Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH TENTANG

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP

PENETAPAM BANK GAGAL BERDAMPAK SISTEMIK

Disusun Oleh :

Vina Ragil Aprilia

20804244039
Program Studi Pendidikan Ekonomi

Universitas Negeri Yogyakarta

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena
dengan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “ Tinjauan
Yuridis Terhadap Penetapan Bank Gagal Berdampak Sistemik ” ini dengan tepat
waktu dan tanpa adanya halangan satu pun.

Penulis pun mengucapkan terimaksih kepada tim yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan makalah ini. Kemudian penulis juga menyadari jika dalam
makalah ini masih banyak kekurangan. Penulis juga meminta maaf jika adanya
kesalahan dalam makalah ini maka penulis siap untuk menenrima kritik dan saran.
Penulis juga berharap , semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi orang lain.

Yogyakarta, 5 Juli 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................2
DAFTAR ISI....................................................................................................................................3
BAB I...............................................................................................................................................3
PENDAHULUAN...........................................................................................................................3
A. Latar Belakang........................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................7
C. Tujuan dan Manfaat................................................................................................................7
BAB II..............................................................................................................................................8
PEMBAHASAN..............................................................................................................................8
A. Bank Gagal Berdampak Sistemik...........................................................................................8
B. Penanganan Bank Gagal Berdampak Sistemik.......................................................................9
C. Pengaturan Tentang Lender Of The Last Resort Bagi Bank Gagal Untuk Memberikan
Kepastian Hukum.................................................................................................................13
D. Kebijakan Penyelamatan Bank Gagal Sistemik Melalui Mekanisme Bail-In......................18
E. Kasus Penyelesaian Bank Gagal Berdampak Sistemik........................................................19
BAB III...........................................................................................................................................21
PENUTUP......................................................................................................................................21
A. Kesimpulan............................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................22
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lembaga Perbankan di Indonesia yang berkembang menjadikan perbankan sebagai
komponen yang penting dalam perekonomian nasional saat ini, lembaga perbankan
sudah dikenal di Indonesia sejak VOC mendirikan Bank Van Leening pada tahun
1746 yang kemudian menjadi De Bank Courant en Bank Van Leening pada tahun
1752 di Jawa yang merupakan bank pertama di Indonesia.1 Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 Tentang Perbankan menyatakan bahwa perbankan adalah segala sesuatu
yang menyangkut tentang bank, mecakup tentang kelembagaan, kegiatan usaha, serta
cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.

Lembaga perbankan semakin mendapat kepercayaan masyarakat Indonesia hal ini


terbukti dengan semakin tumbuh dan berkembangannya bank mulai dari jenis hingga
bermacam-macam kegiatan operasional perbankan yang ditawarkan kepada
masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 angka 2 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, yang
dimaksud dengan bank:

“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”

Kegiatan operasional bank tidak dapat dipisahkan dari masyarakat yang dikenal dalam
dunia perbankan sebagai nasabah, nasabah sebagaimana yang tertera dalam Pasal 1
angka 16 UU No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan adalah pihak yang menggunakan jasa bank.
Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang fungsi utamanya sebagai
penghimpun dan penyalur dana masyarakat, ini berarti kita akan membicarakan
peraturan hukum (norma hukum) dan asas-asas hukum, struktur hukum, dan budaya
hukum yang mengatur segala sesuatu yang menyangkut tentang bank.2 Dasar
perikatan antara nasabah dan bank adalah rasa kepercayaan, yang mengharuskan bank
agar dapat terus menjaga kepercayaan nasabah/masyarakat dalam setiap bentuk
kegiatan operasionalnya, oleh karena itu kegiatan perbankan membutuhkan aturan
hukum yang dapat menjaga hubungan bank dan nasabah, hukum perbankan yang
berisi segala norma hukum yang berlaku dan mengikat dalam bentuk peraturan
perundang-undangan dan praktek perbankan yang diakui baik secara tertulis maupun
yang tidak tertulis.3 Bank dalam melakukan kegiatan operasionalnya dituntut untuk
menjaga kepercayaan dari nasabah/masyarakat hal ini tergambar dalam Pasal 29 UU
No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan,
terutama dalam Pasal 29 ayat (3) yang menekankan asas kepercayaan nasabah dan
Pasal 29 ayat (2) yang menekankan prinsip kehati-hatian yang berlaku umum dalam
usaha perbankan yang menjalankan kegiatan usahanya. Menurut Theresia Anita
Christiani:

“Hubungan kepercayaan merupakan hubungan yang esensial dalam beroperasinya


sebuah Bank. Sebuah Bank tidak dapat beroperasi dan melakukan usahanya secara
terus-menerus bila tidak mendapatkan kepercayaan dari masyrakat. Hal tersebut
terjadi karena dalam praktik masyarakat mempunyai berbagai pilihan untuk
mempercayakan dananya, seperti di lembaga asuransi ataupun pasar modal atau bisa
jadi masyarakat lebih memilih untuk menyimpan kelebihan uang mereka dengan
membeli tanah ataupun perhiasan.”4

Perkembangan lembaga perbankan yang sangat pesat berdampak pada bertambah


tingginya risiko akan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan yang
rentan dalam menjaga tingkat kesehatan bank. Jumlah bank yang sangat banyak
apabila dilihat dari sisi masyarakat akan memberikan banyak pilihan dan alternatif
untuk menentukan bank mana yang dianggap aman sebagai tempat untuk melakukan
investasi yang dapat sewaktu-waktu dapat diambil.5 Dengan semakin meluasnya dan
banyaknya lembaga perbankan maka pengaturan hukum dan pengawasan terhadap
bank sangat dibutuhkan agar terbentuk suatu sistem perbankan yang baik demi
tercapainya bank-bank yang sehat secara finansial, dikelola dengan baik dan
profesional, serta tidak mengandung segi-segi yang dapat mengancam kepentingan
masyarakat sehingga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan tetap
terjaga.

