Anda di halaman 1dari 13

OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK DENGAN KOMPLIKASI

MASTOIDITIS : LAPORAN KASUS


Ulum Nidhamuddin*, Vivi Melisa Triani*, Ika Nurfitriani Yusuf*, Ismi Cahyadi**

*Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon


**Dosen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas
Swadaya Gunung Jati/RSUD Waled Kabupaten Cirebon

ABSTRAK

Latar belakang : Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah peradangan pada telinga
tengah dan mukosa mastoid dengan membran timpani yang tidak utuh (perforasi) dan
keluarnya cairan telinga secara terus menerus. Prevalensi OMSK di dunia diperkirakan 1%
sampai 46%, dimana 60% penderita mengalami gangguan pendengaran yang signifikan.
OMSK dilaporkan telah menyebabkan berbagai komplikasi salah satunya yaitu mastoiditis
(22,5%). Tujuan: Mempresentasikan kasus otitis media supuratif kronik dengan komplikasi
mastoiditis. Kasus: Dilaporkan sebuah kasus, seorang laki-laki berusia 25 tahun dengan
keluhan keluar cairan dari telinga kiri terus-menerus sejak 4 bulan yang lalu. Cairan berwarna
hijau dan kadang-kadang berwarna kehitaman dengan konsistensi kental dan terkadang
disertai dengan darah dan berbau. Keluhan disertai rasa gatal dan pasien juga mengaku
mengalami penurunan pendengaran berupa rasa penuh ditelinga kirinya. Pasien juga
mengaku pernah mempunyai riwayat operasi telinga saat kelas 3 SD karena indikasi ada
benjolan di telinga kiri. Temuan fisik: dalam batas normal.Status lokalis: kanalis auditoris
eksterna telinga sinistra tampak sempit, mukosa hiperemis dan terlihat discharge
mukopurulen. Membran timpani sinistra perforasi di tengah. Hasil CT-Scan mastoid non
kontras menunjukan adanya mastoiditis sinistra. Penatalaksanaan: Dilakukan canal wall up
mastoidectomy dan tympanoplasty. Kesimpulan: Infeksi telinga tengah yang terus-menerus
menjadi penyebab OMSK bahkan dapat menyebabkan ke arah komplikasi.
Kata kunci: Otitis media supuratif kronik, Mastoiditis
CHRONIC SUPURATIVE OTITIS MEDIA WITH MASTOIDITIS
COMPLICATIONS : A CASE REPORT
Ulum Nidhamuddin*, Vivi Melisa Triani*, Ika Nurfitriani Yusuf*, Ismi Cahyadi**

*Student of Medical Faculty, Swadaya Gunung Jati University


**Lecturer of Department Otolaryngology Head and Neck Surgery, Faculty of Medicine Swadaya Gunung Jati
University/Waled Regional Hospital

Background: Chronic suppurative otitis media (CSOM) is inflammation of the middle ear and
mastoid mucosa with incomplete tympanic membrane (perforation) and continuous discharge
of ear fluid. The prevalence of CSOM in the world is estimated at 1% to 46%, of which 60%
of sufferers experience significant hearing loss (22,5%). CSOM is reported to have caused
various complications, one of which is mastoiditis. Objective: To present a case of chronic
suppurative otitis media with complications of mastoiditis. Case: a-25 men years old with
complaints of discharge from the left ear continuously since 4 months ago. The liquid is
green and sometimes black in color with a thick consistency and is sometimes accompanied
by blood and smells. Complaints accompanied by itching and the patient also claimed to have
decreased hearing in the form of a feeling of fullness in his left ear. The patient also admitted
that he had a history of ear surgery when he was in 3rd grade because of an indication of a
lump in his left ear. Physical findings: within normal limits. Local status: the external
auditory canal of the left ear is narrow, the mucosa is hyperemic and mucopurulent discharge
is seen. Left tympanic membrane perforated in the middle. The non-contrast CT-Scan of the
mastoid showed the presence of left mastoiditis. Management: Canal wall up mastoidectomy
and tympanoplasty was performed. Conclusion: Middle ear infections that are constantly the
cause of CSOM can even lead to complications.

