Makalah TG Perbankan
Makalah TG Perbankan
Disusun Oleh :
20804244039
Program Studi Pendidikan Ekonomi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena
dengan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “ Tinjauan
Yuridis Terhadap Penetapan Bank Gagal Berdampak Sistemik ” ini dengan tepat
waktu dan tanpa adanya halangan satu pun.
Penulis pun mengucapkan terimaksih kepada tim yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan makalah ini. Kemudian penulis juga menyadari jika dalam
makalah ini masih banyak kekurangan. Penulis juga meminta maaf jika adanya
kesalahan dalam makalah ini maka penulis siap untuk menenrima kritik dan saran.
Penulis juga berharap , semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi orang lain.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................2
DAFTAR ISI....................................................................................................................................3
BAB I...............................................................................................................................................3
PENDAHULUAN...........................................................................................................................3
A. Latar Belakang........................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................7
C. Tujuan dan Manfaat................................................................................................................7
BAB II..............................................................................................................................................8
PEMBAHASAN..............................................................................................................................8
A. Bank Gagal Berdampak Sistemik...........................................................................................8
B. Penanganan Bank Gagal Berdampak Sistemik.......................................................................9
C. Pengaturan Tentang Lender Of The Last Resort Bagi Bank Gagal Untuk Memberikan
Kepastian Hukum.................................................................................................................13
D. Kebijakan Penyelamatan Bank Gagal Sistemik Melalui Mekanisme Bail-In......................18
E. Kasus Penyelesaian Bank Gagal Berdampak Sistemik........................................................19
BAB III...........................................................................................................................................21
PENUTUP......................................................................................................................................21
A. Kesimpulan............................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................22
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lembaga Perbankan di Indonesia yang berkembang menjadikan perbankan sebagai
komponen yang penting dalam perekonomian nasional saat ini, lembaga perbankan
sudah dikenal di Indonesia sejak VOC mendirikan Bank Van Leening pada tahun
1746 yang kemudian menjadi De Bank Courant en Bank Van Leening pada tahun
1752 di Jawa yang merupakan bank pertama di Indonesia.1 Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 Tentang Perbankan menyatakan bahwa perbankan adalah segala sesuatu
yang menyangkut tentang bank, mecakup tentang kelembagaan, kegiatan usaha, serta
cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”
Kegiatan operasional bank tidak dapat dipisahkan dari masyarakat yang dikenal dalam
dunia perbankan sebagai nasabah, nasabah sebagaimana yang tertera dalam Pasal 1
angka 16 UU No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan adalah pihak yang menggunakan jasa bank.
Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang fungsi utamanya sebagai
penghimpun dan penyalur dana masyarakat, ini berarti kita akan membicarakan
peraturan hukum (norma hukum) dan asas-asas hukum, struktur hukum, dan budaya
hukum yang mengatur segala sesuatu yang menyangkut tentang bank.2 Dasar
perikatan antara nasabah dan bank adalah rasa kepercayaan, yang mengharuskan bank
agar dapat terus menjaga kepercayaan nasabah/masyarakat dalam setiap bentuk
kegiatan operasionalnya, oleh karena itu kegiatan perbankan membutuhkan aturan
hukum yang dapat menjaga hubungan bank dan nasabah, hukum perbankan yang
berisi segala norma hukum yang berlaku dan mengikat dalam bentuk peraturan
perundang-undangan dan praktek perbankan yang diakui baik secara tertulis maupun
yang tidak tertulis.3 Bank dalam melakukan kegiatan operasionalnya dituntut untuk
menjaga kepercayaan dari nasabah/masyarakat hal ini tergambar dalam Pasal 29 UU
No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan,
terutama dalam Pasal 29 ayat (3) yang menekankan asas kepercayaan nasabah dan
Pasal 29 ayat (2) yang menekankan prinsip kehati-hatian yang berlaku umum dalam
usaha perbankan yang menjalankan kegiatan usahanya. Menurut Theresia Anita
Christiani:
Bank Indonesia yang merupakan Bank Sentral dari seluruh lembaga perbankan di
Indonesia diberi wewenang dan tugas untuk melaksanakan kebijakan moneter secara
berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum
pemerintah di bidang perekonomian agar tercapai dan terpeliharanya kesetabilan nilai
rupiah sebagaimana yang tertera dalam Pasal 7 UU No. 3 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dengan demikian
lembaga yang bertanggung jawab atas terwujudnya sistem perbankan yang sehat
adalah Bank Sentral.6
Suatu bank yang tidak dapat menjaga tingkat kesehatan bank disebut sebagai Bank
Gagal, dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 24 Tahun 2004 jo. UU No. 7 Tahun 2009
Tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS) mendefenisikan:
“Bank Gagal (failing bank) adalah bank yang mengalami kesulitan keuangan dan
membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan
oleh LPP sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.”
