PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Resusitasi ialah mengembalikan fungsi pernapasan dan atau sirkulasi
dan penanganan akibat berhentinya pernapasan (respiratory arrest) dan
atau berhentinya jantung (cardiac arrest) pada orang, dikarenakan fungsi-
fungsi tersebut mengalami kegagalan total oleh sesuatu sebab yang
datangnya tiba-tiba, dan pada orang dengan kondisi tubuh yang
memungkinkan untuk hidup normal selanjutnya bilamana kedua fungsi
tersebut bekerja kembali (Muhiman, M., 1981:1).
Dalam arti luas resusitasi merupakan segala bentuk usaha yang
dilakukan terhadap korban yang berada dalam keadaan gawat atau kritis,
untuk mencegah terjadinya kematian. Menurut National Conference of
Standards for C.P.R. and Emergency Cardiac Care (1973) dikembangkan
Standar-standar yang diumumkan sebagai lampiran pada J.A.M.A.,
Vol.27, No.7 (1974: t.h.) dikutip The Committe on Trauma: American
College of Surgeon dialihbahasakan Yayasan Essentia Medica (1983:17)
menyebut-kan bahwa RKP merupakan tindakan yang dilakukan untuk
memulihkan sirkulasi dan ventilasi yang efektif pada orang-orang yang
mengalami penghentian fungsi-fungsi ini secara mendadak dan tidak
terduga-duga. Penyebab umum pada semua kasus kematian mendadak
adalah anoksia. Kasus-kasus tersebut meliputi kematian karena tenggelam,
kesetrum (terkena aliran listrik), stroke, inhalasi gas dan asap, intoksikasi
bahan kimia atau obat, cedera yang mengenai kepala dan leher atau dada,
infark miokard, konvulsi atau pingsan sebab apapun.
Keberhasilan resusitasi dimungkinkan karena ada waktu tertentu
diantara mati klinis atau mati biologis. Menurut Hendrotomo (1986:491)
dan The Committe on Trauma: American College of Surgeon dialihba-
hasakan Yayasan Essentia Medica (1983:17) kematian klinis terjadi kalau
tidak ada denyut nadi perifer, denyut jantung, sirkulasi yang efektif, pupil
melebar dan tidak bereaksi terhadap rangsangan cahaya, dan tidak ada
ventilasi. Jika keadaan ini tidak cepat ditolong, maka akan terjadi mati
biologis yang irreversible. Sedangkan kematian biologis merupakan
kelanjutan dari kematian klinis sampai titik terjadinya kerusakan seluler
anoksis yang irreversible. Kematian biologis berbeda-beda antara organ
yang satu dengan organ yang lain (3-5 menit untuk otak, dan sampai
beberapa jam untuk otot). Setelah 3 menit mati klinis (jadi tanpa
oksigenasi), resusitasi dapat menyembuhkan 75% kasus mati klinis tanpa
ada gejala sisa, sedangkan 4 menit mati klinis persentase menjadi sembuh
masih 50% dan setelah 5 menit mati klinis peluang hidup hanya tinggal
25% saja. (Bambang Priyonoadi. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP)
Sebagai Salah Satu Bekal Keterampilan Profesi Guru Pendidikan Guru
Pendidikan Jasmani. Yogyakarta: Jurnal Cakrawala Pendidikan; 2005).
Seorang wanita berusia 35 tahun dengan kehamilan 38
minggu,tampak sehat, dirujuk oleh dokter keluarganya karena kurangnya
nafsumakan selama seminggu terakhir dan suasana hati yang berubah.
Anak laki-lakinya berusia 15 tahun mengatakan bahwa ibunya tiba-tiba
menjadi depresidan hanya berada di rumah selama seminggu terakhir.
Kesulitan berkomunikasi dikaitkan dengan status imigran barunya di
Israel. Ibunya terlihat sangat lelah dengan suasana hati yang kurang baik.
Pada tahap ini tidak ada diagnosis yang spesifik. Setelah masuk ke rumah
sakit, tanda-tanda vital stabil: tekanan darah 120/70 mmHg, tekanan nadi
70 kali/ menitdan saturasi oksigen 98%. Denyut jantung janin juga normal.