Keywords: Chronic suppurative otitis media, Mastoiditis


I. LATAR BELAKANG sepsis. Sepsis masih menjadi penyebab
kematian utama di beberapa negara Eropa
Abses leher dalam adalah terbentuknya
setelah infark miokard akut, stroke, dan
pus pada salah satu atau lebih ruang
potensial di antara fasia leher dalam sebagai
trauma. Hampir 50% pasien intensive care

akibat penjalaran infeksi dari berbagai unit (ICU) merupakan pasien sepsis.
sumber seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus Angka kematian disebabkan sepsis di ICU
paranasal serta telinga tengah dan leher. RSUP dr Kandou Manado sebesar 65,7%.
Abses leher dalam tergolong sebagai Di RSUP dr Soetomo Surabaya, angka
kedaruratan THT karena merupakan suatu syok septik sebesar 14,58%, dan 58,33%
kondisi yang mengancam jiwa akibat sisanya sepsis.
komplikasi-komplikasinya yang serius
seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan
II. LAPORAN KASUS
saraf kranial, mediastinitis, dan kompresi
IDENTITAS PASIEN
hingga ruptur arteri karotis interna. Abses
Nama : Tn. R
parafaring yaitu peradangan yang disertai
pembentukan pus pada ruang parafaring. Umur : 46 tahun

Sebelum era antibiotika, 70% dari abses Jenis Kelamin : Laki-laki


leher dalam merupakan penjalaran infeksi Pekerjaan : Kuli bangunan
dari tonsil dan faring, akan tetapi saat ini Alamat : Pasaleman
penyebab abses leher dalam yang sering Agama : Islam
ditemukan adalah infeksi gigi dan sekitar
20% kasus abses leher dalam dengan sumber ANAMNESIS

infeksi yang tidak ditemukan.1 Keluhan Utama:


Bengkak pada leher sebelah kiri
Gejala dan tanda abses ini adalah Riwayat Penyakit Sekarang :
trismus, pembengkakan sekitar angulus Seorang laki-laki, berusia 46 tahun
mandibula, demam dan adangan datang ke IGD RSUD Waled pada
pembengkakan dinding lateral faring tanggal 29 Juni 2021 dengan keluhan
ipsilateral. Komplikasi yang berbahaya bengkak pada leher bagian kiri sejak 1
dan sulit untuk diatasi adalah apabila minggu yang lalu, keluhan dirasakan
terjadi sepsis. Prevalensi abses parafaring terus menerus dan semakin membesar
ini 38,4% dari seluruh kasus abses leher disertai nyeri. Pasien juga mengeluhkan
dalam . setiap minum selalu batuk, dan sulit

Komplikasi pada abses parafaring untuk menelan makanan,

yang dapat terjadi salah satunya adalah

3
Menurut keterangan pasien, sebagai Frekuensi nafas: 27 kali/menit
kuli bangunan pasien sering Frekuensi nadi: 139 kali/menit
mengkonsumsi mie dan es teh manis, Suhu : 37,2 °C
hampir setiap bekerja diberikan suguhan Status Lokalis
mie dan es teh manis. Pasien telah Telinga
memeriksakan dirinya ke klinik dokter Dextra Sinistra
Auricula Bentuk nomal Bentuk normal
umum, namun keluhan belum juga Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Benjolan (-) Benjolan (-)
membaik, semakin hari semakin sulit Lesi kulit (-) Lesi kulit (-)
Preauricula Tragus pain (-) Tragus pain (-)
menelan, akhirnya pasien berobat ke Fistula (-) Fistula (-)
Abses (-) Abses (-)
klinik praktik dokter spesialis THT, dan Hiperemis (-) Hiperemis (+)
Retroauric Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
disarankan untuk dirujuk ke RSUD ula Edema (-) Edema (-), Luka
Hiperemis (-) (+)
Waled. Saat ini pasien juga Hiperemis (-)
Mastoid Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (+)
mengeluhkan adanya demam. Edema (-) Edema (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (+)
Membran Intak (+) reflek Sulit dinilai
Riwayat Penyakit Dahulu timpani cahaya (+),
serumen (-),
 Riwayat alergi (-) secret(-)

 Riwayat Asma (-)


