Anda di halaman 1dari 32

ALIRAN DAN TOKOH FILSAFAT PENDIDIKAN

(Analisis Perbandingan Antara Islam Dan Barat)


Oleh
Lismawani dan Saifullah Idris

ABSTRAK
Filsafat Pendidikan Barat dan Islam sama-sama terpengaruh oleh Filsafat Yunani.
Seiring perkembangannya memiliki berbagai aliran yang mampu memberi
karakter di dunia pendidikan. Perbedaan yang sangat signifikan antara keduanya
adalah Filsafat Pendidikan Islam merupakan proses investasi kemanusiaan yang
mengandung nilai ibadah sedangkan dalam Filsafat Pendidikan Barat hanya
mengandung proses kemanusiaan dan tidak bernilai ibadah. Namun terlepas dari
perbedaan tersebut, baik pendidikan Islam maupun Barat keduanya menjadikan
manusia sebagai subjek sekaligus objek pendidikan. Sehingga sangat relevan jika
pendidikan harus dilakukan sepanjang hayat manusia (long life education).

Kata Kunci: Aliran-Aliran, Filsafat, Pendidikan Islam

A. PENDAHULUAN

Menurut Islam, pendidikan adalah corak hitam putihnya perjalanan hidup


seseorang. Oleh karena itu ajaran Islam menetapkan bahwa pendidikan merupakan
salah satu kegiatan yang wajib hukumnya bagi pria dan wanita, dan berlangsung
seumur hidup semenjak dari buaian hingga ajal datang (Al- Hadis) – life long
education.
Kedudukan tersebut secara tidak langsung telah menempatkan pendidikan
sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan hidup dan kehidupan umat manusia.
Dalam hal ini Dewey berpendapat bahwa: “Pendidikan sebagai salah satu kebutuhan
hidup (a necessity of life), salah satu fungsi sosial (a social function), sebagai
bimbingan (as direction), sebagai sarana pertumbuhan (as means of growth), yang
mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup,1 lewat transmisi
baik dalam bentuk informal, formal maupun nonformal”. Bahkan jauh Lodge
mengatakan bahwa: “Pendidikan dan proses hidup dan kehidupan manusia itu

1
John Dewey, Democracy and Education, (New York: The Free Press, 1966), hlm. 1-54

1
berjalan serempak, tidak terpisah satu sama yang lain–life is education, and
education is life.”2
Dengan demikian, pendidikan menyandang misi keseluruhan aspek
kebutuhan hidup dan berproses sejalan dengan dinamikanya hidup serta perubahan-
perubahan yang terjadi. Sebagai akibat logisnya maka pendidikan senantiasa
mengandung pemikiran dan kajian, baik secara konseptual maupun operasionalnya,
sehingga diperoleh relevansi dan kemampuan menjawab tantangan serta
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat manusia.
Pemikiran dan kajian tentang pendidikan dilakukan oleh para ahli dalam
berbagai sudut tinjauan dan disiplin ilmu, seperti agama, filsafat, sosiologi, ekonomi,
politik, sejarah, dan antropologi. Sudut tinjauan ini menyebabkan lahirnya cabang
ilmu pengetahuan kependidikan yang berpangkal dari sudut tinjauannya, yaitu
pendidikan agama, filsafat pendidikan, sosiologi pendidikan, dan sebagainya.

B. ALIRAN-ALIRAN UTAMA DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


Dalam dunia pendidikan Islam, terdapat tiga aliran utama filsafat pendidikan
Islam, yaitu: 1) Aliran Konservatif, dengan tokoh utamanya adalah al-Ghazali, 2)
Aliran Religius-Rasional, dengan tokoh utamanya yaitu Ikhwan al-Shafa, dan 3)
Aliran Pragmatis, dengan tokoh utamanya adalah Ibnu Khaldun.3
1. Aliran Konservatif (al-Muhafidz)
Tokoh-tokoh aliran ini adalah al-Ghazali, Nasiruddin al-Thusi, Ibnu Jama’ah,
Sahnun, Ibnu Hajar al-Haitami, dan al-Qabisi. Aliran al-Muhafidz cenderung
bersikap murni keagamaan. Aliran ini memaknai ilmu dengan pengertian sempit.
Menurut al-Thusi, ilmu yang utama hanyalah ilmu-ilmu yang dibutuhkan saat
sekarang, yang jelas akan membawa manfaat di akhirat kelak.4
Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi:
a. Berdasarkan pembidangannya, ilmu dibagi menjadi dua bidang:

2
Rupert C. Lodge, Philosophy of Education, (Hareh & Brothers, New York, 1947), hlm. 23.
3
Arif, Mahmud dalam “Pengantar Penerjemah” Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam:
Perspektif Sosiologis-Filosofis, karya Muhammad Jawwad Ridha, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
2002), hlm. 52.
4
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis dan Praktis.
(Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 90.

2
1) Ilmu syar’iyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari para Nabi, terdiri atas:
1) Ilmu ushul (ilmu pokok), 2) Ilmu furu’ (cabang), 3) Ilmu pengantar
(mukaddimah), dan 4) Ilmu pelengkap (mutammimah).
2) Ilmu ghairu syar’iyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari ijtihad ulama’
atau intelektual muslim, terdiri atas: 1) Ilmu terpuji, 2) Ilmu yang
diperbolehkan (tak merugikan), 3) Ilmu yang tercela (merugikan).5
b.  Berdasarkan status hukum mempelajarinya, dapat digolongkan menjadi:
1) Ilmu yang fardlu ‘ain, dan
2) Ilmu yang fardlu kifayah.
Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu-ilmu keagamaan hanya dapat diperoleh
dengan kesempurnaan rasio dan kejernihan akal budi. Karena, hanya dengan rasiolah
manusia mampu menerima amanat dari Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.
Pemikiran al-Ghazali ini sejalan dengan aliran Mu’tazilah yang berpendapat bahwa
rasio mampu menetapkan baik buruknya sesuatu.
Pola umum pemikiran al-Ghazali dalam pendidikannya antara lain:
a. Kegiatan menuntut ilmu tiada lain berorientasi pada pencapaian ridha Allah.
b. Teori ilmu ilhami sebagai landasan teori pendidikannya, dan diperkuat
dengan sepuluh kode etik peserta didik.
c. Tujuan agamawi merupakan tujuan puncak kegiatan menuntut ilmu.
d. Pembatasan term al-‘ilm hanya pada ilmu tentang Allah.6
Dari deskripsi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran utama
aliran konservatif antara lain: 1) Ilmu adalah ilmu al-hal, yaitu ilmu yang dibutuhkan
saat sekarang yang bisa membawa manfaat di akhirat, 2) Ilmu-ilmu selain ilmu
keagamaan adalah sia-sia, dan 3) Ilmu hanya bisa diperoleh melalui rasio.

2. Aliran Religius-Rasional (al-Diniy al-‘Aqlaniy)


Tokoh-tokoh aliran ini adalah Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu
Miskawaih. Aliran ini dijuluki “pemburu” hikmah Yunani di belahan dunia Timur,
dikarenakan pergumulan intensifnya dengan rasionalitas Yunani.

5
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam…, hlm. 92.
6
Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2010), hlm. 39.

3
Menurut Ikhwan al-Shafa, yang dimaksud dengan ilmu adalah gambaran
tentang sesuatu yang diketahui pada benak (jiwa) orang yang mengetahui. Proses
pengajaran adalah usaha transformatif terhadap kesiapan ajar agar benar-benar
menjadi riil, atau dengan kata lain, upaya transformatif terhadap jiwa pelajar yang
semula berilmu (mengetahui) secara potensial, agar menjadi berilmu (mengetahui)
secara riil-aktual. Dengan demikian, inti proses pendidikan adalah pada kiat
transformasi potensi-potensi manusia agar menjadi kemampuan “psikomotorik”.7
Ikhwan berpendapat bahwa akal sempurna mengemanasikan keutamaan-
keutamaan pada jiwa dan dengan emanasi ini eternalitas akal menjadi penyebab
keberadaan jiwa. Kesempurnaan akal menjadi penyebab keabadian jiwa dan
supremasi akal menjadi penyebab kesempurnaan jiwa.8 Pandangan dualisme jiwa-
akal Ikhwan tersebut merupakan bukti dari pengaruh pemikiran Plato.
Menurut Ikhwan, jiwa berada pada posisi tengah antara dunia fisik-materiil
dan dunia akal. Hal inilah yang menjadikan pengetahuan manusia menempuh laju
“linier-progresif” melalui tiga cara, yaitu:
1) Dengan jalan indera, jiwa dapat mengetahui sesuatu yang lebih rendah
dari substansi dirinya;
2) Dengan jalan burhan (penalaran-pembuktian logis), jiwa bisa
mengetahui sesuatu yang lebih tinggi darinya; dan
3) Dengan perenungan rasional, jiwa dapat mengetahui substansi
dirinya.9
Ikhwan tidak sependapat dengan ide Plato yang menganggap bahwa belajar
tiada lain hanyalah proses mengingat ulang. Ikhwan menganggap bahwa semua
pengetahuan berpangkal pada cerapan inderawiah. Segala sesuatu yang tidak
dijangkau oleh indera, tidak dapat diimajinasikan, segala sesuatu yang tidak bisa
diimajinasikan, maka tidak bisa dirasiokan.
Kalangan Ikhwan sangat memberi tempat terhadap ragam disiplin ilmu yang
berkembang dan bermanfaat bagi kemajuan hidup manusia. Implikasinya adalah

7
Ridla, Muhammad Jawwad. Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif
Sosiologis-Filosofis. Terj.Mahmud Arif, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), hlm. 78
8
Ridla, Muhammad Jawwad. Tiga Aliran Utama…, hlm. 86.
9
Ridla, Muhammad Jawwad. Tiga Aliran Utama…, hlm. 87.