Dia tidak pernah mengeluh sakit dalam setiap persalinannya. Anestesiologi
diminta untuk berkonsultasi dengannya mengenai analgesia epidural untuk
persalinannya, saat itu pasien terlihat bingung dan tidak kooperatif,
dansekitar 10 menit setelah penggalian riwayat pasien dan pemeriksaan
fisik, pasien tiba-tiba mengalami asistole. Keadaan ini disertai dengan
bradikardia janin yang parah. Resusitasi jantung paru dilakukan dalam
posisi miring kiri, dilakukan segera oleh residen anestesi dan dokter
kandungan. Ruang Operasi telah dipersiapkan untuk persalinan sesar
darurat. Posisi miring kiri dicapai dengan selimut digulung dan
ditempatkan di bawah pinggul kanan pasien dan pada daerah lumbal.
Dokter kandungan senior, anestesi dan neonatologis tiba di lokasi
dalam waktu 2 menit. Trakea pasien diintubasi saat menerima pijat jantung
pada tekanan nadi 100 kali/menit, napas 10 kali/menit, dan diberikan dua
bolusintravena dari tiap 1 mg atropin dan epinefrin. Sirkulasi spontan dan
tekanan darah normal setelah 2 menit dilakukan resusitasi jantung paru,
tetapi pasien tetap tidak sadar dengan kedua pupil melebar dan tidak
bereaksi terhadap cahaya. Sekitar 5 menit setelah didiagnosis henti
jantung, dilakukan persalinan sesar darurat. Pasien tetap tidak berrespon
(tidak ada gerakan,tidak ada perubahan dengan denyut jantung dan tekanan
darah) terhadap respon pembedahan. Pasien tidak menerima anestesi dan
hanya diberikan fentanil 100 ug IV untuk analgesia, tanpa muscle relaxant.
Bayi dilahirkan dengan skor apgar 4/6 dan pH 7 dan kondisinya berangsur-
angsur membaik. Setelah persalinan sesar, ibu tetap tidak berrespon,
dengan Glasgow Coma Scale 3. CT scan otaknya menggambarkan edema
otak difus yang berat.Pasien diobati dengan hiperventilasi ringan, manitol,
dan istirahat dalam posisi setengah telentang dengan pemberian oksigen
untuk tetap menjaga saturasi oksigennya di atas 98%. Beberapa otak yang
mengalami edema dan tumor otak yang berherniasi dibagian frontal telah
ditemukan. Tumor tersebut bersifat inoperable dan pasien meninggal 5 hari
kemudian.
Kasus ini menekankan bahwa keterampilan resusitasi jantung paru
mungkin diperlukan pada persalinan yang terjadi secara tiba-tiba dengan
kasus henti jantung yang melibatkan penanganan cepat dan benar, yaitu
mencakup kelahiran sesar dan pengobatan penyebab mendasari terjadinya
henti jantung.
Kesalahan melakukan tindakan dan langkah dalam Resusitasi Jantung
Paru dapat menyebabkan berbagai akibat bahkan akibat fatal yang
ditimbulkan seperti bertambahnya cedera bisa berujung kepada kematian.
Oleh sebab itu perlu diketahui hal-hal yang dapat menimbulkan kesalahan
serta akibatnya agar anda sebagai pelaku pertolongan pertama dapat lebih
berhati-hati dalam melakukan hal tersebut.
Adapun beberapa kesalahan dalam melakukan RJP dan akibat yang
ditimbulkannya adalah sebagai berikut:
1. Korban tidak dibaringkan pada bidang yang keras, hal ini akan
menyebabkan Pijatan Jantung Luar kurang efektif.
2. Korban tidak horizontal, jika kepala korban lebih tinggi maka jumlah
darah yang ke otak berkurang.
3. Teknik tekan dahi angkat dagu kurang baik, maka jalan nafas masih
terganggu.
4. Kebocoran saat melakukan nafas buatan, menyebabkan pernafasan
buatan tidak efektif.
5. Lubang hidung kurang tertutup rapat dan mulut korban kurang
terbuka saat pernafasan, menyebabkan pernafasan buatan tidak
efektif.
6. Letak tangan kurang tepat dan arah tekanan kurang baik, bisa
menimbulkan patah tulang, luka dalam paru-paru.
7. Tekanan terlalu dalam dan terlalu cepat, maka jumlah darah yang
dialirkan kurang.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui penjelasan yang jelas mengenai tindakan
resusitasi.
