbeda, bandingkan kadar air
yang diperoleh
4. Penetapan kadar abu
a. Timbang kurs porselen, catat beratnya
b. Masukkan kurs porselen ke dalam oven dengan suhu 100-105
0
C selama 2 jam. Setelah itu, keluarkan dari oven dan
dinginkan kemudian ditimbang kembali. Catat beratnya.
Lakukan pemanasan sampai berat konstan
c. Timbang sebanyak 1 gram simplisia rimpang di dalam kurs
porselen, panaskan di dalam furnace dengan suhu 600 0C
selama 6 jam. Setelah itu, keluarkan dan dinginkan kemudian
ditimbang kembali. Catat beratnya. Lakukan pemanasan
sampai berat konstan
d. Hitung kadar abu dari simplisia rimpang
e. Lakukan penetapan kadar abu dari kedua rimpang dengan
metoda pengeringan yang berbeda, bandingkan kadar abu
yang diperoleh
E. Parameter Spesifik dan Parameter Nonspesifik
Parameter Jenis Hasil
Standarisasi
Spesifik Identitas Nama : Jahe merah
Nama latin : Zingiberis
officinalis var. rubrum
Senyawa identitas : 6-
shogaol
Organoleptis Bentuk : Pipih
Warna : kuning
kecoklatan
Rasa : pedas
Bau : Khas
Non-spesifik Susut pengeringan Tidak lebih dari 10%
Abu total Tidak lebih dari 5,6%
Abu tidak larut asam Tidak lebih dari 0,6%
Sari larut air Tidak kurang dari 17,0%
Sari larut etanol Tidak kurang dari 5,8%
Kadar minyak atsiri Tidak kurang dari 1,10%
v/b

III. ALAT DAN BAHAN


1. Alat dan bahan pembuatan simplisia rimpang temulawak
Alat yang digunakan meliputi pisau, blender, wadah plastik
(baskom), lumpang dan stamfer, talenan, penggaris, timbangan,
mikroskop, aluminium foil, ayakan, desikator, oven, furnace, kurs
porselen dan spatel. Bahan yang digunakan meliputi rimpang dari
temulawak dan aquadest.

2. Alat dan bahan pembuatan simplisia rimpang jahe merah


Alat yang digunakan meliputi pisau, blender, wadah plastik
(baskom), lumpang dan stamfer, talenan, penggaris, timbangan,
mikroskop, aluminium foil, ayakan, desikator, oven, furnace, kurs
porselen dan spatel. Bahan yang digunakan meliputi rimpang dari
jahe merah dan aquadest.
IV. CARA KERJA
1) Cara kerja pembuatan simplisia rimpang temulawak
a. Penyiapan simplisia rimpang (rhizoma)
 Siapkan sebanyak 500 gram rimpang temulawak lalu
dibersihkan dari tanah dan bulu-bulu akarnya, kemudian dan
dicuci bersih dengan air mengalir.
 Lakukan perajangan dengan jalan memotong rimpang
dengan ukuran 0,5 - 1 cm
 Lakukan pengeringan dengan dua metoda kering angin dan
metode pengeringan buatan menggunakan oven pada suhu
50C selama 24 jam
 Simplisia yang sudah kering kemudian ditimbang dan
dihitung persen rendemennya
 Dilanjutkan dengan proses evaluasi simplisia
b. Evaluasi Simplisia
1. Evaluasi organoleptis
 Ambil secukupnya simplisia rimpang yang sudah
disiapkan
 Lakukan evaluasi organoleptis meliputi bentuk, warna,
bau dan rasa
 Catat hasil pengamatan yang diperoleh
2. Analisis mikroskopis
 Ambil secukupnya simplisia rimpang yang sudah
dihaluskan menggunakan lumping dan stanfer
 Lakukan pengamatan bentuk mikroskopis rimpang
menggunakan mikroskop
 Gambarkan hasil pengamatan yang diperoleh
3. Penetapan kadar air
 Timbang kurs porselen, catat beratnya
 Masukkan kurs porselen ke dalam oven dengan suhu
100- 105C selama 2 jam. Setelah itu, keluarkan dari
oven dan dinginkan kemudian ditimbang kembali. Catat
beratnya. Lakukan pemanasan sampai berat konstan
 Timbang sebanyak 1 gram simplisia serbuk rimpang di
dalam kurs porselen, panaskan di dalam oven dengan
suhu 100-105C selama 5 jam. Setelah itu, keluarkan
dari oven dan dinginkan kemudian ditimbang kembali.
Catat beratnya. Lakukan pemanasan sampai berat
konstan
 Hitung kadar air dari simplisia rimpang
 Lakukan penetapan kadar air dari kedua simplisia dengan
metoda pengeringan yang berbeda, bandingkan kadar air
yang diperoleh
4. Penetapan kadar abu
 Timbang kurs porselen, catat beratnya
 Masukkan kurs porselen ke dalam oven dengan suhu
100- 105C selama 2 jam. Setelah itu, keluarkan dari
oven dan dinginkan kemudian ditimbang kembali. Catat
beratnya. Lakukan pemanasan sampai berat konstan
 Timbang sebanyak 1 gram simplisia rimpang di dalam
kurs porselen, panaskan di dalam furnace dengan suhu
600C selama 6 jam. Setelah itu, keluarkan dan
dinginkan kemudian ditimbang kembali. Catat beratnya.
Lakukan pemanasan sampai berat konstan
 Hitung kadar abu dari simplisia rimpang
 Lakukan penetapan kadar abu dari kedua rimpang
dengan metoda pengeringan yang berbeda, bandingkan
kadar abu yang diperoleh

