Anda di halaman 1dari 14

Makalah

PRO DAN KONTRA PENGHAPUSAN UJIAN NASIONAL ( UN )

DI

OLEH :

NAMA :

KELAS :

SMKN 1 TAKENGON
TAHUN 2021 / 2022
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim

Puji serta syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT yang senantiasa memberi
rahmat, taufik, hidayah, serta inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Sholawat serta salamnya semoga dilimpahkan kepada junjunan kita Nabi Besar Muhammad
SAW, keluarganya, sahabatnya, serta orang-orang yang taat kepada ajarannya.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari masih banyak kekurangannya, baik dalam
penyusunan maupun dalam tutur bahasanya. Namun penulis tetap mengharapkan dan semoga
makalah ini dapat memberi manfaat pada semua yang berkepentingan, khususnya bagi
penulis sendiri.

Untuk itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan sebagai
landasan penyusunan makalah selanjutnya. Semoga makalah yang sederhana ini mencapai
tujuan yang dimaksud dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ujian Akhir Nasional merupakan salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan
Pemerintah yang merupakan bentuk lain dari Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir)
yang sebelumnya dihapus. Pelaksanaan Ujian Akhir Nasional (UAN) dalam beberapa
tahun ini menjadi satu masalah yang cukup ramai dibicarakan dan menjadi kontraversi
dalam banyak seminar atau perdebatan. Beberapa kali sempat terlontar rencana atau
keinginan dari beberapa pihak untuk menghapus atau meniadakan Ujian Akhir Nasional
tersebut. Tidak kurang dari Mendikbud sendiri pernah melontarkan pernyataan akan
menghapus UAN, dan pernyataan beberapa anggota Dewan yang mengusulkan
penghapusan UAN tersebut.
Pendidikan yang berkualitas memegang peran kunci dalam menciptakan sumber daya
manusia (SDM) Indonesia yang unggul. Sementara SDM diperlukan sebagai penggerak
proses pembangunan suatu Negara, semakin berkualitas SDM yang dimiliki oleh suatu
Negara maka semakin cepat proses pembangunannya menuju masyarakat madani.
Undang-undang Dasar tahun 1945 menyebutkan bahwa pendidikan merupakan hak
warga Negara yang harus dipenuhi oleh pemerintah sebagai intitusi Negara.
Hak warga Negara tersebut dapat berupa mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas
dan murah, sehingga masyarakat tidak terbebani dengan biaya pendidikan yang mahal.
Dalam era otonomi daerah, terutama sejak dikeluarkannya Undang-undang nomor 32
tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, pemerintah pusat menyerahkan wewenang
kepada pemerintah daerah untuk menjalankan proses pendidikan di daerahnya masing-
masing, tetapi tetap megikuti pedoman dan prosedur yang sudah dibuat oleh pemerintah
pusat selaku pemegang kebijakan tertinggi.
Menurut Heintz Eulau dan Kenneth Prewitt dalam buku Charles O. Jones
mendefinisikan kebijakan sebagai “keputusan tetap” yang dicirikan oleh konsistensi dan
pengulangan (repetiveness) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka
yang mematuhi keputusan tersebut (1996). Sehingga sering terdengar di masing-masing
daerah di Indonesia memiliki kebijakan yang berbeda berkaitan dengan biaya pendidikan
dan peningkatan kesejahteraan praktisi pendidikan. Semakin besar Pendapatan Asli
Daerah (PAD) maka semakin besar pula dana yang dianggarkan untuk peningkatan
penyelenggaraan pendidikan. Sementara pemerintah pusat mematok anggaran
pendidikan sebesar 20 persen dari APBN. Salah satu program pemerintah dalam
meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini adalah dengan melaksanakan ujian
kelulusan atau yang dikenal dengan Ujian Nasional (UN) yang dilakukan serentak secara
nasional dengan standar nilai dan jumlah mata ujian ditentukan sebelumnya oleh
Departemen Pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas
(SMA). UN sudah dilaksanakan sejak tahun ajaran 2002/2003 dengan standar nilai 3,01
hingga tahun ajaran 2009/2010 dengan standar nilai kelulusan menjadi 6,00 dan dengan
enam (6) mata pelajaran yang diujikan.
Terjadi perdebatan di masyarakat berkenaan dengan kebijakan pemerintah ini, ada
yang mendukung UN dengan alasan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di
Indonesia yang memang terperosok jauh dari Negara tetangga dan ada yang menolak
dengan beragam argumentasi kerugian yang timbul akibat pelaksanaan UN. Puncaknya
ketika pada 14 September 2009 Mahkamah Agung (MA) memutuskan menolak kasasi
perkara yang diajukan pemerintah dengan No 2596 K/PDT/2008 (www.kompas.com).
Dalam isi putusan ini, tergugat yakni presiden, wapres, mendiknas, dan Ketua Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak asasi
manusia (HAM) di bidang pendidikan. Pemerintah juga lalai meningkatkan kualitas
guru. Dengan demikian MA melarang UN yang diselenggarakan oleh Depdiknas.
Sehingga terjadi permasalahan yang belum ada kejelasan hingga saat ini, apakah UN
tetap dijalankan dengan mekanisme dan prosedur yang diperbaiki atau UN dihapus
berganti dengan kebijakan lain. Meskipun perkembangannya pada akhirnya UN tetap
dilaksanakan dengan memberikan keringan bagi yang tidak lulus UN untuk mengulang
kembali mata pelajaran yang tidak lulus.