Bank Indonesia yang merupakan Bank Sentral dari seluruh lembaga perbankan di
Indonesia diberi wewenang dan tugas untuk melaksanakan kebijakan moneter secara
berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum
pemerintah di bidang perekonomian agar tercapai dan terpeliharanya kesetabilan nilai
rupiah sebagaimana yang tertera dalam Pasal 7 UU No. 3 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dengan demikian
lembaga yang bertanggung jawab atas terwujudnya sistem perbankan yang sehat
adalah Bank Sentral.6

Perkembangan ekonomi suatu negara tidak terlepas dari pertumbuhan dan/atau


kesetabilan perekonomian dunia yang sewaktu-waktu dapat menekan perekonomian
suatu negara dan menyebabkan krisis perekonomian, sehingga dapat menggangu
kesehatan suatu lembaga perbankan yang dapat mengakibatkan hilangnya
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan. Meski pemerintah Indonesia
terus berupaya menanggulangi krisis dan menyelesaikan krisis perbankan dengan
membentuk banyak lembaga dan peraturan perundang-undangan akan tetapi selalu
saja kelemahan lembaga dan kelemahan hukum ditenggarai menjadi penghambat
utama dalam penanganan krisis perbankan di Inonesia, struktur perbankan yang rentan
karena tahap konsolidasi yang dijalankan pemerintah Indonesia ditambah dengan
kelemahan-kelemahan hukum yang terkait melahirkan hambatan dalam penanganan
krisis perbankan.7

Krisis perbankan akan berdampak langsung pada kepercayaan masyarakat terhadap


lembaga perbankan, oleh sebab itu maka tingkat kesehatan suatu bank harus terus
dijaga agar tetap dipercayai oleh masyarakat. Tingkat kesehatan bank dapat diukur
dari beberapa faktor berikut antara lain: permodalan, kualitas aktiva produktif,
kualitas manajemen, rentabilitas, dan likuiditas suatu bank. Dalam penilaian terhadap
tingkat kesehatan bank, Bank Indonesia diberi kewenangan untuk menentukan sistem
penilaian kesehatan bank berdasarkan UU No. 23 Tahun 1999 jis. UU No. 3 Tahun
2004 jis. UU No. 6 Tahun 2009 Tentang Bank Indonesia dan UU No.7 Tahun 1992 jo.
UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.8 Bank yang tidak sehat akan kehilangan
kepercayaan masyarakat, kelangsungan usaha bank tidak dapat dilanjutkan
mengakibatkan bank tersebut menjadi bank gagal yang dapat dicabut ijin usahanya.
Atas dasar pertimbangan tersebut, baik pemilik dan pengelolaan bank maupun otoritas
yang terlibat dalam pengaturan dan pengawasan bank, harus bekerjasama
mewujudkan kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan.9

Suatu bank yang tidak dapat menjaga tingkat kesehatan bank disebut sebagai Bank
Gagal, dalam Pasal 1 angka 7 UU No. 24 Tahun 2004 jo. UU No. 7 Tahun 2009
Tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS) mendefenisikan:
“Bank Gagal (failing bank) adalah bank yang mengalami kesulitan keuangan dan
membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan
oleh LPP sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.”

dalam UU LPS dikenal ada 2 jenis Bank Gagal, yaitu; Bank gagal tidak berdampak
sistemik, dan bank gagal berdampak sistemik, hal ini dimuat dalam BAB V UU LPS.

Kasus Bank Century yang ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik yang
masih menuai pro dan kontra hingga saat ini dikarenakan tidak ada satu peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang memberikan pengertian secara
jelas tentang bank gagal berdampak sistemik tersebut, tidak adanya pengertian hukum
yang jelas membuat berkurangnya kepastian hukum. Apalagi jika terjadi kesalahan
dalam memahami pengertian hukum akan berakitbat fatal bagi pencari keadilan.10
Pada saat itu ada Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Perpu JPSK) yang dikeluarkan
untuk menghadapi krisis perekonomian yang mengacam stabilitas sistem keuangan
nasional, dalam Pasal 1 angka 4 Perpu JPSK memberikan pengertian Berdampak
Sistemik:

“Berdampak Sistemik adalah suatu kondisi sulit yang ditimbulkan oleh suatu bank,
LKBB, dan/atau gejolak pasar keuangan yang apabila tidak diatasi dapat
menyebabkan kegagalan sejumlah bank dan/atau LKBB lain sehingga menyebabkan
hilangnya kepercayaan terhadap sistem keuangan dan perekonomian nasional.”

Kriteria kondisi sulit yang dimaksud dalam Pasal di atas tidak dijelaskan dalam
penjelasan Pasal tersebut, sehingga dalam penetapan status Bank Century sebagai
bank gagal berdampak sistemik oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK)
dipertanyakan dasar hukumnya, KSSK menetapkan Bank Century sebagai bank gagal
berdampak sistemik dan menyerahkan penanganannya kepada LPS berdasarkan
rekomendasi Bank Indonesia yang mengindentifikasi likuidasi Bank Century
berdampak sistemik yang akan membahayakan perekonomian nasional. Lain sisi
KSSK yang dalam Perpu JPSK, untuk mengambil suatu keputusan harus
mengevaluasi skala dan dimensi permasalahan likuiditas yang ditenggarai berdampak
sistemik, namun ada desakan dari Bank Indonesia yang menyatakan bahwa penetapan
status bank gagal berdampak sistemik pada Bank Century harus segera dilakukan jika
tidak maka akan terjadi krisis perbankan yang lebih besar, oleh sebab itu KSSK
menetapkan status Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dalam
waktu singkat sehingga menuai pro dan kontra. Dengan melihat hal tersebut, maka
dapat dikatakan ada benturan kelembagaan antara Bank Indonesia sebagai Bank
Sentral yang independen dengan lembaga lain seperti JPSK dalam penetapan status
bank gagal berdampak sistemik sehingga menimbulkan hambatan tersendiri atas
penetapan status bank gagal berdampak sistemik yang membutuhkan penanganan
yang tepat dan cepat agar memberikan kepastian hukum baik kepada bank maupun
kepada nasabah, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan tetap
terjaga.Perpu JPSK rupanya tidak disetujui oleh DPR untuk menjadi Undang- Undang
sehingga Perpu tersebut harus dicabut, namun ada Undang-Undang Nomor 21 Taun
2011 Tentang Otoritas Jasa Keungan (UU OJK) yang membentuk Forum Koordinasi
Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) yang mirip dengan KSSK, namun tidak ada
Pasal yang mengindentifikasi kriteria bank gagal berdampak sistemik.