dalam UU LPS dikenal ada 2 jenis Bank Gagal, yaitu; Bank gagal tidak berdampak
sistemik, dan bank gagal berdampak sistemik, hal ini dimuat dalam BAB V UU LPS.
Kasus Bank Century yang ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik yang
masih menuai pro dan kontra hingga saat ini dikarenakan tidak ada satu peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang memberikan pengertian secara
jelas tentang bank gagal berdampak sistemik tersebut, tidak adanya pengertian hukum
yang jelas membuat berkurangnya kepastian hukum. Apalagi jika terjadi kesalahan
dalam memahami pengertian hukum akan berakitbat fatal bagi pencari keadilan.10
Pada saat itu ada Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Perpu JPSK) yang dikeluarkan
untuk menghadapi krisis perekonomian yang mengacam stabilitas sistem keuangan
nasional, dalam Pasal 1 angka 4 Perpu JPSK memberikan pengertian Berdampak
Sistemik:
“Berdampak Sistemik adalah suatu kondisi sulit yang ditimbulkan oleh suatu bank,
LKBB, dan/atau gejolak pasar keuangan yang apabila tidak diatasi dapat
menyebabkan kegagalan sejumlah bank dan/atau LKBB lain sehingga menyebabkan
hilangnya kepercayaan terhadap sistem keuangan dan perekonomian nasional.”
Kriteria kondisi sulit yang dimaksud dalam Pasal di atas tidak dijelaskan dalam
penjelasan Pasal tersebut, sehingga dalam penetapan status Bank Century sebagai
bank gagal berdampak sistemik oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK)
dipertanyakan dasar hukumnya, KSSK menetapkan Bank Century sebagai bank gagal
berdampak sistemik dan menyerahkan penanganannya kepada LPS berdasarkan
rekomendasi Bank Indonesia yang mengindentifikasi likuidasi Bank Century
berdampak sistemik yang akan membahayakan perekonomian nasional. Lain sisi
KSSK yang dalam Perpu JPSK, untuk mengambil suatu keputusan harus
mengevaluasi skala dan dimensi permasalahan likuiditas yang ditenggarai berdampak
sistemik, namun ada desakan dari Bank Indonesia yang menyatakan bahwa penetapan
status bank gagal berdampak sistemik pada Bank Century harus segera dilakukan jika
tidak maka akan terjadi krisis perbankan yang lebih besar, oleh sebab itu KSSK
menetapkan status Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dalam
waktu singkat sehingga menuai pro dan kontra. Dengan melihat hal tersebut, maka
dapat dikatakan ada benturan kelembagaan antara Bank Indonesia sebagai Bank
Sentral yang independen dengan lembaga lain seperti JPSK dalam penetapan status
bank gagal berdampak sistemik sehingga menimbulkan hambatan tersendiri atas
penetapan status bank gagal berdampak sistemik yang membutuhkan penanganan
yang tepat dan cepat agar memberikan kepastian hukum baik kepada bank maupun
kepada nasabah, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan tetap
terjaga.Perpu JPSK rupanya tidak disetujui oleh DPR untuk menjadi Undang- Undang
sehingga Perpu tersebut harus dicabut, namun ada Undang-Undang Nomor 21 Taun
2011 Tentang Otoritas Jasa Keungan (UU OJK) yang membentuk Forum Koordinasi
Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) yang mirip dengan KSSK, namun tidak ada
Pasal yang mengindentifikasi kriteria bank gagal berdampak sistemik.
