Anda di halaman 1dari 14

ABSES PARAFARING DENGAN KOMPLIKASI SEPSIS : LAPORAN

KASUS
Farah Arviani Azzahra*, Jasmine Medisa Rimadhiani*, Edy Riyanto Bakri**

*Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon


**Dosen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas
Swadaya Gunung Jati/RSUD Waled Kabupaten Cirebon

ABSTRAK

Latar belakang : Abses leher dalam adalah terbentuknya pus pada salah satu atau lebih ruang
potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti
gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal serta telinga tengah dan leher , abses parafaring yaitu
peradangan yang disertai pembentukan pus pada ruang parafaring. Prevalensi adalah 38,4 % dari
seluruh kasus abses leher dalam. Komplikasi pada abses parafaring yang dapat terjadi salah
satunya adalah sepsis. Sepsis masih menjadi penyebab kematian utama di beberapa negara.
Tujuan: Mempresentasikan kasus abses parafaring dengan komplikasi sepsis.
Kasus: Dilaporkan sebuah kasus, seorang laki-laki, berusia 46 tahun datang dengan keluhan
bengkak pada leher bagian kiri sejak 1 minggu yang lalu, keluhan dirasakan terus menerus
dan semakin membesar disertai nyeri. Pasien juga mengeluhkan setiap minum selalu batuk,
dan sulit untuk menelan makanan, Pasien telah memeriksakan dirinya ke klinik dokter umum,
namun keluhan belum juga membaik, semakin hari semakin sulit menelan, saat ini pasien
juga mengeluhkan adanya demam. Temuan fisik: adanya kenaikan suhu tubuh. Status lokalis:
regio colli sinistra pada inspeksi, tampak adanya benjolan, batas tidak tegas, ukuran 4x2x1
cm, palpasi teraba infiltrat, terdapat nyeri tekan, tidak ada pembesaran KGB ataupun
pembesaran tiroid. Hasil foto soft tissue leher menunjukkan. Penatalaksanaan: Dilakukan
insisi dan drainase abses dan pemberian antibiotik
Kesimpulan: Infeksi pada parafaring yang terjadi dapat mengakibatkan terjadinya abses, dan
jika berlangsung terus menerus dapat menyebabkan komplikasi.
Kata kunci: Abses parafaring, Sepsis
PARAPHARYNGEAL ABSCESS WITH SEPSIS COMPLICATIONS : A
CASE REPORT
Farah Arviani Azzahra*, Jasmine Medisa Rimadhiani*, Edy Riyanto Bakri**

*Student of Medical Faculty, Swadaya Gunung Jati University


**Lecturer of Department Otolaryngology Head and Neck Surgery, Faculty of Medicine Swadaya Gunung Jati
University/Waled Regional Hospital

Background: Deep neck abscess is the formation of pus in one or more potential spaces
between the deep neck fascia as a result of the spread of infection from various sources such
as teeth, mouth, throat, paranasal sinuses and middle ear and neck, parapharyngeal abscess,
which is inflammation accompanied by the formation of pus in the space. parapharynx. The
prevalence was 38.4% of all cases of deep neck abscess. One of the complications of
parapharyngeal abscess that can occur is sepsis. Sepsis is still the leading cause of death in
some countries. Objective: To present a case of parapharyngeal abscess with sepsis
complications. Case: A 46-year-old man came with complaints of swelling on the left side of
the neck since 1 week ago, the symptoms were felt continuously and getting bigger with pain.
The patient also complains that every time he drinks he always coughs, and he difficult to
swallow food. The patient has checked himself to a general practitioner's clinic, but the
symptoms have not improved, it is increasingly difficult to swallow, now patient also
complaining a fever. Physical findings: increased body temperature. Local status: at colli
sinistra on inspection, there is a lump, the boundaries are not clear, the size is 4x2x1 cm, on
palpable there is infiltrates, with tenderness, there are no lymph node enlargement or thyroid
enlargement. The non-contrast CT-Scan of the mastoid showed the presence of left
mastoiditis. Management: Incision and drainage of abscess and antibiotic.
Conclusion: Parapharyngeal infection that occurs can result in an abscess, and if it persists it
can cause complications.