B. Rumusan Masalah
UN sejak awal sudah menuai kontroversi di Indonesia, sebahagian masyarakat
menganggap UN tidak tepat untuk dilaksanakan secara merata di Indonesia. Disebabkan
oleh keterbatasan sarana dan prasarana masing-masing sekolah yang ada di seluruh
Indonesia belum merata, serta tidak semua sekolah dan siswa mendapatkan akses
pendidikan yang layak dan berkualitas. Sehingga dari latar belakang di atas dapat dibuat
rumusan masalahnya, apakan kebijakan UN masih tetap layak untuk dilaksanakan di
Indonesia dan jika tidak solusi apa yang bisa diberikan untuk mengganti kebijakan UN
tersebut.

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah UN itu sebenarnya?
2. Analisis Kebijakan UN.
3. Bagaimanakah pelaksanaan UN di lapangan?
4. Apa yang terjadi jika UN dilaksanakan?
5. Apakah UN itu perlu dilaksanakan?
6. Jika UN dilaksanakan?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ujian Nasional (UN)


Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN adalah kegiatan pengukuran dan
penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan menengah.
Ujian Nasional (UN) merupakan istilah bagi penilaian kompetensi peserta didik secara
nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Berbagai polemik yang
berkepanjangan mengenai Ujian Nasional di Indonesia tampak baik bagi demokrasi di
negeri ini. Tapi satu hal yang jangan terlupa bahwa siswa peserta UN jangan sampai
dibuat ragu atau takut tentang kepastian Ujian Nasional sebagai sarana untuk mengukur
kemampuan mereka di bangku sekolahnya. Walaupun UN mengundang pro dan kontra
tapi hendaknya tetap di jalur yang semestinya, karena bagaimana pun para siswa
terutama siswa SMA / MA adalah para calon Agent of Change yang akan berperan untuk
membawa perubahan-perubahan konstruktif bagi negeri ini. Oleh karena itu agar
keraguan berkurang di kalangan dunia kependidikan, kami dari Tim Ujian Nasional
mencoba menyampaikan beberapa hal yang dipandang penting terutama dalam hal dalam
kebijakan UN 2011 yang tentunya diharapkan dapat menjadi bekal bagi para siswa agar
mereka cukup persiapan dalam menghadapi Ujian Nasional 2011.

