Anda di halaman 1dari 226

Jagat Komunikasi Kontemporer:

Ranah, Riset, dan Realitas

Penulis:
Gilang Desti Parahita Widodo Agus Setianto
Novi Kurnia Syaifa Tania
Wisnu Prasetya Utomo Budi Irawanto
Zainuddin Muda Z. Monggilo Wisnu Martha Adiputra
I Gusti Ngurah Putra Irham Nur Anshari
Nyarwi Ahmad Mashita Fandia

Editor:
Muhamad Sulhan
Lidwina Mutia Sadasri

Penyunting Bahasa:
Ifan

Desain sampul:
Anung Srihadi

Tata letak isi:


Rio

Penerbit:
Gadjah Mada University Press
Anggota IKAPI dan APPTI

Ukuran: 15,5 × 23 cm; xiv + 212 hlm


ISBN: 978-623-359-006-8
2108170–B2E

Redaksi:
Jl. Sendok, Karanggayam CT VIII Caturtunggal
Depok, Sleman, D.I. Yogyakarta, 55281
Telp. /Fax.: (0274) 561037
ugmpress.ugm.ac.id | gmupress@ugm.ac.id

Cetakan pertama: September 2021


3292.136.08.21

Hak penerbitan ©2021 Gadjah Mada University Press


Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari penerbit, sebagian atau
seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, photoprint, microfilm, dan sebagainya.
PRAKATA

I lmu komunikasi menghadapi tantangan seiring dengan menguatnya


pemanfaatan teknologi digital sebagai instrumen sekaligus arena relasi
interpersonal berlangsung. Perkembangan teknologi menjadi faktor
penting pergeseran pola dan bentuk komunikasi dari waktu ke waktu.
Namun sangat pesat dan cepatnya kemajuan bentuk-bentuk teknologi
digital dan berbagai platform media sosial telah menghadirkan revolusi
pola dan sistem komunikasi. Kecepatan perkembangan teknologi ini telah
membuat media dan pola lama komunikasi yang berbasis analog dan cetak
tidak lagi relevan, berganti dengan yang berbasis digital. Pergerakan arus
informasi juga berlangsung secara sangat kilat, menembus batas waktu dan
teritorial, dengan variasi bentuk informasi yang sangat beragam. Pun halnya
dengan model-model komunikasi yang semakin bersifat personalized dan
customized. Sistem informasi yang berbasis digital juga telah melahirkan
sumber daya baru dalam bentuk big data, sebagai new oil di era teknologi
informasi. Perkembangan ini telah mendorong terbentuknya masyarakat
yang semakin terkoneksi, berpengetahuan, dan berbagai peluang kemajuan
ekonomi. Namun, di sisi lain berbagai tantangan terkait dengan menguatnya
oligarki berbasis teknologi, ketimpangan akses, dan masalah literasi digital
juga mengemuka.
Buku berjudul Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan
Realitas ini merupakan buah perenungan para dosen dan peneliti di
Departemen Ilmu Komunikasi (Dikom) FISIPOL UGM terkait dengan
dinamika perkembangan terkini dalam kajian Ilmu Komunikasi. Artikel
yang termuat dalam buku ini mencakup analisis mutakhir yang berkembang
dalam empat konsentrasi di Dikom, yaitu: jurnalisme, public relations,
advertising, dan media entertainment. Dinamika jurnalisme kontemporer
menunjukkan permasalahan jurnalistik akibat fenomena fragmentasi

[v]
sosial, sentimen negatif, politisasi informasi, dan berbagai bentuk negative
contents (termasuk ujaran kebencian, fake news, dan stereotyping).
Perkembangan ini menghadirkan tantangan kajian dari sisi posisi,
peran, dan praktik jurnalistik di Indonesia. Dalam ranah public relations
metamorfosis juga berlangsung sebagai akibat perkembangan teknologi
digital. Fungsi, bentuk media, dan substansi public relations mengalami
pergeseran, membutuhkan penelaahan lebih dalam, baik dari sisi praksis
maupun teoritis. Di bidang advertising, revolusi teknologi komunikasi
telah merombak pengelolaan dunia periklanan, yang semakin efisien dan
murah. Komoditas periklanan juga bukan hanya berkaitan dengan barang
dan jasa, namun juga ide-ide politik dan kebijakan. Sementara dalam
media entertainment, mengguritanya pengaruh internet of things (IoT)
telah merevolusi dunia hiburan. Industri media hiburan sangat dipengaruhi
oleh kegilaan perilaku netizens dan maraknya creative contents.
Hadirnya buku ini merupakan bagian dari upaya FISIPOL UGM untuk
melakukan publikasi state of the art (atau state of the discipline) enam
departemen yang ada. State of the art ini menghadirkan telaah kritis atas
perkembangan kontemporer berbagai bidang keilmuan yang menjadi fokus
perhatian masing-masing departemen, yang tergambar dalam berbagai
aktivitas penelitian, publikasi, pengajaran, dan advokasi sosial. Publikasi
state of the art merupakan bentuk komunikasi yang dilakukan FISIPOL
UGM dan departemen-departemen di dalamnya terhadap komunitas
akademik, sekaligus sebagai upaya untuk menjaga posisi academic
leadership, baik di Indonesia maupun lebih luas. Terbitnya buku ini
diharapkan akan menjadi sumber inspirasi dan pemantik perdebatan dalam
memahami perkembangan dan dinamika masyarakat digital, khususnya
dari sudut pandang Ilmu Komunikasi.
Atas terbitnya buku ini, saya sampaikan ucapan terima kasih kepada
Dr. Poppy S. Winanti (Wakil Dekan yang membidangi Penelitian dan
Publikasi) serta tim UP3M FISIPOL UGM yang tidak kenal lelah mengawal
proses penulisan dan penerbitan serial state of the art ini. Apresiasi yang
tinggi juga saya sampaikan kepada tim editor dan para penulis yang
telah mendedikasikan waktunya untuk menyusun hasil penelitian dan
analisisnya dalam bentuk artikel bab yang bernas dan kuat. Kepada BPP

[ vi ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


UGM, khususnya UGM Press, yang telah memfasilitasi penerbitan buku
ini, ucapan terima kasih juga saya sampaikan. Selamat membaca, semoga
buku ini memberikan kontribusi, serta memicu perdebatan dan dialektika
dalam bidang Ilmu Komunikasi.

Yogyakarta, 23 Mei 2021


Dekan

Wawan Mas’udi

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ vii ]


KATA PENGANTAR

P uji syukur kehadirat Tuhan YME, kami panjatkan dengan penuh


khidmat, atas selesainya  penulisan buku Jagad Komunikasi
Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas. Perjalanan penyusunan buku
ini diawali pada pertengahan tahun 2020, perlunya Departemen Ilmu
Komunikasi  Universitas Gadjah Mada (DIKOM UGM) memberi kontribusi
pada keriuhan di semesta disiplin Ilmu Komunikasi. Semoga sumbangsih
akademis yang dipetakan dapat mewakili program/peminatan dan kajian
DIKOM UGM yaitu Jurnalisme, Kehumasan, Periklanan, serta Media
Hiburan.  Sejumlah 12 bab yang akhirnya tersaji manis di depan pembaca
berkat besutan duo editor yang telah maraton mengawal penulisan buku
ini.  Dua belas menu bab ini hasil karya goresan 12 staf dosen DIKOM
UGM yang telah memiliki kepakaran di bidangnya masing-masing.
Terima kasih kami ucapkan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM) yang telah memfasilitasi
baik dana maupun pendampingan selama proses penulisan buku. Terima
kasih juga kepada UGM Press yang telah berkenan untuk menerbitkan
karya ini. Ucapan terima kasih juga kami haturkan pada segenap civitas
akademika DIKOM UGM yang telah membantu dan tidak dapat kami
sebutkan satu per satu namanya, “Benih baik  kalian kiranya menuai buah
yang berlimpah”.
Akhir kata, selamat menikmati sajian menu bab-bab di buku ini. Tiada
gading yang tak retak, tiada berlian tanpa goresan, buku ini tentu masih
banyak kekurangan, kritik dan saran sangat kami nantikan.

Yogyakarta, Mei 2021


Ketua Departemen Ilmu Komunikasi 
FISIPOL UGM
Dr. Rajiyem
[ viii ]
Daftar Isi

PRAKATA........................................................................................... v
KATA PENGANTAR......................................................................... viii
DAFTAR ISI....................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR.......................................................................... xii
DAFTAR SINGKATAN.................................................................... xiii

BAB 1 Pendahuluan: Mengulik Jagat Ranah, Riset, dan Realitas


Komunikasi
Muhamad Sulhan................................................................ 1

JOURNALISM:
DARI FAKTA MENUJU IDEALISME NILAI
BAB 2 Keberagaman Media dan Pers Era Digital: Pluralisme
Agonistik sebagai Perspektif
Gilang Desti Parahita........................................................ 24
BAB 3 Memahami Berita dan Kekacauan Informasi: Urgensi
Literasi Berita untuk Pengajaran Media dan Jurnalisme
Novi Kurnia........................................................................ 42
BAB 4 Jurnalisme Politik di Indonesia: Antara Paralelisme Politik
dan Instrumentalisasi Media
Wisnu Prasetya Utomo....................................................... 56
BAB 5 Kiprah Perempuan dalam Jurnalisme: Refleksi bagi Jurnalis
Perempuan Indonesia
Zainuddin Muda Z. Monggilo............................................ 67

[ ix ]
PUBLIC RELATIONS: DARI PERSPEKTIF PRAKTIS
MENUJU KAJIAN AKADEMIK
BAB 6 Memperkaya Kajian Public Relations di Indonesia
I Gusti Ngurah Putra.......................................................... 84
BAB 7 Menyegarkan Kembali Kajian Komunikasi Politik di
Indonesia: Visualisasi, Ideasi, dan Mediatisasi Politik
Sebagai Domain Kajian dan Paradigma Riset Alternatif
Nyarwi Ahmad.................................................................... 99

ADVERTISING:
DARI PETA PEMODELAN MENUJU ASAS KEBERGUNAAN
BAB 8 Transformasi Model Periklanan: Dari Era Pre-industrial
Hingga Era Interaktif Global
Widodo Agus Setianto......................................................... 112
BAB 9 Personalisasi dalam Periklanan Digital
Syaifa Tania........................................................................ 127

MEDIA ENTERTAINMENT:
DARI “BIASA” MENJADI “LUAR BIASA”
BAB 10 Melampaui yang “Remeh-Temeh”: Media Hiburan Sebagai
Bidang Kajian Ilmu Komunikasi
Budi Irawanto..................................................................... 140
BAB 11 Jurnalisme Game: Merangkai Jurnalisme dan Media Hiburan
Wisnu Martha Adiputra...................................................... 154
BAB 12 Produksi dan Monetisasi Kanal YouTube
Irham Nur Anshari............................................................. 167
BAB 13 Aktualisasi Diri dan Media Hiburan: Menyoal Kaum Muda
dalam Ruang Media Sosial
Mashita Fandia.................................................................. 180

[x] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


BAB 14 Penutup: Agenda Pembelajaran, Riset, dan Advokasi
Lidwina Mutia Sadasri....................................................... 196

INDEKS.............................................................................................. 201
Biodata Penulis......................................................................... 204

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ xi ]


DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Model Ekologi Komunikasi dari Foulger..................... 7
Gambar 1.2 Model Sistem Proses Komunikasi Era IoT................... 8
Gambar 3.1 Kekacauan Informasi. ................................................... 44
Gambar 12.1 Mekanisme monetisasi dalam program Google
AdSense......................................................................... 170

[ xii ]
DAFTAR SINGKATAN
CPC cost per click
CPM cost per mille
IoT Internet of Things
MCN Multichannel Network
PR Public Relations

[ xiii ]
BAB 1
Pendahuluan:
Mengulik Jagat Ranah, Riset, dan Realitas Komunikasi

Muhamad Sulhan

“Since we live in revolutionary times,


we ought to reflect and model those revolutionary
new modes of communication
in the way communication history is taught—and written.”
(Bill Kovarik, 2015)

P roses komunikasi manusia mengalami perkembangan seiring dengan


konteks sejarah praktik berkomunikasi. Jika perenungan dan analisis
atas praktik berkomunikasi itu berlangsung secara evolutif dalam ranah
komunikasi antar manusia, tidak demikian halnya sejak teknologi muncul
secara menakjubkan di abad ke-20. Teknologi media, dalam hal ini elemen
alat transmiter, mengalami lompatan temuan yang tak terbayangkan.
Sejak fenomena kemunculan telegram, radio, televisi, kemudian internet,
praktik komunikasi manusia telah berubah total. Kehidupan menjadi
lebih kompleks. Selain interval perubahan yang menjadi semakin pendek,
implikasi teknologi media memantik relasi yang jauh lebih tak terduga.
Kompleksitas atas perubahan itu muncul karena relasi timbal balik antara
manusia sebagai pengguna teknologi media, dengan sifat kecanduan yang
dipantik oleh penggunaan media. Dalam kelindan itulah, budaya, konflik,
dan interaksi manusia membentang sepanjang lebih dari 50.000 tahun
menghiasi peradaban (Poe, 2011; Ansary, 2019). Revolusi telah berlangsung
dalam fenomena tersebut. Revolusi teknologi media komunikasi. Uniknya,
sejarah selalu bergerak dalam garis linear. Bergerak terus ke depan, tanpa

[1]
pengulangan. Narasi keheranan dan ketakjuban manusia atas teknologi
komunikasi akan terus bertumpuk di belakang kita bagaikan puing-puing
nostalgia. Artinya di masa depan, keheranan demi keheranan akan terus
terjadi seiring dengan praktik berkomunikasi. Satu-satunya yang bersifat
menetap, dan terus menduduki posisi penting dalam proses revolusi itu
adalah kemampuan analisis manusia. Ilmu pengetahuan sebagai brankas
tertua hasil olah pikir manusia akan terus eksis. Bahkan ditantang untuk
terus mempertajam daya analisis dan daya kritisnya. Di sanalah fungsi
utama keilmuan.
Ilmu komunikasi adalah hasil pengembangan pemikiran yang melesat
begitu cepat. Teknologi dan interaksi menjadi determinan utama. Terdapat
beberapa alasan yang mendasari premis tersebut. Alasan pertama, disiplin
keilmuan ini bergerak sejajar dengan beragam kepentingan peradaban
manusia. Kita bisa mencatat bahwa perkembangan retorika (sebuah bidang
asal muasal ilmu komunikasi, seni dan keahlian) muncul karena kebutuhan
mendasar “berdebat” dan “mempersuasi” agar memenangkan posisi
politik, hukum, dan ekonomi di persidangan Athena. Dari sana muncul
kesadaran akan keharusan menguasai keterampilan berpidato dan berorasi.
Inilah cikal bakal kaitan disiplin ilmu komunikasi dengan kepentingan
praktis. Jejaknya masih begitu kental ditemui dalam fenomena politik
hingga hari ini. Kepentingan peradaban berikutnya sejajar dengan orientasi
kemenangan perang dingin. Benturan kepentingan antara Amerika Serikat
dan Uni Soviet mencatatkan begitu banyak dinamika dalam perkembangan
riset dan percobaan bidang media. Akarnya tetap sama: meningkatkan
kemampuan persuasi dan memenangkan peperangan. Meski dalam beragam
versi. Sejarah ilmu komunikasi mencatat bahwa sepanjang perang dingin
tersebut, ilmu komunikasi berkembang pesat melewati batas perspektif
dan geografis. Dari sebuah bidang komunikasi terbatas (jurnalistik) di
Eropa, untuk kemudian bergeser menjadi bidang praktis kebergunaan
media di Amerika (Dahnke & Clatterbuck, 1990; Rogers, 1994) Ini
penanda revolutif dalam pembelajaran ilmu komunikasi. Argumen dari
alasan ini adalah bahwa teknologi biasanya menjadi alat utama yang selalu
mendukung arahan kepentingan manusia. Jika dia berkembang seiring
dengan kebutuhan, pasti akan semakin melesat. Komunikasi adalah disiplin
yang terkait erat dengan teknologi.

[2] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


Alasan kedua, disiplin komunikasi merupakan disiplin keilmuan yang
sejak semula berkaitan dengan tiga elemen utama interaksi manusia: sosok
kreator pesan, pesan itu sendiri, dan kompleksitas sosok penerima serta
pengolah pesan kembali. Tiga sosok dan peran ini tetap abadi. Meskipun
beragam model komunikasi telah lahir dan memodifikasinya, namun
interaksi manusia dari sudut pandang komunikasi hanya terjadi melalui
keniscayaan tiga hal itu. Tanpa itu semua, tidak akan ada komunikasi.
Uniknya, tiga sosok utama proses interaksi tadi adalah objek dari keilmuan
lain yang juga berkembang pesat hingga hari ini. Sosok kreator pesan dan
penerima pesan adalah subjek utama dari berbagai disiplin ilmu raksasa,
terutama terkait dengan sistem pemaknaan dan sistem kehidupan manusia
sebagai makhluk personal dan sosial, seperti psikologi dan sosiologi.
Elemen berikutnya adalah pesan (informasi). Pesan sebagai konten dalam
proses komunikasi menjadi bidang garapan serius dalam ilmu informasi
(information science). Beberapa universitas di seluruh dunia hari ini
tengah fokus untuk menggarap perihal informasi sebagai sebuah landasan
dalam kehidupan manusia. Mereka yakin bahwa teknologi media digital
akan menjadi satu isu penting (Simonson & Park, 2016). Salah satu isu
yang sangat mencolok terkait dengan trend ini adalah perihal artificial
intelligence (AI) dan internet of things (IoT). Informasi menjadi jantung
algoritma. Sistem raksasa yang menjadi denyut nadi Google, Youtube,
Facebook, Instagram, Lazada, Traveloka, Uber, dan berjuta sistem aplikasi
lainnya di seluruh dunia (Simon, 2013). Informasi dan sistem algoritma
merupakan paru-paru ekonomi dunia hari ini. Keniscayaan yang menjadi
nubuat masa depan. Simpul alasan ini adalah meskipun teknologi telah
melaju pesat dengan segara bentuk inovasinya, namun hakikat interaksi
manusia tidak terlepas dari elemen kunci komunikasi. Interaksi manusia
dan teknologi menjadi kata kunci peradaban hari ini (Headrick, 2009;
Harari, 2018; Wyatt dkk., 2019).
Dua alasan di atas menjadi landasan untuk mengenal kembali ranah
studi ilmu komunikasi, untuk kemudian mengembangkan metode penelitian
yang tepat untuk mendalami dan mempelajari realitas yang muncul. Dua
alasan tadi, di satu sisi mewakili kompleksitas historis perkembangan
keilmuan komunikasi yang selalu berjalan beriringan dengan kebutuhan
dan kepentingan manusia. Sementara di sisi lain tetap memegang teguh

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [3]


ranah dan bidang keilmuan agar tetap menciptakan keunikan berupa objek
formal dan material dari sebuah disiplin keilmuan.
Jika kemudian objek utama sebuah disiplin keilmuan telah terkoneksi
dengan kebutuhan, dan mendapatkan dukungan dari teknologi, maka
peradaban manusia secara otomatis akan mendapatkan bahan bakar abadi.
Pada titik itulah perjalanan kehidupan ilmu komunikasi bermula hingga
hari ini. Peta perjalanan ilmu komunikasi telah menjadi saksi tahapan
dan lompatan sejarah bagaimana kemudian sebuah disiplin keilmuan
terkoneksi dengan kebutuhan masyarakat, dan mendapat konteks yang
menguntungkan seiring perkembangan teknologi.

Teknologi Media: Internet of Things (IoT) dalam Ranah


Komunikasi
Jika Anda memperhatikan judul buku ini, terdapat dua kata kunci
yang membutuhkan penjelasan. Pertama adalah kata Jagat. Konsep “Jagat”
yang menjadi judul buku ini sarat dengan maksud dan “beban” atas dunia
komunikasi. Mewakili kata semesta, jagat identik dengan ruang tak terbatas
imajinasi. Kosakata ini hadir dalam pikiran manusia sejak ditahbiskan
oleh legenda hindu (jagat dewa batara) masa lalu, hingga penegasan
ketakterhinggaan universe (jagat semesta) dalam film-film science fiction
karya Marvel masa kini. Di dalam kata jagat terdapat potensi tanpa kontrol.
Tanpa batas. Kebebasan. Dinamika. Proses. Bentuk nyata dari jagat hari
ini adalah dunia maya. Sebuah dunia yang tak bertepi dan tak berbatas.
Inilah metafora yang ingin disampaikan oleh para dosen Departemen Ilmu
Komunikasi FISIPOL Universitas Gadjah Mada (UGM) saat menulis
bab demi bab buku ini. Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset,
dan Realitas pada dasarnya merupakan sebuah kesadaran akan potensi
ketidakterhinggaan dinamika komunikasi di era kontemporer. Potensi
ketidakterhinggaan itu bukan semata-mata karena praktik komunikasi
manusia yang menjadi lebih kompleks, melainkan juga kesadaran bahwa
teknologi komunikasi melalui internet hari ini telah menjadi ruang hidup
maya yang niscaya dari sebuah ekologi kehidupan manusia. Faktanya,
praktik komunikasi hari ini tidak bisa terlepas dari sistem interaksi
manusia termediasi, dan telah mengalami revolusi setelah dipantik oleh

[4] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


perkembangan teknologi. Sifat dan cakupan “jagat” adalah chaos, disruptif,
dan tak terhingga.
Kata kunci kedua adalah “Kontemporer” yang melekat pada kata
komunikasi. Komunikasi kontemporer. Penjelasannya bisa bersifat
subjektif semata-mata demi tujuan penerbitan buku ini. Secara umum,
kontemporer bermakna kekinian. Secara khusus, arti ini mengacu pada
gambaran holistik fenomena komunikasi tepat pada saat penulisan setiap
bab di buku ini. Kata kontemporer dipilih untuk menunjukan bukti
pergerakan zaman. Perspektif sejarah yang sebagian besar digunakan oleh
para penulis untuk menggambarkan fenomena komunikasi berupaya untuk
menunjukan perbedaan signifikan ragam kajian komunikasi yang menjadi
ciri khas Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM. Penulisan setiap
bab memposisikan empat kajian pada situasi dan kondisi hari ini, lengkap
dengan realitas, perspektif riset, dan juga bidang khusus mereka sebagai
peminatan utama. Sangat dimungkinkan problema dan kompleksitas
komunikasi di masa berikutnya akan betul-betul berbeda. Kecepatan
perubahan akan memaksa kita untuk terus tanggap dan bersiap. Bisa jadi
kita akan terbata-bata mengantisipasinya. Namun dengan pembacaan
komprehensif atas fenomena komunikasi hari ini, diharapkan kita bisa
merencanakan hari esok dengan lebih baik.
Kompleksitas dari fakta ketidakterhinggaan yang bisa dianalisis dari
situasi hari ini atas fenomena komunikasi itu bisa dibingkai menjadi satu
frasa utama yang menjadi mata rantai penghubung, teknologi. Situasi
kontemporer atas komunikasi manusia sejak abad ke-20 akhir ditandai
dengan pergerakan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat. Di
tengah segala ketidakterhinggaan itu pula, pembacaan atas aspek teknologi
berupa komunikasi digital, komunikasi termediasi komputer, dan fenomena
media baru (new media) akan menjadi jembatan penghubung untuk
membaca setiap fenomena. Sifat dan batasan “kontemporer” mengacu
pada saat ini, hari ini, dan kontekstual.
Membicarakan teknologi dalam konteks komunikasi bisa bermakna
praktis aplikatif, dan konseptual teoretis (Littlejohn & Foss, 2009). Pada
tataran praktis aplikatif, terdapat entri yang panjang terkait kompleksitas
computer mediated communication (CMC) yang hari ini telah mewarnai

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [5]


hidup manusia. Pada tataran konseptual teoretis, pembicaraan terkait
teknologi dibingkai dalam dinamika teori media baru (new media theory).
Analisis aspek praktis dalam dinamika CMC membuat kajian komunikasi
menjadi terkait erat dengan teknologi digital. Seperti diungkapkan
Littlejohn & Foss (2009) bahwa kehadiran teknologi digital dalam CMC
berkaitan dengan transformasi percakapan manusia yang dikonversi
menjadi kode digital, ditransmisikan, untuk kemudian diuraikan lagi
kepada pihak penerima. Praktik ini pada tataran selanjutnya menciptakan
kompleksitas saat manusia terhubung melalui perantara internet, seperti
email, dan media sosial (social media). Semuanya bisa bersifat sinkron
dan asinkron. Praktik inilah yang menghasilkan begitu banyak riset dan
tulisan terkait komunikasi digital, di antaranya Whitty & Gavin (2001),
Whitty (2002), Herring (2004), Creeber & Martin (2009), dan Walther dkk.
(2015).
Sementara itu, analisis atas konsep media baru (new media) terpantik
oleh percepatan penyebaran media digital dari teknologi informasi dan
telekomunikasi pada 1990-an. Pada momen itulah studi media baru telah
mendapat tempat sebagai cabang tersendiri dari teori komunikasi (Littlejohn
& Foss, 2009). Rentang studi media baru sangat luas baik dalam aspek
kesejarahan, maupun dalam aspek topik penelitian dan bahasan. Percepatan
penelitian topik ini selain disebabkan oleh pertentangan pendapat antara
para pembela media-media konvensional dengan pendukung revolusi
media baru, juga terpantik oleh perluasan area debat mereka. Pada level
makro sistemik, fenomena media baru menjadi semakin menarik karena
berkaitan dengan aspek perubahan substansial pada level ekologi dan
sistem media. Poin terakhir ini berjalan seiring dengan geseran fokus dari
aspek perkembangan inkremental internal lingkungan media, menuju
pada ranah substantif dan kualitatif. Beragam riset dalam konteks ini
menjadi demikian popular karena menelaah unsur-unsur kontroversial dari
pertentangan sistem media, di antaranya bisa dilihat pada karya McLuhan
& Gordon (2003), Jenkins (2006), Flew & Smith (2014), Gruner (2016),
dan McLuhan & Staines (2020).
Teknologi media komunikasi seperti diungkapkan oleh Littlejohn
& Foss (2009) telah menjadi mata rantai penghubung terbentuknya
sistem masyarakat informasi (information society). Unsur-unsur dalam

[6] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


masyarakat informasi seperti diutarakan oleh Jary & Jary (1991) mengarah
pada terbentuknya industri jasa baru yang lebih menekankan pada peran
pengetahuan atas produksi, konsumsi, dan waktu senggang (leisure).
Ramalan itu telah diungkapkan Daniel Bell sejak tahun 1976. Bell (1976;
1999) telah memprediksi kemunculan masyarakat model baru ini. Dia
menyebutnya post-industrial society. Pada masa itu, sistem sosial dan
ekonomi akan bertumpu pada sistem informasi. Ramalan Bell itu terbukti
di penghujung abad ke-20. Dalam kaitannya dengan model komunikasi,
Foulger (2004) telah mengusulkan sebuah model ekologis komunikasi yang
mengantisipasi dinamika masyarakat seperti paparan Bell. Relasi dinamis
antara pihak yang berkomunikasi diterjemahkan menjadi kompleksitas
sosok pencipta (creator) dan konsumen (consumer). Di antara relasi
kompleks dua elemen ini, terdapat tiga elemen perantara yang juga tak
kalah kompleksnya: pesan (message), bahasa (language), dan media. Jika
digambarkan model ekologi Foulger tersebut adalah sebagai berikut:

Gambar 1.1 Model Ekologi Komunikasi dari Foulger


Sumber: Davis Foulger. 2004. Model of the Communication Process. Bisa diakses
di: http://davis.foulger.info/papers/ecologicalModelOfCommunication.html

Menggunakan proposisi yang ditawarkan oleh Craig (1999), juga


asumsi diferensiasi dan keanekaragaman atas model dan teori komunikasi
dari Berger & Chaffee (1988), Foulger menawarkan sebuah model yang

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [7]


lebih terintegrasi melalui keyakinan bahwa media memiliki peran yang
signifikan dalam proses komunikasi manusia. Sejajar dengan pemahaman
Capella (1991), Foulger yakin bahwa media akan menjadi determinan
dalam setiap proses komunikasi manusia. Hal ini terbukti sangat cocok
untuk menggambarkan proses komunikasi dan interaksi manusia di abad
ke-21 (Holmes, 2005; Kovarik, 2015). Faktanya, kaitan antara teknologi
informasi dan komunikasi dengan kekuatan artificial intelligence (AI) hari
ini menghadirkan internet sebagai sesuatu yang niscaya. Inilah era internet
of things (IoT) dengan segala problematikanya (Frank dkk., 2017; Tazl &
Wotawa, 2019).
Mencermati keniscayaan teknologi, media digital, AI, dan IoT seperti
paparan di atas, membuat realitas komunikasi manusia tidak lagi sama
dengan apa yang dibayangkan dan diteliti oleh para founder disiplin ilmu
komunikasi abad ke-19. Kebutuhan untuk memasukkan elemen dasar
teknologi ke dalam proses komunikasi menjadi sebuah tantangan besar bagi
pembelajar ilmu komunikasi. Termasuk para dosen, peneliti, dan pemerhati
ilmu komunikasi. Mempertimbangkan kebutuhan tersebut, sebuah model
komunikasi sebagai sebuah sistem yang mencoba memayungi dinamika
fenomena teknologi komunikasi dan informasi kontemporer layak untuk
diusulkan. Berikut sebuah model yang bisa ditawarkan untuk mewadahi
kompleksitas itu.

Gambar 1.2 Model Sistem Proses Komunikasi Era IoT

[8] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


Model sistem komunikasi di atas mengadopsi pola ekologis yang
ditawarkan Foulger (2004) dengan memberi tekanan pada dinamika netizen
dan determinasi media yang berbasis pada IoT. Penggunaan empat konsep
yang berada diirisan lingkaran (representation, dan reception), dan di luar
lingkaran (effects, dan narrative) bermaksud menjelaskan problem ranah
penelitian yang biasanya menjadi pilihan para calon sarjana komunikasi
pada saat mengerjakan karya ilmiah baik itu skripsi, tesis, maupun disertasi.
Secara reduktif bisa dikatakan bahwa penempatan kompleksitas problem
efek dan naratif di bagian atas lingkaran menunjukan kecenderungan pilihan
sifat metode kuantitatif berparadigma positivisme. Sementara penempatan
kompleksitas representasi dan resepsi pada bagian irisan lingkaran sebelah
bawah dimaksudkan untuk menunjukan kecenderungan pilihan sifat
metode kualitatif berparadigma kritis, maupun konstruktivisme.
Berdasarkan model sistem komunikasi tersebut, empat elemen utama
proses komunikasi manusia tetap tidak tergantikan. Melainkan bertambah
kompleks sesuai fakta realitas proses komunikasi hari ini. Sesuai dengan
semakin determinannya media berbasis IoT, penempatan aspek medium
pada pusaran lingkaran menunjukkan vitalnya fungsi media dalam setiap
proses komunikasi berbasis IoT. Unsur pesan yang selama ini menjadi
elemen konten dalam proses komunikasi, telah bertambah kompleks
dengan adanya dinamika bahasa. Ketiga aspek ini berkelindan sedemikian
rupa dalam sebuah rentang vertikal untuk menunjukkan beragam bidang
komunikasi yang bisa ditelaah dengan memperhatikan unsur-unsur
tersebut. Sebut saja bidang komunikasi politik, sebagai ilustrasi. Pada
saat ini banyak masalah dalam komunikasi politik muncul karena aspek
seremonik dari bahasa yang bermuara pada problem etika, manipulasi, dan
ujaran kebencian sedemikian rupa (Hardiman, 2005, 2010; Haryatmoko,
2007). Pesan dalam konteks ini menyediakan beragam kemungkinan
untuk dilihat tidak semata dalam dimensi keterpengaruhan, melainkan juga
dimensi representasi makna, dan juga dinamika persepsi berbasis budaya
(resepsi). Melalui model tersebut, sebenarnya disiplin ilmu komunikasi
telah membuka diri untuk lebih memahami kompleksitas komunikasi dari
beragam sudut pandang keilmuan. Proses membuka diri ini juga menjadi
penanda siapnya komunikasi sebagai titik sentral pertemuan dari beragam
kajian. Masih sejajar dengan simpulan Rogers (1994) berpuluh tahun silam.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [9]


Hari ini, ilmu komunikasi sudah menjadi lem perekat dan jembatan
bagi begitu banyak disiplin ilmu lainnya. Juga menjadi jembatan
penghubung antara begitu banyak bidang kepentingan kehidupan manusia.
Banyak manfaat yang telah disumbangkan oleh peradaban komunikasi
berbasis perkembangan teknologi. Bentuk konkretnya berupa keragaman
dan multifungsi media komunikasi. Sebaliknya, tak terhitung banyaknya
masalah yang muncul seiring dengan sifat asli manusia yang termanipulasi
oleh kemudahan teknologi komunikasi. Insting berbahaya eksistensi,
kelatahan melakukan penghasutan, manipulasi informasi, serta beragam
permainan ekonomi berbasis penyesatan informasi. Inilah residu dari
perkembangan peradaban. Pada akhirnya isu moral dan etika menjadi
problem dan bahasan yang kerap kali mengemuka saat kita berinteraksi
antarmanusia difasilitasi teknologi media (Piliang, 2017; Lanier, 2020).
Pada titik inilah peran dan posisi institusi pendidikan tinggi ilmu
komunikasi mendapatkan tantangan, sekaligus guncangan paradoks terkait
eksistensi dan fungsi disiplin keilmuan.

Institusi Pendidikan: Penjaga Marwah Keilmuan


Sebegitu besar implikasi komunikasi dalam kehidupan manusia,
sehingga gugatan dan keresahan atas dimensi moral dan etika menjadi
penanda komplikasi serius dinamika komunikasi dalam masyarakat
(James, 2014; Elliott & Spance, 2018; Fabris, 2018; Dutta & Zapata,
2019). Ini adalah harga yang harus dibayar dari sebuah kemajuan
peradaban. Khususnya kemajuan teknologi. Apabila teknologi memantik
problem dalam masyarakat, dan apabila teknologi dipandang merugikan
oleh sebagian besar pihak, untuk apa teknologi dikembangkan dan
menjadi fondasi kehidupan? Seperti kebanyakan narasi sinema science
fiction, perkara moral di satu sisi dan tawaran kemajuan teknologi di sisi
lain selalu menjadi alur cerita yang digemari. Masalahnya, hidup nyata
bukanlah sinema. Kehidupan memiliki alur dan tata letak yang tak sama.
Institusi pendidikan adalah pihak yang selalu menjadi kambing hitam
dari kegagapan (baca: ketidakmampuan) masyarakat dan pemerintah
saat menghadapi dilema etika dan moral sebagai residu perkembangan
teknologi. Dalam posisinya sebagai penjaga moral, dan penjawab atas

[ 10 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


semua tudingan tersebut, dunia pendidikan wajib memiliki kompas dan
koridor yang harus disampaikan kepada pihak di luar sana. Dalam dunia
komunikasi, seluruh program studi yang secara resmi mengajarkan disiplin
ilmu komunikasi harus memiliki sikap dan hipotesis untuk menjawab
dinamika dan problematika komunikasi yang muncul. Syukur bila jawaban
tersebut berujung pada solusi.
Landasan berpikir inilah yang kemudian mengilhami proses penulisan
buku yang Anda pegang. Sebuah kerisauan akademis, sekaligus juga
praktis. Departemen Ilmu Komunikasi UGM adalah departemen yang
berdiri pertama di Indonesia dengan nama Jurusan Publisistik. Tentu saja
pada saat itu (tahun 1959) dunia komunikasi belumlah sekompleks hari ini.
Seiring dengan perjalanan waktu, Departemen Ilmu Komunikasi (DIKOM)
UGM ikut memberi warna dalam perkembangan ilmu komunikasi di
Indonesia. Keikutsertaan itu inheren dengan pertanggungjawaban moral
atas motif dan orientasi perkembangan dunia komunikasi. Sejumlah dua
belas (12) bab yang mengisi halaman demi halaman buku ini berupaya
keras untuk memberikan paparan, ringkasan, dan jawaban atas beragam
masalah dan orientasi disiplin ilmu komunikasi. Bukan hanya konteks
Indonesia, namun juga konteks dunia.
Sesuai dengan orientasi penerbitan buku ini, terdapat 12 bab
(selain pendahuluan dan epilog) yang terdapat di dalamnya bermaksud
menggambarkan kekuatan analisis dari civitas akademika keilmuan
komunikasi di Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM. Sejajar
dengan bidang peminatan yang menjadi keunikan departemen, maka dua
belas tulisan itu akan dikelompokkan sesuai empat bidang peminatan
yang tersedia di departemen. Keempat peminatan itu adalah Jurnalisme
(Journalism), Kehumasan (Public Relations), Periklanan (Advertising),
dan Media Hiburan (Media Entertainment). Para kontributor adalah sosok
yang selama ini malang melintang dalam melakukan riset, kajian, dan
pengajaran pada bidang peminatan masing-masing.
Sejajar dengan klasifikasi peminatan, sejumlah 12 bab dikelompokkan
sesuai dengan prinsip administratif dengan tekanan berbeda-beda pada
setiap peminatan. Benang merah setiap topik peminatan adalah sebuah
garis imajiner waktu yang bersifat linear. Garis linear menjadi cara untuk

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 11 ]


menunjukkan perkembangan elaborasi atas beragam realitas komunikasi
masa lalu dan hari ini dan juga untuk menunjukkan ruang pergeseran dan
perbedaan kajiannya dari masa ke masa. Meskipun tidak semua artikel
secara tegas mencatat determinasi teknologi komunikasi, namun pergolakan
dan kompleksitas yang terjadi dalam masyarakat informasi sesuai bidang
peminatan masing-masing jelas menjadi topik tulisan mereka. Mari kita
ungkap satu persatu setiap artikel di dalamnya.
Bagian pertama peminatan di Departemen Ilmu Komunikasi
FISIPOL UGM adalah jurnalisme (journalism). Sejajar dengan topiknya,
empat penulis pada bagian ini berupaya menghadirkan prinsip normatif
dalam beragam fakta yang terjadi di dunia jurnalisme Indonesia. Di mulai
dari tulisan Parahita (Bab 2), yang menegaskan pentingnya pluralisme
agonistik sebagai sebuah perspektif yang dijadikan landasan jurnalisme
di masa keberagaman hari ini. Menggunakan logika oposisi biner antara
prinsip antagonistik (bermusuhan) dan prinsip agonistik (bertikai), Parahita
memunculkan formula pluralisme agonistik sebagai solusi alternatif
menciptakan dunia jurnalisme digital yang sehat. Hematnya, teknologi
yang menciptakan ekosistem media digital pada dasarnya menjadi ruang
hidup yang baik untuk menciptakan proses transformasi reduktif atas
energi negatif. Dari sebuah keberbedaan menjadi ruang konflik kekerasan,
bergeser menjadi saling memahami pengalaman dan sikap satu sama lain.
Tulisan kedua dari Kurnia (Bab 3) memuat isu sentral terkait
kekacauan informasi dalam proses komunikasi yang sangat marak dalam
beberapa tahun terakhir ini. Melalui ulasan tentang problem yang terjadi
saat munculnya misinformasi, disinformasi, dan malinformasi, Kurnia
menegaskan keniscayaan untuk menjadikan literasi berita sebagai salah satu
subjek penting dalam pengajaran media dan jurnalisme. Tujuan utamanya
adalah agar publik memiliki kemampuan menavigasi keberlimpahan
informasi sekaligus mampu membedakan fakta yang  dapat diandalkan dan
pengetahuan dari persoalan kekacauan informasi. Simpulan dari Kurnia
sangat tegas. Pemahaman akan nilai berita menjadi syarat utama filterisasi
bagi audien dan netizen saat mendapatkan informasi.
Tulisan ketiga berasal dari area jurnalisme politik karya Utomo
(Bab 4), yang mengulas jejak historis tradisi partisan dalam jurnalistik

[ 12 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


di Indonesia. Utama menilai posisi pers Indonesia hari ini sebagai pilar
keempat demokrasi, semakin jauh panggang dari api. Menggunakan
konsep paralelisme dan instrumentalisasi media dalam perspektif sejarah,
Utomo menyimpulkan ikatan tali temali kepentingan antara oligarki media
dan kepentingan politik praktis menjadi semakin menguat hari demi hari.
Inilah wajah ganda jurnalisme politik di Indonesia.
Tulisan keempat karya Monggilo (Bab 5) bercerita tentang keunikan
dan dinamika yang terjadi pada jurnalis perempuan. Dalam tulisannya,
Monggilo menelisik ide emansipasi dan kesejajaran posisi, mengurai
beberapa problem sentral terkait eksistensi perempuan dalam dunia
jurnalistik. Monggilo menggunakan berbagai referensi kepustakaan
menarik untuk menunjukkan masih banyak stereotyping bias gender
berujung apresiasi yang rendah pada diri perempuan. Menggunakan isu-isu
krusial seperti kepemimpinan dan represi, Monggilo menegaskan perlunya
apresiasi berbasis nilai-nilai yang sama atas posisi jurnalis perempuan
dan laki-laki. Terlebih dalam koridor profesional sebagai garda depan
jurnalisme.
Bagian kedua mengetengahkan fakta substitutif antara dunia praktik
dan akademik dalam kajian public relations. Perspektif historis dan
kontekstual problematis membuat dua tulisan yang terdapat pada bagian
ini saling melengkapi satu sama lain. Muara dari dua tulisan di bagian ini
adalah menegaskan kembali pentingnya riset dalam menunjang perspektif
akademis. Tulisan pertama hasil karya Putra (Bab 6), memberikan ulasan
kepustakaan atas penelitian public relations melalui tiga pendekatan
dalam studi public relations di Amerika Serikat. Secara komprehensif
dan runtut, Putra mengungkap relasi antara bidang industri praktis yang
menjadi lahan tumbuh suburnya praktik public relations, dengan apresiasi
di dunia akademis. Ketiganya adalah  pendekatan retorik (rhetorical
approach), pendekatan sistem (systems approaches) dan pendekatan kritis
(critical approach).  Di tengah keunikan dan karakteristik khas dari setiap
pendekatan atas fenomena public relations tersebut, Putra menyarankan
pentingnya para praktisi dan akademisi untuk mulai menghargai kontribusi
riset dengan tujuan mengembangkan beragam perspektif baru bagi dunia
public relations.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 13 ]


Bukti tentang penerapan fungsi-fungsi public relations ke dalam dunia
politik menjadi pesan subliminal dari tulisan kedua di bagian ini. Paparan
dari Nyarwi (Bab 7) secara unik mengelaborasi bagaimana aspek-aspek
pemasaran ide dan gagasan di dunia politik juga menjadi ranah kajian
bidang komunikasi. Pemasaran ide dan gagasan dunia politik memberi
kontribusi pada perkembangan konsep visualisasi, ideasi, dan mediatisasi.
Nyarwi memberikan bukti betapa dunia politik semakin dipenuhi dengan
beragam ekspresi visual yang tidak terlepas dari metamorfosis bentuk dan
keunikan komunikasi politik. Melalui paparan tentang penguatan ekspresi
visual saat publik berdialog tentang isu politis, Nyarwi menawarkan
tiga konsep utama (visualisasi, ideasi, dan mediatisasi) yang tidak
semata dipertimbangkan sebagai domain kajian dalam ilmu komunikasi,
melainkan lebih jauh sebagai paradigma alternatif untuk memperkaya, dan
mengaktualisasikan kajian komunikasi politik di Indonesia.
Bagian ketiga dari buku ini bercerita tentang dinamika kekinian
advertising. Pola tulisan bergerak dari saran normatif tentang model
periklanan yang seharusnya menjadi pedoman bagi praktik komunikasi
pemasaran, hingga bukti konkret kemunculan prinsip personalisasi di
bidang periklanan yang terfasilitasi oleh era digital. Terdapat dua artikel
pada bagian ini yang bersifat saling melengkapi orientasi normatif
tersebut. Tulisan pertama adalah karya Setianto (Bab 8). Menggunakan
pendekatan historis linear atas lima tahapan (era) sejarah periklanan,
Setianto menyimpulkan bahwa dunia periklanan mengalami akselerasi
dalam evolusi dan transformasi model-model penyampaian pesannya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi
media telah memberikan kontribusi yang besar dalam evolusi dan
transformasi model periklanan.
Tulisan kedua karya Tania (Bab 9) mengurai relasi antara praktik
produksi dan konsumsi informasi dunia periklanan, dengan kontribusi
teknologi era digital yang meneguhkan prinsip personalisasi. Seiring dengan
munculnya perangkat berbasis efisiensi yang lebih menyederhanakan faktor
volume dan biaya, dunia periklanan era digital mengalami metamorfosis
sedemikian rupa. Berbasis pada kekuatan algoritma, periklanan di media
digital bergerak menjadi lebih personal dan relevan bagi para penggunanya.
Tania menyimpulkan bahwa dengan kemajuan teknologi digital hari ini,

[ 14 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


proses dialektik antara produksi dan konsumsi pesan-pesan pemasaran di
dunia periklanan telah bergeser secara dramatis. Dari paradigma masifikasi
menjadi personalisasi (personalized advertising).
Bagian keempat sebagai peminatan di Departemen Ilmu Komunikasi
FISIPOL UGM adalah media entertainment. Ini adalah sebuah peminatan
baru yang menemukan momentumnya di abad-21. Topik bagian ini
membayangkan adanya garis imajiner demarkasi waktu antara pandangan
umum dan akademisi atas dunia hiburan sebagai sesuatu yang “tidak
penting”, lalu tiba-tiba berubah drastis menjadi sebuah pokok bahasan
yang “sangat penting”. Abad ke-21 menunjukan bukti tentang kuatnya
pengaruh media hiburan ke dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Kecepatan terbentuknya struktur masyarakat informasi mungkin sekali
dipicu oleh invasi hiburan ke dalam hidup sehari-hari masyarakat. Di
manapun di belahan dunia. Realitas dan tawaran analisis atas fenomena
ini menjadi benang merah yang akan Anda dapatkan pada saat membaca
bidang keempat. Ada empat artikel yang mengisi bidang ini. Mari kita lihat
satu persatu.
Tulisan pertama karya Irawanto (Bab 10), mengawali bagian ini dengan
melakukan refleksi dan menantang kita untuk melihat potensi ekonomi
yang besar dari media hiburan. Melalui ulasan terpantiknya minat industri
periklanan untuk mengalokasikan uangnya ke berbagai media hiburan,
dunia hiburan hari ini tidak bisa lagi dipandang sebagai sebuah bidang
sederhana. Begitu audiens melihatnya sebagai bagian inheren dalam hidup
mereka, maka media hiburan berubah menjadi penggerak perubahan sosial
politik dalam masyarakat. Sisi ini menjadi alasan kuat betapa disiplin ilmu
komunikasi sudah selayaknya menjadikan bidang ini sebagai kajian serius.
Tulisan kedua dari Adiputra (Bab 11), menjadi jembatan penghubung
antara fenomena dunia hiburan dengan keseriusan kajian komunikasi lainnya,
Jurnalisme. Adiputra membangun logika menarik untuk menghubungkan
dunia: sisi faktual dan fiksional ke dalam sebuah tulisan bernas tentang
jurnalisme game. Menggunakan logika bertemunya kepentingan industri,
kepentingan publik, aspek literasi, dan pengembangan praktik gamers,
Adiputra kembali menegaskan pentingnya esensi hiburan game dijadikan
sebagai landasan untuk menciptakan pembelajaran jurnalistik yang lebih

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 15 ]


bertanggung jawab. Melalui karakter jurnalisme game, akhirnya bidang ini
berpeluang menggeser persepsi negatif banyak kalangan atas game yang
semula sebatas hiburan, menjadi ruang kreasi yang bertanggung jawab.
Jurnalisme game sekaligus akan menjadi ruang literasi digital.
Tulisan ketiga dalam bagian ini bercerita tentang salah satu bentuk
nyata industri dunia hiburan yang berimplikasi signifikan pada ranah
ekonomi, politik, dan praktik nyata kebergunaan ilmu komunikasi. Anshari
(Bab 12), membuka pemahaman kita tentang pentingnya kanal Youtube
sebagai alternatif kajian dan penghasilan. Sebagai sebuah ranah baru
industri kreatif, Anshari membuka wawasan tentang sisi kreativitas pada
aspek produksi dan monetisasi kanal yang berkelindan dengan beragam
kepentingan komunikasi antarbudaya, relasi global, dan komunikasi visual.
Tulisan keempat karya Fandia (Bab 13) mewakili perspektif millennial.
Fandia dengan unik menghubungkan antara media hiburan dengan
problem utama netizen kaum muda saat ini di media sosial: aktualisasi
diri. Menggabungkan beberapa hasil riset terkini tentang kaum muda,
Fandia meramu dan meyakinkan kita bahwa kaum muda sebagai audiens
dan content creator (pencipta isi media) harus ditempatkan sebagai kajian
serius dalam riset ilmu komunikasi. Argumen yang dipaparkan Mashita
menyimpulkan bahwa dinamika kaum muda di media sosial saat ini secara
faktual telah membentuk kultur tersendiri yang betul-betul berbeda. Untuk
itu, strategi telaah kehidupan mereka dalam bermedia juga harus adaptif
dengan situasi kontemporer tersebut.
Secara ideal pola membaca buku yang baik adalah dengan cara runtut
dari awal halaman pertama hingga halaman terakhir. Namun kami sadar
bahwa di abad ini kesibukan seseorang membuat dia tidak memiliki waktu
cukup untuk menelaah secara maksimal isi sebuah buku. Inilah era di mana
perilaku membaca harus dilakukan dan disesuaikan dengan kebutuhan.
Biasanya cara itu terbukti cepat, instan, dan acapkali menghasilkan
pemahaman yang dangkal alias banal. Untuk mengantisipasi dan memenuhi
harapan membaca cepat itu, namun sekaligus juga membuka peluang Anda
mendapatkan pemahaman komprehensif, saya menawarkan jalan tengah.
Jalan tengah itu adalah menawarkan kepada Anda dua cara membaca
dan menyimak isi buku ini. Anggaplah itu sebagai pemantik drive dan

[ 16 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


kebutuhan untuk mulai menyimak bidang dan bab yang sesuai dengan
momen dan kepentingan Anda di suatu tempat, di suatu waktu, yang
sifatnya sangat personal dan spesial. Pertama, cara berpikir historis melalui
imajinasi linear tentang perjalanan sejarah disiplin ilmu komunikasi. Hal
ini bisa Anda dapatkan saat membaca aspek historis bagaimana sisi sejarah
kepentingan memberi nuansa khusus berkembangnya jurnalisme, public
relations, periklanan, dan dunia media hiburan. Narasi ini dirangkai dalam
sebuah fase garis lurus dari zaman pramodern, hingga pasca modern.
Baik mengambil setting di AS, Eropa, maupun di berbagai belahan dunia
lainnya. Anda akan mendapatkan paparan dan imajinasi tersebut setelah
membaca dan menyimak tulisan Wisnu Prasetyo Utomo (Bab 4), I Gusti
Ngurah Putra (Bab 6), Widodo Agus Setianto (Bab 8), dan juga Budi
Irawanto (Bab 10).
Cara menyimak kedua, melalui cara berpikir induktif problematis.
Maksudnya bab-bab berikutnya bisa dibaca sebagai sebuah tawaran
cara berpikir untuk melihat beragam fenomena, masalah, dan dinamika
komunikasi kontemporer. Setting-nya kekinian. Setiap artikel berupaya
menguraikan masalah dengan perspektif komunikasi, seperti problem
personalisasi dalam iklan digital, jurnalisme digital, perspektif feminisme
dalam jurnalistik, literasi media baru, jurnalisme game, jurnalisme politik,
hingga elaborasi kanal Youtube sebagai sebuah fenomena industri kreatif.
Melalui cara baca kedua ini Anda akan menemukan gagasan-gagasan
menarik di bidang jurnalisme yang dikemukakan oleh Gilang Desti
Parahita (Bab 2), Novi Kurnia (Bab 3), dan Zainuddin Muda Monggilo
(Bab 5). Eksplanasi dan elaborasi atas fenomena di bidang public relations
dan advertising menunjukan pergeseran beragam aspek menarik dari sisi
politik, ekonomi, dan budaya. Gagasan ini bisa Anda temukan dalam
tulisan Nyarwi Ahmad (Bab 7), dan Syaifa Tania (Bab 9). Sementara dari
bidang media entertainment, Anda akan menemukan ide-ide menarik
tentang problem jurnalisme game dari tulisan Wisnu Martha Adiputra
(Bab 11), dinamika kanal Youtube dalam tulisan Irham Nur Anshari (Bab
12), dan aktualisasi diri kaum muda sebagai agensi di media sosial dalam
karya Mashita Fandia (Bab 13).

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 17 ]


Begitulah, akhirnya upaya untuk menghimpun dinamika ranah,
perspektif riset, dan problem berbagai realitas fenomena komunikasi dalam
12 (dua belas) bab telah coba dilakukan oleh staf pengajar di Departemen
Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM. Saat membaca halaman demi halaman
buku ini, Anda akan menemukan uraian menarik tentang aspek fundamental
keniscayaan teknologi dalam bentuk media digital sebagai wujud konkret
era teknologi. Pada bagian penutup setiap bab, semua penulis menegaskan
sikap optimis akan adanya solusi untuk menjawab berbagai persoalan yang
muncul seiring dengan kompleksitas era teknologi tersebut. Keniscayaan
teknologi media berbasis IoT ini menjadi unsur kunci yang dibahas oleh
Sadasri (Bab 14) pada epilog di akhir buku.
Cerita panjang pergumulan interaksi manusia yang difasilitasi
teknologi telah melahirkan beragam akses, baik negatif maupun positif.
Keduanya menciptakan ruang negosiasi terus menerus yang membutuhkan
telaah serius dan jiwa kritis tanpa henti dari perspektif pendidikan tinggi.
Kehadiran 4 (empat) bagian, serta 14 (empat belas) bab dalam buku ini
hanya menjadi perjalanan pendek dari upaya mengarungi jagat komunikasi
yang terbentang maha luas dan tak terhingga. Di esok hari, eksplorasi dan
elaborasi jagat komunikasi masih menanti sentuhan tangan dingin para
akademisi ilmu komunikasi. Semoga ....

[ 18 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


DAFTAR PUSTAKA

Ansary, Tamim. (2019). The Invention of Yesterday: A 50,000-Year History


of Human Culture, Conflict, and Connection. New York: PublicAffairs.
Bell, Daniel. (1999). The Coming of Post-Industrial Society: A Venture in
Social Forecasting. New York: Basic Book.
Berger, Charles R., & Steven H. Chaffee. (1988). “On Bridging
Communication Gap”. Human Communication Research. 15 (2). 311-
318.
Cappella, J. (1991). “Book Reviews: Theories of Human Communication”.
Communication Theory. 1 (2). 165-171.
Craig, Robert T. (1999). “Communication Theory as a Field”.
Communication Theory. 9 (2). 119-161.
Creeber, Glen., dan Royston Martin (Editors). (2009). Digital Cultures:
Understanding New Media. New York: Open University Press.`
Dahnke, Gordon L, dan Glen W. Clatterbuck. (1990). Human
Communication: Theory and Research. California: Wardsworth
Publishing Company.
Dutta, Mohan Jyoti, & Dazzelyn Baltazar Zapata. (Editors). (2019).
Communicating for Social Change: Meaning, Power, and Resistance.
Singapore: Palgrave Macmillan.
Elliott, Deni, & Edward H. Spance. (2018). Ethics for a Digital Era. New
Jersey: Wiley Blackwell.
Fabris, Adriano. (2018). Ethics of Information and Communication
Technologies. New York: Springer.
Flew, Terry., dan Richard Smith. (2014). New Media: An Introduction.
Canada: Oxford University Press.
Foulger, Davis. (2004). “An Ecological Model of the Communication
Process”. Paper dipresentasikan pertama kali pada saat visiting
Professor di kelas komunikasi interpersonal di Oswego State
University/SUNI Oswego, spring class 2003. Bisa diakses pada http://
davis.foulger.info/papers/ecologicalModelOfCommunication.htm

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 19 ]


Frank, Malcolm. Paul Roehreg, & Ben Pring. (Editors). (2017). What to
Do When Machines Do Everything: How to Get Ahead in a World of
AI, Algorithms, Bots, and the Big Data. New Jersey: John Wiley &
Sons Inc.
Gruner, Daniel T. (2016). New Digital Media and Flow: A Study of
Experience. Creativity Theories-Research-Applications. https://doi.
org/10.1515/ctra-2016-0021, 3(2), 243-362.
Harari, Yuval Noah. (2018). 21 Lessons for the 21st Century. London:
Jonathan Cape.
Hardiman, F. Budi. (2005). Memahami Negativitas: Diskursus tentang
Massa, Teror, dan Trauma. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
_______________ . (2010). Ruang Publik: Melacak “Partisipasi
Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace. Yogyakarta: Kanisius.
Haryatmoko. (2007). Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan,
dan Pornografi. Yogyakarta: Kanisius.
Headrick, Daniel R. (2009). Technology: A World History. New York:
Oxford University Press.
Herring, Susan C. (2004). Slouching towards the Ordinary: Current Trends
in Computer-Mediated Communication. New Media and Society,
https://doi.org/10.1177%2F1461444804039906, 6, 26-36.
Holmes, Holmes. (2005). Communication Theory: Media, Technology,
Society. London: Sage Publications.
James, Carrie. (2014). Disconnected: Youth, New Media, and the Ethics
Gap. London: The MIT Press.
Jary, David, dan Julia Jary. (1991). Collins Dictionary of Sociology.
Glasgow: Harper Collins.
Kovarik, Bill. (2015). Revolution in Communication: Media History from
Gutenberg to the Digital Age. 2nd Edition. New York: Bloomsbury.
Littlejohn, Stephen W. dan Karen A. Foss (Editors). (2009). Encyclopedia
of Communication Theory. California: Sage Publications.
McLuhan, Marshall, dan W. Terrence Gordon. (2003). Understanding
Media: The Extension of Man: Critical edition. California: Gingko
Press, Inc.