Keywords: Parapharyngeal abscess, Sepsis


I. LATAR BELAKANG sepsis. Sepsis masih menjadi penyebab
kematian utama di beberapa negara Eropa
Abses leher dalam adalah terbentuknya
setelah infark miokard akut, stroke, dan
pus pada salah satu atau lebih ruang
potensial di antara fasia leher dalam sebagai
trauma. Hampir 50% pasien intensive care

akibat penjalaran infeksi dari berbagai unit (ICU) merupakan pasien sepsis.
sumber seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus Angka kematian disebabkan sepsis di ICU
paranasal serta telinga tengah dan leher. RSUP dr Kandou Manado sebesar 65,7%.
Abses leher dalam tergolong sebagai Di RSUP dr Soetomo Surabaya, angka
kedaruratan THT karena merupakan suatu syok septik sebesar 14,58%, dan 58,33%
kondisi yang mengancam jiwa akibat sisanya sepsis.
komplikasi-komplikasinya yang serius
seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan
II. LAPORAN KASUS
saraf kranial, mediastinitis, dan kompresi
IDENTITAS PASIEN
hingga ruptur arteri karotis interna. Abses
Nama : Tn. R
parafaring yaitu peradangan yang disertai
pembentukan pus pada ruang parafaring. Umur : 46 tahun

Sebelum era antibiotika, 70% dari abses Jenis Kelamin : Laki-laki


leher dalam merupakan penjalaran infeksi Pekerjaan : Kuli bangunan
dari tonsil dan faring, akan tetapi saat ini Alamat : Pasaleman
penyebab abses leher dalam yang sering Agama : Islam
ditemukan adalah infeksi gigi dan sekitar
20% kasus abses leher dalam dengan sumber ANAMNESIS

infeksi yang tidak ditemukan.1 Keluhan Utama:


Bengkak pada leher sebelah kiri
Gejala dan tanda abses ini adalah Riwayat Penyakit Sekarang :
trismus, pembengkakan sekitar angulus Seorang laki-laki, berusia 46 tahun
mandibula, demam dan adangan datang ke IGD RSUD Waled pada
pembengkakan dinding lateral faring tanggal 29 Juni 2021 dengan keluhan
ipsilateral. Komplikasi yang berbahaya bengkak pada leher bagian kiri sejak 1
dan sulit untuk diatasi adalah apabila minggu yang lalu, keluhan dirasakan
terjadi sepsis. Prevalensi abses parafaring terus menerus dan semakin membesar
ini 38,4% dari seluruh kasus abses leher disertai nyeri. Pasien juga mengeluhkan
dalam . setiap minum selalu batuk, dan sulit

Komplikasi pada abses parafaring untuk menelan makanan,

yang dapat terjadi salah satunya adalah

3
Menurut keterangan pasien, sebagai Frekuensi nadi: 139 kali/menit
kuli bangunan, pasien sering Suhu : 37,2 °C
mengkonsumsi mie dan es teh manis, Status Lokalis
hampir setiap bekerja diberikan suguhan Telinga
mie dan es teh manis. Pasien telah Dextra Sinistra
Auricula Bentuk nomal Bentuk normal
memeriksakan dirinya ke klinik dokter Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Benjolan (-) Benjolan (-)
umum, namun keluhan belum juga Lesi kulit (-) Lesi kulit (-)
Preauricula Tragus pain (-) Tragus pain (-)
membaik, semakin hari semakin sulit Fistula (-) Fistula (-)
Abses (-) Abses (-)
menelan, akhirnya pasien berobat ke Hiperemis (-) Hiperemis (+)
Retroauric Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
klinik praktik dokter spesialis THT, dan ula Edema (-) Edema (-), Luka
Hiperemis (-) (+)
disarankan untuk dirujuk ke RSUD Hiperemis (-)
Mastoid Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (+)
Waled. Saat ini pasien juga Edema (-) Edema (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (+)
mengeluhkan adanya demam. Membran Intak (+) reflek Sulit dinilai
timpani cahaya (+),
serumen (-),
Riwayat Penyakit Dahulu secret(-)

 Riwayat alergi (-)


Hidung
 Riwayat Asma (-)
Dextra Sinistra
 Riwayat hipertensi (-) Bentuk Normal Normal
Sekret - -
 Riwayat penyakit yang sama (-) Mukosa Merah muda Merah muda
Septum deviasi (-) (-)
Riwayat Penyakit Keluarga Massa (-) (-)
Corpus (-) (-)
 Riwayat alergi (-) alienum