B. Analisa Kebijakan UAN


Analisa kebijakan UAN yang bertentangan dengan UU Sisdiknas dan bentuk evaluasi
di dalam pendidikan. Pertama, ada anggapan dari sebagian orang, terutama para pejabat
Legislatif yang menganggap bahwa UAN bertentangan dengan UU Sisdiknas. Dimana
Pemerintah telah mengambil kebijakan untuk menerapkan UAN sebagai salah satu
bentuk evaluasi pendidikan. Menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No.
153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 disebutkan bahwa
tujuan UAN adalah untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik melalui
pemberian tes pada siswa sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat
atas.
Begitu pula evaluasi dalam pendidikan seharusnya dapat memberikan gambaran
tentang pencapaian tujuan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang No. 20
tahun 2003. Evaluasi seharusnya mampu memberikan informasi tentang sejauh mana
kesehatan peserta didik. Evaluasi harus mampu memberikan tiga informasi penting
seperti yang dipaparkan oleh McNeil. Selain itupula dalam evaluasi pendidikan
diharapkan dapat memberikan informasi tentang keimanan dan ketakwaan peserta didik
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan juga dapat meningkatkan kreativitas, kemandirian
dan sikap demokratis peserta didik
Dari paparan di atas, yang menjadi pertanyaan apakah mutu pendidikan dapat diukur
dengan memberikan ujian akhir secara nasional di akhir tahun ajaran? Apalagi bila
dihadapkan mutu pendidikan dari aspek sikap dan perilaku siswa, apakah bisa dilihat
hanya pada saat sekejap di penghujung tahun? Mutu pendidikan pada tingkat nasional
dapat dilihat dengan berbagai cara, tetapi pelaksanaan UAN sebagaimana yang
dipraktekkan belum menjawab pertanyaan sejauh mana mutu pendidikan di Indonesia,
apakah menurun atau meningkat dari tahun sebelumnya. Bahkan terdapat indikasi bahwa
soal-soal UAN (yang dulu disebut Ebtanas) berbeda dari tahun ke tahun, dan seandainya
hal ini benar maka akibatnya tidak bisa dibandingkannya hasil ujian antara tahun lalu
dengan sekarang. Selain itu mutu pendidikan tidak mungkin diukur dengan hanya
memberikan tes pada beberapa mata pelajaran ‘penting’ saja, apalagi dilaksanakan sekali
di akhir tahun pelajaran. Mutu pendidikan terkait dengan semua mata pelajaran dan
pembiasaan yang dipelajari dan ditanamkan di sekolah, bukan hanya pengetahuan
kognitif saja. UAN tidak akan dapat menjawab pertanyaan seberapa jauh perkembangan
anak didik dalam mengenal seni, olah raga, dan menyanyi. UAN tidak akan mampu
melihat mutu pendidikan dari sisi percaya diri dan keberanian siswa dalam
mengemukakan pendapat dan bersikap demokratis. Dengan kata lain, UAN tidak akan
mampu menyediakan informasi yang cukup mengenai mutu pendidikan. Artinya tujuan
yang diinginkan masih terlalu jauh untuk dicapai hanya dengan penyelenggaraan UAN.
Selain itu pula UAN yang dilakukan hanya dengan tes akhir pada beberapa mata
pelajaran tidak mungkin memberikan informasi menyeluruh tentang perkembangan
peserta didik sebelum dan setelah mengikuti pendidikan. Karena tes yang dilaksanakan
di bagian akhir tahun pelajaran tidak dapat memberikan gambaran tentang perkembangan
pendidikan peserta didik, tes tersebut tidak dapat memperhatikan proses belajar mengajar
dalam keseharian karena tes tertulis tidak dapat melihat aspek sikap, semangat dan
motivasi belajar anak selain itu pula tes di ujung tahun ajaran tidak dapat menyajikan
keterampilan siswa yang sesungguhnya dan juga hasil tes tidak dapat menggambarkan
kemampuan dan keterampilan anak selama mengikuti pelajaran. Oleh karena itu terjadi
pertentangan antara tujuan yang ingin dicapai dengan bentuk ujian yang diterapkan,
karena pengukuran hasil belajar tidak bisa diukur hanya dengan memberikan tes di akhir
tahun ajaran saja.
Kedua, tujuan UAN yang lain dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No.
153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 adalah untuk
mengukur mutu pendidikan dan mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan
di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah. Adalah ironis kalau
UAN dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban penyenggaraan pendidikan, karena
pendidikan merupakan satu kesatuan terpadu antara kognitif, afektif, dan psikomotor.
Selain itu pendidikan juga bertujuan untuk membentuk manusia yang berakhlak mulia,
berbudi luhur, mandiri, cerdas, dan kreative yang semuanya itu tidak dapat dilihat hanya
dengan penyelenggaraan UAN. Dengan kata lain, UAN belum memenuhi syarat untuk
dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan kepada
masyarakat.
Ketiga, jika dihubungkan dengan kurikulum, maka UAN juga tidak sejalan dengan
salah satu prinsip yang dianut dalam pengembangan kurikulum yaitu diversifikasi
kurikulum. Artinya bahwa pelaksanaan kurikulum disesuaikan dengan situasi dan
kondisi daerah masing-masing. Kondisi sekolah di Jakarta dan kota-kota besar tidak bisa
disamakan dengan kondisi sekolah-sekolah di daerah perkampungan, apalagi di daerah
terpencil. Kondisi yang jauh berbeda mengakibatkan proses belajar mengajar juga
berbeda. Sekolah di lingkungan kota relatif lebih baik karena sarana dan prasana lebih
lengkap. Tetapi di daerah-daerah pelosok keberadaan sarana dan prasarana serba
terbatas, bahkan kadang jumlah guru pun kurang dan yang ada pun tidak kualified akibat
ketiadaan. Kebijakan penerapan UAN dengan standar yang sama untuk semua sekolah di
Indonesia telah melanggar prinsip tersebut dan mengakibatkan ketidakadilan bagi peserta
didik yang tentu saja hasilnya akan jauh berbeda, sedangkan kebijakan yang diambil
adalah menyamakan mereka.
Keempat, pelaksanaan UAN hanya pada beberapa mata pelajaran yang dianggap
“penting” juga memiliki permasalahan tersendiri. Sekarang yang terjadi orang akan
beranggapan hanya matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan IPA yang
merupakan mata pelajaran penting. Sedangkan ada diantara kita anak-anak yang
memiliki bakat untuk melukis atau olahraga, mereka akan meragukan bahwa pelajaran
tersebut merupakan pelajaran penting bagi dia. Sehingga bakat tersebut akan terkubur
dengan sendirinya karena yang ada di benak mereka adalah bagaimana mereka bisa lulus
dalam UAN tersebut. Dengan demikian pelaksanaan UAN hanya pada beberapa mata
pelajaran akan mendorong guru untuk cenderung mengajarkan hanya mata pelajaran
tersebut, karena yang lain tidak akan dilakukan ujian nasional. Hal ini dapat berakibat