Hidung
 Riwayat hipertensi (-)
Dextra Sinistra
 Riwayat penyakit yang sama (-) Bentuk Normal Normal
Sekret - -
Riwayat Penyakit Keluarga Mukosa Merah muda Merah muda
Septum deviasi (-) (-)
 Riwayat alergi (-) Massa (-) (-)
Corpus (-) (-)
alienum
 Riwayat asma (-)
 Riwayat hipertensi (-)
Mulut dan Orofaring
Riwayat Sosial Ekonomi
Oral : dapat dibuka mulut dengan baik
 Pasien: Pasien merupakan kuli Mukosa bukal: warna merah tua
bangunan, dan berasal dari keluarga Ginggiva : warna merah tua
ekonomi menengah kebawah. Gigi geligi : lengkap, karies (-), gangren
PEMERIKSAAN FISIK (-)
Keadaan Umum : baik, tampak sakit Lidah 2/3 anterior: warna merah muda
sedang Pahtum durum: warna merah muda
Kesadaran : composmentis Pahtum mol : warna merah muda
Berat Badan : Tonsil
Tanda- tanda vital: Dextra Sinistra
Ukuran T2 T2
Tekanan darah : 120/80 mmHg

4
Kripta Tidak Tidak
melebar melebar
Permukaan Rata Rata
Warna Merah Merah
muda muda
Detritus (-) (-)
Peritonsil Abses (-) Abses (-)
Pilar anterior Merah Merah
muda muda

Maksilofasial
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Wajah simetris. Tidak tampak parese N
Laboratorium
cranialis, dan tidak tampak adanya nyeri
Hematologi
tekan sinus.
HB: 17,2
Leher
HT :51
- Inspeksi : Tampak adanya
Trombosit: 433
pembengkakan, batas tidak tegas,
Leukosit:24.8
ukuran 4x2x1 cm a/r colli sinistra
PT: 10.8
- Palpasi : Teraba infiltrat, nyeri tekan
APTT: 32.6
(+) a/r colli sinistra
Kimia klinik
- Tidak ada pembesaran KGB ataupun
GDS Stick 1: 124
pembesaran tiroid.
NA: 145.1
K: 4.89
Cl:107.5
Ureum :170.1
Kreatinin 1.80

Gambar 2.1 Foto Thorax

5
yang terbentuk dari multi komponen
sistem fasia. Batas-batas ruang parafaring
adalah di inferior oleh kornu minor tulang
hyoid, di superior oleh dasar tengkorak,
sebelah medial dibatasi divisi viseral dari
lapisan media (sepanjang otot konstriktor
faring) dan fasia otot-otot tensor dan
Gambar 2.2 Foto Soft Tissue Leher levator veli palatini serta stiloglosus. Batas
lateral dipertegas oleh lapisan superfisial
III. DISKUSI yang meliputi mandibula, pterigoideus

III.1 Definisi Abses Parafaring medial, dan parotis. Batas posterior

Abses adalah kumpulan nanah dibentuk oleh divisi prevertebra dari


lapisan profunda dan sisi posterior
dalam suatu rongga yang terjadi akibat
selubung karotis (tepatnya batas postero
adanya suatu proses infeksi bakteri
lateral). Batas anterior merupakan fasia
piogenik yang terdapat dibawah
interpterigoideus dan rafe
jaringan, organ, atau ruang-ruang
pterigomandibula. Ruang parafaring ini
kosong. Abses mempunyai daerah dapat dibagi-bagi menjadi kompartemen-
pusat yang menonjol yang terjadi kompartemen oleh suatu garis yang ditarik
akibat penumpukan sel dan jaringan dari lamina pterygoid menuju prosesus
yang mati. Daerah tersebut dilindungi styloid.
oleh neutrofil, sedang disebelah
luarnya terdapat pelebaran pembuluh
darah serta jaringan parenkim dan
fibroblast yang berfungsi mempercepat
proses penyembuhan.
Abses parafaring adalah infeksi
di daerah parafaring yang dapat meluas
dan menyebabkan penimbunan nanah.1
III.2 Anatomi Parafaring
Ruang parafaring (disebut juga ruang
faring lateral, ruang faringomaksila, ruang Gambar 3.1 Ilustrasi bentuk ruang
pterigomaksila, ruang pterigofaring), parafaring.1
merupakan ruang potensial yang termasuk Kompartemen anterior berisi arteri
bagian dari ruang leher dalam yang maksilaris interna, nervus alveolaris
berbentuk piramida terbalik (Gambar 1), inferior,nervus lingualis, dan nervus