 Riwayat asma (-)


Mulut dan Orofaring
 Riwayat hipertensi (-)
Oral : dapat dibuka mulut dengan baik
Riwayat Sosial Ekonomi
Mukosa bukal: warna merah tua
 Pasien: Pasien merupakan kuli Ginggiva : warna merah tua
bangunan, dan berasal dari keluarga Gigi geligi : lengkap, karies (-), gangren
ekonomi menengah kebawah. (-)
PEMERIKSAAN FISIK Lidah 2/3 anterior: warna merah muda
Keadaan Umum : baik, tampak sakit Pahtum durum: warna merah muda
sedang Pahtum mol : warna merah muda
Kesadaran : composmentis Tonsil
Tanda- tanda vital: Dextra Sinistra
Ukuran T2 T2
Tekanan darah : 120/80 mmHg Kripta Tidak Tidak
melebar melebar
Frekuensi nafas: 27 kali/menit

4
Permukaan Rata Rata PEMERIKSAAN PENUNJANG
Warna Merah Merah
muda muda Laboratorium
Detritus (-) (-)
Peritonsil Abses (-) Abses (-) Hematologi
Pilar anterior Merah Merah
muda muda HB: 17,2
HT :51
Maksilofasial
Trombosit: 433
Wajah simetris. Tidak tampak parese N
Leukosit:24.8
cranialis, dan tidak tampak adanya nyeri
PT: 10.8
tekan sinus.
APTT: 32.6
Leher
Kimia klinik
- Inspeksi : Tampak adanya benjolan,
GDS Stick 1: 124
batas tidak tegas, ukuran 4x2x1 cm
NA: 145.1
a/r colli sinistra
K: 4.89
- Palpasi : Teraba infiltrat, nyeri tekan
Cl:107.5
(+) a/r colli sinistra
Ureum :170.1
- Tidak ada pembesaran KGB ataupun
Kreatinin 1.80
pembesaran tiroid.

Gambar 2.1 Foto Thorax

Gambar 2.2 Foto Soft Tissue Leher

5
III. DISKUSI yang meliputi mandibula, pterigoideus
III.1 Definisi Abses Parafaring medial, dan parotis. Batas posterior

Abses adalah kumpulan nanah dibentuk oleh divisi prevertebra dari


lapisan profunda dan sisi posterior
dalam suatu rongga yang terjadi akibat
selubung karotis (tepatnya batas postero
adanya suatu proses infeksi bakteri
lateral). Batas anterior merupakan fasia
piogenik yang terdapat dibawah
interpterigoideus dan rafe
jaringan, organ, atau ruang-ruang
pterigomandibula. Ruang parafaring ini
kosong. Abses mempunyai daerah dapat dibagi-bagi menjadi kompartemen-
pusat yang menonjol yang terjadi kompartemen oleh suatu garis yang ditarik
akibat penumpukan sel dan jaringan dari lamina pterygoid menuju prosesus
yang mati. Daerah tersebut dilindungi styloid.
oleh neutrofil, sedang disebelah
luarnya terdapat pelebaran pembuluh
darah serta jaringan parenkim dan
fibroblast yang berfungsi mempercepat
proses penyembuhan.
Abses parafaring adalah infeksi
di daerah parafaring yang dapat meluas
dan menyebabkan penimbunan nanah.1
III.2 Anatomi Parafaring
Ruang parafaring (disebut juga ruang
faring lateral, ruang faringomaksila, ruang Gambar 3.1 Ilustrasi bentuk ruang
pterigomaksila, ruang pterigofaring), parafaring.1
merupakan ruang potensial yang termasuk Kompartemen anterior berisi arteri
bagian dari ruang leher dalam yang maksilaris interna, nervus alveolaris
berbentuk piramida terbalik (Gambar 1), inferior,nervus lingualis, dan nervus
yang terbentuk dari multi komponen aurikulotemporalis. Infeksi yang terjadi
sistem fasia. Batas-batas ruang parafaring pada kompartemen ini ditandai adanya
adalah di inferior oleh kornu minor tulang trismus. Kompartemen posterior berisi
hyoid, di superior oleh dasar tengkorak, selubung karotis (arteri karotis, vena
sebelah medial dibatasi divisi viseral dari jugularis interna, dannervus vagus), nervus
lapisan media (sepanjang otot konstriktor glosofaringeal,nervus hipoglosus,
faring) dan fasia otot-otot tensor dan persyarafan simpatis, dan pembuluh limfe.
levator veli palatini serta stiloglosus. Batas Nervus asesorius juga berada dalam
lateral dipertegas oleh lapisan superfisial kompartemen ini, tetapi seringkali