2) Cara kerja pembuatan simplisia rimpang jahe merah


a. Penyiapan simplisia rimpang (rhizoma)
 Siapkan sebanyak 500 gram rimpang jahe merah lalu
dibersihkan dari tanah dan bulu-bulu akarnya, kemudian dan
dicuci bersih dengan air mengalir.
 Lakukan perajangan dengan jalan memotong rimpang
dengan ukuran 0,5 - 1 cm
 Lakukan pengeringan dengan dua metoda kering angin dan
metode pengeringan buatan menggunakan oven pada suhu
50C selama 24 jam
 Simplisia yang sudah kering kemudian ditimbang dan
dihitung persen rendemennya
 Dilanjutkan dengan proses evaluasi simplisia
b. Evaluasi Simplisia
1. Evaluasi organoleptis
 Ambil secukupnya simplisia rimpang yang sudah
disiapkan
 Lakukan evaluasi organoleptis meliputi bentuk, warna,
bau dan rasa
 Catat hasil pengamatan yang diperoleh
2. Analisis mikroskopis
 Ambil secukupnya simplisia rimpang yang sudah
dihaluskan menggunakan lumping dan stanfer.
 Lakukan pengamatan bentuk mikroskopis rimpang
menggunakan mikroskop
 Gambarkan hasil pengamatan yang diperoleh
3. Penetapan kadar air
 Timbang kurs porselen, catat beratnya
 Masukkan kurs porselen ke dalam oven dengan suhu
100- 105C selama 2 jam. Setelah itu, keluarkan dari
oven dan dinginkan kemudian ditimbang kembali. Catat
beratnya. Lakukan pemanasan sampai berat konstan
 Timbang sebanyak 1 gram simplisia serbuk rimpang di
dalam kurs porselen, panaskan di dalam oven dengan
suhu 100-105C selama 5 jam. Setelah itu, keluarkan
dari oven dan dinginkan kemudian ditimbang kembali.
Catat beratnya. Lakukan pemanasan sampai berat
konstan
 Hitung kadar air dari simplisia rimpang
 Lakukan penetapan kadar air dari kedua simplisia dengan
metoda pengeringan yang berbeda, bandingkan kadar air
yang diperoleh
4. Penetapan kadar abu
 Timbang kurs porselen, catat beratnya
 Masukkan kurs porselen ke dalam oven dengan suhu
100- 105C selama 2 jam. Setelah itu, keluarkan dari
oven dan dinginkan kemudian ditimbang kembali. Catat
beratnya. Lakukan pemanasan sampai berat konstan
 Timbang sebanyak 1 gram simplisia rimpang di dalam
kurs porselen, panaskan di dalam furnace dengan suhu
600C selama 6 jam. Setelah itu, keluarkan dan
dinginkan kemudian ditimbang kembali. Catat beratnya.
Lakukan pemanasan sampai berat konstan
 Hitung kadar abu dari simplisia rimpang
 Lakukan penetapan kadar abu dari kedua rimpang
dengan metoda pengeringan yang berbeda, bandingkan
kadar abu yang diperoleh
V. HASIL
A. Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorriza rhizoma)
Dalam pengamatan secara organoleptis, didapatkan bahwa
simplisia rimpang temulawak berupa irisan rimpang, keping tipis,
bentuk bulat atau agak jorong, ringan, keras, mudah patah,
permukaan luar berkerut, warna cokelat kuning hingga cokelat,
bidang irisan melengkung tidak beraturan, tidak rata, sering dengan
tonjolan melingkar pada batas antara korteks dengan silinder pusat,
korteks sempit, bekas patahan berdebu; warna kuning jingga
hingga cokelat jingga terang; bau khas aromatik; rasa tajam dan
pahit.
Diketahui :
- Bahan awal rimpang temulawak : 1000g
- Simplisia rimpang temulawak : 300 g
- Hitung % randemen : 30 %
Sehingga % randemen, yaitu :
Berat akhir sampel
% randemen= x 100 %
Berat awal sampel
300 g
% randemen= x 100 %=30 %
1000 g
B. Rimpang Jahe Merah (Zingiberis officinalis var. rubrum
rhizoma)
Dalam pengamatan secara organoleptis, didapatkan bahwa
simplisia rimpang jahe merah berupa irisan rimpang, pipih,