Pengaturan hukum yang tidak jelas terkait bank gagal berdampak sistemik
mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat/nasabah terhadap lembaga
perbankan, kurangnya pemahaman masyarakat akan bank gagal berdampak sistemik
dapat menimbulkan efek berkelanjutan (efek domino) terhadap bank-bank lainnya
sehingga akan berdampak langsung pada perekonomian nasional, dan menimbulkan
krisis perekonomian yang lebih luas. Penggunaan dana APBN dalam penanganan
bank gagal berdampak sistemik juga akan menimbulkan gejolak tersendiri di dalam
masyarakat terhadap pertanggung jawaban pemerintah dan lembaga perbankan,
APBN yang merupakan uang rakyat digunakan untuk menghidupkan bank dan
mengganti uang nasabah. Banyaknya lembaga yang berperan dalam penetapan status
suatu bank sebagai bank gagal berdampak sistemik dapat mengakibatkan lambannya
penanganan, sehingga penanganan krisis menjadi kurang efektif dan efisien, maka
penelitian hukum ini menjadi relevan untuk ditinjau sacara normatif agar menemukan
suatu peraturan hukum yang baik terhadap penetapan bank gagal berdampak sistemik
yang sesuai dengan norma, prinsip, dan aturan hukum yang berlaku di Indonesia saat
ini, sehinggadalam penerapannya dapat memberikan kepastian hukum kepada
lembaga perbankan dan kepada masyarakat sebagai nasabah, serta penanganan krisis
yang baik.
B. Rumusan Masalah
1. Apa kriteria suatu bank dapat ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik?
2. Apakah kriteria bank gagal berdampak sistemik perlu diatur secara jelas dalam pengaturan
hukum?
3. Apa pentingnya peran lembaga dalam penetapan bank gagal berdampak sistemik?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Permasalahan Likuiditas
2. Permasalahan Solvabilitas
KSSK.21 Dalam hal Bank Sistemik kondisinya memburuk dan ditetapkan sebagai
Bank dalam pengawasan khusus, OJK meminta LPS melakukan persiapan
penanganan Bank Sistemik. Dengan koordinasi LPS, OJK akan:
a. meminta pengurus bank untuk menjaga kondisi keuangan bank sehingga tidak
terjadi penurunan aset dan/atau peningkatan kewajiban Bank Sistemik secara material;
c. memfasilitasi LPS dalam melakukan pemasaran atas aset dan/atau kewajiban Bank
Sistemik dan memfasilitasi calon bank penerima untuk melakukan uji tuntas dalam
hal akan dilakukan pengalihan aset dan/atau kewajiban Bank Sistemik.22
Apabila permasalahan solvabilitas Bank Sistemik masih belum teratasi, OJK meminta
penyelenggaraan rapat KSSK disertai dengan rekomendasi langkah penanganan
permasalahan Bank Sistemik.
b. menetapkan langkah yang harus dilakukan oleh Menteri Keuangan, Gubernur Bank
Indonesia, dan Ketua Dewan Komisioner OJK sesuai dengan wewenang masing-
masing untuk mendukung pelaksanaan penanganan Bank Sistemik oleh LPS. 23
perkiraan biayanya, berupa biaya untuk menambah modal disetor bank yang
bersangkutan sampai bank tersebut memenuhi ketentuan yang berlaku mengenai
tingkat kesehatan bank. Perkiraan biaya tersebut adalah sebesar jumlah kekurangan
KPMM yang ditetapkan oleh LPP dan dapat ditambah dengan jumlah tertentu yang
dipandang perlu oleh LPS, yang meliputi seluruh biaya yang diperlukan agar Bank
Gagal masuk dalam kategori sehat pada aspek keuangan.24 LPS bertanggung jawab
atas seluruh biaya penanganan Bank Gagal Sistemik tersebut.25 Seluruh biaya
penanganan Bank Gagal Sistemik yang dikeluarkan oleh LPS menjadi penyertaan
modal sementara LPS pada bank. 26
a. menjual Surat Berharga Negara yang dimilikinya melalui pasar, kepada Bank
Indonesia dan/atau pihak lain; dan/atau
Sistemik, maka LPS mengambil alih segala hal dan wewenang Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS), kepemilikan, kepengurusan, dan/atau kepentingan lain
pada bank dimaksud. Pemegang saham dan pengurus bank tidak dapat menuntut LPS
atau pihak yang ditunjuk LPS dalam hal penanganan tidak berhasil, sepanjang LPS
atau pihak yang ditunjuk LPS melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Setelah LPS mengambil alih segala hak dan wewenang Bank Sistemik, LPS dapat
melakukan tindakan sebagai berikut:
a. menguasai, mengelola, dan melakukan tindakan kepemilikan atas aset milik atau
c. menjual atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan nasabah debitur dan/atau
yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut LPS merugikan bank. 29
Penanganan permasalahan solvabilitas Bank Sistemik oleh LPS dilakukan
dengan cara:
a. mengalihkan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank Sistemik kepada
Bank penerima;
b. mengalihkan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank Sistemik kepada
Selisih kurang antara dana hasil penjualan Bank Perantara ditambah hasil likuidasi
Bank Sistemik yang telah ditangani permasalahannya dan dana yang dikeluarkan LPS
untuk penanganan permasalahan Bank Sistemik, merupakan biaya penanganan
permasalahan Bank Sistemik bagi LPS dan bukan merupakan kerugian keuangan
negara. Sementara itu, selisih lebih antara dana hasil penjualan Bank Perantara
ditambah hasil likuidasi Bank Sistemik yang telah ditangani permasalahannya dan
dana yang dikeluarkan LPS untuk penanganan permasalahan Bank Sistemik,
merupakan penambah kekayaan LPS.