6
terlindungi dari proses infeksi yang terjadi 3.4 Etiologi
dalam kompartemen posterior Etiologi infeksi di daerah leher

Ruang parafaring berhubungan


dapat bermacam-macam. Angka

dengan ruang retrofaring di bagian morbiditas dan mortalitas tentunya


posteromedial, ruang submandibula di tergantung pada komplikasi yang
bagian inferior, dan ruang mastikator di terjadi. Kuman penyebab abses leher
bagian lateral, secara umum, ruang dalam biasanya terdiri dari campuran
parafaring merupakan pusat hubungan dari kuman aerob, anaerob maupun
semua ruang potensial leher dalam. fakultatif anaerob.
Kejadian infeksi dalam ruang parafaring
seringkali menyebar ke ruang-ruang
potensial lainnya, terutama ruang
retrofaring dan selubung karotis

Gambar 3.3 Etiologi abses leher dalam


III.3 Patofisiologi
Abses parafaring dimulai dari
infeksi jaringan lunak pada daerah
kepala dan leher. Infeksi ini dapat
meluas dari salah satu ruang potensial
leher dalam, yang kemudian mengenai
parafaring. Suatu infeksi bakteri di
1
Gambar 3.2 Ruang parafaring.
ruang parafaring dapat terjadi melalui
Ruang parafaring dibagi atas:
beberapa cara:
- Pre styloid : Medial-Fosa tonsilaris 1. Bakteri menyebar dari suatu infeksi
Lateral-Pterygoid medial di bagian tubuh yang lain misalnya
Kandungan lemak, melalui saluran vaskuler menyebabkan
jaringan penghubung terjadinya endoplebitis atau trombosis
kelenjar limfe atau melalui saluran limfatik sehingga
- Post styloid : Selubung karotis
menyebabkan terjadinya supurasi
Nervus IX,X,XII
kelenjar limfe servikal profunda.
Infeksi di bagian tubuh yang lain

7
seperti pada tonsilitis, faringitis akut, pasien sedang menoleh atau sedang
adenoiditis, perluasan peritonsiler menggerakkan leher. Pada beberapa
abses, infeksi gigi molar pada pasien didapatkan riwayat sakit gigi
pencabutan gigi molar bawah, tindakan atau riwayat tertelan benda asing.
endoskopi per oral yang kasar, Keluhan lain didapatkan sulit menelan
perluasan infeksi glandula parotis atau selama beberapa hari, trismus bahkan
pada timpano-mastoiditis kronis sampai sesak nafas.
melalui abses Bezold. Pemeriksaan fisik tergantung dari
2. Bakteri masuk ke bawah kulit akibat lokasi infeksi yang terjadi, akan tetapi
adanya luka atau trauma tindakan secara umum dapat dijumpai
seperti esofagoskopi atau bronkoskopi; pembengkakan pada dinding faring
tertelan benda asing; tusukan jarum lateral terutama dibelakang arkus
yang tidak steril di leher pada posterior. Tonsil terdorong ke medial
pencandu morfin. atau kearah anterior. Terjadi gangguan
3. Lymphadenitis, peradangan pada terutama pada saraf kranial N IX, X
kelenjar limfe itu sendiri. dan XII. Selain itu sering didapatkan
karies dentis dan trismus yaitu
III.4 Penegakan diagnosis terbatasnya gerakan membuka mulut
Untuk menegakkan diagnosis akibat perluasan infeksi yang
abses parafaring diperlukan anamnesis menimbulkan spasme iritatif pada
yang cermat, pemeriksaan fisik, m.pterigoideus internus.
radiologi, laboratorium dan aspirasi Pemeriksaan penunjang meliputi
pus dengan jarum besar untuk pemeriksaan kultur kuman dan test
pemeriksaan kultur dan tes kepekaan kepekaan antibiotik, pemeriksaan
kuman. Gejala yang dapat timbul darah akan didapatkan adanya
berupa demam, trismus, nyeri peningkatan jumlah leukosit.
tenggorokan, odinofagia dan disfagia. Pemeriksaan penunjang lain yang
Pada anamnesis pasien dengan diperlukan adalah pemeriksaan
abses parafaring didapatkan riwayat radiologi, berupa pemeriksaan foto
demam, pembengkakan dan nyeri pada leher AP/lateral dalam kondisi soft
daerah infeksi terutama di daerah tissue memberikan gambaran adanya
parafaring, regio tiroid dan regio pembengkakan, gambaran udara di
submandibular. Keluhan nyeri subkutan, air fluid levels, erosi dari
biasanya akan semakin hebat ketika korpus vertebrae. Panoramics,