[ 20 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


McLuhan, Stephanie, dan David Staines (Editors). (2020). Marshall
McLuhan Understanding Me: Lecturers and Interviews. Toronto: M
& S.
Piliang, Yasraf Amir. (2017). Dunia yang Berlari: Dromologi, Implosi,
Fantasmagoria. Yogyakarta: Aurora.
Poe, Marshal T. (2011). A History of Communications: Media and Society
from the Evolution of Speech to the Internet. New York: Cambridge
University Press.
Rogers, Everett M. (1994). A History of Communication Study: A
Biographical Approach. New York: The Free Press.
Simon, Phil. (2013). The Edge of the Platform: How Amazon, Apple,
Facebook, and Google Have Redefined Business. Nevada: Motion
Publishing.
Simonson, Peter, & David W. Park (Editors). (2016). The International
Story of Communication Study. New York: Routledge.
Walther, Joseph B. (2015). “Overattribution of Liking in Computer-
Mediated Communication: Partners Infer the Results of Their Own
Influence as Their Partners’ Affection”. Communication Research,
https://doi.org/10.1177%2F0093650214565898, 43, 372-390.
Whitty M. (2002). “Liar, liar! An Examination of How Open, Supportive and
Honest People are in Chat Rooms”. Computer in Human Behaviour,
http://dx.doi.org/10.1016/S0747-5632(01)00059-0, 18, 343-352.
Whitty M., & Gavin J. (2001). “Age/Sex/Location: Uncovering
the Social Cues in the Development of Online Relationships”.
CyberPsychology and Behaviour, https://psycnet.apa.org/
doi/10.1089/109493101753235223, 4, 623-630.
Wyatt, Sally, Flis Henwood, Nod Miller, Peter Senker. (Editors). (2019).
Technology and In/Equality: Questioning the Information Society.
New York: Routledge.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 21 ]


JOURNALISM:
DARI FAKTA MENUJU
IDEALISME NILAI
Bagian ini mengulas tentang dinamika jurnalisme di
Indonesia berdasarkan beragam fakta yang terjadi.
Kemunculan beragam permasalahan jurnalistik pada
dasarnya dipicu oleh fenomena pluralisme, sentimen
negatif, kepentingan politis jangka pendek, ujaran
kebencian, fake news, dan beragam anasir lain bernuansa
SARA dan stereotyping ala Indonesia. Terdapat empat
tulisan yang mencoba mengurai beragam fenomena
tersebut dengan orientasi normatif atas posisi, peran, dan
praktik jurnalistik di Indonesia.
BAB 2
Keberagaman Media dan Pers Era Digital: Pluralisme
Agonistik sebagai Perspektif

Gilang Desti Parahita

Pengantar

H adirnya sistem media yang terdiversifikasi dan plural mencerminkan


prasyarat dasar bagi suatu rezim politik untuk disebut demokratik.
Keberagaman perspektif pada ruang publik dibutuhkan warga untuk
menelaah urusan-urusan bersama. Meski begitu, sejumlah kajian
menunjukkan pada negara-negara demokrasi matang sekalipun muncul
perbedaan kualitas maupun pendekatan terhadap pluralisme media.1 Pada
konteks Indonesia, selain kebebasan pers yang masih terancam (Parahita &
Ahmad, 2019; Abrar, 2020), dan kualitas berita online yang perlu ditakar
ulang (Parahita, 2017), keberagaman media dan pers justru mengalami
pelemahan (Nugroho, Siregar, & Laksmi, 2012).
Diskusi keberagaman media dan pers era digital pada kancah
akademik global saat ini masih terus berkembang. Sejumlah sarjana
berupaya menempatkan perspektif keberagaman pada konteks media
digital, menafsirkan ulang makna keberagaman (diversity) dan pluralisme
(pluralisme), dan menawarkan perspektif agonistik untuk memandang
ruang publik digital alih-alih deliberatif. Bab ini membahas perspektif
keberagaman pada media digital, memetakan diskusi keberagaman
dan pluralisme, serta mencoba menerapkan perspektif agonistik untuk
mencermati ruang publik digital.
1 Faktor-faktor kontingen seperti Berlusconi di Italia dan struktural seperti sistem media pada masing-masing negara
turut mempengaruhi kualitas pluralisme media (Ciaglia, 2013). Humprecht & Büchel (2020) menunjukkan bahwa
perbedaan pluralisme berita pada sejumlah media online di Amerika Serikat dan lima negara di Eropa berhubungan
dengan faktor-faktor makro (relevansi berita dan model sistem media), dan meso (organisasi). Cuilenburg (2007)
menunjukkan perbedaan Amerika dan Eropa dalam memandang keberagaman. Amerika menekankan pada
kebebasan komunikasi dan pluralisme media berita. Sebaliknya, negara-negara Eropa mengutamakan akses warga
pada informasi plural dengan maksud menyediakan informasi penuh tentang kejadian-kejadian, opini-opini dan
kelompok-kelompok di masyarakat.

[ 24 ]
Media Digital dan Pluralisme
Pluralisme media dan pers pada era digital dan post-truth masih
hangat dibincangkan secara akademik. Pajanan selektif dan beredarnya
disinformasi pada lingkungan berita digital global maupun di Indonesia
(Parahita, 2018) justru mengungkit kembali signifikansi konsep
keberagaman media dan berita pada perdebatan akademik. Tingginya
penetrasi media dan berita digital yang melahirkan fragmentasi dan duplikasi
audiens memicu riset-riset mengenai sejauh mana audiens terpapar konten
secara beragam, baik melalui mekanisme tekno-algoritma maupun dari
perilaku audiens itu sendiri (Bodó et al., 2019; Fletcher & Nielsen, 2017;
Yom-Tom, Dumais, Guo, 2014; van der Wurff, 2011; Carpenter, 2008).
Keberagaman yang dikonsumsi (consumed diversity/diversity as received)
berbeda dari keberagaman yang ditawarkan (offered diversity/diversity
as sent) (Napoli, 2011). Banjir informasi digital pada sistem komputasi
berjejaring menimbulkan ketegangan antara redundansi dan pluralisme
informasi (Marty, Smyrnaios, Rebillard, 2011). Meski sebuah riset
menemukan jurnalisme online berkonten lebih beragam daripada legacy
media (Carpenter, 2010), ketiadaan model bisnis yang berkelanjutan
untuk mendukung digital first berimplikasi pada pendaurulangan berita
dan menurunnya keberagaman konten (Hendrickx, 2020). Riset-riset pada
sejumlah negara di Eropa, Inggris dan Amerika justru menunjukkan bahwa
keberagaman pada pers online justru rendah (Humprecht & Esser, 2018)
sementara surat kabar justru menunjukkan peningkatan keberagaman
konten (Beckers et al., 2017). 
Di tengah berkembangnya kajian mengenai pluralisme pada ruang
media digital tersebut, sejumlah sarjana mencoba memetakan dan
menafsirkan ulang pengertian keberagaman media dan pers. Hendrickx,
Ballon, & Ranaivoson (2020) menawarkan model keberagaman pers (news
diversity) dengan menyertakan level mikro, meso, dan makro.2 Ketiganya
(2020:3) menggunakan istilah diversity daripada pluralism. Sebab, diversity
dapat didekati dengan beragam perspektif. Banyak artikel akademik
tentang diversity tidak menawarkan kontribusi teoretik baru, hanya
2 Mereka melacak lebih dari 200 artikel jurnal sejak tahun 2000 yang menyebut kata kunci news diversity dan news
pluralism lalu memilih 60-an artikel untuk ditinjau.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 25 ]


pemodelan berdasarkan situasi kontingen terkini. Dari pelacakan tersebut,
Hendrickx, Ballon & Ranaivoson (2020:11), menilai keberagaman pers
dapat dimaknai melalui lima dimensi, yaitu keberagaman kepemilikan
(struktur dan perusahaan-perusahaan), keberagaman produksi (jurnalis dan
kerja-kerja rutin jurnalistik), keberagaman konten (luaran), keberagaman
merek (label media individual) dan keberagaman konsumsi (konsumen).3
Berbeda dari Hendrickx, Ballon & Ranaivoson (2020), kajian
pustaka Joris, et.al. (2020) mengakui adanya kemungkinan perbedaan
makna antara diversity dan pluralism sebagaimana yang dituturkan oleh
Karppinen (2007, 2008) dan Raeijmaekers & Maeseele (2015). Kajian
pustaka tersebut turut menunjukkan sejumlah temuan masalah.4 Meski
konseptualisasi atas keberagaman media dan pers tersebut bermacam-
macam, upaya mengevaluasi keberagaman itu mengalami kekurangan
standar normatif (Joris et al., 2020). Menurut Joris et al. (2002: 1907),
pertanyaan fundamental yang perlu dijawab di masa depan adalah
bagaimana keberagaman media berita sebaiknya secara ideal
beroperasi dalam masyarakat demokratik.
Pertanyaan fundamental tersebut sebetulnya pernah dijawab oleh
Raeijmaekers & Maeseele (2015). Metafora-metafora seperti “marketplace
of ideas” atau “public forums” kerap menjadi benchmark dan jargon
demokratik. Namun perspektif pluralisme di balik jargon-jargon tersebut
secara umum tidak cukup spesifik. Raeijmaekers & Maeseele (2015)
lantas menawarkan empat pendekatan pluralisme media berdasarkan
tiga peran dan praktik media pada masyarakat demokratik yaitu model
liberal, deliberatif, dan agonistik. Keempat pendekatan dihasilkan dari
garis pemisah konseptual diversity/pluralism dan garis normatif critical/
affirmative. Pendekatan-pendekatan itu adalah keberagaman afirmatif,
pluralisme afirmatif, keberagaman kritis dan pluralisme kritis.5
Pluralisme media ditafsirkan sebagai keberagaman afirmatif
(affirmative diversity) apabila media dipandang sebagai “cermin dari
3 Kelimanya berhubungan satu sama lain dan keberagaman produksi menjadi titik tengah/krusial dari kelima elemen
tersebut.
4 Mereka memeriksa lebih dari 800 artikel ilmiah yang terbit di EBSO, Proquest dan Web of Science.
5 Garis afirmatif/kritis berangkat dari asumsi berbeda tentang demokrasi dan peran media. Pada perspektif afirmatif,
heterogenitas pada demokrasi didorong menjadi konsensus publik (melalui media). Perspektif afirmatif terkandung
dalam perspektif liberal dan deliberatif. Sedangkan perspektif kritis tidak meyakini terciptanya harmoni dan
konsensus publik pada demokrasi sebab masyarakat itu sendiri ditandai oleh konflik dan relasi kuasa asimetris.
Diversity dimaknai sebagai keberagaman pada level empiris termasuk apa yang diliput sedangkan pluralism pada
level ideologis yang juga mencakup bagaimana sesuatu diliput (Raeijmaekers & Maeseele, 2015:1047–1050).

[ 26 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


masyarakat” dan “pasar ide-ide” (the marketplace of ideas) (Raejimaekers
& Maeseele, 2015:1053). Pendekatan ini mengasumsikan praktik ideal
media yaitu memastikan representasi mimetik terhadap keberagaman
sosial. Praktik media dievaluasi dari sisi panduan profesional atas
objektivitas, keberimbangan, dan imparsialitas, juga responsif terhadap
pasar. Sementara itu, pluralisme media dimaknai sebagai pluralism afirmatif
(affirmative pluralism) manakala media menjadi forum publik. Gagasan
itu dilahirkan dari pandangan demokrasi sebagai deliberasi. Media tidak
hanya diharapkan untuk mentransmisikan keberagaman sosial, melain
memainkan peran pada formasi identitas secara diskursif (Raejimaekers
& Maeseele, ibid.).
Keberagaman media sebagai keberagaman kritis (critical diversity)
meletakkan media sebagai industri budaya dan merepresentasikan
keberagaman sosial yang sudah ada sebelumnya. Namun pendekatan
keberagaman media meyakini bahwa masyarakat ditandai dengan
ketidaksetaraan terutama ekonomi maupun hambatan-hambatan struktural
yang berpengaruh pada representasi media (Raejimakekers & Maeseele,
ibid). Pendekatan pluralisme kritis (critical pluralism) memandang
media sebagai situs pertarungan cara pandang ideologis yang beragam
sebab masyarakat itu sendiri ditandai dengan ideologi hegemonik yang
direproduksi atau dilawan melalui representasi media (Raejimaekers
& Maseele, 2015:1054). Perhatian utama pendekatan ini adalah konflik
ideologis, kontestasi dan perbedaan alih-alih konsensus dan rasionalitas.
Dari keempat pendekatan tersebut, Raeijmaekers & Maeseele (2015)
memandang bahwa pendekatan pluralisme-kritis mampu mengevaluasi
wacana publik dan wacana media tak sekadar dari apa yang tampak di
media, melainkan juga ketidaksetaraan yang terjadi pada struktur
media maupun di masyarakat. Pendekatan itu juga mendukung hadirnya
debat demokratis hingga ke taraf pengakuan terhadap disensus maupun
pilihan-pilihan yang berbeda. Pada pendekatan pluralisme-kritis, media
tidak dilihat sebagai solusi dan penetral konflik ideologis, melainkan
media sebagai representasi terdistorsi atas keberagaman masyarakat itu
sendiri. Pemetaan keempat pendekatan dan kesimpulan Raeijmaekers
& Maeseele (2015) tersebut pernah didiskusikan oleh Karppinen (2007,
2008). Selain menunjukkan sejumlah dilema, ambiguitas dan paradoks dari

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 27 ]


konsep pluralisme media dan pers, Karppinen (2007, 2008) secara khusus
menggarisbawahi dominasi perspektif liberal dan deliberasi Habermasian
pada diskusi tentang keberagaman media sementara perspektif radikal-
plural Chantal Mouffe kurang mendapat perhatian.

Pluralisme Naif, Konsensual, dan Agonistik 


Kritik Karppinen (2007, 2008) terhadap jargon pluralisme media
bermula dari pengamatannya pada penyusunan kebijakan media di
Eropa. Kritiknya bertolak dari perspektif radikal-pluralis Chantal Mouffe
terutama “pluralisme agonistik” untuk mencermati konsep deliberasi pada
demokrasi. Menurutnya, perdebatan terkait pluralisme media di Eropa
tersebut paling sering melewatkan dua sisi. Pertama, sisi sejauh mana
wacana keberagaman itu telah cukup inklusif dan kedua, sisi relasi kuasa
yang asimetris pada ruang publik kontemporer (Karppinen, 2008: 28). Ia
berpendapat kedua titik buta itu disebabkan perspektif liberal dan deliberasi
untuk memandang keberagaman berkembang dominan dalam penyusunan
kebijakan media di Eropa.
Keberagaman yang ditawarkan oleh liberalisme media dan pers
melalui kompetisi pasar bebas dan pilihan (competition of free market
and choice) adalah keberagaman yang naif (Karppinen, 2007a). Model
pasar itu mengasumsikan adanya kompetisi bebas dan kuasa konsumen
untuk memilih konten dan perspektif. Namun liberalisasi tidak serta-merta
meluaskan kebebasan memilih dan otonomi individual sebab transformasi
itu nyatanya hanya mengubah warga yang politis menjadi sekadar
konsumen (Karppinen, 2007a). Penyamaan simplistis antara keberagaman
media menjadi kompetisi pasar dan kebebasan memilih mengabaikan
relasi kuasa yang lebih luas di mana media itu hidup. Lebih daripada itu,
free marketplace of ideas yang tampak mengatur diri sendiri dan menjadi
mediator spontan sebetulnya institusi yang dirancang secara politis. Pasar
juga menerapkan kriteria pra-seleksi yang membatasi ragam pilihan
publik (Karppinen, 2007a:17). Selain itu, pendekatan-pendekatan empiris
keberagaman (diversity) hanya selalu melihat pluralisme dan keberagaman
dalam pengertian menyediakan beragam pilihan bagi audiens, jarang
yang mencermati sejauh mana perbedaan-perbedaan terrefleksikan secara

[ 28 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


proporsional di media dan pers, dan ketimpangan akses terhadap beragam
pandangan politik (Karppinen, 2007a:14).
Model pluralisme pasar itu dikritik oleh penganut perspektif neo-
Habermasian. Mereka menekankan pentingnya ranah publik untuk
menerapkan “pluralisme berprinsip” yaitu melayani seluruh anggota
masyarakat termasuk keberagaman pandangan politik maupun nilai-nilai
budaya. Dalam perspektif demokrasi deliberatif, peran ranah publik dan
media dikonseptualisasikan sebagai penggunaan penalaran pada ruang
publik oleh para anggota warga yang bebas dan setara (Karppinen,
2008:32). Pendekatan ranah publik Habermasian itu kerap menjadi tulang
punggung pada perdebatan tentang struktur dan kebijakan media, terutama
untuk membela siaran layanan publik. Ranah publik Habermasian
mengandaikan adanya deliberasi yang rasional dan kritis, serta bebas dari
pengaruh kepentingan negara dan korporasi, inklusif, dan ditujukan untuk
pemahaman dan kesepakatan. Namun meski konsep tersebut mengaku
memberikan ruang bagi perbedaan ternyata gagal untuk menteorisasikan
pluralisme secara cukup bahkan cenderung mempertahankan status
quo dan ketidaksetaraan (Karppinen, ibid.). Konsep konsensus rasional
Habermas mengabaikan kedalaman pluralisme sosietal dan karakter
mendasar konflik-konflik kepentingan. Konsep itu juga terlalu idealis,
tidak realistis dan akademik, serta berbasis pada kriteria rasionalitas yang
universal dan sentralistis.
Sebagai jalan tengah antara pluralisme naif dari perspektif liberalisme
media, dan pluralisme konsensual yang eksklusif ala Habermasian,
Karppinen (2007a, 2007b, 2008) lantas menawarkan perspektif pluralisme
radikal dari Chantal Mouffe. Pendekatan plural-radikal menolak
esensialisme yang mendominasi interpretasi liberalis terhadap pluralisme,
dan mengakui bahwa identitas tidak pernah tetap dan selalu berkontestasi.
Dimensi afektif kerap mampu memobilisasi identifikasi dan gairah kolektif
pada tataran politik—alih-alih dimensi rasio, dan menyadari adanya
bentuk-bentuk eksklusi maupun ketimpangan relasi kuasa (Karppinen,
2008: 33–34). Agonisme merupakan suatu bentuk hubungan baik antara
pihak-pihak yang bertentangan. Konflik-konflik yang terjadi pada relasi
agonistik justru dapat mendorong kemajuan suatu masyarakat. Karppinen
memandang bahwa pendekatan radikal pluralis itu bermanfaat untuk

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 29 ]


mengenali sisi kuasa, eksklusi dan kontrol yang inheren pada semua
konsepsi ruang publik (Karppinen, 2008: 37). Relasi-relasi kuasa secara
struktural membatasi pilihan-pilihan warga atas media dan berbagai macam
hal dan melahirkan wacana-wacana hegemonik (Karppinen, 2007b: 506).
Oleh karena itu, reformasi struktural lanskap media dan perluasan akses
terhadap media pada kelompok-kelompok termarginalkan menjadi sangat
urgen. Cara utamanya adalah dengan menjamin proses-proses politik dan
representasi sosial pada proses pengabsahan kebijakan-kebijakan media
turut melibatkan kelompok-kelompok termarjinalkan (Karppinen, 2007a:
16).

Ruang Publik Pluralis Agonistik


Chantal Mouffe mengasumsikan bahwa masyarakat tercipta
secara konfliktual dan antagonistik. Teori yang disebut pluralisme-
radikal-agonistik itu menyatakan bahwa demokrasi radikal bertujuan
untuk mengubah antagonisme (konflik antarmusuh) menjadi agonisme
(hubungan-hubungan baik antar pihak-pihak bertentangan) (Bond,
2011: 166).6 Prinsip agonistik bersandar pada komitmen prinsip-prinsip
demokratik yaitu kebebasan dan kesetaraan. Menurut Mouffe—melawan
pandangan Habermasian—konsensus penuh itu tidak mungkin tercipta
tanpa melalui konflik dan adanya komitmen terhadap kebebasan dan
kesetaraan sebagai etik-politik. Perspektif tersebut disebut sebagai radikal-
plural.
Perspektif radikal-plural tidak meyakini adanya publik dan ranah publik
yang rasional dan mendambakan konsensus. Universalisme yang menjadi
asumsi paradigma deliberasi Habermasian mengabaikan keberagaman
dan ketidaksetaraan yang telah ada sebelumnya. Dalam perspektif
radikal-plural Mouffe, media sebagai ruang publik tidak bebas dari relasi
kuasa. Semua ruang publik yang ada saat ini mengandung intensi politik,
termasuk jurnalisme. Budarick (2018: 2413) melalui perspektif pluralisme
agonistik profesionalisme menegaskan jurnalisme mengekang pluralitas
sebab konsep itu bias model jurnalisme Anglo-Amerika, berperspektif
6 Asumsi Mouffe itu berbeda secara kontras dengan Jürgen Habermas yang menyebut bahwa masyarakat tercipta
melalui proses pembentukan konsensus yang menyertakan diskusi rasional dan perdebatan pada kondisi-kondisi
ideal tertentu (Bond, 2011). Dalam relasi agonistik, meski menjadi pihak berlawanan, saling menghormati hak-hak
untuk berbicara dan didengarkan secara bersama, mengekspresikan emosi dan melindungi nilai-nilai dan sikap-sikap
masing-masing terus dipelihara (Bond, 2011).

[ 30 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


putih, dan anti-kontingen. Sejumlah kajian media dan jurnalisme pada
era digital menunjukkan paradigma deliberasi Habermasian tidak muncul
pada ruang-ruang online, dan melihat potensi ruang publik agonistik.
Meski begitu, Chantal Mouffe sendiri dalam wawancaranya bersama Nico
Carpentier dan Bart Cammaerts (2006) justru tidak meyakini internet serta
merta akan menjadi ruang-ruang publik (public spcaces) agonistik. Internet
hanya akan menjadi ruang-ruang di mana orang-orang hanya mendengar
dan berbicara dengan orang-orang yang setuju dengan mereka (Carpentier
& Cammaerts, 2006: 968).
Algoritma yang menyusun media sosial seperti Twitter, Facebook,
YouTube dan sebagainya bersandar pada asumsi paradigma deliberasi
di mana Internet merupakan agen kesetaraan, ruang debat rasional, dan
memfasilitasi tumbuhnya konsensus namun kenyataannya robot, troll,
hate speech banyak ditemukan di media sosial tersebut (Crawford, 2016).
Alih-alih konsensus, pada lansekap komunikasi digital disensus kerap
terjadi pada dialog publik di media sosial misalnya pada konteks dukungan
Ben & Jerry terhadap gerakan Black Lives Matter (Ciszek & Logan,
2018). Dengan situasi tersebut, internet jelas bukanlah ruang deliberatif,
akan tetapi apakah hal itu lantas menjadikan ruang-ruang publik digital
berpotensi untuk menumbuhkan pluralisme agonistik? Jane (2017:468)
mencoba menerapkan perspektif agonisme untuk mencermati gerakan
feminis melawan #menspreading di media sosial dan menemui kesulitan
untuk membedakan konflik yang produktif pada relasi agonistik (bertikai)
dan yang destruktif pada relasi antagonistik (bermusuhan).
Banyak sarjana menafsirkan ruang publik agonistik pada ruang
publik digital secara beragam. Dengan memotret situasi Iran setelah
pemilihan presiden 2009, media sosial menurut Rahimi (2011) merupakan
arena agonistik di mana informasi, ide-ide, nilai-nilai, dan subjektivitas
dikontestasi antara pihak-pihak berlawanan (yang tidak setara). Namun
relasi pihak-pihak berlawanan itu sendiri tidak serta-merta menjadikan
hubungan itu agonistik. Tong (2015) menganggap ranah publik di
internet sebagai agonistik sebab emosi diekspresikan pada ruang-ruang
media sosial dan berita. Berseberangan dengan Rahimi (2011) dan Tong
(2015), tanpa adanya pengakuan atas perbedaan dan adanya konflik itu
sendiri, respek terhadap satu sama lain, keterbukaan dan resiprositas

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 31 ]


(Connolly, 2004; Marichal & Neve, 2020), relasi antagonistik tidak
bertransformasi menjadi relasi agonistik. Peredaran kabar bohong di media
sosial telah melanggar kehormatan agonistik. Collins, Marichal & Neve
(2020) mengusulkan algoritma wajib menerapkan nalar agonistik untuk
menciptakan ruang-ruang publik yang lebih terbuka, rendah hati, dan
bertimbal balik. Gelembung penyaring dan sistem rekomendasi konten
merupakan kegagalan keberagaman liberal. Manipulasi teknikal semacam
itu semestinya menjunjung tinggi etika peka terhadap keberagaman
perspektif (Helberger, Karppinen, & D’Acunto, 2018).
Alih-alih menempatkan pluralisme agonistik sebagai norma etik
seperti Connolly (2004), Maeseele & Raejimakers (2020) menerjemahkan
argumen-argumen Mouffe ke dalam kerangka pluralisme media agonistik.
Keduanya memformulasi pluralisme media agonistik berdasarkan cakupan
(aktor-aktor, preferensi), budaya ideologis outlet media, dan bentuk
strategi diskursif (positioning, delegitimizing, dan denaturalizing) pada
wacana media (2020: 1599-1604). Berdasarkan komponen-komponen
tersebut, Maeseele & Raejimakers (2020: 1604) menilai adanya empat
derajat pluralisme pada lanskap media yaitu keseragaman media (media
uniformity), konformitas media (media conformity), keberagaman media
(media diversity), dan pluralisme media (media pluralism). Paradigma
keberagaman media cenderung mendepolitisasi, mengeksklusi pihak
antagonis (mengeluarkan pihak lain dan memposisikan sebagai musuh),
dan meniadakan debat politik (Maeseele & Raejimakers, ibid.). Sementara
itu, pluralisme media terbangun pada wacana yang mempolitisasi warga,
kontestasi yang berlangsung agonistik, dan debat politik terfasilitasi.
Artinya, pluralisme media merupakan situasi di mana outlet-outlet media
meyakini preferensi dan posisi ideologi yang beragam dan menampilkannya
sebagaimana adanya. Media lalu mereproduksi kontestasi agonistik,
dan merangsang debat yang terhormat mengenai perbedaan-perbedaan
ideologis-politis terkini.

Internet, Pluralisme, dan Kebebasan Media


Pada era pra-Internet, wacana pluralisme media berkutat pada
kendala-kendala yang menghambat media arus utama merepresentasikan

[ 32 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


keberagaman dalam konten dan programnya, kelompok minoritas dapat
mengakses media, dan dukungan perlindungan terhadap keberagaman
maupun kebebasan media. Kehadiran Internet dianggap dapat mengatasi
hal tersebut. Akan tetapi, asumsi bahwa Internet dan semua bentuk
teknologi komunikasi baru akan mendukung pluralisme dan keberagaman
media barangkali terlalu optimistik. Meski “kepemilikan” media beragam,
sumber-sumber informasi tumbuh secara eksponensial dan konten media
semakin bervariasi, sejumlah hal masih perlu dikuatirkan. Kekhawatiran
itu antar lain adanya konsentrasi kuasa media, terciptanya bentuk-bentuk
baru penjaga gawang (gatekeepers), dan relasi-relasi yang tercipta pada
level offline dan online.
Saat ini demokrasi Indonesia semakin mengarah ke iliberalisme
(Diprose, McRae, & Hadiz, 2019) dan populisme justru menguat (Hadiz
& Robison, 2017). Hal itu bukan berarti perspektif pluralisme agonistik
tidak sesuai untuk menilai keberagaman internal dan eksternal media di
Indonesia.7 Konglomerasi dan oligarki media yang menguat di Indonesia
mengakibatkan keterbatasan corak perspektif dan pluralisme pada level
konten. Konsekuensi dari hal itu adalah warga mencari dan mendapatkan
keberagaman konten melalui media digital baik pers maupun media sosial.
Di negara Selatan semacam Indonesia di mana demokratisasi baru berjalan
kurang dari 30 tahun, produksi konten lokal memang meningkat, dan
sistem distribusi konten didukung oleh Internet. Namun, tantangan yang
masih berlangsung terkait pluralisme media di Indonesia adalah pada
level keberagaman eksternal media yaitu kapasitas untuk secara efektif
mencapai audiens yang beragam, pemaknaan terhadap kebebasan media
yang lebih multidimensional dan upaya menciptakan ruang publik yang
pluralis-agonistik.
Dengan adanya over the top companies yang menguasai arus distribusi
konten digital di Indonesia seperti raksasa Google, YouTube, Facebook,
Twitter, Instagram dan sebagainya, penjaga gawang konten media tak lagi
hanya di kalangan produser, jurnalis, editor, pengawas dan regulator media
di Indonesia saja melainkan juga global. Ketika algoritma yang dibuat oleh
over the top companies tersebut memicu terkonsentrasinya orang-orang
7 Pluralisme internal berarti bagaimana keberagaman sosial dan politik terrefleksikan pada konten media, termasuk
opini-opini dan pandangan-pandangan divergen. Pluralisme eksternal mencakup seberapa banyak pemilik,
perusahaan media, badan editorial independen, kanal, titel, dan program-program.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 33 ]


berkarakter serupa pada kanal dan konten yang serupa, fragmentasi user
semakin tajam. Fragmentasi user yang dimaksud di sini adalah user dengan
kecenderungan minat, nilai, selera, dan ideologi tertentu bertemu dengan
user-user lain dengan minat serupa karena mereka dilayani oleh kanal-
kanal digital yang memenuhi minat, nilai, selera, dan ideologi tersebut.
Misalnya, Twitter membantu terartikulasinya identitas berbasis kelompok-
kelompok opini secara antagonistik melalui kata kunci dan tagar. Dengan
kata lain, Twitter memfasilitasi terciptanya kesetujuan dan ketidaksetujuan
kelompok-kelompok terhadap isu-isu spesifik (Evolvi, 2017).
Fragmentasi itu bukan berarti user tersebut tidak mengakses kanal dan
konten yang nilai atau pesan terkandung berseberangan sama sekali dengan
nilai dan gagasan yang diyakininya sama sekali. Di media sosial, user
dapat memberikan komentar dan saling merespons satu sama lain. Namun
dengan adanya fragmentasi audiens digital akibat gelembung penyaring
(filter bubble), user digital semakin rentan mengalami bias golongannya
sendiri dan bahkan mungkin mempercayai informasi palsu. Sehingga,
ketika user mengakses kanal yang mengandung pesan bertentangan dengan
keyakinannya, bukan tidak mungkin ia berdebat tanpa dasar fakta dan
tidak mengandung nalar publik. Padahal untuk menciptakan masyarakat
yang kohesif dan kooperatif dalam tatanan demokrasi deliberatif, nalar
publik adalah prasyarat (Hanif, 2007). Kecenderungan antagonistik digital
(misalnya dalam bentuk postingan mengandung kebencian terhadap
kelompok minoritas) itu bukan hal yang sama sekali eksklusif di jagad
maya.8 Di dunia nyata, relasi antagonistik/bermusuhan itu pun telah
berlangsung lama sejak sebelum Internet hadir di tengah masyarakat
Indonesia. Bahkan pada media massa, pluralisme pada akhirnya hanyalah
jargon belaka sebab representasi keberagaman Indonesia di layar kaca
dihegemoni oleh budaya Jawa (Pawito, 2008).
Relasi antagonistik yang mungkin terjadi pada dunia nyata itu
terrefleksi pada dunia digital dan begitu pula sebaliknya. Sebelum di media
sosial, kampanye hitam terhadap Joko Widodo juga muncul dalam bentuk
tabloid cetak Obor Rakyat yang dikelola oleh Setiyardi Budiyono pada
pemilihan presiden 2014 dan hal itu menguatkan polarisasi antarcapres
8 Menurut Hanif (2007), nalar kolektif akan dianggap sebagai nalar publik (public reason) apabila memenuhi syarat: (1)
penggagas adalah warga negara yang diakui setara; (2) subjek nalar adalah kemaslahatan publik (public good) dan
terkait dengan keadilan fundamental; (3) isinya mencerminkan hasrat bersama tentang prinsip-prinsip ideal untuk
menciptakan masyarakat yang berkeadilan.

[ 34 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


(Yudantiasa, 2020). Fenomena berkembangnya mitos oposisional “cebong
versus kampret” yang berkembang di wacana media terutama sejak
kasus penistaan agama oleh Ahok pada 2017 menunjukkan adanya relasi
antagonisme di dunia nyata tersebut (Husin & Al Akbar, 2019). Kasus
penistaan agama yang dialami mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja
Purnama (Ahok) mencerminkan saling terkaitnya fragmentasi masyarakat
di dunia nyata (sebagai warga negara) dan di dunia maya (sebagai user
digital) (Parahita, 2018). Intoleransi yang kemudian berkembang semenjak
kasus Ahok dituduh memelintir ayat Al-Qur’an membuka perdebatan
publik melalui media sosial mengenai makna keberagaman pada level
negara, kelompok-kelompok sosial, maupun anggota masyarakat. Jagad
Twitter Indonesia pada masa kampanye pemilihan presiden 2019 lalu juga
menunjukkan kecenderungan relasi antagonisme antara pendukung Joko
Widodo dan Prabowo Subianto yaitu dalam bentuk hoaks, berita palsu,
propaganda, dan banyaknya akun Twitter anonim (Gusfa & Kadjuand,
2020).
Sayangnya, KUHP, Undang-undang penistaan agama (UU No. 1/
PNPS/ 1965), dan UU ITE digunakan oleh kelompok-kelompok yang
bertikai untuk membungkam satu sama lain (Warburton & Aspinall,
2019) sehingga keberagaman perspektif pada ruang-ruang publik digital
terancam. Pada titik inilah gagasan pluralisme dan kebebasan media
sesungguhnya bagaikan dua sisi mata uang. Tanpa adanya kebebasan
media dan pers, pluralisme tidak akan tercipta. Kebebasan media di negara-
negara Selatan tidak hanya bisa dibatasi pada kebebasan pers, melainkan
multidimensional yang melibatkan audiens yaitu kebebasan akses ke media
dan kebebasan merespons media (Reid, 2017). Dalam kebebasan media
yang multidimensional, warga dapat mengkritik media dan pers maupun
sistem komunikasi di suatu negara untuk terartikulasikannya aspirasi atas
hak-hak dan keadilan dari tiap-tiap kelompok. Ketika media dan pers
dapat memberi ruang pada keberagaman termasuk relasi adversarial, dan
hubungan komunikasi yang saling menghormati antarkelompok beritikaian
tercipta. Regulasi yang ada harus menjamin kebebasan media dari intervensi
kuasa dan memastikan terciptanya pluralisme dan independensi media.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 35 ]


Penutup
Pluralisme memang mengandung sejumlah paradoks, ambiguitas,
dan dilema (Karppinen, 2007a, 2007b, 2008) tapi artikel ini menunjukkan
bahwa alih-alih konsepsi keberagaman itu tak lagi relevan, pluralisme-
agonistik Mouffe bisa menjadi perspektif untuk mencermati keberagaman
media dan pers era digital. Ruang-ruang publik Indonesia saat ini barangkali
menunjukkan adanya pertarungan-pertarungan berbasis sentimen-
sentimen emosional, moralitas, antara “baik dan benar”, maupun adanya
distorsi representasi keberagaman. Konteks lokal Indonesia itu lantas
memicu pertanyaan bagaimana media dan pers digital dapat berkontribusi
pada pengelolaan konflik antagonistik menjadi agonistik pada demokrasi
yang illiberal. Berefleksi dari kasus konflik Poso, dialog agonistik justru
menyertakan dinamika konflik maupun aspek-aspek relasional di antara
para pihak berseteru (Maddison & Diprose, 2018). Hal itu membantu proses
transformasi konflik kekerasan menjadi saling memahami pengalaman dan
sikap-sikap pihak lawan (the other). Pada beragam tantangan demokratik
tersebut, apakah media baru dan pers Indonesia dapat memfasilitasi dan
mendorong transformasi menuju relasi agonistik tersebut?

[ 36 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


DAFTAR PUSTAKA

Abrar, A. N. (2020). “West Papuan journalists today: An alternative human


rights perspective from Indonesia” Pacific Journalism Review: Te
Koakoa, 26(1), 123-139.
Beckers, K. (et.al.). (2019). “Are newspapers’ news stories becoming more
alike? Media content diversity in Belgium, 1983–2013”. Journalism
2019, 20(12): 1665–1683.
Bodó, B., Helberger, N., Eskens, S. & Möller, J. (2019). “Interested in
diversity”. Digital Journalism, 7(2): 206-229.
Bond, S. (2011). “Negotiating a ‘democratic ethos’: Moving beyond the
agonistic-comunicative divide”. Planning Theory, 10(2): 161-186.
DOI: 10.1177/1473095210383081.
Budarick, J. (2018). “Ethnic media and counterhegemony: Agonistic
pluralism, policy, and professionalism”. International Journal of
Communication, 12: 2406–2420.
Carpenter, S. (2008). “Source Diversity in U.S. Online Citizen Journalism
and Online Newspaper Articles”. Makalah dipresentasikan di
International Symposium on Online Journalism, April 5, 2008.
Carpenter, S. (2010). “A study of content diversity in online citizen
journalism and online newspaper articles”. New media & society,
12(7): 1064–1084.
Carpentier, N. & Cammaerts, B. (2006). “Hegemony, democracy, agonism
and journalism”. Journalism Studies, 7(6): 964-975.
Ciaglia, A. (2013). “Pluralism of the system, pluralism in the system:
Assessing the nature of media diversity in two European countries”.
The International Communication Gazette, 75(4) 410–426.
Ciszek, E. & Logan, N. (2018). “Challenging the dialogic promise: how
Ben & Jerry’s support for Black Lives Matter fosters dissensus on
social media”. Journal of Public Relations Research, 30(3): 115-127.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 37 ]


Collins, B., Marichal, J., & Neve, R. (2020). “The social media commons:
Public sphere, agonism, and algorithmic obligation”. Journal of
Information Technology & Politics, 17(4): 409-425.
Connolly, W.E. (2004). “Response: realizing agonistic respect”. Journal
of the American Academy of Religion , 72(2): 507-511,
Crawford, K. (2016). “Can an Algorithm be Agonistic? Ten Scenes from
Life in Calculated Publics”. Science, Technology & Human Values,
41(1): 77-9.
Diprose, R., McRae, D. & Hadiz, V.R. (2019). “Two decades of reformasi
in Indonesia: Its illiberal turn”. Journal of Contemporary Asia, 49(5):
691-712.
Evolvi, G. (2019). “#Islamexit: inter-group antagonism on Twitter”.
Information, Communication and Society, 22(3): 386-401.
Fletcher, R. & Nielsen, R.K. (2017). “Are News Audiences Increasingly
Fragmented? A Cross-National Comparative Analysis of Cross-
Platform News Audience Fragmentation and Duplication”. Journal of
Communication, 67: 476–498.
Gusfa, H., Kadjuand, F.E.D. (2020). “Political agonism for Indonesian
cyberpolitic: Critical cuberculture to political campaign of 2019
Indonesian presidential election in Twitter”. Nyimak Jornal of
Communication, 4(2): 211-232.
Hadiz, V.R., Robison, R. (2017). “Competing populisms in post-
authoritarian Indonesia”. International Political Science Review,
38(4): 488–50.
Hanif, H. (2007). “Antagonisme sosial, diskonsensus dan rantai ekuivalensi:
Menegaskan kembali urgansi model demokrasi agonistik”. Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 11(1): 119-136.
Helberger, N., Karppinen, K. & D’Acunto, L. (2018). “Exposure diversity
as a design principle for recommender systems”. Information,
Communication & Society, 21(2): 191-207.
Hendrickx, J. (2020). “Trying to survive while eroding news diversity:
Legacy news media’s catch-22”. Journalism Studies, 21(5): 598-614.

[ 38 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


Hendrickx , J. Ballon, P. & Ranaivoson, H. (2020). “Dissecting news
diversity: An integrated conceptual framework”. Journalism, 1-19.
Humprecht, E. & Büchel, F. (2020). “More of the Same or Marketplace
of Opinions? A Cross-National Comparison of Diversity in Online
News Reporting”. The International Journal of Press/Politics, 18(4)
436–461.
Humprecht, E. & Esser, F. (2018). “Diversity in online news”. Journalism
Studies, 19(12): 1825-1847.
Husin, L.H. & Al Akbar, N. (2019). “Beyon the binary logic of populist
articulations in 2019 Indonesian election: A Post-structuralist
analysis of Sexy Killers documentary”. Central Eruopean Journal of
international and Security Studies, 13(4): 411-431.
Jane, E.A. (2017). “‘Dude … stop the spread’: antagonism, agonism, and
#manspreading on social media”. International Journal of Cultural
Studies, 20(5): 459–475.
Joris G., De Grove, F., Van Damme, K. & Marez, L.D. (2020). “News
diversity reconsidered: A systematic literature review unraveling the
diversity in conceptualizations”. Journalism Studies, 21:13, 1893-
1912, DOI: 10.1080/1461670X.2020.1797527
Karppinen, K. (2007a). “Making a difference to media pluralism: a
critique of the pluralistic consensus in European media policy”.
Dalam B. Cammaerts & N. Carpentier (eds.) Reclaiming the Media:
Communicating Rights and Democratic Media Roles, Bristol UK:
Intellect.
Karppinen, K. (2008). “Media and paradoxes of pluralism. Dalam D.
Hesmondalgh & J. Toynbee.” The Media and Social Theory, Oxon:
Routledge.
Karppinen, K. (2007b). “Against naïve pluralism in media politics: on the
implications of the radical-pluralist approach to the public sphere”.
Media, Culture & Society, 29(3): 495–508.
Maddison, S. & Diproses, R. (2018). “Conflict dynmics and agonistic
dialogue on historical violence: a case from Indonesia”. Third World
Quarterly, 39(8):1622-1639.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 39 ]


Maeseele, P. & Raejimaekers, D. (2020). “Nothing on the news but the
establishment blues? Toward a framework of depoliticization and
agonistic media pluralism”. Journalism, 21(11): 1593-1610.
Marichal, J. & Neve, R. (2020). “Antagonistic bias: developing a typology
of agonistic talk on Twitter using gun control networks Jose”. Online
Information Review, 44(2): 343-363.
Marty, E., Smyrnaios, N., Rebillard, F. (2011). “A Multifaceted study of
online news diversity: issues and methods”. Dalam R. Salaverria (ed.),
Diversity of Journalism, prosiding di ECREA Journalism Studies
Section and 26th CICOM di Universitas Navarra, Pamplona, 4-5 Juli
2011.
Napoli, P. (2011). “Exposure diversity reconsidered”. Journal of
Information Policy, 1:246-259.
Nugroho, Y., Siregar, M.F., & Laksmi, S. (2012). “Memetakan Kebijakan
Media di Indonesia (Edisi Bahasa Indonesia)”. Laporan. Bermedia,
Memberdayakan Masyarakat: Memahami kebijakan dan tatakelola
media di Indonesia melalui kacamata hak warga negara. Kerjasama
riset antara Centre for Innovation Policy and Governance dan HIVOS
Kantor Regional Asia Tenggara, didanai oleh Ford Foundation.
Jakarta: CIPG dan HIVOS.
Parahita, G.D. & Ahmad, N. (2019). “What dampen the Indonesian’s
Journalist Freedom and Safeness in the Post-Soeharto New Order?”.
In S. Jamil (Ed.), Handbook of Research on Combating Threats to
Media Freedom and Journalist Safety. IGI Global.
Parahita, G.D. (2018). “Voters (Dis)-Believing Digital Political
Disinformation in Gubernatorial Election of DKI Jakarta 2016-2017”.
JSP, 22(2): 127-143.
Parahita, G.D. (2017). “Melacak Wacana ‘Jurnalisme Publik’ Indonesia”.
Dalam K. Ambardi, G.D. Parahita, L. Lindawati, A.W. Sukarno,
Kualitas Jurnalisme Publik di Media Online: Kasus Indonesia. Gadjah
Mada University Press: Yogyakarta.
Pawito. (2008). “Media massa dalam masyarakat pluralis”. Jurnal Ilmu
Komunikasi, 6(2): 72-77.

[ 40 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


Raeijmaekers, D. & Maeseele, P. (2015). “Media, pluralism and democracy:
what’s in a name?”. Media, Culture & Society, 37(7): 1042–105.
Rahimi, B. (2011). “The agonistic social media: Cyberspace in the
formation of dissent and consolidation of state power in postelection
Iran”. The Communication Review, 14(3): 158-178.
Reid, J. (2017). “Counter-mythologising “media freedom”: including the
audience in media freedom discourses and a new normative position
for the global south”. Communicatio, 43(2): 79-42.
Tong, J. (2015). “The formation of an agonistic public sphere: emotions,
the Internet and news media in China”. China Information, 29(3):
333-351.
van Cuilenburg, J. (2007). “Media diversity, competition and concentration:
Concepts and theories”. Dalam E.d. Bens, Media Between Culture and
Commerce, Bristol: Intellect, hal. 25-54.
van der Wurff, R. (2011). “Do audiences receive diverse ideas from
news media? Exposure to a variety of news media and personal
characteristics as determinants of diversity as received”. European
Journal of Communication, 26(4): 328–342.
Warburton, E. & Aspinall, E. (2019). “Explaining Indonesia’s democratic
regression”. Contemporary Southeast Asia, 41(2): 255-285.
Yom-Tov,E., Dumais, S. & Guo, Q. (2014). "Promoting civil discourse
through search engine diversity". Social Science Computer Review,
32 (2): 145–154.
Yudantiasa, R. (2020). “The face of Islam post-presidential election 2019:
Democracy and the challenge of dialog”. Dialog, 43(2):265:274.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 41 ]


BAB 3
Memahami Berita dan Kekacauan Informasi: Urgensi
Literasi Berita untuk Pengajaran Media dan Jurnalisme

Novi Kurnia

Pengantar 

P ada dasarnya berita adalah informasi mengenai peristiwa terkini yang


bersifat faktual yang disampaikan dalam berbagai bentuk media seperti
media cetak, radio, televisi maupun media daring. Namun demikian, dalam
masyarakat digital dengan perputaran informasi yang bergerak sangat cepat
dan volume informasi yang sangat besar, berita kemudian diredefinisikan. 
Berita bisa dianggap sebagai partisipasi yang melibatkan banyak pemain
dalam suatu lingkungan dari informasi, pengaruh, akses, dan sirkulasi yang
dibuat bersama (Fry, 2016). 
Hal ini bisa dipahami karena beragam informasi bergulir di beragam
platform yang sumbernya bisa dari media maupun bukan media (Nee,
2019). Dalam kondisi seperti ini, setiap orang bisa menjadi prosumer
yakni produsen sekaligus konsumen informasi yang berpartisipasi dalam
proses kreatif produksi informasi dan konten media (Muratova, Grizzle, &
Mirzhakmedova 2019; Seizov, 2016). Pengguna media bisa memproduksi
pesan sendiri tanpa harus menjadi jurnalis dan tanpa harus mempunyai
media (Eleton, 2018). Konsekuensinya, pengguna media digital mempunyai
tantangan untuk membedakan mana informasi yang benar maupun yang
tidak. Selain itu, kebenaran dari institusi yang dipercaya, yakni media yang
memproduksi informasi berdasarkan kaidah jurnalistiknya, kini mulai
diragukan (Eleton, 2018). Kebenaran kemudian menjadi milik siapa yang
memproduksi informasi dan atau siapa yang memercayainya. Pemahaman
masyarakat mengenai berita kemudian mengalami perubahan. 

[ 42 ]
Istilah berita palsu (fake news) kemudian muncul di tengah-tengah
banjirnya informasi yang dipermudah dengan hadirnya berbagai platform
media daring dan media sosial. Secara sederhana, berita palsu ini dikatakan
sebagai informasi yang secara sengaja diproduksi untuk menyesatkan
masyarakat, misalnya saja dengan melakukan editing foto dan atau
menampilkan data statistik yang menyesatkan  (Farmer, 2019), maupun
menciptakan kebohongan melalui kata dan angka (Janke & Cooper, 2017).
Berita palsu ini dianggap sebagai salah satu bentuk misinformasi yang
diproduksi atas dasar kesengajaan dengan tujuan untuk  menyesatkan,
mengajak bercanda tapi keterlaluan, memunculkan kepercayaan yang
berlebihan, hingga memperoleh kuasa untuk memengaruhi orang lain
maupun mendapatkan keuntungan material (Farmer, 2019). 
Definisi mengenai berita palsu ini ditentang oleh Ireton dan Posetti
(2018) yang menyatakan bahwa istilah fake news tidak tepat. Pasalnya,
istilah berita mempunyai makna informasi yang diperoleh dengan proses
yang teruji serta dibuat untuk kepentingan umum berdasarkan kaidah
jurnalistik. Dengan begitu, Ireton dan Posetti (2018) berargumentasi bahwa
penggunaan istilah berita palsu jadi salah kaprah karena merendahkan
kredibilitas berita yang sesungguhnya. Salah kaprah penggunaan istilah
berita palsu ini kemudian diluruskan dengan pendefinisian berbagai bentuk
kekacauan informasi (information disorder) yang terbagi atas misinformasi,
disinformasi, dan malinformasi (Wardle & Derakhshan, 2017). 
Dalam dunia yang sarat dengan kekacauan informasi inilah, sangat
penting peran pengajar media dan jurnalisme untuk mengembangkan
pengajaran yang efektif supaya peserta didik mampu menavigasi
keberlimpahan informasi sekaligus mampu membedakan fakta yang 
dapat diandalkan dan pengetahuan dari persoalan kekacauan informasi 
(Kajimoto, 2016). 
Oleh karena itu, bab yang ditulis berdasarkan studi pustaka ini akan
mengelaborasi arti penting literasi berita dalam pengajaran media dan
jurnalisme sehingga calon jurnalis dan praktisi media mampu mengambil
peran penting dalam melawan kekacauan informasi kelak saat mereka
menjadi jurnalis dan praktisi media yang profesional. 

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 43 ]


Kekacauan Informasi sebagai Tantangan Jurnalisme
di era Digital
Dalam era pasca kebenaran ini saat nyaris pengguna media digital bisa
menjadi produsen sekaligus konsumen, informasi menjadi sangat berlimpah
sehingga muncul kekacauan informasi yang mempunyai beragam bentuk
sebagaimana digambarkan dalam Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Kekacauan Informasi.

(Sumber: Wardle dan Derakhsan, 2017:5) Ketiga bentuk kekacauan


informasi tersebut menurut Wardle & Derakhsan (2017) adalah: mis-
informasi (mis-information), dis-informasi (di-sinformation), dan mal-
informasi (mal-information). Mis-informasi (misinformasi) yakni informasi
yang salah yang disebarkan oleh orang yang memercayainya sebagai hal
yang benar. Dis-informasi (disinformasi) adalah informasi yang salah yang
dengan sengaja disebarkan oleh orang yang paham dan mengetahui bahwa
informasi tersebut salah. Dalam bahasa lain, disinformasi bisa dikatakan
sebagai kebohongan yang disengaja dan biasanya didesain oleh orang
yang memang bertujuan tidak baik. Mal-informasi (malinformasi) yang
merupakan informasi yang sebenarnya adalah realitas namun dimanfaatkan
untuk kepentingan salah satu kelompok orang yang merugikan kelompok

[ 44 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


lainnya. Misalnya saja informasi yang melanggar privasi seseorang tanpa
ada relevansinya dengan kepentingan publik. 
Sekilas ketiga jenis ini dianggap sama, bahkan dalam bahasa sehari-
hari di Indonesia, ketiga konsep ini sering disamakan dengan istilah umum
yakni hoaks karena sama-sama  menimbulkan konsekuensi yang nyaris
mirip satu sama lain: merusak proses demokrasi dalam menyampaikan
informasi di dalam masyarakat. 
Kekacauan informasi—baik berupa misinformasi, disinformasi dan
malinformasi—dianggap hadir dalam masyarakat sebagai efek kehadiran
media sosial karena beberapa alasan (Eleton, 2018). Pertama, media sosial
memunculkan ruang gema, polarisasi dan partisipasi yang berlebihan.
Kedua, media sosial memungkinkan terciptanya legitimasi masyarakat
berdasarkan popularitas. Ketiga, media sosial membuka peluang munculnya
manipulasi informasi oleh pemimpin populis, pemerintah maupun aktor
ekstrem. Keempat, peluang untuk pengambilan data pribadi terbuka lebar.
Kelima, terdisrupsinya ruang publik. 
Dalam kondisi seperti inilah jurnalisme yang dianggap sebagai salah
satu pilar demokrasi mendapat tantangan yang besar karena harus berebut
perhatian warga digital yang tak hanya mencari informasi dari media
melainkan juga dari media sosial dan berbagai platform lainnya. Informasi
yang kadang berupa kekacauan informasi inilah yang kemudian sering
ditemukan. Padahal kekacauan informasi berbeda dari jurnalisme yang
menjaga kualitas berita sebagai produk yang memenuhi standar dan etika
jurnalistik (Ireton & Posetti, 2018). Meskipun begitu, tidak bisa dipungkiri
bahwa terdapat pula praktik jurnalisme yang buruk dengan cek fakta dan
proses keredaksian yang kurang optimal sehingga tidak bisa disamakan
dengan kekacauan informasi (Ireton & Posetti, 2018). 
Untuk mempunyai keterampilan mengenali kekacauan informasi
maupun menyaring produk jurnalisme yang buruk inilah, literasi berita
dibutuhkan agar masyarakat, terutama calon jurnalis dan praktisi media,
mendapat pengetahuan dan kompetensi yang memadai sebagai aktor-aktor
penting dalam masyarakat informasi di masa depan. 

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 45 ]


Dari Literasi Media, Literasi Digital ke Literasi Berita 
Sebagaimana dijelaskan di atas, dalam era pasca kebenaran, kekacauan
informasi dalam beragam bentuk bisa ditemukan di setiap platform yang
ada. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk melengkapi pengguna media
digital dengan kemampuan literasi, baik literasi media literasi digital,
maupun literasi berita. Ragam literasi inilah yang akan membantu pengguna
media digital untuk bisa membedakan mana informasi yang benar mana
yang tidak dalam era pascakebenaran seperti sekarang ini (Jones-Jang
dkk., 2019).
Konsep literasi media pada dasarnya adalah kecakapan pengguna
media dalam mengelola  informasi yang ditemukan dalam media maupun
dari luar media yakni dari kehidupan sehari-hari. Pengguna media yang
aktif adalah mereka yang memperhatikan dengan waspada terhadap
informasi yang diterima dan secara sadar berinteraksi dengan informasi
tersebut (Potter, 2014). 
Pengguna media yang waspada dan sadar idealnya mempunyai tujuh
kecakapan media dalam memilah informasi yang tersedia di media (Potter,
2004). Pertama, analisis, yaitu kecakapan dalam memilah sebuah pesan
media ke dalam elemen-elemen yang bermakna. Kedua, evaluasi, yaitu
kecakapan menentukan nilai pada suatu elemen pesan media. Penilaian
tersebut dibuat dengan membandingkan berbagai elemen dalam beberapa
kriteria. Ketiga, kecakapan mengelompokkan, yaitu menentukan mana
elemen-elemen yang mirip dan berbeda dengan kriteria tertentu. Keempat,
induksi, yaitu kecakapan dalam memahami pola dalam seperangkat
elemen kemudian menggeneralisasi pola pada seperangkat elemen yang
lebih makro. Kelima, deduksi, yaitu kemampuan menggunakan prinsip-
prinsip umum untuk menjelaskan hal-hal yang khusus. Keenam, sintesis,
yaitu kecakapan memahami elemen-elemen dalam pesan media kemudian
menyatukannya kembali ke dalam struktur yang baru. Ketujuh, abstraksi,
yaitu kecakapan menciptakan deskripsi singkat, jelas, dan akurat yang
merupakan tangkapan esensi dari pesan media ke dalam sejumlah kata atau
kalimat. 
Dalam masyarakat modern saat internet menjadi media baru yang
sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, literasi media kemudian

[ 46 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


berkembang menjadi literasi digital. Konsep dan praktik literasi digital ini
muncul karena ada kebutuhan akan pemahaman dan agensi penggunanya
sebab teknologi hanyalah alat semata yang tidak menentukan bagaimana
pengguna internet harus bertindak (Kurnia dkk., 2020; Koltay, 2011). 
Penggunaan istilah literasi sendiri sebenarnya mengandung arti yang
jamak, sebab dengan meningkatnya penggunaan media konvergensi maka
makna literasi juga meliputi serangkaian bentuk komunikasi dan media
kontemporer (Buckingham, 2006). Tak heran jika dalam konsep dan
praktik literasi media, muncul konsep literasi digital yang menekankan
pada media digital sebagai tempat ditemukan beragam jenis informasi
(Kurnia dkk., 2018). Selain itu muncul pula konsep literasi berita yang
memfokuskan pada jenis informasi yang berupa berita. 
Fokus literasi media dan literasi berita tentulah tidak sama. Literasi
media memberikan pengetahuan dan keterampilan untuk berpikir kritis
tentang produksi dan efek segala jenis konten media (Bowe, 2019).
Sedangkan literasi berita fokus pada beberapa hal. Pertama, proses
membangun pemahaman aspek praktis dan legal jurnalisme yang
memengaruhi konten media untuk mendorong keterlibatan dan kesadaran
masyarakat sipil atas kejadian-kejadian terkini  (Fleming, 2014). Kedua,
proses khalayak mengonsumsi berita (Spike & Haque, 2015). Ketiga, 
proses memproduksi pengetahuan maupun motivasi untuk melakukan
identifikasi serta terlibat dengan jurnalisme (Maks, Ashley & Craft, 2015). 
Dalam kaitannya dengan keterampilan menavigasi kualitas informasi,
literasi berita juga bisa diartikan sebagai kemampuan untuk membedakan
berita yang sesungguhnya dengan informasi yang menyerupai berita
(Craft, 2016). Berita yang sesungguhnya dengan kaidah dan etika
jurnalistik, sementara informasi yang menyerupai berita bukanlah produk
jurnalistik karena tidak melibatkan proses penyaringan, cek fakta maupun
pertimbangan redaksi (Bowe, 2019). Kurangnya transparansi dalam proses
redaksional selama produksi konten daring ini membuat  keterampilan
literasi berita harus dikuasai secara simultan dan karenanya literasi berita
menjadi lebih penting tapi sekaligus lebih rumit (Bowe, 2019).Farmer (2019)
mengungkapkan beberapa alasan mengapa literasi berita menjadi persoalan
penting dewasa ini. Pertama, kepercayaan masyarakat terhadap media arus

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 47 ]


utama berkurang karena beragam media sering menyajikan perspektif yang
berbeda. Kedua, kehadiran media dan jejaring sosial memungkinkan setiap
orang setiap harinya untuk berkontribusi pada perputaran berita. Media
sosial kemudian memberikan tantangan yang cukup tinggi untuk media
arus utama dengan kemudahan sosial media: sedikit proses penjagaan
gerbang, biaya yang lebih murah namun kemampuan untuk menyampaikan
informasi sangat cepat. Ketiga, kebiasaan verifikasi dan analisis informasi
masyarakat yang cenderung rendah. Alasan lain yang bisa ditambahkan
adalah argumen bahwa literasi berita merupakan keterampilan seumur
hidup (Farmer, 2019). Dengan demikian sangat penting untuk memberikan
bekal pemahaman dan keterampilan mengenai literasi berita pada peserta
didik sebagai calon jurnalis dan calon pekerja media di Indonesia. 