LPS wajib menjual seluruh saham bank dalam penanganan paling lama 3 (tiga)
tahun sejak:
Penjualan saham Bank Gagal yang Berdampak Sistemik dilakukan secara terbuka dan
transparan, dengan tetap mempertimbangkan tingkat pengembalian yang optimal bagi
LPS. Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal bagi LPS tidak dapat diwujudkan
dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun, jangka waktu dapat diperpanjang sebanyak-
banyaknya 2 (dua) kali dengan masing-masing perpanjangan selama 1 (satu) tahun.
Pasca perpanjangan waktu, bila LPS belum bisa menjual saham Bank Gagal yang
Berdampak Sistemik, maka LPS menjual sahan bank tanpa memperhatikan
pengembalian yang optimal dalam waktu 1 (satu) tahun berikutnya. Seluruh biaya
yang timbul sehubungan dengan penjualan saham bank berdasarkan Peraturan LPS
Nomor 5/PLPS/2006 sebagaimana diubah dengan Peraturan LPS Nomor
3/PLPS/2008 menjadi beban pemegang saham.
Dalam hal bank yang ditangani adalah Bank BUMN, maka penjualan saham
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan dan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Bila bank tersebut sahamnya diperdagangkan di
pasar modal, maka penjualan saham juga harus memenuhi peraturan perundang-
undangan di bidang pasar modal.
Penanganan Bank Gagal Sistemik dinyatakan berakhir apabila LPS menjual seluruh
saham, dengan ditetapkan dalam suatu Keputusan Dewan Komisioner. Atas selesainya
penanganan Bank Gagal Sistemik, LPS memberitahukan kepada KSSK.
C. Pengaturan Tentang Lender Of The Last Resort Bagi Bank Gagal Untuk
Memberikan Kepastian Hukum
Bank menerima Fasilitas Pembiayaan Darurat ini diharapkan bank dapat memenuhi
likuiditasinya dan mengalami kenaikan rasio kewajiban penyediaan modal minimum
paling sebesar 8% (delapan persen) yang disyaratkan, jika dalam pemberian ini bank
masih belum bisa melunasi Fasilitas Pembiayaan Darurat dalam jangka waktu yang
ditentukan maka bank dikatakan sebagai bank gagal yang penanganan selanjutnya
diserahkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) didasarkan Pasal 19 ayat 3
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/31/PBI/2008 Tentang Fasilitas Pembiayan
Darurat Bagi Bank Umum .
Dalam hal ini penangannya bank gagal dilakukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
untuk bank gagal yang berdampak sistemik dan tidak berdampak sistemik berbeda,
untuk bank gagal berdampak tidak berdampak sistemik ada 2 keputusan yakni upaya
penyelamatan dan tidak penyelamatan (pasal 4 Peraturan Lembaga Penjamin
Simpanan Nomor 3/PLPS/2011 tentang Perubahan Kedua Peraturan LPS Nomor
4/PLPS/2006 tentang Penyelesaian Bank Gagal Yang Tidak Berdampak Sistemik)
sedangkan untuk penangangan bank gagal berdampak sistemik ada 2 cara yang yakni
Penyertaan modal dengan mengikusertakan pemegang saham (open bank assistance)
dan penyertaan modal tanpa mengikut sertakan pemegang saham (pasal 4 Peraturan
Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 3/PLPS/2008 tentang Perubahan Peraturan
Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 5/PLPS/2006 tentang Penanganan Bank Gagal
Yang Berdampak Sistemik.