membujur, permukaan luar tebal, kasar, permukaan sebelah dalam
tampak berserat, bekas patahan pendek dan berserat menonjol,
beralur memanjang, kadang- kadang terdapat serat bebas, bagian
ujung bercabang pendek, pada setiap cabang terdapat parut
melekuk ke dalam; permukaan dalam warna putih kekuningan,
permukaan luar bewarna kuning kecokelatan; bau khas; rasa pedas.
Diketahui :
- Bahan awal rimpang jahe merah : 1000 g
- Simplisia rimpang jahe merah : 400 g
- Hitung % randemen : 40%
Sehingga % randemen, yaitu :
Berat akhir sampel
% randemen= x 100 %
Berat awal sampel
400 g
% randemen= x 100 %=40 %
1000 g
VI. PEMBAHASAN
Farmakognosi merupakan cara pengenalan ciri-ciri atau
karakteristik obat yang berasal dari bahan alam. Farmakognosi
mencakup seni dan pengetahuan pengobatan dari alam yang meliputi
tanaman, hewan, mikroorganisme, dan mineral. Perkembangan
farmakognosi saat ini sudah melibatkan hasil penyarian atau ekstrak
yang tentu akan sulit dilakukan identifikasi zat aktif jika hanya
mengandalkan mata. Dengan demikian, cara identifikasi juga semakin
berkembang dengan menggunakan alat-alat cara kimia dan fisika.
Adapun beberapa parameter yang dilakukan sebagai standar mutu
tanaman, meliputi pemeriksaan organoleptis, pengamatan terhadap
morfologi dan anatomi, serta identifikasi kandungan kimia.
Berdasarkan hal tersebut, untuk pengamatan morfologi
dilakukan dengan mengamati bentuk fisik dari simplisia yakni ukuran,
warna dan bentuk simplisia dan merupakan salah satu cara dalam
memperkenalkan tanaman karena mengingat tanaman yang sama
belum tentu mempunyai bentuk morfologi yang sama pula.
Pada praktikum farmakognosi ini hanya dilakukan pemeriksaan
simplisia secara organoleptis. Pemeriksaan secara organoleptis,
dilakukan dengan mengamati warna, bau, dan rasa. Pada praktikum ini
digunakan simplisia rimpang temulawak dan jahe merah sebagai
sampel. Dalam pengamatan secara organoleptis dari simplisia rimpang
temulawak adalah berupa irisan rimpang, keping tipis, bentuk bulat
atau agak jorong, ringan, keras, mudah patah, permukaan luar
berkerut, warna cokelat kuning hingga cokelat, bidang irisan
melengkung tidak beraturan, tidak rata, sering dengan tonjolan
melingkar pada batas antara korteks dengan silinder pusat, korteks
sempit, bekas patahan berdebu; warna kuning jingga hingga cokelat
jingga terang; bau khas aromatik; rasa tajam dan pahit. Sedangkan
dalam pengamatan secara mikroskopis dari simplisia rimpang
temulawak adalah berupa fragmen pengenal adalah amilum, parenkim
korteks, sklerenkim, berkas pengangkut dengan penebalan tipe tangga,
dan jaringan gabus.
Dalam pengamatan secara organoleptis dari simplisia rimpang
jahe merah adalah berupa irisan rimpang, pipih, membujur,
permukaan luar tebal, kasar, permukaan sebelah dalam tampak
berserat, bekas patahan pendek dan berserat menonjol, beralur
memanjang, kadang-kadang terdapat serat bebas, bagian ujung
bercabang pendek, pada setiap cabang terdapat parut melekuk ke
dalam; permukaan dalam warna putih kekuningan, permukaan luar
bewarna kuning kecokelatan; bau khas; rasa pedas. Sedangkan dalam
pengamatan secara mikroskopis dari simplisia rimpang jahe merah
adalah berupa fragmen pengenal adalah sklerenkim, amilum, berkas
pengangkut dengan penebalan tipe tangga dan parenkim dengan
idioblas berupa sel minyak.
VII. KESIMPULAN
1. Rimpang temulawak adalah rimpang Curcuma xanthorrhiza, suku