Pengajaran Literasi Media dan Literasi Berita


Di Amerika, literasi berita adalah topik penting dalam pendidikan
media dan jurnalisme maupun pendidikan seni liberal (liberal arts)
(Bowe, 2019; Fleming, 2014). Meskipun begitu, literasi berita seringkali
tidak menjadi subjek pengajaran tersendiri namun menjadi bagian dari 
subjek pengajaran literasi media. Demikian juga halnya di Indonesia di
mana literasi berita bahkan jarang didiskusikan secara tersendiri karena
literasi media dan literasi digital lebih populer sebagai subjek kajian dan
pengajaran baik sebagai mata kuliah tersendiri atau menjadi bagian dari
mata kuliah lain. 
Meski belum banyak mendapatkan perhatian, pengajaran literasi media
pada dasarnya penting terutama untuk membantu siswa mengembangkan
pemahaman yang lebih terinformasi dan kritis terhadap keberadaan dan
pengaruh media massa (Fleming, 2014).  Namun demikian, hal terpenting
dari pengajaran literasi media ini adalah bahwa kurikulum sebaiknya
disusun dengan menolak anggapan terkait peran media yang dianggap
telah mengajar siswa di luar kelas (Fleming, 2014). 
Hal lain yang patut ditolak adalah anggapan bahwa mengajarkan
literasi media sama halnya dengan mengajarkan keterampilan kritis.
Terkait hal ini, Potter (2014) berargumen bahwa literasi media bersifat
multidimensional, bukan hanya terkait keterampilan kritis saja. Bagi

[ 48 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


Potter (2014), pengguna media akan dipengaruhi aspek kognitif, sikap,
emosi, psikologi, dan perilaku sehingga kemampuan aspek-aspek ini juga
perlu diperkuat. Dengan begitu, pengajaran literasi media pun sebaiknya
memperhatikan seluruh aspek tersebut. 
Tak berbeda jauh dengan pengajaran literasi media, pengajaran literasi
berita juga tergantung pada dasar-dasar teori dan tujuan instruksional
pengajarnya (Fleming, 2014). Meskipun begitu, pengajaran literasi berita
secara khusus tanpa menjadi bagian dari pengajaran literasi media masih
dianggap relatif baru. Padahal pentingnya pengajaran literasi berita ini
didasarkan pada sejumlah penelitian yang menyatakan bahwa sebagian
pengguna media digital sering menemukan kesulitan membedakan berita
yang dapat dipercaya (reliable news) dengan iklan, propaganda, maupun
jenis informasi lainnya (Johnson dkk., 2020). 
Pentingnya kekhususan pengajaran literasi berita semakin menjadi
kebutuhan yang mendesak karena dewasa ini masyarakat cenderung tidak
bisa memilah mana yang merupakan berita dan mana yang merupakan
kekacauan informasi tapi sering kali dianggap sebagai berita. Argumen
lainnya adalah berita mempunyai peranan yang penting dalam demokrasi
sehingga beragam institusi penyedia berita mempunyai tanggung jawab
khusus untuk menjadi bagian dari ketersediaan informasi yang akurat bagi
warga negara yang mengatur diri mereka sendiri (Fleming, 2014). 
Dengan pentingnya pengajaran literasi berita, ada banyak elemen
literasi berita yang sebaiknya menjadi topik-topik pengajaran. Menurut
Maksl, Ashley & Craft (2015) terdapat berbagai elemen-elemen literasi
berita yang patut untuk dipelajari. Pertama, konten media. Kedua, industri
dan efek konten termasuk informasi sebagai nilai yang ada di balik berita
dan bagaimana berita itu dikonstruksikan. Ketiga, pengaruh ekonomi
media berita. Keempat, kepemilikan media. Kelima, pengawasan terhadap
konten berita. Keenam, pajanan media berita. 
Sementara itu, berdasarkan studi yang dilakukannya saat survei pilot
pengajaran literasi berita di Amerika, Formm (2016) mencatat beberapa
topik yang muncul sesuai dengan urutan terbanyak pilihan responden:
bias, kredibilitas, akurasi dan verifikasi informasi, etika, kebebasan pers,
keterampilan menulis dan editing, sumber berita, definisi berita, nilai

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 49 ]


berita dan kelayakan berita, sudut pandang yang seimbang, keterampilan
mewawancarai dan melaporkan fakta, sejarah dan tren media, manajemen
media, dan berpikir kritis. Berdasarkan topik-topik tersebut terlihat literasi
berita bukanlah sekedar memahami verifikasi dan cek berita serta produksi
berita semata, namun juga beragam aspek sebagaimana dijelaskan oleh
Potter (2014) terkait dengan kognitif, sikap, emosi, psikologi, perilaku,
dan kemampuan berpikir kritis.
Dengan banyaknya topik dan aspek yang sebaiknya disentuh dalam
pengajaran literasi berita, ada beberapa strategi cara penyampaian yang bisa
digunakan.  Kajimoto (2016), pakar literasi yang mengembangkan studi
mengenai kurikulum literasi berita di Hongkong, Vietnam dan Myanmar,
menawarkan beberapa strategi untuk pengajaran literasi berita yang bisa
digunakan oleh pengajar. Pertama, melakukan identifikasi pola konsumsi
berita peserta didik pada awal pengajaran. Kedua, memasukkan pengalaman
kebiasaan berita peserta didik dalam kurikulum dan materi pengajaran.
Ketiga, mendesain latihan, penugasan, serta kegiatan pengajaran yang
merefleksikan praktik jurnalisme di negara masing-masing. 
Sementara Bowe (2019) menggunakan Frayer model dalam pengajaran
literasi berita. Model ini menggunakan empat elemen pokok: definisi
berita, karakteristik kunci berita, contoh berita, dan contoh yang bukan
berita. Model ini dianggap efektif dalam pengajaran literasi berita karena
bisa membantu peserta didik mengorganisasi informasi sekaligus menjadi
pembelajar yang reflektif agar memiliki kemampuan untuk membedakan
mana berita dan mana yang bukan (Bowe, 2019). 
Di luar kedua strategi di atas, penting juga untuk mengutamakan
prinsip-prinsip pengajaran literasi berita sebagai bagian pengajaran media
dan jurnalisme dengan menggunakan beberapa prinsip yang ditawarkan
oleh Posetti (2018). Pertama, akurasi, karena jurnalis tidak selalu bisa
memastikan jaminan kebenaran berita namun memperoleh fakta dengan cara
yang benar dan etis adalah prinsip utama jurnalisme. Kedua, independen,
jurnalis harus mengutamakan transparansi dan bebas kepentingan agar
bisa berposisi netral dan mandiri. Ketiga, keadilan, jurnalis meliput
secara adil dan berimbang serta tidak berpihak pada kepentingan tertentu
sehingga kepercayaan pembaca bisa dibangun. Keempat, kerahasiaan,

[ 50 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


jurnalis melindungi dan memastikan keamanan dan keselamatan sumber
berita. Kelima, kemanusiaan, jurnalis harus mengedepankan prinsip
kemanusiaan dengan menerapkan gaya jurnalisme yang menghargai
sumber informasi sebagai manusia dengan segala aspek kemanusiaannya.
Keenam, akuntabilitas, jurnalis bersikap profesional dan beretika serta
berani mempertanggungjawabkan kesalahan dengan baik. Ketujuh,
transparansi, jurnalis menjadi bagian dari penciptaan akuntabilitas media
dengan melakukan transparansi dalam proses peliputan berita sehingga
bisa berperan dalam menjaga kepercayaan masyarakat terhadap media. 
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, pengajaran literasi berita idealnya
bisa mendidik calon jurnalis dan praktisi media untuk memahami
pentingnya profesi jurnalis dalam demokrasi karena menjadi bagian dari
penyediaan informasi yang akurat. 

Penutup 
Meskipun literasi berita adalah topik yang spesifik dalam pengajaran
media dan jurnalisme, literasi berita sangat penting untuk diajarkan secara
optimal. Tak hanya untuk membekali peserta didik agar mempunyai
kemampuan memilah berita sebagai produk jurnalistik dan informasi yang
dianggap berita namun merupakan kekacauan informasi, literasi berita bisa
digunakan sebagai keterampilan seumur hidup sebagai warga digital. 
Meskipun demikian, banyak tantangan yang harus ditaklukkan di masa
depan untuk menjadikan literasi berita sebagai salah satu subjek penting
dalam pengajaran media dan jurnalisme. Pertama, pengarusutamaaan
literasi berita sebagai subjek tersendiri dan bukan menjadi bagian dari
literasi media sehingga kemampuan literasi berita anak didik lebih
terjamin. Kedua, pemilihan topik yang beragam dan disesuaikan dengan
karakter peserta didik dan konteks di mana pengajaran tersebut dilakukan.
Ketiga, pemilihan metode penyajian materi yang melibatkan peserta didik
lebih intensif. Keempat, penugasan yang sesuai dengan tujuan pengajaran.
Kelima, pengembangan materi dan metode pengajaran berdasarkan riset
yang berkualitas untuk memetakan persoalan dan tantangan pengajaran
literasi berita terutama untuk konteks Indonesia. Keenam, pentingnya

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 51 ]


menumbuhkan sistem pembelajaran literasi berita yang komprehensif dan
berkesinambungan. 
Melalui pengajaran literasi berita yang baik, calon jurnalis akan
dibekali keterampilan yang memadai untuk menghasilkan produk
jurnalistik yang berkualitas dan tidak terjebak pada praktik jurnalisme
yang buruk. Sedangkan calon praktisi media akan mempunyai mempunyai
kompetensi literasi media yang tinggi sehingga bisa menjadi bagian
dari industri media yang bertanggung jawab. Dengan begitu, kekacauan
informasi bisa diminimalkan, kepercayaan masyarakat terhadap media
akan diperkuat, dan demokrasi informasi bisa ditegakkan. 

[ 52 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


DAFTAR PUSTAKA

Bowe, B. J. (2019). “Separating real from fake: Building news literacy


with the Frayer Model”. Communication Teacher, 33:4, 256-261,
DOI: 10.1080/17404622.2019.1575971 
Buckingham, D. (2006). :Defining Digital Literacy: What do young people
need to know about digital media?”. Digital Kompetanse, vol. 4(1),
263-276. 
Craft, S. (2016). “The very old and the very new challenge of news
literacy”.  Journalism Education, No. 5, Vol. 1, 14-16 
Eleton, C. (2018). “Module 1: Truth, Trust and Journalism”. Dalam C.
Ireton & J. Posetti, Journalism, ‘Fake News’, & Disinformation:
Handbook for Journalism Education and Training. France: UNESCO.
Farmer, L.S.J (2019). “News literacy and fake news curriculum: School
librarians’ perceptions of pedagogical practices”. Journal of Media
Literacy Education. 11 (3). 1-11. DOI: 10.23860/JMLE-2019-11-3-1 
Fleming, J. (2014). “Media Literacy, News Literacy, or News Appreciation?
A Case Study of the News Literacy Program at Stony Brook
University”. Journalism & Mass Communication Educator. Vol. 69
(2) 146-165. DOI: 10.1177/1077695813517885 
Fromm, M. (2016). “Finding a Consensus: a pilot surveys in news literacy
education”. Journalism Education, No 5. Vol. 1, 123-135.  
Fry, K.G. (2016). “Re-thinking News, Re-thinking News Literacy: a user-
centred perspective on information”. Journalism Education, No 5.
Vol. 1, 35-44
Ireton, C. & Posetti, J. (2018). Journalism, ‘Fake News’, & Disinformation:
Handbook for Journalism Education and Training. France: UNESCO. 
Janke, R.W. & Cooper, B. S. (2017). News Literacy: Helping Students and
Teachers Decode Fake News. Lanham, Boulder, New York, London:
Rowman & Littlefield. 

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 53 ]


Johnson, N.R, Paal, K., Waggoner, E. Bleier, K. (2020). “Scales for Assesing
News Literacy Education in the Digital Era”. Journalism & Mass
Communication Educator. 1-20. DOI: 10.1177/1077695820930980. 
Jones-Jang, S.M., Mortensen, T., & Liu, J. (2019). “Does Literacy Help
Identification of fake News? Information Literacy Helps, but Other
Literacies Don’t”. American Behavioral Scientist. 1-18 
Kajimoto, M. (2016). “Developing news literacy curricula in the age of
social media in Hongkong, Vietnam and Myanmar”. Journalism
Education, Vol. 5 No. 1, 136-154
Koltay, T. (2011). “The media and the literacies: media literacy, information
literacy, digital literacy”. Media, Culture, & Society 33(2), 211-221. 
Kurnia, N, Wendratama, E., Rahayu, R., Adiputra, W.M., Syafrizal, S.,
Monggilo, Z.M.Z…Sari, Y.A. (2020). WhatsApp Group and Digital
Literacy Among Indonesian Women. Yogyakarta: WhatsApp, Program
Studi Magister Ilmu Komunikasi, PR2Media dan Yogya Medianet. 
Kurnia, N., Monggilo, Z. M. Z., & Adiputra, W. M. (2018). Yuk tanggap
dan bijak berbagi informasi bencana alam melalui aplikasi chat.
Yogyakarta: Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UGM. 
Maks, A., Ashley, S., & Craft, S. (2015). “Measuring News Media
Literacy”. Journal of Media Literacy Education. 6(3). 29-45
Muratova, N., Grizzle, A., & Mirzhakmedova, D. (2019). Media and
Information Literacy in Journalism: A Handbook for Journalists and
Journalism Educators. France: UNESCO. 
Nee, R.C. (2019). “Youthquakes in a Post-Truth Era: Exploring Social
Media News Use and Information Verification Actions Among Global
Teens and Young Adults”. Journalism & Mass Communication
Educator. Vol 74(2), 171-184. DOI: 10.1177/1077695818825215 
Posetti, J. (2018). “Using this handbook as model a model curriculum”.
Dalam C. Ireton & J. Posetti, Journalism, ‘Fake News’, &
Disinformation: Handbook for Journalism Education and Training.
France: UNESCO, 32-43. 
Potter, W.J. (2014). Media Literacy (7th edition). London: Sage.

[ 54 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


Seizov, O. (2016). “News Literacy in the digital age: challenges and
opportunities”. Journalism Education, , Vol. 5 No. 1, 170-183. 
Spikes, M.A. & Haque, Y.S. (2015). “A Case Study Combining Online
Social Media and Video to Teach News Literacy”. J. Educational
Technology Systems. Vol. 43(1), 99-116. 
Wardle, C. & Derakhshan, H. (2017). Information Disorder: Towards
an Interdisciplinary Framework for Research and Policy Making.
Strasbourg: Council of Europe. 

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 55 ]


BAB 4
Jurnalisme Politik di Indonesia: Antara Paralelisme
Politik dan Instrumentalisasi Media

Wisnu Prasetya Utomo

Pengantar 

D ua dekade belakangan, lanskap media di Indonesia ditandai dengan


semakin agresifnya para pemilik media masuk ke dalam gelanggang
politik baik dengan membentuk organisasi masyarakat, bergabung dengan
partai politik, masuk dalam pemerintahan, bahkan menempatkan kadernya
pada jabatan pemerintahan. Konsekuensi yang tak terhindarkan dari
kondisi ini adalah semakin partisannya jurnalisme politik di Indonesia.
Berita-berita semakin bias dengan cara yang demikian dangkal. Dua pemilu
terakhir di tahun 2014 dan 2019 menunjukkan bagaimana hal itu terjadi. 
Semakin bias dan partisannya jurnalisme politik di Indonesia menarik
untuk dilihat lebih jauh. Pangkalnya, ia punya jejak historis dalam sejarah
pers di Indonesia. Dari sisi historis, ide sebagai pilar keempat demokrasi
yang objektif, netral, dan nonpartisan tak pernah berjejak dalam tradisi
pers di Indonesia. Baik di era zaman bergerak yang penuh pergulatan
ideologi maupun era industri, pers senantiasa berada dalam posisi untuk
menunjukkan keberpihakan secara tegas baik atas dasar kesadaran
kebangsaan, afiliasi partai politik, represi negara, maupun tekanan
pemiliknya. 
Berangkat dari latar belakang tersebut, tulisan ini akan mencoba
menjelaskan kondisi jurnalisme politik di Indonesia saat ini dengan
mengelaborasi pemikiran Hallin and Mancini (2004) tentang paralelisme
politik dan instrumentalisasi lantas meletakkannya dalam konteks
Indonesia. 

[ 56 ]
Paralelisme politik dan instrumentalisasi media
Paralelisme politik yang menguraikan hubungan antara media dan
politik pada awalnya dikembangkan oleh Seymour-Ure (1974) dan Blumler
dan Gurevitch (1995). Seymour-Ure (1974: 160) mengemukakan bahwa
paralelisme pers dan partai politik digunakan untuk melihat bagaimana
sistem media mencerminkan sistem kepartaian melalui tiga komponen: 1)
organisasi; 2) tujuan (program dan taktik); dan 3) anggota dan pendukung.
Dengan kata lain, media akan dipandang sejajar dengan partai politik
(paralelisme lengkap) jika memiliki kedekatan dengan organisasi partai
politik, memiliki tujuan yang sama, dan jika pembacanya yang partisan
mendukung partai politik tersebut.
Mancini (2012: 270) mengatakan bahwa paralelisme politik berkaitan
dengan “keberadaan kelompok yang terorganisasi, stabil, dan tradisi
debat budaya yang diartikulasikan dalam kondisi di mana berbagai
pendapat saling berkontestasi dengan sehat.” Lebih jauh, paralelisme
politik berkaitan dengan pluralisme eksternal daripada pluralisme internal.
Pluralisme eksternal menitikberatkan pada aspek keberagaman gagasan
dan sikap politik sebuah perusahaan media (Voltmer, 2013). Sedangkan
pluralisme internal menitikberatkan pada keberagaman yang ada di dalam
organisasi media. Hallin dan Mancini (2004: 29) mendefinisikan pluralisme
eksternal sebagai "keberadaan berbagai media atau pandangan berbagai
kelompok atau kecenderungan yang ada dalam masyarakat." Pluralisme
ini terlihat dari perbedaan ideologi masing-masing media dalam spektrum
politik tertentu, seperti sayap kiri dan sayap kanan atau ideologi liberal
dan konservatif. Tingkat keberpihakan media yang signifikan terhadap
kepentingan politik tertentu menjadi ciri pluralisme eksternal.
Sedikit berbeda dari paralelisme politik, instrumentalisasi
menggambarkan bagaimana kepemilikan media langsung mengarahkan
kelompok kepentingan atau individu atau bisnis yang menggunakan media
untuk mencapai tujuan politik tertentu, dari proses pembuatan kebijakan di
tingkat pemerintah hingga alat kampanye dalam pemilihan umum (Hallin
dan Mancini, 2004).
Peningkatan jumlah media yang dimiliki oleh kelompok-kelompok
kepentingan politik tertentu ini bisa dijelaskan oleh Hallin dan

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 57 ]


Papathanassopoulos (2002) dengan istilah klientelisme, suatu bentuk
hubungan di mana suatu kelompok kepentingan politik tertentu memiliki
kendali yang kuat atas kelompok lain, memungkinkan mereka untuk
meminta kelompok lain tersebut untuk melaksanakan perintah atau
kepentingannya. Mengikuti para ilmuwan politik komparatif, hubungan
klientalistik dilakukan pada bentuk-bentuk di mana organisasi sosial
memiliki akses ke sumber daya dan diberikan kepada klien dengan
pertukaran yang menguntungkan satu sama lain (Roniger dan Gueses-
ayata, 1994; Törnquist, 2004).
Sementara itu, Susan C Stokes (2011: 649) mendefinisikan
klientelisme sebagai: "pemberian materi sebagai imbalan atas dukungan
elektoral, di mana kriteria yang digunakan patron adalah: “apakah Anda
mau mendukung saya?” Yang paling menarik dari definisi Stokes adalah
pertukaran patron dan klien terkadang menunjukkan bentuk ancaman dari
satu pihak atau keduanya alih-alih kesepakatan sukarela.
Hallin dan Mancini (2004) menunjukkan bahwa dalam bentuk
hubungan ini, relasi formal kurang penting dan lebih banyak dalam bentuk
hubungan personal yang dimediasi melalui bentuk lain seperti partai politik
atau organisasi sosial. Oleh karena itu, klientelisme mengganggu sistem
dengan jaringan yang dilindungi oleh individu atau organisasi. 
Seperti yang dikemukakan Hallin dan Papathanassopoulos (2002),
klientelisme memengaruhi peran pers melalui instrumentalisasi. Pemilik
media yang memasuki arena bisnis di mana kondisi keuangan dan politik
tidak stabil, akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan
dukungan politisi. Pemilik media yang kebetulan aktor politik adalah
"patron" yang kuat. Mereka dapat menentukan apa yang bisa dan tidak
bisa diberitakan oleh medianya. Media yang berada dalam posisi ini lalu
menjadi seperti “klien” yang hanya bisa melakukan liputan sesuai apa
yang diperintahkan atau diarahkan. Media lalu dipolitisasi menjadi senjata
berbagai kelompok untuk saling menyerang.
Dalam situasi lain, dan juga seperti yang belakangan semakin sering
terjadi di Indonesia, sering kali pemilik media itu sendiri yang menjadi
politisi atau mencalonkan diri. Demikian pula, politisi membutuhkan
donor yang mendukung mereka sebagai kandidat dan juga platform yang

[ 58 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


memungkinkan mereka untuk bisa berkampanye. Pemilik media dan media
menyediakan saluran yang kemudian memungkinkan terjadinya koalisi
antara mereka dan berbagai aktor politik. Yang kemudian bisa kita lihat
melalui konsep klientelisme adalah bahwa jurnalis kemudian membangun
kedekatan dengan aktor-aktor politik tersebut atau kelompok kepentingan
yang berpengaruh.
Instrumentalisasi dapat menjelaskan kecenderungan media milik
pribadi melayani kepentingan politik pemiliknya. Ini terjadi ketika media
menjadi instrumen politik, ditandai dengan kurangnya otonomi ruang
redaksi yang dimiliki jurnalis, maka praktik jurnalistik sebuah media
akan lebih banyak bertumpu pada alasan-alasan politik alih-alih untuk
kepentingan publik.
Sebagaimana dikemukakan oleh Mancini (2012), paralelisme politik
dan instrumentalisasi memiliki perbedaan yang mendasar. Sementara
paralelisme politik terjadi dalam masyarakat dengan sejarah perpecahan
sosial yang kuat, instrumentalisasi hanya membatasi dirinya sendiri pada
bagaimana media digunakan untuk melayani kepentingan tertentu pemilik
media atau masalah tertentu. Namun paling tidak, kedua konsep tersebut
penting untuk menganalisis fenomena kebangkitan oligarki media yang
semakin terkonsentrasi di satu sisi dan kecenderungan menurunnya peran
partai politik di berbagai negara di dunia di sisi lain dan juga di Indonesia. 

Paralelisme ala Indonesia


Duncan McCargo (2012) pernah menyampaikan istilah yang ia
sebut sebagai partisanship polyvalence. Istilah ini ia gunakan untuk
mengontekstualisasikan paralelisme Hallin dan Mancini di luar negara-
negara barat yang punya tradisi dan karakter media yang berbeda. Dengan
begitu ia bisa digunakan untuk membaca lanskap media di Indonesia. 
Apa yang disebut McCargo sebagai partisanship polyvalence adalah
bahwa media tidak dapat dianggap sebagai satu kesatuan yang utuh. Alih-
alih satu kesatuan, perusahaan media adalah organisasi yang "berbicara
dengan bahasa bercabang dua atau lebih," (McCargo, 2012: 202). Media
bisa memiliki banyak suara di dalamnya.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 59 ]


Keberagaman suara tersebut membuat kita sulit untuk menyebut sebuah
media sebagai proxy dari partai politik atau kelompok kepentingan khusus,
sama seperti ketika kita mengkaji paralelisme partai pers Seymour-Uru.
McCargo benar ketika dia menyebutkan bahwa alih-alih berafiliasi secara
ideologis dengan partai politik, media di Asia lebih dekat hubungannya
dengan berbagai aktor politik yang ada. Seperti yang dikatakan McCargo
(2012: 208), "paralelisme politik dalam konteks Asia bukanlah tentang
ikatan organisasi formal, melainkan segala sesuatu yang berkaitan dengan
koneksi pribadi.”
Penjelasan tersebut penting untuk menjelaskan kondisi media di
Indonesia yang dari sisi sejarah, tidak punya tradisi media sebagai pilar
demokrasi yang netral, dan nonpartisan. Di era pergantian abad ke-
19 hingga ke-20, berbagai surat kabar yang kritis terhadap pemerintah
kolonial Belanda kemudian menjelma menjadi alat perjuangan yang
memiliki komitmen partisan untuk lepas dari belenggu penjajahan. Kelak,
peran berbagai surat kabar ini menjadi faktor penting dalam membentuk
apa yang oleh Ben Anderson (1983) disebut sebagai "komunitas yang
terbayang".
Pada 1950-an, Presiden Soekarno menyebut pers sebagai “alat
revolusi yang bertugas menggerakkan opini publik,” (Mariani, 2001).
Karenanya, jurnalis harus meningkatkan kesadaran masyarakat dalam
melawan kekuatan kontra-revolusioner. Di era ini, pasar media dikuasai
oleh media-media yang berafiliasi dengan partai politik dari berbagai
spektrum ideologis. Sebagaimana dicatat oleh Dhakidae (1991), 77,77%
pers berafiliasi dengan partai politik (28,57% komunis, 18,14% sosialis,
11,56% Islam, dan 19,5% nasionalis) sedangkan pers independen (tidak
berafiliasi dengan partai politik) berjumlah 22,22%. Harian Rakyat yang
berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia menjadi surat kabar terbesar
yang pernah beredar, mencapai 55.000 eksemplar per hari.
Dhakidae (1991) menyebut bahwa tradisi jurnalisme politik ini
sempat dibabat pasca-Tragedi 1965. Pemerintah Orde Baru mengikis akar
hubungan antara media dan partai politik atau dengan kata lain melakukan
depolitisasi media. Wajar jika di dekade ini jurnalisme politik di Indonesia
pelan-pelan runtuh diganti dengan fase industrialisasi media. Dalam fase

[ 60 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


ini, perubahan yang signifikan adalah pasar media dibiarkan berkembang
selama media tidak banyak menyentuh aspek politik dan apalagi bersikap
kritis terhadap pemerintah. Ironisnya, fase industrialisasi ini juga kelak
yang akan membangkitkan kembali jurnalisme politik di Indonesia. 
Seperti yang bisa kita lihat, Reformasi 1998 tidak mengubah struktur
pasar media yang sudah mapan. Struktur kepemilikan memang berubah,
tidak lagi didominasi kroni-kroni Soeharto. Namun, ada periode ini, apa
yang disebut nouveau riches muncul setelah runtuhnya rezim Orde Baru.
Mereka adalah generasi oligark yang tumbuh dan mendapatkan keuntungan
di era Soeharto yang kemudian di era reformasi mengontrol pasar media.
Para oligark ini memiliki pengaruh yang signifikan dalam politik
Indonesia (Tapsell, 2015a, 2017). Sulit untuk memahami Indonesia
kontemporer tanpa memahami cara kerja oligarki media. Untuk melihat
siapa saja para oligark media ini, kita dapat merujuk pada penelitian Lim
(2012) yang mencatat bahwa 13 kelompok menguasai kepemilikan media
di Indonesia sedangkan Nugroho (2012) menemukan bahwa 12 kelompok
signifikan menguasai hampir semua perusahaan media di Indonesia. Angka
tersebut menyempit menjadi delapan dalam buku Tapsell yang diterbitkan
pada 2017. Tapsell berpendapat bahwa mereka adalah kelompok yang
dibesarkan oleh sistem politik yang masih di bawah kendali oligarki Orde
Baru dan hukum Indonesia yang tidak ketat dalam membatasi kepemilikan
media.
Perbedaan jumlah kelompok media pada beberapa penelitian tersebut
terjadi karena perbedaan metode yang digunakan dalam penelitiannya
(Utomo, 2017). Sebagai contoh, studi Tapsell hanya melihat media yang
berfokus pada media dan yang memiliki pengaruh terhadap dunia politik
sehingga tidak memasukkan konglomerat (misalnya Grup Femina dan
Grup Mugi Rekso Abadi) yang masuk dalam studi Nugroho dan Lim.
Terlepas dari perbedaan jumlah yang pasti, para oligark media ini adalah
pemilik media yang memulai kepemilikan media mereka dari televisi dan
media cetak. Saat era digital tiba, mereka mulai mengintegrasikan media
mereka ke dalam berbagai platform. Dalam konteks jurnalisme politik,
kondisi ini membuat berita-berita menjadi jauh lebih partisan dan bias. 

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 61 ]


Bias yang dimaksud di sini tidak hanya berkaitan dengan mendukung
kepentingan partai politik tertentu. Lebih dari itu, memperjuangkan
kepentingan politik pemiliknya. Penelitian Heychael (2014a, 2014b)
menunjukkan bagaimana pemilik media pada pemilu 2014 dengan tanpa
malu mengalihkan dukungannya ke kandidat yang berbeda hanya karena
mereka berbeda posisi politik dengan pemiliknya.
Sebagai dijelaskan McCargo (2012), relasi antara pemilik media dan
partai politik atau kandidat tertentu dalam pemilihan umum ini tidak selalu
formal. Lebih sering yang terjadi adalah relasi informal. Dan pendulum
dukungan bisa berubah-ubah menyesuaikan dengan kepentingan politik
media saat itu. Media yang sebelumnya mendukung satu calon atau aktor
politik, bisa tiba-tiba mendukung aktor politik yang lain. 
Jika melihat catatan, kondisi tersebut tidak terlalu mengherankan.
Sejak rezim otoriter Orde Baru runtuh, setidaknya lima dari delapan pemilik
media terlibat dalam partai politik dan/atau pemerintahan. Misalnya Hary
Tanoe yang selain pernah mencalonkan diri sebagai calon presiden, ia
juga menjadi ketua partai politik Perindo, pemilik media yang menjadi
ketua partai politik adalah Surya Paloh (Metro TV dan Partai Nasdem)
dan Aburizal Bakrie (TV One dan mantan Ketua Umum Partai Golkar
2009–2014) serta beberapa pemilik media seperti Dahlan Iskan (Jawa Pos
Group) dan Chairul Tanjung (Trans Group) yang menjadi menteri dalam
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2009–2014. 
Sementara partai politik berusaha mendapatkan pemilih, oligark media
membentuk berita di Indonesia dengan sangat berpihak pada kelompok
kepentingannya masing-masing. Dengan kata lain, media menjadi proxy.
Benturan antara media dan kelompok kepentingan politik ini kerap
terjadi di masa pemilihan umum. Namun, dua dekade pasca-Reformasi
menunjukkan bahwa benturan ini kemudian melampaui periode pemilihan
umum dan berhubungan erat dengan situasi politik yang sedang terjadi. 
Dua dekade belakangan banyak melihat proses instrumentalisasi
media di mana sebuah media digunakan untuk melakukan serangan
terhadap lawan politik. Utomo (2018) menunjukkan bahwa serangan
politik ini juga melibatkan benturan sesama pemilik media. Salah satu
contoh terjadi di tahun 2016 dan 2017. Situasi politik Indonesia memanas

[ 62 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


karena kasus penistaan agama yang melibatkan mantan Gubernur Jakarta
Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa disebut Ahok menghasilkan
serangkaian demonstrasi besar-besaran di Jakarta. 
Dalam situasi tersebut, media Tirto menerjemahkan berita yang
dilakukan oleh wartawan investigasi Allan Nairn. Isi liputan tersebut cukup
mengejutkan elite politik karena menuduh berbagai gerakan demonstrasi
tersebut adalah upaya untuk melakukan kudeta atas pemerintah dan salah
satu yang diduga mendalanginya adalah Hary Tanoe dan Gatot Nurmantyo
yang saat itu menjadi Panglima TNI. Kabar ini sulit diverifikasi, tapi yang
menarik adalah melihat respons media-media MNC Group yang dimiliki
Hary Tanoe merespons berita tersebut. Dalam catatan Utomo (2018),
media seperti Okezone berusaha mendelegitimasi berita yang dimuat Tirto
tersebut dengan berbagai cara, dari menyebut bahwa Tirto tidak terdaftar
di Dewan Pers, yang artinya tidak layak disebut sebagai media, sampai
menyebut berita yang ditulis Allan Nairn tersebut bermasalah secara
jurnalistik. 
Yang penting untuk diperhatikan, berbagai berita tersebut menggunakan
narasumber dari partai Perindo, partai Hary Tanoe. Artinya, meski secara
organisasi tidak ada relasi formal antara media-media MNC Group dan
partai Perindo, secara isi pemberitaan sulit untuk tidak menyebut bahwa
media-media tersebut sedang memperjuangkan kepentingan partai politik
di mana Hary Tanoe menjadi ketua Perindo dan sekaligus pemilik media-
media di bawah MNC Group. 
Dalam peristiwa tersebut, media-media Surya Paloh, salah satu pemilik
media yang cukup berpengaruh di Indonesia di era pasca-1998, bersikap
sebaliknya yaitu dengan memberikan ruang yang cukup lebar terhadap
adanya dugaan kudeta atau makar. Strateginya secara jurnalistik, dengan
memberikan ruang lebar bagi berbagai pernyataan-pernyataan narasumber
khususnya yang berasal dari partai Nasdem, partai politik yang diketuai
oleh Surya Paloh. Dari contoh ini, sulit untuk tidak menyebut terjadinya
benturan kepentingan politik antara sesama pemilik media. Dan ia kerap
berulang di berbagai peristiwa yang lain. 
Pada titik ini, dalam kasus-kasus tertentu, terjadi klaim kebenaran
yang dilakukan oleh media sebagai bentuk dari ekspresi politik pemiliknya.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 63 ]


Klaim kebenaran penting untuk memahami bagaimana suatu peristiwa
dapat ditafsirkan secara berbeda. Media biasanya mengambil perspektif
berbeda dari sumber berbeda yang menjelaskan suatu peristiwa dari satu
sisi. Klaim acara tersebut secara positif mencerminkan relasi kuasa yang
ada di balik media. 
Sampai di sini, saya ingin mengatakan bahwa jurnalisme politik di
Indonesia yang pernah mengalami fase mati suri di masa Orde Baru yang
menandai tahap industrialisasi media, pelan-pelan semakin menguat.
Semakin menguatnya relasi media dan partai politik menunjukkan
kemiripan dengan sejarah Indonesia pada periode 1945–1965. Di era ini,
media secara struktural berafiliasi dengan partai politik dan menghasilkan
apa yang digambarkan oleh Seymour-Ure (1974) sebagai paralelisme
lengkap.
Seymour-Ure (1974: 193) menyatakan bahwa paralelisme lengkap
antara media dan partai politik akan terjadi jika tiga elemen terpenuhi.
Ketiga elemen tersebut adalah kedekatan formal atau informal antara
media dan partai politik, loyalitas media terhadap tujuan partai politik, dan
keberpihakan pembaca media.
Di Indonesia, kondisi politik dan lanskap industri media tidak pernah
memungkinkan terjadinya paralelisme lengkap. Muncul tuntutan dari
publik bahwa media harus objektif dan menjaga jarak dari kepentingan
partai politik. Namun dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, Indonesia telah
menunjukkan gejala-gejala yang mengindikasikan bahwa tren ini mulai
bergeser. Hubungan antara media dan partai politik semakin terikat secara
aktif baik secara formal maupun informal (Tapsell, 2017). Perlu ada studi
lebih lanjut untuk menguji apakah paralelisme lengkap juga akan muncul
kembali di Indonesia. Berdasarkan beberapa referensi (lihat misalnya Lim
2011; Tapsell, 2012, 2015a, 2015b, 2017), dan artikel ini, kecenderungan
ke arah paralelisme lengkap sangat mungkin terjadi.

[ 64 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


DAFTAR PUSTAKA

Blumler, J & Gurevitch, M. (1995). The Crisis of Public Communication.


London: Routledge.
Hallin, D & Mancini, P. (2004). Comparing Media Systems: Three Models
of Media and Politics. Cambridge: Cambridge University Press.
Hallin, D & Papathanassopoulos, S. (2002). “Political clientelism and
the media: southern Europe and Latin America in comparative
perspective”. Media, Culture & Society. 24 (2) pp. 175-195.
Heychael, M.. (2014a). Independensi Televisi Menjelang Pemilu Presiden
2014: Ketika Media Jadi Corong Kepentingan Politik Pemilik (Bagian
2). Jakarta: Remotivi.
Heychael, M. (2014b). Independensi Televisi Menjelang Pemilu Presiden
2014: Ketika Media Jadi Corong Kepentingan Politik Pemilik (Bagian
3). Jakarta: Remotivi.
Lim, M. (2012) The League of Thirteen: Media Concentration in Indonesia.
Report Ford Foundation. 
Dhakidae, D. (1991). “The State, the Rise of Capital and the Fall of Political
Journalism: Political Economy of the Indonesian News Industry”.
PhD thesis, Cornell University.
McCargo, D. (2012). “Partisan polyvalence: Characterizing the political
role of Asian media”. In D. Hallin & P. Mancini (Eds.), Comparing
media systems beyond the Western world. Cambridge: Cambridge
University Press.
Mancini, P. (2012). “Instrumentalization of the media vs political
parallelism”. Chinese Journal of Communication 5(3): 262–280.
Mariani, E. (2001). Vox Pers Vox Partai. [Online.] Bisa diakses di 
https://www.pantau.or.id/?/=d/31 
Nairn, A. (2017). “Investigasi Allan Nairn: Ahok Hanyalah Dalih untuk
Makar”. Bisa diakses di https://tirto.id/cm2X
Nugroho, Y, Putri, D.A. & Laksmi, S. (2012). Mapping the Landscape of
the Media Industry in Contemporary Indonesia. Jakarta: Centre for
Innovation Policy Governance.
Roniger, L, & Ayș e Güneș -Ayata (eds). (1994). Democracy, Clientelism,
and Civil Society. Boulder, Colo.: L. Rienner Publishers

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 65 ]


Stokes, S. (2011). “Political Clientelism”. In Goodin, R. The Oxford
Handbook of Political Science. Oxford: Oxford University Press.
Seymour-Ure C. (1974). The Political Impact of Mass Media. London/
Beverly Hills: Constable/Sage.
Tapsell, R. (2017). Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizen, and
Digital Revolution. London: Rowman Littlefield
Tapsell, R. (2015a). “Indonesia’s media oligarchy and the Jokowi
phenomenon”. Indonesia 99, April 2015, 29–42.
Tapsell, R. (2015b). “The media and subnational authoritarianism in
Papua”. Southeast Asia Research 23: 3, 319–334.
Tapsell, R. (2012a). “Old tricks in a new era: Self-censorship in Indonesian
journalism”. Asian Studies Review 36: 2, 27–245.
Tapsell, R. (2012b). “Politics and the press in Indonesia: Aburizal Bakrie,
the lapindo mudflow and the Surabaya post”. Media Asia 39, 2, 2012,
109–116.
Törnquist, O. (2004). “Labour and democracy? Reflections on the
Indonesian impasse”. Journal of Contemporary Asia, 34:3, 377-399
Utomo, WP. (2018). “Political Parallelism and the Rise of Media Oligarchs:
A Critical Discourse Analysis of the Indonesian media’s coverage of the
alleged coup”. Tesis di School of Media of Communication, University
of Leeds. Tidak dipublikasikan. 
Utomo, WP. (2017). “Media oligarchy and the shaping of news in
Indonesia”. Bisa diakses di   https://theconversation.com/media-
oligarchy-and-the-shaping-of-news- in-indonesia-89094
Voltmer, K. (2013). The media in transitional democracies. Cambridge,
UK: Polity.

[ 66 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


BAB 5
Kiprah Perempuan dalam Jurnalisme: Refleksi bagi
Jurnalis Perempuan Indonesia

Zainuddin Muda Z. Monggilo

Pengantar

B erdasarkan penelusuran kepustakaan ditemukan bahwasanya


keterlibatan perempuan dalam jurnalisme masih mengkhawatirkan.
Hal ini dilihat dari jumlah jurnalis perempuan yang masih kalah banyak
dengan jurnalis laki-laki baik di level global, regional, maupun nasional/
lokal. Tidak saja dari segi jumlah, posisi penting yang ditempati jurnalis
perempuan jika dibandingkan dengan jurnalis laki-laki dalam struktur
organisasi media pun masih lebih sedikit (Smirnova, 2013). Posisi
jurnalis perempuan yang berposisi sebagai wakil dan pemimpin redaksi
teridentifikasi lebih rendah jumlahnya dari jurnalis laki-laki (Lawi, 2020).
Jurnalis perempuan pun lekat dilabeli sejumlah stereotip yang semakin
mengganggu kredibilitas dan profesionalisme yang diupayakannya. Sebut
saja anggapan bahwa jurnalis perempuan cenderung memiliki daya tahan
yang lemah saat meliput peristiwa di lapangan, ditempatkan pada posisi
pemanis seperti sekretaris, promosi, pemasaran dan semacamnya, kerap
menjadi target pelecehan seksual (termasuk di dunia maya), hingga jerat
urusan domestik (berada di dua kaki dalam mengurus rumah tangga dan
pekerjaannya) (Geertsema‐Sligh, 2018; Hồng, Huế, Barnett, & Lee, 2016;
White, 2009). Akibatnya, jurnalisme kerap dipandang sebagai profesi
berkelamin laki-laki (Ruoho & Torkkola, 2018). 
Meski demikian, seiring dengan eksistensi masyarakat jaringan yang
semakin terbuka dengan (digitalisasi) informasi, nyatanya memberi warna
dan rupa tersendiri pada jejak karier perempuan di bidang jurnalistik.

[ 67 ]
Perempuan mulai eksis di berbagai susunan redaksi media daring. Walau
tidak banyak yang menempati posisi di level manajemen atas, tetapi
eksistensi perempuan seperti mulai terdongkrak. Atribusi byline dalam
berita cetak maupun daring serta penyematan direktori akses di dalamnya
sedianya menyediakan rekam jejak (digital) dari karya-karya jurnalis
perempuan. Meskipun jumlahnya belum cukup menggembirakan jika
dibandingkan dengan jurnalis laki-laki (Mullin, 2015; Ponsford, 2017),
tetapi keberadaannya diharapkan dapat mendorong apresiasi yang lebih
baik lagi. Tidak hanya itu, jurnalis perempuan pun mulai menunjukkan
eksistensinya dengan tergabung dalam kepengurusan serikat kerja internal
maupun eksternal media guna menyuarakan berbagai isu penting yang
dihadapi, termasuk penyetaraan gender bagi kaumnya. 
Mengutip pernyataan Najwa Shihab, "Saya melihat perempuan dan
dunia jurnalistik malah punya kelebihan sendiri. Jurnalis perempuan
itu biasanya lebih sensitif, lebih mudah berempati, lebih luwes untuk
berhubungan dengan orang, lebih bisa menangkap apa yang tersembunyi.
Jadi memiliki kemampuan yang bahkan membuatnya lebih istimewa ketika
melakukan profesinya” (Widiyarti, 2018). Tulisan ini diposisikan sebagai
studi literatur untuk menguraikan kiprah perempuan dalam jurnalisme.
Lingkup bahasannya dimulai dari pengantar untuk mendudukkan problem
yang dibahas lalu diikuti dengan diskursus perempuan dalam dimensi
kepemimpinan, represi/tekanan, rekam karier, dan urgensi kebangkitan
jurnalis perempuan dalam konteks global dan/atau nasional. Sebagai akhir,
diberikan catatan refleksi bagi kajian mendatang khususnya dari aspek
kontribusi pendidikan dan dinamika teknologi digital. Harapannya, tulisan
ini tidak saja dapat dijadikan sebagai kerangka refleksi untuk mendalami
lebih lanjut kajian serupa dalam konteks Indonesia—mengingat masih
minimnya kajian terkait—tetapi juga sebagai penyokong nilai-nilai
kesetaraan perempuan dalam profesi kewartawanan.

Jurnalis Perempuan dalam Kepemimpinan


Mengutip Global Report on the Status of Women in the News
Media oleh International Women’s Media Foundation (IWMF) (Byerly,
2011) dikemukakan bahwa 73% manajemen teratas dalam profesi media

[ 68 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


diduduki oleh laki-laki dan perempuan hanya sebesar 27%. Jurnalis laki-
laki pun memegang hampir dua pertiga pekerjaan, sementara perempuan
hanya sepertiga. Secara spesifik menurut laporan tersebut, di benua Asia
dan Oseania (dengan sampel negara Australia, Bangladesh, Tiongkok,
Fiji, India, Jepang, Selandia Baru, Pakistan, Filipina dan Korea Selatan),
jumlah jurnalis laki-laki sangat mendominasi dengan perbandingan 4:1. Di
Jepang, perbandingannya lebih ekstrem mencapai 6:1. Posisi laki-laki pun
hampir seluruhnya berada pada posisi pengambil keputusan. Sedangkan di
Tiongkok, Fiji dan Selandia Baru, jurnalis perempuan bisa sejajar dengan
jurnalis laki-laki dan bahkan bisa melebihi jumlahnya serta mencapai posisi
strategis di manajemen puncak (Byerly, 2011). Perusahaan yang disurvei
di Bangladesh dan Tiongkok pun baru mengadopsi sedikit saja kebijakan
untuk membangun kesetaraan gender dalam kepemimpinan media.
Sebaliknya, Fiji, Australia, India, dan Jepang masih dalam perjalanan yang
panjang dan berliku untuk mengadopsi kebijakan serupa (Byerly, 2011).
UNESCO Bangkok & UN Women Regional Office for Asia and the
Pacific (2015) dalam survei di tujuh negara Asia Pasifik (Kamboja, India,
Malaysia, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, dan Vanuatu) menemukan bahwa
kesetaraan gender dalam organisasi media masih belum merata. Hampir
separuh dari total responden yang bekerja di media menyatakan bahwa
kurang dari 10% perempuan menempati posisi di tingkat eksekutif maupun
tingkat editorial senior. Jika di peringkat berdasarkan kawasan, Asia
Tenggara (Kamboja dan Malaysia) menyumbang persentase terbanyak
(48,6%), diikuti oleh Asia Selatan (India, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka)
sebesar 37,2% dan 31,8% untuk Pasifik (Vanuatu).
Sayangnya, survei Reuters Insitutite for the Study of Journalism (RISJ)
yang dilakukan terhadap 200 media besar luring (TV, cetak, dan radio)
dan daring di empat benua (Asia, Afrika, Amerika, dan Eropa) kembali
menemukan bahwa jurnalis perempuan masih berjuang untuk menempati
posisi krusial dalam manajemen media. Temuan kuncinya: (i) hanya 23%
dari 40% jurnalis perempuan dapat menempati posisi puncak; (ii) jurnalis
laki-laki masih mendominasi posisi strategis di media—bahkan untuk
negara seperti Brasil dan Finlandia yang jumlah jurnalis perempuannya
lebih banyak daripada jurnalis laki-laki; (iv) persentase wanita di posisi
teratas sangat bervariasi dari pasar ke pasar—di Jepang misalnya tidak ada

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 69 ]


sama sekali jurnalis perempuan yang menempati posisi atas, sementara
di Afrika Selatan, 47% posisi puncak justru bisa diisi oleh perempuan;
(v) cenderung tidak ada korelasi yang signifikan antara ketidaksetaraan
gender di masyarakat dan persentase perempuan di posisi strategis di
media—negara-negara seperti Jerman dan Korea Selatan memiliki sedikit
perempuan yang menduduki jabatan kunci (Andi, Selva, & Nielsen, 2020). 

Jurnalis Perempuan dalam Represi


Tekanan lain yang dihadapi perempuan dalam kariernya sebagai
jurnalis tidak dapat diceraikan dari isu-isu terkait dukungan profesionalisme
kerja yang semestinya serta perlindungan dari pelecehan dalam kerja.
Dalam laporan UNESCO Bangkok & UN Women Regional Office for Asia
and the Pacific (2015) terkait kondisi dan kepuasaan kerja, menemukan
sebanyak 55,4% responden yang terlibat dalam riset merasa bahwa jurnalis
laki-laki dan perempuan menerima upah yang sama untuk pekerjaan yang
sama di dalam media. Walau begitu, jumlah ini tidak begitu signifikan
perbedaannya dengan mereka yang menjawab adanya kesenjangan upah.
Dalam indikator lainnya di laporan yang sama, lebih sedikit perempuan
yang menyatakan pernah menerima tawaran pelatihan peningkatan
kompetensi dibandingkan dengan laki-laki. Lalu hanya 2,9% saja yang
mengatakan tempat kerjanya menyediakan penitipan anak dan 30% yang
menilai cuti melahirkan dan masuk kembali setelahnya sebagai hal yang
lazim dan dapat diterima/dimaklumi. 
Sedangkan menurut kajian UNESCO ditegaskan bahwa perempuan
juga mengalami pelecehan dan kekerasan seksual secara daring (Ireton
& Posetti, 2018). Pelecehan yang lebih banyak dialami oleh jurnalis
perempuan dan bersifat misoginis di antaranya berupa unggahan konten
daring secara sengaja untuk menyinggung atau memprovokasi kemarahan
dan kebencian (hate trolling) (Posetti, 2018). Penelitian lainnya yang
dilakukan oleh lembaga think tank Inggris, Demos, pun menemukan
bahwa jurnalis perempuan lebih banyak menerima pelecehan daripada
jurnalis laki-laki dengan jumlah jurnalis dan presenter berita televisi
perempuan yang menerima kira-kira tiga kali lebih banyak pelecehan.

[ 70 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


Data ini didapatkan dari ratusan ribu dengan kata kunci seperti slut, rape,
whore atau pelacur dan pemerkosaan (Bartlett, Norrie, Patel, Rumpel, &
Wibberley, 2014). Ciri dari pelecehan daring jurnalis perempuan ialah
penggunaan taktik disinformasi yakni penyebaran kebohongan terkait
karakter atau pekerjaan jurnalis perempuan. Tujuannya untuk merusak
kredibilitas, mempermalukan, dan meredam suara dan peliputan mereka.
Hal ini kian diperparah dengan ancaman kekerasan seperti pemerkosaan
dan pembunuhan yang ditujukan secara organik, terorganisir, ataupun
robotik (Posetti, 2018).
Ironisnya, pelecehan seksual yang dialami oleh jurnalis perempuan
dilakukan oleh atasan (59%) dan oleh rekan kerja sendiri (51%) (UNESCO
Bangkok & UN Women Regional Office for Asia and the Pacific, 2015).
Hal ini diperparah dengan kurangnya kebijakan anti-pelecehan seksual di
tempat kerja dan masih ada pula jurnalis yang tidak memahami mekanisme
perlindungan diri dan pelaporannya. Hanya 24% jurnalis perempuan di
Asia Pasifik yang mengatakan ada kebijakan khusus gender dan dijalankan
dengan baik di tempat mereka bekerja. Bahkan 35% tidak menyadari
bahwa terdapat kebijakan semacam itu. Perasaan malu dan khawatir ketika
melaporkannya akan memengaruhi pekerjaan mereka serta takut akan
akibat yang lebih besar lagi adalah alasan-alasan yang sering dikemukakan
sehingga insiden tersebut tidak dapat diusut tuntas dan tenggelam begitu
saja dalam keheningan (UNESCO Bangkok & UN Women Regional Office
for Asia and the Pacific, 2015). 
Sementara dalam kaitannya dengan keseimbangan representasi
perempuan dalam konten media, mayoritas kehadiran perempuan sebagai
narasumber atau pakar dalam pemberitaan hanya berkisar antara 10–30%.
Perempuan juga dinilai paling sering digambarkan sebagai korban, tokoh
dalam keluarga, dan objek seksual (UNESCO Bangkok & UN Women
Regional Office for Asia and the Pacific, 2015). Sebagai akibatnya,
representasi gender perempuan sebagai figur yang kuat dan penting bagi
masyarakat semakin tergerus. 

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 71 ]


Menjejaki Kiprah Jurnalis Perempuan Indonesia 
Berdasarkan pemetaan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
tahun 2012 terkait kondisi kerja jurnalis perempuan di Indonesia diperoleh
kesimpulan umum bahwasanya proporsi jumlah jurnalis perempuan
masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah jurnalis laki-laki
(1:3 hingga 1:4) (Luviana, 2012). Penelitian terakhir yang dilakukan
AJI Indonesia (2016) pada sebuah kantor pengelola radio pemerintah
semakin menegaskan bahwa tidak saja jumlah karyawan laki-laki (55%)
yang lebih banyak dari jumlah perempuan (45%), tetapi juga pada posisi
jabatan struktural yang baru diisi sekitar 300 posisi oleh perempuan (dari
900 jabatan struktural yang tersedia)—itupun lebih banyak pada level
administratif, bukan pada pengambilan kebijakan. Kondisi ini diperparah
dengan adanya penetapan ikatan kerja kontraktual yang berdampak
pada terbatasnya peluang pengembangan karier pekerja perempuan (AJI
Indonesia, 2016). 
Dalam kaitannya dengan jenjang karier pekerja media, perempuan
memang memosisikan dirinya berbeda dari laki-laki dalam hal yang lebih
positif—misalnya mengenai kesempatan yang setara bagi dirinya dengan
pekerja media laki-laki. Akan tetapi, pengupayaan kesetaraan ini kerap
berbenturan dengan posisinya sebagai ibu dan istri yang mengasuh anak
dan mengurus rumah tangga. Perempuan masih cenderung memilih untuk
berhenti dari pekerjaannya ketika pilihan dilematis antara rumah tangga
dan pekerjaan dihadapkan padanya (Herawati, 2016; Stellarosa & Silaban,
2019). Sebagai implikasinya, jurnalis perempuan belum banyak yang
menduduki posisi strategis selaku pengambil kebijakan (Luviana, 2012). 
Diskriminasi dan pelecehan/kekerasan dalam peliputan juga masih
lebih sering dialami dibandingkan para jurnalis laki-laki (Luviana, 2012).
Tidak saja oleh atasan atau rekan kerja, pelecehan pun dilakukan oleh
narasumber (Halidi & Varwati, 2020). Misalnya adalah tiga kasus yang
menimpa empat jurnalis perempuan di kantor berita Antara (Jakarta),
seorang reporter magang perempuan di Radar Ngawi (Jawa Timur), dan
seorang jurnalis perempuan saat peliputan di Medan (Sumatera Utara).
Kasus di Jakarta dan Ngawi dilakukan oleh atasan mereka sendiri,
sedangkan di Medan dilakukan oleh aparat TNI Angkatan Udara (AJI

[ 72 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


Indonesia, 2018). Kasus tersebut belum termasuk kasus-kasus kekerasan
terhadap jurnalis perempuan yang belum terungkap (AJI Indonesia, 2017).
Pelaporan dan pengusutan menjadi sulit ketika pelaku pelecehan atau
intimidasi adalah atasannya sendiri sebab pada atasannya lah sesungguhnya
titik kunci dari persoalan ini (AJI Indonesia, 2016).
Ketimpangan yang diterima jurnalis perempuan masih ditambah
dengan perbedaan fasilitas yang diterima, terutama dalam fasilitas
kesehatan. Masih jarang ditemukan kebijakan reproduksi seperti kebijakan
cuti haid dan menyusui serta fasilitas-fasilitas yang menunjang hal tersebut
bagi perempuan. Dengan kata lain, sebagian besar media di Indonesia
belum menganggap hal ini sebagai dimensi penting yang perlu diatur
sedemikian rupa guna menyokong perlakuan jelas terhadap dedikasi dan
profesionalisme kerja jurnalis perempuan (Luviana, 2012). Belum lagi
menyinggung kasus khusus ketika jurnalis perempuan harus meliput ke
lapangan walau minim dukungan alat pelindung diri di tengah pandemi
Covid-19—dan menelan pahit perlakuan diskriminatif dari warga sebagai
pembawa virus (Agustine, 2020; Monggilo, 2020). 
Perempuan pekerja media sering kali diberikan status lajang walau
sudah menikah dan memiliki anak agar tidak mendapatkan asuransi untuk
anak-anaknya (Victoria, 2020). Tidak jarang karena memiliki anak, jurnalis
perempuan dipindahkan ke agenda liputan yang lebih ringan atau santai,
sedangkan kanal peliputan politik atau hukum yang dirasa lebih berat
dipercayakan pada jurnalis laki-laki (Halidi & Varwati, 2020). Apalagi
pengotakan peliputan semacam ini didalihkan karena urusan domestik dapat
menguras waktu dan tenaga (Stellarosa & Silaban, 2019). Artinya bahwa
perlakuan khusus ini tidak diberikan atas dasar pertimbangan kompetensi
atau kapabilitas, tetapi lebih pada alasan yang kian melanggengkan bias
dan stereotip gender. 
Hal senada pun diungkapkan oleh Ketua Divisi Gender, Anak, dan
Kelompok Marjinal AJI Indonesia, Endah Lismartini. Menurutnya, dari
data Indeks Pemberdayaan Gender dan laporan perekonomian Badan Pusat
Statistik (BPS) tahun 2019, dukungan atas perempuan sebagai pekerja
profesional masih belum memuaskan. Bahkan terdapat kesenjangan yang
cukup lebar antara pemberian upah kerja antara pekerja laki-laki dan

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 73 ]


pekerja perempuan, kesempatan yang lebih kecil bagi jurnalis perempuan
untuk merasakan jenjang karier yang lebih tinggi dibanding laki-laki, serta
fasilitas lain yang belum dioptimalkan untuk pekerja perempuan (Victoria,
2020). Fasilitas itu seperti tersedianya transportasi yang nyaman dan aman
di saat peliputan malam hari serta pelibatan dalam pelatihan gender dan
organisasi/asosiasi jurnalis (Luviana, 2020).