Selama ini penggunaan bantuan fasilitas lender of the last resort pernah digunakan
dalam untuk menangani bank gagal yakni Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI)
akibat gagalnya 16 bank pada tahun 1998 dan Bank Century pada tahun 2008 yang
diakibatkan gagalnya kalah kliring senilai 5 miliar. Dalam kasus BLBI ini penggunaan
bantuan dalam kasus BLBI, bantuan likuiditas tidak berdiri sendiri, sehingga berakibat
pada lepasnya pengendalian moneter yang berlanjutnya inflasi dan depresiasi mata
uang, akibat lepasnya pengendalian moneter, sedangkan untuk Bank Century
pemberian bantuan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) yang di berikan
melanggar ketentuan yang ada dalam pemenuhan pengajuan bantuan ini dengan
pemenuhan Giro Wajib Minimum (GWM) minimal 8%(delapan persen) berdasarkan
ketentuan berlaku ketentuan yang berlaku saat itu Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/26/PBI/2008 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum,
namun saat itu hanya sebesar Giro Wajib Minimum (GWM) ± 3,53% (minus tiga
koma lima tiga)10, sehinga tidak memenuhi persyaratan bahkan terhadap Peraturan
Bank Indonesia yang telah dirubah per-14 November 2008. Bank Indonesia kemudian
menyetujui pemberian fasilitas ini kepada Bank Century, sekarang dengan
penyelamatan bank ini negara dinilai rugi sebesar Rp 4.1(empat koma satu)Triliiun11.
Operasi bantuan pemberian bantuam lender of the last resort(LLR) sangat berisiko,
sekalipun pinjaman tersebut merupakan alat untuk menjembatani sementara waktu
kebutuhan likuiditas sebuah lembaga bank, namun dari kejadian pemberian fasilitas
ini akhirnya menjadi buruk dan harus ditutup serta diperkirakan juga merugikan
negara karena dalam pemberian bantuan fasilitas lender of the last resort (LLR),
selama ini pengaturan pemberian bantuan fasilitas lender of the last resort (LLR)
terkait bantuan persyaratan pemberian belum begitu memadai karena bank yang
menerima bantuan hanya terbatas untuk mengatasi likuiditas, selain itu kepastian
hukum dalam persyaratan pemberian bantuan lender of the last resort(LLR) dapat
diubah sesuai dengan kondisi yang ada oleh otoritas berwenang yang terkait pada
kondisi yang ada, sehingga menimbulkan ketidakpastian dalam penanganannya yang
menimbulkan kerugian negara seperti yang terjadi dalam kasus Bank Century dimana
pemerintah merubah persyaratan pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek
sehingga terlihat jelas bahwa penetapan yang dilakukan secara tegesa-gesa dan
terkesan dipaksakan.
Dengan demikian maka harus ada kepastian hukum bagi pengaturan bantuan lender of
the last resort (LLR) bagi bank gagal agar tidak merugikan keuangan negara (selama
ini pemberian bantuan selalu merugikan negara), Kepastian hukum dapat terwujud
dengan ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Hukum yang
berlaku pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang, hal ini dikenal juga dengan
istilah fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus
ditegakkan),terdapat dua macam pengertian kepastian hukum, yaitu kepastian hukum
oleh hukum dan kepastian hukum dalam atau dari hukum. Hukum yang berhasil
menjamin banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang berguna.
Kepastian hukum oleh karena hukum memberi tugas hukum yang lain, yaitu keadilan
hukum serta hukum harus tetap berguna. Sedangkan kepastian hukum dalam hukum
tercapai apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya dalam undang-undang. Dalam
undang-undang tersebut terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan (undang-
undang berdasarkan suatu sistem yang logis dan praktis). Undang-undang dibuat
berdasarkan rechtswerkelijkheid (keadaan hukum yang sungguh-sungguh) dan dalam
undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan secara
berlain-lainan.
Menurut gustav radbruch ada 4 hal untuk menciptakan kepastian hukum yaitu;
1. Bahwa hukum itu positif artinya bahwa hukum positif itu adalah perundang-
undangan.