4
konsep ilmu berpangkal pada “kesedia-kalaan” ilmu tanpa pembatasan.
Ikhwan membagi ragam disiplin ilmu sebagai berikut:
1) Ilmu-ilmu Syar’iyah (keagamaan),
2) Ilmu-ilmu Filsafat, dan
3) Ilmu-ilmu Riyadliyyat (matematik). Al-Farabi menghendaki agar
operasionalisasi pendidikan seiring dengan tahap-tahap perkembangan
fungsi organ tubuh dan kecerdasan manusia.10
Dari pemikiran kedua tokoh di atas, teori utama aliran Religius-Rasional ini
antara lain:
1) Pengetahuan adalah muktasabah, yakni hasil perolehan dari aktivitas
belajar,
2) Modal utama ilmu adalah indera,
3) Lingkup kajian meliputi pengkajian dan pemikiran seluruh realitas yang
ada,
4) Ilmu pengetahuan adalah hal yang begitu bernilai secara moral dan sosial,
dan
5) Semua ragam ilmu pengetahuan adalah penting.

3. Aliran Pragmatis (al-Dzarai’iy)


Tokoh aliran Pragmatis adalah Ibnu Khaldun. Sedangkan tokoh Pragmatisme
Barat yaitu John Dewey. Bila filsafat pendidikan Islam berkiblat pada pandangan
pragmatisme John Dewey, tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan adalah segala
sesuatu yang sifatnya nyata, bukan hal yang di luar jangkauan pancaindera.11
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan dan pembelajaran adalah tabi’i
(pembawaan) manusia karena adanya kesanggupan berfikir.12 Pendidikan bukan
hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk
mendapatkan keahlian duniawi dan ukhrowi, keduanya harus memberikan
keuntungan, karena baginya pendidikan adalah jalan untuk memperoleh rizki.
Dia mengklasifikasikan ilmu pengetahuan berdasarkan tujuan fungsionalnya,
10
Syar’i, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 92.
11
Basri, Hasan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 99.
12
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta:
Pustaka pelajar, 2008), hlm. 125.

5
yaitu:
1) Ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik. Misal: ilmu-ilmu keagamaan, Ontologi
dan Teologi, dan
2) Ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik-instrumental bagi ilmu instrinsik. Misal:
kebahasa-Araban bagi ilmu syar’iy, dan logika bagi ilmu filsafat.13
Berdasarkan sumbernya, ilmu dapat dibagi menjadi dua yaitu:
1) Ilmu ‘aqliyah (intelektual) yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari olah pikir
rasio, yakni ilmu Mantiq (logika), ilmu alam, Teologi dan ilmu Matematik,
dan
2) Ilmu naqliyah yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari hasil transmisi dari
orang terdahulu, yakni ilmu Hadits, ilmu Fiqh, ilmu kebahasa-Araban, dan
lain-lain.
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang
semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek
pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan merupakan gejala
konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam
tahapan kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan
gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.
Dari pemikiran Ibnu Khaldun di atas, maka ide pokok pemikiran aliran
Pragmatis antara lain:
1) Manusia pada dasarnya tidak tahu, namun ia menjadi tahu karena proses
belajar,
2) Akal merupakan sumber otonom ilmu pengetahuan, dan
3) Keseimbangan antara pengetahuan duniawi dan ukhrawi.

C. TOKOH-TOKOH UTAMA ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

13
Ridla, Muhammad Jawwad. Tiga Aliran Utama…, hlm. 105.

6
1. Al Ghazali
a. Riwayat Hidup Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad al-Ghazali. Ia lahir pada tahun 450H. Bertepatan dengan 1050M di
Ghazaleh, suatu kota kecil yang terletak di Tus, wilayah Khurasan. Al-Ghozali
merupakan anak seorang yang kurang mampu. Ayahnya adalah seorang yang jujur,
hidup dari usaha mandiri, pemintal benang dan bertenun kain bulu (wol). Ayahnya
juga sering mengunjungi rumah alim ulama’, hal ini dilakukan ayahnya karena pada
dasarnya juga sangat senang menuntut ilmu serta berbuat jasa kepada mereka.
Kira-kira lima tahun sebelum beliau pulang ke hadirat Allah, beliau kembali
ke tempat asalnya di Thusia. Ia mengahabiskan waktunya untuk menuntut dan
menyebarkan ilmu. Hal ini terbukti setelah ia kembali ke Thusia beliau membangun
sebuah madrasah disamping rumahnya. Beliau juga masih sempat untuk mengajar
dan menuangkan gagasan-gagasannya kedalam bentuk tulisan. Al-Ghozali wafat
pada hari Senin, tanggal 14 Jumadil al-tsani tahun 505 H/18 Desember 1111 M. Saat
itu usianya baru 55 tahun. Dan dimakamkan disebelah tempat khalwatnya. Al-
Ghozali meninggalkan 3 orang anak perempuan sedang anak laki-lakinya yang
bernama Hamid telah meninggal dunia semenjak kecil sebelum wafatnya (Al-
Ghazali), dan karena anaknya inilah, ia di panggil “Abu Hamid” (bapak si Hamid) .
Al-Ghazali memulai pendidikanya di wilayah kelahirannya, Tus dengan
mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Selanjutnya ia pergi ke Nisyafur dan
Khurasan yang pada waktu itu kedua kota tersebut terkenal sebagai pusat ilmu
pengetahuan terpenting di dunia islam. Di koya Nisyafur inilah Al Ghazali berguru
kepada Imam al-Haramain Abi al-Ma’ali al-Juwaimy, seorang ulama yang pada saat
itu menjadi guru besar di Nisyafur.
Sebelum ayahnya Al-Ghazali meninggal dunia, ia pernah menitipkan kedua
anaknya(seorang diantaranya adalah Muhammad, yang kemudian lebih dikenal
dengan sebutan Al-Ghazali), kepada seorang sufi (sahabat karib ayahnya). Ayahnya
berwasiat kepada sahabatnya untuk memberikan pendidikan kepada kedua anaknya
dengan menggunakan harta warisan yang di tinggalkannya.

7
Setelah harta peninggalan ayahnya habis terpakai, tidaklah mungkin bagi
sang sufi itu untuk menafkahi mereka berdua, karena pada dasarnya ia pun hidup
dalam kekurangan. Namun, beliau memberikan masukan agar mereka melanjutkan
belajar ke madrasah, salain karena disana mereka bisa mewujudkan cita-cita luhur
mereka untuk menjadi orang yang alim, mereka juga akan mendapatkan makan untuk
kelangsungan hidup mereka. Bersama saudaranya, (Ghazali dan Ahmad) tidak
menyia-nyiakan kesempatan emas ini untuk mendapatkan pendidikan yang setinggi-
tingginya. Memang, Pada saat itu masalah pendidikan sangat diperhatikan,
pendidikan dan biaya hidup para penuntut ilmu di tanggung oleh pemerintah dan
pemuka masyarakat. Sehingga tidak mengherankan jika pada saat itu
bermunculannya para cendikiawan , baik dikalangan bawah, menengah, sampai elit.
Di dalam madrasah tersebut, Al-Ghazali(seorang anak yang dititipkan
tersebut) mempelajari ilmu fiqh kepada Ahamad bin Muhammad Ar-Razikani dan
mempelajari tasawuf kepada Yusuf An-Nasaj, sampai pada usia 20 tahun. Kemudian
Al-Ghozali memasuki sekolah tinggi Nidhomiyyah, dan disinilah ia bertemu dengan
imam Haromain.Prof. Dr. Abu Bakar Aceh mengisahkan sebagai berikut :“Al-
Ghazali mempelajari ilmu fiqh, mantiq,dan ushul, dan dipelajarinya antara lain:
filsafat dari risalah-risalah dari Ikhwanus Shofakarang Al-Farabi, Ibnu Miskawaih.
Sehingga melalui ajaran-ajaran ahli filsafat itu, Al-Ghazali dapat menyelami
paham-paham Aristotheles dan pemikir Yunani yang lain. Juga ajaran Imam Syafi’I,
Harmalah, Jambad, Al-Muhasibi, dan lain-lain, bukan tidak membekas pada
pendidikan Al-Ghazali. Begitu jugaImam Abu Ali Al-Faramzi, bekas murid Al-
Qusyairiyang terkenal dan sahabat As-Subkhi, besar jasanya dalam mengajar
tasawuf kepada Al-Ghazali. Ia juga mempelajari agama-agama lain seperti
masehi”.Dan pada tahun 483 H/1090 M. ia diangkat menjadi guru besar di
Universitas Nidhomiyyah Bagdad. Tugas dan tanggung jawabnya itu dilaksanakan
dengan berhasil. Selama di Bagdad, selain mengajar ia juga mengadakan bantahan-
bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan bathiniyyah, ismailliyah, filsafat, dan
lain-lainnya.
Di antara mata pelajaran yang dipelajari Al Ghazali di kota tersebut adalah
teologi, hukum islam, filsafat, logika, sufisme dan ilmu-ilmu islam. Ilmu-ilmu yang

