Anda di halaman 1dari 6

Latihan 4 Menjelaskan Kaidah Kebahasaan Teks Cerita Sejarah

Bacalah kutipan novel sejarah Majapahit Bala Sanggrama karya Langit Kresna Hariadi (2013: 243-246).
Raden Wihaya bersimbah peluh, ia mengamuk sejadi-jadinya. Ia mendapat dukungan
penuh dari para Bala Sanggrama, yang semua perintah untuk menghancurkan musuh
secepat-cepatnya diterjemahkan dengan baik oleh pasukan Warastratama.
“Mana Kebo Mundarang, mana Jayakatwang, saya sobek mulutnya,” dari pusat gerakan
diradameta yang dikendalikannya, Ranggalawe berteriak-teriak.
Miris Kebo Mundarang mendengar ancaman itu karena ia merasakan tekanan yang luar
biasa. Ia menghitung gerakan pasukan musuh yang memecah diri menjadi dua nantinya akan
berubah menjadi glatik neba. Jika demikian halnya, kekacauan bakal terjadi. Glatik neba yang
menyusup-nyusup menusuk masuk ke pasukannya akan menghancur pertahanannya.
“Kebo Mundarang, ayo kemarilah,” terdengar teriakan dari arahan lain.
Di sayap yang lain, Nambi yang mempimpin pergerakan cakrabhuya mengamuk bagaikan
banteng ketaton, tubuhnya merah bersimbah darah, itu tidak hanya darahnya sendiri, tetapi juga
darah mereka yang terpenggal kepalanya. Di jejak lintasannya, tubuh-tubuh terluka dan
mayat-mayat bergelimpangan.

Gambar 2.13 Majapahit Bala Sanggrama Karya Langit Kresna Hariadi

Dengan cepat Nambi menerobos dan akhirnya berhasil menempatkan diri semakin dekat
dengan Kebo Mundarang.
“He, Kebo Mundarang, ayo layani saya,” teriak Nambi.
Kebo Mundarang memberikan perhatiannya. Ia meloncat menyerang bersamaan dengan
Nambi mengayunkan pedangnya sekaligus menusukkan tombak bergagang pendek yang ia beri
nama Kian Guning. Jika sambaran pedang itu tidak dihindari, Kebo Mundarang diyakini bakal
kehilangan kepalanya, sebaliknya jika tombak Kiai Guning menjebol perutnya, usus dan semua
isinya akan mbrodol.
Akan tetapi, Kebo Mundarang adalah prajurit yang trengginas tangkas. Ia mumpun dalam
segala macam olah kanuragan karena banyak menimba ilmu silat ke banyak guru dan aliran.
Serangan Nambi yang mematikan itu dengan mudah ia patahkan dengan cara meliuk pendek,
sebaliknya Nambi harus waspada ketika Kebo Mundarang balas menyerang.
Pedangnya diputar sambil melompat dan mengayunkannya dengan deras.
“Modyar kowe,” ucapnya dengan lantang penuh muatan kemarahan.
Akan tetapi, Nambi memiliki kelincahan dan kemampuannya yang tidak kalah oleh Kebo
Mundarang, ia bahkan menang usia lebih muda. Dengan berjumpalitan mengambil jarak, Bala
Sanggrama Nambi kembali mempersiapkan sebuah serangan, yang tidak pernah sekali pun
serangan itu tidak mematikan.
Pertempuran di antara mereka terus berkecamuk, akibatnya Kebo Mundarang tidak lagi
bisa memusatkan perhatiannya terhadap keutuhan pasukannya. Ia berdebar-debar melihat
kemampuan Nambi yang ternyata tidak bisa diremehkan.
Teriakan dan jeritan terdengar di mana-mana.
Pertempuran dahsyat itu meski terjadi agak jauh dari perkampungan, ada sebuah rumah
di ketinggian yang penghuninya terkaget-kaget. Dua orang lelaki, seorang jangkung dan seorang
lagi pendek, keluar dari rumah mereka yang berdampingan.
“Ada apa itu?” tanyayang bertubuh jangkung.
“Perang,” jawab yang bertubuh pendek.
“Ha?” teriak orang yang bertubuh jangkung sangat keras.
Teriakan itu sangat mengganggu telinga yang bertubuh pendek.
“Jangan berteriak seperti itu. Kalau mereka mendengar, mereka akan datang kemari,”
kata yang bertubuh pendek.
Orang yang bertubuh jangkung itu rupanya budek, ucapan temannya itu tak tertangkap
jelas di telingannya. Namun, ia memberikan perhatian pada perang yang sedang berlangsung, ia
mampu melihat dengan jelas dari ujung ke ujung atas apa yang berlangsung itu.
“Apa yang mereka perebutkan, ya?” gumam orang yang bertubuh jangkung itu.
Meski sekedar menggumam, suaranya terdengar cukup keras.
Pertempuran itu kian riuh.
Dari arah depan, Raden Wijaya bagaikan ujung tombak yang tidak terlawan, dengan
sangat mudahnya Raden Wijaya menggilas musuh-musuhnya, ayunan anak panah yang ia
lakukan dari jarak dekat benar-benar mematikan. Ia tak hanya menebarkan anak panah, tetapi
juga menggunakan ayunan pedangnya untuk menerbas apa pun dan siapa pun.
Akan tetapi, meski kemenangan sudah di depan mata, Raden Wijaya merasa ada sesuatu
yang tidak berada di tempatnya. Raden Wijaya memikirkannya dengan keras, tetapi tidak
berhasil menemukan jawaban yang ia cari.
Tekanan dari tiga arah itu kian menjepit, menyebabkan Kebo Mundarang kelabakan. Kini
ia merasa dan melihat secara langsung betapa dahsyat kemampuan pasukan Singasari, yang
terbukti nyata, meski mereka berkekuatan kecil, mampu mengubrak-abrik pasukannya yang
lebih besar.
Pada saat itu, Kebo Mundarang yang melompat mundur menghindari serangan
mendongak.
Ia punya alasan untuk tertawa terbahak-bahak, Nambi yang juga meloncat menjauh
terheran-heran.
“Mampuslah Kertanegara, lihat itu,” teriaknya.
Ucapan Kebo Mundarang bersambut ke anak buahnya.
“Mampus Sri Kertanegara, lihat itu, lihat itu,” teriak seseorang yang lain.
Berdesir tajam Raden Wijaya melihat langit, ada awan gelap yang bergerak dari arah
utara. Sangat gugup Raden Wijaya memperhatikan ke segala penjuru. Ketika ia berbalik dan
melihat, asal asap itu dari arah utara.
Maka, retaklah jantungnya.
Ranggalawe bingung, Nambi juga bingung, mereka tak segera menyadari kenapa musuh
berteriak-teriak tak menentu.
“Ada apa dengan mereka?” tanya Ranggalawe.
Banyak Kapuk mendekati dan mengajaknya menengadah.
Ranggalawe bertanya, “Apa itu?”
“Asap istana terbakar.”
Seketika copot jantung Ranggalawe sebagaimana betapa pucat pasi Nambi ketika
kesadaran yang semula belum sempurna itu telah utuh.
Adalah Raden Wijaya yang tiba-tiba merasa berada di puncak ketakutannya, dengan
tanpa menimbang ia berlari sekencang-kencangnya balik arah menuju kudanya. Anak Dyah
Lembu Tal itu memiliki banyak alasan untuk amat sangat mencemaskan tak hanya Sri
Kertanegara, cemas pada keselamatan nasib para istrinya, juga ibunya. Nun di utara sana, amat
jelas betapa asap yang membumbung itu berasal.
Tersadar dengan rasa nyeri yang bukan alang kepalang, Ranggalawe bergegas menyusul.
Melihat itu, Kebo Mundarang tertawa terbahak-bahak.
Dengan sekuat tenaga, Nambi melemparkan pisau andalannya.
Namun, Kebo Mundarang tidak kehilangan kewaspadaannya, ia masih sempat meliuk
menghindari.
“Keparat,” umpat Kebo Mundarang menyadari betapa bahaya serangan itu.
Segenap prajurit Warastratama gelisah, mereka gelisah oleh api yang membakar, juga
oleh nasib sanak keluarga mereka (Hariadi, 2013:243-246).