6
aurikulotemporalis. Infeksi yang terjadi - Pre styloid : Medial-Fosa tonsilaris
pada kompartemen ini ditandai adanya Lateral-Pterygoid medial
trismus. Kompartemen posterior berisi Kandungan lemak,
selubung karotis (arteri karotis, vena jaringan penghubung
jugularis interna, dannervus vagus), nervus kelenjar limfe
glosofaringeal,nervus hipoglosus, - Post styloid : Selubung karotis
persyarafan simpatis, dan pembuluh limfe. Nervus IX,X,XII
Nervus asesorius juga berada dalam 3.4 Etiologi
kompartemen ini, tetapi seringkali
Etiologi infeksi di daerah leher
terlindungi dari proses infeksi yang terjadi
dapat bermacam-macam. Angka
dalam kompartemen posterior
morbiditas dan mortalitas tentunya
Ruang parafaring berhubungan tergantung pada komplikasi yang
dengan ruang retrofaring di bagian terjadi. Kuman penyebab abses leher
posteromedial, ruang submandibula di dalam biasanya terdiri dari campuran
bagian inferior, dan ruang mastikator di
kuman aerob, anaerob maupun
bagian lateral, secara umum, ruang
fakultatif anaerob.
parafaring merupakan pusat hubungan dari
semua ruang potensial leher dalam.
Kejadian infeksi dalam ruang parafaring
seringkali menyebar ke ruang-ruang
potensial lainnya, terutama ruang
retrofaring dan selubung karotis

Gambar 3.3 Etiologi abses leher dalam


III.3 Patofisiologi
Abses parafaring dimulai dari
infeksi jaringan lunak pada daerah
kepala dan leher. Infeksi ini dapat
meluas dari salah satu ruang potensial
leher dalam, yang kemudian mengenai
parafaring. Suatu infeksi bakteri di
ruang parafaring dapat terjadi melalui
beberapa cara:
Gambar 3.2 Ruang parafaring.1
Ruang parafaring dibagi atas: 1. Bakteri menyebar dari suatu infeksi
di bagian tubuh yang lain misalnya

7
melalui saluran vaskuler menyebabkan Pada anamnesis pasien dengan
terjadinya endoplebitis atau trombosis abses parafaring didapatkan riwayat
atau melalui saluran limfatik sehingga demam, pembengkakan dan nyeri pada
menyebabkan terjadinya supurasi daerah infeksi terutama di daerah
kelenjar limfe servikal profunda. parafaring, regio tiroid dan regio
Infeksi di bagian tubuh yang lain submandibular. Keluhan nyeri
seperti pada tonsilitis, faringitis akut, biasanya akan semakin hebat ketika
adenoiditis, perluasan peritonsiler pasien sedang menoleh atau sedang
abses, infeksi gigi molar pada menggerakkan leher. Pada beberapa
pencabutan gigi molar bawah, tindakan pasien didapatkan riwayat sakit gigi
endoskopi per oral yang kasar, atau riwayat tertelan benda asing.
perluasan infeksi glandula parotis atau Keluhan lain didapatkan sulit menelan
pada timpano-mastoiditis kronis selama beberapa hari, trismus bahkan
melalui abses Bezold. sampai sesak nafas.
2. Bakteri masuk ke bawah kulit akibat Pemeriksaan fisik tergantung dari
adanya luka atau trauma tindakan lokasi infeksi yang terjadi, akan tetapi
seperti esofagoskopi atau bronkoskopi; secara umum dapat dijumpai
tertelan benda asing; tusukan jarum pembengkakan pada dinding faring
yang tidak steril di leher pada lateral terutama dibelakang arkus
pencandu morfin. posterior. Tonsil terdorong ke medial
3. Lymphadenitis, peradangan pada atau kearah anterior. Terjadi gangguan
kelenjar limfe itu sendiri. terutama pada saraf kranial N IX, X
dan XII. Selain itu sering didapatkan
III.4 Penegakan diagnosis karies dentis dan trismus yaitu
Untuk menegakkan diagnosis terbatasnya gerakan membuka mulut
abses parafaring diperlukan anamnesis akibat perluasan infeksi yang
yang cermat, pemeriksaan fisik, menimbulkan spasme iritatif pada
radiologi, laboratorium dan aspirasi m.pterigoideus internus.
pus dengan jarum besar untuk Pemeriksaan penunjang meliputi
pemeriksaan kultur dan tes kepekaan pemeriksaan kultur kuman dan test
kuman. Gejala yang dapat timbul kepekaan antibiotik, pemeriksaan
berupa demam, trismus, nyeri darah akan didapatkan adanya
tenggorokan, odinofagia dan disfagia. peningkatan jumlah leukosit.
Pemeriksaan penunjang lain yang