8
dipelajarinya inilah yang kemudian memengaruhi sikap dan pandangan ilmiahnya
dikemudian hari. Hal ini terlihat dari karya tulisnya yang dibuat dalam berbagai
bidang dalam ilmu pengetahuan.
Karena demikian banyak keahliannya yang secara prima dikuasai Al
Ghazali, maka tidak mengherankan jika kemudian ia mendapat bermacam gelar yang
mengharumkan namanya, seperti gelar Hujjatul Islam (Pembela Islam), Syaikh al-
Sufiyyin  (Guru Besar dalam Tasawuf), dan Imam al-Murabin(pakar Bidang
Pendidikan).
Dalam pada itu sejarah filsafat islam mencatat bahwa al Ghazali pada
mulanya sebagai orang yang ragu terhadap berbagai ilmu pengetahuan, baik ilmu
yang dicapai melalui panca indera maupun akal. Hal ini disebabkan terdapat
beberapa aliran yang saling bertentangan, sehingga dapatmembingungkan dalam
menetapkan aliran mana yang betul-betul benar di antara semua aliran.
Lebih lanjut al Ghazali tidak hanya menentang pengetahuan yang dihasilkan
akal pikiran, tetapi ia juga menentang pengetahuan yang dihasilkan panca indra.
Menurutnya panca indra tidak dapat dipercaya karena mengandung kedustaan.Pada
akhir perjalanan intelektualnya, dalam tasawuflah ia memperoleh keyakinan yang
dicari-carinya. Pengetahuan dan ilmu sebagai cahaya yang diturunkan Tuhan ke
dalam dirinya. Itulah yag membuat Al Ghazali memperoleh keyakinannya kembali.14

b. Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan


Suatu hal yang menarik dari Al-Ghozali adalah kecintaannya dan
perhatiannya yang sangat besar terhadap moralitas dan pengetahuan sehingga ia
berusaha untuk mengabdikan hidupnya untuk mengarungi samudra keilmuan.
Berangkat dari dahaga akan ilmu pengetahuan serta keinginannya untuk mencapai
keyakinan dan mencari hakekat kebenaran sesuatu yang tidak pernah puas. Ia terus
melakukan pengembaraan intelektualitas, filsafat, ilmu kalam, tasawuf, dan lain-lain.
Inilah sebabnya mengapa pemikiran Al-Ghazali terkadang inkonsisten dan kadang
terdapat kita temui kontradiksi-kontradiksi dalam kitabnya. Karena di pengaruhi

14
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005). hlm.209-
211

9
perkembangan sejak muda sekali dan pada waktu mudanya juga ia sudah banyak
menuliskan buah pikirannya.
Dalam kaitannya terhadap pendidikan Al-Ghazali memberi pengertian yang
masih global. Selain karena memang dalam kitabnya yang paling Mashur (Ihya’
Ulumuddin) tidak dijelaskan secara rigit tentang pendidikan sehingga, kita hanya bisa
mengumpulkan pengertian pendidikan menurut Al-Ghazali yang dikaitkan lewat
unsur-unsur pembentukan pendidikan yang ia sampaikan: “sesungguhnya hasil ilmu
itu ialah mendekatkan diri kepada Allah,Tuhan semesta alam…,”“…dan ini,
sesungguhnya adalah dengan ilmu yang berkembang melalui pengajajaran dan
bukan ilmu yang tidak berkembang”.
Jika kita perhatikan, pada kutipan yang pertama, kata “hasil”, menunjukkan
proses, kata “mendekatkan diri kepada Allah” menunjukkan tujuan, dan kata “ilmu”
menunjukkan alat. Sedangkan pada kutipan kedua merupakan penjelasan mengenai
alat, yakni disampaikannya dalam bentuk pengajaran.Adapun yang dimaksudkan Al-
Ghazali dalam kutipan ucapannya diatas adalah sebuah konsep, dimana dalam sebuah
pelaksanaan pendidikan harus memiliki tujuan yang berlandaskan pada pembentukan
diri untuk mendekatkan peserta didik kepada Tuhan.
Disamping itu, dalam proses pendidikan, Al-Ghazali menjelaskan sebuah
tujuan pendidikan yang bermuara pada nilai moralitas akhlak. Sehingga tujuan
sebuah pendidikan tidak hanya bersifat keduniawian, pendidikan bukan sekedar
untuk mencari materi di masa mendatangnya. Melainkan pendidikan harus memiliki
rasa emansipatoris. Subuah konsep yang masih saja di dengung-dengungkan oleh
pakar ilmu kritis saat ini

2. Ikhwan Al-Shafa
a. Biografi Ikhwan al-Shafa’

Ikhwan al-Shafa’ adalah nama sekelompok pemikir Muslim rahasia (Filosiko


Religius), berasal dari sekte si’ah Ismailiyyah yang lahir ditengah-tengah komunitas
Sunni sekitar abad ke-4 H/10 M di Basrah.15 Keberadaan kelompok ini tidak jelas

15
Muhammad ‘Atifh al-Iraqy, Al-Falsafat al-Islamiyyat (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1978), hlm.
29

10
karena mereka bersama para anggota merahasiakan diri dari aktivitas mereka.
Kendati tidak jelas, risalah ensiklopedis yang mereka hasilkan, menurut Abu Hayyan
al-Tauhidi (Wafat tahun 414/1023 M) dari data internal dalam risalah mereka, dapat
disimpulkan berasal dari masa antara tahun 347 H/958 M  sampai tahun 373 H/983
M atau dari perempat abad ke-4 H. Pusat kegiatan mereka di kota Basrah, tetapi di
Baghdad juga terdapat cabang dari kelompok rahasia itu.16 Dari Bashrah, Ikhwan Al
Safa terus berkembang ke berbagai daerah seperti Iran dan Quwait. Organisasi ini
mengajarkan tentang dasar-dasar agama Islam yang didasarkan atas persaudaraan
Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu sikap saling mencintai sesama saudara muslim
dan kepedulian yang tinggi terhadap orang muslim. 17 Semua anggota perkumpulan
ini wajib menjadi guru dan muballigh bagi masyarakatnya.
Kalau dilihat dari literatur sejarah yang tidak dapat menjelaskan secara detail
tentang keberadaan kelompok ini, dengan melihat kenyataan yang terjadi kala itu,
kemungkinan besar bahwa kelompok ini sengaja menutup dirinya karena
permasalahan yang terjadi. Melalui cara menutup diri, tujuan kelompok ini adalah
untuk menyelamatkan masyarakat yang teracuni dengan masalah politik
pemerintahan di kala itu. Kemudian untuk memperluas gerakannya, kelompok ini
membelah diri untuk membentuk cabang-cabang serta mengajak para masyarakat
yang berminat apada keilmuan dan kebenaran.Akan tetapi, kerahasiaan mereka tetap
terjaga dan ditutupi.Mereka membagi empat tingkatan keanggotaan.Pertama, Ikhwan
al-Abrar al-Ruhama’, yakni kelompok yang berusia 15-30 tahun yang memilik jiwa
yang suci dan pikiran yang kuat.Mereka berstatus murid, untuk itu, dituntut tunduk
dan patuhsecra sempurna kepada guru.Kedua, Ikhwan al-Akhyar wa al-Fudhala’,
yakni kelompok yang berusia 30-40 tahun.Pada tingkatan ini mereka sudah mampu
memelihara persaudaraan, pemurah, kasih sayang, dan bersiap berkorban demi
persaudaraan (tingkat guru-guru).Ketiga, Ikhwan al-Fudhala’ al-Karim, yakni
kelompok yang berusia 40-50 tahun. Dalam kenegaraan kedudukan mereka sama
dengan sultan atau hakim. Keempat, Al-Kamal, yakni kelompok yang berusia 50
tahun ke atas.Mereka disebut dengan tingkatan al-Muqarrabin min Allah karena
16
Abdul Azis Dahlan, “Filsafat” dalam  Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid IV (Jakarta:
Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2003), hlm. 192.
17