2. Untuk mengetahui tujuan dilakukannya tindakan resusitasi.
3. Untuk mengetahui indikasi dalam tindakan resusitasi.
4. Untuk mengetahui prinsip-prinsip dari tindakan resusitasi.
5. Untuk mengetahui patofisiologi tentang tindakan resusitasi.
6. Untuk mengetahui apa saja faktor risiko dari tindakan resusitasi.
7. Untuk mengetahui prosedur dan penatalaksanaan tindakan
resusitasi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Resusitasi
Resusitasi ialah mengembalikan fungsi pernapasan dan atau sirkulasi
dan penanganan akibat berhentinya pernapasan (respiratory arrest) dan
atau berhentinya jantung (cardiac arrest) pada orang, dikarenakan fungsi-
fungsi tersebut mengalami kegagalan total oleh sesuatu sebab yang
datangnya tiba-tiba, dan pada orang dengan kondisi tubuh yang
memungkinkan untuk hidup normal selanjutnya bilamana kedua fungsi
tersebut bekerja kembali (Muhiman, M., 1981:1).
Dalam arti luas resusitasi merupakan segala bentuk usaha yang
dilakukan terhadap korban yang berada dalam keadaan gawat atau kritis,
untuk mencegah terjadinya kematian. (Bambang Priyonoadi. Resusitasi
Kardio Pulmoner (RKP) Sebagai Salah Satu Bekal Keterampilan Profesi
Guru Pendidikan Guru Pendidikan Jasmani. Yogyakarta: Jurnal Cakrawala
Pendidikan; 2005)
2.5 Patofisiologi
Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang
mendasarinya. Namun, umumnya mekanisme terjadinya kematian adalah
sama. Sebagai akibat dari henti jantung, peredaran darah akan berhenti.
Berhentinya peredaran darah mencegah aliran oksigen untuk semua organ
tubuh. Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak
adanya suplai oksigen, termasuk otak. Hypoxia cerebral atau ketiadaan
oksigen ke otak, menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan berhenti
bernapas normal. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak
ditangani dalam 5 menit dan selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10
menit (Sudden cardiac death).
1. Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner menyebabkan Infark miokard atau yang
umumnya dikenal sebagai serangan jantung. Infark miokard
merupakan salah satu penyebab dari cardiac arrest. Infark miokard
terjadi akibat arteri koroner yang menyuplai oksigen ke otot-otot
jantung menjadi keras dan menyempit akibat sebuah materia (plak)
yang terbentuk di dinding dalam arteri. Semakin meningkat ukuran
plak, semakin buruk sirkulasi ke jantung. Pada akhirnya, otot-otot
jantung tidak lagi memperoleh suplai oksigen yang mencukupi untuk
melakukan fungsinya, sehingga dapat terjadi infark. Ketika terjadi
infark, beberapa jaringan jantung mati dan menjadi jaringan parut.
Jaringan parut ini dapat menghambat sistem konduksi langsung dari
jantung, meningkatkan terjadinya aritmia dan cardiac arrest.
2. Stress Fisik
Stress fisik tertentu dapat menyebabkan sistem konduksi jantung
gagal berfungsi, diantaranya:
1. Perdarahan yang banyak akibat luka trauma atau perdarahan dalam
sengatan listrik.
2. Kekurangan oksigen akibat tersedak, penjeratan, tenggelam
ataupun serangan asma yang berat.
3. Kadar Kalium dan Magnesium yang rendah.
4. Latihan yang berlebih. Adrenalin dapat memicu SCA pada pasien
yang memiliki gangguan jantung.
5. Stress fisik seperti tersedak, penjeratan dapat menyebabkan vagal
reflex akibat penekanan pada nervus vagus di carotic sheed.
3. Kelainan Bawaan
Ada sebuah kecenderungan bahwa aritmia diturunkan dalam
keluarga. Kecenderungan ini diturunkan dari orang tua ke anak
mereka. Anggota keluarga ini mungkin memiliki peningkatan resiko
terkena cardiac arrest. Beberapa orang lahir dengan defek di jantung
mereka yang dapat mengganggu bentuk (struktur) jantung dan dapat
meningkatkan kemungkinan terkena cardiac arrest.