Pengaturan hukum yang tidak jelas terkait bank gagal berdampak sistemik
mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat/nasabah terhadap lembaga
perbankan, kurangnya pemahaman masyarakat akan bank gagal berdampak sistemik
dapat menimbulkan efek berkelanjutan (efek domino) terhadap bank-bank lainnya
sehingga akan berdampak langsung pada perekonomian nasional, dan menimbulkan
krisis perekonomian yang lebih luas. Penggunaan dana APBN dalam penanganan
bank gagal berdampak sistemik juga akan menimbulkan gejolak tersendiri di dalam
masyarakat terhadap pertanggung jawaban pemerintah dan lembaga perbankan,
APBN yang merupakan uang rakyat digunakan untuk menghidupkan bank dan
mengganti uang nasabah. Banyaknya lembaga yang berperan dalam penetapan status
suatu bank sebagai bank gagal berdampak sistemik dapat mengakibatkan lambannya
penanganan, sehingga penanganan krisis menjadi kurang efektif dan efisien, maka
penelitian hukum ini menjadi relevan untuk ditinjau sacara normatif agar menemukan
suatu peraturan hukum yang baik terhadap penetapan bank gagal berdampak sistemik
yang sesuai dengan norma, prinsip, dan aturan hukum yang berlaku di Indonesia saat
ini, sehinggadalam penerapannya dapat memberikan kepastian hukum kepada
lembaga perbankan dan kepada masyarakat sebagai nasabah, serta penanganan krisis
yang baik.

B. Rumusan Masalah
1. Apa kriteria suatu bank dapat ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik?
2. Apakah kriteria bank gagal berdampak sistemik perlu diatur secara jelas dalam pengaturan
hukum?
3. Apa pentingnya peran lembaga dalam penetapan bank gagal berdampak sistemik?

C. Tujuan dan Manfaat


1. Mengetahui dan menganalisis kriteria suatu bank dapat dikatakan sebagai bank gagal
berdampak sistemik.
2. Mengetahui dan menganalisis perlu atau tidaknya kriteria bank gagal berdampak sistemik
diatur secara jelas dalam pengaturan hukum.
3. Mengetahui dan menganalisis pentingnya peran lembaga dalam penetapan bank gagal
berdampak sistemik.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Bank Gagal Berdampak Sistemik


Pembahasan mengenai Bank gagal Berdampak Sistemik, maka tidak dapat dilepaskan
dari pengertian Bank Sistemik terlebih dahulu. Bank Sistemik adalah bank yang
karena ukuran aset, modal, dan kewajiban; luas jaringan atau kompleksitas transaksi
atas jasa perbankan; serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat
mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan bank lain atau sektor jasa
keuangan, baik secara operasional maupun finansial, jika bank tersebut mengalami
gangguan atau gagal.5
Untuk mencegah Krisis Sistem Keuangan di bidang perbankan, Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) menetapkan Bank
Sistemik. Penetapan Bank Sistemik pertama kali dilakukan pada kondisi Stabilitas
Sistem Keuangan normal. Pemutakhiran daftar Bank Sistemik tersebut dilakukan
secara berkala setiap enam bulan sekali, dan hasilnya disampaikan kepada KSSK. 6
Dalam melaksanakan kegiatannya, Bank Sistemik diawasi oleh OJK. Status
pengawasan Bank Sistemik terdiri atas:
1. pengawasan normal;
2. pengawasan intensif; atau
3. pengawasan khusus.
Bank Sistemik yang sedang dalam pengawasan dengan status apapun, dan
dinilai memiliki permasalahan signifikan, wajib menyampaikan rencana aksi
(recovery plan) untuk permasalahan keuangan.7 Untuk Bank Sistemik dalam
pengawasan normal dan intensif, diharuskan juga menyampaikan rencana tindak
(action plan) kepada OJK untuk permasalahan selain permasalahan keuangan.8
Status pengawasan intensif diberikan OJK dalam hal Bank dinilai memiliki potensi
kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha, yaitu jika memenuhi satu atau
lebih kriteria:
a. rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) sama dengan atau lebih
besar dari 8% (delapan persen) namun kurang dari rasio KPMM sesuai profil
risiko Bank yang wajib dipenuhi oleh Bank;
b. rasio modal inti (tier 1) kurang dari persentase tertentu yang ditetapkan oleh OJK;
c. rasio Giro Wajib Minimum (GWM) dalam rupiah sama dengan atau lebih besar
dari rasio yang ditetapkan untuk GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi oleh Bank,
namun berdasarkan penilaian OJK Bank memiliki permasalahan likuiditas mendasar;
d. rasio kredit bermasalah secara neto (Non Performing Loan/NPL net) atau rasio
pembiayaan bermasalah secara neto (Non Performing Financing/NPF net) lebih dari
5% (lima persen) dari total kredit atau total pembiayaan;
e. tingkat kesehatan Bank dengan peringkat komposit 4 (empat) atau peringkat
komposit 5 (lima); dan/atau
f. tingkat kesehatan Bank dengan peringkat komposit 3 (tiga) dan tata kelola dengan
peringkat faktor tata.
Status pengawasan khusus diberikan OJK dalam hal bank mengalami kesulitan
yang membahayakan kelangsungan usaha dengan memenuhi satu atau lebih kriteria:
a. rasio KPMM kurang dari 8% (delapan persen); dan/atau
b. rasio GWM dalam rupiah kurang dari rasio yang ditetapkan untuk GWM dalam
rupiah yang wajib dipenuhi oleh Bank, dan berdasarkan penilaian OJK:
1) Bank mengalami permasalahan likuiditas mendasar; atau
2) Bank mengalami perkembangan likuiditas yang memburuk dalam waktu
singkat.
Dalam hal bank tidak dapat disehatkan lagi oleh OJK, maka bank disebut
sebagai bank gagal.Undang-Undang mendefinisikan Bank Gagal (failing bank) adalah
bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan
usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh Lembaga Pengawas
Perbankan (LPP) sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.10 Bank Sistemik yang
mengalami kegagalan disebut Bank Gagal Berdampak Sistemik.

B. Penanganan Bank Gagal Berdampak Sistemik


Penanganan permasalahan Bank Sistemik, baik dalam kondisi stabilitas sistem
keuangan normal maupun kondisi krisis sistem keuangan merupakan bagian dari
upaya pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan.

Penanganan permasalahan Bank Sistemik meliputi penanganan permasalahan


likuiditas dan solvabilitas Bank Sistemik,1yang masuk dalam salah satu tugas KSSK.
Dalam tatataran teknis selanjutnya, KSSK menyerahkan penanganan permasalahan
solvabilitas Bank Sistemik kepada LPS. Meski telah menyerahkan penanganan
permasalahan bank sistemik ke LPS, wewenang KSSK tidak hilang, karena KSSK
masih bisa menetapkan langkah yang harus dilakukan oleh anggota KSSK untuk
mendukung pelaksanaan penanganan permasalahan Bank Sistemik oleh LPS.
Tanggung jawab atas penanganan permasalahan Bank Sistemik juga masih ada pada
KSSK, dengan adanya kewajiban KSSK melapor kepada Presiden atas penanganan
permasalahan Bank Sistemik.