Analisislah kaidah kebahasaan novel sejarah tersebut dengan mengisi format berikut.
No Kaidah bahasa Kutipan teks

Penggunaan konjungsi Ketika ia berbalik dan melihat, asal asap itu dari arah utara.
1. yang menyatakan
urutan waktu
Penggunaan kata kerja - ia mengamuk sejadi-jadinya
material
- Kebo Mundarang mendengar ancaman itu karena ia
merasakan tekanan yang luar biasa.

- Di jejak lintasannya, tubuh-tubuh terluka dan mayat-mayat


bergelimpangan.
2.
- Ia meloncat menyerang bersamaan dengan Nambi
mengayunkan pedangnya

- Melihat itu, Kebo Mundarang tertawa terbahak-bahak.

- mereka gelisah oleh api yang membakar


Penggunaan kata kerja - ia merasakan tekanan yang luar biasa.
mental
- Ia berdebar-debar melihat kemampuan Nambi yang ternyata
tidak bisa diremehkan.

- “Mampuslah Kertanegara, lihat itu,” teriaknya.

- Ucapan Kebo Mundarang bersambut ke anak buahnya.

3. - “Mampus Sri Kertanegara, lihat itu, lihat itu,” teriak


seseorang yang lain.

- Seketika copot jantung Ranggalawe sebagaimana betapa


pucat pasi Nambi ketika kesadaran yang semula belum
sempurna itu telah utuh

- Wijaya yang tiba-tiba merasa berada di puncak ketakutannya

Penggunaan dialog - “Mana Kebo Mundarang, mana Jayakatwang, saya sobek


mulutnya,” dari pusat gerakan diradameta yang
dikendalikannya, Ranggalawe berteriak-teriak.

- “Kebo Mundarang, ayo kemarilah,” terdengar teriakan dari


arahan lain. 
4.
- “He, Kebo Mundarang, ayo layani saya,” teriak Nambi.

- “Ada apa itu?” tanyayang bertubuh jangkung.


“Perang,” jawab yang bertubuh pendek.
“Ha?” teriak orang yang bertubuh jangkung sangat keras.
“Jangan berteriak seperti itu. Kalau mereka mendengar, mereka akan
datang kemari,” kata yang bertubuh pendek.

- “Mampuslah Kertanegara, lihat itu,” teriaknya.

- “Mampus Sri Kertanegara, lihat itu, lihat itu,” teriak


seseorang yang lain.

- “Ada apa dengan mereka?” tanya Ranggalawe.

- Ranggalawe bertanya, “Apa itu?”

- “Asap istana terbakar.”

- “Keparat,” umpat Kebo Mundarang menyadari betapa bahaya


serangan itu.

Penggunaan kata sifat - ia mengamuk sejadi-jadinya

- ia bahkan menang usia lebih muda

- kemampuan Nambi yang ternyata tidak bisa diremehkan.

5. - di ketinggian yang penghuninya terkaget-kaget

- seorang jangkung dan seorang lagi pendek

- cemas pada keselamatan nasib para istrinya, juga ibunya.

Anda mungkin juga menyukai