2. Bahwa hukum itu didasarkan pada fakta artinya didasarkan pada kenyataan.
Kepastian hukum merupakan salah satu syarat keabsahan berlakunya suatu kaidah
hukum. Dengan adanya kepastian hukum merupakan salah satu cara upaya penegakan
hukum. Apabila penegakan hukum dapat dilakukan dengan menyelaraskan dengan
kepastian hukum maka diyakini hukum itu akan bermanfaat bagi kepentingan
masyarakat, bangsa dan negara. Menurut Jimly Asshiddiqie menuliskan dalam
makalahnya terkait penegakan hukum, mengemukakan pengertian penegakan hukum
adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma
hukum secara nyata.
maka harus ada upaya untuk mewujudkan hukum menjadi nyata. Sebagaimana
diungkapkan oleh Lawrence M. Friedman ada 3faktor yang terkait yang menentukan
proses penegakan hukum, yaitu
Dalam proses pemberian bantuan fasilitaslender of the last resort (LLR) juga harus
memperhatikan tiga elemen yang di ungkapkan oleh Lawrence M. Friedman harus
terpenuhi. Untuk subtansi hukum melalui mekanisme dan prosedur dalam pembuatan
undang ± undang yang terkait bantuan fasilitas lender of the last resort (LLR) yaitu
dirumuskan pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/31/PBI/2008 Tentang Fasilitas
Pembiayan Darurat Bagi Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia Nomor
14/16/PBI/2012 TentangFasilitas Pendanaan Jangka Pendek, dan Surat Ederan Bank
Indonesia.
Sedangkan untuk kultur hukumnya dalam hal ini membutuhkan kerja sama antar
lembaga otoritas yang berwenang yaitu Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan
Lembaga Penjamin Simpanan dalam menanganin kasus bank gagal sehingga
penanganannya lebih cepat dan tidak menimbulkan dampak yang sistemik pada
lembaga keuangan. Untuk stuktur hukum dalam pemberian bantuan bantuan
fasilitaslender of the last resort (LLR) dilaksanakan oleh Bank Indonesia selaku bank
sentral yang memiliki kewenangan memberikan menyalurkan bantuan lender of the
last resortyang didasarkan pada pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.
Kepastian hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Salah satu
dampak positifnya terkait dengan pemberian bantuan fasilitas lender of the last resort
(LLR)dan blanket guarantee yang diberikan kepada bank gagal merupakan sebagai
wujud kepastian hukum kepada nasabah artinya dengan adanya bantuan fasilitas
lender of the last resort (LLR) oleh bank sentral kepada bank gagal, nasabah akan
menjadi yakin bahwa penarikan dana dari bank akan selalu dapat dipenuhi oleh bank.
Sehingga tidak adanya kekhawatiran dari seorang nasabah mengenai kemampuan
bank untuk memenuhi semua kewajibannya, selain itu menambah nilai kepercayaan
masyarakat akan dananya kepada lembaga keuangan bank
Konsep bail-in diperkenalkan oleh Credit Suisse yang mengatakan bahwa cara terbaik
penangan bank sistemik bermasalah adalah dengan memaksa kreditur, bukan
pembayar pajak, menanggung kerugian bank.11 Andrew Campbell, melalui tulisannya
juga menjelaskan bahwa,
The major technique used to reduce the likelihood of failing banks is an effective
system of regulation and supervision. The responsibility for undertaking the task of
supervision is most commonly given to the central bank, but there is an increasing
tendency towards giving this task to a separate body and, in some countries, this has
resulted in a “super regulator” which has responsibility, not just for the banking sector,
but for the entire financial services sector.
Dalam makalah yang disusun oleh IMF ini dijelaskan bahwa dalam proses bail-in
keberadaan dan status badan hukum dari bank tersebut tetaplah ada dan tidak serta
merta hilang. Idenya adalah untuk menghilangkan bank dari risiko kebangkrutan
dengan cara merestrukturisasi bank tersebut dengan mengoptimalkan dana internal
dari bank itu sendiri tanpa harus mendapatkan suntikan dana dari pemerintah yang
dalam hal ini berupa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Bail-in dapat
dilakukan dengan mengkonversi hutang yang ada menjadi modal saham baru, menjual
sebagian saham kepada orang lain ataupun kombinasi dari keduanya, sehingga
nantinya bail-in akan menjadi alternatif untuk merestrukturisasi bank gagal dengan
dampak sistemik.