4. Perubahan Struktur Jantung
Perubahan struktur jantung akibat penyakit katup atau otot
jantung dapat menyebabkan perubahan dari ukuran atau struktur yang
pada akhirnrya dapat mengganggu impuls listrik. Perubahan-
perubahan ini meliputi pembesaran jantung akibat tekanan darah
tinggi atau penyakit jantung kronik. Infeksi dari jantung juga dapat
menyebabkan perubahan struktur dari jantung.
5. Obat-obatan
Antidepresan trisiklik, fenotiazin, beta bloker, calcium channel
blocker, kokain, digoxin, aspirin, asetominophen dapat menyebabkan
aritmia. Penemuan adanya materi yang ditemukan pada pasien,
riwayat medis pasien yang diperoleh dari keluarga atau teman pasien,
memeriksa medical record untuk memastikan tidak adanya interaksi
obat, atau mengirim sampel urin dan darah pada laboratorium
toksikologi dapat membantu menegakkan diagnosis.
6. Tamponade Jantung
Cairan yang yang terdapat dalam perikardium dapat mendesak
jantung sehingga tidak mampu untuk berdetak, mencegah sirkulasi
berjalan sehingga mengakibatkan kematian.
7. Tension Pneumothorax
Terdapatnya luka sehingga udara akan masuk ke salah satu
cavum pleura. Udara akan terus masuk akibat perbedaan tekanan
antara udara luar dan tekanan dalam paru. Hal ini akan menyebabkan
pergeseran mediastinum. Ketika keadaan ini terjadi, jantung akan
terdesak dan pembuluh darah besar (terutama vena cava superior)
tertekan, sehingga membatasi aliran balik ke jantung.
2.6 Faktor Risiko
Ada beberapa penyebab henti nafas dan juga penyebab henti jantung.
Beberapa hal yang bisa menyebabkan henti jantung dan henti nafas
diantaranya yaitu :
1. Infark miokard akut, dengan komplikasi fibrilasi ventrikel, cardiac
standstill, aritmia lain, renjatan dan edema paru.
2. Emboli paru, karena adanya penyumbatan aliran darah paru.
3. Aneurisma disekans, karena kehilangan darah intravaskular.
4. Hipoksia, asidosis, karena adanya gagal jantung atau kegagalan paru
berat, tenggelam, aspirasi, penyumbatan trakea, pneumothoraks,
kelebihan dosis obat, kelainan susunan saraf pusat.
5. Gagal ginjal, karena hyperkalemia
Henti jantung biasanya terjadi beberapa menit setelah henti nafas.
Umumnya, walaupun kegagalan pernafasan telah terjadi, denyut jantung
masih dapat berlangsung terus sampai kira-kira 30 menit. Pada henti
jantung, dilatasi pupil kadang-kadang tidak jelas. Dilatasi pupil mulai
terjadi 45 detik setelah aliran darah ke otak terhenti dan dilatasi maksimal
terjadi dalam waktu 1 menit 45 detik. Bila telah terjadi dilatasi pupil
maksimal, hal ini menandakan sudah terjadi 50 % kerusakan otak
irreversibel.
Penyebab henti nafas bisa dikarenakan oleh :
1. Sumbatan jalan nafas oleh karena adanya benda asing, aspirasi, lidah
yang jatuh ke belakang,pipa trakhea terlipat, kanula trakhea tersumbat,
kelainan akut glotis dan sekitarnya (sembab glotis, perdarahan).
2. Depresi pernafasan Sentral akibat dari obat, intoksikasi, Pa O2 rendah,
Pa CO2 tinggi, setelah henti jantung, tumor otak dan tenggelam. Perifer
: obat pelumpuh otot, penyakit miastenia gravis, poliomyelitis.
2.7 Prosedur dan Pelaksanaan
Tanyakan Kondisi
Langkah pertama yang dilakukan apabila menemukan klien dalam
keadaan tidak sadar adalah menanyakan kondisi klien dan memberikan
stimulus pada klien untuk menyadarakan.
Memanggil Pertolongan
Memanggil pertolongan, pengiriman pesan sederhana dengan
“kode nol” atau “kewaspadaan merah” bersamaan dengan lokasi klien
pada individu kedua yang kemudian melakukan panggilan kedaruratan.
Teknik mengangkat dagu dan tekan kepala, salah satu tangan mengangkat
dagu sedangkan tangan yang lain diletakkan pada garis rambut.
Pegangkan dagu akan menarik rahang bawah ke depan, dan pada saat
yang sama kepala hiperekstensi dan mulut terbuka oleh tangan yang lain.