8
dilakukan pada pasien yang dicurigai menembus m.konstriktor faring
infeksi berasal dari gigi. Foto toraks superior ke dalam ruang parafaring
juga perlu dilakukan untuk anterior. Insisi intraoral dilakukan
mengevaluasi adatidaknya emfisema bila perlu dan sebagai terapi
subkutis terdorongnya saluran tambahan.
pernapasan dan pneumonia akibat Pendekatan eksternal ke ruang
aspirasi abses, dan pada kasus tertentu parafaring dilakukan melalui sayatan
dilakukan pemeriksaan CT-Scan leher, horizontal pada lipatan kulit serviks.
Computed tomographic (CT) scan Tergantung pada luasnya abses
adalah tes radiologi pilihan. Ini a. Modified apron incision.
memberikan rincian ukuran, lokasi Digunakan untuk mengekspos
abses dan posisi relatif terhadap daerah submandibular dan bagian
pembuluh darah besar. Hubungan atas ruang parafaring. Sayatan
rongga abses dengan ruang lain di dimulai pada segitiga submental.
leher, terutama retrofaring, sangat jelas
terlihat pada CT scan (penyebaran ke
ruang retrofaring memiliki risiko
mediastinitis yang mengancam jiwa)..
III.5 Penatalaksanaan

Tatalaksana abses parafaring


Gambar 3.4 Sayatan pada
meliputi operasi untuk evakuasi dan
Modified apron incision
drainase, identifikasi kuman penyebab
b. Hockey stick incision. Digunakan
dan pemberian antibiotic
untuk mengekspos seluruh ruang
- Operattif parafaring. Sayatan dimulai
Levitt et al adalah yang pertama diujung mastoid
membahas pendekatan bedah yang
berbeda untuk drainase abses leher
dalam. Mereka telah
mengklasifikasikannya ke dalam
pendekatan intraoral dan eksternal.
Insisi intraoral dilakukan pada
dinding parafaring. Dengan memakai
klem arteri eksplorasi dilakukan

9
Gambar 3.5 Sayatan pada sedikit dan tidak disertai dengan
Hockey stick incision gangguan sistem pernafasan,
- Antibiotik pemberian antibiotik dapat diberikan
Pemberian antibiotik tanpa dilakukan pembedahan.
parenteral dalam dosis tinggi perlu III.6 Komplikasi
segera diberikan, sambil menunggu Banyak hal yang dapat
hasil kultur kuman penyebab. menjadi penyebab komplikasi dari
Pemilihan jenis antibiotik biasanya abses parafaring, diantaranya adalah
yang dapat membunuh semua jenis terapi yang tidak tepat, dan tidak
kuman baik gram negatif atau gram adekuat, keterlambatan diagnosis dan
positif, ataupun kuman aerob maupun penatalaksanaan terapi abses
anaerob. Penggunaan injeksi parafaring. Komplikasi yang dapat
Penicillin Procain dan Metronidazole terjadi diantaranya adalah sumbatan
sering menjadi pilihan. Bila penderita jalan nafas akibat dari pendesakan
alergi terhadap golongan Penicilin trakea, aspirasi dari pus, bisa secara
dapat diberikan Eritromicin, spontan maupun pada saat
Clindamycin atau Cephalosporin. memasukkan pipa endotrakea,
Kombinasi salah satu obat tersebut komplikasi pembuluh darah misalnya
dengan Amynoglikosida dapat trombosis vena intra jularis, ruptur
memberikan perlawanan terhadap arteri karotis, mediastinitis, defisit
kuman gram negatif Enterobacilli dan neurologi, sepsis, fasiitis nekrotik
Pseudomonas aeroginosa dengan leher, dan osteomielitis
baik. Para ahli mengatakan III.7 Definisi Sepsis
pemberian antibiotik parenteral Sepsis merupakan disfungsi
dengan spektrum luas diberikan organ akibat gangguan regulasi
sebagai terapi pilihan, bila pada saat respons tubuh terhadap terjadinya
48 jam post drainase pus tidak infeksi. Kondisi sepsis merupakan
didapatkan perubahan. Pemberian gangguan yang menyebabkan
antibiotik parenteral dapat diberikan kematian.
sampai dengan 48 jam bebas panas, III.8 Patofisiologi
kemudian dilanjutkan dengan Respons utama inflamasi dan
pemberian antibiotik per oral. prokoagulan terhadap infeksi terkait
Pada kasus abses parafaring sangat erat. Beberapa agen infeksi
yang ringan, dimana pus hanya dan sitokin inflamasi seperti tumor