8
diperlukan adalah pemeriksaan berbeda untuk drainase abses leher
radiologi, berupa pemeriksaan foto dalam. Mereka telah
leher AP/lateral dalam kondisi soft mengklasifikasikannya ke dalam
tissue memberikan gambaran adanya pendekatan intraoral dan eksternal.
pembengkakan, gambaran udara di Insisi intraoral dilakukan pada
subkutan, air fluid levels, erosi dari dinding parafaring. Dengan memakai
korpus vertebrae. Panoramics, klem arteri eksplorasi dilakukan
dilakukan pada pasien yang dicurigai menembus m.konstriktor faring
infeksi berasal dari gigi. Foto toraks superior ke dalam ruang parafaring
juga perlu dilakukan untuk anterior. Insisi intraoral dilakukan
mengevaluasi adatidaknya emfisema bila perlu dan sebagai terapi
subkutis terdorongnya saluran tambahan.
pernapasan dan pneumonia akibat Pendekatan eksternal ke ruang
aspirasi abses, dan pada kasus tertentu parafaring dilakukan melalui sayatan
dilakukan pemeriksaan CT-Scan leher, horizontal pada lipatan kulit serviks.
Computed tomographic (CT) scan Tergantung pada luasnya abses
adalah tes radiologi pilihan. Ini a. Modified apron incision.
memberikan rincian ukuran, lokasi Digunakan untuk mengekspos
abses dan posisi relatif terhadap daerah submandibular dan bagian
pembuluh darah besar. Hubungan atas ruang parafaring. Sayatan
rongga abses dengan ruang lain di dimulai pada segitiga submental.
leher, terutama retrofaring, sangat jelas
terlihat pada CT scan (penyebaran ke
ruang retrofaring memiliki risiko
mediastinitis yang mengancam jiwa)..
III.5 Penatalaksanaan

Tatalaksana abses parafaring


Gambar 3.4 Sayatan pada
meliputi operasi untuk evakuasi dan
Modified apron incision
drainase, identifikasi kuman penyebab
b. Hockey stick incision. Digunakan
dan pemberian antibiotic
untuk mengekspos seluruh ruang
- Operattif parafaring. Sayatan dimulai
Levitt et al adalah yang pertama diujung mastoid
membahas pendekatan bedah yang

9
didapatkan perubahan. Pemberian
antibiotik parenteral dapat diberikan
sampai dengan 48 jam bebas panas,
kemudian dilanjutkan dengan
pemberian antibiotik per oral.
Pada kasus abses parafaring
yang ringan, dimana pus hanya
Gambar 3.5 Sayatan pada
sedikit dan tidak disertai dengan
Hockey stick incision
gangguan sistem pernafasan,
- Antibiotik
pemberian antibiotik dapat diberikan
Pemberian antibiotik
tanpa dilakukan pembedahan.
parenteral dalam dosis tinggi perlu
III.6 Komplikasi
segera diberikan, sambil menunggu
Banyak hal yang dapat
hasil kultur kuman penyebab.
menjadi penyebab komplikasi dari
Pemilihan jenis antibiotik biasanya
abses parafaring, diantaranya adalah
yang dapat membunuh semua jenis
terapi yang tidak tepat, dan tidak
kuman baik gram negatif atau gram
adekuat, keterlambatan diagnosis dan
positif, ataupun kuman aerob maupun
penatalaksanaan terapi abses
anaerob. Penggunaan injeksi
parafaring. Komplikasi yang dapat
Penicillin Procain dan Metronidazole
terjadi diantaranya adalah sumbatan
sering menjadi pilihan. Bila penderita
jalan nafas akibat dari pendesakan
alergi terhadap golongan Penicilin
trakea, aspirasi dari pus, bisa secara
dapat diberikan Eritromicin,
spontan maupun pada saat
Clindamycin atau Cephalosporin.
memasukkan pipa endotrakea,
Kombinasi salah satu obat tersebut
komplikasi pembuluh darah misalnya
dengan Amynoglikosida dapat
trombosis vena intra jularis, ruptur
memberikan perlawanan terhadap
arteri karotis, mediastinitis, defisit
kuman gram negatif Enterobacilli dan
neurologi, sepsis, fasiitis nekrotik
Pseudomonas aeroginosa dengan
leher, dan osteomielitis
baik. Para ahli mengatakan
III.7 Definisi Sepsis
pemberian antibiotik parenteral
Sepsis merupakan disfungsi
dengan spektrum luas diberikan
organ akibat gangguan regulasi
sebagai terapi pilihan, bila pada saat
respons tubuh terhadap terjadinya
48 jam post drainase pus tidak
infeksi. Kondisi sepsis merupakan