11
mereka sudah mampu memahami hakikat sesuatu sehingga hati mereka telah terbuka
dan menyaksikan kebenaran dengan mata hati.18
Di samping itu juga, kelompok Ikhwan Al Safa mengklaim dirinya sebagai
kelompok non partisan, objektif, ahli pencita kebenaran, elit intelektual dan solid
kooperatif.Mereka mengajak masyarakat untuk menjadi kelompok orang-orang
mu'min yang militan untuk beramar ma'ruf nahi mungkar. Dan sebagian sejarawan
komtemporer menganggap bahwa perkumpulan ini merupakan kelompok terorganisir
terdiri dari para filosof moralis yang menganggap bahwa pangkal perseteruan sosial
politik dan keagamaan terdapat para keragaman agama dan aliran dan teknik
kesukuan, sehingga mereka berusaha untuk mengilangkan dan mewadahi dalam satu
madzhab yang inklusif dan berpijak pada ajaran yang disarikan dari semua agama
dan aliran ada.19
Dalam konteks demikian, dapat kami kemukakan bahwa kelompok Ikhwan al
Safa pada realitanya adalah organisasi yang juga mempunyai tujuan-tujuan politis
untuk melakukan transformasi sosial namun tidak melalui cara radikal, revolusioner,
melainkan melalui cara transformasi pola pikir masyarakat luas. Namun dalam hal
hal ini kami tidak membahas banyak, yang kami fokuskan adalah pembahasan
pemikiran Ikhwan al Safa dalam pendidikan.
Dalam sejarah Islam, kelompok ini tampil eksklusif dalam gerakan reformatif
pendidikannya, karena itu mereka adalah ta'limiyyun (pengajaran) dalam
melangsungkan kegiatan keilmuannya organisasi ini memandang pendidikan dengan
pandangan yang bersifat rasional dan empiric, atau perpaduan antara pandangan yang
bersifat intelektual dan faktual.Mereka memandang ilmu sebagai gambaran dari
sesuatu yang diketahui dari alam ini. Dengan kata lain yang dihasilkan dari
pemikiran manusia itu terjadi karena mendapat bahan informasi yang dikirim oleh
panca indra.20
Ikhwan al-Shafa meyakini bahwa tiap-tiap anak dilahirkan dengan attitudesnya,
artinya dengan potensi yang harus diaktualisasikan. Dengan akal dan emosi anak
18
Syamsul Rizal, Pengantar Filsafat Islam (Bandung: Cita Pustaka Media Perintis, 2010),
hlm. 129-130.
19
Muhamad Jawad Ridlo, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam; (Jogjakarta.PT. Tiara
Wacana 2002) hlm. 146.
20
Abuddin Nata, MA. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta, Logos Wacana Ilmu. hal. 182.

12
akan mampu berkembang mulai dari stage intellect in habitu, kemudian ke intellect
in actu, dan terakhir sampai pada acquired intellect. Dengan demikian posisi anak
berangkat dari siterdidik akan meningkat menjadi pendidik bagi dirinya sendiri
dimana bentuknya sangat bervariasi mulai dari dirinya mampu belajar secara
otodidak atau dirinya mampu mengambil keputusan tanpa dipengaruhi oleh orang
lain.
Pemikiran Ikhwan al-Shafa ini kemudian berkembang dalam dunia pendidikan
secara luas bahwa emosi dan intelligent siterdidik harus dikembangkan secara
optimal. Hal ini untuk memacu siterdidik mampu mandiri baik dari aspek kehidupan
sehari-hari sampai pada menjaga tauhid dalam dirinya.
Cara Mendapatkan Ilmu Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat
diperoleh dengan tiga cara, yaitu:
1) Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan
tentang perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan
yang kita ketahui hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
2) Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu
oleh indera.
3) Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan
al-Shafa. Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan
secara langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya
dan sedalam-dalamnya. Guru mendapatkan ilmunya dari Imam
(pemimpin agama) dan Imam dari Imam lain, dan para Imam
mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling akhir.
4) Konsep Imam ini disinyalir bahwa Ikhwan al-Shafa mengabdopsi
konsep imam dalam pemahaman Syi’ah, yang lebih menekankan pada
sikap eksklusif dalam memilih imam dari kelompoknya sendiri.

Abudin Nata mempersingkat konsep pencapaian ilmu Al-Safa. Ia memandang


bahwa ilmu pengetahuan itu dapat diperoleh melalui dua cara. Pertama, dengan cara
mempergunakan pancaindera terhadap obyek alam semesta yang bersifat empirik.
Kedua, dengan cara mempergunakan informasi atau berita yang disampaikan oleh
orang lain. Kedua cara ini hanya dapat dicapai oleh manusia, dan tidak dapat dicapai
oleh binatang.
Dalam hal anak didik, Ikhwan al-Shafa memandang bahwa perumpamaan
orang yang belum dididik ilmu akidah ibarat kertas yang masih putih bersih, belum
ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah

13
memiliki bekas yang tidak mudah dihilangkan. Pandangan ini lebih dekat dengan
teori Tabula Rasa John Locke (empirisme). Aliran ini menilai bahwa awal
pengetahuan terjadi karena pancaindera berinteraksi dengan alam nyata. Sebelum
berinteraksi dengan alam nyata itu di dalam akal tidak terdapat pengetahuan apapun.
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia tidak memiliki
pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan Ikhwan
secara dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh). Proses pelimpahan tersebut
bermula dari jiwa universal (al-nafs al-kulliyah) kepada jiwa manusia, setelah
terlebih dahulu melalui proses emanasi. Pada mulanya, jiwa manusia kosong. Setelah
indera berfungsi, secara berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam
sekitarnya. Semua rangsangan inderawi ini melimpah ke dalam jiwa. Proses ini
pertama kali memasuki daya pikir (al-quwwah al-mufakkirat), kemudian diolah
untuk selanjutnya disimpan ke dalam re-koleksi atau daya simpan (al-quwwah al-
hafizhat) sehingga akhirnya sampai pada daya penuturan (al-quwwah al-nathiqat)
untuk kemudian siap direproduksi.
Pandangan Ikhwan di atas berbeda dengan konsep fitrah dalam pendidikan
Islam, bahwa manusia sejak lahir telah membawa potensi dasar (kemampuan dasar
untuk beragama) yang diberikan Allah. Jadi, sejak lahir manusia sudah punya modal
”fitrah” tidak layaknya kertas putih (kosong). Modal itulah yang nantinya akan
dikembangkan oleh orang tua, masyarakat, sekolah maupun lingkungan cyber
universe yang diciptakan oleh kemajuan teknologi informasi.
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa semua ilmu harus diusahakan
(muktasabah), bukan pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian didapat dengan
panca indera. Ikhwan al-Shafa menolak pendapat yang mengatakan bahwa
pengetahuan adalah markuzah (harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang
beraliran idealisme. Plato memandang bahwa manusia memiliki potensi, dengan
potensi ini ia belajar, yang dengannya apa yang terdapat dalam akal itu keluar
menjadi pengetahuan. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam
ide (Tuhan) yang dapat mengetahui segala sesuatu yang ada. Ketika jiwa itu menyatu
dengan jasad, maka jiwa itu terpenjara, dan tertutuplah pengetahuan, dan ia tidak
mengetahui segala sesuatu ketika ia berada di alam ide, sebelum bertemu dengan

14
jasad. Karena itu untuk mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus
berhubungan dengan alam ide.
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba meng-
integrasikan antara ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan
jiwa manusia terhadap ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada ilmu
agama (naqliyah) semata. Manusia juga memerlukan ilmu umum (aqliyah). Dalam
hal ini, ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja sama dengan
ilmu-ilmu aqliyah, terutama ilmu-ilmu kealaman dan filsafat. Dalam hal ini Ikhwan
al-Shafa mengklasifikasikan ilmu pengetahuan aqliyah kepada 3 (tiga) kategori,
yaitu; matematika, fisika, dan metafisika. Ketiga klasifikasi tersebut berada pada
kedudukan yang sama, yaitu sama-sama bertujuan menghantarkan peserta didik
mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Menurut Ikhwan al-Shafa, ketiga jenis
pengetahuan tersebut dapat diperoleh melalui pancaindera, akal, dan inisiasi.
Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan akal dalam proses pencarian ilmu,
akan tetapi menurutnya pancaindera dan akal memiliki keterbatasan dan tidak
mungkin sampai pada esensi Tuhan. Oleh karena ini diperlukan pendekatan inisiasi,
yaitu bimbingan atau otoritas ajaran agama.