Kebangkitan Jurnalis Perempuan Indonesia: Bukan


Seremonial Belaka
Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh
setiap 8 Maret, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia menggelar
helatan bertajuk Successes and Challenges of Women Journalist in
Indonesia (Berty, 2019). Acara ini menghadirkan tiga jurnalis perempuan
di posisi yang cukup rentan dan biasanya diisi oleh jurnalis pria, yakni Adek
Berry (jurnalis foto AFP yang meliput konflik Pakistan dan Afghanistan),
Hanna Fauzie (jurnalis olahraga Koran Sindo), dan Maria Rita Hasugian
(jurnalis liputan konflik Tempo). Hal positif yang disampaikan dari ketiga
jurnalis ini adalah menyoal dedikasi dan komitmen mereka terhadap
pekerjaannya serta pengakuan atas intelektualitas yang dinilai lebih baik
jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya (Berty, 2019). Dari
hal ini, dapat dikatakan bahwa di tengah keterbatasan dan tekanan yang
dihadapi jurnalis perempuan dalam pekerjaannya, terdapat sisi positif dan
inspiratif lainnya yang kerap terabaikan. 
Acara lain yang diadakan oleh Forum Jurnalis Perempuan Indonesia
(FJPI) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak (KPPPA) mengundang tiga jurnalis perempuan pada posisi puncak
sebagai pemimpin redaksi (pimred) yakni Rosiana Silalahi (Kompas TV),
Irna Gustiawati (Liputan6.com) dan Uni Zulfiani Lubis (IDN Times).
Pada kesempatan ini Rosiana menyatakan bahwa terdapat 15 orang
pimred perempuan yang tergabung dalam Forum Pimred (Riaunin, 2020;
Zulfikar, 2020). Irna menimpali bahwa walaupun komposisi laki-laki
dan perempuan di ruang redaksi mereka mencapai 55% dan 45%, tetapi
pemilihan posisi strategis sama sekali tidak melihat gender. Sedangkan
bagi Uni yang sekaligus menjabat sebagai ketua umum Forum Jurnalis

[ 74 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


Perempuan Indonesia (FJPI), kesetaraan gender dalam ruang redaksi
tidak berarti bahwa perempuan meminta perlakuan istimewa, tetapi agar
perempuan lebih tangguh dan berdaya saing tinggi (Riauin, 2020; Zulfikar,
2020). 
Dalam meningkatkan daya saingnya, menurut Titin Rosmasari
(Pimred Trans7 dan CNN Indonesia), jurnalis perempuan perlu beradaptasi
dengan perkembangan teknologi yang cepat. Keterampilan teknologi
juga perlu kian ditingkatkan untuk bisa sukses di era revolusi industri 4.0
(Risanta, 2020). Tambahnya, walaupun perbandingan pekerja laki-laki
dan perempuan di ruang redaksi Trans7 dan CNN Indonesia ialah antara
60%:50%, tetapi seiring berjalannya waktu, tersisa sekitar 20% saja jurnalis
perempuan yang bertahan dan lainnya berhenti karena berbagai alasan.
Padahal menurutnya, perempuan dapat bekerja lebih unggul daripada laki-
laki karena memiliki kelebihan dalam komunikasi verbal, multitasking,
ekspresif, serta berempati tinggi (FJPI, 2020).  
Langkah yang cukup sering direkomendasikan untuk dapat
mendongkrak kiprah serta kebijakan perlindungan perempuan dalam
profesi jurnalisme ialah antara lain dengan melibatkan lebih banyak
perempuan dalam pekerjaan media di setiap tingkat, mendorong lebih
banyak perempuan dalam peran pengambilan keputusan, dan serikat
pekerja serta organisasi jurnalis juga dinilai harus bekerja lebih banyak
untuk mendorong kesetaraan gender ini (Hồng, Huế, Barnett, & Lee,
2016). Era digital bahkan membuka kemungkinan advokasi digital yang
lebih luas dan masif untuk menggaungkan problem-problem perempuan
dalam jurnalisme (Winarnita, Mintarsih, & Bahfen, 2020). Penegakan
hukum yang lebih kuat juga merupakan strategi yang terus disuarakan
untuk memerangi pelecehan seksual secara efektif, selain dari peningkatan
kesadaran di antara jurnalis perempuan serta mekanisme pengaduan yang
terjamin (AJI Indonesia, 2016, 2017, 2018). 
Sebagaimana yang dikatakan oleh Mantan Presiden Perempuan
Pertama Finlandia Tarja Halonen, “All nations have their own traditions,
and gender stereotypes are part of it. But it is good to remember that they are
made by people and can be reformed by people” (Council of Europe, 2016),
kiprah perempuan dalam bidang ini tidak disangkal masih terkungkung

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 75 ]


oleh stereotip. Olehnya itu, bangkitnya sepak terjang perempuan dalam
jurnalisme di Indonesia sudah seharusnya bukan saja diperingati sebagai
seremonial semata, tetapi dirayakan sebagai keniscayaan dengan
meruntuhkan setiap bias dan penyimpangan stereotip terhadapnya secara
bersama-sama oleh berbagai kalangan.

Penutup
Refleksi lainnya yang dapat diberikan untuk melengkapi hasil kajian
dan riset terkait yang telah dikemukakan di antaranya adalah menyangkut
aspek pendidikan dan teknologi digital. Keduanya dipandang sebagai faktor
penentu yang terus bergerak seiring dengan perubahan yang juga terjadi
dalam memahami fenomena perempuan dan jurnalisme, termasuk dalam
kaitannya dengan kepemimpinan dan represi yang masih terus dialami.
Pendidikan secara taktis dikaitkan dengan bagaimana perguruan tinggi
menyiapkan lulusan/jurnalis masa depan yang berkualitas tanpa dikotomi
gender. Sedangkan teknologi secara teknis dikaitkan dengan kemampuan
beradaptasi dengan inovasi teknologi yang bisa dimanfaatkan dengan baik
oleh jurnalis perempuan secara khusus.
Pertama, perguruan tinggi yang mengajarkan komunikasi secara
umum maupun spesifik pada jurnalisme turut berkontribusi dalam mencetak
jurnalis masa depan yang siap kerja, tidak peduli laki-laki atau perempuan.
Namun begitu, jumlah lulusan yang belajar jurnalisme di pendidikan tinggi
(level diploma dan sarjana) tidak selalu akan meneruskan kariernya secara
linear yaitu di bidang jurnalistik dan media. Belum lagi, jika dikaitkan
dengan jumlah lulusan perempuan yang ketika berkarier di bidang ini
cenderung menghadapi lebih banyak hambatan daripada lulusan laki-laki
(Franks, 2013). Bahkan, walau pendidikan jurnalisme terus berkembang,
perempuan yang menjadi jurnalis masih menunjukkan jumlah yang
cenderung stagnan dengan lebih banyak diisi oleh jurnalis muda dengan
masa kerja yang cenderung singkat (Figaro, 2018). Hal ini pun sayangnya
masih dapat ditemui dalam pendidikan jurnalisme di Indonesia. Sekretaris
Jenderal AJI Indonesia Ika Ningtyas mengatakan bahwa jumlah jurnalis
perempuan Indonesia yang masih minim diharapkan bisa meningkat
seiring dengan dirawatnya minat dan tekad yang bulat dari pembelajar

[ 76 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


perempuan sedari menempuh pendidikan di kampus (Panama, 2021). Jika
sudah begini, pendidikan tinggi memegang peranan yang signifikan untuk
menyiapkan calon jurnalis perempuan yang tangguh melalui dukungan
materi pembelajaran yang relevan dan sarat nilai moral nan etis seperti
penyetaraan dan pemberdayaan.
Kedua, bila dikaitkan dengan perkembangan teknologi digital, jurnalis
perempuan dihadapkan dengan kondisi simalakama, yakni terfasilitasi
dalam mengeksplorasi serta mengekspresikan dirinya, tetapi juga di saat
yang bersamaan dapat terpapar berbagai bentuk kekerasan gender berbasis
online (KBGO), yakni kekerasan yang diniatkan menyerang secara seksual
atau gender di ranah daring semisal pencemaran nama baik, peretasan,
konten ilegal, pelanggaran privasi yang meningkat seiring dengan
terbukanya akses dan meningkatnya penggunaan internet sebagai salah
satu bentuk teknologi digital (Komnas Perempuan, 2021; Ridhoi, 2020;
SAFEnet, 2019). Bahkan laporan terbaru UNESCO menyatakan bahwa
serangan online terhadap jurnalis perempuan meningkat secara signifikan di
masa pandemi COVID-19 (Sani, 2021). Termasuk di Indonesia, survei AJI
Indonesia pada Agustus 2020 bahwa dari 31 jurnalis perempuan, sebanyak
25 orang mengalami kekerasan seksual. Artinya, dibutuhkan kajian lebih
lanjut untuk menelaah interkoneksi antara pemanfaatan teknologi, jurnalis
perempuan, dan aktivisme digital untuk mendorong tumbuhnya iklim
digital yang suportif dengan literasi digital yang mendukung di dalamnya.
Perempuan dan jurnalisme adalah topik yang tidak usang ditelan
zaman dan karenanya dibutuhkan kontinuitas kajian yang sedianya tidak
saja dilihat dari satu sudut pandang yaitu komunikasi semata. Akan tetapi,
kajian terhadapnya juga perlu dilakukan dari sisi lainnya di antaranya
sosiologi, politik, kebudayaan, psikologi, ekonomi, dan lainnya sehingga
dapat dihasilkan temuan yang lebih holistik dan mampu memberikan
solusi konkret atas persoalan yang terjadi. Pada akhirnya, penulis percaya
bahwa jurnalis perempuan saat ini dan masa mendatang akan lebih berdaya
dan bisa mewujudkan posisi setara yang lebih baik untuk dirinya, sesama
rekan perempuannya, dan bahkan lebih luas lagi untuk komunitas tempat
bekerja dan masyarakat. Masa itu akan segera datang.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 77 ]


DAFTAR PUSTAKA

Agustine, F. P. (2020). “Miris, belum positif Covid-19 tapi dikucilkan”.


Ayopurwakarta.com. Retrieved from http://www.ayopurwakarta.com/
read/2020/04/02/4668/miris-belum-positif-covid-19-tapi-dikucilkan
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. (2016). “Pekerja perempuan
di media massa masih banyak alami diskriminasi”. Retrieved from
https://www.aji.or.id/read/press-release/491/pekerjaperempuan-di-
media-massa-masih-banyak-alami-
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. (2017). “Stop kekerasan
seksual, penuhi hak jurnalis perempuan di ruang kerja”. Retrieved
from https://aji.or.id/read/berita/622/stop-kekerasan-seksual-penuhi-
hak-jurnalis-perempuan-di-ruang-kerja.html
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. (2018). “Catatan akhir tahun
2018: Jurnalis dibayangi persekusi dan kekerasan fisik”. Retrieved
from https://aji.or.id/read/press-release/887/catatan-akhir-tahun-
2018-jurnalis-dibayangi-persekusi-dan-kekerasan-fisik.html
Andi, S., Selva, M., & Nielsen R. K. (2020). “Women and leadership in
the news media 2020: Evidence from ten markets”. Retrieved from
https://reutersinstitute.politics.ox.ac.uk/women-and-leadership-news-
media-2020-evidence-ten-markets
Bartlett, J.; Norrie, R., Patel, S.; Rumpel, R. & Wibberley, S. (2014).
“Misogyny on Twitter”. Retrieved from https://www.demos.co.uk/
files/MISOGYNY_ON_TWITTER.pdf
Berty, T. T. S. (2019). “Hari perempuan internasional, 3 jurnalis wanita
bicara soal kesetaraan”. Liputan6.com. Retrieved from https://www.
liputan6.com/global/read/3915286/hari-perempuan-internasional-3-
jurnalis-wanita-bicara-soal-kesetaraan
Byerly, C. M. (2011). Global report on the status of women in the news
media. Washington DC: International Women’s Media Foundation.
Council of Europe. (2016). “Combating gender stereotyping and sexism
in the media”. Retrieved from https://edoc.coe.int/en/gender-

[ 78 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


equality/6945-combating-gender-stereotyping-and-sexism-in-the-
media.html
Figaro, R. (2018). “The world of work of female journalists: Feminism and
professional discrimination”. Brazilian Journalism Research, 14(2),
546-567. https://doi.org/10.25200/BJR.v14n2.2018.1052
Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI). (2020). “Pimred Trans7 dan
CNN berbagai kisah sukses pimpin medianya di era 4.0”. Retrieved
from http://fjpindonesia.com/pimred-trans-7-dan-cnn-berbagi-kisah-
sukses-pimpin-medianya-di-era-4-0/
Franks, S. (2013). Women and journalism. London: I.B. Tauris & Co. Ltd.
Geertsema‐Sligh, M. (2018). “Gender issues in news coverage”. In T.P.
Vos, F. Hanusch, D. Dimitrakopoulou, M. Geertsema-Sligh, & A.
Sehl (Eds.), The International Encyclopedia of Journalism Studies
(pp. 1-8). Retrieved from https://doi.org/10.1002/9781118841570.
iejs0162
Halidi, R. & Varwati, L. (2020). “Bentuk diskriminasi kerja pada jurnalis
perempuan versi AJI, apa saja?”. Suara.com. Retrieved from https://
www.suara.com/lifestyle/2020/03/08/195000/bentuk-diskriminasi-
kerja-pada-jurnalis-perempuan-versi-aji-apa-saja?page=1
Herawati, M. (2016). “Pemaknaan gender perempuan pekerja media”.
Jurnal Kajian Komunikasi, 4(1), 85-95. http://dx.doi.org/10.24198/
jkk.v4i1.7851.
Hồng, V. T., Huế, D. T., Barnett, B., & Lee, T. T. (2016). Gender stereotypes
against female leaders in the Vietnamese media. Vietnam: Oxfam.
Retrieved from https://vietnam.oxfam.org/sites/vietnam.oxfam.org/
files/file_attachments/Full%20Report%20EN.pdf
Ireton, C. & Posetti, J. (2018). Journalism, ‘fake news’ & disinformation.
Paris: UNESCO.  
Komnas Perempuan. (2021). “Perempuan dalam himpitan pandemi:
Lonjakan kekerasan seksual, kekerasan siber, perkawinan anak,
dan keterbatasan penanganan di tengah covid-19 - catatan
kekerasan terhadap perempuan tahun 2020”. Retrieved from https://
komnasperempuan.go.id/uploadedFiles/1466.1614933645.pdf

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 79 ]


Lawi, G. F. K. (2020). “Asosiasi jurnalis belum berkomitmen pada
kesetaraan gender”. Bisnis Indonesia. Retrieved from https://lifestyle.
bisnis.com/read/20200308/219/1210588/asosiasi-jurnalis-belum-
berkomitmen-pada-kesetaraan-gender
Luviana. (2012). Jejak jurnalis perempuan: Pemetaan kondisi kerja
jurnalis perempuan di Indonesia. Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen
(AJI) Indonesia. Retrieved from https://aji.or.id/read/buku/6/jejak-
jurnalis-perempuan.html
Monggilo, Z. M. Z. (2020). “Jurnalis Indonesia di masa pandemi covid-19:
Kisah profesi dan catatan harapan”. In Nurudin, D. H. Santoso, & F.
Junaedi (Eds.), Media, komunikasi dan informasi di masa pandemi
covid-19 (pp. 495-513). Yogyakarta: MBridge Press. 
Mullin, B. (2015). “Male bylines outnumber female ones at major U.S.
news outlets, report finds”. Retrieved from https://www.poynter.org/
reporting-editing/2015/male-bylines-outnumber-female-ones-at-
major-news-outlets-report-finds/
Panama, N. (2021, April 3). “AJI: Waspadai kekerasan terhadap jurnalis
perempuan”. Antaranews.com. Retrieved from https://www.
antaranews.com/berita/2079046/aji-waspadai-kekerasan-terhadap-
jurnalis-perempuan
Ponsford, D. (2017). “Study finds little change in five years as male bylines
dominate UK national newspaper front pages”. Retrieved from https://
www.pressgazette.co.uk/study-finds-little-change-in-five-years-as-
male-bylines-dominate-uk-national-newspaper-front-pages/
Posetti, J. (2018). “Module 7: Combatting online abuse: When journalists
and their sources are targeted”. In C. Ireton & J. Posetti (Eds.),
Journalism, ‘fake news’ & disinformation (pp.115-128). Paris:
UNESCO. 
Riaunin. (2020, August 13). “3 pemred perempuan berbagi cerita
tentang kesetaraan gender di ruang redaksi”. Riauin.com. Retrieved
from https://www.riauin.com/read-16376-2020-08-13-3-pemred-
perempuan-berbagi-cerita-tentang-kesetaraan-gender-di-ruang-
redaksi%C2%A0.html

[ 80 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


Ridhoi, M. A. (2020). “Kekerasan terhadap perempuan di masa
covid-19”. Katadata.com. Retrieved from https://katadata.co.id/
muhammadridhoi/analisisdata/5f69619121b54/kekerasan-terhadap-
perempuan-di-masa-covid-19
Risanta, M. (2020). “Titin Rosmasari bicara peran jurnalis perempuan
di era digital. Detik.com”. Retrieved from https://news.detik.com/
berita/d-4892443/titin-rosmasari-bicara-peran-jurnalis-perempuan-
di-era-digital
Ruoho, I. & Torkkola, S. (2018). “Journalism and gender: Toward a
multidimensional approach”. Nordicom Review, 39(1), 67-79. https://
doi.org/10.2478/nor-2018-0002.
SAFEnet. (2019). “Memahami dan menyikapi kekerasan berbasis gender
online: Sebuah panduan”. Retrieved from https://id.safenet.or.id/wp-
content/uploads/2019/11/Panduan-KBGO-v2.pdf
Sani, A. F. I. (2021, Mei 1). “UNESCO: Tiga perempat jurnalis perempuan
alami kekerasan secara daring”. Tempo.co. Retrieved from https://
dunia.tempo.co/read/1458243/unesco-tiga-perempat-jurnalis-
perempuan-alami-kekerasan-secara-daring/full&view=ok
Smirnova, O. V. (2013). “Women’s advancement in journalism:
Psychological characteristics”. Psychology in Russia: State of the art,
6(1), 119-127. https://doi.org/10.11621/pir.2013.0111
Stellarosa, Y. & Silaban, M. W. (2019). “Perempuan, media dan profesi
jurnalis”. Jurnal Kajian Komunikasi, 7(1), 97-109. https://doi.
org/10.24198/jkk.v7i1.18844
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
(UNESCO) Bangkok Office & UN Women Regional Office for Asia
and the Pacific. (2015). Inside the news: Challenges and aspirations
of women journalists in Asia and the Pacific. Thailand: UNESCO
Bangkok.
Victoria, A. O. (2020). “AJI: Masih ada ketidaksetaraan gender dalam dunia
jurnalistik”. Katadata.com. Retrieved from https://katadata.co.id/
sortatobing/berita/5e9a470c9bea0/aji-masih-ada-ketidaksetaraan-
gender-dalam-dunia-jurnalistik

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 81 ]


White, A. (2009). Getting the balance right: Gender equality in journalism.
Belgium: International Federation of Journalists.  Retrieved from
https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000180707
Widiyarti, Y. (2018). “Najwa Shihab ungkap tantangan jurnalis perempuan.
Tempo.co”. Retrieved from https://cantik.tempo.co/read/1156990/
najwa-shihab-ungkap-tantangan-jurnalis-perempuan/full&view=ok
Winarnita, M., Mintarsih, A. R., & Bahfen, N. (2020). “How Indonesian
female journalists take part in gender activism: The line between
journalism and advocacy”. Theconversation.com. Retrieved from
https://theconversation.com/how-indonesian-female-journalists-
take-part-in-gender-activism-the-line-between-journalism-and-
advocacy-148535 
Zulfikar, M. (2020). “Jurnalis: Tidak ada perbedaaan gender dunia
jurnalistik Indonesia”. Antaranews.com. Retrieved from https://
www.antaranews.com/berita/1666862/jurnalis-tidak-ada-perbedaaan-
gender-dunia-jurnalistik-indonesia

[ 82 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


PUBLIC RELATIONS:
DARI PERSPEKTIF
PRAKTIS MENUJU
KAJIAN AKADEMIK
Public relations mengalami metamorfosis yang unik sejak
menjadi instrumen praktis dunia industri, hingga menjadi
objek kajian dari perspektif akademis. Fakta minimnya
apresiasi terhadap kajian public relations dibahas dalam
sebuah logika interelasi antara kondisi industri dan
kondisi akademis berbasis konteks historis Amerika.
Fakta lain yang sangat menarik adalah pemanfaatan
fungsi-fungsi public relations ke dalam banyak aspek
kehidupan konkret. Seperti dalam praktek komunikasi
pemasaran, dan komunikasi politik. Gejala ini membuat
dunia public relations berada dalam situasi unik. Di tengah
kurang apresiatifnya perspektif akademis untuk menelaah
praktek public relations, justru adopsi beragam teknik dan
penerapan public relations ke dalam berbagai keahlian
teknis menjadi tantangan tersendiri bagi akademisi.
BAB 6
Memperkaya Kajian Public Relations di Indonesia

I Gusti Ngurah Putra

Pengantar

P ublic relations sebagai sebuah disiplin akademik di Indonesia selama


ini cenderung ditempatkan sebagai disiplin keilmuan yang lebih
berorientasi praktis daripada akademis. Mereka yang menempuh atau
mengambil program studi public relations kebanyakan setelah lulus ingin
menjadi praktisi atau bekerja di bidang public relations atau hubungan
masyarakat. Sering juga pendidikan dalam bidang public relations
disebut sebagai pendidikan profesional dengan syarat antara lain adanya
pengembangan basis body of knowledge (Broom & Sha, 2013:138) melalui
riset dengan harapan dari pendidikan ini akan lahir para pelaku profesi
bidang public relations. Sayangnya, jika di beberapa negara riset untuk
menghasilkan “body of knowledge” sudah berlangsung cukup lama (lihat
misalnya Grunig, 2006), di Indonesia riset untuk pengembangan “body
of knowledge” masih sangat terbatas, jika tidak ingin mengatakan tidak
ada. Dalam posisi demikian, riset-riset yang dikembangkan juga lebih
berorientasi pada kepentingan praktis dengan melihat public relations
semata-mata sebagai praktik komunikasi dalam konteks pengembangan
organisasi bisnis atau organisasi politik terutama pemerintah. Intinya,
bagaimana riset dikembangkan untuk membuat praktik public relations
lebih efektif bagi organisasi, sehingga public relations menjadi sangat
corporate centric (Mackey, 2011).
Dengan melihat public relations seperti itu, ada dampak serius
terhadap keberadaan public relations sebagai disiplin keilmuan. Pertama,
secara akademik, public relations tidak memperoleh penerimaan sebagai
disiplin bergengsi yang bisa menarik orang-orang untuk menekuni disiplin

[ 84 ]
public relations. Apalagi ketika dalam dunia praktik para praktisi public
relations juga tidak menempati posisi-posisi penting dalam manajemen
dan cenderung menjadi bagian yang melegitimasi praktik-praktik tidak etis
dalam bisnis seperti melakukan window dressing, spinning the issue, dan
sejenisnya (Coombs & Holladay, 2014) sehingga cibiran negatif terhadap
public relations sebagai sebuah praktik komunikasi dianggap hal yang
layak diterima. Kedua, pengembangan riset dalam public relations tidak
memperoleh tempat layak dalam pertarungan wacana akademik di jurnal-
jurnal akademik yang berreputasi tinggi. Ketiga, tidak banyak mereka
yang memiliki kualifikasi yang bagus untuk tertarik berkarier dalam dunia
akademik public relations seperti halnya mereka yang tertarik pada disiplin
lain, walau dalam waktu belakangan sudah mulai muncul generasi-generasi
baru yang tertarik untuk mengembangkan riset-riset public relations yang
berorientasi akademis.
Dalam usaha memberi ruang yang lebih baik kepada disiplin public
relations sebagai kajian akademik dan meningkatkan kualitas riset
sebagai pengembangan keilmuan public relations tulisan ini mengusulkan
pentingnya menempatkan public relations dalam tempat yang lebih
terbuka dengan melihat public relations tidak semata-mata sebagai praktik
komunikasi hanya dilakukan oleh korporasi/perusahaan besar dan atau
pemerintah, tetapi sebagai praktik komunikasi yang bisa dilakukan oleh
siapa saja dalam memperjuangkan kepentingan mereka di arena atau pasar
gagasan dalam negara demokratis (lihat misalnya Coombs & Holladay,
2014). Pengembangan riset public relations yang terlalu corporate centris
dengan pendekatan yang terbatas terutama pada pendekatan manajemen
strategis seperti yang dilakukan Grunig (2018). Grunig & Grunig (2000)
juga ikut membatasi pengembangan public relations sebagai sebuah
disiplin akademik yang bergengsi yang tidak semata-mata untuk melayani
kepentingan korporasi tetapi juga melakukan emansipasi kemanusiaan.
Oleh karena itu, tulisan ini akan me-review berbagai pendekatan yang
telah dikembangkan oleh berbagai sarjana di berbagai tempat sehingga
mampu menghasilkan riset dalam bidang public relations yang lebih
bervariasi dan kaya perspektif. Tulisan ini akan dibagi ke dalam dua
bagian, yakni pembahasan dominannya pengaruh Amerika Serikat dalam
pengembangan disiplin public relations yang sayangnya pengaruh itu

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 85 ]


tidak memberi perspektif yang lebih variatif dalam pengembangan disiplin
public relations. Meninjau secara terbatas riset-riset public relations di
Indonesia untuk menunjukkan terbatasnya pendekatan dalam riset public
relations dan mengajukan rekomendasi untuk pengembangan disiplin
public relations di Indonesia.

Pengaruh Amerika Serikat dalam Disiplin Public Relations


Tidak dapat dipungkiri di Indonesia bahkan di beberapa negara
disiplin public relations sangat dipengaruhi oleh perkembangan disiplin
public relations di Amerika Serikat, terutama melalui buku-buku teks yang
sebagian besar masih mengacu pada buku teks terbitan Amerika Serikat
melalui buku seperti Effective Public Relations karangan Cutlip & Center
(1982) yang terakhir menjadi Cutlip & Center’s Effective Public Relations
(Broom & Sha, 2013) atau buku karangan Wilcox dan kawan-kawan
Public Relations: Strategies and Tactics (2015), karya Seitel, The Practice
of Public Relations (2017), dan beberapa buku lainnya. Bahkan, buku-
buku lama seperti, Modern Public Relations tulisan John Marston masih
sering dijadikan rujukan. Atau buku Frasier Moore, Public Relations:
Principles, Cases & Problems yang di Amerika Serikat sendiri sudah lama
tidak diterbitkan lagi di Indonesia masih terus dicetak ulang. Buku-buku
terbitan Amerika di samping menjadi acuan utama buku public relations
di Indonesia juga secara langsung dijual, baik dalam bentuk asli maupun
dalam bentuk terjemahan. Harus diakui, studi public relations di Amerika
Serikat memang berkembang begitu pesat sehingga menghasilkan body
of knowledge yang menjadi sumber penting pembelajaran dan juga
pengembangan riset public relations di banyak tempat, walau perlu pula
dicatat, di sejumlah tempat perspektif atau pendekatan dalam kajian
public relations dilakukan secara hati-hati. Memang harus juga diakui
ada buku-buku terbitan Inggris yang lebih cenderung memberi petunjuk
praktis tanpa dukungan teori dan riset seperti buku teks terbitan AS, seperti
karangan Frank Jefkins dan belakangan muncul juga buku teks yang lebih
komprehensif sebagai karya akademisi public relations di daratan Eropa
seperti Exploring Public Relations (Tench & Yeomas, 2017) dan beberapa
karya Gregory (2010) dan beberapa karya lain.

[ 86 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


Dalam kata-kata Mackey (2011), industri utama public relations masih
didominasi oleh ideologi korporatisme yang bersumber pada tradisi bisnis
di Amerika Serikat dalam usaha mereka menghadapi berbagai perubahan
dan tantangan yang muncul sejalan dengan gagasan tentang hak-hak asasi
manusia. Perkembangan dan perdebatan paradigma dalam kajian public
relations di Amerika Serikat, sayangnya tak sepenuhnya terbawa keluar
termasuk yang masuk ke Indonesia. Buku-buku yang menjadi acuan atau
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia atau masuk secara langsung ke
Indonesia tidak sepenuhnya memberi seluruh perspektif dalam mengkaji
perkembangan public relations di Amerika Serikat. Digitalisasi yang
kini berkembang memang sedikit membantu untuk mengetahui berbagai
perdebatan teoritik yang berkembang terutama melalui jurnal elektronik
yang kini mulai bisa diakses secara lebih bebas dan terbuka.
Buku-buku yang masuk tentang public relations umumnya merupakan
buku teks yang berkembang dan digunakan dalam tradisi sekolah
jurnalisme dan komunikasi massa, sementara buku-buku public relations
yang berasal dari tradisi sekolah speech communication hampir tak pernah
muncul atau digunakan dalam pembelajaran public relations di Indonesia.
Hal ini bisa dimaklumi karena sekolah-sekolah komunikasi di Indonesia
umumnya lahir dari tradisi komunikasi massa atau publisistik dalam tradisi
Jerman/Belanda. Ketika pengaruh Belanda berkurang dan Amerika mulai
menancapkan pengaruhnya di Indonesia dengan membawa praktik humas
melalui perusahaan-perusahaan minyaknya di tahun 1950-an (Putra,
2008) dan juga bantuan buku-buku teks komunikasi mulai tahun 1960-
an lewat Yayasan Rochefeller, disiplin komunikasi yang berkembang di
Indonesia juga sedikit banyak dipengaruhi oleh disiplin komunikasi massa
yang berkembang di Amerika Serikat. Buku legendaris dalam bidang
Komunikasi Massa, the Process and Effect of Mass Communication (terbit
pertama kali tahun 1955) yang disunting Wilbur Schramm dan Donald
F. Roberts menjadi bacaan wajib mahasiswa komunikasi di sejumlah
kampus seperti UI dan UGM sebagai dua kampus negeri yang paling awal
memiliki jurusan publisistik (berubah menjadi Jurusan Komunikasi/Massa
tahun 1983). Bidang public relations dalam buku-buku komunikasi massa
selalu menjadi topik yang dibahas karena terkait dengan interaksi public
relations perusahaan dengan media massa. Beberapa buku menempatkan

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 87 ]


bahasan tentang public relations sebagai sistem pendukung media (media
support system) disejajarkan dengan periklanan (DeFleur & Dennis, 1985;
Agee, Ault, dan Emery, 1991 dan sejumlah buku komunikasi massa lain).
Sebenarnya, di Amerika Serikat sendiri, di samping berkembang
sekolah dalam tradisi komunikasi massa dan jurnalisme berkembang juga
sekolah speech communication yang mengembangkan disiplin komunikasi
antarmanusia sehingga memberi perhatian lebih kepada proses komunikasi
antarmanusia tanpa termediasi media massa atau lebih umum pada
aspek retorika dalam komunikasi lisan walau belakangan juga retorika
dalam berbagai konteks komunikasi. Tradisi ini berpengaruh terhadap
perkembangan disiplin public relations sebagai sebuah kajian akademik
di tingkat universitas. Tradisi sekolah jurnalisme dan komunikasi
massa cenderung mengembangkan public relations dalam pendekatan
sistem dan tradisi speech communication cenderung mengembangkan
pendekatan retorik. Walaupun mungkin kecenderungan itu tidak begitu
tegas bisa dibedakan. Oleh Grunig (2009), disebutkan sebagai adanya dua
paradigma dalam melihat public relations yakni paradigma simbolis atau
interpretif dan paradigma behavioral atau manajemen strategis yang saling
memperebutkan pengaruh.
Perbedaan paradigma ini sejalan dengan apa yang dibahas dalam buku
Rhetorical and Critical Approaches to Public Relations baik yang edisi
pertama (disunting oleh Robert L. Heath dan Elizabeth Toth) maupun yang
kedua yang disunting oleh Robert L. Heath, Elizabeth Toth dan Damion
Wayner, walaupun terdapat tambahan dengan adanya paradigma kritis,
sehingga oleh Heath dan Toth disebutkan adanya tiga pendekatan dalam
studi public relations di Amerika Serikat. Ketiganya adalah pendekatan
retorik (rhetorical approach), pendekatan sistem (systems approaches),
dan pendekatan kritis (critical approach).
Pendekatan retorik atau teori retorik menempatkan peranan informasi,
fakta dalam membentuk pengetahuan dan pendapat serta menjadikan orang
lebih yakin dan termotivasi dalam bertindak (Heath, 2009: 21). Pendekatan
retorik mengonsepkan public relations sebagai sebuah cara yang
dimanfaatkan setiap organisasi atau kelompok dalam memengaruhi pihak
lain melalui pesan-pesan persuasif. Kajian difokuskan pada pemanfaatan

[ 88 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


wacana (discourse) untuk meyakinkan kalangan pihak berkepentingan
(stakeholders). Menurut Heath (1992), public relations merupakan
sebuah bentuk retorika. Melalui retorika, sebuah organisasi yang dibantu
oleh para praktisi public relations memengaruhi pendapat, membentuk
saling pemahaman, penilaian, dan juga sikap kelompok lain. Heath
memandang retorika begitu penting peranannya dalam masyarakat karena
melalui retorikalah, pendapat, pengertian dan penilaian dapat dibentuk
dan tindakan dapat dilakukan. Retorika menjadi sangat penting dalam
masyarakat yang demokratis dan terbuka. Setiap orang bisa memanfaatkan
retorika untuk memperjuangkan kepentingan dan menjaga keberadaan diri
mereka. Hal yang oleh pendekatan kritis dilihat sebagai sesuatu yang sulit
diwujudkan karena terjadinya ketidakseimbangan power.
Pendekatan sistem (systems approaches) bertumpu pada teori sistem
dalam melihat organisasi yang berasal dari tradisi struktural fungsional
dalam ilmu sosial. Heath (2009: 20) menyatakan teori ini berguna dalam
melihat proses public relations tetapi gagal dalam membantu praktisi
public relations dan para sarjana dalam memahami pesan-pesan yang
secara strategis dan etis relevan untuk masing-masing pihak melakukan
penyesuaian melalui informasi yang dialirkan dan dalam menyeimbangkan
hubungan antara organisasi dan publik melihat public relations sebagai
sebuah fungsi dalam organisasi untuk melakukan adaptasi dan penyesuaian
terhadap lingkungan tempat ia berada. Sistem teori melihat sebuah
organisasi sebagai sebuah organisme yang terdiri atas sejumlah bagian
yang saling berhubungan satu sama lainnya dan organisme itu sendiri
juga berinteraksi dengan lingkungan yang melingkupinya untuk mencapai
tujuan tertentu (Putra, 1997; 123). Organisasi sebagai sebuah sistem hidup
dalam sebuah lingkungan yang bisa disebut sebagai supra-sistem. Supra-
sistem selalu dalam kondisi yang labil atau mengalami perubahan sehingga
setiap organisasi harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang
bisa berubah dengan cepat. Dari perspektif demikian, public relations
diharapkan dapat berfungsi untuk membela kepentingan organisasi juga
berfungsi untuk membela kepentingan berbagai publik. Public relations
membantu organisasi dalam melakukan adaptasi terhadap lingkungan
yang berubah melalui pertukaran informasi (information seeking dan
information releases).

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 89 ]


Sesuai dengan tradisi dalam pendekatan kritis, pendekatan ini
bersumber pada usaha untuk membongkar dominasi dan kepentingan siapa
yang dilayani oleh para praktisi public relations. Toth (1992) menganggap
bahwa sarjana dari aliran kritis dalam studi public relations menganalisis
organisasi dan pesan-pesan yang ditampilkan bukan dalam usaha untuk
memperbaiki organisasi bersangkutan, tetapi lebih pada merusak
kepercayaan orang terhadap organisasi. Memang, dalam kacamata
pendekatan kritis, peranan utama public relations dalam sebuah organisasi
lebih menonjol untuk mempertahankan “kesejahteraan” organisasi melalui
usaha-usaha pengontrolan terhadap lingkungan organisasi (Gandhy, Jr.,
1992) daripada membela kepentingan publik. Gandhy, misalnya, melihat
berbagai upaya yang dilakukan sejumlah ahli untuk membawa public
relations menuju praktik yang secara sosial lebih bisa diterima, seperti yang
dilakukan James Grunig dkk., dianggap kurang realistis (lihat misalnya
Rakow, 1989). Bagi pendekatan kritis, public relations adalah alat atau
“tool” bagi sebuah organisasi untuk mendominasi pasar gagasan. Hal yang
tak mendapat perhatian dari pendekatan retorik. Namun demikian, dalam
konteks posmodern, kuasa (power) tidak hanya dimiliki oleh perusahaan,
tetapi juga kelompok-kelompok di luar perusahaan, termasuk pada buruh.
Suara buruh juga bisa dikaji untuk mengungkap bagaimana mereka
memperjuangkan kepentingan mereka (Cassinger & Thelander, 2020).
Public relations merupakan sebuah instrumen yang melayani kepentingan
kelompok bisnis atau kelas dominan dalam masyarakat.
Toth (2009:49) melihat adanya tiga pendekatan dalam kajian public
relations sebagai sebuah pluralisme. Dalam pandangan Toth, pendekatan
kritis dan pendekatan retorik dalam mengkaji public relations tidak
sebatas bagaimana public relations berfungsi bagi organisasi, tetapi juga
pada proses pembentukan makna (meaning-making) antara organisasi dan
berbagai publiknya sejalan dengan pengembangan, penciptaan bersama,
negosiasi dan menjaga hubungan satu sama lainnya. Oleh karena itu, Toth
mengklaim para pengkaji dalam tradisi retorika dan kritis menggunakan
pendekatan yang lebih humanis dalam mengkaji public relations.
Menurut Toth, studi retorika menaruh kepedulian pada bagaimana
orang sebagai individu, kelompok, dan organisasi menciptakan makna
melalui argumen dan lawan argumen, menciptakan masalah, mengatasi

[ 90 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


ketidakpastian, bersaing untuk memperoleh posisi yang menguntungkan
atau untuk membangun koalisi dalam penyelesaian masalah (2009:50).

Arah Riset Public Relations di Indonesia


Dominasi Amerika Serikat dalam pengembangan disiplin public
relations bukannya tanpa tandingan dari negara-negara lain. Pengembangan
excellent public relations oleh Grunig dkk. (1992) melalui proyek riset
dengan label Proyek Excellent yang disponsori oleh IABC mendapat
berbagai kritik tidak saja dari pengembang tradisi ‘speech communication’
di Amerika Serikat tetapi juga oleh para pengembang public relations
di Eropa dan Australia. Kritik terhadap teori excellent public relations
bersumber pada pengabaian teori ini terhadap aspek power (Fitch, 2016).
Sejumlah sarjana dalam bidang public relations dari Eropa menawarkan
beragama perspektif yang berbeda dengan pengembangan public relations
di Amerika Serikat (lihat misalnya Ihlen dkk., 2009; Edward & Hodge,
2011).
Walau usaha untuk membangun body of knowledge sudah mulai
mendapat perhatian dengan munculnya riset-riset public relations pada
tingkat doktoral (Yudarwati, 2011; Dhani, 2018), dan beberapa yang lain,
kajian-kajian public relations di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh
tradisi dalam pendekatan sistem dengan buku babon utama di samping buku
Effective Public relations dan buku-buku lain seperti buku Excellent Public
Relations karya Grunig dkk. (1992). Oleh karena itu, untuk melengkapi
kajian public relations di Indonesia kiranya perlu juga mempertimbangkan
berbagai pendekatan yang telah dikembangkan dalam disiplin lain seperti
misalnya antropologi dengan mengembangkan antropologi public relations
(L’etang, 2011), atau yang dalam istilah Edward dan Hodges (2011) sebagai
perubahan radikal menuju kajian sosial-budaya dalam public relations.
Riset-riset humas di Indonesia selama ini masih dominan menggunakan
perspektif tunggal dengan pendekatan teori sistem atau riset yang berfokus
pada bagaimana public relations melayani kepentingan organisasi,
terutama organisasi bisnis atau organisasi politik, terutama pemerintah.
Cukup banyak peneliti yang meneliti tentang strategi komunikasi
seperti yang dilakukan Romli dan Romli (2020) yang meneliti tentang

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 91 ]


strategi komunikasi yang digunakan oleh praktisi public relations dalam
membangun brand kota, dalam hal ini implementasi strategi komunikasi
“Bandung Juara” sebagai bagian dari city branding Kota Bandung.
Namun demikian, mulai berkembang juga penelitian yang menggunakan
manajemen hubungan seperti yang dilakukan Tania (2020) yang meneliti
hubungan organisasi-publik dalam akun Instagram resmi perusahaan
telekomunikasi (Tania, 2020). Hampir sebagian besar kajian tentang public
relations masih menggunakan pendekatan sistem yang menekankan pada
public relations sebagai fungsi manajemen, seperti yang dimuat dalam
salah satu jurnal bidang public relations, Profesi Humas yang diterbitkan
oleh Fikom Universitas Padjajaran sejak tahun 2015.
Salah satu peneliti produktif dalam bidang public relations di Indonesia
(Kriyantoro, 2018, 2020) tampaknya masih berfokus meneliti humas
sebagai bagian dari manajemen strategis seperti yang digagas oleh Grunig.
Walaupun, dalam beberapa risetnya, terutama yang bertema komunikasi
krisis mulai tampak penggunaan paradigma simbolis (Kriyantoro,
2019). Saat ini juga sudah mulai muncul riset-riset dengan pendekatan
interpretif dalam melihat public relations seperti yang dilakukan oleh
Yudarwati (2011) dan cenderung menggunakan pendekatan kritis seperti
yang dilakukan oleh Dhani (2018). Yudarwati (2011) misalnya meneliti
bagaimana persepsi praktisi public relations terhadap Corporate Social
Responsibility untuk memahami pelaksanaan program CSR yang akan
dijalankan perusahaan. Sementara Dhani (2018) melihat public relations
dalam kerangka proses pertukaran informasi yang bahkan dalam bentuk
propaganda pun bisa dikategorikan sebagai kegiatan public relations.
Untuk memperluas perspektif dalam mengembangkan public relations
sebagai sebuah disiplin keilmuan, artikel ini mendukung gagasan MacKey
(2011) dalam melihat public relations sebagai “both in the sense of an
extensive, specific industry, as well as in the sense of the general processes
increasingly being used by all sorts of groups and organisations to get
their voices heard, their effects felt, their interests defended and their aims
achieved.” Public relations sebagai proses-proses (komunikasi) yang
digunakan oleh tidak hanya organisasi bisnis tetapi juga oleh berbagai jenis
kelompok dan organisasi agar suara mereka didengar, kehadiran mereka
dirasakan, kepentingan-kepentingan mereka bisa mereka perjuangkan

[ 92 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


dan pertahankan dan tujuan kehadiran mereka dapat dicapai. Perubahan
teknologi komunikasi, termasuk dengan munculnya teknologi komunikasi
digital membuka ruang baru bagi kajian public relations dengan berubahnya
karakter utama teknologi yang semakin membuka ruang-ruang dialog atau
interaksi (lihat misalnya Grunig, 2009; Putra, 2020).
Dengan demikian setiap usaha kelompok untuk memperjuangkan
kepentingannya di tengah-tengah masyarakat atau di ruang publik
layak untuk dikaji sebagai praktik public relations. Ini akan menambah
arena kajian dan sekaligus dapat mengurangi kecenderungan riset yang
corporate centris dalam bidang public relations. Di samping, terbuka juga
peluang untuk meriset praktik-praktik dominasi yang dilakukan kelompok-
kelompok dominan dengan menggunakan public relations.

Penutup
Perkembangan kajian public relations saat ini tidak saja begitu pesat
di Amerika Serikat, tetapi juga di beberapa negara Eropa seperti Inggris,
Jerman, Belanda, negara-negara Skandinavia, dan beberapa negara lain
seperti Australia, Korea. Perkembangan kajian antara lain ditunjukkan
dengan kekayaan perspektif yang dipakai dan pengembangan publikasi
kajian melalui jurnal dalam bidang public relations. Jika sampai akhir
tahun 1980-an hanya ada beberapa jurnal akademik seperti Public
Relations Review di Amerika Serikat, saat ini, terutama sejak tahun
pertengahan 1990-an mulai muncul jurnal-jurnal akademik untuk bidang
public relations di berbagai kawasan, seperti Asia Pacific Public Relations
Journal (mulai terbit tahun 1996 kerja sama Deakin University dan
University of Canberra), Prism (jurnal elektronik yang diterbitkan Massey
University di Selandia Baru), Journal of Public Relations Research, Public
Relations Inquiry dan beberapa jurnal lainnya.
Di Indonesia walau Perhumas sudah merintis penerbitan jurnal
akademik, sampai saat ini belum bisa terbit secara teratur dan isinya
belum banyak yang merupakan hasil kajian yang bisa digunakan untuk
memperkaya pemahaman dan kajian public relations. Tulisan ini
mengusulkan pentingnya untuk memperkaya perspektif dalam kajian
public relations dengan mengacu pada berbagai perspektif yang sudah

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 93 ]


berkembang di berbagai negara. Para sarjana komunikasi di bidang public
relations juga bisa menawarkan perspektif baru yang mungkin muncul di
Indonesia. Budaya Indonesia yang cenderung mengutamakan kehidupan
yang harmonis mungkin dapat menjadi titik tolak penting dalam mengkaji
dan mengembangkan public relations di Indonesia.
Di samping perluasan perspektif, kajian-kajian public relations
sebenarnya juga telah diperkaya dengan adanya pengaruh teknologi
komunikasi digital yang mengubah cara dan teknik komunikasi yang
digunakan berbagai kelompok masyarakat dalam memperjuangkan
kepentingan. Ada banyak perubahan penting yang terjadi dengan kehadiran
teknologi komunikasi digital ini, seperti misalnya berubahnya pola
hubungan dengan media yang dilakukan perusahaan, semakin sulitnya
perusahaan melalui bagian public relations-nya melakukan pengendalian
terhadap informasi yang beredar. Publik yang pada media konvensional
mengandalkan informasi pada media massa, saat ini bisa memperoleh
informasi dari berbagai platform media dan pada saat yang sama mereka
juga dapat memproduksi informasi yang belum tentu menyenangkan
organisasi.

[ 94 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


DAFTAR PUSTAKA

Agee, W. K., Ault, P.H. & Emery, E. (1991). Introduction to Mass


Communication. Edisi kesepuluh. New York: HarperCollins.
Broom, Glen M. dan Sha, Bey-Ling (2013). Cutlip and Center’s Effective
Public Relations. Edisi kesebelas. Boston: Pearson Education.
Cassinger, C. & Thelander, A. (2020). “Voicing the Organization on
Instagram: Towards a Performative understanding of Employee
Voice”. Public Relations Inquiry, Vol. 9(2), 195-212.
Cutlip, S.M & Center, A.H. (1982). Effective Public Relations. Edisi
ketujuh. New Jersey: Prentice Hall.
Coombs, W.T. & Holladay, S.J. (2014). It’s not Just PR: Public Relations
in Society. West Sussex: Wiley Blackwell.
DeFleur, M.L. & Dennis, E.E. (1985). Understanding Mass Communication.
Boston: Houghton Mifflin Company.
Dhani, R. (2018). “Political Public Relations in Indonesia Under
Yudhoyono Presidency: Past Development and New Formations”.
Disertasi Doktor, Perth, Murdoch University.
Dhani, R., Lee, T. & Fitch, K (2018). “Political Public Relations in
Indonesia: A History of Propaganda and Democracy”. Asia Pacific
Public Relations Journal | Vol. 16, No. 1, pp. 22-36.
Edward, L. & Hodge, C.E. ed (2011). Public Relations, Society and
Culture: Theoretical and Empirical Explorations. London & New
York: Routlegde.
Fitch, K. (2016). Professionalizing Public Relations: History, Gender and
Education. London: Palgrave Macmillan.
Gandhy, Jr. O. J. (1992). Public relations and public policy: The
structuration of dominance in the information age. Dalam L. Toth
& R. L. Heath (editor), Rhetorical and Critical Approaches to Public
Relations, hal. 131-163. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
Gregory, A. (2010). Planning and Managing Public Relations: A Strategic
Approach. London: Kogan Page.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 95 ]


Grunig, J.E (1992). “Communication, Public Relations, Effective
Organizations: An Overview of the Book”. Dalam J. E. Grunig
(penyunting), Excellence in Public Relations and Communication
Management . Hillsdale, NJ: Lawrence Earlbaum Associates. Hal.
285-325.
Grunig, J.E dan Larissa Grunig (2000). “Public Relations in Strategic
Management an Strategic Management of Public Relations: theory
and evidence from the IABC Excellence project”. Journalism Studies,
Volume 1, Number 2, 2000, pp. 303–321
Grunig. J.E (2006). “Furnishing the Edifice: Ongoing Research on Public
Relations As a Strategic Management”. Journal of Public Relations
Research, Vol. 18:2, 151-176.
Grunig, J.E (2009). “Paradigm of Global Public Relations in an Age of
Digitalisation”. Prims Vol. 6, No. 2. terarsip dalam http://praxis.
massey.ac.nz/prism_online_journ.html.
Grunig, JE. (2018). “Strategic Behavioral Paradigm”. Dalam Robert
L.Heath and Winni Johansen (Editors-in-Chief), The International
Encyclopedia of Strategic Communication. New York & London:
JohnWiley & Sons, Inc.
Heath, R. L. (1992). “The wrangle in the marketplace: A rhetorical
perspective of public relations”. Dalam E. L. Toth & R. L. Heath
(editor), Rhetorical and Critical Approaches to Public Relations, hal.
17-63. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
Heath, R.L. (2009). “The Rhetorical Tradition: Wrangle in the Marketplace”.
Dalam Heath, R. L. & Elizabeth Toth dan Damion Waymer (editor).
(2009) Rhetorical and Critical Approaches to Public Relations II.
New York & London: Routlegde
Heath, R. L. & Elizabeth Toth dan Damion Waymer (editor). (2009)
Rhetorical and Critical Approaches to Public Relations II. New York
& London: Routlegde.
Ihlen, O., van Ruler, B., & Fredriksson, M. (2009). Public Relations and
Social Theory: Key Figures and Concepts. New York: Routledge.

[ 96 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


Kriyantoro, R. (2018). Meneropong Praktik Public Relations di Indonesia
dengan Teori dan Riset: Disertasi Contoh-contoh Riset Kontemporer.
Malang: Brawijaya University Press.
Kriyantoro, R. (2019). “Apologia Strategies and Ethical Aspect
of Government Public Relations in Crisis Situation”. Jurnal
Representamen Vol 5 No. 02, 32-41.
Kriyantoro, R. (2020). “Analisis Isi Skripsi Kehumasan di Perguruan
Tinggi”. Jurnal Aristo (Social, Politic, Humaniora) Vol. 08, No.1
(2020): January, pp. 111-128
L'etang, J. 2011. "Imagining public relations anthropology". Dalam L.
Edwards & C.E.M. Hodges. eds. Public Relations, Society & Culture:
Theoretical and Empirical Explorations. London & New York:
Routlegde.
Mackey, S. (2011). Public Relations and Contemporary Theory. Disertasi
doktor pada Swinburne University, Australia.
Putra, IGN. (1997). “Perkembangan Teori Public Relations dan
Implikasinya terhadap Penelitian dan Pendidikan Public Relations di
Indonesia”. Trend Komunikasi: Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi
Indonesia. Vol 1, pp. 120-132.
Putra, IGN. (2008). “Konteks historis praktek humas di Indonesia”. Jurnal
Ilmu Komunikasi, 6(3), hal. 178-190.
Putra, IGN. (2020). “Media Sosial dan Interaktivitas dalam Dunia Public
Relations”. Jurnal Bisnis Terapan, Vol 4, No1, hal. 1-11
Rakow, L.F. (1989). “Information and power: Toward a critical theory of
information campaigns”. Dalam C.T. Salmon (editor), Information
Campaigns: Balancing Social Values and Social Change., hal. 164-
184. Newbury Park, Cal: Sage.
Romli, R. & Romli, N.A. (2020). “Implementasi strategi komunikasi
“Bandung Juara” sebagai bagian dari city branding Kota Bandung”.
PRofesi Humas, Volume 4, No. 2, hlm. 263-289.
Schramm, W. & Roberts, D. F. (1971) The Process and Effect of Mass
Communication. Urbana: University of Illinois Press.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 97 ]


Seitel, F.P. (2017). The Practice of Public Relations. Edisi ketigabelas.
Boston: Perason.
Tania, S. (2020). “Mediated relationship: menakar hubungan organisasi-
publik dalam akun Instagram resmi perusahaan telekomunikasi”.
PRofesi Humas, Volume 5, No. 1, hlm. 121-142
Tench, R. & Yeomans, L (2017). Exploring Public Relations: Global
Strategic Communication. Edisi keempat. London: Pearson.
Toth, E. L. (1992). “The case for pluralistic studies of public relations:
Rhetorical, critical and systems perspectives”. Dalam E. L. Toth &
R. L. Heath (editor), Rhetorical and Critical Approaches to Public
Relations, hal. 17-63. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
Toth, E. (2009). “The Case for Pluralistic Studies of Public Relations:
Rhetorical, Critical and Excellent Perspectives”. Dalam R.L. Heath,
E. L. Toth dan D. Waymer (ed). Rhetorical dan Critical Approaches to
Public Relations II. New York: Routlegde.
Wilcox, D.L., Cameron, G.T. dan Reber, B.H. (2015). Public Relations
Strategies and Tactics. Boston: Pearson.
Yudarwati, G.A. (2011). The Enactment of Corporate Social Responsibility
and Public Relations Practices: Case Studies from the Indonesian
Mining Industry. Disertasi Doktor, RMIT University, Melbourne.

[ 98 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


BAB 7
Menyegarkan Kembali Kajian Komunikasi Politik di
Indonesia: Visualisasi, Ideasi, dan Mediatisasi Politik
Sebagai Domain Kajian dan Paradigma Riset Alternatif

Nyarwi Ahmad

Pengantar

K omunikasi politik merupakan sebuah fenomena multidimensi


dan sekaligus sebagai bidang kajian yang bersifat multi/lintas
disipliner (Ahmad, 2012). Sejak tahun 1935-an, bidang kajian ini terus
bermetamorfosis, dari yang semula hanya fokus pada kajian propaganda
dan pesan-pesan politik dan efeknya pada audiens (Laswell, 1936; Chaffe,
1975; Roger, 1994), berkembang ke arah kajian mengenai ragam aktor,
bentuk-bentuk dan konteks komunikasi politik (McNair, 2004), dinamika
opini publik, agenda media dan agenda publik, model-model kampanye
politik (Seib, 2008), hingga berkembang ke arah model-model politik
komunikasi (politics of communication) (Chaffe, 2001; Gazali, 2004).
Metamorfosis bidang kajian komunikasi politik ini tak terhindarkan.
Penyebabnya adalah adanya beragam jenis tren yang terjadi di setiap
perubahan zaman.
Artikel ini ditulis dengan latar belakang perkembangan berikut.
Selama beberapa dasawarsa terakhir, tiga tren berikut mewarnai proses
komunikasi politik di berbagai belahan dunia. Pertama, menguatnya
kebiasaan baru di kalangan politisi untuk mengekpresikan dirinya secara
visual dan menyebarkan pemikirannya melalui berbagai jenis media massa
dan media sosial. Hal tersebut dengan mudah dapat kita jumpai dalam
kehidupan keseharian kita, ketika kita menonton berita di media massa,
melihat baliho, spanduk, dan poster mereka di jalan raya dan tempat-

[ 99 ]
tempat umum dan menyimak berbagai jenis platform komunikasi yang ada
di sekeliling kita. Kecenderungan ini berlangsung seiring meningkatnya
kebiasaan masyarakat untuk menvisualisasikan ekspresi dan sikap
politiknya melalui berbagai medium komunikasi massa dan interaktif,
khususnya sosial media. 
Kedua, menguatnya intensitas persebaran dan pertarungan ide-
ide pemikiran politik yang bersumber dari kalangan elite atau yang
berkembang di tengah-tengah masyarakat yang terlibat dalam perdebatan
ide-ide tersebut. Tren ini mudah kita jumpai dalam kehidupan keseharian
ketika kita menyimak program talk show yang disiarkan oleh televisi dan
juga radio. Beragam perdebatan di media tersebut tidak hanya bersumber
dari kalangan elit, namun juga dari isu-isu aktual yang dihadapi oleh
masyarakat. Ada kalanya perdebatan tersebut cukup berbobot, cukup
objektif/tidak partisan, mengakomodasi banyak perspektif dan melibatkan
para narasumber yang cukup atau bahkan sangat kredibel, seperti yang
dihadirkan dalam program-program talkshow yang ada di TV One
(seperti Apa Kabar Indonesia dan Indonesia Lawyer Club), Kompas TV
(Sapa Indonesia) dan juga CNN (CNN Prime News). Namun banyak
juga perdebatan yang dihadirkan oleh media-media tersebut kurang
berbobot, cenderung partisan, hanya bertumpu pada salah satu perspektif
dan mengundang para narasumber yang tidak kredibel. Perdebatan ini
seringkali berlanjut dalam berbagai platform media sosial dan melibatkan
beragam jenis kelompok masyarakat. Di platform tersebut, isu-isu yang
diperdebatkan acapkali disertai dengan beragam ujaran kebencian dan
bahkan pencemaran nama baik orang ataupun institusi, hingga berujung
pada gugatan pengadilan.
Ketiga, munculnya beragam inovasi model komunikasi politik yang
dilakukan oleh para aktor politik. Inovasi tersebut dilakukan dengan
mengadaptasi logika-logika media massa dan media sosial. Para politisi
tampak kian akrab dengan istilah “gak layak berita/gak nendang” dan “gak
bisa viral”. Trending topik dan viralitas menjadi parameter yang makin
akrab di telinga mereka. Keinginan untuk menjadi sumber berita dan/atau
pusat topik pemberitaan dan menjadi trending topik dan pusat percakapan
yang viral menjadi ajang perlombaan baru di kalangan mereka. Perlombaan
inovasi tersebut mereka lakukan untuk menghindari frame negatif di media

[ 100 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


massa dan merespons sentimen negatif yang berkembang di berbagai jenis
media sosial.
Meskipun ketiga tren di atas semakin nyata dalam kehidupan kita,
kajian yang dilakukan oleh para peneliti/akademisi di bidang komunikasi
politik terhadap tren tersebut masih cukup terbatas. Berdasarkan kondisi
ini, penulis, dalam artikel ini, hendak mendiskusikan sejumlah pertanyaan
berikut. Sejauh mana fenomena visualisasi, ideasi dan mediatisasi politik
dapat menjadi domain kajian dalam studi komunikasi politik? Sejauh
mana visualisasi, ideasi, dan mediatisasi politik dapat kita pertimbangkan
sebagai paradigma alternatif dalam studi komunikasi politik di Indonesia?
Kedua pertanyaan tersebut, akan didiskusikan dalam poin-poin berikut.