10
necrosis factor α (TNF-α) dan membatasi pembentukan trombin.
interleukin-1 mengaktifkan sistem Penurunan trombin akan berdampak
koagulasi dengan cara menstimulasi terhadap proses inflamasi,
pelepasan faktor jaringan dari prokoagulan, dan antifibrinolitik.
monosit dan endothelium yang Menurut data in vitro menunjukkan
memicu terhadap pembentukan bahwa protein aktif C memberikan
trombin dan bekuan fibrin. Sitokin efek antiinflamasi dengan
inflamasi dan trombin dapat menghambat produksi sitokin
mengganggu potensi fibrinolitik inflamasi
endogen dengan merangsang (TNF-α, interleukin-1, dan
pelepasan inhibitor plasminogen- interleukin-6) oleh monosit dan
activator 1 (PAI-1) dari platelet dan membatasi monosit dan neutrofil
endothelium. PAI-1 merupakan pada endothelium yang cedera
penghambat kuat aktivator dengan mengikat selectin.
plasminogen jaringan, jalur endogen Hasil akhir respons jaringan terhadap
untuk melisiskan bekuan fibrin. infeksi berupa pengembangan luka
Efek lain dari trombin prokoagulan endovaskuler difus, trombosis
mampu merangsang jalur inflamasi mikrovaskuler, iskemia organ,
multipel dan lebih menekan sistem disfungsi multiorgan, dan kematian.
fibrinolitik endogen dengan
mengaktifkan inhibitor fibrinolisis III.9 Penegakan diagnosis
thrombin- activatable (TAFI). Skrining awal dan cepat dapat
Mekanisme kedua melalui aktivasi dilakukan di setiap unit gawat
protein aktif C yang berkaitan dengan darurat. Kriteria baru sepsis
respons sistemik terhadap infeksi. menggunakan Sequential Organ
Protein C adalah protein endogen Failure Assessment (SOFA).SOFA
yang mempromosikan fibrinolisis dan melakukan evaluasi terhadap fungsi
menghambat trombosis fisiologis, respirasi, koagulasi,
dan peradangan, merupakan hepatik, sistem saraf pusat, dan
modulator penting koagulasi dan ginjal. Makin tinggi skor SOFA akan
peradangan yang terkait dengan meningkatkan morbiditas dan
sepsis. Kondisi tersebut memberikan mortalitas sepsis.
efek antitrombotik dengan Kriteria simpel menggunakan
menginaktivasi faktor Va dan VIIIa, qSOFA. qSOFA dinyatakan positif

11
apabila terdapat 2 dari 3 kriteria. Kriteria Tekanan darah sistolik <90

Skoring tersebut cepat dan sederhana hemodinamik mmHg, Tekanan arteri rerata
<70 mmHg atau tekanan darah
serta tidak memerlukan pemeriksaan
sistolik turun >40 mmHg
laboratorium. Saturasi darah vena <70%
Syok septik dapat diidentifikasi Indeks kardiak >3,5L/menit/m
Kriteria inflamasi Jumlah leukosit > 12000/mm3
dengan adanya klinis sepsis dengan
atau < 4000/mm3 atau
hipotensi menetap. Kondisi hipotensi
ditemukan sel leukosit muda
membutuhkan tambahan vasopressor >10% Kadar protein C reaktif
untuk mempertahankan kadar MAP meningkat >2 kali nilai normal
>65 mmHg dan laktat serum >2 Kadar procalcitonin meningkat
>2 kali nilai normal
mmol/L walaupun telah dilakukan
Kriteria PaO2/FIO2 < 300 mmHg
resusitasi. Gangguan Fungsi Produksi urin <0,5 mg/kgBB
Kriteria SOFA muncul setelah Organ Gangguan pembekuan darah