3. Ibnu Khaldun
a. Biografi Ibnu Khaldun
Jika kita berbicara tentang seorang cendekiawan yang satu ini, memang
cukup unik dan mengagumkan. Sebenarnya, dialah yang patut dikatakan sebagai
pendiri ilmu sosial. Ia lahir dan wafat di saat bulan suci Ramadhan. Nama
lengkapnya adalah Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abi
Bakar Muhammad bin al-Hasan yang kemudian masyhur dengan sebutan Ibnu
Khaldun.
Pemikiran-pemikirannya yang cemerlang mampu memberikan pengaruh
besar bagi cendekiawan-cendekiawan Barat dan Timur, baik Muslim maupun non-
Muslim. Dalam perjalanan hidupnya, Ibnu Khaldun dipenuhi dengan berbagai
peristiwa, pengembaraan, dan perubahan dengan sejumlah tugas besar serta jabatan
politis, ilmiah dan peradilan. Perlawatannya antara  Maghrib dan Andalusia,

15
kemudian antara Maghrib dan negara-negara Timur memberikan hikmah yang cukup
besar. Ia adalah keturunan dari sahabat Rasulullah saw. bernama Wail bin Hujr dari
kabilah Kindah.
Lelaki yang lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H./27 Mei 1332 M, dan
wafat di Kairo Mesir pada saat bulan suci Ramadan tepatnya pada tanggal 25
Ramadan 808 H./19 Maret 1406 M. Ibnu Khaldun dikenal sebagai sejarawan dan
bapak sosiologi Islam yang hafal Al-Quran sejak usia dini. Sebagai ahli politik Islam,
ia pun dikenal sebagai bapak Ekonomi Islam, karena pemikiran-pemikirannya
tentang teori ekonomi yang logis dan realistis jauh telah dikemukakannya sebelum
Adam Smith (1723-1790) dan David Ricardo (1772-1823) mengemukakan teori-teori
ekonominya. Bahkan ketika memasuki usia remaja, tulisan-tulisannya sudah
menyebar ke mana-mana. Tulisan-tulisan dan pemikiran Ibnu Khaldun terlahir
karena studinya yang sangat dalam, pengamatan terhadap berbagai masyarakat yang
dikenalnya dengan ilmu dan pengetahuan yang luas, serta ia hidup di tengah-tengah
mereka dalam pengembaraannya yang luas pula.
Selain itu dalam tugas-tugas yang diembannya penuh dengan berbagai
peristiwa, baik suka dan duka. Ia pun pernah menduduki jabatan penting di
Fes,Granada, dan Afrika Utara serta pernah menjadi guru besar di Universitas al-
Azhar, Kairo yang dibangun oleh dinasti Fathimiyyah. Dari sinilah ia melahirkan
karya-karya yang monumental hingga saat ini. Nama dan karyanya harum dan
dikenal di berbagai penjuru dunia. Panjang sekali jika kita berbicara tentang biografi
Ibnu Khaldun, namun ada tiga periode yang bisa kita ingat kembali dalam perjalan
hidup beliau. Periode pertama, masa dimana Ibnu Khaldun menuntut berbagai bidang
ilmu pengetahuan. Yakni, ia belajar Al-Qur’an, tafsir, hadis, usul fikih, tauhid, fikih
madzhab Maliki, ilmu nahwu dan sharaf, ilmu balaghah, fisika dan matematika.
Dalam semua bidang studinya mendapatkan nilai yang sangat memuaskan
dari para gurunya. Namun studinya terhenti karena penyakit pes telah melanda
selatan Afrika pada tahun 749 H. yang merenggut ribuan nyawa. Ayahnya dan
sebagian besar gurunya meninggal dunia. Ia pun berhijrah ke Maroko selanjutnya ke
Mesir; Periode kedua, ia terjun dalam dunia politik dan sempat menjabat berbagai
posisi penting kenegaraan seperti qadhi al-qudhat (Hakim Tertinggi). Namun, akibat

16
fitnah dari lawan-lawan politiknya, Ibnu Khaldun sempat juga dijebloskan ke dalam
penjara.
Setelah keluar dari penjara, dimulailah periode ketiga kehidupan Ibnu
Khaldun, yaitu berkonsentrasi pada bidang penelitian dan penulisan, ia pun
melengkapi dan merevisi catatan-catatannya yang telah lama dibuatnya. Seperti kitab
al-’ibar (tujuh jilid) yang telah ia revisi dan ditambahnya bab-bab baru di dalamnya,
nama kitab ini pun menjadi Kitab al-’Ibar wa Diwanul Mubtada’ awil Khabar fi
Ayyamil ‘Arab wal ‘Ajam wal Barbar wa Man ‘Asharahum min Dzawis Sulthan al-
Akbar.
Kitab al-i’bar ini pernah diterjemahkan dan diterbitkan oleh De Slane pada
tahun 1863, dengan judul Les Prolegomenes d’Ibn Khaldoun. Namun pengaruhnya
baru terlihat setelah 27 tahun kemudian. Tepatnya pada tahun 1890, yakni saat
pendapat-pendapat Ibnu Khaldun dikaji dan diadaptasi oleh sosiolog-sosiolog
German dan Austria yang memberikan pencerahan bagi para sosiolog modern.
Karya-karya lain Ibnu Khaldun yang bernilai sangat tinggi diantaranya, at-
Ta’riif bi Ibn Khaldun (sebuah kitab autobiografi, catatan dari kitab sejarahnya);
Muqaddimah (pendahuluan atas kitabu al-’ibar yang bercorak sosiologis-historis, dan
filosofis); Lubab al-Muhassal fi Ushul ad-Diin (sebuah kitab tentang permasalahan
dan pendapat-pendapat teologi, yang merupakan ringkasan dari kitab Muhassal
Afkaar al-Mutaqaddimiin wa al-Muta’akh-khiriin karya Imam Fakhruddin ar-Razi).
DR. Bryan S. Turner, guru besar sosiologi di Universitas of Aberdeen,
Scotland dalam artikelnya “The Islamic Review & Arabic Affairs” di tahun 1970-an
mengomentari tentang karya-karya Ibnu Khaldun. Ia menyatakan, “Tulisan-tulisan
sosial dan sejarah dari Ibnu Khaldun hanya satu-satunya dari tradisi intelektual yang
diterima dan diakui di dunia Barat, terutama ahli-ahli sosiologi dalam bahasa Inggris
(yang menulis karya-karyanya dalam bahasa Inggris).” Salah satu tulisan yang sangat
menonjol dan populer adalah muqaddimah (pendahuluan) yang merupakan buku
terpenting tentang ilmu sosial dan masih terus dikaji hingga saat ini.
Bahkan buku ini telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Di sini Ibnu
Khaldun menganalisis apa yang disebut dengan ‘gejala-gejala sosial’ dengan metoda-
metodanya yang masuk akal yang dapat kita lihat bahwa ia menguasai dan

17
memahami akan gejala-gejala sosial tersebut. Pada bab kedua dan ketiga, ia berbicara
tentang gejala-gejala yang membedakan antara masyarakat primitif dengan
masyarakat moderen dan bagaimana sistem pemerintahan dan urusan politik di
masyarakat.
Bab kedua dan keempat berbicara tentang gejala-gejala yang berkaitan
dengan cara berkumpulnya manusia serta menerangkan pengaruh faktor-faktor dan
lingkungan geografis terhadap gejala-gejala ini. Bab keempat dan kelima,
menerangkan tentang ekonomi dalam individu, bermasyarakat maupun negara.
Sedangkan bab keenam berbicara tentang paedagogik, ilmu dan pengetahuan serta
alat-alatnya. Sungguh mengagumkan sekali sebuah karya di abad ke-14 dengan
lengkap menerangkan hal ihwal sosiologi, sejarah, ekonomi, ilmu dan pengetahuan.
Ia telah menjelaskan terbentuk dan lenyapnya negara-negara dengan teori sejarah.
Ibnu Khaldun sangat meyakini, bahwa pada dasarnya negera-negara berdiri
bergantung pada generasi pertama (pendiri negara) yang memiliki tekad dan
kekuatan untuk mendirikan negara. Lalu, disusul oleh generasi ke dua yang
menikmati kestabilan dan kemakmuran yang ditinggalkan generasi pertama.
Kemudian, akan datang generasi ke tiga yang tumbuh menuju ketenangan,
kesenangan, dan terbujuk oleh materi sehingga sedikit demi sedikit bangunan-
bangunan spiritual melemah dan negara itu pun hancur, baik akibat kelemahan
internal maupun karena serangan musuh-musuh yang kuat dari luar yang selalu
mengawasi kelemahannya.
Ada beberapa catatan penting dari sini yang dapat kita ambil sebagai bahan
pelajaran. Bahwa Ibnu Khaldun menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan tidak
meremehkan akan sebuah sejarah. Ia adalah seorang peneliti yang tak kenal lelah
dengan dasar ilmu dan pengetahuan yang luas. Ia selalu memperhatikan akan
komunitas-komunitas masyarakat. Selain seorang pejabat penting, ia pun seorang
penulis yang produktif. Ia menghargai akan tulisan-tulisannya yang telah ia buat.
Bahkan ketidaksempurnaan dalam tulisannya ia lengkapi dan perbaharui dengan
memerlukan waktu dan kesabaran. Sehingga karyanya benar-benar berkualitas, yang
di adaptasi oleh situasi dan kondisi.