Aktor Politik dan Visualisasi Politik


Visualisasi politik merupakan proses pengekspresian pikiran dan
perasaan yang dilakukan oleh para aktor politik melalui simbol-simbol
visual (Schill, 2012). Visualisasi politik pada dasarnya bukan lah hal baru
yang dilakukan oleh para aktor politik. Tren ini sudah muncul sejak ribuan
tahun lalu. Namun, sejak berkembangnya media massa, kita dengan mudah
melihat beragam jenis ekspresi visual politisi di berbagai jenis media
massa. Di era media sosial, intensitas dan kuantitas ekspresi visual tersebut
meningkat luar biasa. Ekspresi visual tersebut dapat dengan mudah kita
jumpai materi liputan media yang disajikan oleh jurnalis, baliho, spanduk,
poster dan meme yang bertebaran di sejumlah media sosial. Ekspresi
visual tersebut bisa muncul dalam berbagai konteks politik, seperti fase
kampanye pemilu, kampanye permanen para aktor politik ketika sudah
berkuasa. 
Ekspresi visual yang dilakukan oleh para politisi ini membawa
konsekuensi luar biasa dalam kehidupan politik. Pertama, ekspresi tersebut
dapat membantu para pemilih, khususnya mereka yang malas berpikir,
untuk dengan cepat menilai personalitas aktor politik maupun kebijakan-
kebijakan publik yang ditawarkannya. Kedua, ekspresi visual tersebut juga
dapat menstimulasi pemilih/warga negara untuk memiliki ketertarikan dan
bahkan ikut memperbincangkan aspek personal dari para aktor tersebut
maupun berbagai jenis kebijakan publik yang mereka tawarkan. Kendati

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 101 ]


demikian, ekspresi visual juga dapat digunakan oleh para aktor politik
sebagai instrumen taktis untuk memanipulasi para pemilih/warga negara
agar sejalan dengan apa yang mereka harapkan (Lilleker, 2019: 37–38).
Visualisasi politik sebagai sebuah paradigma kajian dalam studi
komunikasi politik berpijak pada proposisi-proposisi berikut. Pertama,
kebudayaan manusia, sejak masa prasejarah hingga saat ini pada dasarnya
adalah berpijak pada budaya visual (Lilleker et al., 2019: 1). Manusia
cenderung mengekspresikan ide dan perasaannya tidak hanya melalui
kata-kata saja, namun juga melalui image visual. Manusia juga tidak
hanya berpikir dengan image visual, namun juga cara berpikirnya juga
dipengaruhi oleh kekuatan image visual tersebut (Lilleker et al., 2019: 2).
Kedua, komunikasi visual merupakan bagian penting dari kehidupan
manusia. Manusia mengelola kesadaran dirinya dan cara pandangnya
terhadap lingkungan sekitar melalui visual image yang dia tangkap melalui
panca indranya. Citra visual tidak hanya memengaruhi perilaku dan
strategi komunikasi setiap manusia, namun juga menentukan cara manusia
dalam memahami dan mengelola perkembangan apa saja yang terjadi di
sekelilingnya (Lilleker, 2019: 48).
Ketiga, ekspresi visual merupakan salah satu dimensi dalam dunia
politik. Ekspresi visual ini dapat memiliki dampak emosional dan rasional
pada diri aktor politik (Lilleker et al., 2019: 3). Para pemimpin politik tidak
hanya cenderung mengekspresikan apa yang dipikirkan dan dirasakannya
melalui medium visual, namun juga menggunakan instrumen visual untuk
memanipulasi sikap dan perilaku politik pemilih/warga negara untuk
mencapai tujuan politiknya melalui berbagai jenis media, termasuk media
sosial (Lilleker et al., 2019: 4).
Keempat, bahasa visual yang dibuat/diekspresikan oleh para politisi
memiliki kemampuan argumentatif dan persuasif. Pilihan bahasa visual
yang digunakan oleh politisi tertentu bahkan memiliki kekuatan retorik
yang bisa memengaruhi pemikiran maupun perilaku elite politik lainnya
maupun masyarakat/audiens yang terekspos dengan bahasa visual tersebut
(Schill, 2012: 122–123). 
Kelima, bahasa visual yang diekspresikan oleh para politisi juga
memiliki fungsi agenda setting. Bahasa tersebut dapat digunakan untuk

[ 102 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


mencitrakan sosok politisi sebagai sosok yang baik, jujur, tegas dan kredibel
dan juga sebaliknya. Meski para politisi tidak bisa mengontrol agenda
setting media dan kecenderungan persepsi masyarakat yang mengonsumsi
tayangan media dan pengguna internet atau media sosial, namun dia bisa
mengonstruksi citra visualnya untuk memengaruhi cara pandang mereka
terhadap dirinya (Schill, 2012: 124–125).
Visualisasi politik merupakan fenomena global. Tren ini juga semakin
berkembang di Indonesia seiring dengan perkembangan selebritisasi
politik di negeri ini. Fenomena yang terakhir ini kian menguat terlihat
sejak Pilkada digelar di negeri ini. Dalam Pilkada tersebut para artis kian
tertarik untuk terlibat dalam dunia politik. Bahkan di antaranya terpilih
dalam pemilu lokal/Pilkada di Indonesia (Ahmad, 2020c).

Aktor Politik dan Ideasi Politik


Ideasi politik sebagai frame analisis dikembangkan dengan asumsi
berikut. Pertama, manusia pada pada dasarnya adalah makhluk yang kreatif.
Mereka dituntut untuk terus-menerus mengembangkan kreativitasnya
untuk tetap survived di tengah tantangan persoalan dan perubahan
lingkungan yang mereka hadapi. Kreativitas tersebut, antara lain meliputi
creative imagery, creative story generation, creative convergent, dan
divergent thinking (Fink et al., 2007; Barbot, 2018).
Kedua, dibandingkan dengan kebanyakan jenis manusia lainnya,
politisi pada umumnya adalah kumpulan individu-individu yang lekat
dengan beragam jenis kreativitas. Kreativitas adalah kemampuan kognitif
yang dimiliki oleh seseorang untuk menciptakan sesuatu yang inovatif/baru.
Kemampuan ini dimulai dari proses berpikir kreatif (creative thinking),
mengonseptualisasikan pemikirannya secara kreatif dan menuangkannya
dalam pilihan kata dan bahasa, sudut pandang dan ekspresi verbal dan
visual yang bersifat kreatif (Abraham & Windmann, 2007: 38). Proses
melahirkan ide-ide orisinal secara kreatif dalam merespons berbagai
persoalan ini seringkali dilabeli sebagai ‘creative ideation’ (Barbot,
2018: 1). Proses ini terjadi melalui tahap eksplorasi, produksi/kreasi dan
verifikasi (Barbot, 2018: 4-5).

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 103 ]


Creative ideation ini tidak hanya berlangsung dalam dunia kultural
dan komersial saja, namun juga terjadi di dunia politik. Fenomena ini kian
menarik perhatian para akademisi yang mengkaji dunia politik, khususnya
mereka yang fokus pada ide-ide dan pemikiran politik dan menganggap
pertarungan ide-ide adalah aspek utama dalam memahami dunia politik,
dibandingkan dengan model dan perubahan perilaku-perilaku politik
(Coxall et al., 2003: 50). Studi tentang ide-ide politik ini dilakukan tidak
hanya untuk mengkaji ragam ideologi politik yang dianut oleh para politisi.
Studi ini juga dilakukan untuk mengkaji sejarah pemikiran politik para
politisi, perubahan ide-ide yang mereka yang mereka kembangkan yang
berdampak pada kehidupan politik dan bagaimana mereka memperoleh
dan menggunakan kekuasaan (ekonomi dan) politik dengan dasar kerangka
ideologi politik tertentu (Blyth, 1997; Carstensen, 2011; Harrison & Boy,
2018).
Para politisi pada umumnya juga mencari cara-cara kreatif untuk
menuangkan dan menyampaikan ide-ide yang diyakininya atau ideologi
politik yang dianutnya melalui sejumlah kata dan kalimat yang diucapkan
maupun dituliskannya melalui berbagai jenis media. Ideasi politik
merupakan proses penyampaian ide/pemikiran politik dengan cara-cara
yang kreatif yang dilakukan oleh aktor politik. Di dalamnya berlangsung,
tindakan-tindakan kreatif yang dilakukan oleh aktor politik tersebut.
Hal ini antara lain mereka lakukan dengan cara mengeksploitasi ide-ide
tertentu dan menyampaikan dengan pilihan kata-kata dan kalimat tertentu
ketika mereka menjalankan proses dan strategi komunikasi politik. 
Salah satu contohnya di sini adalah ideasi politik yang terkait dengan
ideologi populism. Dalam konteks Indonesia, para kandidat yang maju
dalam Pilgub 2018 mengadaptasi pemikiran-pemikiran yang anti pada
kelompok-kelompok mapan (anti-establishment views), mengedepankan
pentingnya kedaulatan masyarakat sebagai aktor utama dalam politik
(people sovereignty), sentralitas masyarakat sebagai stakeholder dan
subjek politik (people-centrism) dan kecenderungan eksklusif pada siapa
saja yang dianggap bukan kelompoknya (exclusion of the other) (Ahmad,
2020a: 4). Hal yang sama juga terjadi dalam Pilpres 2019 kemarin yang
ditandai dengan ideasi politik yang dilakukan oleh para capres dan
pendukungnya, baik dari kalangan penganut ideologi nasionalis sekuler

[ 104 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


maupun Islam. Tren ini bahkan disinyalir telah menjadi ancaman baru
terhadap kebebasan media dan wartawan di Indonesia (Ahmad, 2020b).

Adaptasi Logika (Pemberitaan) Media oleh Aktor Politik


Sebagai Salah Satu Elemen Mediatisasi Politik
Selain menguatnya visualisasi dan ideasi politik, proses interaksi
antar aktor dalam arena politik juga kian dipengaruhi oleh berkembangnya
fenomena mediatisasi politik. Mediatisasi politik terjadi ketika posisi dan
peran media dalam dunia politik makin berkembang sangat pesat dan
bahkan disinyalir ikut menggeser peran dan fungsi dan selama ini dimiliki
oleh berbagai institusi politik. Fenomena ini pada umumnya berkembang
di negara-negara demokrasi liberal di mana keberadaan media makin
powerful dan institusi media diposisikan sebagai pilar keempat demokrasi
(Mazzoleni dan Schulz, 1999).
Mediatisasi politik ini berkembang sering dengan menguatnya tren
di mana para aktor politik kian tertarik untuk mengadaptasi logika media
dan logika pemberitaan yang dikembangkan oleh media (Mazzoleni, 1987;
Mazzoleni dan Schulz, 1999). Proses ini berkembang ditandai dengan
kecenderungan berikut. Pertama, masyarakat/publik kian memiliki
ketergantungan besar pada media dalam memperoleh akses informasi
politik, demikian juga para politisi (Mazzoleni dan Schulz,  1999: 250).
Kedua, partisanship media dan jurnalis kian melemah, krisis dalam
struktur organisasi parpol dan pada saat bersamaan media menikmati
kebebasan dari penguatan sistem demokrasi liberal (Mazzoleni, 1987: 82–
83; Mazzoleni, 1999: 251). Ketiga, kuasa yang dimiliki oleh media kian
menguat bahkan kian sulit dikendalikan oleh para politisi dan dibatasi oleh
Negara/Pemerintah (Mazzoleni dan Schulz, 1999: 247–248). Keempat,
media kian memiliki kuasa yang tidak hanya menghadirkan peristiwa dan
mengemas isu-isu politik semata, namun juga mendistorsi peristiwa dan
isu-isu politik yang disajikannya (Mazzoleni dan Schulz,  1999: 248). 
Proses mediatisasi politik ini, menurut Stromback (2008) dapat
dipahami melalui kerangka analisis pada empat dimensi berikut. Pertama,
sejauh mana masyarakat dan aktor politik menilai media sebagai sumber
informasi politik yang sangat penting. Kedua, sejauh mana institusi media

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 105 ]


independen dari institusi-institusi politik. Ketiga, sejauh mana isi media
di-drive oleh logika politik (political logic) maupun logika media (media
logic). Keempat, sejauh mana sikap dan perilaku aktor-aktor politik
dipengaruhi oleh logika politik (political logic) maupun logika media
(media logic) (Stromback, 2008: 235–241).
Mediatisasi politik—secara umum—maupun adaptasi logika
pemberitaan media (news media logic) dan media sosial (sosial media
logic) terjadi di berbagai belahan dunia. Dalam konteks Indonesia misalnya,
para selebritas yang bertransformasi menjadi politisi, cukup intens
memanfaatkan media dan beradaptasi dengan logika-logika tersebut untuk
menjaga popularitasnya dan meng-generate popularitas tersebut menjadi
modal politik dalam arena Pilpres dan Pileg 2014 (Ahmad, 2021a, 2021)
dan Pilkada 2018 (Ahmad, 2020c). Dalam arena Pilpres 2019, tidak hanya
para politisi, komentator politik dalam Pilpres 2019 juga mengadaptasi
logika-logika tersebut (Ahmad, 2019).

Penutup
Penulis berargumen bahwa visualisasi, ideasi, dan mediatisasi politik
tidak hanya menjadi domain kajian penting dalam studi komunikasi politik.
Lebih dari itu, ketiganya juga bisa menjadi paradigma alternatif untuk
menyegarkan kembali studi komunikasi politik di Indonesia. Bagaimana
kita menggunakan ketiganya sebagai paradigma alternatif dalam kajian
komunikasi politik secara ringkas akan diuraikan dalam poin berikut.
Kita dapat menggunakan visualisasi politik sebagai paradigma dalam
kajian komunikasi politik untuk mengkaji hal-hal berikut. Pertama,
identitas politik yang ditampilkan oleh para aktor politik. Kedua, pemikiran
politik mereka yang disampaikannya melalui ekspresi visual. Ketiga,
perasaan dan emosi politik mereka yang diekspresikan melalui ekspresi
visual (Barnhurst and Quinn, 2012; Lilleker et al., 2019). Keempat, model-
model penggunaan bahasa visual yang dikembangkan oleh para politisi
untuk menarik perhatian media dan publik (image bite) baik melalui
produksi gambar dan audiovisual yang mereka siarkan melalui media
massa maupun internet (Schill, 2012). 
Selain itu, kita juga bisa menggunakan ideasi politik sebagai paradigma
dalam studi komunikasi politik. Paradigma ini dapat kita pakai untuk

[ 106 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


menganalisis antara lain, pertama, seperti apa para politisi mengembangkan
creative imagery, creative story generation, creative convergent dan
divergent thinking (Fink et al., 2007; Barbot, 2018) ketika mereka berupa
menuangkan ide-ide politiknya untuk memengaruhi aktor-aktor politik di
berbagai jenis arena politik. Kedua, seperti apa mereka mengembangkan
proses berpikir kreatif (creative thinking), melahirkan ide-ide kreatif
dan original (Barbot, 2018), mengonseptualisasikan pemikirannya dan
menuangkannya dalam ekspresi verbal dan visual (Abraham & Windmann,
2007: 38) baik dalam konteks pemilu dan nonpemilu. Ketiga, seperti apa
mereka menkonstruksi dan mengemas ide-ide tersebut untuk kekuasaan
(ekonomi dan politik) dengan basis kerangka ideologi politik tertentu
(Blyth, 1997; Carstensen, 2011; Harrison & Boy, 2018). Keempat, seperti
apa mereka memilih dan menggunakan ide-ide populis untuk memengaruhi
pemilih ketika pemilu berlangsung (Ahmad, 2020a: 4) dan meningkatkan
visibilitas dan image positifnya di tengah kuasa media dan jurnalis yang
mengonstruksikan diri mereka melalui produk berita (Ahmad, 2020b).
Kita juga dapat menggunakan mediatisasi politik sebagai paradigma
alternatif untuk menganalisis meningkatnya ketergantungan aktor-aktor
politik pada media dan konsekuensi menguatnya kuasa media dan sosial
media terhadap sikap-sikap dan perilaku aktor-aktor dan institusi-institusi
politik. Salah satu teori yang dapat kita adaptasi untuk mengeksplorasi
hal tersebut, antara lain teori mediatisasi politik yang dikembangkan oleh
Stromback tahun 2008 (Ahmad, 2017). Dengan teori ini, kita tidak hanya
berpeluang untuk mengidentifikasi perubahan struktural dan sistematis
yang mendorong berkembangnya mediatisasi politik, sebagaimana yang
disampaikan oleh Mazzoleni dan Schulz (1999). Lebih dari itu, kita juga
bisa menganalisis faktor-faktor struktural dan kultural apa saja yang
memengaruhi empat hal berikut. Pertama, sejauh mana masyarakat dan
aktor politik menilai media sebagai sumber informasi politik yang sangat
penting. Kedua, sejauh mana institusi media independen dari institusi-
institusi politik. Ketiga, sejauh mana isi media di-drive oleh logika politik
(political logic) maupun logika media (media logic). Keempat, sejauh
mana sikap dan perilaku aktor-aktor politik dipengaruhi oleh logika politik
(political logic) maupun logika media (media logic) (Strombak, 2008:
235–241) dan pemberitaan media (news media logic) serta logika media
sosial (sosial media logic).

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 107 ]


DAFTAR PUSTAKA

Abraham, A., and Windmann, S. (2007). “Creative cognition: The diverse


operations and the prospect of applying a cognitive neuroscience
perspective”. Methods: 38-48.
Ahmad, N. (2021a). “What Drive Marketization and Professionalization
of Campaigning of Political Parties in the Emerging Democracy?
Evidence from Indonesia in the Post-Soeharto New Order”. Journal
of Political Marketing. DOI: 10.1080/15377857.2021.1910610
Ahmad, N. (2021b). “Political markets, the party-related factors and
political party’s market-orientation in Indonesia’s democracy:
evidence from Indonesia’s 2014 parliamentary election”. Quality &
Quantity. DOI: https://doi.org/10.1007/s11135-021-01111-z
Ahmad, N. (2020a). “Populist political ideation and communication of
gubernatorial candidates in Indonesia’s 2018 gubernatorial elections:
Anti-establishment views, secular nationalism and Islamism as
ideational-populist elements”. Asian Journal of Comparative Politics,
1-22. https://doi.org/10.1177/2057891120931932
Ahmad, N. (2020b). “The Rise of Secular Nationalist and Islamic-Based
Populist Communication Strategies: New Threats to Indonesian
Media and Journalists’ Freedom.” in Jamil, Sadia (eds), Handbook
of Research on Combating Threats to Media Freedom and Journalist
Safety (pp. 124-146). Hershey PA: IGI Global
Ahmad, N. (2020c). “Celebrification of Politics: Understanding Migration
of Celebrities into Politics Celebrification of Celebrity Politicians in
the Emerging Democracy of Indonesia”. East Asia, 37:63–79
Ahmad, N. (2019). “Indonesian News TV Channels and Polarized Political
Issues”. Asian Politics & Policy, 11(3): 505-5-19.
Ahmad, N. (2017). “Mediatisation of Politics as An Emanating Research
Paradigm: Assessment and Reflection on the Weaknesses and Potential
Contributions of Strömbäck” (2008) Theory of Mediatisation of
Politics”. Jurnal Komunikasi Indonesia, 6(2): 84-98.

[ 108 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


Ahmad, N. (2012). Manajemen Komunikasi Politik dan Marketing Politik:
Sejarah, Perspektif, dan Perkembangan Riset. Yogyakarta: Pustaka
Zaman.
Barbot, Baptiste. (2018). “The Dynamics of Creative Ideation: Introducing
a New Assessment Paradigm”. Perspective, 9: 1-8. https://doi.
org/10.3389/fpsyg.2018.02529
Barnhurst, K.G., and Quinn, K. (2012). “Political Visions’: Visual Studies
in Political Communication”, in Semetko, Holli A. and Scammell,
Margaret (eds), the Sage Handbook of political Communication (276-
291). London: Sage Publication.
Blyth, M. M. (1997). Any more bright ideas? The ideational turn of
comparative political economy. Comparative Politics, 29(2): 229-50
Carstensen, M. B. (2011). “Ideas are Not as Stable as Political Scientists
Want Them to Be: A Theory of Incremental Ideational Change”.
Political Studies, 59: 596-615.
Chaffee, S. H. (2001). “Studying the new communication of politics”.
Political Communication, 18(2): 237-244.
Chaffee, S. H. (1975). Political Communication: Issues and Strategies for
Research. London: Sage Publication
Coxall, B., Robins, L., and Leach, R. (2003). Political ideologies: the
battle of ideas. In: Contemporary British Politics. Palgrave, London.
https://doi.org/10.1007/978-1-349-14821-9_4
Fink, A., Benedek, M., Grabner, R. H., Staudt, B., and Neubauer, A.
(2007). “Creativity meets neuroscience: Experimental tasks for the
neuroscientific study of creative thinking”. Methods, 42:68-76.
Gazali, E. (2004). Communication of Politics and Politics of Communication
in Indonesia: A Study on Media Performance, Responsibility and
Accountability. Doctoral Thesis pada Radboud University Nijmegen.
Harrison, K., and Boyd, T. (2018). Understanding Political ideas and
Movement. Manchester: Manchester University Press.
Laswell, Harold. D. (1936). Politics: Who Gets What, When, How.
Whittlesey House: McGraw-Hill book Company, Incorporated.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 109 ]


Lilleker, D. G. (2019). “The power of visual political communication:
pictorial politics through the lens of communication psychology”,
in Veneti, A., Jackson, D., and Lilleker, D.G. (eds), Visual Political
Communication (37-51). Cham, Swistzerland: Palgrave MacMillan.
Lilleker, D. G., Veneti, A., dan Jackson, D. (2019). “Introduction: Visual
Political Communication”. Veneti, A., Jackson, D., and Lilleker, D.G.
(eds), Visual Political Communication (1-13). Cham, Swistzerland:
Palgrave MacMillan.
Mazzoleni, G. (1987). “Media Logic and Party Logic in Campaign
Coverage: The Italian General Election of 1983”. European Journal
of Communication, 2: 81-103. 
Mazzoleni, G., and Schulz, W. (1999). “Mediatization of Politics: A
Challenge for Democracy?”. Political Communication, 16(3): 247-
261
McNair, B (2004). An Introduction to Political Communication. London:
Routledge. Third Edition.
Rogers, E.M. (1994). A History of Communication Study: A Biographical
Approach. Oxfird: The Free Press.
Seib, P. (2008). Political Communication. London : Sage Publication.
Schill, D. (2012). “The Visual Image and the Political Image: A Review
of Visual Communication Research in the Field of Political
Communication”. Review of Communication, 12(2): 118-142
Strömbäck, J. (2008). "Four Phases of Mediatization: An Analysis of the
Mediatization of Politics". The International Journal of Press/Politics,
13 (3): 228-246.

[ 110 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


ADVERTISING: DARI
PETA PEMODELAN
MENUJU ASAS
KEBERGUNAAN
Bidang yang paling terkoneksi dengan revolusi teknologi
komunikasi adalah periklanan (advertising). Sebagai bidang
unik dengan energi persuasif, dunia periklanan sangat
diuntungkan dengan datangnya kemudahan dan efisiensi
era digital. Proses digitalisasi dalam komunikasi pemasaran
telah menciptakan pergeseran signifikan atas konsep
persuasi, namun tetap mempertahankan aspek mendasar
yang berlaku abadi dalam dunia periklanan: volume dan
biaya. Dua tulisan di bagian ini mengurai relasi antara
teknologi di satu sisi dengan dinamika dunia periklanan di
sisi lain, berikut implikasinya.
BAB 8
Transformasi Model Periklanan: Dari Era Pre-industrial
Hingga Era Interaktif Global

Widodo Agus Setianto

Pengantar

S etiap hari kita “dipaksa” menyaksikan iklan dari berbagai jenis produk
dan merek yang ditampilkan di berbagai ragam media, baik media
televisi, radio, surat kabar, majalah, media online, spanduk, poster, baliho
dan sebagainya. Pesan-pesan penawaran juga kita dapatkan di berbagai
tempat seperti di dinding-dinding kota, stadion olahraga, bis kota, taman-
taman kota, halte pemberhentian bus, stasiun kereta api, bandar udara
dan pelabuhan. Tanpa kita sadari, ruang kehidupan kita telah disesaki
oleh pesan-pesan penawaran. Ribuan pesan menerpa kita setiap hari.
Ada yang menarik perhatian kita, ada yang berlalu begitu saja. Sekejap
mata memandang, selentingan telinga mendengar, sepelintasan pikiran
menangkap, cukup bagi sebuah pesan iklan untuk masuk dan merembes
ke alam bawah sadar pikiran kita. Kalau pesan-pesan iklan itu terus datang
menerpa dengan berulang-ulang, pesan iklan itu akhirnya lekat dalam
ingatan kita, sehingga manakala kita membutuhkan sebuah produk dengan
merek tertentu, maka merek produk tertentu itulah yang muncul dalam
benak kita dan menjadi preferensi kita untuk memilihnya.
Iklan sudah sedemikian melekatnya dalam kehidupan kita. Disadari
atau tidak disadari, tiada hari tiada waktu yang berlalu tanpa iklan. Iklan
adalah sebuah fenomena dalam masyarakat yang memunculkan fenomena
lainnya. Sebagai sebuah fenomena, iklan sangat menarik untuk dikaji
mengingat daya persuasinya yang demikian tinggi dalam memengaruhi
pikiran dan perilaku masyarakat.  Sebaliknya masyarakat yang menjadi
sasaran pesan-pesan iklan juga memunculkan fenomena yang tidak kalah

[ 112 ]
menariknya untuk dikaji. Budaya pop, gaya hidup, konsumerisme adalah
sebagian dari fenomena dalam masyarakat dalam kaitannya dengan iklan.
Dengan demikian iklan sebagai sebuah fenomena kemasyarakatan tidak
hanya menjadi bagian dari masyarakat, akan tetapi sudah menyatu dengan
kehidupan masyarakat itu sendiri. Mengingat relasinya yang sangat kuat,
tidaklah mengherankan kalau iklan terus tumbuh dan berkembang seiring
dengan dinamika pertumbuhan masyarakat, khususnya yang menyangkut
aspek-aspek kehidupan sosial dan ekonomi dan standar kehidupan material
masyarakat. 

Pondasi Periklanan
Iklan pada dasarnya adalah fenomena kehidupan masyarakat modern. 
Iklan hadir seiring dengan industrialisasi yang menghadirkan barang-barang
konsumsi hasil pabrikan. Produk-produk hasil pabrikan memerlukan media
komunikasi untuk menginformasikan produknya kepada konsumen. Tapi
sebagai sebuah bentuk pesan penawaran, keberadaan “iklan” (kalaupun
bisa disebutkan demikian) sebenarnya jauh lebih lampau masanya dari
masa industrialisasi. Dapat dikatakan sejarah bentuk pesan penawaran
“iklan”, sama tuanya dengan sejarah perdagangan yang pernah dilakukan
manusia. Fondasi periklanan dapat dilihat dari artefak-artefak pesan
penawaran peninggalan peradaban kuno pada masa Babilonia Kuno, Mesir
Kuno, Yunani Kuno, dan Romawi Kuno. 
Sebagai media penyampai informasi, keberadaan iklan dapat dilihat
jejaknya pada artefak sejarah peradaban Mesir Kuno (3500 SM). Di
reruntuhan kota Thebes (Tibe) ditemukan lembaran-lembaran lontar dan
lembaran papyrus berisi pengumuman tentang pemberian hadiah bagi
yang dapat mengembalikan budak-budak yang melarikan diri.  Hal ini
menunjukkan bahwa orang Mesir pada masa itu memiliki medium yang
lebih baik untuk menuliskan pesan-pesan mereka. Selain lontar dan papyrus
medium lain yang biasa digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan
yang menarik dan barang-barang yang dijual adalah dengan memasang
lempengan-lempengan batu yang disebut dengan stelae (stone billboard).
Stelae ini dipasang di jalan-jalan utama atau pada tempat-tempat strategis

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 113 ]


(King, 1983). Stelae inilah yang di kemudian hari berkembang menjadi
media luar ruang (billboard atau out-door advertising).
Di era Babilonia Kuno (3000 SM), di reruntuhan Menara Babil juga
ditemukan jejak-jejak pesan penawaran yang sekarang kita namakan
sebagai iklan.  Jejak-jejak tersebut terdapat pada lembaran tanah liat
(terra-cotta) berisi informasi tentang penyalur obat (salep), penulis dan
tukang sepatu (Rusell & Lane, 1990). Untuk memberikan informasi barang
dagangannya, para pedagang pada masa itu menggunakan tanda-tanda
yang dipasang di depan pintu yang menunjukkan tempat penjualan barang
tertentu, seperti tempat penjualan minuman anggur, toko roti, toko sepatu
dan sebagainya (King, 1983).
Pada peradaban Yunani Kuno (1100 SM), informasi tentang produk
dilakukan oleh orang-orang yang dijuluki sebagai tukang teriak kota
(town-criers). Tukang teriak kota ini didampingi oleh seorang pemusik
yang mengiringinya dalam menyanyikan (menginformasikan) kedatangan
kapal-kapal yang bermuatan anggur, rempah-rempah dan logam. Tukang
teriak kota kemudian menjadi medium paling awal untuk pengumuman-
pengumuman masyarakat di banyak negara Eropa, dan dipakai selama
berabad-abad (Rusell & Lane, 1990).
Di Romawi, jejak-jejak peninggalan sejarah tentang iklan didapatkan
di reruntuhan kota Pompei. Kota Pompei luluh lantak akibat letusan
gunung Vesuvius Tahun 79 M. Reruntuhan kota ini ditemukan kembali
secara tidak sengaja tahun 1748 setelah hilang selama 1600 tahun. Orang-
orang Pompei menginformasikan produknya pada konsumen dengan
menuliskan atau mengguratkan tanda-tanda di atas batu atau terra-cotta.
Toko-toko yang dapat diidentifikasi dari iklan yang ada adalah toko daging
yang menginformasikan tentang daging babi asap, gambar sapi yang
menunjukkan toko penjual susu sapi, gambar sepatu bot yang menunjukkan
tukan sepatu. Selain itu orang Pompei juga menggunakan tanda-tanda di
dinding yang dicat untuk menceritakan kisah mereka kepada publik. 
Periklanan modern sebagaimana dikenal sekarang ini merupakan
kelanjutan dari pesan-pesan penawaran yang sebelumnya pernah ada.
Model penyampaian informasi yang sangat sederhana pada masa-masa
awal periklanan menjadi fondasi bagi perkembangan periklanan modern

[ 114 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


sekarang ini. Periklanan modern dimulai ketika tahun 1841 di kota
Philadelphia Amerika Serikat berdiri agensi periklanan pertama di dunia
yang didirikan oleh Volney B. Palmer (Applegate, 2012). Akhir abad 19
Amerika Serikat tumbuh menjadi negara industri maju. Pertumbuhan
industri di Amerika Serikat ditopang selain oleh ketersediaan sumber daya
alam yang melimpah, juga ketersediaan teknologi, sumber daya manusia,
modal, transportasi, juga keberhasilan tokoh-tokoh yang menggerakkan
industri tersebut (Fite, 1970). Implikasi dari perkembangan industri
adalah melimpahnya ketersediaan barang-barang hasil industri. Produsen
barang-barang hasil produksi memerlukan media untuk mempromosikan
produknya. Volney B. Palmer melihat peluang akan kebutuhan ini. Inilah
yang mendorong Volney B. Palmer mendirikan agensi iklan pertama untuk
merespons tuntutan kebutuhan dunia industri.
Seiring dengan perkembangan industri, kegiatan periklanan pun
berkembang menjadi sedemikian kompleks. “Iklan” yang pada masa awal
dikenal hanya sebagai media pengumuman yang menginformasikan kepada
publik tentang penjualan produk, kemudian berkembang menjadi bentuk
komunikasi yang bersifat persuasif dengan melibatkan banyak simbol dan
teknik komunikasi yang rumit dan canggih. Teknik-teknik periklanan pun
berkembang sesuai dengan setiap tantangan yang dihadapi. Iklan kemudian
berevolusi dan bertransformasi dari bentuk yang paling sederhana sebagai
media informasi menjadi bentuknya yang lebih canggih dan rumit sebagai
media pembentuk citra dan alat persuasi publik sebagaimana kita kenal
sekarang ini. 

Transformasi Model Periklanan


Memasuki era industrial, iklan mengalami akselerasi dalam evolusi
dan transformasi model-model penyampaian pesannya. Selain karena
dinamika yang berkembang dalam kehidupan masyarakat, perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi media memberikan
kontribusi yang besar dalam evolusi dan transformasi model periklanan.
Evolusi dan transformasi model periklanan setidaknya dapat diadaptasi
dari pembagian era periklanan yang dilakukan oleh William F Arens. Arens
membagi era periklanan ke dalam lima era yakni: 1) Era Sebelum Industri

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 115 ]


(The Pre-industrial Age), 2) Era Industrialisasi (The Industrializing Age),
3) Era Industri (The Industrial Age), 4) Era Pasca-Industri (The Post-
Industrial Age), dan 5) Era Interaktif Global (The Global Interactive Age)
(Arens, 1999). 

1. Era Sebelum Industri (The Pre-Industrial Age) 


Era sebelum industri adalah era menjelang hadirnya Revolusi Industri
di abad ke-18. Penandanya dimulai ketika ditemukannya mesin cetak di
Jerman oleh Johan Gutenberg pada sekitar tahun 1450 (Malik, 2013).
Gutenberg tidak hanya menemukan mesin cetak, namun juga menciptakan
tinta khusus untuk percetakannya dan juga cetakan huruf (Hakim, 2010). 
Melalui temuannya ini, Indulgensi (surat pengampunan dosa), Bible (kitab
suci), buku-buku pengetahuan, kalender yang sebelumnya ditulis tangan
dengan jumlah yang sangat terbatas, dapat dicetak dan didistribusikan
secara masif. Akibatnya akses terhadap pengetahuan menjadi sangat
terbuka. Masyarakat menjadi tercerahkan dengan ilmu pengetahuan yang
tersebar luas. 
Penemuan Gutenberg menjadi inspirasi banyak orang untuk membuat
mesin cetak sejenis, bukan hanya di Jerman tempat asal Gutenberg, akan
tetapi meluas ke belahan Eropa lainnya. Asa Briggs dan Peter Burke
mencatat, tahun 1500 di Eropa telah didirikan sekitar 250 percetakan,
terdapat 80 di Italia, 52 di Jerman, dan 43 di Prancis. Di Basel dimulai tahun
1466, Roma tahun 1467, Paris dan Pilsen tahun 1468, Venesia tahun 1469,
Leuven, Valencia, Krakow dan Buda tahun 1477. Percetakan yang tersebar
di berbagai negara Eropa telah menghasilkan sekitar 27 ribu judul buku,
dengan perkiraan rata-rata hasil cetak 500 eksemplar buku setiap judulnya,
sehingga ada sekitar 13 juta buku yang beredar pada kurun waktu tersebut
di Eropa yang berpenduduk sekitar 100 juta jiwa (Briggs & Burke, 2009).
Melalui teknologi cetak, pembuatan peta yang semula ditulis tangan
diganti dengan peta hasil cetakan yang memberikan detail dan akurasi yang
lebih baik. Literasi yang berkembang karena tersebarnya pengetahuan lewat
media tercetak menumbuhkan budaya korespondensi ketika orang-orang
mulai saling berkirim surat dan mendistribusikannya ke berbagai tempat
yang jauh sehingga memunculkan jaringan pos yang luas. Koran-koran

[ 116 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


juga mulai bermunculan (Vivian, 2008). Prototype surat kabar pertama
muncul di Jerman tahun 1609 di Bremen, Starborgg. Bentuk surat kabar
sesungguhnya terbit tahun 1620 di Frankfurt, Berlin, Humberg, Vienna,
Amsterdam dan Antwerp. Tahun 1621 terbit surat kabar di Inggris. Oxford
Gazette merupakan surat kabar pertama yang terbit secara teratur di Oxford
tahun 1665. Penerbitan surat kabar terus meluas di berbagai tempat lain di
Eropa dan Amerika. Sementara untuk majalah baru bermunculan sekitar
tahun 1700-an seperti Review yang terbit di Inggris tahun 1704, The Tatler
dan The Spectato tahun 1790 (Elvinaro, 2009). 
Penemuan mesin cetak oleh Gutenberg telah mengubah model format
penyampaian iklan yang telah berlangsung selama 4.500 tahun. Iklan tidak
lagi disampaikan melalui media tunggal seperti lontar, papyrus, stelae,
tablet cuenivorm, terra cotta, maupun gambar-gambar di pintu rumah yang
cenderung statis dan terbatas. Melalui teknologi cetak, iklan disampaikan
melalui poster, surat-surat edaran, selebaran-selebaran yang didistribusikan
dan disebarkan dengan cakupan yang luas.  Adanya informasi umum yang
diterbitkan secara berkala dalam bentuk surat kabar menjadikan iklan
semakin tersebar luas karena didukung oleh jaringan kantor pos yang
tersebar di seluruh Eropa. Pengiklan pertama pada era ini yang diketahui
adalah apa yang dilaporkan dan dimuat dalam sebuah penerbitan surat
kabar Jerman pada awal tahun 1600-an yang mengiklankan suatu obat
untuk dijual kepada masyarakat (King, 1983). Digunakannya surat kabar
sebagai media iklan telah mengubah pola komunikasi iklan ke dalam
bentuk komunikasi massa dan menjadi tonggak sejarah bagi cikal bakal
berkembangnya periklanan modern sekarang ini. 

2. Era Industrialisasi (The Industrializing Age)


Era ini dimulai sejak ditemukannya mesin uap di Inggris oleh James
Watt pada tahun 1769 yang kemudian melahirkan Revolusi Industri (Hart,
2009). Meski banyak penemuan-penemuan lain yang memegang peranan
penting yang mendorong berkembangnya Revolusi Industri, namun
penemuan mesin uap oleh James Watt merupakan kunci yang memainkan
peranan penting dalam Revolusi Industri. Tenaga mesin uap tidak hanya
digunakan untuk kincir angin atau putaran air, penggerak kapal atau

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 117 ]


lokomotif, tetapi juga untuk menggerakkan pabrik-pabrik. Dengan
menggunakan mesin-mesin yang digerakkan oleh tenaga uap, pabrik-pabrik
dapat memproduksi barang-barang industri secara masif dan bertahan lama.
Persoalan yang muncul bukan pada produksi, tetapi pada distribusi agar
tidak terjadi penumpukan barang-barang yang telah dihasilkan. Produksi
barang secara masif tentu membutuhkan konsumsi yang bersifat masif
pula. Iklan menjadi pilihan utama dalam upaya mengomunikasikan produk
dan menstimulus konsumen agar menggunakan produk yang ditawarkan.
Selama masa-masa awal berlangsungnya Revolusi Industri, Inggris
merupakan negara terkemuka yang memimpin dunia periklanan. Kegiatan
periklanan di Inggris mengalami kemunduran sangat drastis ketika
pemerintah mengenakan pajak yang sangat tinggi untuk setiap kegiatan
periklanan. Akhirnya banyak orang Inggris meninggalkan Inggris eksodus
ke Amerika dengan membawa semua keahliannya. Revolusi yang terjadi
di Amerika pada tahun 1776 telah memunculkan Amerika menjadi
kekuatan ekonomi baru dengan nilai-nilai kebebasan yang diusungnya. 
Banyaknya perusahaan yang menginginkan menjual produknya sebanyak
mungkin telah memberikan peluang yang sangat besar bagi kemajuan
periklanan di Amerika. Pada masa itu Amerika menjadi negara terkemuka
yang memimpin dunia periklanan menggantikan posisi Inggris.  Tingginya
aktivitas penawaran produk di masyarakat melalui periklanan mendorong
munculnya penyedia jasa di bidang periklanan. Pada tahun 1841 di
Philadelpia munculah biro iklan pertama yang dipelopori oleh Volney B.
Palmer (Applegate, 2012). Munculnya agensi periklanan sebagai layanan
jasa pemuatan iklan di media menjadi penanda bagi transformasi model
iklan menjadi lebih terkoordinasi sekaligus sebagai penanda munculnya
iklan modern yang terlembaga dan terorganisasi.
Pada era industrialisasi media komunikasi massa berkembang dengan
kehadiran radio dan film. Melalui dua medium baru ini dunia periklanan
menjadi semakin berkembang. Pada masa terjadi Perang Dunia I, iklan
tidak hanya digunakan untuk kepentingan menstimulasi masyarakat agar
menggunakan produk yang diiklankan, akan tetapi juga digunakan sebagai
alat untuk membujuk masyarakat agar mendukung pemerintah dalam
peperangan dan ikut berpartisipasi dalam wajib militer. Selain itu iklan
juga digunakan untuk tujuan-tujuan nonkomersial lainnya. 

[ 118 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


3. Era Industri (The Industrial Age)
Era ini ditandai dengan perkembangan besar dan kedewasaan dari
negara-negara berbasis industri. Di Amerika misalnya, pasar komoditas
menjadi semakin luas, pasar-pasar baru banyak dikembangkan, barang-
barang mewah bermerek dengan harga terjangkau mulai bermunculan.
Pabrik-pabrik mulai mengubah fokusnya dari orientasi produksi ke
orientasi penjualan. Mereka mencurahkan perhatian pada perkembangan
produk baru, penguatan kekuatan penjualan, pengemasan dan pelabelan
barang serta terlibat dalam periklanan berskala nasional. 
Era ini juga ditandai dengan hadirnya televisi pada tahun 1941.
Televisi merupakan media komunikasi yang bersifat audio-visual.
Kehadiran televisi menjadi ekspansi media yang paling besar dan
menjadi sarana komunikasi massa dan media periklanan baru yang kuat
dan berkecepatan tinggi. Setelah Perang Dunia II, iklan di media televisi
semakin berkembang dengan cepat dan terus memantapkan diri sebagai
media periklanan terbesar. 
Pada akhir tahun 1940-an dan awal tahun 1950-an konsumen berusaha
menaikan status sosialnya melalui konsumsi barang-barang modern. Di
sinilah iklan memasuki era keemasannya. Aspek kreatif iklan berkembang
pesat mengalami revolusi dengan memberikan fokus pada keistimewaan
produk, yang secara implisit menunjukkan penerimaaan sosial, gaya,
kemewahan dan kesuksesan. Ketika pasar mulai menerapkan strategi
segmentasi, yakni sebuah proses di mana para pelaku pemasaran mencari
sekelompok orang yang kebutuhannya bisa diarahkan melalui produk yang
semakin spesifik, iklan pun mulai mengalami pergeseran penekanan dari
keistimewaan produk menjadi citra atau personalitas merek. Produk-produk
ditempeli citra-citra yang kemudian menjadi simbol kesuksesan dan juga
kemewahan. The image era of advertising ini menjadi titik kulminasi dari
revolusi kreatif iklan.

4. Era Pasca-Industri (The Post-industrial Age)


Kegiatan pemasaran besar-besaran yang dilakukan di era industri
berhasil  meningkatkan konsumsi masyarakat akan barang-barang
produksi. Akan tetapi di sisi lain juga menyebabkan terjadinya mis

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 119 ]


alokasi sumber daya yang terkonsentrasi hanya untuk kegiatan konsumsi. 
Pemasaran telah menyebabkan terabaikannya hal-hal yang lebih asasi,
seperti pendidikan, lingkungan kumuh, limbah industri, dan polusi yang
pada dasarnya mengabaikan kesejahteraan lingkungan fisik dan lingkungan
sosial masyarakat. Masalah ini terus berkembang hingga dekade tahun
1980-an ketika dunia bisnis dan pemasaran menghadapi tantangannya.
Pada dekade ini telah terjadi begitu banyak perubahan dalam masyarakat
yang menyangkut perubahan sosial ekonomi yang berbeda dengan waktu-
waktu sebelumnya. Perubahan yang paling mencolok adalah biaya energi
yang tinggi dan nilai-nilai yang berubah yang menuntut kualitas hidup
yang lebih baik, dan  tumbuhnya kesadaran akan kelestarian lingkungan
fisik dan sosial (Kotler & Keller, 2009).
Inilah perubahan besar di mana untuk pertama kalinya orang
menjadi betul-betul sadar akan lingkungan yang sensitif di mana mereka
tinggal dan mulai ketakutan pada ketergantungan terhadap sumber daya
alam khususnya di bidang energi. Tahun 1970-an hingga tahun 1980-an
terjadi kekurangan energi yang sangat akut. Hal ini menyebabkan terjadi
perlambatan dalam proses produksi, biaya produksi menjadi tinggi dan
harga jual produk menjadi mahal.  Para produsen mulai mengerem upaya
pemasaran yang dilakukan dengan istilah pemasaran baru yang disebut
dengan demarketing. Istilah demarketing mengacu pada strategi yang
bertujuan untuk mengatur tingkat dan bentuk permintaan aktual dan masa
depan oleh organisasi (laba dan nirlaba serta pemerintah). Dengan kata
lain, demarketing adalah jawaban strategis atau pemetaan jalan, yang
dirancang oleh organisasi, untuk mengelola permintaan barang, jasa,
pengalaman, dan produk lain yang berlebihan, oleh pasar aktual atau masa
depan (Cintron et al., 2017).
Para produsen energi dan produsen barang-barang yang membutuhkan
energi mulai menggunakan iklan untuk memperlambat permintaan barang.
Seperti ketika energi listrik mengalami penurunan, iklan menyarankan
orang untuk memakai ulang mesin pencuci dan pengering mereka yang
masih bisa untuk digunakan. 
Dalam merespons tuntutan masyarakat akan kualitas kehidupan fisik
dan sosial yang lebih baik, produsen mulai memunculkan iklan-iklan yang

[ 120 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


mengklaim bahwa produk mereka aman bagi lingkungan. Perusahaan-
perusahaan multinasional juga mulai membuat iklan-iklan korporat untuk
menunjukkan kesadaran sosial mereka terhadap lingkungan. Upaya
demarketing dengan menggunakan iklan, lambat laun menjadi alat strategis
yang semakin agresif bagi pengiklan untuk menghadapi kompetitor-
kompetitor dan masalah-masalah sosial lainnya.

5. Era Interaktif Global (The Global Interactive Age)


Perkembangan teknologi baru di awal abad ke-21 membawa pengaruh
yang besar bagi dunia periklanan. Pertama adalah hadirnya televisi kabel,
dan kedua adalah hadirnya internet. Kehadiran dua teknologi komunikasi
baru tersebut memberikan pengaruh pada perubahan lanskap dunia
periklanan. Televisi kabel dan satelit-satelit penerima memungkinkan
orang untuk menonton saluran televisi yang memiliki program spesifik
seperti berita, film, olahraga, komedi, dan sebagainya. Pergeseran ini
mengubah televisi dari media massa yang memiliki jangkauan paling
luas menjadi media khusus. Pergeseran ini membuat perusahaan kecil
dan pemasaran produk yang hanya memiliki sedikit pelanggan bisa
beriklan dengan menggunakan televisi secara terbatas untuk menjangkau
khalayaknya. Televisi kabel dalam hal ini telah memberi peluang dan
ruang bagi pengiklan dari produsen-produsen kecil dan menengah untuk
dapat menjangkau konsumennya secara lebih spesifik.
Pada saat yang sama teknologi komputer dan internet juga memberikan
pengaruh yang besar pada dunia periklanan. Internet menjadi media
baru bagi pengiklan untuk menjangkau konsumen potensialnya secara
lebih spesifik. Internet merupakan medium komunikasi digital berbasis
sinyal elektronik yang penggunaannya secara revolusioner melahirkan
era masyarakat digital. Era masyarakat digital adalah sebuah era yang
merefleksikan kehidupan masyarakat dengan berbagai kemudahan melalui
teknologi komunikasi yang terkoneksi dalam jaringan sehingga terjadi
interkoneksitas di antara pengguna. Interkoneksitas ini mencakup seluruh
jaringan di seluruh dunia yang menciptakan interaksi global. Melalui
teknologi komunikasi digital ini dunia didatarkan dan terkoneksi satu sama
lainnya sehingga dunia menjadi menyempit dan sangat kecil (Friedman,
2006).
Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 121 ]
Internet telah mengubah produksi dan konsumsi media dan mengubah
perilaku masyarakat dalam penggunaan media. Masyarakat mulai terbiasa
membaurkan konsumsi media konvensional dan media sosial, seperti
menonton siaran langsung televisi sambil meng update status (Aryanto,
2019). Sifat interaktif internet memungkinkan konsumen secara proaktif
mencari sendiri berbagai informasi tentang produk yang mereka inginkan.
Ini merupakan cara revolusioner dalam berkomunikasi secara interaktif
yang dilakukan para pengiklan untuk menjangkau konsumennya dan yang
dilakukan konsumen untuk mendapatkan informasi. Dengan demikian
internet menjadi media baru yang berkembang paling cepat sejak era
televisi. 
Era interaktif global memberi tantangan baru terhadap fragmentasi
media periklanan dengan beralihnya konsumen ke media digital. Media
digital melahirkan profesi-profesi baru seperti content creator, content
writer dan copywriter, media social specialist, digital media strategist,
search engine optimization (SEO) specialist, cyber security, digital
public relations, marketing digital manager, digital marketing, search
engine marketing, software developer, dan web developer (Aisyah, 2018).
Munculnya sejumlah aplikasi dan media sosial yang lebih efektif dan efisien
dengan profesi-profesi baru yang mengiringi memberikan arah baru pada
model periklanan melalui sejumlah inovasi di bidang kreatif, pengukuran
dan platform, serta teknologi dan media kreatif untuk membentuk kembali
rantai nilai iklan (Harjanto, 2019). 
Model periklanan di era interaktif global sepenuhnya akan bertumpu
pada berbagai platform yang ada pada media online.  Kecenderungan
penggunaan iklan berbasis online semakin meningkat meninggalkan iklan
media konvensional lainnya. Hasil riset Pricewaterhouse Coopers (PwC)
tentang Global Entertainment and Media Outlook 2017–2021 memberikan
gambaran prediksi total belanja iklan di Indonesia tahun 2021 sebesar US$
13,7 miliar atau naik 63,1% dari total belanja iklan tahun 2016 senilai US$
8,4 miliar. Meski belanja iklan masih didominasi oleh video entertainment
(TV, web video, dan sinema), namun pertumbuhan terbesar belanja iklan
berada di internet 21,5%. Kemudian diikuti oleh video games 19,1%, dan
video entertainment (TV, web video dan cinema) 10,4% (Nabila, 2017).  

[ 122 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


Televisi masih tetap mendominasi dalam menyerap belanja iklan. Tapi
tren pertumbuhan belanja iklan secara konsisten terlihat di segmen internet.
Masih dominannya media televisi sebagai media utama iklan disebabkan
karena masih belum meratanya kesiapan infrastruktur Indonesia khususnya
penetrasi internet berbasis kabel. Belanja iklan di internet akan terus
meningkat seiring dengan kesiapan perbaikan infrastruktur konektivitas
internet di Indonesia. 
Di Amerika dengan infrastruktur internet yang baik, belanja iklan
di internet mencapai US$60 miliar dibandingkan media televisi US$24
miliar. Google dan Facebook menjadi pemain utama yang meraup
keuntungan terbesar yang menyedot pendapatan iklan tertinggi dalam
internet advertising. Media sosial menjadi platform yang sangat efektif
dalam mengembangkan kampanye iklan di internet. Snapchat merupakan
aplikasi pesan mobile yang sukses dalam mengembangkan 3V advertising,
yakni konten dengan rotasi vertikal yang dilihat melalui telepon pintar,
video, dan viewing atau konten yang dilihat dengan layar penuh. Iklan
dengan menggunakan 3V Snapchat dengan durasi 10 detik mampu menarik
penonton sejumlah 26 juta untuk kasus iklan Spotify, dan 14 juta untuk
kasus iklan Furious 7.  
Instagram merupakan media sosial yang paling banyak digunakan
untuk networking. Model pengiklanan produk di Instagram selain dengan
kekuatan tampilan visual juga dengan menggunakan selebgram. Beragam
produk diiklankan oleh selebgram, mulai produk kecantikan, kesehatan,
pakaian, makanan, minuman, produk consumer goods seperti Johnson’s
Baby dan sebagainya. Produk-produk ini semula menggunakan iklan
konvensional melalui agensi periklanan. Tapi karena terjadi perubahan
dengan munculnya teknologi digital, produk-produk tersebut kemudian
memanfaatkan selebgram untuk menyampaikan pesan yang lebih personal
dan dekat dengan konsumen. Tingginya penggunaan media sosial yang
menggunakan fitur chat seperti WhatsApp, Facebook Messenger, dan
Wechat akan menjadi model penggunaan iklan berbasis chat untuk dunia
pemasaran digital (Sutarini, 2019). 

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 123 ]


Penutup
Model iklan bertransformasi seiring dengan perkembangan teknologi
media komunikasi. Selama lebih kurang 4.500 iklan berjalan dengan
model yang sangat sederhana berupa informasi produk yang disampaikan
melalui media tradisional dalam lembaran lontar, papyrus, lempeng batu
bertulis (stelae), terracotta (cuneiform tablet), dan peneriak kota (town-
criers). Memasuki Era Pre-Industri model iklan mengalami transformasi
dalam hal media penyampaian dan distribusinya. Media penyampaiannya
sudah menggunakan lembaran kertas yang dicetak dengan mesin cetak
dan didistribusikan secara luas. Pada Era Industrialisasi transformasi
model iklan berkembang pada iklan yang lebih terkoordinir dengan
munculnya agensi periklanan yang melayani pembuatan dan pemasangan
iklan di media surat kabar dan media lainnya, termasuk hadirnya medium
iklan baru, yakni radio dan televisi, dan penggunaan iklan untuk tujuan
persuasi di luar kepentingan industri. Di era industri penggunaan televisi
sebagai media iklan menjadi semakin masif. Model iklan berkembang
semakin kreatif dengan berkembangnya aspek kreatif dalam pembuatan
iklan, penerapan strategi segmentasi, dan pergeseran penekanan dari
keistimewaan produk kepada citra dan personalitas merek.  Di era pasca
industri model iklan bertransformasi pada iklan yang lebih menekankan
pada kualitas kehidupan fisik dan sosial yang lebih baik. Muncul iklan-
iklan yang ramah pada lingkungan dan iklan-iklan yang menunjukkan
kesadaran dan kepedulian produsen pada lingkungan. Di era interaktif
global model iklan bertransformasi dengan penggunaan teknologi internet
yang bersifat interaktif. Iklan menggunakan berbagai platform yang ada
di internet. Media sosial menjadi platform yang sangat prospektif selain
media berbasis chat sebagai media iklan. Adanya pihak ketiga seperti
pendengung (buzzer), pengulas penggunaan produk (product reviewer),
layanan jasa promosi berbayar (paid promote), endorse, influencer, dan
selebgram merupakan fenomena khas dalam transformasi model iklan di
era interaktif global. 

[ 124 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


DAFTAR PUSTAKA

Applegate, E. (2012). The Rise of Advertising in the United States: A


History of Innovation to 1960. Toronto: The Scarecrow Press, Inc.
Arens, W. F.(1999). Contemporary Advertising, 7th Edition. Pennsylvania:
Irwin-McGraw Hill
Briggs, A. & Burke, P. (2009). A Social History of Media: From Gutenberg
to the Internet. 3th edition. Cambridge: Polity Press.
Cintron, V. Q. et.all (2017). “The Evolution of Demarketing Literature.
FORUM EMPRESARIAL Vol 22. Nomor 1. Summer 2017. P 77-108.
Elvinaro, A. dkk (2009). Komunikasi Massa suatu Pengantar (Edisi
Revisi). Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Fite, G. W. (1970). A History of the American People. New York: Mc Graw
Hill Book Company. 
Friedman, T. L .(2006). The World is Flat: A Brief History of The Twenty-
first Century. New York: Farrar, Straus and Giroux.
Hart, M. H. (2009). Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam
Sejarah. Edisi Terjemahan. Jakarta: Hikmah (PT Mizan Publika).
Hakim, N. (2010). “Book of Hours Geofroy Tory, Spirit Renaisans dalam
Kontinuitas Ide Desain Fitro”. Journal Speed-Sentra Penelitian
Engineering dan Edukasi. Volume 2 Nomor 2, 2010.
King, F. S. (1983). Advertising Practices. Canada: Delmar Publisher Inc. 
Kotler, P. & Keller, K. L. (2009). Marketing Management. 13th edition.
Pearson Education, Inc. 
Rusell, J. T. & Lane, W. R. (1990). Kleepner’s Advertising Procedures, 2nd
Edition., New Jersey: Englewood Cliffs, Prentice Hall. 
Malik, A. (2013). “Revolusi Gutenberg. Jurnal Komunikasi, Volume 2,
Nomor 2, Mei – Agustus 2013”. Hal 1-5. 
Vivian, J. (2008). Teori Komunikasi Massa (Edisi Terjemahan, Penerjemah
Tri Wibowo). Jakarta: Kencana Prenada Media. 

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 125 ]


Laman Internet
Aryanto, A. (2019). FPG Indonesia Beberkan Tantangan Dunia Periklanan
di Era Disrupsi. Dalam https://www.wartaekonomi.co.id/read258728/
fpg-indonesia-beberkan-tantangan-dunia-periklanan-di-era-disrupsi/0
Rabu 27 November 2019.
Aisyah, F. (2018). Profesi-profesi yang Muncul di Era Revolusi Industri
4.0. Dalam https://rencanamu.id/post/karier/profesi-profesi-baru-apa-
aja-yang-muncul-di-era-revolusi-industri-40-bagian-1
Harjanto, R. (2019). Fakultas Ilmu Komunikasi Gelar Kuliah Tamu Bahas
Dunia Periklanan Indonesia di Era Disrupsi Digital dan Industri 4.0.
Kuliah Tamu di Universitas Esa Unggul Jakarta. Dalam https://fikom.
esaunggul.ac.id/fakultas-ilmu-komunikasi-gelar-kuliah    
Nabila, M. (2017). PwC: Media Internet Diprediksi Kuasai 20 % Porsi
Iklan Indonesia Tahun 2021. 8 Agustus 2017 dalam  https://www.pwc.
com/id/en/media -centre/pwc-in-news/2017/indonesian/pwc--media-
internet-diprediksi-kuasai-20--porsi-iklan-indonesia-.html 
Sutarini, I. A (2019). “Evolusi Industri Periklanan di Era Disrupsi”.
Proceeding Seminar Nasional Sandyakala 2019. Dalam file:///C:/Users/
ASUS/Downloads/40-Article%20Text-140-1-10-20190904%20(3).
pdf

[ 126 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


BAB 9
Personalisasi dalam Periklanan Digital

Syaifa Tania

Pengantar

D igitalisasi teknologi telah mengubah cara kita melakukan produksi,


distribusi, dan konsumsi informasi. Konsep audiens yang mulanya
kerap dilekatkan hanya pada proses konsumsi, kini bergeser menjadi
“prosumer” yang aktif mengonsumsi sekaligus memproduksi informasi.
Kondisi ini tentunya memberikan dampak paradigmatis yang besar
terhadap praktik komunikasi pemasaran secara makro. Praktik komunikasi
pemasaran yang mulanya cenderung berorientasi pada target audiens yang
masif kini bergeser menjadi segmen-segmen spesifik. Secara ringkas, dapat
dikatakan bahwa pengaruh teknologi digital telah menggeser paradigma
masifikasi menjadi personalisasi dalam praktik komunikasi pemasaran.
Sebagai bagian dari komunikasi pemasaran, perkembangan periklanan
dari media tradisional menjadi digital pada praktiknya turut mengalami
perubahan drastis. Meskipun demikian, baik periklanan tradisional
maupun digital prinsip dasar keduanya tetap berakar pada konsep yang
sama yaitu, volume dan biaya (Nesamoney, 2015). Iklan-iklan yang
ditampilkan di media konvensional selalu berupaya untuk mencapai
volume setinggi-tingginya dengan biaya serendah-rendahnya. Tingginya
volume diidentifikasi dari jumlah frekuensi tayangan, banyaknya jenis
media yang digunakan, serta besar jangkauan (reach) target audiens yang
disasar. Dalam praktik kerja periklanan, divisi kreatif menjadi titik tumpu
yang dituntut untuk dapat menghasilkan creative output yang menarik,
sehingga dapat dilihat dan didengarkan oleh audiens sebanyak mungkin.
Pada tataran bentuk, perkembangan teknologi digital saat ini
menghadirkan ragam tools dan bentuk periklanan yang variatif. Sebut

[ 127 ]
saja, banner ads yang bisa dianggap sebagai versi digital dari print ad atau
billboard, endorsement di media sosial, webisodes yang menjadi bentuk
digital dari TVC, serta bentuk-bentuk lain. Tidak hanya berbeda secara
bentuk, seluruh tools periklanan digital ini juga memiliki keunggulan dalam
hal evaluasi efektivitas media iklan yang digunakan. Dengan menggunakan
perhitungan click, engagement rate, followers, dan basis digital media
metrics lainnya, performa setiap media iklan dapat dikuantifikasi.
Peluang yang ditawarkan ragam media iklan di media digital tidak
hanya bersifat lebih fungsional, namun juga lebih pintar (Nesamoney,
2015). Praktik mengakses media digital yang dilakukan oleh pengguna
media menjadi basis bagi pemasar untuk melakukan profiling terhadap
setiap pengguna media tersebut. Dengan melakukan profiling terhadap
aktivitas mengakses media digital tersebut, pemasar dapat memahami
minat pengguna dan merancang pesan iklan yang spesifik sesuai dengan
minat mereka. Pada tataran ini, periklanan di media digital bergerak
menjadi lebih personal dan relevan bagi para penggunanya. Akan tetapi,
di sisi lain kondisi ini tentu tidak lepas pula dari perdebatan tentang isu
privasi di media digital.