10
gangguan yang menyebabkan yang mempromosikan fibrinolisis dan
kematian. menghambat trombosis
III.8 Patofisiologi dan peradangan, merupakan
Respons utama inflamasi dan modulator penting koagulasi dan
prokoagulan terhadap infeksi terkait peradangan yang terkait dengan
sangat erat. Beberapa agen infeksi sepsis. Kondisi tersebut memberikan
dan sitokin inflamasi seperti tumor efek antitrombotik dengan
necrosis factor α (TNF-α) dan menginaktivasi faktor Va dan VIIIa,
interleukin-1 mengaktifkan sistem membatasi pembentukan trombin.
koagulasi dengan cara menstimulasi Penurunan trombin akan berdampak
pelepasan faktor jaringan dari terhadap proses inflamasi,
monosit dan endothelium yang prokoagulan, dan antifibrinolitik.
memicu terhadap pembentukan Menurut data in vitro menunjukkan
trombin dan bekuan fibrin. Sitokin bahwa protein aktif C memberikan
inflamasi dan trombin dapat efek antiinflamasi dengan
mengganggu potensi fibrinolitik menghambat produksi sitokin
endogen dengan merangsang inflamasi
pelepasan inhibitor plasminogen- (TNF-α, interleukin-1, dan
activator 1 (PAI-1) dari platelet dan interleukin-6) oleh monosit dan
endothelium. PAI-1 merupakan membatasi monosit dan neutrofil
penghambat kuat aktivator pada endothelium yang cedera
plasminogen jaringan, jalur endogen dengan mengikat selectin.
untuk melisiskan bekuan fibrin. Hasil akhir respons jaringan terhadap
Efek lain dari trombin prokoagulan infeksi berupa pengembangan luka
mampu merangsang jalur inflamasi endovaskuler difus, trombosis
multipel dan lebih menekan sistem mikrovaskuler, iskemia organ,
fibrinolitik endogen dengan disfungsi multiorgan, dan kematian.
mengaktifkan inhibitor fibrinolisis
thrombin- activatable (TAFI). III.9 Penegakan diagnosis
Mekanisme kedua melalui aktivasi Skrining awal dan cepat dapat
protein aktif C yang berkaitan dengan dilakukan di setiap unit gawat
respons sistemik terhadap infeksi. darurat. Kriteria baru sepsis
Protein C adalah protein endogen menggunakan Sequential Organ
Failure Assessment (SOFA).SOFA

11
melakukan evaluasi terhadap fungsi
fisiologis, respirasi, koagulasi,
hepatik, sistem saraf pusat, dan
ginjal. Makin tinggi skor SOFA akan
meningkatkan morbiditas dan Tabel 3.1 Kriteria SOFA
mortalitas sepsis.
Kriteria SIRS Suhu : <36°C atau >38°C
Kriteria simpel menggunakan
Nadi : 90 kali/menit
qSOFA. qSOFA dinyatakan positif
Laju napas : >20/menit atau
apabila terdapat 2 dari 3 kriteria. PaCO2 <32 mmHg Leukosit
Skoring tersebut cepat dan sederhana <4000/mm3 atau > 12000/mm3
Kriteria Tekanan darah sistolik <90
serta tidak memerlukan pemeriksaan
hemodinamik mmHg, Tekanan arteri rerata
laboratorium. <70 mmHg atau tekanan darah
Syok septik dapat diidentifikasi sistolik turun >40 mmHg
dengan adanya klinis sepsis dengan Saturasi darah vena <70%

hipotensi menetap. Kondisi hipotensi Indeks kardiak >3,5L/menit/m


Kriteria inflamasi Jumlah leukosit > 12000/mm3
membutuhkan tambahan vasopressor atau < 4000/mm3 atau
untuk mempertahankan kadar MAP ditemukan sel leukosit muda