18
Karena pemikiran-pemikirannya yang briliyan Ibnu Khaldun dipandang
sebagai peletak dasar ilmu-ilmu sosial dan politik Islam. Dasar pendidikan Al-Qur’an
yang diterapkan oleh ayahnya menjadikan Ibnu Khaldun mengerti tentang Islam, dan
giat mencari ilmu selain ilmu-ilmu keislaman. Sebagai Muslim dan hafidz Al-
Qur’an, ia menjunjung tinggi akan kehebatan Al-Qur’an. Sebagaimana dikatakan
olehnya, “Ketahuilah bahwa pendidikan Al-Qur’an termasuk syiar agama yang
diterima oleh umat Islam di seluruh dunia Islam. Oleh kerena itu pendidikan Al-
Qur’an dapat meresap ke dalam hati dan memperkuat iman. Dan pengajaran Al-
Qur’an pun patut diutamakan sebelum mengembangkan ilmu-ilmu yang lain.”
Jadi, nilai-nilai spiritual sangat di utamakan dalam kajiannya, disamping
mengkaji ilmu-ilmu lainnya. Kehancuran suatu negara, masyarakat, atau pun secara
individu dapat disebabkan oleh lemahnya nilai-nilai spritual. Pendidikan agama
sangatlah penting sebagai dasar untuk menjadikan insan yang beriman dan bertakwa
untuk kemaslahatan umat. Itulah kunci keberhasilan.

b. Konsep Pendidikan Menurut Ibnu Khaldun


Akal pikir manusia berkembang setelah manusia memenuhi kondisi sempurna
"kehewanannya", yaitu berkembang sejak usia tamyiz. Sebelum usia ini, manusia
tidak mempunyai pengetahuan dan secara umum bisa dikategorikan sebagai "hewan"
karena terdapat kesamaan dalam proses kejadiannya dari sperma, segumpal darah,
sekerat daging dan seterusnya. Jadi pemberian Tuhan pada manusia berupa serapan
inderawi dan penalaran itulah yang disebut akal pikir (Khaldun, t.t.: 983)
Hanya saja, Ibn Khaldun mengedepankan watak kebudayaan (culture
oriented) bagi ilmu dan pengajaran. Mengingat, akal pikir adalah sarana manusia
memperoleh kehidupan, kooperasi antar sesama dan kemasyarakatan yang kohesif.
Dari orientasi akal pikir semacam itu, keilmuan dan kreasi inovatif akan banyak
dihasilkan (Khaldun, t.t.: 984). Meski begitu, kecenderungan pragmatis dalam
pemikiran Ibn Khaldun masih belum eksplisit, kecuali bila dilihat pada idenya yang
memasukkan pengajaran (program kurikuler) sejumlah keterampilan praktis, yakni
dia mengedepankan corak aplikasi praktis dalam proses pembelajaran.

19
Di sinilah keunikan pemikiran Ibn Khaldun dibandingkan dengan ahli-ahli
pendidikan pada masanya, dan kiranya hanya kelompok Ikhwan al-Shafa yang
mempunyai pemikiran serupa, meski masih kalah eksplisit. Pada dataran ini, Ibn
Khaldun berusaha menyelesaikan masalah yang hingga kini masih diperdebatkan,
yaitu mengenai apakah prestasi dan keberhasilan dalam pembelajaran (pengajaran)
itu hal yang bersifat bakat bawaan atau kemampuan hasil belajar. Dia tampaknya
cenderung pada pendapat terakhir (kemampuan hasil belajar), sebagaimana
dinyatakannya: "Sesungguhnya kemumpunian dalam ilmu dan pemahaman
mendalam terhadapnya hanya bisa dicapai dengan penguasaan penuh/profesionalitas
prinsip-prinsip dasar, rumus-rumus dan seluk-beluk problematika ilmu terkait”

D. PERBANDINGAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM DENGAN


FILSAFAT PENDIDIKAN BARAT

A. Sejarah Perkembangan dan Pemikiran Filsafat Pendidikan Barat


Dalam catatan sejarah, diketahui filsafat Barat bermula di Yunani. Bangsa
Yunani merupakan bangsa pertama yang menggunakan akal untuk berpikir. Hal ini
dikarenakan kesenangannya merantau sehingga mereka mampu berpikir secara
5
bebas. Saat Yunani Kuno, agama berpengaruh. Namun yang dominan adalah
filsafat. Tokohnya saat itu adalah Thales (640-545 SM). Ia mengemukakan esensi
segala sesuatu adalah air.
Selanjutnya, pada abad pertengahan dunia Barat didominasi dogmatisme
gereja. Saat itu pendidikan diserahkan pada gereja, sehingga masa itu disebut masa
skolastik. Sete;ah itu, tiba masa Renaissance yang memisahkan antara ilmu
pengetahuan dan agama.
Pada masa Renaissanece muncul Bapak Filsafat, Rene Descartes (1596-
1650). Ia mempelopori aliran Rasionalisme dengan mengutamakan akal sebagai
sumber pengetahuan. Selanjutnya muncul aliran Empirisme dengan pelopornya
Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704). Aliran ini
menganggap pengalaman merupakan sumber pengetahuan. Lalu muncul aliran
idealisme Transendental dengan tokohnya Imanuel Kant. Aliran ini menganggap
pengetahuan merupakan sintesa antara apa yang secara apriori dan aposteriori.

20
Aliran filsafat lain juga muncul yaitu aliran Positivisme yang dipelopori oleh
Saint Simon dan dikembangkan oleh Aguste Comte. Dalam aliran ini kebenaran
metafisik ditolak.
Berikutnya, aliran Positivisme melahirkan aliran yang bertumpu pada hal-hal
bersifat materi atau kebendaan yang dikenal dengan aliran Materialisme. Di antara
tokohnya adalah Hobbes (1588-1679) dan Karl Marxs (1820-1883). Menurut
Hobbes sebagaimana yang dikutip oleh S. Takdir Alisjahbana, segala sesuatu
yang terjadi di dunia ini adalah gerak materi, bahkan baik tanggapan, pikiran
maupun perasaan manusia pun merupakan gerak materi. Senada dengan pemdapat
Hobbes, Karl Marxs memiliki pandangan bahwa "kenyataan yang ada adalah dunia
materi dan manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat dikarenakan faktor

materi". Oleh karenanya, pendidikan bertujuan meraih kesuksesan di dunia.


"education was highly regarded as the means to wordly success" .
Menurut Uyoh Sadullah implikasi aliran ini dalam dunia pendidikan
adalah gerak pikir di dalam otak merupakan hasil dari peristiwa lain dalam dunia
11
materi. Segala tindakan manusia pun dipengaruhi oleh materi di sekitarnya.
Konsep ini di dukung oleh aliran Behaviorisme dalam bidang psikologi dengan
teorinya Conditioning theory. Teori ini menjelaskan tingkah laku manusia
merupakan respon terhadap stimulus yang ada.
Perkembangan selanjutnya, berkembang aliran-aliran filsafat yang yang kita
kenal saat ini disebut Filsafat Pendidikan Modern. Beberapa alirannya sebagai
berikut:
1. Aliran Progresivisme
Progresivisme adalah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada
tahun 1918. Aliran ini sangat berpngaruh diseluruh dunia, terutama di Amerika
serikat. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini
mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus berpusat pada anak
bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan.21
Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan
kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar
21
Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam…, hlm. 20.

21
dan dapat menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang bersifat menekan
mengancam adanya manusia itu sendiri (Barnadib, 1994). Oleh karena kemajuan atau
progres ini menjadi suatu statemen progresivisme, maka menurut Dewey  (Zuhairini
dkk, 2012: 24) tujuan umum pendidikan ialah warga masyarakat yang demokratis, isi
pendidikannya lebih mengutamakan bidang-bidang studi, seperti IPA, sejarah,
keterampilan serta hal-hal yang berguna atau langsung dirasakan oleh masyarakat.
Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman
menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal;menyala. Tidak pernah sampai
pada yang paling eksterm, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang
terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang
telah disimpan dalam kebudayaan. Belajar berfungsi untuk mempertinggi taraf
kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah kurikulum
yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan
kebutuhan.
Progresivisme merupkan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi
penekanan lebih besar pada kreativitas, aktivitas, belajar “naturalistik”, hasil belajar
“dunia nyata”, dan juga pengalaman teman sebaya.
Tokoh-tokoh Aliran Progresivisme,22 diantaranya:
1. William James ( 1842-1910 )
James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek dari
eksistensi organik, harus mempunyai fungsi biologis dan nilai kelanjutan hidup. Dan
dia menegaskan agar fungsi otak atau fikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata
pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan alam. Jadi James menolong untuk
membebaskan ilmu jiwa prakonsepsi teologis, dan menempatkannya da atas dasar
ilmu prilaku.
2. John Dewey ( 1859-1952 )
Teori Dewey tentang sekolah adalah progresivisme yang lebih menekankan
kepada anak didik dan minatnya dari pada mata pelajarannya sendiri. Maka
muncullah “Cild Centered Curiculum”, dan “Cild Centered School”. Progresivisme
mempersiapkan anak masa kini dibanding masa depan yang belum jelas.

22
Jalaludin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Gaya media Pratama, 1997), hlm.
70.

22
3. Hans Vaihinger (1852-1933)
Hans Vaihinger menurutnya tahu itu hanya mempunyai arti praktis.
Persesuaian dengan objeknya mungkin dibuktikan, satu-satunya ukuran bagi berpikir
ialah gunanya untuk mempengaruhi kejadian-kejadian didunia.
Adapun pandangan progresivisme dan penerapannya di bidang pendidikan,
ialah Anak didik diberikan kebebasan secara fisik maupun cara berpikir, guna
mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya. Tanpa
terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu aliran filsafat
progresivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Sebab, pendidikan otoriter
akan mematikan tunas-tunas para pelajar untuk hidup sebagai pribadi-pribadi yang
gembira menghadapi pelajaran. Dan sekaligus mematikan daya kreasi baik secara
fisik maupun psikis anak didik.
Filsafat progresivisme menghendaki jenis kurikulum yang bersifat luwes
(fleksibel) dan terbuka. Jadi kurikulum itu bisa diubah dan dibentuk sesuai dengan
zamannya. Sifat kurikulumnya adalah kurikulum yang dapat direvisi dan jenisnya
yang memadai, yaitu yang bersifat eksperimental atau tipe Core Curriculum.
Kurikulum
Dipusatkan pada pengalaman atau kurikulum eksperimental didasarkan atas
manusia dalam hidupnya selalu berinteraksi didalam lingkungan yang komplek.
Progresivisme tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan terpisah,
melainkan harus terintegrasi dalam unit. Dengan adanya mata pelajaran yang
terintegrasi dalam unit, diharapkan anak dapat berkembang secara fisik mauopun
psikis dan dapat menjangkau aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor.