1. Permasalahan Likuiditas

Bank Sistemik wajib memenuhi ketentuan khusus mengenai rasio kecukupan

likuiditas.18 Bank Sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas dapat mengajukan


permohonan kepada Bank Indonesia untuk mendapatkan pinjaman likuiditas jangka
pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah.
Pemberian pinjaman/pembiayaan likuiditas dimaksud harus dijamin dengan agunan
yang berkualitas tinggi berupa surat berharga yang memiliki peringkat tinggi dan
mudah dicairkan

Untuk keperluan tersebut, OJK melakukan penilaian mengenai pemenuhan


persyaratan solvabilitas dan tingkat kesehatan Bank Sistemik. BI bersama OJK
melakukan penilaian mengenai pemenuhan persyaratan agunan, perkiraan
kemampuan Bank Sistemik untuk mengembalikan, dan Pengawasan atas penggunaan
dan pelaksanaan pembayaran kembali pinjaman/pembiayaan likuiditas.

2. Permasalahan Solvabilitas

Permasalahan solvabilitas ditangani oleh LPS, setelah mendapat perintah dari

KSSK.21 Dalam hal Bank Sistemik kondisinya memburuk dan ditetapkan sebagai
Bank dalam pengawasan khusus, OJK meminta LPS melakukan persiapan
penanganan Bank Sistemik. Dengan koordinasi LPS, OJK akan:

a. meminta pengurus bank untuk menjaga kondisi keuangan bank sehingga tidak
terjadi penurunan aset dan/atau peningkatan kewajiban Bank Sistemik secara material;

b. meminta pengurus bank untuk mendukung pelaksanaan pengalihan aset dan


kewajiban Bank Sistemik; dan/atau

c. memfasilitasi LPS dalam melakukan pemasaran atas aset dan/atau kewajiban Bank
Sistemik dan memfasilitasi calon bank penerima untuk melakukan uji tuntas dalam
hal akan dilakukan pengalihan aset dan/atau kewajiban Bank Sistemik.22
Apabila permasalahan solvabilitas Bank Sistemik masih belum teratasi, OJK meminta
penyelenggaraan rapat KSSK disertai dengan rekomendasi langkah penanganan
permasalahan Bank Sistemik.

Rapat KSSK diselenggarakan untuk menetapkan langkah penanganan permasalahan


solvabilitas Bank Sistemik, dengan cara:

a. memutuskan penyerahan Bank Sistemik kepada LPS untuk dilakukan penanganan;


dan

b. menetapkan langkah yang harus dilakukan oleh Menteri Keuangan, Gubernur Bank
Indonesia, dan Ketua Dewan Komisioner OJK sesuai dengan wewenang masing-
masing untuk mendukung pelaksanaan penanganan Bank Sistemik oleh LPS. 23

Untuk penanganan Bank Gagal Sistemik, LPS menghitung dan menetapkan

perkiraan biayanya, berupa biaya untuk menambah modal disetor bank yang
bersangkutan sampai bank tersebut memenuhi ketentuan yang berlaku mengenai
tingkat kesehatan bank. Perkiraan biaya tersebut adalah sebesar jumlah kekurangan
KPMM yang ditetapkan oleh LPP dan dapat ditambah dengan jumlah tertentu yang
dipandang perlu oleh LPS, yang meliputi seluruh biaya yang diperlukan agar Bank
Gagal masuk dalam kategori sehat pada aspek keuangan.24 LPS bertanggung jawab
atas seluruh biaya penanganan Bank Gagal Sistemik tersebut.25 Seluruh biaya
penanganan Bank Gagal Sistemik yang dikeluarkan oleh LPS menjadi penyertaan
modal sementara LPS pada bank. 26

Dana untuk menangani permasalahan solvabilitas Bank Sistemik bersumber dari


kekayaan LPS. Untuk itu, LPS:

a. menjual Surat Berharga Negara yang dimilikinya melalui pasar, kepada Bank
Indonesia dan/atau pihak lain; dan/atau

b. memperoleh pinjaman dari pihak lain.

Terhitung sejak LPS menetapkan untuk melakukan penanganan Bank Gagal

Sistemik, maka LPS mengambil alih segala hal dan wewenang Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS), kepemilikan, kepengurusan, dan/atau kepentingan lain
pada bank dimaksud. Pemegang saham dan pengurus bank tidak dapat menuntut LPS
atau pihak yang ditunjuk LPS dalam hal penanganan tidak berhasil, sepanjang LPS
atau pihak yang ditunjuk LPS melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

Setelah LPS mengambil alih segala hak dan wewenang Bank Sistemik, LPS dapat
melakukan tindakan sebagai berikut:

a. menguasai, mengelola, dan melakukan tindakan kepemilikan atas aset milik atau

yang menjadi hak-hak bank dan/atau kewajiban bank;

b. melakukan penyertaan modal sementara;

c. menjual atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan nasabah debitur dan/atau

kewajiban bank tanpa persetujuan nasabah kreditur.

d. Mengalihkan manajemen bank kepada pihak lain;

e. Melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;

f. Melakukan pengalihan kepemilikan bank; dan

g. Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah kontrak bank

yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut LPS merugikan bank. 29
Penanganan permasalahan solvabilitas Bank Sistemik oleh LPS dilakukan

dengan cara:

a. mengalihkan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank Sistemik kepada

Bank penerima;

b. mengalihkan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank Sistemik kepada

Bank Perantara; atau

c. melakukan penanganan Bank sesuai dengan Undang-Undang mengenai LPS.

LPS harus segera menjual Bank Pe

Selisih kurang antara dana hasil penjualan Bank Perantara ditambah hasil likuidasi
Bank Sistemik yang telah ditangani permasalahannya dan dana yang dikeluarkan LPS
untuk penanganan permasalahan Bank Sistemik, merupakan biaya penanganan
permasalahan Bank Sistemik bagi LPS dan bukan merupakan kerugian keuangan
negara. Sementara itu, selisih lebih antara dana hasil penjualan Bank Perantara
ditambah hasil likuidasi Bank Sistemik yang telah ditangani permasalahannya dan
dana yang dikeluarkan LPS untuk penanganan permasalahan Bank Sistemik,
merupakan penambah kekayaan LPS.

Penanganan Bakal Gagal Sistemik dilakukan dengan cara:

a. Mengikutsertakan pemegang saham,


b. Tanpa mengikutsertakan pemegang saham.