terkesampingnya mata pelajaran lain, padahal tidak semua anak senang pada mata
pelajaran yang diujikan. Akibat dari kondisi ini adalah terjadi peremehan terhadap mata
pelajaran yang tidak dilakukan pengujian.
Kelima, tingkat kreativitas guru empat mata pelajaran tersebut akan terkekang karena
dikejar target untuk menyelesaikan materi. Selain itu pula metode pembelajaran yang
seharusnya bisa disajikan secara menarik dan dikembangkan sesuai dengan implementasi
peserta didik dalam kehidupan sehari-hari tergantikan dengan metode drill latihan soal
dan peserta didik hanya “dicekoki” dengan bagaimana dapat menjawab soal-soal pada
empat mata pelajaran tersebut.
Keenam, beberapa orang berpendapat bahwa UAN bertentangan dengan kebijakan
otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Hal ini
dapat dipahami sebagai berikut. Kebijakan UAN dilaksanakan bersamaan dengan
dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah. Selain itu pada saat yang sama juga
dikenalkan kebijakan otonomi sekolah melalui manajemen berbasis sekolah. Evaluasi
sudah seharusnya menjadi hak dan tanggung jawab daerah termasuk sekolah, tetapi
pelaksanaan UAN telah membuat otonomi sekolah menjadi terkurangi karena sekolah
harus tetap mengikuti kebijakan UAN yang diatur dari pusat. Selain itu UAN berfungsi
untuk menentukan kelulusan siswa. Padahal pendidikan merupakan salah satu bidang
yang diotonomikan, kecuali sistem dan perencanaan pendidikan yang diatur secara
nasional termasuk kurikulum. Di sisi lain, dengan adanya kebijakan otonomi sekolah
yang berhak meluluskan siswa adalah sekolah melalui kebijakan manajemen berbasis
sekolah. UAN telah dijadikan alat untuk “menghakim” siswa, tetapi dengan cara yang
tanggung karena dengan memberikan batasan nilai minimal 4.25. Dengan menetapkan
nilai serendah itu, maka berarti bahwa standar mutu pendidikan di Indonesia memang
ditetapkan sangat rendah. Kalau direnungkan, apa arti nilai 4 pada suatu ujian. Nilai 4
dapat diartikan hanya 40% dari seluruh soal yang diujikan dikuasai, padahal secara
umum pada bagian lain diakui bahwa nilai yang dapat diterima untuk dinyatakan cukup
atau baik adalah di atas 6. Dengan kata lain, UAN selain menetapkan standar mutu
pendidikan yang sangat rendah telah “menghakimi” semua siswa tanpa melihat latar
belakang, situasi, kondisi, sarana dan prasarana serta proses belajar mengajar yang
dialami terutama siswa di daerah pedesaan.
C. Normatif
1. Dilematis Pelaksanaan UN
Ujian Nasional sejak digulirkan pada tahun ajaran 2002/2003 tidak jarang menjadi
momok menakutkan bagi pelajar yang kawatir tidak lulus karena tidak mendapatkan nilai
yang mencukupi, sementara bagi para guru dan institusi pendidikan tempat siswa
menimba ilmu kekawatiran serupa terjadi, kualitas dan profesionalitas mereka
dipertaruhkan, tergantung dari banyak dan sedikitnya siswa yang lulus dalam UN.
Sehingga tidak jarang terjadi kecurangan-kecurangan dari pelaksanaan UN di daerah-
daerah baik yang dilakukan oleh siswa itu sendiri maupun oleh para pendidik, dengan
tujuan satu, mendongkrak nilai UN siswa agar mendapatkan nilai sesuai dengan batas
minimal kelulusan.
UN di beberapa daerah masih cenderung mengabaikan nilai-nilai kejujuran dan
tanggung jawab. Media elektronik dan cetak merekam kecurangan ini, banyak sekolah
dan orang tua siswa yang paranoid dan sangat khawatir siswanya tidak lulus ujian
dengan persentase tinggi. UN layaknya ‘palu sidang’ yang akan dijatuhkan untuk
memvonis apakah seorang siswa dianggap pandai sehingga layak memperoleh predikat
lulus, atau sebaliknya.
Mengingat hasil ujian ini berimplikasi pula pada eksistensi dan kredibilitas sekolah,
setelah ditelisik lebih jauh ternyata paranoid ini tidak saja mengidap sekolah dan orang
tua siswa, namun pemerintah daerah juga merasa perlu dan berkepentingan menjaga
muka terkait pengelolaan pendidikan di wilayahnya. Selanjutnya sudah bisa ditebak,
beragam kebijakan diambil oleh pemerintah daerah terkait sukses UN ini.
Realitas ini tentu sangat memprihatinkan apalagi di dunia pendidikan yang semestinya
menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Faktanya pelaksanaan UN tahun 2008-2009 yang
lalu masih ditemukan sejumlah 33 sekolah yang melakukan kecurangan dalam
pelaksanaannya (www.swaramerdeka.com). Masih segar dalam ingatan kita terhadap
sekelompok guru yang menamakan dirinya Komunitas Air Mata Guru. Sebuah kelompok
guru yang meskipun pahit telah berani mengikuti nuraninya sebagai seorang pendidik,
untuk melaporkan berbagai macam tindakan kecurangan dalam pelaksanaan ujian pada
sekolah mereka di Medan dan daerah sekitarnya.
Sayangnya, keberanian mereka mengungkap kecurangan ini menuai intimidasi.
Mereka dianggap mencemarkan nama baik sekolah, diturunkan atau ditunda kenaikan
pangkatnya hingga diberhentikan. Sikap Depdiknas pun setali tiga uang. Alih-alih
melindungi para guru tersebut malah ikut menyudutkan mereka. Padahal dalam UU No
14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas
keprofesionalannya berhak memperoleh perlindungan atau memperoleh rasa aman dan
jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas.
Masyarakat sebenarnya bisa mengerti ketika pemerintah menilai bahwa ujian tersebut
bisa meningkatkan motivasi belajar. Namun kamingnya, motivasi itu muncul hanya di
akhir tahun ajaran menjelang ujian, bukan sebagai bagian dari proses pembelajaran.
Mereka berlomba-lomba memasuki institusi pendidikan non formal hanya untuk dapat
lulus UN dan tentunya akan membuat pengeluaran masyarakat di bidang pendidikan
semakin membengkak, belum lagi mental pelajar yang menjadi terganggu dengan
tekanan belajar yang meningkat tajam.
2. Apa yang terjadi jika UN dilaksanakan
Akhir – akhir ini kita diingatkan kembali dengan masalah Ujian Nasional, karena
beberapa Media baik cetak maupun Elektronik, ramai – ramai memberitakan
kemenangan dari gugatan warga Negara atau Citizen Lawsuit terhadap Pemerintah,
dimana kemenangan ini mulai dari tingkat Pengadilan Negri sampai dengan Mahkamah
Agung. Ujian Nasional sesungguhnya mempunyai 2 sisi baik dan buruk,
 SISI BAIK
1) Kita jadi mempunyai standard yang sama untuk kelulusan siswa, sehingga pada
akhirnya tidak ada perbedaan antara siswa di Jakarta dan kota kota besar lainnya
dengan siswa didaerah.
2) Kelulusan akan menjadi suatu hal yang membanggakan dan suatu hal yang patut
disyukuri, karena ditempuh dengan perjuangan dan pengorbanan yang besar.
3) Pada akhirnya untuk masuk ke Perguruan tinggi cukup menggunakan nilai hasil
kelulusan.
4) Dan lain lain.