Zingiberaceae, mengandung minyak atsiri tidak kurang dari 1,20%
v/b dan/atau kurkumin tidak kurang dari 2,30%. Sedangkan
rimpang jahe merah adalah rimpang Zingiber officinale Rosc. var.
rubrum, suku Zingiberaceae, mengandung minyak atsiri tidak
kurang dari 1,10% v/b.
2. Pengamatan secara organoleptis dari simplisia rimpang temulawak
adalah berupa irisan rimpang, keping tipis, bentuk bulat atau agak
jorong, ringan, keras, mudah patah, permukaan luar berkerut,
warna cokelat kuning hingga cokelat, bidang irisan melengkung
tidak beraturan, tidak rata, sering dengan tonjolan melingkar pada
batas antara korteks dengan silinder pusat, korteks sempit, bekas
patahan berdebu; warna kuning jingga hingga cokelat jingga
terang; bau khas aromatik; rasa tajam dan pahit. Sedangkan dalam
pengamatan secara mikroskopis dari simplisia rimpang temulawak
adalah berupa fragmen pengenal adalah amilum, parenkim korteks,
sklerenkim, berkas pengangkut dengan penebalan tipe tangga, dan
jaringan gabus.
3. Pengamatan secara organoleptis dari simplisia rimpang jahe merah
adalah berupa irisan rimpang, pipih, membujur, permukaan luar
tebal, kasar, permukaan sebelah dalam tampak berserat, bekas
patahan pendek dan berserat menonjol, beralur memanjang,
kadang-kadang terdapat serat bebas, bagian ujung bercabang
pendek, pada setiap cabang terdapat parut melekuk ke dalam;
permukaan dalam warna putih kekuningan, permukaan luar
bewarna kuning kecokelatan; bau khas; rasa pedas. Sedangkan
dalam pengamatan secara mikroskopis dari simplisia rimpang jahe
merah adalah berupa fragmen pengenal adalah sklerenkim, amilum,
berkas pengangkut dengan penebalan tipe tangga dan parenkim
dengan idioblas berupa sel minyak.
4. Temulawak mengandung senyawa bioaktif, seperti kurkuminoid,
camphor, geranyl acetate, zerumbone, zingiberene, dan
xanthorrhizol. Sedangkan jahe merah mengandung gingerol dan
shogaol.
5. Temulawak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai
pewarna, bahan pangan, obat tradisional, memelihara kesehatan
dan juga sebagai bahan obat seperti kurang nafsu makan, sembelit,
ambeien, jerawat, diare, obat kejang-kejang, untuk menghancurkan
batu empedu, untuk mengobati pengobatan penyakit ginjal dan hati,
obat pegal linu, reumatik, radang sendi, dan dalam bentuk segar,
rebusan, seduhan maupun serbuk digunakan untuk mengobati
sariawan dan keputihan. Temulawak bersama dengan brotowali dan
sambiloto digunakan dapat juga digunakan sebagai obat lambung.
Sedangkan jahe merah bermanfaat untuk mengatasi penyakit asma,
diare, mual, batuk, gangguan pernapasan, arthritis rheumatoid, sakit
gigi, morning sickness, dan dyspepsia. Beberapa efek farmakologi
jahe adalah antiemetik, antioksidan, antikanker, antipiretik,
analgetik, antiinflamasi, anti infertil, dan antijamur.
DAFTAR PUSTAKA
https://e-journal.usd.ac.id. Diakses tanggal 29 mei 2021 pukul 19:45
https://journal.ipb.ac.id Diakses tanggal 29 mei 2021 pukul 23:35
https://journal.uniga.ac.id Diakses tanggal 30 mei 2021 pukul 19:00
http://repository.unpas.ac.id/37841/1/12.%20BAB%20II.pdf Diakses tanggal 30
mei 2021 pukul 20:00
https://ejournal.unhi.ac.id Diakses tanggal 30 mei 2021 pukul 20:45
Yessi Febrianti, dkk. 2017. Potensi Pemanfaatan Ampas Jahe Merah (Zingiber
officinale Roscoe) sebagai Obat Analgetik. (Online). Tersedia:
http://jurnal.unpad.ac.id/ijpst/ . Html (diakses tanggal 30 Mei 2021)

Anda mungkin juga menyukai