Perhatikan apakah ada hembusan napas yang keluar dan mulut dan
hidung mengenai pipi sambil memerhatikan adanya pergerakan
pernapasan.
Pembersihan jalan nafas ini juga dilakukan untuk mencegah apirasi
benda asing (bolus) , obstruksi karena bolus dapat terjadi tiba-tiba pada
saat makan. Aspiksia segera timbul yang diikuti oleh gangguan kesadaran
dan akan disertai henti jantung dalam beberapa menit.
Jila jalan nafas mengalami obstruksi total, klien ini akan megap-
megap dan menggenggam lehernya dalam keadaan penik dan tak dapat
bernafas atau berbicara. Penyumbatan karena benda asing biasanya terjadi
pada bagian hipofaring dibawah laring. Benda asing yang masuk dalam
sisttem trakheobronhial jarang menyebabkan penyumbatan jalan nafas
total.
Jika klien masih sadara, ia akan usaha batukuntuk mengeluarkan
benda asing tersebut dari tubuhnnya, jika ini tidak berhasil maka cara
menuverheimlich (penekanan perut). Dapat dilakukan, yang dapat diulang
sampai bolus tersebut keluar attau sampai kesadrannya menurun. Bahaya
Menuverheimlich antara lain misalnya dapt menimbulkan regurgitasi,
bahkan ruplut lambung , hepar dan aorta. Manverheimlich tidak boleh
dilakukan pada wanita hamil trimester ke 3 , klien yang terlalu gemuk,
atau bayi yang usianya kurang dari 1 tahun. Penekanan pada dada
(kompresi jantung) dan pengukulan diantara kedua bahu dapat dilakuka
pada kasus ini.
Klien yang tidak sadar pertama-tama ditempatkan pada posisi
terlentang, dilakukan upaya untuk mengambil benda asing dan melakukan
pernafasan buatan. Insuflasi yang dilakukan dengan kuat kadang-kadang
menyebabkan benda asing dapat didorong masuk ke paru-paru perlahan-
lahan. Cara ini dapat diulanng 6-10 kali , bila bantuan nafas tidak mungkin
diberrikan. Untuk klien yang berdiri atau duduk, penolong meletakkan
kedua tangannya pada epigatrium diantara pusat dan rusuk dari belakang
dan dilakukan penekana perut secaara kuat. Bila klien dalam keaadan
terlentang, penolong berlutut di atas tubuh klien dan melakukan penekanan
pada daerah yang sama.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Resusitasi mengandung arti harfiah “Menghidupkan kembali”
tentunya dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah
suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis.
Resusitasi jantung paru terdiri atas 2 komponen utama yakni : bantuan
hidup dasar / BHD dan Bantuan hidup lanjut / BHL Usaha Bantuan Hidup
Dasar bertujuan dengan cepat mempertahankan pasok oksigen ke otak,
jantung dan alat-alat vital lainnya sambil menunggu pengobatan lanjutan.
Bantuan hidup lanjut dengan pemberian obat-obatan untuk
memperpanjang hidup Resusitasi dilakukan pada : infark jantung “kecil”
yang mengakibatkan “kematian listrik”, serangan Adams-Stokes, Hipoksia
akut, keracunan dan kelebihan dosis obat-obatan, sengatan listrik, refleks
vagal, serta kecelakaan lain yang masih memberikan peluang untuk hidup.
Resusitasi tidak dilakukan pada : kematian normal stadium terminal suatu
yang tak dapat disembuhkan.
Penanganan dan tindakan cepat pada resusitasi jantung paru
khususnya pada kegawatan kardiovaskuler amat penting untuk
menyelematkan hidup, untuk itu perlu pengetahuan RJP yang tepat dan
benar dalam pelaksanaannya
3.2 Saran
Diharapkan agar mahasiswa yang nantinya akan menjadi seorang
tenaga kesehatan mampu mempelajari bagaimana saja teknik yang baik
dan benar dalam melakukan tindakan resusitasi pada pasien yang
mengalami penghentian napas. Agar kita sebagai tenaga kesehatan
nantinya mampu melakukan pertolongan pada klien yang membutuhkan
penanganan dengan menggunakan tindakan resusitasi.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/11847200/RESUSITASI_JANTUNG_PAR
U