 SISI BURUK
1) Siswa menjadi Depresi dan sangat tertekan karena Ujian Nasional seolah olah tidak
bisa diprediksi materi yang akan diujikan
2) Karena Standard pengajaran diseluruh Indonesia berbeda – beda, sesuai dengan
kualitas pengajar, tingkat ekonomi didaerah, dan lain lain, maka sulit untuk
dilakukan penyeragaman soal ujian. Bayangkan saja sekolah yang berbeda standard
pengajarannya dipaksakan harus mengerjakan soal yang sama.
3) Pembuat soal kurang turun ke lapangan, meninjau sekolah sekolah terpencil untuk
mengetahui sebaiknya materi Ujian itu sampai tingkat yang bagaimana.
4) Di beberapa kasus terjadi kesalahan dari sistim koreksi yang dilakukan untuk
menilai hasil ujian Nasional ini, contohnya ada kasus dimana satu sekolah tidak
lulus ujian dan selanjutnya dilakukan ujian ulang. Bagaimana Pemerintah bisa
yankin bahwa sistim penilaiannya sudah benar, seandainya saja pada contoh kasus
diatas yang mengalami kesalahan penilaian hanya 11 orang, mungkin ujiannya tidak
bisa diulang. Dan jadilah siswa yang apes tadi harus menerima nasib ia tidak lulus
ujian.