>65 mmHg dan laktat serum >2 >10% Kadar protein C reaktif
meningkat >2 kali nilai normal
mmol/L walaupun telah dilakukan
Kadar procalcitonin meningkat
resusitasi.
>2 kali nilai normal
Kriteria SOFA muncul setelah Kriteria PaO2/FIO2 < 300 mmHg

pembaharuan definisi dan kriteria Gangguan Fungsi Produksi urin <0,5 mg/kgBB
Organ Gangguan pembekuan darah
sepsis bertujuan untuk mengurangi
Ileus
morbiditas dan mortalitas sepsis. Trombositopenia
Kriteria tahun 1992 menggunakan Ikterus
Kriteria perfusi Kadar laktat > 3 mmol/L
istilah Sindrom Respons Inflamasi
jaringan Pengisian kapiler melambat
Sistemik (SIRS). SIRS terdiri dari Tabel 3.2 Kriteria sepsis
kriteria umum yang meliputi kondisi
III.10 Penatalaksanaan
vital pasien, terdapat kriteria
Karena infeksi menyebabkan sepsis,
inflamasi, kriteria hemodinamik, dan
penanganan infeksi merupakan
kriteria gangguan fungsi organ.
komponen penting dalam penanganan
sepsis. Tingkat kematian akan meningkat
dengan adanya penundaan penggunaan

12
antimikroba. Untuk meningkatkan 1. Pulungan, Rusli. Pola Kuman Abses
keefektifitas penggunaan antibiotik, Leher Dalam. Bagian THT FK
penggunaan antibiotik berspektrum luas Andalas. Padang. 2015
sebaiknya disertai dengan kultur dan
2. Batu, Maranatha Lumban.
identifikasi sumber penularan kuman.
Diagnosis dan Penatalaksanaan
Dan hal ini dilakukan sesegera mungkin. Abses Parafaring. Departement
Protokol terbaru merekomendasikan THT-KL FKUnair. Surabaya. 2010
bahwa penggunaan antibiotik harus 3. Aguslia, Shinta, Farokah. Pola
diberikan maksimal dalam waktu 1 jam. kuman dan sensitivitas terhadap
Rekomendasi ini berdasarkan berbagai
antibiotic pasien abses leher dalam
penelitian yang meunjukkan bahwa
di RSUP Dr. Kariadi.
penundaan dalam penggunaan antibiotik
MedicaHospitalia. Semarang. 2016
berhubungan dengan peningkatan resiko
4. Imanto, Mukhlis. Evaluasi
kematian. Penggunaan vasopressor yang
Penatalaksanaan Abses Leher Dalam di
direkomendasikan adalah norepinefrin
Departemen THT-KL Rumah Sakit
untuk mencapai target MAP ≥ 65 mmHg.
Hasan Sadikin Bandung Periode
Penggunaan cairan yang
Januari 2012–Desember 2012 . Juke
direkomendasikan adalah cairan
Unila. Lampung. 2015
kristaloid dengan dosis 30 ml/kgBB dan
diberikan dengan melakukan fluid
5. Tubachi, Jagadish. Arsheed

challenge selama didapatkan peningkatan Hakeem. Surgical Management of


status hemodinamik berdasarkan variabel Parapharyngeal Abscess.
dinamis (perubahan tekanan nadi, variasi Otorhinolaryngology clinics.
volum sekuncup) atau statik (tekanan International journal. 2012
nadi, laju nadi). Pada suatu penelitian 6. Putra, Ivan Aristo. Update
yang dilakukan oleh Bernard et al , Tatalaksana Sepsis. CDK. Vol 46.
penggunaan drotrecogin α (Human
Surakarta. 2019
Activated Protein C) menurunkan tingkat
7. Irvan, Febyan dkk. Sepsis dan
kematian pada pasien dengan sepsis.
Tatalaksana berdasarkan Guidline
Protein C yang teraktivasi akan
Terbaru. Dikti. Vol X. Jakarta. 2019
menghambat pembentukan thrombin
dengan menginaktifasi factor Va, VIIIa
dan akan menurunkan respon inflamasi.

DAFTAR PUSTAKA

13

Anda mungkin juga menyukai