Personalized Digital Advertising: Perangkat Mobile dan Profil


Personal
Secara historis, konsep komunikasi pemasaran digital (digital
marketing communications) sesungguhnya telah muncul pada tahun 1990-
an. Akan tetapi, pada perkembangannya konsep ini baru cukup dikenal
pada tahun 2000-an seiring dengan perkembangan teknologi mobile seperti
ponsel dan laptop (Bahera et al., 2020). Popularitas konsep komunikasi
pemasaran digital sendiri baru benar-benar terjadi sekitar tahun 2010
seiring dengan meningkatnya penggunaan smartphone, ragam paket data
mobile yang terjangkau, serta popularitas media sosial di masyarakat.
Secara khusus, meningkatnya tingkat penggunaan perangkat mobile,
khususnya smartphone saat ini mendorong para penggunanya untuk terus
terhubung dalam jaringan digital selama hampir 24 jam penuh. Dapat
dikatakan, akses terhadap teknologi digital kini menjadi kebutuhan primer
bagi masyarakat urban. Agaknya tidak berlebihan pula bila dikatakan

[ 128 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


bahwa kepraktisan dan multifungsionalitas yang menjadi karakteristik
smartphone membuatnya menjadi constant companion yang hadir dalam
keseharian penggunanya (Ward et al., 2017: 149). Constant companionship
ini melatari sifat multifungsionalitas smartphone tidak hanya pada fungsi
teknologi saja, melainkan juga fungsi psikologis.
Smartphone diyakini mampu memenuhi kebutuhan psikologis
penggunanya meski kerap kali proses pemenuhan kebutuhan tersebut
terjadi secara tidak sadar (Diefenbach dan Borrman, 2019). Argumen ini
dapat ditelaah melalui sejumlah kajian yang menyebutkan bahwa praktik
menggunakan smartphone dalam keseharian merupakan tindakan spontan
(Lee, Lim, Lee, 2016) dan kompulsif misalnya dengan terus menerus
mengecek smartphone tanpa alasan jelas (Lee et al,. 2014). Dalam
studinya, Aranda dan Baig (2014) menjelaskan adiksi terhadap smartphone
diindikasikan pula melalui perasaan stres dan tidak nyaman yang disebutkan
partisipan studi dalam imaji apabila hidup tanpa smartphone. Gagasan ini
diperkuat pula oleh studi yang dilakukan Perrin (2017) bahwa partisipan
mengaku tidak bisa hidup tanpa akses terhadap smartphone. Mengacu
pada studi-studi tersebut, terlepas dari fungsi teknologinya, smartphone
telah menjadi sumber kenyamanan psikologis bagi penggunanya. Tidak
berlebihan pula rasanya untuk kemudian menyebut smartphone sebagai
sebuah “adult pacifier” (Melumad dan Pham, 2020).
Kebiasaan mengakses smartphone dalam intensitas tinggi membuat
proses mengakses informasi menjadi lebih personal. Kondisi ini tentu
berbeda dibandingkan setidaknya satu setengah dekade lalu di mana
informasi cenderung didominasi oleh media penyiaran. Kala itu, proses
mengakses informasi cenderung bersifat komunal. Sebagai ilustrasi, satu
dekade lalu mungkin seluruh anggota keluarga akan berkumpul di ruang
tengah dan mengakses konten dari satu program televisi yang sama.
Tidak jarang pula proses menonton televisi tersebut diwarnai dengan aksi
berebut saluran televisi di antara anggota keluarga. Akan tetapi, kehadiran
smartphone memungkinkan setiap anggota keluarga saat ini memiliki
“televisi personal” masing-masing. Setiap anggota keluarga dapat memilih
mengakses konten digital sesuai dengan minat masing-masing tanpa harus
saling berebut. Secara sosiologis, kondisi ini turut melahirkan fenomena
phubbing atau mengacuhkan orang lain yang secara fisik hadir di sekitar

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 129 ]


kita dengan terus-menerus mengakses smartphone (Ellicott, 2013).
Akibatnya, proses mengakses informasi yang dulunya cenderung bersifat
komunal kini bergeser menjadi individual.
Praktik mengakses informasi yang cenderung bersifat individual
mendorong setiap pengguna media digital untuk merasakan personalized
experience. Informasi yang diakses oleh setiap pengguna tentunya akan
sesuai dengan minat dan kebutuhan masing-masing individu. Hal ini
memosisikan perangkat digital mobile (mobile device) tidak hanya menjadi
perangkat media personal (personal media device), melainkan sebuah
perangkat berbagi (sharing device). Sebagai contoh, dengan mengakses
media sosial, mobile device kita mampu menjadi medium yang menyediakan
berbagai informasi seperti lokasi, preferensi, jejaring pertemanan, dan
data informasi lain yang dilakukan secara sukarela oleh penggunanya.
Bagi pemasar, hal ini menjadi “harta karun” yang memungkinkan
mereka melakukan personalisasi pesan komersial kepada setiap individu.
Personalized advertising kemudian menjadi tools komunikasi pemasaran
yang marak digunakan pemasar.
Personalized advertising didefinisikan sebagai pesan komersial berisi
penawaran produk atau jasa yang telah didesain secara spesifik untuk setiap
target konsumen (Estrada-Jimenez et al., 2016). Personalisasi dimaknai
sebagai kustomisasi pesan yang dikirimkan kepada setiap pengguna media
digital sesuai dengan preferensinya masing-masing. Salah satu bentuk
personalized advertising yang cukup banyak ditemui adalah retargeting.
Retargeting merupakan praktik periklanan yang bertujuan menyasar
pengguna media digital yang sebelumnya mengakses informasi tentang
sebuah produk di website atau e-commerce namun tidak diakhiri dengan
pembelian (Yang et al., dikutip oleh Dahlgren dan Tabell, 2017:7). Melalui
praktik retargeting, pengguna akan kembali menerima paparan iklan
untuk produk tersebut saat mengakses website lain. Di satu sisi, kondisi
ini memungkinkan pengguna tersebut menerima pesan komersial yang
memang relevan dengan preferensinya. Akan tetapi, di sisi lain pengetahuan
pemasar tentang preferensi pengguna tidak akan diperoleh tanpa adanya
perilaku berbagi informasi (sharing information) yang terjadi melalui
media digital.

[ 130 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


Catatan penting tentang dampak teknologi mobile terhadap perubahan
perilaku penggunanya adalah kesediaan mereka untuk berbagi informasi
personal (Nesamoney, 2015). Praktik berbagi informasi personal di media
digital kian jamak dijumpai seiring dengan meningkatnya tingkat adopsi
penggunaan media sosial di masyarakat. Sifat (nature) media sosial yang
berakar pada prinsip jejaring pertemanan, ruang sosialisasi, sekaligus
ruang berbagi mengondisikan para penggunanya untuk berbagi informasi
personal. Akibatnya, proses berbagi informasi diri dianggap sebagai hal
yang wajar. Sebagai contoh, pendidikan, preferensi, perspektif terhadap
isu tertentu, produk yang disukai, lokasi keberadaan, lokasi yang pernah
dikunjungi, hingga lingkar pertemanan setiap pengguna. Lebih lanjut,
selain media sosial terdapat pula sejumlah aplikasi mobile (mobile apps)
yang meminta persetujuan pengguna untuk memberikan akses data diri
misalnya berkaitan dengan lokasi, akses terhadap kontak telepon, akses
terhadap media sosial, dan lainnya sebagai prasyarat agar aplikasi tersebut
dapat digunakan. Kondisi ini kemudian menghadirkan perhatian terhadap
isu privasi (privacy concern) khususnya berkaitan dengan keamanan data
personal pengguna media digital. Isu privacy concerns secara konseptual
diasosiasikan dengan praktik mengumpulkan, mengakses, menggunakan,
dan mengontrol data sensitif dan privat milik pengguna media digital
(Chang et al., 2017). Sebagai sebuah diskusi akademik, isu privacy concern
di media digital sangat menarik mengingat di satu sisi pengguna memiliki
kekhawatiran atas isu privasi dan penyalahgunaan data diri, namun di sisi
lain pengguna media digital juga secara sukarela membagikan informasi
personal tersebut di media sosial. Kondisi dua sisi ini mengantarkan diskusi
kita selanjutnya tentang konsep privacy paradox.

The Privacy Paradox: Kontestasi antara Privasi dan


Keuntungan di Media Sosial
Personalisasi yang dilakukan pemasar dalam konteks komunikasi
pemasaran menghadirkan tantangan serius tentang isu privasi di media
digital. Di satu sisi, pemasar dapat menciptakan nilai (value creation)
dengan menawarkan iklan produk yang memang sesuai dengan kebutuhan
dan keinginan pengguna media digital (Mosteller dan Poddar, 2017).  Akan

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 131 ]


tetapi, kondisi ini sesungguhnya berpotensi pula menciptakan destruksi
nilai (value co-destruction) karena kepedulian pengguna tersebut terhadap
privasi mereka (Jung, 2017). Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya,
personalisasi hanya dapat terjadi apabila pemasar melakukan personal
profiling terhadap pengguna media digital. Dengan kata lain, pengguna
tersebut menyadari bahwa pemasar secara sengaja terus mengamati,
mengakses, dan mengolah data privat mereka di media digital untuk
disusun menjadi profil behavioral dan “psikografis” yang memungkinkan
mereka melakukan personalisasi dalam praktik periklanan digital.
Kesadaran pengguna media digital terhadap kemampuan pemasar
untuk melakukan personal profiling menghadirkan diskusi tentang
privacy paradox. Konsep privacy paradox menjelaskan adanya gap
antara perilaku berbagi informasi di media digital dan kesadaran tentang
privasi informasi diri pengguna dalam konteks proses pengumpulan dan
penggunaan data konsumen (Norberg et al., 2007). Lebih lanjut, sering
dengan tren personalisasi dalam praktik periklanan digital, tantangan
akan privacy paradox turut berkembang menjadi personalization-privacy
paradox (Dahlgren dan Tabell, 2017). Secara khusus, personalization-
privacy paradox sebagaimana disampaikan Awad dan Krishnan (2006)
dideskripsikan sebagai gap yang muncul antara kepedulian terhadap
privasi dan proses berbagi informasi privat yang berfokus pada nilai
penawaran personal (personal offerings). Dari sudut pandang pengguna
media digital hal ini justru memosisikan mereka pada posisi dilematis. Di
satu sisi personalisasi dapat menciptakan nilai (value), namun di sisi lain
juga menghadirkan tantangan terhadap keamanan privasi sebagai buah dari
proses sadar pengguna tersebut dalam berbagi informasi di media digital.
Dilema yang dialami pengguna dalam menggunakan media digital
tidak lepas pula dari kontestasi antara kebutuhan mengakses informasi
digital dan kesediaan berbagi informasi. Culnan dan Armstrong (1999)
secara tegas bahkan menjelaskan bahwa bagi pengguna media digital,
paradoks tersebut selalu berkaitan dengan pertukaran (trade-off) antara
akses terhadap layanan gratis di media digital dan risiko privasi. Seperti
yang banyak dijumpai, sebelum seorang pengguna layanan digital
dapat mengakses aplikasi atau media sosial mereka akan diminta untuk
menyetujui syarat dan ketentuan tertentu. Syarat dan ketentuan ini tidak

[ 132 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


pula dapat dipahami dengan mudah karena secara kuantitas cenderung
sangat panjang, sehingga jarang sekali pengguna tersebut membaca
seluruh klausul persyaratan hingga akhir. Selain itu, setelah pengguna
layanan menyetujui seluruh persyaratan, tidak jarang pula untuk dapat
menggunakan fitur-fitur tertentu mereka diminta untuk memberikan izin
otorisasi. Sebagai contoh, untuk dapat menggunakan fitur filter foto di
platform aplikasi media sosial, aplikasi tersebut akan meminta otorisasi
akses terhadap kamera dan galeri album foto di ponsel milik pengguna.
Sayangnya, permintaan otorisasi ini tidak memberikan ruang negosiasi
yang cukup. Opsi yang diberikan kepada pengguna media sosial hanya
dua yaitu, memberikan otorisasi atau tidak dapat menggunakan fitur yang
diinginkan.
Fenomena privacy paradox dalam konteks komunikasi pemasaran
dapat dikaji melalui tiga teori. Pertama, privacy calculus theory (Aguirre
et al., 2016) yang berorientasi pada perhitungan risiko dan keuntungan
yang diterima. Secara khusus, teori ini menganggap bahwa pengguna
media digital secara aktif menimbang risiko antara kehilangan privasi
dan keuntungan (benefit) yang diterima dari personalisasi penawaran
(personalized offering) yang diterima pengguna dari pemasar. Contoh di atas
tentang permintaan otorisasi terhadap kamera di ponsel pengguna sebagai
prasyarat penggunaan fitur dapat menjadi ilustrasi teori ini. Umumnya,
apabila pengguna menilai bahwa risiko keuntungan yang diterima lebih
besar dibandingkan potensi risiko yang dihadapi maka pengguna akan
memberikan otorisasi atau tetap melanjutkan menggunakan aplikasi digital
tersebut.
Kedua, context-based perspective (Aguirre et al., 2016) yang
menganggap bahwa kepedulian pengguna media digital terhadap isu
privasi cenderung bersifat situasional. Latar situasional yang dimaksud
cukup beragam. Sebagai contoh, pengguna media digital akan cenderung
menyetujui untuk memberikan akses kepada aplikasi terhadap informasi
personal dirinya apabila pengguna tersebut meyakini bahwa banyak
pengguna lain yang melakukan hal serupa. Selain itu, pengguna juga
cenderung akan lebih terbuka untuk bersedia menerima prasyarat terhadap
akses data pribadi apabila aplikasi digital tersebut sudah terkenal atau
banyak digunakan oleh masyarakat.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 133 ]


Ketiga, construal level theory (Hallam dan Zanella, 2017) yang
menjelaskan bahwa pengguna media digital cenderung lebih mementingkan
intensi jangka pendeknya (near-future intentions) dibandingkan potensi
dampak di masa depan (distant-future events). Dalam konteks studi ini,
pengguna media digital sebagai konsumen cenderung menitikberatkan
pada keuntungan yang diperoleh saat ini, namun tidak mempertimbangkan
dampak negatif yang mungkin terjadi di kemudian hari. Ilustrasi lebih
jelas tentang bagaimana teori ini digunakan untuk memahami isu
personalization-privacy paradox dapat dilakukan dengan mengulas
kembali contoh sebelumnya tentang permintaan aplikasi kepada pengguna
untuk memberikan otorisasi penggunaan kamera. Pada ilustrasi contoh
sebelumnya, aplikasi meminta penggunanya untuk mengizinkan akses
penggunaan kamera dan galeri album foto di ponsel sebagai prasyarat
agar pengguna dapat menggunakan fitur filter foto. Mengacu pada gagasan
construal level theory, pengguna aplikasi akan memberikan izin akses
terhadap kamera dan galeri karena hal tersebut dapat memenuhi intensi
jangka pendeknya yaitu menggunakan fitur filter foto. Akan tetapi,
pengguna aplikasi tersebut belum memikirkan secara saksama tentang
potensi bahaya penyalahgunaan data privat atas akses yang diberikan.
Diskusi tentang kontestasi antara kebutuhan pengguna menggunakan
aplikasi media digital dan risiko penyalahgunaan data privat sedikit banyak
berkaitan pula dengan isu relasi kuasa. Pemasar dan penyedia layanan
aplikasi mobile dianggap memiliki kuasa yang lebih besar dibandingkan
pengguna media digital. Oleh karena itu, perlu diambil langkah yang
dianggap mampu memberikan ruang kuasa lebih besar kepada pengguna
media digital (Dahlgren dan Tabell, 2017). Salah satu tawaran langkah
yang dapat ditempuh untuk mengurangi persoalan privacy paradox adalah
permission marketing (Krafft et al., 2017). Konsep permission marketing
didasarkan pada pertimbangan bahwa pengguna media digital memiliki
kewenangan untuk memilih iklan apa saja yang bersedia dia terima, serta
data diri apa saja yang bersedia dibagikan kepada pemasar dan penyedia
layanan aplikasi mobile. Secara transaksional, konsep ini memungkinkan
pengguna media digital memberikan informasi yang sesuai dengan
consent-nya kepada pemasar dan penyedia layanan digital, sebaliknya
pemasar hanya akan mengirimkan iklan yang sesuai dengan minat dan

[ 134 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


kesediaan pengguna tersebut. Lebih lanjut, permission marketing juga
memungkinkan pengguna untuk benar-benar mengetahui informasi diri
apa saja yang akan digunakan serta bagaimana informasi tersebut akan
digunakan oleh pemasar. Terakhir, permission marketing idealnya juga
memberikan ruang bagi pengguna media digital untuk berhenti menerima
iklan dan membagikan informasi dirinya kepada pemasar serta penyedia
layanan digital.

Penutup
Tidak dimungkiri, teknologi digital telah menjadi akselerator
bagi praktik komunikasi pemasaran yang lebih personal. Personalized
advertising menjadi salah satu bentuk periklanan yang sangat marak
dan “lumrah” dilakukan oleh para pemasar melalui media digital. Andai
meskipun dua orang pengguna media digital mengakses laman situs yang
sama pada saat bersamaan, boleh jadi keduanya akan menerima terpaan
iklan yang berbeda sesuai dengan rekam jejak riwayat akses digital
masing-masing. Dengan kata lain, dalam latar komunikasi pemasaran
digital, terpaan iklan yang diterima oleh setiap pengguna akan bersifat
sangat personal. Personalisasi dalam layanan komunikasi digital seolah
menjadi konsep dilematis bagi para pengguna media digital. Di satu sisi,
personalisasi mampu memberikan optimalisasi akses layanan digital
bagi para penggunanya, sekaligus membantu pemasar dan penyedia
layanan digital untuk menciptakan nilai (value creation). Akan tetapi, di
sisi lain keresahan tentang penyalahgunaan data pribadi pengguna masih
menjadi tantangan serius. Langkah untuk mengurai persoalan ini sejatinya
bermuara pada solusi yang berorientasi pada upaya penyetaraan kuasa
antara penyedia dan pengguna layanan digital. Selain itu, kemampuan
literasi digital pengguna untuk mampu memilah informasi privat dan
publik menjadi langkah kunci yang diyakini mampu mereduksi potensi
ancaman penyalahgunaan penggunaan data pribadi di media digital.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 135 ]


DAFTAR PUSTAKA

Aguirre, E., Roggeveen, A., Grewal, D., dan Wetzels, M. (2016). “The
personalization-privacy paradox: Implications for new media”.
Journal of Consumer Marketing, 33(2), hal. 98-110.
Aranda, J.H., dan Baig, S. (2018). “Toward ‘JOMO: the joy of missing
out and the freedom of disconnecting”. Dalam Proceedings of the
20th International Conference on Human-Computer Interaction with
Mobile Devices and Services (MobileHCI ’18). ACM, New York.
Awad, N.F., dan Krishnan, M.S. (2006). “The personalization privacy
paradox: An empirical evaluation of information transparency and the
willingness to be profiled online for personalization.” MIS Quarterly,
30(1), hal. 13-28.
Bahera, R.K., Gunasekaran, A., Gupta, S., S. Kamboj, dan P.K. Bala.
(2020). “Personalized digital marketing recommender engine”.
Journal of Retailing and Consumer Services, 53, Hal. 1-24.
Chang, S.E., Liu, A.Y., dan Shen, W.C. (2017). “User trust in social
networking services: A comparison of Facebook and LinkedIn.”
Computers in Human Behavior, 69, hal. 207-217.
Culnan, M., dan Armstrong, P. (1999). “Information privacy concerns,
procedural fairness, and impersonal trust: An empirical investigation”.
Organization Science, 10 (1), hal. 104-115.
Dahlgren, S., Tabell, B. (2017). Personalized Advertising Online and
its Difficulties with Customer Privacy. Sweden: Karlstad Business
School. Master Thesis.
Diefenbach, S., Borrman, K. (2019). “The smartphone as a pacifier and
its consequences: Young adults’ smartphone usage in moments of
solitude and correlations to self-reflection”. CHI 2019, 4-9 Mei 2019,
Glasgow, Scotland, UK.
Ellicott, C. (2013). “Are you a phubber? Campaign launched to stop
smartphone addicts snubbing others by checking their mobiles”.
Dailymail. Diakses pada 14 November 2020. Terarsip di: < https://

[ 136 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


www.dailymail.co.uk/news/article-2384397/Are-phubber-Campaign-
launched-stop-smartphone-addicts-snubbing-checking-mobiles.html
>. 
Estrada-Jimenez, J., Parra-Arnau, J., Rodriguez-Hoyos, A., dan Fornec, J.
(2017). “Online advertising: Analysis of privacy threats and protection
approaches”. Computer Communications, 100, hal. 32-51.
Hallam, C., dan Zanella, G. (2017). “Online self-disclosure: The privacy
paradox explained as a temporally discounted balance between
concerns and rewards”. Computers in Human Behavior, 68, hal. 217-
227.
Jung, A-R. (2017). “The influence of perceived ad relevance on social
media advertising: An empirical examination of a mediating role of
privacy concern”. Computers in Human Behavior, 70, hal. 303-309.
Krafft, M., Arden, C., dan Verhoef, P. (2017). “Permission marketing
and privacy concerns: Why do customers (not) grant permissions?”.
Journal of Interactive Marketing, 39, hal. 39-54.
Lee, Y., Lim, Y., Lee, K. (2016). “Timelessness: User experience of
unplanned smartphone use”. Dalam Proceedings of the 2016 ACM
Conference on Designing Interactive Systems (DIS ’16). ACM, New
York. Hal. 73-88.
Lee, Y., Chang, C., Lin, Y., dan Z. Cheng. (2014). “The darkside of
smartphone usage: Psychological traits, compulsive behavior and
technostress”. Computers in Human Behavior, 31, Hal. 373-383.
Melumad, S., Pham, M.T. (2020). Journal of Consumer Research.
Forthcoming. Terarsip di: < https://www.researchgate.net/
publication/338986342_The_Smartphone_as_a_Pacifying_
Technology >. DOI: 10.1093/jcr/ucaa005
Mosteller, J., dan Poddar, A. (2017). “To share and protect: Using regulatory
focus theory to examine the privacy paradox of consumers’ social
media engagement and online privacy protection behaviors”. Journal
of Interactive Marketing, 39, hal. 27-38.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 137 ]


Nesamoney, D. (2015). Personalized Digital Advertising: How Data and
Technology Are Transforming How We Market. New Jersey: Pearson
Education, Inc.
Norberg, P.A., Horne, D.R., dan Horne, D.A. (2007). “The privacy paradox:
Personal information disclosure intentions versus behaviors”. Journal
of Consumer Affairs, 41(1), hal. 100-126.
Perrin, A. (2017). 10 Facts About Smartphones. Diakses pada 14
November 2020. Terarsip di: <https://www.pewresearch.org/fact-
tank/2017/06/28/10-facts-about-smartphones/>.
Ward, A.F., Duke, K., Gneezy, A., dan M.W. Bos. (2017). “Brain drain: The
mere presence of one’s own smartphone reduces available cognitive
capacity”. Journal of the Association for Consumer Research, 2(2),
Hal. 140-154.

[ 138 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


MEDIA
ENTERTAINMENT:
DARI “BIASA” MENJADI
“LUAR BIASA”
-
Teknologi informasi dan komunikasi memberi sebuah ruang
tak terbayangkan terkait media hiburan (media entertainment).
Praktik komunikasi manusia yang termediasi melalui internet of
things (IoT) membuat dinamika hiburan mengalami lompatan
revolusioner. Empat bab dalam bagian Media Entertainment
ini membahas aspek-aspek menarik dari fenomena terkini yang
muncul seiring dengan kegilaan audiens, dan netizen. Semuanya
dibungkus dengan energi dunia industri media sebagai fenomena
baru abad-21. Garis imajinasi linear geseran cara pandang dari
“biasa” menjadi “luar biasa” seolah menjadi penegasan bahwa
fenomena dunia hiburan telah secara langsung berkelindan dengan
realitas sosial, politik, ekonomi, dan budaya dalam masyarakat
informasi. Kompleksitas para pelaku komunikasi secara
komplementer baik sebagai netizen maupun kreator isi dan narasi
media (content creator), menghadirkan realitas yang benar-benar
baru. Ini tantangan menarik bagi studi ilmu komunikasi.
BAB 10
Melampaui yang “Remeh-Temeh”: Media Hiburan
Sebagai Bidang Kajian Ilmu Komunikasi

Budi Irawanto

The real voyage of discovery consists


of not finding the new lands,
but of seeing the territory with new eyes.
Marcel Proust
Pengantar

D alam sebuah percakapan ringan, seorang mahasiswa ilmu komunikasi


tempat saya mengajar mengeluhkan sikap temannya yang
meremehkan peminatan yang dipilihnya. Saat mahasiswa itu menyatakan
media hiburan sebagai peminatannya, sontak temannya menunjukkan
keheranannya seraya mengatakan apa yang bisa distudi dari media yang
hanya berisi gosip atau hal-hal yang remeh-temeh. Boleh jadi pandangan
teman mahasiswa itu mewakili pandangan umum selama ini terhadap
media hiburan. Anekdot itu menunjukkan betapa terbatasnya pengetahuan
tentang media hiburan, sehingga melahirkan prasangka yang miring.
Abad ini kerap disebut-sebut oleh sejumlah kalangan sebagai
entertainment economy (Wolf, 2003). Sebagaimana disitir situs WARC,
pada 2019 Motion Picture Association (MPA) membakukan keuntungan
sebesar 101 miliar dolar Amerika; sementara, perusahaan riset PWC
memperkirakan pendapatan media dan hiburan sebesar 2,2 triliun dolar
Amerika hingga 2021. Meski demikian, perhatian akademis, terutama
di Indonesia, terhadap media hiburan belumlah memadai. Ini barangkali
karena masih kuatnya pandangan bahwa media hiburan hanya layak

[ 140 ]
sebagai objek liputan media berita hiburan (infotainment); bukan sebagai
objek kajian ilmiah.
Masih langkanya kajian dan riset terhadap media hiburan di Indonesia
boleh jadi disebabkan oleh keengganan mengeksplorasi bidang kajian di
luar yang selama ini telah lama dikenal seperti jurnalisme, periklanan,
hubungan masyarakat dan seterusnya. Dengan kata lain, ada semacam
paradoks tatkala ekonomi media hiburan bertumbuh pesat di Indonesia,
justru kajian teoretis maupun empiris terhadap media hiburan terkesan
masih tertinggal.
Oleh karena itu, bab ini mengupas pentingnya memosisikan media
hiburan sebagai bidang kajian sebagaimana bidang kajian lain yang
selama ini dikenal dalam studi ilmu komunikasi. Lewat kajian media
hiburan diharapkan tidak hanya memperkaya khazanah studi dan riset ilmu
komunikasi, tapi yang lebih penting juga membantu memahami dinamika
masyarakat kontemporer yang kian termediatisasi.

Memaknai Hiburan
Setiap ikhtiar mendefinisikan “hiburan” senantiasa sulit mengelak
dari konotasi “sosial” maupun konstruksi yang “bebas-nilai” (Gray, 2008:
4). Ini karena istilah hiburan melahirkan polarisasi pendapat antara mereka
yang mengagungkan dan mereka yang mencibirnya. Bagi mereka yang
mengagungkannya, hiburan bersifat transendental dan menyenangkan.
Sebaliknya, bagi mereka yang mencibirnya, hiburan bersifat keduniawian
serta mengorupsi nilai-nilai keutamaan.
Dengan demikian, pendefinisian hiburan perlu melacak akarnya
pada konseptualisasi dalam sistem kapitalis antara “kerja” (work) dan
“kesenangan” (leisure). Inilah yang melahirkan pandangan hierarkis
bahwa kerja berkaitan dengan “sesuatu yang harus dilakukan”, sedangkan
hiburan bertautan dengan “sesuatu yang ingin dilakukan”. Dengan
kata lain, hiburan dianggap mengganggu atau mendistraksi keseriusan
kerja. Selain itu, upaya memaknai hiburan kerapkali mengundang sikap
meremehkan bobot ideologis yang melekat dalam hiburan itu sendiri,
sehingga cenderung mengabaikan signifikansinya dalam masyarakat
kontemporer.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 141 ]


Jonathan Gray (2008) merangkum serangan para pengkritik terhadap
hiburan itu ke dalam tiga hal. Pertama, tingginya kecemasan pada
kekuatan dari televisi sebagai media hiburan. Hiburan ditempatkan sebagai
penyakit gawat atau sesuatu yang mampu menyembunyikan penyakit
yang sepenuhnya jauh dari konten, makna dan nilai-nilai serta hanya
membuang-buang waktu dan menyia-nyiakan bakat manusia. Kedua,
secara tajam hiburan dikontraskan dengan informasi dan edukasi. Tatkala
sejumlah penulis berbicara hiburan tengah “merasuki” informasi, mereka
menggunakan kias seperti invasi, tentara musuh, atau pendudukan ilegal.
Ketiga, jika metafora narkosis digunakan, para penonton (penikmat)
media hiburan kerapkali dilihat sebagai mereka yang tak bisa diandalkan
tatkala dihadapkan pada stimulus dan menjadi budak dari yang mereka
dicandui. Karenanya, hiburan plus manusia adalah kombinasi yang hanya
mengundang perkara.
Sebaliknya, mereka yang membela televisi itu mengingatkan
para pengkritiknya dengan menyatakan “itu hanya hiburan” (only
entertainment). Dalam bukunya Only Entertainment (2002), Richard
Dyer menyatakan, “Hiburan, yang didahului kata ‘hanya,’ kadangkala
digunakan untuk mengabaikan sesuatu yang estetis dan ideologis.” Di sini
seakan-akan hal-hal yang bermakna, estetis dan ideologis bakal mencederai
seluruh pengalaman menikmati hiburan. Pembelaan ini terasa aneh karena
menunjuk pada banalitas hiburan itu sendiri, alih-alih informasi atau
edukasi sebagaimana pandangan para pengkritik hiburan. Akibatnya, para
pembela hiburan gagal memberi penjelasan mengapa hiburan bisa begitu
populer serta banyak dikonsumsi.
Oleh karena itu, hiburan semestinya tidak dimaknai secara
sederhana sebagai aktivitas yang tak produktif dan banal sebagai lawan dari
kerja. Alih-alih hiburan juga merupakan aktivitas yang memiliki elemen
informasi dan edukasi. Berbeda dengan pandangan psikologi, hiburan tidak
hanya memberikan kepuasaan dan kenikmatan belaka melainkan memiliki
jalinan dengan ideologi dan estetika (seni). Hiburan juga memiliki
pertautan dengan bekerjanya kekuasaan politik yang memperalatnya demi
melangengkan rezim kekuasaan.

[ 142 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


Memahami Media Hiburan
Hiburan memang memiliki sejarah yang cukup tua, namun hiburan
yang “termediasi” (mediated entertainment) agaknya baru berkembang
seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi. Studi yang dilakukan
oleh Gerben Bakker (2008) tentang munculnya industri film global dari
1890 hingga 1940 menunjukkan bagaimana sinema merupakan evolusi dari
pertunjukan hiburan langsung (lived entertainment) yang terindustrialisasi.
Menurut Bakker, sinema mengindustrialisasi pertunjukan hiburan itu
dengan melakukan otomatisasi, standardisasi, dan membuatnya gampang
diperdagangkan. Film yang gampang diperdagangkan itu menjadikan
pasar hiburan nasional terintegrasi ke dalam pasar internasional (Gringe,
2008; Hupert, 2006; Mirrless, 2013). Bahkan, dalam perkembangannya
Hollywood mencerap sains ke dalam memproduksi kontennya yang
menghibur (Nelson, Grazier, Paglia & Perkowitz, 2013). Menarik dicatat,
proses industrialisasi hiburan (film) itu sesungguhnya merupakan isyarat
industrialisasi sektor jasa yang mengiringinya. Apalagi teknik riset pasar
yang dikembangkan oleh George Gallup memungkinkan selera penonton
untuk diindustrialisasi lebih lanjut. Begitu pula, sejarawan film, Douglas
Gomery (1984) berargumen produksi massal lewat teknik assembly line
dan distribusi massal menjadikan Hollywood sebagai industri.
Kendatipun pertunjukan hiburan langsung tetap marak, bentuk hiburan
yang termediasi kian menjadi bagian keseharian masyarakat modern.
Salah satu media hiburan termediasi yang populer itu adalah televisi. Ien
Ang (seperti disitir oleh Gray, 2008: 8) menyatakan, “Berlawanan dengan
institusi sosial yang lain seperti sekolah atau keluarga, televisi … tidak
memiliki sarana untuk memaksa orang menjadi audiensnya.” Ini karena
televisi (hiburan) bisa menginspirasi kita, menenangkan kita, membuat
kita tertawa, mengubah kita, menginformasikan kita, merangkul kita,
memberdayakan kita, menyentuh kita mengejutkan kita, mengajak kita
bertindak, berpolitik serta memiliki kepedulian (Gray, 2008).
Di samping itu, media hiburan tak bisa dilepaskan dari kepentingan
politik mengingat elemen ideologis muskil diceraikan dari media hiburan.
Media hiburan senantiasa membangun fantasi (fantasy), menyentuh emosi
(affect) dan membentuk makna (meaning) pada audiensnya, sehingga

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 143 ]


sedikit banyak membentuk cara mereka mendefinisikan dan memahami
realitas atau dunia yang mengitarinya (Shrum, 2004). Tak mengherankan,
jika Lisa Parks (seperti disitir Gray, 2008: 9) menyatakan, “Pendeknya kita
tak bisa membinasakan televisi. Alih-alih kita perlu menghidupkannya,
masuk ke dalam pendar birunya, dan berbicara lebih banyak mengenai apa
yang ingin kita lihat. Dengan kata lain, kita mesti kian peduli untuk bisa
memeranginya.”
Media hiburan lantas berkembang menjadi industri dan bahkan
skalanya semakin mengglobal. Sebagai bagian dari ekonomi kreatif, media
hiburan mengombinasikan kreativitas, inovasi dan prinsip-prinsip dalam
industri media demi mempertahankan kelangsungannya. Berbeda dengan
industri lainnya, media hiburan menuntut kemampuan mengelola bakat dan
kreativitas menjadi komoditas yang memiliki nilai ekonomisnya. Dalam
perkembangannya, media hiburan telah berubah menjadi fan economy
atau gift economy (Liang & Sen, 2016) yang bertumpu pada (super) fans
sebagai ko-kreator sebelum sebuah produk dirilis.

Digitalisasi Media Hiburan


Digitalisasi kini menjadi gerak yang tak bisa dibendung oleh industri
media, termasuk media hiburan. Teknologi digital kian mudah diakses
memberi kemudahan bagi distribusi konten media hiburan. Pada saat
yang sama, di tataran global, semakin meningkatnya pertautan ekonomi
politik antarnegara serta perkembangan teknologi digital telah memandu
fase baru dalam aliran global konten media hiburan. Teknologi digital ini
mengubah model bisnis dan praktik yang telah berlangsung puluhan tahun
agar mampu menghasilkan, menyampaikan dan menangkap nilai-nilai
dalam industri media hiburan yang senantiasa berubah (Sigismondi, 2008).
Dalam dua dekade belakangan Amerika Serikat telah mendominasi
lanskap media hiburan daring (online) di tataran global dengan memiliki
dan mengoperasikan portal televisi terbesar di dunia (HBO Now, Netflix,
dan Amazon) dan platform media sosial (YouTube, Facebook, dan
Twitter). Pada 2016, diperkirakan Netflix memiliki 80 juta pelanggan
yang tersebar di 190 negara yang menandai lahirnya layanan baru terbesar
TV internet. Jika dibandingkan jumlah pengguna platform media sosial

[ 144 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


tentu tidaklah seberapa. Misalnya, YouTube memiliki lebih dari 1 miliar
pelanggan di 88 negara dengan 76 bahasa, sedangkan Facebook memiliki
1,7 miliar pengguna atau separuh lebih populasi pengguna Internet.
Dengan dominasinya itu, barangkali hanya Cina yang perlu ditaklukkan
perusahaan media Amerika mengingat regulasi negara di Cina telah
berhasil menginkubasi, memproteksi, dan menyensor media digital dan
sosial.
Dengan demikian, sekadar beradaptasi dengan teknologi digital tidaklah
memadai, tanpa mengubah secara mendasar perspektif dalam memandang
teknologi digital. Misalnya, media sosial yang semula merupakan platform
untuk membangun pertemanan (jejaring sosial), kini telah berubah menjadi
media hiburan atau yang disebut dengan commutainmen’ (Cunningham &
Craig, 2016). Inilah media hiburan yang kontennya berwatak komunikatif
serta mengusung etos komunitas dengan memanfaatkan jejaring teknologi
komunikasi. Dengan kata lain, media sosial hiburan ini dibangun di atas
landasan teknologi, jejaring, harga yang terjangkau, pemekaran yang cepat,
dan nyaris berjalan mulus (near-frictionless).
Media sosial hiburan (social media entertainment) tersebut, menurut
Cunningham dan Craig (2016), bisa dianggap sebagai “roto-industri media”
karena merepresentasikan model kepemilikan media yang nontradisional,
platform yang disruptif, inovasi konten yang unik sehingga menantang
konsepsi kita tentang globalisasi media, termasuk rezim regulasi nasional.
Tidak seperti sistem penyiaran nasional, film, rilis DVD yang memiliki
konten dengan hak cipta yang ketat, platform media sosial seperti YouTube
melakukan fasilitasi ketimbang mengontrol konten sehingga mendorong
lebih banyak kreator, beragam konten, perusahaan jasa, keragaman budaya
dan bahasa ketimbang media global yang hegemonik itu. Jika semula
media sosial hiburan itu bersifat amatir, maka kini semakin profesional
dengan melakukan monetisasi para kreator konten dari seluruh dunia yang
berwatak multikultural. Mereka memperkuat platform media sosial itu
untuk menginkubasi brand media mereka sendiri, berinovasi, membangun
fan yang masif, transnasional, dan multikultural.
Sementara itu, industri games komputer merupakan buah dari
perkembangan internet yang melahirkan media interaktif. Industri ini

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 145 ]


merupakan sektor yang cukup matang dilihat dari sisi pasar sisi pasar
(Marcovitz, 2012), desain dan praktik produksinya yang ditandai oleh
inovasi terus-menerus dalam perangkat keras dan lunak yang berkaitan
dengan image (gambar) dan sound (suara). Pengembangan games
didorong oleh pasar serta sejak awal berwatak sebagai media hiburan.
Oleh karena itu, menurut Stéphane Natkin (2006), para pemain games
tidaklah memecahkan soal yang trivial, namun tidak terlampau kompleks,
yang mengarah pada tujuan tertentu dalam waktu yang tersedia. Pemain
mesti merasakan mereka ada dalam situasi interaktif, tapi terdorong untuk
menemukan solusi. Perasaan “imersif” (tenggelam dalam permainan)
lantas menjadi tujuan games yang naratif. Ini dilakukan oleh industri games
dengan meminjam game theory (teori permainan) dan object-oriented
programming (pemrograman berorientasi objek).
Harus diakui, teknologi digital memiliki implikasi yang luas terhadap
watak medium hiburan, industri, regulasi dan audiensnya. Dengan kata
lain, perkembangan teknologi digital tak hanya sebatas pada perkara
teknis belaka, melainkan melahirkan dampak ekonomi, politik dan estetik
yang mendalam terhadap media hiburan. Misalnya, semakin menguatnya
televisi transnasional dengan difasilitasi teknologi digital menunjukkan
perubahan bentuk ekspansi sebagaimana kepemilikan, produksi, program,
format, dan gaya yang melampaui batas-batas negara. Karena itu,
menurut Jonathan Gray (2008), televisi kini tak lagi sepenuhnya nasional
karena perkembangan teknologi, restrukturisas bisnis, merger, dan
pengambilalihan perusahaan.

Ranah Kajian Media Hiburan


Studi tentang media hiburan sejatinya menawarkan ranah kajian dan
riset yang terbuka untuk dieksplorasi lebih jauh lebih jauh (Modleski,
1986; Walmsley, 2011). Karena itu, penting memetakan sejumlah ranah
kajian media hiburan yang terus bertumbuh seraya menilik sejumlah kasus
di Indonesia yang relevan. Ini agar bisa dilihat bahwa Indonesia kaya akan
fenomena yang berkaitan dengan media hiburan. Selain itu, di Indonesia,
media hiburan sesungguhnya telah menjadi keseharian masyarakat.

[ 146 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


Ada sejumlah ranah kajian dan riset dalam media hiburan, antara lain:
(1) sejarah media hiburan dan lahirnya modernitas; (2) media hiburan,
representasi dan ideologi; (3) ekonomi politik industri media hiburan;
(4) audiens media hiburan (5) media hiburan dan kekerasan; (6) regulasi
dan etika media hiburan; (7) media hiburan sebagai “soft power” dalam
percaturan global; (8) perkembangan “infotainment”; (9) fandom dalam
media hiburan; (10) pekerja kreatif dalam media hiburan; dan seterusnya.
Ranah kajian media hiburan tersebut bisa dipilah menjadi yang bersifat
makro (struktural) seperti media hiburan sebagai soft power (Fattor, 2012)
dalam percaturan global yang tak hanya berfokus pada satu negara tapi
relasinya dengan negara lain. Selain itu, kajian yang berfokus pada relasi
antara perkembangan media hiburan dan modernitas merupakan kajian
yang bersifat makro dan historis. Ranah riset yang lebih mikro misalnya
melihat aspek tekstual dari media hiburan dan relasinya dengan audiens
atau penggemar.
Dengan meriset sejarah media hiburan di suatu negara sesungguhnya
bisa dilacak munculnya gagasan tentang modernitas. Di Indonesia,
kemunculan bioskop yang memutar film hiburan di era kolonial itu
berbarengan dengan proses urbanisasi dan makin menurunnya popularitas
seni pertunjukan tradisional. Beberapa pemain seni pertunjukan tradisional
itu lantas berpindah ke industri film. Tentu ini, bukan fenomena yang khas
Indonesia, melainkan juga bisa ditemukan di negara Asia Tenggara lainnya.
Akan tetapi, “trajektori” modernitas maupun konten media hiburan bisa
sangat bervariasi antara satu negara dengan negara yang lain.
Barangkali ranah media hiburan yang mulai banyak dieksplorasi di
Indonesia adalah representasi dan ideologi media hiburan. Mengingat
masih cukup mengakarnya sistem patriarki, sejumlah riset media hiburan
selama ini lebih banyak berfokus pada representasi gender (terutama
perempuan) (terutama perempuan) (Brode, 2005). Sementara itu, secara
gamblang pertautan antara media hiburan dengan ideologi ditemukan
terutama dalam rezim politik yang otoritarian maupun militeristik (De
Derian, 2009; Holmes & Smith, 2000). Di era Orde Baru, misalnya, rezim
politik menjadikan film sebagai alat propaganda untuk melegitimasi
kekuasaannya dengan mencari-cari pendasaran historisnya. Menarik

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 147 ]


menyimak temuan studi Mary-Elizabeth O’Brien (2004) tentang media
hiburan di bawah rezim Nazi (1933–1945) pimpinan Adolf Hitler. Film-
film hiburan sebagai alat propaganda partai Nazi banyak menyodorkan
fantasi sosial yang positif, realitas sosial yang memukau dan tempat yang
menggoda untuk didiami. Alih-alih sekadar meneror penonton agar patuh,
rezim Nazi justru menggunakan seduksi dan menyodorkan hal-hal yang
diinginkan penonton: stabilitas, sistem nilai tradisional, rasa memiliki dan
standar hidup yang lebih baik.
Kita tahu, selama ini ada pemisahan yang ketat antara “jurnalisme”
yang menyampaikan informasi faktual dan hiburan yang lebih menyajikan
fiksi dan berbasis imajinasi (Thussu, 2007). Akan tetapi, kini dua genre telah
melebur ke dalam program infotainment yakni jurnalisme yang dikemas
dengan hiburan. Hampir sebagian besar atasiun TV di Indonesia banyak
menyiarkan program infotainment itu, bahkan ada yang menempatkannya
pada jam tayang utama (prime time). Harus diakui, program infotainment
itu lebih banyak mengangkat kehidupan para selebritas ketimbang
persoalan yang memiliki pertautan dengan kepentingan publik. Tentu,
infotainment bukanlah genre satu-satunya di TV yang bisa diriset lebih
jauh. Program “reality TV” tak kalah menariknya untuk diriset, terutama
karena menggunakan pendekatan ala film dokumenter namun tetap
dikemas sebagai hiburan bagi penontonnya.
Persoalan kekerasan kerapkali dinisbatkan pada konten media hiburan.
Kekerasan dalam media hiburan itu tak hanya menjadi objek kajian para
peneliti komunikasi, tapi juga objek bagi regulasi (Rushman, 2010).
Sebagaimana di tempat lain, kekerasan media hiburan itu di Indonesia
menjadi keprihatian para orang tua, pendidik, pengambil kebijakan
serta lembaga yang peduli dengan anak-anak dan kualitas konten media
(misalnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Komisi Penyiaran
Indonesia). Apalagi anak-anak juga terlibat dalam industri media hiburan
(Arrighi & Emeljanow, 2012). Meski demikian, sebagaimana diingatkan
oleh Karen E. Dill-Sackleford (2016: 97), kekerasan media bukanlah satu-
satunya penyebab kekerasan. Eksposur pada kekerasan media merupakan
bagian dari skema besar dalam kehidupan seseorang. Kekerasan media
memang cenderung mengajarkan kekerasan sebagai sesuatu yang bisa
diterima dan dibenarkan secara sosial sebagai cara mengatasi konflik.

[ 148 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


Inilah yang lantas melahirkan kecenderungan pikiran dan perilaku agresif.
Penting dicatat, kekerasan hanya melahirkan kekerasan.
Internet dan media sosial kini mengalami transformasi menjadi media
hiburan yang menciptakan tantangan baru bagi regulasi dan hukum (Smartt,
2014). Persoalan hak cipta (IPR) menjadi kian kompleks tatkala muncul
konten digital yang amat mudah untuk disalin, dibagi, dan diarsipkan.
Begitu pula, persoalan hak-hak privasi kerapkali berbenturan dengan
kebebasan berekspresi ketika dihadapkan dengan media hiburan. Dampak
kehadiran internet senantiasa menjadi pemikiran para pembuat regulasi
tentang materi yang disebarkan secara daring (Smartt, 2014). Bahkan,
timbul persoalan baru institusi yang memiliki otoritas untuk melakukan
regulasi yang berkaitan dengan materi digital mengingat media baru yang
telah mengalami konvergensi.
Kini telah banyak riset yang memberi perhatian pada fandom media
hiburan. Dari media hiburan lahir audiens yang tak hanya aktif, tapi juga
kreatif yang membangun keintiman atau hubungan semu (para social
relationship) dengan selebritas, penyanyi atau bintang film. Inilah yang
disebut dengan fan (berakar kata fanaticus) yang ikut menjadi ko-kreator
dari teks media seperti dalam fan fiction (fanfic) dan ‘fan art.’ Studi yang
dilakukan Liang dan Sen (2016) di Cina mengindikasikan bagaimana
superfan telah ikut membentuk industri media hiburan. Dengan kata lain,
fan berbeda dengan audiens media biasa karena memiliki keterlibatan
emosional dengan selebritas, penyanyi dan bintang film itu. Jika kekaguman
pada ojek yang diidolakan itu bersifat internal dan berpusat pada pikiran,
perasaan dan tindakan privat, maka itu disebut personhood fan. Ini berbeda
dengan participatory fan yang kurang banyak melakukan sesuatu terhadap
objek yang dikagumi.
Penting dicatat, mengkaji media hiburan tentu melibatkan disiplin lain
dalam ilmu sosial dan humaniora. Ilmu politik sangat membantu ketika
melakukan kajian media hiburan sebagai soft power dalam percaturan
politik global. Untuk mengkaji industri media hiburan, disiplin ilmu
ekonomi akan membantu mengenali karakteristiknya yang khas dan
persamaannya dengan industri yang lain. Disiplin psikologi dan sosiologi
jelas sangat membantu mengkaji audiens dan fan media hiburan.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 149 ]


Penutup
Berangkat dari pemaparan di atas, penting menelaah media hiburan
secara serius yang berbeda dengan pandangan awam selama ini yang
cenderung “meremehkan”. Pandangan yang cenderung meremehkan ini
sesungguhnya disebabkan oleh ketidaktahuan dimensi penting dari media
hiburan, seperti kekuatan ekonominya, ideologi yang diusungnya, daya
simbolis atau representasionalnya, audiens yang menjadi pendukung
loyalnya, dan seterusnya. Pendeknya, lewat kajian akademis bisa dikuak
dimensi-dimensi penting media hiburan yang selama ini luput dari
pandangan awam.
Selain itu, dengan menjadikan media hiburan sebagai ranah kajian,
para sarjana dan peneliti komunikasi di Indonesia bisa mengeksplorasi
lokus kajian maupun riset yang yang lebih inovatif serta beragam,
sehingga memperkaya studi komunikasi. Ini agar studi komunikasi
tak hanya berkutat di hal-hal yang sama atau cenderung repetitif serta
kurang ada keberanian menjelajah ranah baru yang sejatinya terbuka luas.
Media hiburan sesungguhnya tak hanya cermin untuk menguak kondisi
masyarakat kontemporer, melainkan juga elemen yang esensial bagi ruang
publik.

[ 150 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


DAFTAR PUSTAKA

Arrighi, G. & Emeljanow, V. (eds.). (2014). Entertaining Children: The


Participation of Youth in the Entertainment Industry. New York:
Palgrave MacMillan.
Bakker, G.. (2008). Entertainment Industrialised: The Emergence of the
International Film Industry, 1890-1940. Cambridge: Cambridge
University Press.
Brode, D. (2005). Multiculturalism and the Mouse: Race and Sex in Disney
Entertainment. Austin: University of Texas Press.
Cunningham, D. & Craig, D. (2016). “Online Entertainment: A New Wave
of Media Globalization”. International Journal of Communication
(10), pp. 5409-25.
Dill-Sackleford, K. E. (2016). How Fantasy Becomes Reality: Information
and Entertainment Media in Everyday Life. Oxford & New York:
Oxford University Press.
Der Derian, J. (2009). Virtuous War: Mapping the Military-Industrial-
Media-Entertainment Complex. Edisi Kedua. London & New York:
Routledge.
Dyer, R. (2002). Only Entertainment. Edisi Kedua. London & New York:
Routledge.
Fattor, E. M. (2012). American Empire and the Arsenal of Entertainment:
Soft Power and Cultural Weaponization. New York: Palgrave
MacMillan.
Gomery, D. (1984). “Film and Business History: The Development of an
American Mass Entertainment Industry”. Journal of Contemporary
History (18), pp.89-103.
Gray, J. (2008). Television Entertainment. London & New York: Routledge.
Gringe, P. (2008). Brand Hollywood: Selling Entertainment in a Global
Media Age. London & New York: Routledge.
Haupert, M. J. (2006). Entertainment Industry. London: Greenwood Press.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 151 ]


Holmes, D. & Smit, A. (eds). (2000). 100 Years of European Cinema:
Entertainment or Ideology. Manchester & New York: Manchester
University Press.
Liang, Y. & Shen, W. (2016). “Fan Economy in the Chinese Media and
Entertainment Industry: How Feedback from Super Fans Can Propel
Creative Industries’ Revenue”. Global Media and China 1(4), pp.331-
349.
Marcovitz, H. (2012). Online Gaming and Entertainment. San Diego, CA:
ReferencePoint Press.
Mirrlees, T. (2013). Global Entertainment Media: Between Cultural
Imperialism and Cultural Globalization. London & New York:
Routledge.
Modleski, T. (ed.). (1986). Studies in Entertainment: Critical Approaches
to Mass Culture. Bloomington & Indianapolis: Indiana University
Press.
Natkins, S. (2006). Video Games and Interactive Media: A Glimpse of New
Media Entertainment. Massachusetts: AK Peters.
Nelson, D. J.; Grazier, K. R.; Paglia, J.; Perkowitz, S. (eds.). (2013).
Hollywood Chemistry: When Science Met Entertainment. ACS
Symposium Series 1139. Washington, DC: American Chemical
Association.
O’Brien, M. (2004). Nazi Cinema as Enchantment: The Politics of
Entertainment in the Third Reich. New York: Camden House.
Rushman, P. (2010). Regulating Violence in Entertainment. New York:
Chelsea House Publishers.
Shrum, L.J. (ed.). (2004). The Psychology of Media Entertainment:
Blurring the Line Between Entertainment and Persuasion. New Jersey
& London: Lawrence Erlabaum Associates (LEA) Publishers.
Sigismondi, P. (2008). The Digital Glocalization of Entertainment:
New Paradigms in the 21st Century Global Mediascape. New York:
Springer.
Smartt, U. (2014). Media & Entertainment Law. London & New York:
Routledge.

[ 152 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


Thussu, D. K. (2007). News as Entertainment: The Rise of Global
Infotainment. Los Angeles & London: Sage Publications.
Walmsley, B. (2011). Key Issues in the Arts and Entertainment Industry.
Oxford: Goodfellow Publishers.
Wolf, M. (2003). The Entertainment Economy: How Mega-Media Are
Transforming Our Life. New York: Three Rivers Press.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 153 ]


BAB 11
Jurnalisme Game: Merangkai Jurnalisme
dan Media Hiburan

Wisnu Martha Adiputra

Pengantar

J urnalisme game berkembang seiring dengan perkembangan game


yang fenomenal sebagai media dan industri. Perkembangan game
sebagai media belakangan ini bisa dikategorikan fenomenal. Game, yang
juga seringkali menjadi sebuah nama yang meliputi video game, game
digital, online game, dan game konsol, adalah bidang yang menarik
banyak perhatian dan minat secara akademis maupun populer. Game
kini menjadi area yang berkembang dengan sangat cepat dan akan terus
berkembang di tahun-tahun mendatang. Perkembangan yang mungkin
melampaui ekspektasi dan perkiraan sebelumnya seperti yang terjadi pada
perkembangan media sosial dan beragam teknologi partisipatif.
Seiring dengan perkembangan game tersebut, potensi jurnalisme
game bagi masyarakat luas dan juga dunia akademis juga semakin
terbuka. Jurnalisme game diperlukan untuk menjelaskan game sebagai
fenomena sosial sehari-hari. Masyarakat memerlukan informasi mengenai
game karena mereka mengamati dan sebagian dari masyarakat tersebut
memainkannya. Para orang tua misalnya, memerlukan informasi dan berita
terkini mengenai game karena anak-anak mereka memainkannya, yang
terkadang bermain game secara berlebihan dan kecanduan game. Para
pengambil kebijakan juga perlu memahami game agar dapat merumuskan
peraturan yang tepat untuk mendorong industri game dan sekaligus
melindungi warga masyarakat.

[ 154 ]
Jurnalisme game sebagai bidang kajian ilmu juga berkembang karena
dunia pendidikan perlu memahami realitas dimana game berkembang
dalam kehidupan sosial dan sedikit banyak mengubah kehidupan
masyarakat. Jurnalisme game sebenarnya menjadi bagian dari kajian media
yang berkaitan dengan dinamika produksi konten faktual atau jurnalisme.
Namun sebenarnya jurnalisme game menjadi jembatan kajian jurnalisme
dan media hiburan. Prinsip-prinsip dalam jurnalisme game menunjukkan
terjadi proses pembauran konten, yaitu memadukan dua sisi ekstrim konten
faktual dan fiksional, yaitu menjelaskan realitas dengan sebaik-baiknya
sekaligus menjadi sarana menghibur.
Tulisan ini berupaya menjelaskan perkembangan jurnalisme game
yang menjadi penghubung antara jurnalisme dan media hiburan pada masa
sekarang. Agar pemaparan jurnalisme game dapat lebih runtut, pembahasan
tulisan ini akan terdiri dari dua hal utama, yaitu akan menjelaskan
perkembangan industri game dari berbagai aspek dan perspektif, diikuti
dengan eksplanasi mengenai dinamika dan tantangan perkembangan
jurnalisme game. Tulisan ini akan diakhiri dengan penutup yang akan
menjelaskan potensi perkembangan jurnalisme game selanjutnya, dan
potensi jurnalisme game bagi masyarakat, terutama dalam memperkuat
literasi digital yang saat ini sangat diperlukan dalam kehidupan bersama.

Perkembangan Industri Game


Pertumbuhan dan perkembangan industri game dari sudut pandang
bisnis dapat dikatakan luar biasa. Melalui game Fortnite dan Call of Duty,
game menjadi sektor paling mendatangkan profit dalam industri hiburan.
Tahun lalu Fortnite menghasilkan 1,8 miliar dolar Amerika. Sementara
itu, game Modern Warfare, rilis terakhir dari franchise Call of Duty,
menghasilkan uang yang menyamai penghasilan film terlaris sepanjang
masa, Avengers: Endgame. Masa pandemi juga semakin memperkuat
industri game. Sebelum pandemi COVID-19, Twitch, layanan streaming
yang populer dalam dunia game, memiliki penonton harian sebesar 15
juta orang. Pada bulan Maret tahun 2020 ini, angka tersebut bertumbuh
menjadi 22,7 juta viewer harian (Cole, 2020).