D. Evaluatif
1. Bagaimana seharusnya UN itu.
Menurut kami Ujian Nasional dengan penyeragaman soal, baik untuk
dilakukan diseluruh Indonesia, namun untuk kelulusan siswa tetap diserahkan pada
sekolah masing – masing dengan mempertimbangkan hasil ujian Harian, Tengah
Semester dan Semester yang telah dilakukan selama ini. Karena yang benar benar
mengetahui kemampuan siswa yang bersangkutan adalah guru guru mereka sendiri.
Data hasil dari Ujian Nasional itu menjadi masukan yang baik bagi
Pemerintah untuk mengetahui peta keberhasilan pendidikan yang dilaksanakan
diseluruh Indonesia, jadi bisa tahu, mana daerah yang perlu mendapatkan perhatian
lebih, atau mana Sekolah yang perlu dievaluasi mutu pendidikkannya.
Kenapa harus demikian
Mutu Standard Pendidikan belum merata baik antar sekolah, maupun antar
Daerah, untuk itu merupakan tugas Pemerintah melalui Departemen Pendidikan
untuk membenahi hal tersebut. Alasan lainnya adalah Pemerintah seharusnya tidak
terburu buru menerapkan standard yang MUTLAK untuk Ujian Nasional, sebaiknya
diberlakukan standard NORMA, yang mempertimbangkan berbagai aspek, belajar
itu tidak harus dibangku sekolah, banyak orang yang disekolahnya biasa-biasa saja
namun setelah lulus ia menambah pengetahuannya dengan berbagai hal yang
menunjang pekerjaannya dan berhasil.
Disini kami berikan sebagai contoh, ada seorang anak yang ingin jadi Ahli
kimia, tapi ia tidak bisa segera mewujudkan keinginannya itu karena tidak lulus
ujian Nasional pada mata pelajaran Matematika, di Bab Calculus Diferential. Atau
tidak lulus Bahasa Indonesia pada bagian Sinonim. Kan konyol jadinya ? Lebih
parah lagi bila ternyata ada oknum pembuat soal ujian yang merasa seperti pembuat
Teka – teki, jadi makin susah dijawab, dia makin bangga karenanya. Kasihan anak –
anak jadi korban. Kan bisa saja itu terjadi, banyak yang bilang orang Indonesia (baca
“Oknum”) itu, seringkali terlihatnya seperti rendah hati, padahal Arogan. contohnya
banyak (kalau dibilang banyak berarti tidak semua) yang sebelum terpilih jadi
anggota DPR, wah baik banget seolah olah akan berjuang demi rakyat, namun
setelah terpilih ternyata mengecewakan.
Aspek yang perlu diterapkan dalam UN
Dari hasil kajian Koalisi Pendidikan, setidaknya ada empat penyimpangan dengan
digulirkannya UN. Pertama, aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan,
kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan (kognitif),
keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Tapi yang dinilai dalam UN hanya
satu aspek kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan
sebagai penentu kelulusan.
Kedua, aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional
Nomor 20 Tahun 2003 telah dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang menyatakan
bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi
lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan
penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. UN
yang selama ini dilakukan hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan
standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Ketiga, aspek
sosial dan psikologis.
Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok
standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 dan meningkat seterusnya dari
tahun ketahun. Ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan orang
tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di UN kan di
sekolah dan di rumah. Keempat, aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN
memboroskan biaya.
Tidak hanya pemerintah yang harus mengeluarkan dana ekstra dalam
memberikan materi tambahan kepada peserta didik, tetapi juga orang tua siswa yang
terpaksa mengalokasikan dana untuk memberikan kursus tambahan agar anaknya
mendapatkan nilai memuaskan dalam pelaksanaan UN nantinya. Selain itu, belum
dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN. Sistem
pengelolaan selama ini masih sangat tertutup dan tidak jelas
pertanggungjawabannya. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyimpangan
(korupsi) dana UN.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ujian Nasional yang
diberlakukan oleh pemerintah melalui Departemen Pendidikan tidak lain mempunyai
tujuan mulia untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional yang terpuruk dari
Negara lain terutama di wilayah Asia Tenggara. Meskipun akhirnya terjadi kontroversi di
tengah masyarakat dan berakibat keluarnya putusan MA, yang melarang
dilaksanakannya UN pada tahun ajaran 2009/2010.