LPS wajib menjual seluruh saham bank dalam penanganan paling lama 3 (tiga)

tahun sejak:

a. Tanggal penyerahan, dalam hal penanganan dilakukan dengan mengikutsertakan


pemegang saham. Penyerahan dilakukan atas segala hak, kepemilikan, kepengurusan,
dan/atau kepentingan lain pada bank dimaksud;

b. Tanggal dimulainya penanganan, dalam hal penanganan dilakukan tanpa


mengikutsertakan pemegang saham.

Penjualan saham Bank Gagal yang Berdampak Sistemik dilakukan secara terbuka dan
transparan, dengan tetap mempertimbangkan tingkat pengembalian yang optimal bagi
LPS. Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal bagi LPS tidak dapat diwujudkan
dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun, jangka waktu dapat diperpanjang sebanyak-
banyaknya 2 (dua) kali dengan masing-masing perpanjangan selama 1 (satu) tahun.
Pasca perpanjangan waktu, bila LPS belum bisa menjual saham Bank Gagal yang
Berdampak Sistemik, maka LPS menjual sahan bank tanpa memperhatikan
pengembalian yang optimal dalam waktu 1 (satu) tahun berikutnya. Seluruh biaya
yang timbul sehubungan dengan penjualan saham bank berdasarkan Peraturan LPS
Nomor 5/PLPS/2006 sebagaimana diubah dengan Peraturan LPS Nomor
3/PLPS/2008 menjadi beban pemegang saham.

Dalam hal bank yang ditangani adalah Bank BUMN, maka penjualan saham
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan dan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Bila bank tersebut sahamnya diperdagangkan di
pasar modal, maka penjualan saham juga harus memenuhi peraturan perundang-
undangan di bidang pasar modal.

Penanganan Bank Gagal Sistemik dinyatakan berakhir apabila LPS menjual seluruh
saham, dengan ditetapkan dalam suatu Keputusan Dewan Komisioner. Atas selesainya
penanganan Bank Gagal Sistemik, LPS memberitahukan kepada KSSK.

C. Pengaturan Tentang Lender Of The Last Resort Bagi Bank Gagal Untuk
Memberikan Kepastian Hukum
Bank menerima Fasilitas Pembiayaan Darurat ini diharapkan bank dapat memenuhi
likuiditasinya dan mengalami kenaikan rasio kewajiban penyediaan modal minimum
paling sebesar 8% (delapan persen) yang disyaratkan, jika dalam pemberian ini bank
masih belum bisa melunasi Fasilitas Pembiayaan Darurat dalam jangka waktu yang
ditentukan maka bank dikatakan sebagai bank gagal yang penanganan selanjutnya
diserahkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) didasarkan Pasal 19 ayat 3
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/31/PBI/2008 Tentang Fasilitas Pembiayan
Darurat Bagi Bank Umum .

Dalam hal ini penangannya bank gagal dilakukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
untuk bank gagal yang berdampak sistemik dan tidak berdampak sistemik berbeda,
untuk bank gagal berdampak tidak berdampak sistemik ada 2 keputusan yakni upaya
penyelamatan dan tidak penyelamatan (pasal 4 Peraturan Lembaga Penjamin
Simpanan Nomor 3/PLPS/2011 tentang Perubahan Kedua Peraturan LPS Nomor
4/PLPS/2006 tentang Penyelesaian Bank Gagal Yang Tidak Berdampak Sistemik)
sedangkan untuk penangangan bank gagal berdampak sistemik ada 2 cara yang yakni
Penyertaan modal dengan mengikusertakan pemegang saham (open bank assistance)
dan penyertaan modal tanpa mengikut sertakan pemegang saham (pasal 4 Peraturan
Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 3/PLPS/2008 tentang Perubahan Peraturan
Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 5/PLPS/2006 tentang Penanganan Bank Gagal
Yang Berdampak Sistemik.

Selama ini penggunaan bantuan fasilitas lender of the last resort pernah digunakan
dalam untuk menangani bank gagal yakni Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI)
akibat gagalnya 16 bank pada tahun 1998 dan Bank Century pada tahun 2008 yang
diakibatkan gagalnya kalah kliring senilai 5 miliar. Dalam kasus BLBI ini penggunaan
bantuan dalam kasus BLBI, bantuan likuiditas tidak berdiri sendiri, sehingga berakibat
pada lepasnya pengendalian moneter yang berlanjutnya inflasi dan depresiasi mata
uang, akibat lepasnya pengendalian moneter, sedangkan untuk Bank Century
pemberian bantuan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) yang di berikan
melanggar ketentuan yang ada dalam pemenuhan pengajuan bantuan ini dengan
pemenuhan Giro Wajib Minimum (GWM) minimal 8%(delapan persen) berdasarkan
ketentuan berlaku ketentuan yang berlaku saat itu Peraturan Bank Indonesia Nomor
10/26/PBI/2008 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum,
namun saat itu hanya sebesar Giro Wajib Minimum (GWM) ± 3,53% (minus tiga
koma lima tiga)10, sehinga tidak memenuhi persyaratan bahkan terhadap Peraturan
Bank Indonesia yang telah dirubah per-14 November 2008. Bank Indonesia kemudian
menyetujui pemberian fasilitas ini kepada Bank Century, sekarang dengan
penyelamatan bank ini negara dinilai rugi sebesar Rp 4.1(empat koma satu)Triliiun11.

Operasi bantuan pemberian bantuam lender of the last resort(LLR) sangat berisiko,
sekalipun pinjaman tersebut merupakan alat untuk menjembatani sementara waktu
kebutuhan likuiditas sebuah lembaga bank, namun dari kejadian pemberian fasilitas
ini akhirnya menjadi buruk dan harus ditutup serta diperkirakan juga merugikan
negara karena dalam pemberian bantuan fasilitas lender of the last resort (LLR),
selama ini pengaturan pemberian bantuan fasilitas lender of the last resort (LLR)
terkait bantuan persyaratan pemberian belum begitu memadai karena bank yang
menerima bantuan hanya terbatas untuk mengatasi likuiditas, selain itu kepastian
hukum dalam persyaratan pemberian bantuan lender of the last resort(LLR) dapat
diubah sesuai dengan kondisi yang ada oleh otoritas berwenang yang terkait pada
kondisi yang ada, sehingga menimbulkan ketidakpastian dalam penanganannya yang
menimbulkan kerugian negara seperti yang terjadi dalam kasus Bank Century dimana
pemerintah merubah persyaratan pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek
sehingga terlihat jelas bahwa penetapan yang dilakukan secara tegesa-gesa dan
terkesan dipaksakan.