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 155 ]


Game adalah bagian dari industri hiburan yang merupakan cabang
dari produksi media yang berkaitan dengan tujuan untuk menghibur, yang
biasanya diwakili oleh konten fiksional. Namun industri hiburan tidak
hanya hadir pada konten fiksi, tetapi juga dapat berkaitan dengan berita dan
iklan, serta konten pendidikan. Seringkali konten informasi dikombinasi
dengan tujuan untuk menghibur, yang kita kenal dengan infotainment
(McQuail, 2010: 556). Industri hiburan secara lebih luas dikenal juga
dengan nama industri budaya yang terdiri dari banyak bidang di bawahnya.
Perdebatan yang terus hadir sampai sekarang adalah mengenai jurnalisme
dunia hiburan dengan infotainment di mana keduanya berkaitan dengan
prinsip-prinsip dasar dari jurnalisme.
Berikut ini ragam bidang yang termasuk industri budaya yang secara
umum berkaitan dengan pendekatan industri pada produksi dan sirkulasi
konten (Hesmondhalgh, 2013: 17), yaitu: pertama, bidang penyiaran yang
terdiri dari industri radio dan televisi, dalam berbagai format: kabel, satelit,
dan digital. Bidang berikutnya adalah industri film, yang kategorinya
meliputi beragam diseminasi film melalui perangkat analog maupun
digital. Ketiga, industri musik, yang sebenarnya meliputi juga rekaman
suara selain musik, melalui konten yang analog maupun digital, serta
penampilan langsung. Bidang selanjutnya adalah industri penerbitan cetak
dan elektronik, yang meliputi buku, database online, layanan informasi,
majalah, dan surat kabar.
Kelima, industri periklanan, pemasaran, dan kehumasan, industri ini
cenderung berpusat pada promosi atas suatu produk dan berupaya untuk
memperkuat melalui simbol dan konten kultural secara luas. Industri desain
situs adalah industri selanjutnya. Situs adalah wajah dari dunia internet
yang secara teknis dipahami oleh masyarakat awam. Situs sebagai pintu
masuk memahami informasi yang ada di internet memerlukan pemahaman
desain yang baik agar beragam fungsi tiap industri kultural bersinergi dan
dapat dipahami oleh masyarakat. Industri yang ketujuh atau yang terakhir
adalah industri game, yang berkembang secara cepat menjadi industri
terkemuka dibandingkan dengan cabang-cabang industri kultural yang
lain.

[ 156 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


Berdasarkan perkembangan game dari sudut pandang ekonomi
tersebut, secara sosiokultural juga menjadikan game semakin berpengaruh
di masyarakat. Para orang tua resah dengan anak-anaknya yang kecanduan
game, bidang-bidang tertentu di kampus-kampus terbantu proses
pembelajarannya dengan simulasi yang dibawa oleh game, dan pemerintah
yang resah karena dana yang mengalir ke luar negeri sangat besar karena
gamer Indonesia membeli game digital dari developer game luar negeri.
Tiga kasus tersebut adalah fenomena yang menunjukkan bahwa game
semakin berpengaruh dalam kehidupan bersama sekarang ini.
Karakter game yang berbeda dengan jenis media lainnya juga
menjadikan game sangat unik. Terdapat beberapa karakter dalam game
yang unik dibandingkan dengan media yang lain, yaitu: algoritma,
aktivitas game, interface, dan grafis (Wolf & Perron, 2003: 14). Grafis
dapat dipahami sebagai elemen visual dari game. Grafis menjadi bagian
penting karena melalui imaji, video, ikon, dan informasi tertulis ini game
dan konten dapat berinteraksi. Interface adalah kombinasi antara perangkat
keras dan perangkat lunak dari game yang membuat gamer menginput
keputusannya, misalnya saja melalui keyboard, mouse, atau joysticks,
termasuk juga berbagai tombol pada layar.
Aktivitas gamer adalah elemen yang menjadikan game berkarakter
interaktif. Secara khusus, aktivitas gamer menjelaskan tujuan yang ingin
dicapai dalam memainkan game. Sementara itu algoritma adalah istilah
yang digunakan di dalam matematika, teknik komputer, linguistik, dan
beberapa disiplin lainnya, yang merujuk pada daftar terbatas dari instruksi
yang jelas untuk menyelesaikan misi di dalam game. Di dalam game
algoritma berkaitan dengan representasi, respons, aturan, dan keacakan
dalam game.
Keempat istilah tersebut dapat dijelaskan lebih mendetail sebagai berikut
(Creeber & Martin, 2009: 82–83): representasi adalah pengelompokan
kembali semua output varian algoritma yang terdiri dari visual pada layar,
audio (musik, efek, dan ucapan) pada speaker atau headphones, demikian
juga pengalaman indrawi yang ditambahkan melalui perangkat kontrol
dan perangkat tambahan lainnya. Respons adalah reaksi yang di-input oleh

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 157 ]


gamer yang meliputi tindakan dari avatar yang mewakili gamer di dalam
game dan juga interaksi lingkungan di luar karakter.
Sementara itu aturan adalah struktur panduan di belakang algoritma
yang mendefinisikan kemungkinan gamer melakukan tindakan di dalam
game. Aturan ini turut menentukan gameplay (pengalaman bermain) di
dalam game. Keacakan adalah hal terakhir yang juga penting. Keacakan
memunculkan karakter yang unik di dalam game. Dengan demikian, dua
gamer yang memainkan game yang sama akan memiliki pengalaman
yang berbeda. Di dalam game analog keacakan ini dicontohkan oleh dadu
yang memberikan efek tak dapat diramalkan dan menjadi inti dari suatu
permainan. Inilah yang menyebabkan game menjadi sangat menarik,
mengakses game memberikan pengalaman berbeda dengan mengakses
konten media yang lain.
Karakter game sebagai media tersebut bahkan berpengaruh secara
luas pada ekonomi politik global karena ketika game online dimainkan,
para gamer tidak hanya memainkannya tetapi juga saling berkomunikasi
dalam skala global yang mirip dengan percakapan antar pengguna melalui
platform media sosial. Seringkali interaksi melalui jaringan game tersebut
hadir dalam dunia sosial yang secara langsung mempertemukan gamer.
Seperti halnya bidang teknologi informasi dan komunikasi yang lain,
game juga merupakan pertarungan antara perusahaan-perusahaan Amerika
Serikat dan Tiongkok. Kedua negara ini memang dominan dalam berbagai
kompetisi digital. Apabila di media sosial, perusahaan-perusahaan besar
dari Amerika Serikat mendominasi, untuk game perusahaan-perusahaan
raksasa dari Tiongkok yang menguasai dunia. Jurnalisme game mestinya
dapat mengisahkan juga kompetisi di level global tersebut.
Hal ini antara lain ditunjukkan melalui jumlah gamer yang luar biasa
di seluruh dunia yang berjumlah sekitar 2,5 miliar, yang seperempat di
antaranya merupakan gamer dari Tiongkok (Cole, 2020). Gamer yang
berjumlah sangat besar tersebut juga dapat ditinjau dari berbagai perseptif.
Ketika berinteraksi dengan konten game sesungguhnya gamer mirip
dengan audiens konten fiksional, baik konten yang berformat tulisan,
visual, dan video. Ketika berkaitan dengan konten fiksi, seseorang gamer
dalam mengolah konten dengan berbagai cara. Hal ini menjadi lebih mudah

[ 158 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


dilakukan dengan perkembangan media sosial dan teknologi informasi dan
komunikasi secara luas. Kemampuan gamer untuk memproduksi konten
baru tersebut juga membuat industri game semakin menarik. Gamer dapat
melakukan rekontekstualisasi atas karakter dan konten secara keseluruhan,
menyampaikan perspektif mereka yang unik melalui saluran lain, misalnya
media sosial, bahkan mengubah genre dari narasi game yang mereka
mainkan (Sullivan, 2013: 205).

Dinamika dan Tantangan Jurnalisme Game


Perkembangan jurnalisme game kongruen dengan perkembangan
jurnalisme secara umum. Bila dikembalikan pada prinsip awal jurnalisme,
kita dapat mengamati harapan masyarakat atas jurnalisme sebagai berikut
(McQuail, 2013: 22): mensirkulasi informasi yang berkaitan dengan publik,
menghubungkan warga dengan pemerintah dan sebaliknya, mendukung
rutinitas institusi utama dan masyarakat, menghormati nilai dan norma
yang ada di masyarakat, melayani kepentingan nasional, dan menyediakan
bantuan ketika terjadi krisis atau hal yang bersifat darurat. Harapan ini
sebenarnya melekat pada fungsi awal dari jurnalisme, yaitu menjelaskan
realitas yang terjadi berkaitan dengan game di masyarakat.
Harapan tersebut juga berkembang seiring dengan perkembangan
masyarakat. Secara umum sebagai hasil dari perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi, banyak masyarakat di berbagai negara telah
berubah menjadi masyarakat jaringan. Masyarakat jaringan didefinisikan
sebagai tipe modern dari masyarakat dengan infrastruktur sosial dan
jaringan media yang berkaitan dengan kehidupan pada tiap level:
individual, kelompok, organisasi, dan masyarakat secara luas. Jaringan
tersebut menghubungkan setiap level secara erat (Van Dijk, 2012: 24).
Prinsip jurnalisme juga lebih ketat bila dibandingkan dengan media
hiburan atau industri kultural secara umum. Secara umum berita yang
dihasilkan berdasarkan prinsip jurnalistik yang ketat dan tidak dicampuri
oleh urusan iklan dan pendapatan bagi perusahaan. Pada kenyataannya,
prinsip tersebut tidak sepenuhnya bisa berjalan dikarenakan berbagai hal.
Hal ini dapat diamati dari berbagai kasus yang hadir, antara lain hadirnya
konsep jurnalisme warga dan jurnalisme publik yang menginginkan berita

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 159 ]


yang lebih berpihak pada masyarakat, kasus lain adalah akses berita yang
terus menurun dan salah satu alasan utamanya adalah tuntutan untuk
menghadirkan berita yang lebih banyak mengenai masyarakat awam,
bukannya pihak yang itu-itu saja, termasuk para pejabat dan selebriti
(Willis, 2010: 58).
Selain prinsip yang utama jurnalisme game juga dapat diamati melalui
tiga aspek, yaitu konten, jurnalis, dan institusi media. Berdasarkan konten
berita, jurnalisme game sama dengan jurnalisme umum, yaitu kualitasnya
ditentukan oleh dua dimensi, yaitu dimensi informasi dan dimensi evaluatif
dari berita. Dimensi informasi adalah hal yang menentukan kualitas suatu
berita dan dapat diamati secara empiris pada konten yang ada. Dimensi
ini terdiri dari faktualitas, akurasi, kelengkapan, dan relevansi. Faktualitas
adalah hal yang paling penting dalam jurnalisme karena berkaitan pada
seberapa baik fakta diangkat dalam berita. Dimensi berikutnya adalah
dimensi evaluatif di mana dimensi ini menilai berita secara mendalam
berkaitan dengan keseimbangan dan netralitas (McQuail, 1992).
Faktualitas dalam jurnalisme game juga berkaitan dengan akurasi,
kelengkapan, dan relevansi. Fakta yang diangkat harus memenuhi akurasi
artinya sumber informasi dan proses mendapatkannya mesti akurat, elemen
yang lengkap seperti lima pertanyaan utama 5W1H, apa, siapa, kapan,
di mana, mengapa, dan bagaimana. Selain itu berita mesti relevan bagi
audiens. Pemberitaan game seperti halnya jurnalisme yang umum, juga
meliputi berita singkat dan padat, berita yang relatif mendalam dengan
berbagai nilai berita, dan berita yang memuat analisis dan opini. Jurnalisme
game juga memiliki otoritas yang unik menyangkut event game yang
diselenggarakan oleh developer game besar, yang seringkali menentukan
kualitas berita. Game event ini mirip dengan event media yang telah dikenal
pada era sebelumnya (Couldry, 2003: 67–68). Keunikan jurnalisme game
yang lain adalah minat pembaca yang tinggi pada laporan orang pertama.
Laporan jurnalis yang juga merupakan gamer adalah yang paling ditunggu
oleh audiens karena keunikannya (Fernando, 2018).
Kini jurnalisme game berubah drastis dalam dua dekade terakhir.
Perkembangan internet dan hadirnya media sosial menjadikan jurnalis
game tidak lagi diperlukan untuk memberitahu gamer tentang judul game

[ 160 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


yang akan rilis, kapan game tersebut dirilis, bahkan juga kualitas game
tersebut. Jurnalis dituntut tidak hanya sekadar menyampaikan tentang game
tetapi juga memainkannya untuk dikisahkan kepada audiens. Pengalaman
langsung semacam inilah yang menjadikan jurnalisme game berbeda
dengan jurnalisme di bidang media hiburan yang lain (Wallace, 2021).
Dimensi informasi, terutama aspek faktualitas, tentu saja perlu diperbarui
di dalam jurnalisme game, termasuk keterkaitan dengan media yang lain
seperti Twictch dan Youtube sebagai sarana memberitakan game.
Sementara itu dimensi evaluatif terdiri dari keseimbangan dan
netralitas. Keseimbangan dalam pemberitaan adalah elemen standar dalam
pemberitaan karena melalui elemen ini posisi organisasi media yang
independen ditegaskan. Selain itu, juga terdapat pendapat yang menganggap
keseimbangan sebagai ketidakberpihakan atau non-partisanship dalam
penyajian sebuah berita. Menurut Dennis McQuail (1992: 223), balance
berkaitan erat dengan proses seleksi dan substansi sebuah berita. Karena
jurnalisme game adalah jurnalisme khusus, yang juga termasuk adalah
jurnalisme perang dan jurnalisme kuliner (Turner & Orange (ed), 2013).
Contoh laporan yang menarik di mana jurnalis harus bersikap netral dan
tidak berpihak adalah pada kisah pertarungan antara dua perusahaan
game terbesar, Sega dan Nintendo, yang turut mendefinisikan generasi
selanjutnya (Harris, 2014).
Walau demikian, jurnalisme online yang menjadi format utama
jurnalisme game dalam mendistribusikan konten dinilai memiliki beberapa
problem mendasar, antara lain tidak dapat menghasilkan dana yang cukup
untuk menghasilkan berita berkualitas dan dianggap mengeksploitasi
warganet untuk mencari berita padahal secara profesional belum memenuhi
(Jones & Salter, 2012: 29). Problem mendasar tersebut dapat disebabkan
oleh berbagai hal yang berlaku secara umum, yang meliputi: akses yang lebih
luas pada sumber berita, seringkali tanpa biaya pada audiens, akses tersebut
berlaku juga pada narasumber internasional, kemampuan warganet sendiri
untuk memproduksi berita dan opini, kemampuan untuk mendapatkan
sudut pandang yang berbeda dan menjadi alternatif dari perspektif umum
yang dibawa oleh media, dan kemampuan untuk mendistribusikan kembali
informasi serta melakukan laporan secara langsung dengan relatif mudah
(Flew, 2014: 108).

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 161 ]


Sebagai akibatnya pelaku jurnalisme online tidak hanya jurnalis
profesional, tetapi juga warga biasa yang aktif sebagai blogger, vlogger,
dan aktivis media sosial yang produktif merilis berita melalui beragam
platform. Walau demikian, seringkali gamer yang berprofesi sebagai
blogger atau vlogger yang me-review game dianggap tidak profesional dan
mendapat stigma sebagai individu yang tak peduli pada komunitas game
(Tassi, 2014). Perkembangan industri game pada akhirnya memunculkan
beberapa jurnalis game ternama, antara lain Dean Takahashi, Jeff
Gerstmann, Geoff Keighley, Naomi Kyle, dan Anita Sarkeesian. Semuanya
adalah jurnalis independen yang memproduksi konten secara mandiri atau
dimuat dalam media-media game terkemuka, misalnya IGN, Kotaku,
Polygon, Destructoid, Eurogamer, Reddit. Media-media terkemuka inilah
yang menjadi mitra dari para pelaku bidang game yang memberikan
informasi, berita, tips, opini, dan analisis yang diperlukan oleh para gamer.
Institusi media jurnalisme game tidak sama dengan institusi media
sebelumnya. Terjadi reinstitusionalisasi karena perbedaan lingkungan
media yang berubah drastis. Institusi media pada era sebelum jurnalisme
game biasanya memiliki karakter sebagai berikut: secara informal memiliki
batasan dan menyediakan identitas dalam praksis jurnalisme, bertindak
sebagai agensi profesional, sangat lekat dengan saluran media “arus utama”,
dan memiliki privilese untuk mendapatkan informasi dan dilindungi oleh
aturan etik dan hukum (McQuail, 2013: 18). Contoh yang bisa disampaikan
untuk kasus Indonesia adalah kelahiran institusi jurnalisme game The Lazy
Media yang awalnya berasal dari kecintaan personal pada game namun
kemudian muncul keinginan kuat untuk membentuk institusi media yang
lebih rutin memproduksi konten dan memiliki target audiens yang jelas
(Santosa, 2018). Institusi media untuk jurnalisme game yang lain juga
hadir karena kecintaan pada game yang mendalam, yaitu PlayVerse yang
awalnya merupakan distributor resmi salah satu perusahaan game terkenal
(Tanuwidjaya, 2018)
Dalam perkembangannya institusi media juga mengalami konsekuensi
dari konglomerasi dan integrasi kepemilikan yang memunculkan promosi
diri sendiri pada beberapa media dengan pemilik yang sama, memiliki
kekuatan politik yang besar karena memegang kendali atas sumber daya
lain, dan juga keberagaman konten yang menurun drastis (Croteau, Hoynes

[ 162 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


& Milan, 2012: 42–49). Walau demikian, juga karena perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi, memungkinkan pula hadirnya
jurnalisme alternatif. Jurnalisme alternatif meliputi blog, media sosial,
pamflet, poster, fanzines, dan zines, bahkan juga grafiti dan teater jalanan,
penerbit buku dan produksi rekaman independen. Hal yang terpenting
adalah jurnalisme alternatif menyediakan berita, informasi, opini, dan
analisis yang berbeda dari jurnalisme arus utama. Tujuan dari jurnalisme
alternatif adalah menantang, mereformasi, dan mengganggu jurnalisme
dominan atau arus utama (Atton & Hamilton, 2008: 63).

Penutup
Prospek jurnalisme game dapat dikategorikan sangat terbuka. Game
tidak lagi merupakan industri dengan ceruk kecil, melainkan sudah sangat
besar (Bycer, 2018). Jurnalisme game berada pada area kajian media baru
yang memiliki karakter komunikasi digital terkini, terutama karakter
transaksi elektronik. Jurnalisme game juga berada pada masyarakat jaringan
yang ditentukan oleh teknologi di mana produsen dan konsumen membaur.
Dengan demikian, jurnalisme dapat menjadi panduan bagi para pelaku di
jaringan industri game yang luas tersebut. Berbeda dengan era media lama
di mana audiens dapat merupakan audiens aktif, namun tidak difasilitasi
untuk aktif memproduksi konten seperti halnya sekarang, jurnalisme game
sangat mungkin dilakukan bukan oleh jurnalis profesional berdasarkan
pada pengalamannya secara langsung. Jurnalisme game dapat berbasis
pada pengalaman pengguna yang kaya dibandingkan dengan hanya
audiens yang menginterpretasi pada era sebelumnya. Jurnalisme game
juga mengutamakan “peleburan” dengan konten, tidak hanya sebagai pihak
yang melihat dari kejauhan. Isu yang penting di dalam jurnalisme game
adalah juga berkaitan dengan simulasi dan bermain dibandingkan dengan
representasi dan bekerja pada masa media lama (Dovey & Kennedy,
2006: 3). Karakter inilah yang membuat jurnalisme game menarik karena
melibatkan secara langsung para pelakunya, baik jurnalis maupun audiens,
dan juga pengamat.
Jurnalisme game yang berjalan dengan baik juga akan mendorong
hadirnya kualitas game secara umum yang semakin baik. Industri game

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 163 ]


akan melihat bahwa aktivitasnya diamati oleh jurnalisme yang secara
natural berbasis pada fakta dan kepentingan publik. Jurnalisme game yang
berkualitas secara langsung dan tidak langsung menjadikan para pelaku
industri game memiliki forum untuk saling bertukar pandangan dan nilai-
nilai yang dianggap baik. Hal ini sudah terjadi ketika pada setiap game
event, developer game tidak menyeleksi media yang hadir berdasarkan
kepemilikan perusahaan yang sama.
Akhirnya, jurnalisme game juga dapat dilihat sebagai upaya
memperkuat literasi digital. Terdapat asumsi yang cenderung keliru bahwa
game membawa efek negatif pada kelompok masyarakat berusia muda
padahal game juga sangat mungkin memberikan efek positif. Jurnalisme
dapat mengubah asumsi keliru tersebut. Jurnalisme game dapat lebih
banyak mengisahkan gamer berusia muda yang berhasil atau bahkan
menjadi gamer profesional. Masyarakat luas juga selalu berseteru karena
efek dan makna dari game, terutama pada efek kekerasan (Jenkins,
2006: 219). Padahal sejatinya, kekerasan pada game bisa jadi merupakan
pelepasan. Dengan memahami kekerasan dalam konten game, individu
akan berusaha mewujudkan sesuatu yang lebih baik daripada kekerasan
tersebut dalam kehidupan sosial. Intinya, jurnalisme game akan membuka
peluang untuk memperkaya kualitas analisis dan kajian atas informasi
faktual yang menjadi basis dari jurnalisme dan informasi fiksional yang
menjadi fondasi bagi media hiburan.

[ 164 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


DAFTAR PUSTAKA

Atton, Chris & Hamilton, J. F. (2008). Alternative Journalism. London:


Sage.
Bycer, J. (2018). “Putting the ‘Game’ Back in Video Game Journalism”.
Gamasutra.com. Diakses dari https://www.gamasutra.com/blogs/
JoshBycer/20180314/315502/Putting_the_quotGamequot_Back_
in_Video_Game_Journalism.php, pada tanggal 20 November 2020,
pukul 13.25 WIB.
Cole, S. (2020). “How large is the global video game industry?”. cgtn.
com. Diakses dari https://newseu.cgtn.com/news/2020-10-05/How-
large-is-the-global-video-game-industry--UjZkgf8APC/index.html,
pada tanggal 20 November 2020, pukul 10.10 WIB.
Couldry, N. (2003). Media Rituals: A Critical Approach. London:
Routledge.
Creeber, G. & Martin, R. (ed) (2009). Digital Cultures. Berkshire: Open
University Press.
Croteau, D., Hoynes, W. & Milan, S. (2012). Media/Society: Industries,
Images, and Audiences. Fourth Edition. London: Sage.
Dovey, J. & Kennedy, H. W. (2006). Game Cultures: Computer Games as
New Media. Berkshire: Open University Press.
Fernando, R. (salah satu pendiri Gamebrott), wawancara di Yogyakarta, 30
April 2018.
Flew, T. (2014). New Media. Fourth Edition. Oxford: Oxford University
Press.
Harris, B. J. (2014). Console Wars: Sega, Nintendo, and the Battle that
Defined a Generation. New York: Harper Collins.
Hesmondhalgh, D. (2013). The Cultural Industries. Third Edition. London:
Sage.
Jenkins, H. (2006). Fans, Bloggers, and Gamers: Exploring Participatory
Culture. New York: New York University Press.
Jones, J. & Salter, L. (2012). Digital Journalism. London: Sage.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 165 ]


McQuail, D. 1992. Media Performance: Mass Communication and the
Public Interest. London: Sage.
McQuail, D. (2010). Mass Communication Theory. Sixth Edition. London:
Sage.
McQuail, D. (2013). Journalism and Society. London: Sage.
Santosa, R. (salah satu pendiri The Lazy Media), wawancara di Jakarta, 5
Juli 2018.
Sullivan, J. L. (2013). Media Audiences: Effects, Users, Institutions, and
Power. London: Sage.
Tanuwidjaya, H. (pemilik dan pendiri PlayVerse), wawancara di Jakarta,
5 Juli 2018.
Tassi, P. (2014). “The Truth About Video Game Journalism”. Forbes.com.
Diakses dari https://www.forbes.com/sites/insertcoin/2014/08/22/the-
truth-about-video-game-journalism/?sh=450f53eb793b pada tanggal
20 November 2020, pukul 13.20 WIB.
Turner, B. & Orange, R. (ed) (2013). Specialist Journalism. London:
Routledge.
Van Dijk, J. (2012). The Network Society. Third Edition. London: Sage.
Wallace, C. (2021). “Press Alert: Games journalists speak on the past, present
and future of games journalism”. Mcvuk.com. Diakses dari https://
www.mcvuk.com/business-news/press-alert-games-journalists-
speak-on-the-past-present-and-future-of-games-journalism, pada
tanggal 24 Februari 2021, pukul 14.35 WIB.
Willis, J. (2010). The Mind of A Journalist: How Reporters View
Themselves, Their World, and Their Craft. London: Sage.
Wolf, M. J. P. & Perron, B. (ed) (2003). The Video Game: Theory Reader.
London: Routledge.

[ 166 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


BAB 12
Produksi dan Monetisasi Kanal YouTube

Irham Nur Anshari

Pengantar

A da satu peristiwa penting bagi beberapa YouTuber (produsen konten/


kanal Youtube) Indonesia pada tahun 2016 lalu. Beberapa YouTuber
diundang secara khusus ke Istana Negara untuk makan siang bersama
Presiden Jokowi. Dalam pemberitaan di Kompas.com, salah seorang
YouTuber, Arief Muhammad, mengungkapkan dalam acara tersebut selain
meminta masukan mengenai konten yang menarik penonton, Jokowi juga
bertanya mengenai aspek ekonomi dari YouTube sebagai industri kreatif.
Hal ini terkait putra Jokowi yang juga merupakan salah satu pengelola
kanal YouTube, Kaesang, yang dianggap Jokowi mendapatkan banyak
penghasilan semenjak menjadi YouTuber (Kompas.com, 2016).
Peristiwa di atas memberikan gambaran apa yang telah dipikirkan oleh
Burgess & Green (2009) bahwa tidak seperti media sosial lain, YouTube
telah melahirkan beberapa perdebatan baru yang penting terkait industri
kreatif, media baru dan ekonomi baru, inovasi para pengguna, produksi
amatir, serta pertanyaan tentang “pekerja” (labour) dalam dinamika media
online. YouTube telah menjadi platform di mana berbagai bentuk nilai
budaya, sosial, dan ekonomi diproduksi oleh pengguna yang masif melalui
konsumsi, evaluasi, dan aktivitas kewirausahaan.
Sebagai platform online berbasis video (audio-visual), YouTube telah
memberikan tantangan besar pada industri media berbasis audio-visual
lain seperti televisi dan sinema. Berkembang dengan slogan “Broadcast
Yourself” (2005–2011), YouTube memberikan platform kepada pengguna
internet untuk meramu kanalnya sendiri, mengisi dengan konten-konten
kreasi sendiri, dan melakukan monetisasi. Monetisasi dalam konteks ini

[ 167 ]
merujuk pada bagaimana para YouTuber bisa memperoleh pendapatan
dari iklan yang muncul di kanalnya. Salah satu sistem monetisasi YouTube
yang paling utama berbasis pada Google AdSense dengan sebuah standar
yang disebut CPM (cost per mille) atau kalkulasi penghasilan per seribu
iklan (Vonderau, 2016). 
Aspek monetisasi dalam media sosial online menjadi aspek yang
penting untuk dipahami ketika membicarakan konten dalam media sosial.
Dalam penelitian mengenai monetisasi blog berbasis advertorial misalnya,
Hunter (2016) menemukan bagaimana praktik monetisasi membuat para
blogger kehilangan otentisitasnya dengan cenderung membuat konten
“pesanan” sponsor maupun konten aspirasional yang lebih menarik
pembaca. Logika ini menarik untuk melihat bahwa praktik produksi dan
monetisasi tidak berlangsung bertahap, para produsen di media sosial
tidak memproduksi konten terlebih dahulu baru kemudian memikirkan
cara monetisasinya. Sebaliknya, praktik produksi dan monetisasi
berlangsung secara dialektis dan menuntut produsen untuk berstrategi atau
menegosiasikan kepentingan ekspresi personalnya.
Dalam konteks YouTube, praktik monetisasi menjadi lebih kompleks
karena kehadiran beberapa agen lain. Lobato (2016) dan Vonderau (2016)
telah menelusuri secara mendalam peran institusi yang mereka sebut
sebagai MCN (Multichannel Network). MCN adalah agen yang memediasi
YouTuber dan perusahaan yang menjual iklan, mempromosikan produsen-
produsen kanal YouTube, serta mengembangkan brand sebuah kanal. Sejak
2006, MCN telah menjadi salah satu agen yang membuat standar produksi
konten YouTube, mereorganisasi monetisasi, dan meredefinisikan nilai
video selaras pasar.
Peristiwa diundangnya para YouTuber Indonesia ke Istana Negara
di atas menunjukkan bagaimana banyak pihak telah berhasil mengelola
kanal YouTube sebagai industri kreatif. Jika kita memeriksa daftar kanal
YouTube dengan pelanggan (subscriber) terbanyak di Indonesia, sebagian
besar kanal dikelola oleh individu ataupun kelompok nonindustri media
besar. Beberapa kanal “industri rumahan” ini menawarkan konten hiburan
sebagai nilai jual utama, baik dalam bentuk tutorial game, vlog, sketsa
komedi, hingga video musik. Mempertimbangkan praktik monetisasi yang

[ 168 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


ditawarkan YouTube, tentu menjadi penting untuk memahami bagaimana
produksi kanal YouTube di Indonesia tidak lepas dari kepentingan ekonomi.
Sebaliknya, produsen dituntut untuk menegosiasikan tawaran kebebasan
berekspresi di media online serta berstrategi terhadap logika monetisasi
dalam memproduksi konten video dan mengelola kanal.

Produksi dan Monetisasi Konten Online


Media sosial ataupun media online lain secara umum seringkali
dianggap menginisiasi demokratisasi media. Potensi progresif dari media
sosial memungkinkan masyarakat secara masif dapat memproduksi pesan
kepada masyarakat lain, memungkinkan para penggunanya untuk berperan
serta dalam memproduksi budaya (Bruns, 2008). Media sosial dalam hal
ini menyempurnakan karakter media massa sebagai proses komunikasi
“one to many” menjadi “many to many” (Jensen, 2015). Jenkins (2008)
menggunakan konsep budaya partisipatoris untuk menggambarkan secara
optimis bagaimana media sosial mempromosikan keberagaman budaya
sehingga mampu menandingi perspektif dominan melalui kreativitas para
pengguna.
Di sisi lain, telah berkembang pemikiran lain yang melihat bagaimana
demokratisasi massa sebagai efek langsung dari perubahan teknologi,
sebagaimana Majalah Time memutuskan ‘Person of the Year’ pada 2006
adalah ‘You”, adalah mitos belaka (Grossman, 2006). Pandangan Jenkins
mengenai budaya partisipatoris tidak memikirkan kepemilikan dan model
bisnis media sosial (seperti YouTube), serta tidak memperhatikan kultur
media sosial sebagai industri budaya yang erat dengan ekonomi politik
(Pietrobruno, 2016). Fuchs (2014) misalnya menawarkan pandangan yang
lebih pesimistis dengan berfokus pada interkoneksi serta relasi kuasa
antara pemilik media sosial, pekerja, konsumen, dan pengiklan. Fuchs
memperhatikan bagaimana media sosial mengeksploitasi para pengguna
sebagai pekerja untuk mengalirkan keuntungan finansial kepada para
pemilik perusahaan melalui mekanisme monetisasi.
Monetisasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai praktik
mengkonversi aktivitas (khususnya di media online) menjadi keuntungan
finansial. Clemons (2009) mengungkapkan ada beberapa tipe mekanisme

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 169 ]


monetisasi di media sosial: memperoleh penghasilan dari biaya langganan
para pengguna (misalnya dalam beberapa media sosial berbasis game
online), memperoleh penghasilan dari aktivitas jual-beli online (toko
online), atau memperoleh penghasilan dari spot iklan yang ditawarkan.
Mekanisme monetisasi yang terakhir ini dapat menjadi lebih kompleks
misalnya sebagaimana Facebook mengomodifikasi penggunanya sebagai
pasar yang dapat dijual kepada pengiklan di mana Facebook memperoleh
penghasilan setiap saat para penggunanya mengklik iklan (Jin & Feenberg,
2015).
Google adalah salah satu perusahaan yang banyak memainkan peran
dalam praktik monetisasi di internet. Melalui program pengiklanan global
AdSense misalnya, para pemilik website/blog dapat memberikan spot
untuk iklan teks dari Google berlabel “Ads by Google” sesuai dengan tema
konten dalam website yang berimplikasi pada penghasilan finansial setiap
kali iklan diklik (Lee, 2011; Kang & McAllister, 2011). Penghasilan bagi
mereka yang berpartisipasi dalam program AdSense berdasarkan sistem
keyword-bidding di mana pengiklan dapat memilih kata kunci yang ingin
mereka link  ke iklan dan menawarkan sejumlah uang yang akan mereka
bayarkan setiap klik (cost-per-click/CPC). Semakin besar jumlah uang
yang ditawarkan, semakin besar kemungkinan iklan muncul di halaman
utama sebuah website/blog (Kang & McAllister, 2011).

Gambar 12.1 Mekanisme monetisasi dalam program Google AdSense.


(Sumber: Kang & McAllister, 2011: 147)

[ 170 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


Untuk memahami bagaimana kompleksitas relasi penggunaan/
produksi konten di media sosial dan praktik monetisasi, penelitian ini
memilih cenderung meminjam perspektif van Dijck (2013) bahwa terlalu
sempit untuk menggunakan pendekatan budaya partisipatoris Jenkins
(2008) ataupun pendekatan ekonomi politik Fuchs (2014) dalam meninjau
praktik produksi di media sosial. Jika pendekatan Jenkins terbatas dalam
memahami strategi bisnis dan kepemilikan media sosial, pendekatan
Fuchs terlalu memandang lebih pada pengaruh teknologi dan meng-
underestimate peran pengguna, konten, dan bentuk-bentuk budaya (van
Dijck, 2013). Berdasar pada argumen van Dijck, penelitian ini memandang
relasi penggunaan/produksi konten di media sosial dan praktik monetisasi
sebagai relasi yang dialektis dan ambivalen. Di satu sisi pengguna media
sosial menikmati media sosial sebagai platform partisipatoris yang
memungkinkan memberikan penghasilan finansial. Di sisi lain pengguna
media perlu menegosiasikan kepentingannya atau berstrategi terhadap
logika monetisasi yang mungkin mendominasi konten yang mereka
produksi.

YouTube sebagai Industri Kreatif


Sejak diperkenalkan oleh YouTube Inc. pada tahun 2005, YouTube telah
menarik perhatian banyak peneliti. YouTube telah dikaji dari berbagai aspek
mulai dari YouTube sebagai budaya populer, jejaring sosial, arsip budaya,
hingga industri kreatif (lihat Snickars & Vonderau, 2009). Karakteristik
utama YouTube adalah tawarannya kepada pengguna untuk mengunggah
video apapun atau menikmati video yang diunggah oleh pengguna lain.
Pengguna YouTube terdiri dari berbagai kelompok: produser media besar
profesional seperti stasiun televisi, perusahaan musik, agensi iklan, hingga
produser amatir yang menggunakan YouTube sebagai  platform distribusi
alternatif seperti seniman, aktivis, dan masyarakat umum. Kemungkinan
YouTube untuk memberikan ruang partisipasi kepada berbagai kelompok
membuatnya dipandang sebagai agen penting dalam melahirkan budaya
yang dinamis: YouTube sebagai situs budaya partisipatif (Burgess &
Green, 2009).

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 171 ]


Sebagai situs budaya partisipatif, YouTube telah menjadi alternatif
dari sistem penyiaran tradisional yang terpusat. Beberapa tulisan telah
menunjukkan bagaimana YouTube telah digunakan oleh berbagai
kelompok dengan tujuannya masing-masing. Jurnalis menggunakan
YouTube untuk cerita-cerita yang memiliki nilai berita (Powers, 2007).
Korporasi besar tidak hanya menggunakan YouTube untuk beriklan namun
memanfaatkannya dengan membuat kanal edukasi publik (Singletary,
2007). Universitas-universitas besar telah memanfaatkan YouTube sebagai
kanal di mana perkuliahan bisa diakses secara global dengan mahasiswa
yang dapat mencapai 100.000 orang (Young, 2008).
Berbeda dari platform online lain (toko online, game online, forum
online), YouTube dapat dipahami sebagai mekanisme koordinasi antara
kreativitas individu dan kolektif, sebagai mediator antara berbagai wacana/
ideologi yang berorientasi pada pasar dan berorientasi pada kepentingan
audiens/pengguna. YouTube diimajinasikan sebagai ruang di mana dua
orientasi ini dapat eksis berdampingan namun tidak terkonvergensi. Konten
dalam YouTube menggambarkan kondisi ini di mana tayangan media massa
dapat diakses bergantian dengan tayangan amatir, di mana televisi, sinema,
video musik, dan iklan, muncul di antara video hasil produksi kamar dan
halaman belakang. Terdapat dikotomi pengguna YouTube dalam hal ini,
antara media tradisional dan pengguna amatir (Burgess & Green, 2009).
Sejak Oktober 2006, YouTube diakuisisi oleh Google. Momen ini
seringkali dianggap sebagai transisi penting YouTube dari UGC (User
Generated Content) ke PGC (Professionally Generated Content) (Kim,
2012). Di bawah manajemen Google, YouTube mengadopsi model
e-commerce baru, YouTube memasang iklan banner di video ataupun
di halaman. Ide dasar dari iklan banner adalah untuk menayangkan
iklan selama video ditonton (Sorkin, 2006). Berdasarkan jumlah praktik
menonton video, keuntungan dari iklan dibagi antara YouTube dan pembuat
konten atau pemilik hak cipta (Stelter, 2008). Dalam perkembangannya
muncul juga iklan berbasis video yang dapat dilewati (skippable ad)
setelah beberapa detik. YouTube dalam hal ini mengimitasi aturan media
tradisional dengan mengatur distribusi konten yang legal serta peleburan
konten dan kepentingan komersial.

[ 172 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


Pemahaman tentang kanal YouTube umumnya mengasumsikan
bahwa seorang yang mengunggah video, mengelola kanal, memproduksi
konten-konten dalam kanal, serta menjadi tokoh utama dalam video
adalah satu orang yang sama. Vonderau (2016; 369) menolak asumsi ini
dengan menyatakan bahwa sebagian besar inventaris YouTube justru
berisi video-video yang tidak menyatakan kredit divisi pekerja di baliknya.
Salah satu agen penting di balik kanal-kanal populer di YouTube adalah
Multichannel network (MCN) (Lobato, 2016). MCN adalah perusahaan
intermediasi yang menjual iklan, mempromosikan silang kanal YouTube,
serta mengembangkan brand video/kanal. Sejak 2006, MCN telah
menstandarisasi produksi dan mereorganisasi penjualan iklan berbasis
CPM (cost per mille). Beberapa MCN di Eropa dapat berafiliasi dengan
ribuan kanal YouTube, seperti Mediakraft (lebih dari 2.500 partner kanal)
atau British Righster (lebih dari 3.500 kanal) (Vonderau, 2016: 369).
Strategi monetisasi YouTube menunjukkan adanya
kesalingtergantungan antara media dan iklan sembari merefleksikan
ketidakefisienan iklan dalam media tradisional di tengah atmosfer online
(Cunningham dkk., 2016). Dalam hal ini, YouTube berbeda dengan industri
media tradisional seperti stasiun televisi yang memperoleh keuntungan
penuh dari spot iklan. YouTube juga berbeda dari platform video online
lain seperti Netflix (https://www.netflix.com/) dan Hulu (https://www.hulu.
com/) yang memiliki hak cipta konten-konten di dalamnya dan memperoleh
keuntungan dari biaya berlangganan audiensnya. Dengan bermodal
platform, YouTube juga tidak menjual ruang kanal-kanalnya dengan
membiarkan setiap pengguna bisa memproduksi konten dan mengunggah
video tanpa biaya. Memahami industri kreatif yang ditawarkan YouTube
adalah memahami bentuk industri kreatif berbasis kesepakatan partnership
antara YouTube dan kreator konten dengan berbagi penghasilan dari iklan.
Dalam tarik menarik kepentingan akan kreativitas dan monetisasi,
audiens dapat dilihat sebagai aspek penting yang dipertimbangkan oleh
YouTuber. Relasi antara YouTuber dapat dilihat melalui fitur-fitur di
YouTube seperti jumlah view setiap video, jumlah like ataupun dislike,
comment, serta subscriber atau pelanggan. Di luar fitur yang ditawarkan
YouTube, interaksi antara YouTuber dengan audiens dapat juga melalui
saluran lain misalnya email mengingat sebagian besar YouTuber juga

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 173 ]


mencantumkan alamat email mereka di dalam kanal. Tatap muka antara
YouTuber dengan audiens atau fans juga umumnya muncul dalam
acara khusus jumpa fans ataupun acara-acara lain yang menghadirkan
YouTuber sebagai pengisi acara, acara YouTube Fanfest misalnya. Dalam
media sosial, jumlah angka penonton seringkali menjadi sumber untuk
menentukan sejauh mana produsen konten layak mendapatkan iklan
endorsement. Dalam kasus YouTube, tingkat ketertontonan ini menjadi
poin penting pada tingkat monetisasi, lebih spesifiknya lagi, menentukan
CPM sebuah kanal.

Kanal YouTube di Indonesia


Sebagai platform online, YouTube menciptakan ruang cyber global
yang memungkinkan pertukaran informasi lintas batas negara. Namun
demikian, meneliti YouTube dalam konteks negara tetap menjadi penting
dengan beberapa alasan. Alasan pertama mengingat video dalam YouTube
tetap dibuat dengan bahasa-bahasa lokal. Meski YouTube berusaha
meminimalisir masalah ini dengan menghadirkan fitur “subtitle” yang
memungkinkan audio dalam video diterjemahkan sebagai subtitle,
teknologi dalam fitur ini belum berhasil sepenuhnya mengkonversi audio
dari banyak bahasa dan dialek tertentu. Alasan lain mengingat beberapa
kanal YouTube masih dikhususkan pada audiens dengan bahasa yang sama
sehingga diproduksi dan direspons sesuai konteks sosial politik khusus di
sebuah negara/wilayah. 
Bagaimana sebuah kanal YouTube Indonesia bisa mendapatkan
jangkauan global bisa dilihat contohnya dari kanal Brian Imanuel. Video
Brian berjudul “Rich Chigga - Dat $tick (Official Video)” yang berupa
video musik berbahasa Inggris mendapatkan lebih dari 41 juta views, lebih
dari 500 ribu likes, serta mendapatkan respons video YouTube dari musisi-
musisi skala internasional (Jenkins, 2016). Sementara bagaimana sebuah
kanal YouTube bisa bersitegang dengan konteks lokal bisa ditemukan
melalui reaksi publik Indonesia terhadap kanal Reza Oktovian, Karin
Novilda, ataupun Anya Geraldine. Sementara Reza mendapatkan respons
berupa petisi online yang memprotes penggunaan bahasa “jorok” dalam
konten-kontennya (Lim, 2016), Karin dan Anya harus berhadapan dengan

[ 174 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


KPAI lantaran konten-kontennya dianggap memberikan pengaruh buruk
kepada anak di bawah umur (Prihantoro, 2016). Meski tiga YouTuber yang
disebut terakhir mengelola kanal YouTube yang mendapatkan banyak
pelanggan dan ketertontonan, ketiganya tidak menjadi bagian YouTuber
yang diundang oleh Presiden Jokowi untuk membincangkan perihal
YouTube sebagai industri kreatif di Indonesia (lihat Kompas.com, 2016).
Meski YouTube memungkinkan berbagai jenis konten video (berita,
dokumentasi acara formal, konten religius, dan konten pengetahuan), daftar
kanal YouTube di Indonesia dengan pelanggan terbanyak masih dipenuhi
oleh kanal-kanal yang berorientasi pada hiburan sebagai nilai jual utama.
Hiburan dalam hal ini mengambil berbagai bentuk mulai dari vlog, tutorial
game, sketsa komedi, video musik, hingga konten infotainment. Sementara
beberapa kanal mencoba berfokus pada satu tipe konten hiburan, beberapa
kanal populer di Indonesia mencoba mengkombinasikan berbagai tipe
konten. Raditya Dika yang mengelola kanal dengan pelanggan terbanyak
di Indonesia misalnya memproduksi konten berupa sketsa komedi, vlog,
maupun tutorial game.
Meski banyak kanal YouTube di Indonesia yang dikonsumsi secara
masif, pembahasan yang mendalam mengenai praktik monetisasi ataupun
bagaimana cara para YouTuber memperoleh penghasilan belum menjadi
perhatian umum. Informasi mengenai praktik monetisasi hanya muncul
selintas dalam beberapa forum online (lihat Soccerdev, 2013) ataupun
video edukatif di YouTube (lihat Kok Bisa?, 2016). Siapa saja agen-agen
dan bagaimana peranannya dalam membentuk YouTube di Indonesia
sebagai industri kreatif juga masih menjadi pemahaman yang eksklusif.
Tidak banyak pengguna YouTube memahami agen-agen seperti MCN di
Indonesia yang mampu mendampingi pengelola kanal dalam berpartisipasi
sebagai industri kreatif. Dalam blog FYI (Forum YouTube Indonesia)
misalnya, dapat diketahui berbagai MCN telah memainkan peranan di
balik kanal-kanal populer (FYI, 2016).
Dalam kasus di Indonesia, perkembangan YouTube sebagai industri
kreatif berkembang pesat pasca YouTube memungkinkan adanya sistem
monetisasi berbasis kerja sama YouTuber sebagai YouTube partner.
Meskipun sistem ini tidak seutuhnya berhasil memberikan penghasilan

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 175 ]


yang besar, setidaknya sistem ini telah menginisiasi pertumbuhan industri
yang diikuti adanya sistem monetisasi lain seperti endorsement. Audiens
menjadi aspek penting yang dipertimbangkan dalam relasi produksi konten
kreatif dan praktik monetisasi. Fitur-fitur YouTube seperti like, comment,
view, dan subscribe menjadi panduan YouTuber untuk mengukur ke mana
arah konten mereka akan berlanjut. Kolaborasi antara YouTuber banyak
dilakukan untuk memperluas jangkauan penonton ini. Kreativitas hiburan
audio-visual dalam YouTube meski berada dalam platform media sosial
yang partisipatif, tetap tidak bisa bebas nilai. Industri kreatif dalam
YouTube ini cenderung terlihat sama seperti halnya industri hiburan di
televisi dan bioskop. Produsen konten dalam hal ini menegosiasikan aspek
kreativitas dengan kepentingan monetisasi dan ketertontonan audiens.

[ 176 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


DAFTAR PUSTAKA

Burgess, J. and Green, J. (2009). YouTube: Online Video and Participatory


Culture. Cambridge: Polity.
Bruns, A. (2008). Blogs, Wikipedia, Second Life and Beyond: From
Production to Produsage. New York: PeterLang.
Clemons, E. K. (2009). “The complex problem of monetizing virtual
electronic social networks”. Decision Support Systems 48: 46-56.
Cunningham, S., Craig, D., Silver, J. (2016). “YouTube, multichannel
networks and the accelerated evolution of the new screen ecology”.
Convergence 22(4): 376-391.
Fuchs, C. (2014). Social Media: A Critical Introduction. London: Sage.
FYI Forum YouTube Indonesia. (2016). “Daftar 10 MCN Terbaik untuk
Channel YouTube”. Terarsip dalam http://forumyoutubeindonesia.
blogspot.co.id/2016/01/daftar-10-mcn-terbaik-untuk-channel.html
diakses pada Maret 2017.
Grossman. (2006). “Time’s person of the year: you”.TIME. Terarsip dalam
http://time.com/time/magazine/article/0,9171,1569514,00.html
diakses pada Maret 2017.
Hunter, A. (2016). “Monetizing the mommy: mommy blogs and the
audience commodity”. Information, Communication & Society, 19:9,
1306-1320.
Jenkins, H. (2008). Convergence Culture: Where Old and New Media
Collide. New York: New York UniversityPress.
Jenkins, N. (2016). “Meet Brian Imanuel, alias Rich Chigga, the 17-year-
old Indonesian rapper who hacked the world”. TIME.com. Terarsip
dalam http://time.com/4532948/brian-imanuel-rich-chigga-jakarta-
indonesia-rap-hiphop/ diakses pada Maret 2017.
Jensen, Klaus B. (2015). “What’s social about social media?". Social
Media + Society 1:1. https://doi.org/10.1177/2056305115578874

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 177 ]


Jin, D. Y. & Feenberg A. (2015). “Commodity and community in social
networking: marx and the monetization of user-generated content. The
Information Society 31:52–60.
Kang, H. & McAllister, M. P. (2011). “Selling you and your clicks:
examining the audience commodification of google”. tripleC 9(2):
141–153.
Kok Bisa? (2016). Bagaimana YouTubers mendapatkan penghasilan?
Terarsip dalam https://www.youtube.com/watch?v=PEiuHenDyEc
diakses pada Maret 2017. 
Kompas.com (2016). Saat Jokowi minta masukan “YouTubers” agar
lebih eksis di “YouTube”. Terarsip dalam http://nasional.kompas.com/
read/2016/08/10/07285811/ saat.jokowi.minta.masukan.youtubers.
agar.lebih.eksis.di.youtube. diakses pada Maret 2017.
Kim, J. (2012). “The institutionalization of YouTube: from user-generated
content to professionally generated content”. Media Culture & Society
34(1): 53–67.
Lee, M. (2011). “Google ads and the blindspot debate”. Media, Culture &
Society 33 (3) 433-447.
Lim, D. (2016). Mempetisi Reza Oktovian: Tingkatkan Kualitas Bahasa
Anda. Change.org. Terarsip dalam https://www.change.org/p/reza-
oktovian-tingkatkan-kualitas-bahasa-anda diakses pada Maret 2017.
Lobato, R. (2016). “The cultural logic of digital intermediaries: YouTube
multichannel networks”. Convergence 22(4): 348–360.
Pietrobruno, S. (2016). “YouTube flow and the transmissiion of heritage:
The interplay of users, content, and algorithms”. Convergence I-15.
Powers, W. (2007). “This is YouTube material. National Journal, p. 94.
Prihantoro,  A. (2016). “KPAI: Anya-Awkarin dapat dipidana”. Antaranews.
com. Terarsip dalam http://www.antaranews.com/berita/585882/kpai-
anya-awkarin-dapat-dipidana diakses pada Maret 2017.
Singletary, M. (2007). “Anti-scam message hits YouTube”. Washington
Post, p. F1.
Snickars, P. & Vonderau, P. (eds). (2009). The YouTube Reader. Stockholm:
National Library of Sweden.

[ 178 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


Soccerdev. (2013). “Cara mendapatkan penghasilan lewatYouTube”.Terarsip
dalam https://www.kaskus.co.id/thread/57847652902cfee7748b4567
diakses pada Maret 2017.
Sorkin, AR. (2006). “Dot-com boom echoed in deal to buy YouTube”. New
York Times, 10 October.
Stelter, B. (2008). “YouTube videos pull in real money”. New York Times,
11 December.
van Dijck, J. (2013). The Culture of Connectivity: A Critical History of
Social Media. New York: Oxford University Press.
Vonderau, P. (2016). “The video bubble: Multichannel networks and the
transformation of Youtube”. Convergence 22(4): 361-375.
Young, J.R. (2008). “YouTube professors: Scholars as online video stars”.
Chronicle of Higher Education, 54(20), A19.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 179 ]


BAB 13
Aktualisasi Diri dan Media Hiburan: Menyoal Kaum
Muda dalam Ruang Media Sosial

Mashita Fandia

Pengantar

K aum muda sebagai subjek sosio-kultural selalu hadir dalam


kehidupan sehari-hari, tetapi sebagai subjek akademik, khususnya
di Indonesia, keberadaannya seringkali terpinggirkan (Azca & Sutopo,
2012). Kaum muda, secara umum dianggap sebagai objek yang tidak
signifikan agensinya, atau bahkan dianggap tidak memiliki agensi sama
sekali. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, studi mengenai kaum
muda, utamanya dalam kajian budaya, mulai marak berkembang dengan
banyaknya akademisi yang mulai melihat posisi kaum muda sebagai agen
yang signifikan di masyarakat. Dalam konteks kajian komunikasi, posisi
kaum muda tidak lagi dilihat hanya sebagai komunikan, melainkan juga
komunikator yang memiliki agensi dalam konstruksi pesan.
Dalam konteks kajian media, pada era digital saat ini, posisi kaum
muda mengalami pergeseran; tidak lagi sekadar objek yang pasif dalam
menerima paparan pesan media, melainkan menjadi subjek yang aktif
dalam konstruksi pesan dan makna. Medialitas media digital yang
memungkinkan audiensnya dalam menjadi pengguna aktif, membuat
kajian tentang kaum muda menjadi subjek yang ramai diperbincangkan,
dengan posisi kaum muda sebagai digital native atau generasi yang akrab
dengan media digital (Prensky, 2001, 2012). Pada tataran ini, definisi
kaum muda tidak lagi terikat pada rentang usia, sebagaimana konsep yang
banyak diterapkan oleh perspektif kajian yang cenderung deterministik.
Konsep “kaum muda” kini merujuk pada generasi tertentu, yang sangat
kontekstual pada lokus riset tertentu.

[ 180 ]
Perkembangan kajian dan riset terkait kaum muda pada era digital
ini sebagian besar berfokus pada relasinya dengan media baru, termasuk
kanal media sosial. Tercatat hingga Januari 2021, pengguna media sosial di
Indonesia didominasi oleh kaum muda dengan rentang usia 18 hingga 30
tahun, sebagaimana dikategorikan dalam Undang-Undang Kepemudaan
RI (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009 tentang
Kepemudaan, 2009; We Are Social & Hootsuite, 2021). Namun,
perkembangan kajian budaya kaum muda menunjukkan bahwa konsep
“kaum muda” bukan sekadar konsep empiris, melainkan juga konsep
kultural. Setiap generasi pernah mengalami “menjadi muda”, karenanya,
budaya kaum muda dipahami sebagai praktik kultural yang tidak terbatas
pada usia tertentu, melainkan lebih menyorot pada fenomena generasi
yang terjadi. Dalam kaitannya dengan generasi millennials dan generasi Z
yang secara empiris pada konteks saat ini merupakan kaum muda, media
digital merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan,
serta bagaimana mereka mempersepsi realitas dan membangun makna
(Dimock, 2019; Shatto & Erwin, 2016; Subrahmanyam & Smahel, 2011)
Kaum muda dalam kajian media hiburan dapat dilihat melalui berbagai
perspektif. Tulisan ini akan berfokus kepada posisi kaum muda sebagai
audiens yang aktif dalam konteks penggunaan media digital di Indonesia,
khususnya kanal media sosial. Tiga subbab dalam bab ini merupakan
paparan hasil riset terkait agensi kaum muda di ruang media sosial. Tidak
sekadar membahas mengenai bagaimana media sosial memberi pengaruh
pada kaum muda, melainkan bagaimana kaum muda mengelola pesan-pesan
untuk aktualisasi dirinya di ruang siber. Tidak sekadar bicara mengenai
bagaimana kaum muda mencari hiburan dan bersenang-senang melalui
media sosial, melainkan bagaimana aktivitas tersebut membentuk kultur
bermedia sosial pada khususnya dan kultur kaum muda pada umumnya.