B. Saran
Adapun beberapa hal yang dapat kami sarankan terhadap pemerintah perlu dilakukan
dalam pelaksanaan UN selanjutnya yaitu:
1. UN tetap dilaksanakan tetapi soal UN diselaraskan dengan tingkatan Akreditasi
masing-masing sekolah.
2. Membentuk kepanitiaan independen dalam pelaksanaan UN dari tingkat
pusat,sampai ke sekolah-sekolah. Bukan hanya itu, Panitia Independen juga bertugas
menjadi pengawas ruang saat berlangsungnya ujian, mengawasi dan atau
mengumpulkan lembar-lembar jawaban, sampai dengan pengawasan dalam proses
penilaian dan pengumuman hasil ujian nasional.
3. Pemerintah pusat dan daerah perlu terus menerus meningkatkan pengalokasian
anggaran di bidang pendidikan agar kualitas pendidikan dinegeri ini semakin
meningkat dan merata.
4. Para pendidik dan pemerintah daerah negeri ini perlu belajar kembali tentang norma-
norma kejujuran, sehingga tidak dengan mudah menerapkan segala cara dalam
mendongkrak nilai UN siswa.
DAFTAR PUSTAKA

Conny R. Semiawan. Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. 2005. PT


RAJAGRAFINDO PERSADA : JAKARTA
Jones, Charles O.. (1996). Pengantar Kebijakan Publik. Ed. 1. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Suharto, Edi. (2005). Analisis Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
www.swaramerdeka.com.
www.kompas.com.
http://www.hariansumutpos.com/2010/04/42801/un-amburadul-gambaran-pendidikan-yang-
bobrok.html
http://jurnal-politik.blogspot.com/2009/07/kontroversi-ujian-nasional.html
http://antikorupsi.org/indo/content/view/3764/2/
http://scalamedia.net/berita/editorial/389-ujian-nasional.html
http://kampungtki.com/baca/10710

Anda mungkin juga menyukai