Penerapan konsep bail-in di Indonesia perlu didampingi dengan tiga pilar yaitu
pengawasan, internal governance dan disiplin pasar.14 Pengawasan yang dilakukan
oleh bank sentral harus dilengkapi dengan disiplin internal dari perbankan dan displin
eksternal dari pasar atau masyarakat. Tanpa disiplin tersebut, pengawasan tidak akan
mampu untuk mengikuti kemajuan liberalisasi, globalisasi dan kemajuan teknologi
pada instrumen keuangan. Kemudian sistem pengawasan juga harus melibatkan
internal governance, dengan demikian perbankan sendiri harus merupakan tempat
terbaik dalam mengatur dan memelihara praktik manajemen yang sehat. Pilar
pengawasan yang ketiga adalah kehadiran disiplin pasar karena tanpa pasar yang
kompetitif dan punitive atas kegagalan bersaing dipasar maka tidak cukup insentif
bagi pemilik bank, pengurus dan nasabah untuk melakukan keputusan keuangan yang
tepat. Disiplin pasar memerlukan iklim keterbukaan yang kondusif. Untuk itu perlu
dilakukan kaji ulang terhadap ketentuan tentang keterbukaan yang berlaku bagi
perbankan.
E. Kasus Penyelesaian Bank Gagal Berdampak Sistemik
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) selama periode 2005 hingga 2019 telah menangani
sebanyak 98 bank gagal dengan total klaim nasabah mencapai Rp1,4 triliun. Kepala
Kantor Manajemen Strategis & Perumusan Kebijakan LPS Suwandi mengatakan
bahwa jumlah tersebut terdiri atas 96 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang ditutup, 1
Bank Umum yang ditutup, dan 1 Bank Umum yang diselamatkan.Berdasarkan data
LPS, jumlah bank yang ditutup di Jawa Barat mencapai 34 bank, sedangkan Sumatera
Barat sebanyak 16 bank.
Adapun, satu-satunya bank yang berhasil diselamatkan oleh LPS adalah Bank Century
dengan dana yang dikeluarkan mencapai Rp8,1 triliun. Pada 2008, Komite Stabilitas
Sistem Keuangan (KSSK) menyatakan Bank Century menjadi bank gagal dengan
dampak sistemik terhadap sistem perbankan secara kesuluruhan. LPS menyelamatkan
Bank Century dengan skema penyertaan modal sementara sehingga menjadi
pemegang saham terbesar dan mengubah nama Bank Century menjadi Bank Mutiara.
Kemudian, kepemilikan LPS terhadap Bank Mutiara diborong oleh JTrust Co. Ltd
dengan nilai sebesar Rp4,4 triliun, sehingga pemulihan Bank Century oleh LPS hanya
mencapai 50%.
Sementara itu, sepanjang tahun berjalan, LPS telah menangani sebanyak 6 bank gagal,
antara lain BPRS Jabal Tsur di Pasuruan, BPRS Safir di Bengkulu, BPR Panca Dana
di Batu Malang, BPRS Muamalat Yotefa di Papua, BPR Legian di Denpasar, dan
yang belum lama ini terjadi BPR Efita Dana Sejahtera di Depok. Berbeda dengan
karakteristik umum penyebab bank gagal di luar negeri, Suwandi mengatakan bahwa
di Indonesia penyebab utama gugurnya bank masih karena kecurangan yang
dilakukan baik oleh pengurus, direksi, maupun nasabah. "Di Indonesia bank mati
bukan karena kalah bersaing seperti di luar negeri. Kalau di luar negeri itu bank
ditinggalkan oleh nasabahnya karena kalah dalam pelayanan atau produknya dengan
bank lainnya," ujar Suwandi. Dia mengatakan, salah satu contoh kecurangan yang
kerap terjadi pada bank yang mati di Indonesia adalah kecurangan dalam penyusunan
laporan.
Jika berkaca pada struktur keuangan bank yang mati di Indonesia, lanjut dia, bank
tersebut berhasil membukukan pertumbuhan yang datar atau bahkan naik.Namun,
nyatanya setelah diperiksa lebih dalam mayoritas bank tersebut justru menunjukkan
laporan yang tidak kredibel dan memiliki banyak kredit yang macet.Akibatnya, CAR
atau Capital Adequacy Ratio bank tersebut anjlok hingga akhirnya tidak dapat
mengembangkan pertumbuhan usahanya kemudian terpaksa ditutup."Kalau mereka
[bank] tidak mendapatkan suntikan dana baru ya tewas banknya. Itulah pola yang
kerap terjadi di Indonesia," papar Suswandi.Dia mengatakan bahwa terjadinya
kecurangan di perbankan umumnya sebagai imbas dari lemahnya tata kelola
perusahaan yang baik atau penerapan Good Corporate Governance (GCG).