2. Aliran Esensialisme
Esensialisme adalah filsafat pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai
kebudayaan yang telah ada sejak awak peradaban umat manusia. Menurut  Joe Park,
esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang
memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai
terpilih yang mempunyai tata yang jelas.23

23
Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam…, hlm. 25.

23
Prinsip-prinsip Esensialisme, diantaranya:
a. Esensialisme berakar pada ungkapan realisme objektif dan idealisme objektif 
yang modern, yaitu alam semesta diatur oleh hukum alam sehingga tugas
manusia memahami hukum alam adalah dalam rangka penyesuaian diri dan
pengelolaannya.
b. Sasaran pendidikan adalah mengenalkan siswa pada karakter alam dan
warisan budaya. Pendidikan harus dibangun atas nilai-nilai yang kukuh, tetap
dan stabil.
c. Nilai kebenaran bersifat korespondensi, berhubungan antara gagasan fakta
secara objektif.
d. Bersifat konservatif (pelestarian budaya) dengan merfleksikan humanisme
klasik yang berkembang pada zaman renaissance.
Dalam mempertahankan pahamnya itu, khususnya dari persaingan dengan
paham progresivisme, tokoh-tokoh esensialisme mendirikan suatu organisasi yang
bernama Essentialist Committee for the Advancement of Education pada tahun 1930,
untuk mengembangkan pandangannya didunia pendidikan yang diwarnai sedikit
banyaknya oleh konsep idealisme dan realisme.

3. Aliran Perenialisme
Perenialisme diambil dari kata perennial, yang dalam oxford Learner’s
dictionary of Current English diartikan sebagai Lasting for a very long time –abadi
atau kekal-. Di zaman kehidupan modern ini banyak menimbulkan krisis diberbagai
bidang kehidupan manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk
mengembalikan keadaan krisis ini, maka perenialisme memberikan jalan keluar yaitu
berupa kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan
teruji ketangguhannya. Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak mengarahkan
pusat perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh.24
Jelaslah bila dikatakan bahwa pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali
kepada masa lampau, karena dengan mengembalikan keadaan masa lampau
ini,kebudayaan yang dianggap krisis ini dapat teratasi melalui perenialisme karena ia

24
Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam…, hlm. 29-30.

24
dapat mengarahkan pusat perhatiannya pada pendidikan zaman dahulu dengan
sekarang. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses
mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang
berpengaruh baik teori maupun peraktek bagi kebudayaan dan pendidikan zaman
sekarang.(Noor syam,1986)
Dari pendapat ini sangatlah tepat jika dikatakan bahwa perenialisme
memandang pendidikan itu sebagai jalan kembali yaitu sebagai suatu proses
mengembalikan kebudayaan sekarang (zaman modern) ini terutama pendidikan
zaman sekarang ini perlu dikembalikan ke masa lampau .
Perenialisme merupakan aliran filsafat yang susunannya mempunyai
kesatuan, dimana susunannya itu merupakan hasil pikiran yang memberikan
kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap tegas dan lurus. Karena itulah
perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah tujuan yang jelas
merupakan tugas yang utama dari filsafat khususnya filsafat pendidikan .
Setelah perenialisme menjadi terdesak karena perkembangan politik industri
yang cukup berat timbullah usaha untuk bangkit kembali, dan perenialisme berharap
agar manusia kini dapat memahami ide dan cita filsafatnya yang menganggap filsafat
sebagai suatu azas yang komprehensif perenialisme dalam makna filsafat sebagai
satu pandangan hidup yang berdasarkan pada sumber kebudayaan dan hasil-
hasilnya.25
Tokoh-Tokoh Aliran Pereanialisme, diantaranya ialah  Aristoteles. Ia
merupakan Pendiri utama dari aliran filsafat ini, kemudian didukung dan dilanjutkan
St. Thomas Aquinas sebagai pemburu dan reformer utama dalam abad ke-13.
Perenialisme memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman
kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan
pendidikan zaman sekarang. Sikap ini bukanlah nostalgia ( rindu akan hal-hal yang
sudah lampau semata-mata ) tetapi telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan-
kepercayaan tersebut berguna bagi abad sekarang.
Anak didik yang diharapkan menurut perenialisme adalah mampu mengenal
dan mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin

25
Jalaludin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan…, hlm. 89.

25
mental. Karya-karya ini merupakan buah pikiran tokoh-tokoh besar dimasa lampau.
Berbagai buah pikiran mereka yang oleh zaman telah dicatat menonjol dalam bidang-
bidang seperti bahasa dan sastra, sejarah, filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu
pengetahuan alam dan lain-lainnya, telah banyak yang mampu memberikan
ilmunisasi zaman yang sudah lampau.
Dengan mengetahui tulisan yang berupa pikiran dari para ahli yang terkenal
tersebut, yang sesuai dengan bidangnya maka anak didik akan mempunyai dua
keuntungan yakni :
1. Anak akan mengetahui apa yang terjadi pada masa lampau yang telah
dipikirkan oleh orang-orang besar.
2. Mereka telah memikirkan peristiwa-peristiwa dan karya-karya tokoh tersebut
untuk diri sendiri dan sebagai bahan pertimbangan ( reverensi ) zaman
sekarang.
Jelaslah bahwa dengan mengetahui dan mengembangkan karya-karya buah
pikiran para ahli tersebut pada masa lampau, maka anak-anak didik dapat mengetahui
bagaimana pemikiran para ahli tersebut pada masa lampau, maka anak-anak didik
dapat mengetahui bagaimana peristiwa pada masa lampau tersebut sehingga dapat
berguna bagi mereka sendiri, dan sebagai bahan pertimbangan pemikiran mereka
pada zaman sekarang ini. Hal inilah yang sesuai dengan aliran filsafat perenialisme
tersebut.
Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak didik kearah
kemasakan. Masak dalam arti hidup akalnya. Jadi akal inilah yang perlu mendapat
tuntunan ke arah kemasakan tersebut. Sekolah rendah memberiakn pendidikan dan
pengetahuan serba dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional seperti membaca,
menulis dan berhitung anak didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-
pengetahuan yang lain.
Sekolah sebagai tempat utama dalam pendidikan yang mempersiapkan anak
didik ke arah kemasakan melalui akalnya dengan memberikan pengetahuan.
Sedangkan sebagai tugas utama dalam pendidikan adalah guru-guru, di mana tugas
pendidikanlah yang memberikan pendidikan dan pengajaran ( pengetahuan ) kepada

26
anak didik. Faktor keberhasilan anak dalam akalnya sangat tergantung kepada guru,
dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan.
4. Aliran Rekonstruksionalisme
Kata rekonstruksionisme dalam bahasa Inggris reconstruct yang berarti
menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan , aliran rekonstruksionisme
adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata
susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme, pada
prinsipnya, sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu hendak menyatakan krisis
kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut, memandang bahwa keadaan sekarang
merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran,
kebingungan dan kesimpangsiuran.
Walaupun demikian, prinsip yang dimiliki oleh aliran rekonstruksionisme
tidaklah sama dengan prinsip yang dipegang oleh aliran perenialisme. Keduanya
memepunyai visi dan cara yang berbeda dalam pemecahan yang akan ditempuh
untuk mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan. Aliran perenialisme
memilih cara tersendari, yakni dengan kembali ke alam kebudayaan lama atau di
kenal dangan regressive road culture yang mereka anggap paling ideal. Sedangkan
itu aliran rekonsruksinisme menempuhnya dengan jalan berupaya membina suatu
konsensus yang paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam
kehidupan umat manusia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme berupaya mencari
kesepakatan antar sesama manusia, yakni agar dapat mengatur tata kehidupan
manusia dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya. Maka, proses dan lembaga
pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama
dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru, untuk mencapai tujuan
utama tersebut memerlukan kerjasama antar umat manusia.26
Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada
tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil.
Beberapa tokoh lain dalam aliran ini  Caroline Pratt, Geaoge Count, Harold Rugg.