Dengan demikian maka harus ada kepastian hukum bagi pengaturan bantuan lender of
the last resort (LLR) bagi bank gagal agar tidak merugikan keuangan negara (selama
ini pemberian bantuan selalu merugikan negara), Kepastian hukum dapat terwujud
dengan ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Hukum yang
berlaku pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang, hal ini dikenal juga dengan
istilah fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus
ditegakkan),terdapat dua macam pengertian kepastian hukum, yaitu kepastian hukum
oleh hukum dan kepastian hukum dalam atau dari hukum. Hukum yang berhasil
menjamin banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang berguna.
Kepastian hukum oleh karena hukum memberi tugas hukum yang lain, yaitu keadilan
hukum serta hukum harus tetap berguna. Sedangkan kepastian hukum dalam hukum
tercapai apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya dalam undang-undang. Dalam
undang-undang tersebut terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan (undang-
undang berdasarkan suatu sistem yang logis dan praktis). Undang-undang dibuat
berdasarkan rechtswerkelijkheid (keadaan hukum yang sungguh-sungguh) dan dalam
undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan secara
berlain-lainan.

Menurut gustav radbruch ada 4 hal untuk menciptakan kepastian hukum yaitu;

1. Bahwa hukum itu positif artinya bahwa hukum positif itu adalah perundang-
undangan.

2. Bahwa hukum itu didasarkan pada fakta artinya didasarkan pada kenyataan.

3. Bahwa fakta harus dirumuskan secara jelas sehingga menghindari kekeliruan di


dalam pemaknaan, disamping itu mudah dilaksanakan.

4. Hukum positif tidak boleh mudah diubah.


Untuk meminimalkan terulangnya sistemic risk pada sektor keuangan
khususnyasistem perbankan, maka Bank Indonesia membuat suatu kebijakan
penyempurnaan dalam sistem perbankan nasional sebagai rangka kestabilan
sistemkeuangan dalam pemberian bantuan lender of the last resort (LLR) pada bank
gagal meliputi 2 hal, yaitu:

1. Penyempurnaan mekanisme pemberian bantuan pada bank gagal yang dirumuskan


pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/31/PBI/2008 Tentang Fasilitas Pembiayan
Darurat Bagi Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/16/PBI/2012
TentangFasilitas Pendanaan Jangka Pendek, dan Surat Ederan Bank Indonesia

2. Penyempurnaan syarat pemberian bantuan pada bank gagal

a. Bank gagal berdampak sistemik : Rasio Kewajiban Penyediaan

Modal Minimum (KPMM) Bank paling sedikit 5%;

b. Bank gagal tidak berdampak sistemik : Rasio kewajiban penyediaan modal


minimum paling rendah 8% (delapan persen)

dan memenuhi modal sesuai dengan profil risiko Bank.

Kepastian hukum merupakan salah satu syarat keabsahan berlakunya suatu kaidah
hukum. Dengan adanya kepastian hukum merupakan salah satu cara upaya penegakan
hukum. Apabila penegakan hukum dapat dilakukan dengan menyelaraskan dengan
kepastian hukum maka diyakini hukum itu akan bermanfaat bagi kepentingan
masyarakat, bangsa dan negara. Menurut Jimly Asshiddiqie menuliskan dalam
makalahnya terkait penegakan hukum, mengemukakan pengertian penegakan hukum
adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma
hukum secara nyata.

Untuk terciptanya kepastian hukum maka penegakan hukum harus dilakukan

maka harus ada upaya untuk mewujudkan hukum menjadi nyata. Sebagaimana
diungkapkan oleh Lawrence M. Friedman ada 3faktor yang terkait yang menentukan
proses penegakan hukum, yaitu

a. Subtansi hukum : adalah norma-norma hukum yang berlaku, yang mengatur


bagaimana seharusnya masyarakat berperilaku, atau hasil aktual yang diterbitkan oleh
suatu sistem,

b. Kultur hukum adalah nilai-nilai individualism atau masyarakat yang mendorong


bekerjanya sistem hukum

c. Struktur Hukum merupakan institusi pelaksana (penegak) hukum atau bagian-


bagian yang bergerak didalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang ada dan
disiapkan dalam sistem

Dalam proses pemberian bantuan fasilitaslender of the last resort (LLR) juga harus
memperhatikan tiga elemen yang di ungkapkan oleh Lawrence M. Friedman harus
terpenuhi. Untuk subtansi hukum melalui mekanisme dan prosedur dalam pembuatan
undang ± undang yang terkait bantuan fasilitas lender of the last resort (LLR) yaitu
dirumuskan pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/31/PBI/2008 Tentang Fasilitas
Pembiayan Darurat Bagi Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia Nomor
14/16/PBI/2012 TentangFasilitas Pendanaan Jangka Pendek, dan Surat Ederan Bank
Indonesia.

Sedangkan untuk kultur hukumnya dalam hal ini membutuhkan kerja sama antar
lembaga otoritas yang berwenang yaitu Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan
Lembaga Penjamin Simpanan dalam menanganin kasus bank gagal sehingga
penanganannya lebih cepat dan tidak menimbulkan dampak yang sistemik pada
lembaga keuangan. Untuk stuktur hukum dalam pemberian bantuan bantuan
fasilitaslender of the last resort (LLR) dilaksanakan oleh Bank Indonesia selaku bank
sentral yang memiliki kewenangan memberikan menyalurkan bantuan lender of the
last resortyang didasarkan pada pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.

Mengingat tugas memelihara stabilitas sistem keuangan nasional pada dasarnya


merupakan produk sinergi dari beberapa otoritas, sehingga tidak dapat diletakkan
pada Bank Indonesia semata, maka perlu ada mekanisme koordinasi dan
tanggungjawab yang jelas antar otoritas, Oleh karenaitu kiranya perlu di penyusunan
perangkat hukum yang jelas dan tegas sehingga penegakan hukum dan kepastian
hukum tercapai ada beberapa upaya yang harus dilakukan agar kepastian hukum
tercapai yang meliputi aspek-aspek seperti :

1. mekanisme koordinasi yang efektif,

2. standar dan arah atau keselerasan pengaturan yang kondusif bagi

perbankan danlembaga-lembaga non-bank;