Di sisi lain, Direktur Group Penanganan Premi Penjaminan LPS Samsu Adi Nugroho
mengatakan bahwa jumlah bank yang gagal tersebut tidak menjadikan kondisi
perbankan nasional dalam keadaan yang buruk."Jumlah 98 bank itu dari 1.800an bank
di seluruh Indonesia, jadi sebenarnya kita [perbankan Indonesia] itu dalam kondisi
baik. Jadi jumlah tersebut tidak terlalu signifikan ya dari sistem perbankan nasional,"
papar Adi.Adapun, berdasarkan data LPS, hingga 30 Juni 2019, bank peserta
penjaminan LPS berjumlah 1.856 bank yang terdiri atas 113 bank umum dan 1.743
BPR.Adi juga menilai industri perbankan Indonesia masih relatif kuat, bahkan lebih
kokoh dibandingkan dengan negara lain yang memiliki perbankan dengan nilai CAR
yang tinggi.
"Oleh karena itu, masyarakat tidak perlu khawatir dan takut apapun kondisi perbankan
karena ada LPS yang sesuai ketentuan akan menjamin simpanan nasabah," ujar
Adi.Sebagai informasi, total aset LPS saat ini telah mencapai Rp110 triliun, menjadi
lembaga penjaminan dengan balance sheet ketiga terbesar di Asia setelah Jepang dan
Korea Selatan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kriteria bank gagal berdampak sistemik membutuhkan penilaian yang mendalam
dari berbagai indikator, baik indikator yang dapat diukur maupaun indikator-indikator
yang tidak dapat diukur. Indikator yang dapat diukur seperti tingkat kesehatan bank
yang berdasarkan pada penilaian aspek CAMELS, sedangkan indikator yang tidak
dapat diukur seperti psikologi masa dan kestabilan perekonomian baik secara nasional
maupun global, serta kegiatan usaha yang dilakukan suatu bank dapat mengganggu
kesehatan bank-bank lainnya apabila bank tersebut mengalami kesulitan keuangan atau
gagal.
2. Pengaturan hukum mengenai kriteria bank gagal berdampak sistemik tidak
diperlukan untuk diatur secara jelas dalam Undang-Undang mengingat perkembangan
ekonomi yang sangat bersifat situasional dan dapat menimbulkan indikator-indikator
baru yang dapat mendorong terjadinya bank gagal berdampak sistemik, selain itu bank
gagal berdampak sistemik dapat terjadi dalam waktu cepat yang membutuhkan
penanganan yang cepat pula, selain itu apabila kriteria bank gagal berdampak sistemik
diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan, dikhawatirkan dapat
menimbulkan moral hazard.
3. Pengaturan hukum yang tidak mengatur secara jelas terkait bank gagal berdampak
sistemik membuat Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang independen yang
berperan
dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, menunjuk lembaga lain sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 28 PBI: 15/2/PBI/2013 untuk menetapkan status bank gagal
berdampak sistemik, lembaga yang dimaksud adalah lembaga-lembaga seperti
Lembaga Penjamin Simpanan yang menjamin dana nasabah dalam usaha perbankan,
Otoritas Jasa Keuangan yang berperan dalam pengaturan dan pengawasan di sektor
keuangan, yang tergabung dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan
(FKSSK) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 45 UU OJK untuk membentuk
kebijakan dan cara penanganan suatu masalah yang ditenggarai akan membahayakan
stabilitas sistem keuangan. FKSSK itu sendiri beranggotakan Menteri Keuangan, Bank
Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, yang
bekerjasama untuk tercapainya kestabilan sistem keuangan sehingga peran lembaga-
lembaga tersebut menjadi penting.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Anita Christiani, Th., 2010, Hukum Perbankan Analisis Independensi Bank Indonesia, Badan Supervisi,
LPJK, Bank Syariah, dan Prinsip Mengenal Nasabah, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.
Dahlan Siamat, 2005, Manajemen Lembaga Keuangan; Kebijakan Moneter dan Pebankan, Edisi V,
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Kencana Pernada Media Group, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3
Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Bank
Indonesia.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 7
Tahun 2009 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem
Keuangan.