26
Jalaludin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan…, hlm. 97.

27
Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini
lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan
melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang.
5. Aliran Eksistensialisme
Eksistensialisme biasa dialamatkan sebagai salah satu reaksi dari sebagian
terbesar reaksi terhadap peradaban manusia yang hampir punah akibat perang dunia
II. Dengan demikian eksistensialisme pada hakikatnya adalah merupakan aliran
filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan
keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya.
Pandangannya tentang pendidikan, disimpulkan oleh van cleve morris dalam
existensialism and education, bahwa eksitensialisme tidak menghendaki adanya
aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk. Oleh sebab itu eksistensisalisme
dalam hal ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang.
Namun bagaimana konsep pendidikan eksistensialisme yang diajukan oleh morris
sebagai “existensialism’s concept of freedom in education”, menurut Bruce F.
Baker, tidak memberikan kejelasan. Barangkali Ivan Illich dengan deschooling
society, yang banyak mengundang banyak reaksi dikalangan ahli pendidikan,
merupakan salah satu model pendidikan yang dikehendaki aliran eksistensialisme.
Disini agaknya mengapa aliran eksistensialisme tidak banyak dibicarakan dalam
filsafat pendidikan.27

B. Analisis Penulis
1. Persamaan antara Filsafat Pendidikan Barat dan Islam
a. Teori Nativisme
Teori ini berpendapat bahwa manusia sejak lahir memiliki sifat-sifat
pembawaan. Sedangkan perkembangan manusia telah ditentukan oleh sifat-
sifat pembawaan tersebut. Pendukung teori ini berpendapat bahwa pendidikan
tidak dapat mengubah sifat-sifat pembawaan. Dalam pendidikan kondisi ini

disebut pesimisme pedagogis. Dasar teori Nativisme adalah:


"Tiap manusia itu terjadi dalam perut ibunya dalam masa 40 hari, lalu ia

27
Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam…, hlm. 30-31.

28
menjadi embrio selama itu pula. Lalu menjadi segumpal daging. Selama itu pula
Allah menyuruh meniupkan roh membawa perintah empat perkara yang
berhubungan dengan itu meliputi rizki, umur, amalan juga bahagia & celakanya.
(H.R. Muslim)"

b. Teori Konvergensi
Teori ini merupakan perpaduan antara teori Nativisme dan Empirisme.
William Stern mengemukakan bahwa baik pembawaan maupun lingkungan,
keduanya sangat berpengaruh dalam perkembangan anak. Pendukung lain teori
ini adalah Ibnu Miskawaih. Melalui Filsafat Etikanya membagi manusia pada
tiga golongon: Golongan manusia yang baik menurut tabiatnya, Golongan manusia
yang jahat menurut tabiatnya dan Golongan manusia yang pada fitrahnya
termasuk dalam golongan pertama dan kedua. Manusia yang termasuk dalam
golongan ini dapat menjadi baik ataupun jahat dikarenakan pengaruh pendidikan.
Oleh karenanya, baik pembawaan maupun lingkungan sangat berpengaruh pada

perkembangan manusia. Ahli filsafat lain, Abu Nashr Al-Farabi menjelaskan secara
gamblang bagaimana pentingnya pendidikan. Menurutnya, manusia memiliki
berbagai potensi antara lain ada yang memiliki tabiat jelek, kurang pandai dan
akhlak yang baik. Terhadap orang yang jahat, hendaknya diberikan keteladanan.
Terhadap orang yang kurang pandai, perlu diberikan pendidikan secara terus
menerus. Sedangkan terhadap orang yang memiliki akhlak yang baik, maka
hendaknya ajarkan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan tingkatan

perkembangan pengetahuannya. Sejalan dengan dasar teori Empirisme


yang menyebutkan, sejak lahir anak telah memiliki potensi-potensi fitrah.
Potensi fitrah yang dimiliki anak antara lain berupa fisik, naluri, pancaindera,
akal, hati nurani dan agama. Maka potensi-potensi yang dimiliki manusia harus
terus dikembangkan.

2. Perbedaan
a. Antoposentris-Theosentris
Diketahui Filsafat pendidikan Barat terpengaruh oleh peradaban Yunani.

29
Sebagai indikasi, peradaban Yunani meninggalkan dua tradisi yang sangat
berpengaruh pada pemikiran Barat. Pertama, kepercayaan terhadap kemampuan

akal. Sedangkan kedua, pemisahan agama dari segala ilmu pengetahuan. Kedua
tradisi tersebut mulai berkembang saat Renaissance. Karenanya, agama
khususnya Tuhan tidak memiliki keterkaitan erat dalam dunia pendidikan
(antoposentris).
Berbeda dengan Filsafat Pendidikan Barat, Filsafat Pendidikan Islam
memiliki konsep tujuan yang khas dan terkait erat dengan Tuhan. Konsep yang
utama adalah tentang tujuan pendidikan Islam. Pendidikan merupakan proses
pemberdayaan manusia menuju kedewasaan dalam rangka menjalankan fungsi
kemanusiaan yang diemban manusia sebagai seorang hamba ('abd) dihadapan
Khaliq-nya dan sebagai pemelihara (khalifah). Tujuan pendidikan Islam
menurut Hamka antara lain mencari ridha Allah, mewujudkan akhlak yang mulia
dan menjadikan peserta didik mampu menjadi individu yang berguna bagi

masyarakat. Sejalan dengan Hamka, terdapat tujuan mencari ilmu yang


dikemukakan oleh Syafique Ali Khan yaitu untuk memperoleh ilmu yang
bermanfaat. Ia memberi contoh Nabi Daud berdoa agar mendapatkan ilmu

yang bermanfaat. Dalam konsep ini, kita dianjurkan mencari ilmu bukan untuk
berselisih atau dikagumi orang lain. Namun, tujuannya adalah agar memperoleh
ilmu yang bermanfaat, baik bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Selanjutnya
tujuan akhir pendidikan menurut Ibnu Sina adalah mencapai kebahagiaan, baik di

dunia maupun di akhirat. Dari beberapa uraian tujuan di atas terdapat keterkaitan
erat proses pendidikan dengan Tuhan (theosentris).
b. Berdasarkan Hasil Pikir Manusia-Berdasarkan Wahyu
Konsep Filsafat Pendidikan Barat berdasarkan pada pemikiran filosofis nalar
manusia. Sebagai bukti tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh sokrates yaitu
untuk merangsang penalaran cermat dan disiplin mental. Sedangkan konsep Filsafat
Pendidikan Islam dilandasi oleh wahyu. Wahyu tersebut terdiri dari al-Qur'an
sebagai sumber dasarnya, sedangkan hadis sebagai sumber operasionalnya.
Selanjutnya dikembangkan berupa ijtihad, yakni mengoptimalkan

30
kemampuan akal manusia untuk memahami dan mengambil kebijaksanaan terkait
segala masalah hidup manusia.

E. PENUTUP
Filsafat Pendidikan Barat dan Islam sama-sama terpengaruh oleh Filsafat Yunani.
Seiring perkembangannya memiliki berbagai aliran yang mampu memberi
karakter di dunia pendidikan. Perbedaan yang sangat signifikan antara keduanya
adalah Filsafat Pendidikan Islam merupakan proses investasi kemanusiaan yang
mengandung nilai ibadah sedangkan dalam Filsafat Pendidikan Barat hanya
mengandung proses kemanusiaan dan tidak bernilai ibadah. Namun terlepas dari
perbedaan tersebut, baik pendidikan Islam maupun Barat keduanya menjadikan
manusia sebagai subjek sekaligus objek pendidikan. Sehingga sangat relevan jika
pendidikan harus dilakukan sepanjang hayat manusia (long life education).

F. DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. 1; Jakarta: Ciputat: Logos Wacana
Ilmu, 1997.
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris,
Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008.
Ahmad Fuad al-Ahwani, Al-Tarbiyah fi al-Islam, Mesir: Dar al-Misriyah, tanta
tahun.
Al-Ghazali, Majmu‟ah Rasa‟il al-Imam al-Ghazali, terj. Irwan Kurniawan, Cet. 1;
Bandung: Pustaka Hidayah, 2010.
Arif, Mahmud dalam “Pengantar Penerjemah” Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan
Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis, karya Muhammad Jawwad Ridha,
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002.
Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2010.
Basri, Hasan, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Fathiyyah Hasan Sulaiman, Pandangan Ibnu Khaldun tentang Ilmu dan
Pendidikan, alih bahasa HMD. Dahlan, (Cet. 1; Bandung: Diponegoro, 1987.
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Cet. 1; Mesir: Al-Azhariyyah, 1930.
John Dewey, Democracy and Education, New York: The Free Press, 1966), hlm. 1-
54
Muhammad Jawwad Ridha, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam (Persfektif
Sosiologis-Filosofis), terj. Mahmud Arif dari judul “al-Fikr al-Tarbawi al-

31
Islamiyyu Muqaddimat fi Ushulih al-Ijtima‟iyati al-Aqlamiyyat”, Yogyakarta:
PT Tiara Wacana, 2002.
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis dan Praktis.
Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Ridla, Muhammad Jawwad. Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif
Sosiologis-Filosofis. Terj.Mahmud Arif, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
2002.
Rupert C. Lodge, Philosophy of Education, Hareh & Brothers, New York, 1947.
Sa‟id Hawwa, Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus, terj. Abdul Amin dkk. Cet. V;
Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007.
Syar’i, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005.

32

Anda mungkin juga menyukai