3. information sharing dan exchange,

Kepastian hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Salah satu
dampak positifnya terkait dengan pemberian bantuan fasilitas lender of the last resort
(LLR)dan blanket guarantee yang diberikan kepada bank gagal merupakan sebagai
wujud kepastian hukum kepada nasabah artinya dengan adanya bantuan fasilitas
lender of the last resort (LLR) oleh bank sentral kepada bank gagal, nasabah akan
menjadi yakin bahwa penarikan dana dari bank akan selalu dapat dipenuhi oleh bank.
Sehingga tidak adanya kekhawatiran dari seorang nasabah mengenai kemampuan
bank untuk memenuhi semua kewajibannya, selain itu menambah nilai kepercayaan
masyarakat akan dananya kepada lembaga keuangan bank

D. Kebijakan Penyelamatan Bank Gagal Sistemik Melalui Mekanisme Bail-In

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis


Sistem Keuangan (UU PPKSK) menjadi rujukan pemerintah dalam mengatasi segala
persoalan krisis keuangan global yang kerap berdampak pada keuangan dalam negeri.
UU PPKSK secara tegas mengatur bahwa penanganan permasalahan perbankan
diutamakan menggunakan sumber daya bank itu sendiri dan pendekatan bisnis tanpa
menggunakan anggaran Negara. Dengan disahkannya UU PPKSK setidaknya
diharapkan dapat membawa perubahan positif di sektor keuangan dalam negeri. UU
PPKSK mengamanatkan penyelesaian perbankan dilakukan oleh bank bersangkutan,
hanya saja bila belum berhasil, maka penanganan bank bermasalah dapat dilakukan
dengan dukungan Bank Indonesia (BI), khususnya persoalan likuiditas, sedangkan
persoalan solvabilitas ditangan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Ruang
lingkup stabilitas sistem keuangan dalam UU PPKSK meliputi sektor fiskal, moneter
makroprudensial, mikroprudensial, pasar keuangan, infrastruktur dalam sistem
pembayaran dan sistem penjaminan simpanan dan resolusi bank. UU PPKSK
kedepannya diharapkan dapat menjadi sarana dalam mewujudkan kesejahteraan
masyarakat Indonesia, sebab dengan begitu UU PPKSK menjadi jawaban terhadap
kondisi perekonomian dalam negeri kekinian

Pasal 39 ayat (1) UU PPKSK memang tidak menyebutkan penyelenggaraan program


restrukturisasi menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun dalam
ketentuan tersebut dijelaskan bahwa penggunaan restrukturisasi bank sistemik
menggunakan instrumen lain yang berasal dari pemegang saham bank atau pihak lain
berupa tambahan modal dan/atau perubahan utang tertentu menjadi modal, hasil
pengelolaan aset dan kewajiban yang berasal dari aset dan kewajiban bank yang
ditangani, kontribusi industri perbankan; dan/atau pinjaman yang diperoleh Lembaga
Penjamin Simpanan dari pihak lain.

Konsep bail-in diperkenalkan oleh Credit Suisse yang mengatakan bahwa cara terbaik
penangan bank sistemik bermasalah adalah dengan memaksa kreditur, bukan
pembayar pajak, menanggung kerugian bank.11 Andrew Campbell, melalui tulisannya
juga menjelaskan bahwa,

The major technique used to reduce the likelihood of failing banks is an effective
system of regulation and supervision. The responsibility for undertaking the task of
supervision is most commonly given to the central bank, but there is an increasing
tendency towards giving this task to a separate body and, in some countries, this has
resulted in a “super regulator” which has responsibility, not just for the banking sector,
but for the entire financial services sector.

Dalam makalah yang disusun oleh IMF ini dijelaskan bahwa dalam proses bail-in
keberadaan dan status badan hukum dari bank tersebut tetaplah ada dan tidak serta
merta hilang. Idenya adalah untuk menghilangkan bank dari risiko kebangkrutan
dengan cara merestrukturisasi bank tersebut dengan mengoptimalkan dana internal
dari bank itu sendiri tanpa harus mendapatkan suntikan dana dari pemerintah yang
dalam hal ini berupa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Bail-in dapat
dilakukan dengan mengkonversi hutang yang ada menjadi modal saham baru, menjual
sebagian saham kepada orang lain ataupun kombinasi dari keduanya, sehingga
nantinya bail-in akan menjadi alternatif untuk merestrukturisasi bank gagal dengan
dampak sistemik.

Penerapan konsep bail-in di Indonesia perlu didampingi dengan tiga pilar yaitu
pengawasan, internal governance dan disiplin pasar.14 Pengawasan yang dilakukan
oleh bank sentral harus dilengkapi dengan disiplin internal dari perbankan dan displin
eksternal dari pasar atau masyarakat. Tanpa disiplin tersebut, pengawasan tidak akan
mampu untuk mengikuti kemajuan liberalisasi, globalisasi dan kemajuan teknologi
pada instrumen keuangan. Kemudian sistem pengawasan juga harus melibatkan
internal governance, dengan demikian perbankan sendiri harus merupakan tempat
terbaik dalam mengatur dan memelihara praktik manajemen yang sehat. Pilar
pengawasan yang ketiga adalah kehadiran disiplin pasar karena tanpa pasar yang
kompetitif dan punitive atas kegagalan bersaing dipasar maka tidak cukup insentif
bagi pemilik bank, pengurus dan nasabah untuk melakukan keputusan keuangan yang
tepat. Disiplin pasar memerlukan iklim keterbukaan yang kondusif. Untuk itu perlu
dilakukan kaji ulang terhadap ketentuan tentang keterbukaan yang berlaku bagi
perbankan.
E. Kasus Penyelesaian Bank Gagal Berdampak Sistemik

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) selama periode 2005 hingga 2019 telah menangani
sebanyak 98 bank gagal dengan total klaim nasabah mencapai Rp1,4 triliun. Kepala
Kantor Manajemen Strategis & Perumusan Kebijakan LPS Suwandi mengatakan
bahwa jumlah tersebut terdiri atas 96 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang ditutup, 1
Bank Umum yang ditutup, dan 1 Bank Umum yang diselamatkan.Berdasarkan data
LPS, jumlah bank yang ditutup di Jawa Barat mencapai 34 bank, sedangkan Sumatera
Barat sebanyak 16 bank.

Adapun, satu-satunya bank yang berhasil diselamatkan oleh LPS adalah Bank Century
dengan dana yang dikeluarkan mencapai Rp8,1 triliun. Pada 2008, Komite Stabilitas
Sistem Keuangan (KSSK) menyatakan Bank Century menjadi bank gagal dengan
dampak sistemik terhadap sistem perbankan secara kesuluruhan. LPS menyelamatkan
Bank Century dengan skema penyertaan modal sementara sehingga menjadi
pemegang saham terbesar dan mengubah nama Bank Century menjadi Bank Mutiara.
Kemudian, kepemilikan LPS terhadap Bank Mutiara diborong oleh JTrust Co. Ltd
dengan nilai sebesar Rp4,4 triliun, sehingga pemulihan Bank Century oleh LPS hanya
mencapai 50%.