Konstruksi Diri dalam Ruang Media Sosial


Kaum muda adalah “tulang punggung” dan target pasar dari
perkembangan media baru. Kanal media sosial didesain untuk generasi
yang merupakan digital native. Meskipun konsep “kaum muda” memiliki
perdebatan tersendiri, di mana tidak ada rentang usia khusus yang dapat

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 181 ]


mendeskripsikan secara tepat konsep tersebut, dalam konteks penggunaan
media sosial, kaum muda dapat diartikan sebagai pengguna aktif yang
memiliki tingkat eksposur tinggi atas kebiasaan bermedia sosial. Lebih
lanjut, “kaum muda” (youth) sebagai agen subkultur, dengan media sebagai
point of reference bagi mereka (Bennett & Robards, 2014; McRobbie,
2012). Secara demografis, kaum muda yang digambarkan oleh McRobbie
memang tidak memiliki penjelasan definitif. Namun, melalui paparannya
dapat disimpulkan bahwa kaum muda adalah “orang-orang muda” (young
people) yang memperoleh terpaan media dalam berbagai bentuknya, yang
pada konteks masa kini, termasuk media sosial. Dalam konteks Indonesia,
kaum muda merupakan generasi yang mengikuti setiap perkembangan
media sosial yang ada. Lebih dari itu, media sosial telah merasuk menjadi
bagian dari kehidupan mereka sehari-hari.
Salah satu karakter kaum muda dinyatakan dengan konsep “emerging
adulthood” yang mana ditandai dengan adanya eksplorasi identitas
(Bennett & Robards, 2014; Subrahmanyam & Smahel, 2011; Zemmels,
2012). Eksplorasi identitas tersebut terjadi utamanya dalam tiga ranah,
yaitu asmara atau kehidupan percintaan, pendidikan atau pekerjaan atau
kehidupan karier, dan cara pandang mereka terhadap dunia. Eksplorasi
identitas menjadi salah satu aspek fundamental yang mendasari perilaku
bermedia sosial kaum muda. Kaum muda berada pada titik dalam hidup
mereka di mana mereka paling termotivasi untuk mengonstruksikan
identitas, untuk membentuk kelompok sosial, dan untuk menegosiasikan
alternatif atas makna-makna kultural yang telah ada dan diberikan kepada
mereka secara serta-merta (taken for granted); dan dalam hal ini, media
memainkan peran sentral (Livingstone et al., 2011; Osgerby, 2004). Kaum
muda menjadikan “akses terhadap media sosial” sebagai aktivitas yang
tidak dapat mereka tinggalkan setiap harinya.
Dalam kaitannya dengan presentasi diri di ruang media sosial, tercatat
adanya paradoks atas privasi atas informasi yang mereka bagi; bahwa
di satu sisi para pengguna media sosial menyatakan mereka menaruh
perhatian pada isu privasi, namun di sisi lain mereka secara sukarela
membagikan data dan informasi personal (Barnes, 2006; Purwaningtyas,
2019). Oleh karena itu, tidak hanya bahwa praktik bermedia sosial telah
menjadi bagian hidup yang lekat dengan kaum muda dan memengaruhi

[ 182 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


pola mereka dalam berelasi dengan sosialnya, melainkan bahwa tarikan
antara kebutuhan untuk berkomunikasi, berbagi, dan membuka diri,
dan kebutuhan atas ruang personal individu selalu menjadi hal yang
problematis dalam praktik tersebut. Sehingga dalam prosesnya, isu
privasi menjadi proses tarik-menarik yang dinamis antara pengungkapan-
diri (self- disclosure) dan pembatasan-diri (self-boundary) yang seorang
individu ciptakan dalam penggunaan media sosial, baik dalam aspek sikap
maupun perilaku (Margulis, 2011; Purwaningtyas, 2019). Pada tataran
ini, konstruksi identitas diri kaum muda di ruang media sosial menyeruak
dalam presentasi diri yang telah melalui proses negosiasi antara “diri yang
diungkapkan” dan “diri yang ditutupi”.
Riset yang telah dilakukan terkait konstruksi diri kaum muda dalam
ruang media sosial menunjukkan bahwa diri telah mengalami fragmentasi,
yaitu proses di mana diri seseorang “terbagi-bagi” ke dalam kanal-kanal
media sosial (Purwaningtyas, 2020). Proses fragmentasi diri ini telah
menghadirkan beberapa karakter diri kaum muda yang dipresentasikan
dalam ruang media sosial, yaitu: (1) diri yang ambivalen, (2) diri yang
menghasratkan pengakuan, dan (3) diri yang mencari kebebasan
(Purwaningtyas, 2019). Konstruksi diri tersebut mewujud dalam upaya
kaum muda untuk menjalin relasi yang resiprokal melalui kanal media
sosial.
“Diri yang ambivalen” merupakan praktik di mana identitas kaum muda
dikonstruksi dalam kelindan privasi dan publisitas yang dinegosiasikan
dalam ruang media sosial. Pada tataran ini, kaum muda merasa memiliki
kebutuhan untuk menjaga privasi dengan memilih informasi personal
mana yang mereka bagikan, serta kepada siapa mereka membaginya.
Di sisi lain, medialitas kanal media sosial mendorong pengguna untuk
melakukan publisitas yang seluas-luasnya kepada audiens, meskipun ia
juga menyediakan fitur seperti “akun privat” (private account) dan “teman
dekat” (close friends) dalam Instagram. Publisitas atas informasi personal
tetap dilakukan kaum muda, pada titik tertentu hingga taraf tertentu, dengan
tujuan untuk mendapatkan pengakuan dari audiens atau peer group-nya
dalam media sosial. Hal ini mengarahkan pada karakter konstruksi diri
yang kedua, yaitu “diri yang menghasratkan pengakuan”.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 183 ]


Dengan membagi informasi personal mereka, termasuk kegiatan
sehari-hari, kegemaran, sudut pandang, hingga apa yang mereka pikirkan,
kaum muda mengharapkan reaksi timbal-balik atau rekognisi dari “teman-
teman” mereka di media sosial. Ada yang mengunggah hasil masakannya
karena ingin diakui sebagai orang yang bisa memasak, ada yang
mengunggah musik atau lagu tertentu karena ingin diakui selera musiknya,
serta berbagai ilustrasi lain. Pada tataran ini, terjadi kontestasi antara “diri
yang otentik” dan “diri yang ingin dilihat oleh orang lain”. Beberapa kaum
muda menjembatani kontestasi ini dengan membuat akun sekunder, atau
dengan kata lain, memiliki dua akun dalam satu kanal media sosial.
Terakhir, dalam ruang media sosial, kaum muda membangun konstruksi
diri yang didasarkan pada sensasi atas kebebasan untuk mengekspresikan
diri mereka; hal ini merujuk pada karakter “diri yang mencari kebebasan”.
Pada kanal media sosial, banyak kaum muda tidak “berteman” dengan
orangtua atau anggota keluarga yang lebih tua. Kalaupun berteman, mereka
cenderung mengeksklusikan orangtua dari lingkaran dekat mereka di
media sosial. Mereka cenderung melepaskan relasi kekeluargaan (kinship)
dan membangun relasi berdasarkan hubungan pertemanan (friendship),
dengan tujuan untuk menghindari upaya kontrol dan pengawasan dari
orangtua dan keluarga. Namun, “diri yang mencari kebebasan” tidak
sepenuhnya bebas, karena kontrol dan pengawasan bergeser pada standar
sosial tertentu yang terbangun dalam media sosial oleh relasi pertemanan;
seperti misalnya standar atas “unggahan Instagram yang berfaedah” atau
“cuitan Twitter yang menarik”.

Gerakan Sosial dan Aktivisme Daring


Aktivitas kaum muda bermedia sosial tidak terlepas dari gerakan
sosial dan aktivisme daring. Dalam peta perkembangan gerakan sosial,
munculnya media baru dan digital telah menambah sarana dan menggeser
pola diseminasi informasi dan proses komunikasi yang berlangsung dalam
gerakan sosial (Jenkins, 2014). Pada tataran ini, format konten media
yang bersifat dan dikemas dalam bentuk “pendidikan sekaligus hiburan”
(edutainment – education and entertainment) salah satunya mewujud dalam
akun-akun informasional yang marak beredar dalam kanal media sosial.

[ 184 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


Akun-akun informasional ini pada umumnya dikelola secara kolektif oleh
sekelompok kaum muda, dengan menggunakan nama akun yang mewakili
kelompok, komunitas, atau organisasi mereka secara sukarela (Dewantara
& Widhyharto, 2015). Namun, tidak jarang juga akun informasional yang
dikelola oleh individu, baik dengan menggunakan nama asli mereka
sebagai nama akun maupun nama samaran (pseudonym).
Akun-akun informasional mulai marak bermunculan pada kanal
media sosial Twitter sekitar tahun 2010-an. Di Yogyakarta, misalnya,
bermunculan akun-akun seperti @JogjaUpdate dan @KulinerJogja
yang menyajikan informasi-informasi seputar kota Yogyakarta dan
kuliner melalui cuitan di Twitter. Dua akun ini merupakan contoh akun
yang dikelola oleh individu. Contoh akun informasional yang dikelola
oleh kelompok dapat terlihat pada akun Instagram @jogja24jam dan @
jogjafoodhunter. Kedua akun tersebut juga menampilkan konten informasi
terkait kota Yogyakarta dan kulinernya. Di samping itu, dapat ditemukan
juga akun-akun informasional yang dikelola oleh organisasi atau institusi,
seperti akun @tirtoid dan @mojokdotco. Terkait hal ini, kanal media sosial
dimanfaatkan sebagai perpanjangan tangan dari organisasi atau institusi
untuk melakukan diseminasi informasi.
Akun informasional pada kanal media sosial dalam beberapa kasus
mengalami transformasi menjadi akun aktivisme. Pada tataran ini, media
sosial tidak sekadar menjadi kanal diseminasi informasi, melainkan
juga sebagai kanal pembentukan wacana dan pendorong bagi gerakan
sosial yang lebih besar (Fandia, 2021). Baik individu maupun kelompok/
organisasi/institusi dapat membuat akun yang didedikasikan untuk gerakan
sosial. Akun-akun ini akan membawa tema atau topik yang spesifik
dalam gerakan mereka; seperti akun Instagram @indonesiafeminis, @
lawanpatriarki, @perempuanbergerak, serta akun lainnya yang mengusung
gerakan sosial untuk kesetaraan gender di Indonesia, atau contoh lainnya
adalah akun Instagram @jogjadaruratagraria dan @gejayanmemanggil
yang membawa isu lingkungan hidup, politik, dan kemanusiaan dengan
basis kota Yogyakarta. Akun-akun aktivisme ini memiliki kekuatan dalam
membentuk opini kaum muda dan mendorong mereka untuk berkontribusi
dalam gerakan yang lebih besar.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 185 ]


Aktivisme dalam ruang media sosial juga digalakkan dengan
menggunakan fitur tagar (tanda pagar atau hashtag). Medialitas media
sosial yang membuat fitur tagar memungkinkan sebuah isu untuk secara
mudah menjadi viral dan berada di permukaan topik yang tren di kalangan
pengguna media sosial. Dengan menggunakan fitur tagar, para pengguna
dapat melihat informasi yang beredar dalam ruang media sosial terkait
topik tertentu. Tagar yang populer menjelang akhir tahun 2020 seperti
#MosiTidakPercaya dan #TolakOmnibusLaw bahkan sempat menjadi
trending topic di Twitter dan membuat pengguna Twitter yang tidak
berasal dari Indonesia bertanya-tanya mengenai isu tersebut. Pada tataran
ini, kekuatan algoritma dan fitur tagar sebagai bagian dari medialitas
media sosial memberi kesempatan bagi gerakan sosial dan aktivisme
untuk tumbuh subur. Beberapa gerakan sosial dalam kanal media sosial
melalui tagar tidak hanya diinisiasi oleh akun-akun aktivisme, melainkan
juga oleh akun-akun personal individu, seperti gerakan #koinuntukPrita,
#savekomodo, dan lain sebagainya.
Lebih jauh, peran media sosial dalam gerakan sosial dan aktivisme
dapat dirangkum ke dalam tiga peran utama, yaitu: (1) sarana untuk
diseminasi informasi dan pengetahuan, (2) ruang untuk bersuara, dan (3)
ekstensi atas gerakan-gerakan yang diinisiasi secara luring (Fandia, 2021).
Pada praktiknya, kanal media sosial sebagai sarana untuk diseminasi
informasi dan pengetahuan akun-akun aktivisme adalah fungsi yang paling
dominan terlihat. Dalam kanal media sosial, medialitasnya memungkinkan
bagi sebuah isu untuk menjadi viral dan diperbincangkan oleh orang
banyak. Dengan demikian, semangat yang dibawa oleh gerakan sosial
tersebut akan lebih cepat dan mudah untuk mencapai khalayak yang lebih
luas. Seperti pada kasus akun aktivisme gerakan perempuan, paling tidak
warganet Indonesia menjadi lebih sadar (atau setidaknya tahu) mengenai
isu patriarki serta konsekuensi sosio-kultural yang disebabkan oleh
budaya patriarki tersebut di Indonesia. Kanal media sosial menjadi alat
untuk mengedukasi warganet mengenai persoalan kesetaraan gender. Di
samping itu, isu-isu lain seperti lingkungan hidup dan hak asasi manusia
juga memiliki tempatnya di kanal media sosial.
Kanal media sosial sebagai ruang untuk bersuara bagi gerakan sosial
dan aktivisme terbukti dengan banyaknya perbincangan atas isu-isu yang

[ 186 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


dianggap tabu di masyarakat dan selama ini cenderung dipinggirkan oleh
kanal media konvensional (Lim, 2014). Isu-isu mengenai kesetaraan
gender, lingkungan hidup, dan hak asasi manusia menjadi tiga contoh
atas isu-isu yang jarang diangkat oleh media massa konvensional, karena
seringnya dianggap tabu atau subversif terhadap kepentingan penguasa.
Sebelum adanya media sosial, media massa konvensional menguasai ruang
wacana masyarakat. Ketika media ini cenderung berpihak pada penguasa,
maka suara-suara yang berlawanan dengan itu akan dibungkam dan tidak
diberi ruang untuk bersuara. Kanal media sosial telah memberikan ruang
bagi mereka yang selama ini direpresi oleh kuasa tersebut.
Terakhir, kanal media sosial digunakan sebagai perpanjangan tangan
atau ekstensi dari gerakan sosial yang telah diinisiasi sebelumnya secara
luring. Praktik ini, secara sederhana dapat dilihat melalui kelompok/
organisasi/institusi yang membuat akun resmi pada kanal media sosial.
Pada tataran ini, kanal media sosial tidak sekadar menjadi sarana
diseminasi informasi dan pengetahuan, melainkan juga sarana koordinasi
bagi para anggota lama serta sarana rekrutmen bagi para calon anggota
baru. Secara umum, ruang media sosial memberikan ruang pembelajaran
bagi kaum muda untuk sadar, terlibat, berpartisipasi secara aktif, atau
bahkan menginisiasi gerakan sosial dan aktivisme. Ruang media sosial
adalah ruang di mana mereka sanggup mencari informasi sebanyak-
banyaknya, turut bersuara atas ketimpangan yang ada dalam masyarakat,
serta berpartisipasi dalam melawan opresi penguasa.

Budaya Penggemar dan Fandom


Isu terakhir terkait kaum muda dalam ruang media sosial yang
dipilih untuk dibahas adalah budaya penggemar dan fandom. Mengapa?
Dalam praktik penggunaan media sosial oleh kaum muda, fenomena yang
berkaitan dengan budaya penggemar dan fandom telah banyak ditemukan
dan menjadi sorotan dalam dunia akademis setidaknya dalam kurun waktu
sepuluh tahun terakhir. Di samping itu, fenomena ini berkaitan dengan
budaya populer, di mana kaum muda menjadi kelompok audiens terbesar;
agen utama dalam budaya populer. Terkait kajian terhadap fandom,
pertama-tama perlu dipahami pergeseran paradigma yang terjadi dalam

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 187 ]


melihat fenomena ini. Pergeseran ini menjadi kunci dalam menempatkan
kaum muda pada kajian terhadap budaya penggemar dan fandom.
Sebelum memasuki era 1990-an, kajian terhadap fandom cenderung
melihat aktivitas penggemar sebagai sesuatu yang patologis. Kaum muda
yang terlibat secara aktif dalam menggemari idolanya cenderung dinilai
sebagai kelompok yang irasional dan memiliki kenikmatan konyol. Pada
tataran ini, kaum muda yang menjadi seorang penggemar diklasifikasikan
ke dalam dua jenis, yaitu obsessive loner dan hysterical crowd (de Kloet &
van Zoonen, 2007; Jenson, 1992). “Individu yang obsesif” (obsessive loner/
individual) digunakan untuk menyebut kaum muda yang menjalankan ritual
penggemar seorang diri, secara diam-diam, namun mendedikasikan dirinya
secara penuh dalam aktivitas menjadi seorang penggemar; contohnya
ketika seseorang di dalam kamarnya memenuhi dinding dengan poster
idolanya. Di samping itu, “kelompok yang ramai” (hysterical/frenzied
crowd) merupakan aktivitas penggemar yang dilakukan secara kolektif,
beramai-ramai, sampai pada taraf heboh yang mengganggu ketertiban
umum; julukan ini sering disematkan kepada penggemar sepakbola yang
rusuh di jalanan.
Aktivitas penggemar yang dipandang sebagai sesuatu yang patologis
ini didukung dengan beberapa kejadian yang mendapat sorotan penuh atau
eksposur dari media, seperti pembunuhan John Lennon dan pembobolan
rumah Madonna oleh salah seorang penggemar. Namun, seiring dengan
kajian media yang mulai marak ditinjau melalui kajian budaya (cultural
studies), pendekatan yang sama pun mulai digunakan untuk melihat
fenomena penggemar, tidak lagi melalui pendekatan patologis, melainkan
melalui pendekatan kultural. Pada tataran ini, fandom ditelaah sebagai
praktik kultural (de Kloet & van Zoonen, 2007; Duffett, 2013; Hills, 2002).
Dengan menempatkan aktivitas penggemar sebagai praktik kultural, kajian
penggemar tidak lagi menempatkan kaum muda sebagai objek industri
hiburan yang secara pasif mengalami efek patologis atas terpaan selebritas
dan budaya populer, melainkan sebagai subjek yang secara aktif melakukan
produksi dan reproduksi budaya itu sendiri.
Dalam perkembangannya, kajian terhadap budaya penggemar sebagai
praktik kultural menitikberatkan pada tiga dimensi, yaitu dimensi kultural,

[ 188 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


dimensi performativitas, dan dimensi lokal (de Kloet & van Zoonen, 2007).
Dimensi kultural melihat aktivitas penggemar sebagai produksi budaya
atau upaya resistensi. Sementara itu, dimensi performativitas menggeser
fokus dari wacana ideologis mengenai kuasa dan resistensi ke praktik-
praktik kultural dalam fandom. Dalam dimensi ini, aksi performativitas
harus ditinjau melalui konjungsi perbedaan yang signifikan, seperti gender,
umur, seksualitas, kelas, dan etnisitas. Kemudian, dimensi lokal menyeruak
dalam konteks perdebatan atas globalisasi, serta menjadi upaya dalam
membongkar bias-bias yang ada dalam kajian penggemar, yang cenderung
didominasi oleh barat. Dimensi ini menekankan pentingnya melihat
konteks sosio-kultural yang spesifik dalam mengkaji budaya penggemar.
Riset yang dilakukan terhadap budaya penggemar kaum muda di
Indonesia menunjukkan bahwa aktivitas “menggemari” jauh dari anggapan
patologis yang kerap disematkan oleh para pengkaji fenomena fandom
dengan tradisi sosio-psikologis. Riset yang berfokus terhadap penggemar
“hallyu” (Korean wave atau gelombang budaya populer Korea Selatan,
yang terdiri dari K-pop, K-drama, K-movie, dan lain sebagainya) ini
menunjukkan bahwa karakter penggemar yang muncul tidak hanya sebatas
“individu yang obsesif” atau “kumpulan yang ramai” saja, melainkan jauh
lebih bervariasi dari itu. Pada tataran ini, konsumsi media yang dilakukan
oleh penggemar kaum muda tidak semata didasarkan pada keputusan
impulsif yang irasional, melainkan keputusan yang dilakukan secara sadar
dan sukarela, serta telah melalui pertimbangan tertentu.
Terkait identitas diri, ada proses identifikasi yang dilakukan oleh
kaum muda dalam praktik fandom K-pop. Mereka melakukan rekonstruksi
terhadap sikap, nilai, atau perilaku sebagai respons terhadap citra yang
ditampilkan oleh idola yang mereka puja, baik yang nyata maupun
yang diimajinasikan, baik melalui relasi yang personal maupun yang
termediasi. Sebagai contoh, penggunaan istilah-istilah dalam bahasa Korea
yang digunakan dalam percakapan sehari-hari, seperti “oppa”, “hyung”,
“annyeong”, “aigoo”, dan masih banyak lagi. Di samping itu, gaya hidup
dan tren fesyen pun kini didominasi dengan tren yang dikiblatkan dari
para idola Korea Selatan, mulai dari penggunaan produk kecantikan kulit
(skincare) hingga makanan-makanan khas Korea Selatan.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 189 ]


Relasi yang dibangun oleh penggemar dengan idolanya, meskipun
merupakan relasi parasosial, telah membawa sensasi kebahagiaan bagi
para penggemar. Melalui aktivitas “menggemari”, mereka melakukan
pemaknaan atas hidup dan hal-hal yang berarti dalam kehidupan mereka.
Beberapa penggemar K-pop di Indonesia menyatakan bahwa lagu-lagu
yang dibawakan oleh idola mereka telah menemani mereka melalui masa-
masa penting dan memberi mereka semangat dalam hidup, seperti ujian
sekolah atau permasalahan keluarga. Menjadi seorang penggemar, bagi
beberapa fans K-pop lainnya, dinilai merupakan proses penyembuhan
(healing) dan penyegaran (refreshing) dari tekanan-tekanan hidup yang
menghambat.
Dalam aspek yang lebih kolektif, budaya penggemar di Indonesia
menunjukkan bahwa fandom dapat mendorong gerakan sosial dan
aktivisme. Contoh yang terbaru memperlihatkan ketika para fans K-pop
berkontribusi dalam mencegah penyebaran video seks (yang diduga
memuat salah satu selebriti perempuan Indonesia) dengan cara memboikot
tagar-tagar dan mengganti video seks tersebut dengan video idola mereka.
Contoh ini bukan merupakan pertama kalinya fans K-pop berkontribusi
dalam gerakan sosial. Dalam fenomena lain seperti aktivisme protes
atas pengesahan UU Cipta Kerja dan desakan untuk mengesahkan RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual, fans K-pop terlihat berada dalam garda
depan pergerakan. Pada tataran ini, kemelekatan penggemar terhadap
idolanya tidak lagi menjadi sesuatu yang melambangkan keputusasaan,
melainkan keterpikatan. Penggemar tidak lagi menjadi korban atas
komodifikasi, melainkan kontributor yang bahagia dalam proses tersebut.

Penutup
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan atas kaum muda dalam
aspek-aspek media hiburan yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa keterlibatan kaum muda, utamanya sebagai audiens,
merupakan aktivitas kultural yang melekat dalam kehidupan sehari-
hari. Kaum muda tidak lagi dapat dipandang sebagai objek yang lemah
tanpa agensi, melainkan sebagai subjek yang memiliki kuasa, pada titik
tertentu hingga taraf tertentu, untuk menjalankan agensinya dalam sirkuit

[ 190 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


kebudayaan yang ada di masyarakat. Karakterisasi khusus yang menjadi
distingsi kaum muda dari generasi lainnya, serta konteks sosio-kultural
dalam melihat fenomena terkait kaum muda, menjadi kekuatan tersendiri
dalam kajian-kajian terhadap kaum muda, utamanya dalam praktik
bermedia.
Potensi studi kaum muda dalam konteks kajian media hiburan masih
sangat banyak dan beragam, terlepas dari apa yang telah dipaparkan dalam
tulisan ini. Isu pornografi menjadi satu hal yang menarik, di tengah kondisi
sosio-kultural masyarakat Indonesia yang masih secara umum menabukan
persoalan seks dan seksualitas, serta rendahnya kualitas pendidikan seks
di Indonesia, sementara di sisi lain kaum muda secara hukum dan regulasi
telah cukup umur untuk menonton konten pornografi. Praktik penggunaan
aplikasi kencan daring juga menjadi fenomena menarik di kalangan kaum
muda. Masih terkait dengan praktik menabukan seks dan seksualitas,
kajian terkait penggunaan aplikasi kencan daring oleh kaum muda
cenderung menghakimi aktivitas tersebut sebagai aktivitas yang negatif,
karena dianggap mendorong praktik “pergaulan bebas”. Kajian semacam
ini masih menempatkan dikotomi kaum muda sebagai generasi yang naif
dan tidak bijak, bertolak belakang dengan kaum dewasa yang dianggap
bijak dan harus mengajarkan nilai-nilai luhur kepada kaum muda.
Agenda kajian ke depan, di samping menelaah isu pornografi dan
kaum muda secara khusus, secara umum perlu menyorot bagaimana
perkembangan teknologi media dan komunikasi menimbulkan
kesenjangan pada kaum muda Indonesia. Akses terhadap media digital saat
ini masih menjadi privilese, karena belum semua kaum muda di seluruh
lapisan masyarakat memiliki akses tersebut. Tentunya signifikan untuk
melihat bagaimana kesenjangan ini berimplikasi pada kehidupan kaum
muda Indonesia secara holistik. Di samping itu, bagaimana kaum muda
mengelola media baru sebagai sumber daya yang mereka miliki juga patut
ditelaah lebih lanjut.
Masih banyaknya penelitian di Indonesia yang membahas kaum muda
sebagai objek yang tidak berdaya, tertindas, atau banal, menjadi dorongan
tersendiri bagi peneliti yang memiliki minat terhadap kajian budaya kaum
muda, khususnya dalam kebiasaan bermedia dan budaya komunikasi. Hal

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 191 ]


ini sekaligus menjadi tantangan bagi kajian media dan budaya kaum muda.
Kita memerlukan lebih banyak penelitian yang mampu melihat secara
kritis posisi kaum muda dalam praktik kultural di masyarakat Indonesia.
Pada dasarnya, kita semua pernah, sedang, atau akan menjadi kaum
muda. Oleh karena itu, menelaah kaum muda adalah menelaah persoalan
kemanusiaan; dan dalam melihat persoalan kemanusiaan, selayaknya kita
berusaha memahami, bukan menghakimi.

[ 192 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


DAFTAR PUSTAKA

Azca, M. N., & Sutopo, O. R. (2012). “Mengapa Menerbitkan Jurnal Studi


Pemuda?”. Jurnal Studi Pemuda, I(1), 46–49.
Barnes, S. B. (2006). “A privacy paradox: Social networking in the United
States”. First Monday, 11(9). https://doi.org/10.5210/fm.v11i9.1394
Bennett, A., & Robards, B. (2014). “Mediated youth cultures: The internet,
belonging and new cultural configurations”. In Mediated Youth
Cultures: The Internet, Belonging and New Cultural Configurations.
https://doi.org/10.1057/9781137287021
de Kloet, J., & van Zoonen, L. (2007). “Fan Culture - Performing
Difference”. In E. Devereux (Ed.), Media Studies: Key Issues and
Debates (hal. 322–341). London: SAGE Publications.
Dewantara, R. W., & Widhyharto, D. S. (2015). “Aktivisme dan
kesukarelawanan dalam media sosial komunitas Kaum Muda
Yogyakarta”. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 19(1), 40–52.
Dimock, M. (2019). Defining generations: Where Millennials end
and Generation Z begins. https://www.pewresearch.org/fact-
tank/2019/01/17/where-millennials-end-and-generation-z-begins/
Duffett, M. (2013). Understanding Fandom: An introduction to the study
of media fan culture. Bloomsbury.
Fandia, M. (2021). “Memaknai Feminisme: Studi Etnografi terhadap
Gerakan Perempuan di Media Sosial”. In Rahayu (Ed.), Perempuan
dan Literasi Digital: Antara Problem, Hambatan, dan Arah
Pemberdayaan (hal. 243–262). Sleman: Gadjah Mada University
Press.
Hills, M. (2002). Fan Cultures. London: Routledge.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009 tentang
Kepemudaan, 25 (2009).
Jenkins, H. (2014). “Participatory Culture: From Co-Creating Brand
Meaning to Changing the World. GfK Marketing Intelligence Review,
6. https://doi.org/10.2478/gfkmir-2014-0096

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 193 ]


Jenson, J. (1992). “Fandom as Pathology: The Consequences of
Characterization”. In L. A. Lewis (Ed.), The Adoring Audience: Fan
Culture and Popular Media (hal. 9–29). London: Routledge.
Lim, M. (2014). “Klik yang tak memantik: aktivisme media sosial di
Indonesia”. Jurnal Komunikasi Indonesia, III(1), 35–49. http://www.
ijil.ui.ac.id/index.php/jkmi/article/viewFile/7846/3912
Livingstone, S., Haddon, L., Görzig, A., & Ólafsson, K. (2011). Risks
and safety on the internet: the perspective of European children: full
findings and policy implications from the EU Kids Online survey of
9-16 year olds and their parents in 25 countries. http://eprints.lse.
ac.uk/33731/
Margulis, S. T. (2011). “Three Theories of Privacy: An Overview”. In S.
Trepte & L. Reinecke (Ed.), Privacy Online: Perspective on Privacy
and Self-Disclosure in the Social Web (hal. 9–18). London: Springer.
McRobbie, A. (2012). “Feminism, Postmodernism and the ‘Real Me’”. In
M. G. Durham & D. M. Kellner (Ed.), Media and Cultural Studies:
KeyWorks. London: Wiley-Blackwell.
Osgerby, B. (2004). Youth Media. London: Routledge.
Prensky, M. (2001). “Digital natives, digital immigrants”. On the horizon,
9(5).
Prensky, M. (2012). From Digital Natives to Digital Wisdom: Hopeful
Essays for 21st Century Learning. Thousand Oaks: Corwin Press.
Purwaningtyas, M. P. F. (2019). “Privacy and Social Media: Defining
Privacy in the Usage of Path”. KnE Social Sciences, 217–235. https://
doi.org/10.18502/kss.v3i20.4938
Purwaningtyas, M. P. F. (2020). “The Fragmented Self: Having Multiple
Accounts in Instagram Usage Practice among Indonesian Youth”.
Jurnal Media dan Komunikasi Indonesia, 1(September), 171–182.
Shatto, B., & Erwin, K. (2016). “Moving on From Millennials: Preparing
for Generation Z”. J Contin Educ Nurs, 47(6), 253–254. https://doi.
org/10.3928/00220124-20160518-05
Subrahmanyam, K., & Smahel, D. (2011). Digital Youth: The Role of
Media in Development. London: Springer.

[ 194 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


We Are Social, & Hootsuite. (2021). Indonesia Digital 2021. https://
datareportal.com/reports/digital-2021-indonesia
Zemmels, D. (2012). “Youth and New Media”. Communication Research,
31, 4–22.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 195 ]


BAB 14
Penutup: Agenda Pembelajaran, Riset, dan Advokasi

Lidwina Mutia Sadasri

Pengantar

B uku ini digagas sebagai kumpulan tulisan yang merespons pesatnya


perkembangan ilmu komunikasi, terlebih dalam era disrupsi.
Bombardir fenomena komunikasi yang perubahannya terjadi dalam situasi
yang makin masif perlu diimbangi dengan kemampuan penjelasan dan
eksplorasi keilmuan. Terlebih lagi, secara faktual yang terjadi di Indonesia,
fenomena komunikasi tampaknya mengalami lompatan era teknologi.
Belum usai literasi dicapai di era media massa dan penyiaran, pengguna
media saat ini harus dihadapkan dengan media digital.
Aspek digital inilah yang digarisbawahi dalam tiap tulisan yang
menyusun buku ini. Ranah, riset, dan realitas yang tersaji membawa serta
dinamika dan tantangan komunikasi yang perlu terus menerus diulas dan
didialogkan. Pada pendalaman kajian media dan komunikasi strategis
yang menjadi ruh dalam akademisi Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah
Mada, tampak empat bagian utama seperti yang telah terpapar juga pada
bagian pengantar. Pertama, dinamika jurnalisme dari basis fakta dan
idealisme nilai di era digital. Kedua, Public Relations dari sisi praktis dan
akademis dalam konteks mediatisasi. Ketiga, pemetaan model periklanan
menuju asas kebermanfaatan yang mengalami transformasi ke arah digital.
Terakhir, ulasan media entertainment yang perlu dicermati secara serius
karena kerap dipandang sebelah mata, meski secara faktual, kajian dan
konten media entertainment makin riuh pada platform digital. Empat
bagian yang merepresentasikan ranah komunikasi tersebut masing-masing
memberi deskripsi di tiap perkembangan, baik ditilik dari sejarahnya,

[ 196 ]
maupun pada skala wilayahnya. Kasus spesifik yang terjadi di Indonesia
memperlihatkan sisi kontemporer yang ditekankan di sini.

Internet of Things (IoT) dan Agenda ke Depan


Mayoritas penulis dalam buku ini menekankan aspek internet pada tiap
wilayah kajian, termasuk visi pembelajaran dan peluang risetnya. Hal yang
berbau media digital serta yang lekat disandingkan dengan perkembangan
komunikasi terkini seringkali dikaitkan dengan istilah Internet of Things
(IoT). Meski demikian, tumpukan definisi IoT yang digagas oleh para ahli
pun masih seringkali disalahpahami (Maple, 2017). Salah satu konsep
IoT yang seringkali dikutip adalah yang pertama disampaikan oleh Kevin
Ashton di tahun 1999 yang mendeskripsikannya sebagai arsitektur layanan
informasi berbasis internet dan bersifat dikembangkan secara global
(Roussos, 2008 dalam Zhang et al., 2017). Secara faktual, perkembangan
IoT dapat dilihat dari beragam gawai elektronik yang saat ini umum
digunakan, seperti smartphone, komputer, sampai kendaraan otomatis
yang saat ini makin gencar untuk dikembangkan.
IoT diaplikasikan baik oleh industri maupun akademisi, seperti yang
dipaparkan oleh Maple (2017). Dalam ranah jurnalisme, disebutkan bahwa
terdapat urgensi representasi keberagaman yang telah mengalami distorsi
pada jurnalisme Indonesia. Hal ini menjadi paradoks karena media baru
hadir dengan karakteristik user-generated content yang memungkinkan
pengguna untuk mempublikasikan gagasannya (Leung, 2009). Asumsinya,
esensi “kebebasan” pada akses unggah dan unduh konten di internet
mustinya membuka sekat yang selama ini terjadi di media massa
konvensional menjadi batasan dan berpotensi menyajikan diversifikasi.
Meski demikian, adanya digital divide yang terjadi di Indonesia juga
memungkinkan terjadinya ketimpangan kuasa atau akses terhadap internet
sehingga dominasi kuasa atas konten juga masih mungkin terjadi. Selain
itu, penyedia konten dalam media baru dituntut untuk mengedepankan
kecepatan dalam penyajian, sehingga tak jarang kualitas laporan berita
menjadi hal yang dikesampingkan.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 197 ]


Dengan demikian, pada Jurnalisme, rancangan ke depan perlu
menggarisbawahi erat kaitannya dengan peningkatan kualitas sumber
daya manusia, baik sebagai aktor maupun konsumen konten media, literasi
menjadi makin signifikan untuk didorong dan dikuatkan, tak terkecuali
kaum minoritas, baik sebagai pihak yang aktif memproduksi konten,
maupun sebagai pengguna atau audiens secara umum.
Teknologi digital yang diterapkan dalam perkembangan kajian
kehumasan, selain diarahkan pada eksplorasi perspektif, juga diwarnai
dengan pemosisian komunikasi digital dalam perubahan cara dan teknik
komunikasi yang dikembangkan oleh kelompok masyarakat yang menjadi
stakeholder, tak hanya di sisi praktisi humas di korporat saja. Perkembangan
humas pun sudah sampai aplikasi PR 3.0 yang awalnya hanya bersifat
transaksional menjadi mengarah pada customer lifetime value dan visi
relasi jangka panjang. Pada kajian yang dilakukan Ki et al. (2019), riset
kehumasan mengalami lompatan riset kuantitatif dan kualitatif dengan area
studi excellence theory, manajemen hubungan, dan krisis komunikasi yang
paling banyak dikaji. Komunikasi korporat dan pemangku kepentingan juga
menjadi wilayah kajian utama yang terpampang dalam jurnal internasional.
Selain itu, kajian mengenai teknologi baru, seperti platform media sosial
juga mewarnai kajian PR yang membuat peneliti mengembangkan teori
PR di ranah internet.
Agenda kajian periklanan mengarahkan pada titik tekan teknologi
digital yang sangat mengarah pada hal yang makin personal. Riset dalam
bidang periklanan saat ini menunjukkan gambaran umum komunikasi
pemasaran, yang pada konsep pemasarannya saja sudah sampai tahap 5.0
sebagai salah satu kajian yang berkembang dalam kacamata komunikasi
strategis, yakni yang berfokus pada teknologi untuk humanity yang
memosisikan pemasar untuk berintegrasi dengan evolusi teknologi dan
model bisnis (Kotler et al. 2021). Sejalan dengan pernyataan tersebut,
kajian online advertising pun secara signifikan mengalami perkembangan.
Riset yang dilakukan Liu-Thompkins (2018) menyatakan bahwa kajian
periklanan terus mengeksplorasi dampak online advertising dan prosesnya.
Ia juga mengidentifikasi kebutuhan pengembangan teori, eksplorasi
metodologis yang lebih eksperimental, serta kedalaman pada aspek

[ 198 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


organisasional dan isu strategis dalam online advertising yang temuannya
dapat dimanfaatkan oleh pengiklan dan agensi iklan.
Sedangkan pada media entertainment, yang awalnya dilihat sebagai
hal yang sangat biasa karena sangat terkait dengan keseharian yang
dipandang sesuatu yang “hanya” mendasarkan leisure, pada perkembangan
kajiannya makin hari makin mendapatkan banyak peminat yang mampu
mengkaji secara serius. Kajian media entertainment perlu digarap dengan
cermat dan dilihat dari sisi kekuatan ekonomi, ideologi, representasi,
serta audiensnya. Jika dipetakan, mulai dari proses produksi, distribusi,
konsumsi, sampai pengembangannya yang melibatkan peran audiens
aktif yang berpartisipasi dalam proses interpretasi konten. Hal ini sejalan
dengan agenda kajian Livingstone (2013, 2019) yang menekankan audiens
tak berhenti pada pembedaan pasif dan aktif, namun lebih interaktif dengan
paradigma partisipasi dan datafication.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 199 ]


DAFTAR PUSTAKA

Ki, E., Pasadeos, Y., & Ertem-Eray, T. (2019). “Growth of Public


Relations Research Networks: a Bibliometric Analysis”.
Journal of Public Relations Research, 31:1-2, 5-31. DOI:
10.1080/1062726X.2019.1577739.
Kotler, P., Kartajaya, H., & Setiawan, I. (2021). Marketing 5.0: Technology
for Humanity. Wiley.
Leung, L. (2009). “User-generated Content on The Internet: An
Examination of Gratifications, Civic Engagement, and Psychological
Empowerment”. New Media & Society, Vol 11(8): 1327-1347.
Doi:10.1177/1461444809341264.
Liu-Thompkins, Y. (2019). “A Decade of Online Advertising Research:
What We Learned and What We Need to Know”. Journal of
Advertising, 48:1, 1-13. DOI: 10.1080/00913367.1556138.
Livingstone, S. (2013). “The participation paradigm in audience
research”. The Communication Review. Vol. 16 No. 1-2 Hal. 21-30.
https://doi.org/10.1080/10714421.2013.757174
Livingstone, S. (2019). “Audiences in an Age of Datafication: Critical
Questions for Media Research”. Television & New Media. 2019 Vol.
20(2) 170-183.
Maple, C. (2017). “Security and Privacy in The Internet of Things”.
Journal of Cyber Policy, Volume 2, 2017 – Issue 2. https://doi.10.108
0/23738871.2017.1366536.
Zhang, Lizong, Alharbe, N.R., & Atkins, A.S.(2017). “A Self- adaptive
Distributed Decision Support Model for Internet of Things
Applications”. Transactions of The Institute of Measurement and
Control. Vol. 39 Issue 4, 2017. https://doi.10.1177/0142331216682709.

[ 200 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


INDEKS
A digital marketing communications,
AdSense, xii, 168, 170 128
aktivisme, 77, 184-187, 190, 193- digital media metrics, 128
194 digital native, 180-181
algoritma, 3, 14, 31-33, 157-158,
E
186
edutainment, 184
analog, v, 156, 158
emerging adulthood, 182
B endorsement, 128, 174, 176
billboard, 113-114, 128 engagement rate, 128
blogger, 162, 168 Entertainment Economy, 140, 153
budaya partisipatoris, 169, 171
F
C fandom, 147, 149, 187-190, 193-
close friends, 183 194
constant companion, 129 Fan Economy, 144, 152
Cultural Studies, 39, 188, 194 fan fiction, 149
friendship, 184
D
Datafication, 199-200 G
demarketing, 120-121, 125 game event, 160, 164
digital, v, vi, ix, x, 3, 5-6, 8, 12, 14, gift economy, 144
16-20, 24-25, 31, 33-37, 40, 42,
H
44-49, 51, 53-55, 61, 66, 68,
hallyu, 189
75-77, 81, 93-94, 111, 121-123,
hashtag, 186
126-136, 138, 144-146, 149,
hysterical crowd, 188
152, 154-158, 163-165, 178,
180-181, 184, 191, 193-198, I
201, 203-208 Industrial Age, 116, 119
digital divide, 197

[ 201 ]
infotainment, 141, 147-148, 153, P
156, 175 para social relationship, 149
Internet of Things, vi, xiii, 3-4, 8, participatory fan, 149
139, 197, 200 partnership, 173
periklanan, vi, viii, x, 11, 14-15, 17,
J
88, 111-115, 117-119, 121-124,
jurnalisme, v, viii, ix, x, 11-13,
126-128, 130, 132, 135, 141,
15-17, 23, 25, 30-31, 40, 42-45,
156, 196, 198, 205
47-48, 50-52, 56, 60-61, 64,
Personalized advertising, 15, 130,
67-68, 75-77, 87-88, 141, 148,
135-136
154-156, 158-164, 196-198,
personalized experience, 130
201, 204, 207
personhood fan, 149
K point of reference, 182
kaum muda, x, 16-17, 180-185, PR 3.0, 198
187-193, 203 privacy concern, 131, 137
kinship, 184 privasi, 45, 77, 128, 131-133, 149,
L 182-183, 203
labour, 66, 167 private account, 183
lived entertainment, 143 profiling, 128, 132
prosumer, 42, 127
M
pseudonym, 185
media entertainment, v, vi, x, 11,
Public Relations, v, vi, x, xiii, 11,
15, 17, 139, 145, 152, 196, 199
13-14, 17, 37, 83-98, 122, 196,
mediated entertainment, 143
200
medium, 9, 100, 102, 113-114, 118,
121, 124, 130, 146 R
mobile device, 130 Ruang Siber, 181, 207
monetisasi, x, xii, 16, 145, 167-171, S
173-176 self-boundary, 183
N Self-Disclosure, 137, 194
non-partisanship, 161 smartphone, 128-130, 136-138, 197
social media entertainment, 145
O
soft power, 147, 149, 151
obsessive loner, 188
subscriber, 168, 173
online advertising, 137, 198-200
subversif, 187
Only Entertainment, 142, 151

[ 202 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


T V
teknologi, v, vi, 1-6, 8, 10, 12, 14, value creation, 131, 135
18, 33, 47, 68, 75-77, 93-94, viewer, 155
111, 115-117, 121-124, 127- vlogger, 162
129, 131, 135, 139, 143-146,
Y
154, 158-159, 163, 169, 171,
YouTuber, 167-168, 173-176
174, 191, 196, 198
U
user-generated content, 178, 197,
200

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 203 ]


Biodata Penulis
Budi Irawanto adalah pengajar pada Departemen Ilmu Komunikasi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan Program Studi Kajian Budaya dan
Media, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Ia juga menjabat
sebagai ketua Program Studi Doktor Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni
Rupa, Sekolah Pascasarjana di universitas yang sama. Menulis buku Film,
Ideologi dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia (Warning
Books, Jalan Baru & Insist Press, 2017), ia menyumbang bab dalam
sejumlah buku, antara lain Politics and the Media in Twenty-First Century
Indonesia: Decade of Democracy (Routledge, 2011) dan Southeast Asia on
Screen: From Independence to Financial Crisis (1945-1998) (Amsterdam
University Press, 2020). Sejak 2017, ia berkhidmat sebagai presiden Jogja-
NETPAC Asian Film Festival (JAFF) serta beberapa kali ditunjuk sebagai
presiden juri dan anggota juri di sejumlah festival film internasional di
Jerman, India, Korea Selatan dan Filipina.

Gilang Desti Parahita, pengajar S1 untuk jurnalisme, Komunikasi


Publik, serta Komunikasi Internasional, maupun pengajar S2 untuk mata
kuliah Tradisi Riset Komunikasi serta Komunikasi dan Isu-isu Terkini. 
Karya-karya jurnalistik peserta mata kuliah yang diampunya dapat diakses
di http://wargajogja.net. Minat riset Gilang mencakup jurnalisme digital,
sosiologi jurnalisme, literasi digital, media dan kelompok minoritas, serta
komunikasi untuk pembangunan berkelanjutan. Saat ini ia tercatat sebagai
anggota editor untuk Jurnal Komunikasi yang diterbitkan oleh Universitas
Islam Indonesia. Sejak 2014, ia menjadi country representative untuk Asian
Media and Communication Congress yang berpusat di Filipina. Email:
gilang_parahita@ugm.ac.id

[ 204 ]
I Gusti Ngurah Putra, staf pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi,
FISIPOL Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Indonesia sejak 1988
dengan spesialisasi pengajaran pada bidang hubungan masyarakat,
komunikasi massa, komunikasi krisis dan manajemen komunikasi
pemerintah. Menyelesaikan kesarjanaan di UGM dan pascasarjana
di University of Canberra, Australia. Ia telah menulis buku, bab buku,
artikel jurnal dan artikel media cetak tentang komunikasi dan media di
Indonesia. Bukunya Manajemen Hubungan Masyarakat (1999) yang
diterbitkan oleh Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta direvisi
menjadi modul Manajemen Hubungan Masyarakat yang diterbitkan
oleh Universitas Terbuka Jakarta. Ia juga menulis modul Teknik-Teknik
Hubungan Masyarakat dan Sistem Komunikasi Indonesia yang diterbitkan
oleh Universitas Terbuka. Ia berpengalaman sebagai reviewer jurnal
dan juga pernah menjadi Pengelola Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
yang diterbitkan FISIPOL UGM. IGN. Putra juga menjadi anggota ICA
(International Communication Association) dan ISKI (Ikatan Komunikasi
Indonesia) serta pernah menjadi Ketua Perhimpunan Humas Indonesia
(Perhumas) Yogyakarta. Di samping itu, ia pernah menjadi komisioner
pada KPID Daerah Istimewa Yogyakarta.

Irham Nur Anshari, merupakan staf pengajar di Departemen Ilmu


Komunikasi, Universitas Gadjah Mada. Ia menempuh studi sarjana di
Prodi S1 Ilmu Komunikasi UGM dan master di Prodi Kajian Budaya dan
Media, Sekolah Pascasarjana UGM. Minat kajiannya seputar budaya dan
media, seperti: film, video, sosial media, dan seni kontemporer. Tulisannya
dimuat di beberapa jurnal, antara lain: Power Conflict Democracy (PCD)
Journal, Jurnal Media & Komunikasi Indonesia (JMKI), dan Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik (JSP). Tulisan-tulisan terbarunya dapat dibaca
dalam buku Tata Kelola Pengelolaan COVID -19 di Indonesia (2020) &
Kolaborasi Lawan (Hoaks) Covid-19 (2020). Saat ini menjabat sebagai
sekretaris prodi S1 Ilmu Komunikasi UGM dan mengampu beberapa mata
kuliah, antara lain: Kajian Film, Entertainment Media, dan Cyberculture.
Dapat dikontak melalui surel di irham.nur.anshari@ugm.ac.id.

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 205 ]


Lidwina Mutia Sadasri, staf pengajar di Departemen Ilmu
Komunikasi di FISIPOL UGM. Ia memperoleh gelar master di Prodi
Magister Ilmu Komunikasi, FISIPOL UGM. Lidwina memiliki minat
kajian di bidang kajian selebritas, manajemen media dan brand, media
baru, serta kaitannya dengan kaum muda dan perempuan. Beberapa
karya yang telah dipublikasikan antara lain: “Melawan Information
Disorder Ala Aktivis Perempuan” dalam Buku Perempuan dan Literasi
Digital: Antara Problem, Hambatan, dan Arah Pemberdayaan (2021,
UGM Press), “Micro-Celebrity Participation and Risk Communication
in Indonesia” (Pacific Journalism Review, 2020), “Saving Indonesia’s
Golden Generation: Preventing Teenage Marriage in Rembang, Central
Java (A Case Study)” (Jurnal IKAT, 2020), “Audiens Milenial dan Iklan
Viral: Kajian Daya Tarik Iklan #KerenLahirBatin terhadap Brand Image
Ramayana Department Store” (Jurnal Media dan Komunikasi Indonesia,
2020), serta “Selebritas Politik dan Gaya Komunikasi Joko Widodo di
Media Baru” (Jurnal Pekommas, 2019). Lidwina juga merupakan seorang
peneliti di Pusat Studi Sosial Asia Tenggara, Universitas Gadjah Mada.

Mashita Phitaloka Fandia Purwaningtyas, atau akrab disapa


Mashita Fandia, adalah dosen di Departemen Ilmu Komunikasi UGM.
Mashita memperoleh gelar S1 di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM pada tahun
2013 dan gelar S2 di Program Studi Kajian Budaya dan Media, Sekolah
Pascasarjana UGM pada tahun 2018. Mashita mendalami bidang kajian
budaya digital, psikologi media, dan media hiburan. Tulisan book chapter
yang telah dipublikasikan meliputi: “Adaptasi, Translasi, dan Interpretasi:
Membaca Film Adaptasi Novel di Indonesia” (dalam buku Satu Dekade
Sinema Indonesia, Fisipol UGM, 2014), “Memaknai Feminisme: Studi
Etnografi terhadap Gerakan Perempuan di Media Sosial” (dalam buku
Perempuan dan Literasi Digital, UGM Press, 2021), dan “Mencari Privasi:
Ruang Personal dalam Media Sosial” (dalam buku “Politik Ruang”, PT
Kanisius, 2021). Artikel-artikel jurnal yang telah dipublikasikan dapat
diakses melalui laman Google Scholar. Selain berkegiatan sebagai dosen,
Mashita saat ini aktif mengelola forum diskusi daring Kantin (Kajian
Rutin, IG: @k.a.n.t.i.n). Mashita dapat dihubungi melalui alamat surel
mashita.p.f@mail.ugm.ac.id

[ 206 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


Muhamad Sulhan, dosen di Departemen Ilmu Komunikasi, FISIPOL
UGM. Menulis Dayak Menang, Indonesia yang Malang (2009), Sejarah
Sukamara (2015), dan Dramaturgi Politik Indonesia: Membaca Talk Show
Membaca Wajah Politisi (2020). Bertindak sebagai editor dan kontributor
di beberapa buku seperti Teori dalam Riset Media Baru & Media Digital’
(2017), ‘Dinamika Fenomena Komunikasi (2017), Selayang Pandang
Metode Digital dalam Penelitian Komunikasi (2017). Tertarik pada kajian
media, dan aspek sosiologis dalam fenomena politik, marketing, dan
kompleksitas netizen. Sulhan menyelesaikan Doktoral di bidang Sosiologi
Media pada program S3 Sosiologi FISIPOL UGM pada 2014 dengan
disertasi berjudul Homo Ludens sebagai Komunikasi Politik dalam Talk
Show Televisi. Dia aktif sebagai direktur Digital Media & Communication
Research Center (DECODE), sebuah pusat kajian di bawah naungan
Departemen Ilmu Komunikasi UGM untuk melakukan beragam penelitian
dan pengabdian bidang komunikasi. Pada tahun 2019–2022 menjabat
sebagai Ketua Umum Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi
(ASPIKOM). Bisa dihubungi di hansul@ugm.ac.id

Novi Kurnia adalah staf pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi


dan dewan redaksi JSP (Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) di FISIPOL
UGM. Mendapatkan gelar doktor dari Flinders University tahun 2014, ia
menekuni kajian film, literasi digital, serta gender dan media. Ia adalah
salah satu pendiri dan koordinator Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi)
serta salah satu dewan pengawas Pengkaji Film Indonesia (Kafein).
Publikasi terbarunya antara lain: Big Data untuk Ilmu Sosial: Antara
Metode Riset dan Realitas Sosial (2021, UGM Press), Kolaborasi Lawan
(Hoaks) COVID-19: Kampanye, Riset dan Pengalaman Japelidi di Tengah
Pandemi (2020, Program Magister Ilmu Komunikasi UGM), Literasi
Digital Keluarga (2019, UGM Press), Jurnalisme, “Berita Palsu”, &
Disinformasi: Konteks Indonesia (2019, Unesco Indonesia & Departemen
Ilmu Komunikasi UGM), dan “Young, creative, and independent: Cinema
Lovers Community (CLC) Purbalingga and its strategies to enliven
independent film making in Indonesia” dalam Routledge Handbook of
Cultural and Creative Industries in Asia (2018, Routledge).

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 207 ]


Nyarwi Ahmad, salah satu pengajar di program studi Sarjana dan
Pascasarjana Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL dan juga Magister
Manajemen (MM) FEB UGM Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan
Doktoral (S3) di Faculty of the Media and Communication, Bournemouth
University, UK dengan spesialisasi Komunikasi Politik dan Marketing
Politik. Sejak tahun 2005 menulis sejumlah artikel yang diterbitkan di
media massa nasional, seperti Jawa Pos, Kompas, dan Media Indonesia.
Hasil-hasil riset dan pemikirannya dipublikasikan dalam sejumlah jurnal
internasional seperti Journal of Political Marketing, Asian Politics and
Policy, Asian Journal of Comparative Politics, East Asia, Global Media
and Communication dan Quality & Quantity: International Journal of
Methodology. Ia juga menjadi reviewer lebih dari 25 jurnal internasional
bereputasi dan berdampak faktor. Sejak tahun 2018, Ia juga sering diminta
menjadi komentator komunikasi (dan) politik oleh sejumlah televisi berita
nasional, seperti CNN Indonesia, TV One dan Kompas TV.

Syaifa Tania merupakan staf pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi


FISIPOL UGM. Fokus kajian yang diminatinya berkaitan dengan media
digital dan komunikasi pemasaran, khususnya bidang kehumasan serta
periklanan. Ia mendapatkan gelar sarjananya dari Departemen Ilmu
Komunikasi FISIPOL UGM dengan peminatan studi komunikasi strategis,
serta gelar masternya dari institusi yang sama dengan peminatan manajemen
komunikasi. Beberapa publikasi artikel jurnal dan book chapter yang pernah
disusun antara lain “Corporate Social Responsibility di Indonesia: Prinsip
dan Aplikasi” (2012), “Agenda Setting: Jejak Terap Teoritik” (2014),
“Formulasi City Branding Kabupaten Pekalongan” (2018), “Pemuda,
Diaspora, dan Penggunaan Media Baru dalam Gerakan SabangMerauke”
(2019), “Preferensi Informasi dan Perilaku Bermedia Warganet di Akun
Informasi Instagram Selebritas” (2019), “Menakar Hubungan Organisasi
dan Publik di Media Baru” (2020), “Mediated Relationship: Menakar
Hubungan Organisasi-Publik dalam Akun Instagram Resmi Perusahaan
Telekomunikasi” (2020), serta “Women Social Media Influencer: Literasi
Periklanan dalam Praktik Periklanan Digital” (2021). Syaifa Tania dapat
dihubungi melalui e-mail syaifa.tania@ugm.ac.id.

[ 208 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


Widodo A Setianto, pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Menempuh program Pendidikan
Sarjana Ilmu Komunikasi, Pascasarjana Sosiologi dan Doktor Ilmu Politik
di almamaternya, Fisipol Universitas Gadjah Mada. Selain menekuni
bidang kajian komunikasi strategis, bidang keilmuan lainnya yang
menjadi minatnya adalah bidang komunikasi politik, komunikasi sosial,
komunikasi seni dan budaya.

Wisnu Martha Adiputra, Pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi,


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. Tertarik
dan menekuni kajian media baru, kebijakan komunikasi, dan literasi
digital. Terlibat aktif dalam aktivitas dua kelompok masyarakat sipil,
PR2Media (Pemantau Regulasi dan Regulator Media) dan Japelidi
(Jaringan Penggiat Literasi Digital. Menjadi salah satu penulis dan peneliti
pada buku: Perempuan dan Literasi Digital: Antara Problem, Hambatan,
dan Arah Pemberdayaan (2021), Kolaborasi Lawan (Hoaks) COVID-19:
Kampanye, Riset dan Pengalaman Japelidi di Tengah Pandemi (2020),
WhatsApp and Digital Literacy Among Indonesian Women (2020), dan
Literasi Digital Keluarga: Teori dan Praktik Pendampingan Orangtua
Terhadap Anak dalam Berinternet (2019), Sistem Informasi Desa dan
Akses Informasi (2017), dan Membangun Sistem Komunikasi Indonesia:
Terintegrasi, Adaptif, dan Demokratis (2016). Penulis dapat dihubungi di
alamat email wisnumartha@ugm.ac.id dan wisnumartha14@gmail.com

Wisnu Prasetya Utomo adalah staf pengajar di Departemen Ilmu


Komunikasi FISIPOL UGM. Menulis buku Suara Pers, Suara Siapa?
(2017) dan Pers Mahasiswa Melawan Komersialisasi Pendidikan (2013).
Ia juga menerjemahkan buku Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki,
Warga, dan Revolusi Digital (2017), Identitas: Tuntutan atas Martabat
dan Politik Kebencian (2020) dan menjadi editor buku Orde Media:
Kajian Televisi dan Media di Indonesia Pasca Orde Baru (2015) dan

Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas [ 209 ]


Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan (2018). Berminat di kajian
mengenai jurnalisme, komunikasi politik, dan ekonomi politik media serta
menulis mengenai isu-isu tersebut di media seperti The Conversation,
Kompas, Tempo, Tirto, Jawa Pos, dan lainnya.

Zainuddin Muda Z. Monggilo, dosen di Departemen Ilmu


Komunikasi, Fisipol UGM. Gelar Master of Arts (M.A.) diperoleh
di departemen yang sama. Minat kajian dan risetnya meliputi media,
jurnalisme, serta literasi media dan informasi (digital). Publikasi terbarunya
antara lain Memahami Bencana Alam di Indonesia: Peran Media dan Cara
Melawan Hoaks Bencana (book chapter, 2021), Cakap Bermedia Digital
(Modul, 2021); Muda, Kreatif, dan Tangguh di Ruang Siber (buku, 2020),
Perempuan Indonesia dalam Pusaran Hoaks dan Ujaran Kebencian
(book chapter, 2020); Sistem Informasi Publik COVID-19: Telaah Konten
Chatbot dalam Melawan Gangguan Informasi Masa Pandemi (book
chapter, 2020), Jurnalis Indonesia di Masa Pandemi Covid-19: Kisah
Profesi dan Catatan Harapan (book chapter, 2020). Ia juga merupakan
trainer cek fakta tersertifikasi Google News Initiative, fasilitator Tular
Nalar, serta anggota Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi). Informasi
lainnya dapat mengunjungi https://acadstaff.ugm.ac.id/zainuddinmuda
atau kontak surel zainuddinmuda19@ugm.ac.id

[ 210 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas


DIGITAL MEDIA &
COMMUNICATION
RESEARCH CENTER
(DECODE)
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FISIPOL UGM

Profile
Digital Media & Communication Research Center (Decode) DIKOM
FISIPOL UGM merupakan badan otonom perencanaan, dan pengembangan
manajemen pengetahuan (knowledge management) berbasis pada
penelitian, dan pengkajian bidang komunikasi, konsultasi, pelatihan, dan
publikasi.

Visi
Mengembangkan riset unggulan di bidang komunikasi dan media
sebagai basis pendidikan dan pengabdian masyarakat untuk mewujudkan
masyarakat informasi modern yang cerdas, literate, maju dan mandiri.

Misi
1. Membangun ruang belajar yang mendorong inovasi, kreatifitas dan
daya kritis seluruh civitas akademika komunikasi.
2. Membangun laboratorium riset yang secara komprehensif mampu
menumbuhkembangkan sikap peduli, apresiatif, dan kritis terhadap
fenomena, dinamika, dan problematika komunikasi.

[ 211 ]
3. Mengembangkan & melaksanakan riset, pelatihan, dan innovasi
praktik komunikasi yang berkualitas untuk mendukung kegiatan
pengajaran, penguatan kompetensi, dan pengabdian masyarakat.
4. Menciptakan relasi strategis antara Departemen Ilmu Komunikasi
dengan seluruh stakeholder guna menindaklanjuti hasil riset sebagai
acuan pengambilan kebijakan.

Fokus Program
Konsentrasi program DECODE di tahun 2021 adalah pada dua bidang
utama: menegaskan ranah konsentrasi bidang penelitian dari seluruh dosen
DIKOM, dan menciptakan formulasi bentuk bidang pengabdian yang
sesuai dengan karakteristik dan kontribusi ilmu komunikasi ke berbagai
sektor kehidupan stakeholder.

Alamat
Departemen Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada
Jl. Sosio Yustisia, Lantai 5, Gedung BA, Bulaksumur, Yogyakarta
Email: decode.fisipol@ugm.ac.id
(0274) 563362 – 0811 2644 586 (Upik)

[ 212 ] Jagat Komunikasi Kontemporer: Ranah, Riset, dan Realitas

Anda mungkin juga menyukai