Sementara itu, sepanjang tahun berjalan, LPS telah menangani sebanyak 6 bank gagal,
antara lain BPRS Jabal Tsur di Pasuruan, BPRS Safir di Bengkulu, BPR Panca Dana
di Batu Malang, BPRS Muamalat Yotefa di Papua, BPR Legian di Denpasar, dan
yang belum lama ini terjadi BPR Efita Dana Sejahtera di Depok. Berbeda dengan
karakteristik umum penyebab bank gagal di luar negeri, Suwandi mengatakan bahwa
di Indonesia penyebab utama gugurnya bank masih karena kecurangan yang
dilakukan baik oleh pengurus, direksi, maupun nasabah. "Di Indonesia bank mati
bukan karena kalah bersaing seperti di luar negeri. Kalau di luar negeri itu bank
ditinggalkan oleh nasabahnya karena kalah dalam pelayanan atau produknya dengan
bank lainnya," ujar Suwandi. Dia mengatakan, salah satu contoh kecurangan yang
kerap terjadi pada bank yang mati di Indonesia adalah kecurangan dalam penyusunan
laporan.

Jika berkaca pada struktur keuangan bank yang mati di Indonesia, lanjut dia, bank
tersebut berhasil membukukan pertumbuhan yang datar atau bahkan naik.Namun,
nyatanya setelah diperiksa lebih dalam mayoritas bank tersebut justru menunjukkan
laporan yang tidak kredibel dan memiliki banyak kredit yang macet.Akibatnya, CAR
atau Capital Adequacy Ratio bank tersebut anjlok hingga akhirnya tidak dapat
mengembangkan pertumbuhan usahanya kemudian terpaksa ditutup."Kalau mereka
[bank] tidak mendapatkan suntikan dana baru ya tewas banknya. Itulah pola yang
kerap terjadi di Indonesia," papar Suswandi.Dia mengatakan bahwa terjadinya
kecurangan di perbankan umumnya sebagai imbas dari lemahnya tata kelola
perusahaan yang baik atau penerapan Good Corporate Governance (GCG).

Di sisi lain, Direktur Group Penanganan Premi Penjaminan LPS Samsu Adi Nugroho
mengatakan bahwa jumlah bank yang gagal tersebut tidak menjadikan kondisi
perbankan nasional dalam keadaan yang buruk."Jumlah 98 bank itu dari 1.800an bank
di seluruh Indonesia, jadi sebenarnya kita [perbankan Indonesia] itu dalam kondisi
baik. Jadi jumlah tersebut tidak terlalu signifikan ya dari sistem perbankan nasional,"
papar Adi.Adapun, berdasarkan data LPS, hingga 30 Juni 2019, bank peserta
penjaminan LPS berjumlah 1.856 bank yang terdiri atas 113 bank umum dan 1.743
BPR.Adi juga menilai industri perbankan Indonesia masih relatif kuat, bahkan lebih
kokoh dibandingkan dengan negara lain yang memiliki perbankan dengan nilai CAR
yang tinggi.

"Oleh karena itu, masyarakat tidak perlu khawatir dan takut apapun kondisi perbankan
karena ada LPS yang sesuai ketentuan akan menjamin simpanan nasabah," ujar
Adi.Sebagai informasi, total aset LPS saat ini telah mencapai Rp110 triliun, menjadi
lembaga penjaminan dengan balance sheet ketiga terbesar di Asia setelah Jepang dan
Korea Selatan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kriteria bank gagal berdampak sistemik membutuhkan penilaian yang mendalam
dari berbagai indikator, baik indikator yang dapat diukur maupaun indikator-indikator
yang tidak dapat diukur. Indikator yang dapat diukur seperti tingkat kesehatan bank
yang berdasarkan pada penilaian aspek CAMELS, sedangkan indikator yang tidak
dapat diukur seperti psikologi masa dan kestabilan perekonomian baik secara nasional
maupun global, serta kegiatan usaha yang dilakukan suatu bank dapat mengganggu
kesehatan bank-bank lainnya apabila bank tersebut mengalami kesulitan keuangan atau
gagal.
2. Pengaturan hukum mengenai kriteria bank gagal berdampak sistemik tidak
diperlukan untuk diatur secara jelas dalam Undang-Undang mengingat perkembangan
ekonomi yang sangat bersifat situasional dan dapat menimbulkan indikator-indikator
baru yang dapat mendorong terjadinya bank gagal berdampak sistemik, selain itu bank
gagal berdampak sistemik dapat terjadi dalam waktu cepat yang membutuhkan
penanganan yang cepat pula, selain itu apabila kriteria bank gagal berdampak sistemik
diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan, dikhawatirkan dapat
menimbulkan moral hazard.
3. Pengaturan hukum yang tidak mengatur secara jelas terkait bank gagal berdampak
sistemik membuat Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang independen yang
berperan
dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, menunjuk lembaga lain sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 28 PBI: 15/2/PBI/2013 untuk menetapkan status bank gagal
berdampak sistemik, lembaga yang dimaksud adalah lembaga-lembaga seperti
Lembaga Penjamin Simpanan yang menjamin dana nasabah dalam usaha perbankan,
Otoritas Jasa Keuangan yang berperan dalam pengaturan dan pengawasan di sektor
keuangan, yang tergabung dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan
(FKSSK) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 45 UU OJK untuk membentuk
kebijakan dan cara penanganan suatu masalah yang ditenggarai akan membahayakan
stabilitas sistem keuangan. FKSSK itu sendiri beranggotakan Menteri Keuangan, Bank
Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, yang
bekerjasama untuk tercapainya kestabilan sistem keuangan sehingga peran lembaga-
lembaga tersebut menjadi penting.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Anita Christiani, Th., 2010, Hukum Perbankan Analisis Independensi Bank Indonesia, Badan Supervisi,
LPJK, Bank Syariah, dan Prinsip Mengenal Nasabah, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.

Dahlan Siamat, 2005, Manajemen Lembaga Keuangan; Kebijakan Moneter dan Pebankan, Edisi V,
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Kencana Pernada Media Group, Jakarta.

Peraturan Perundang – Undangan :

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 3
Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Bank
Indonesia.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 7
Tahun 2009 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem
Keuangan.

Anda mungkin juga menyukai