pembaharuan definisi dan kriteria Ileus


Trombositopenia
sepsis bertujuan untuk mengurangi
Ikterus
morbiditas dan mortalitas sepsis. Kriteria perfusi Kadar laktat > 3 mmol/L
Kriteria tahun 1992 menggunakan jaringan Pengisian kapiler melambat
Tabel 3.2 Kriteria sepsis
istilah Sindrom Respons Inflamasi
Sistemik (SIRS). SIRS terdiri dari III.10 Penatalaksanaan
kriteria umum yang meliputi kondisi Karena infeksi menyebabkan sepsis,
vital pasien, terdapat kriteria penanganan infeksi merupakan komponen

inflamasi, kriteria hemodinamik, dan penting dalam penanganan sepsis. Tingkat

kriteria gangguan fungsi organ. kematian akan meningkat dengan adanya


penundaan penggunaan antimikroba. Untuk
meningkatkan keefektifitas penggunaan
antibiotik, penggunaan antibiotik
berspektrum luas sebaiknya disertai dengan
kultur dan identifikasi sumber penularan
kuman.
Tabel 3.1 Kriteria SOFA
Dan hal ini dilakukan sesegera mungkin.
Kriteria SIRS Suhu : <36°C atau >38°C Protokol terbaru merekomendasikan bahwa
Nadi : 90 kali/menit penggunaan antibiotik harus diberikan
Laju napas : >20/menit atau maksimal dalam waktu 1 jam. Rekomendasi
PaCO2 <32 mmHg Leukosit ini berdasarkan berbagai penelitian yang
<4000/mm3 atau > 12000/mm3 meunjukkan bahwa penundaan dalam

12
penggunaan antibiotik berhubungan dengan
peningkatan resiko kematian. Penggunaan
vasopressor yang direkomendasikan adalah
norepinefrin untuk mencapai target MAP ≥
65 mmHg. Penggunaan cairan yang
direkomendasikan adalah cairan kristaloid
dengan dosis 30 ml/kgBB dan diberikan
dengan melakukan fluid challenge selama
didapatkan peningkatan status hemodinamik
berdasarkan variabel dinamis (perubahan
tekanan nadi, variasi volum sekuncup) atau
statik (tekanan nadi, laju nadi). Pada suatu
penelitian yang dilakukan oleh Bernard et al ,
penggunaan drotrecogin α (Human Activated DAFTAR PUSTAKA
Protein C) menurunkan tingkat kematian
1. Pulungan, Rusli. Pola Kuman Abses
pada pasien dengan sepsis. Protein C yang
Leher Dalam. Bagian THT FK
teraktivasi akan menghambat pembentukan
Andalas. Padang. 2015
thrombin dengan menginaktifasi factor Va,
VIIIa dan akan menurunkan respon 2. Batu, Maranatha Lumban.

inflamasi. Diagnosis dan Penatalaksanaan


Abses Parafaring. Departement
THT-KL FKUnair. Surabaya. 2010
3. Aguslia, Shinta, Farokah. Pola
kuman dan sensitivitas terhadap
III.11 Komplikasi antibiotic pasien abses leher dalam
di RSUP Dr. Kariadi.
MedicaHospitalia. Semarang. 2016
4. Imanto, Mukhlis. Evaluasi
Penatalaksanaan Abses Leher Dalam di
Departemen THT-KL Rumah Sakit
Hasan Sadikin Bandung Periode
Januari 2012–Desember 2012 . Juke
Unila. Lampung. 2015
5. Tubachi, Jagadish. Arsheed
Hakeem. Surgical Management of
Parapharyngeal Abscess.

13
Otorhinolaryngology clinics.
International journal. 2012
6. Putra, Ivan Aristo. Update
Tatalaksana Sepsis. CDK. Vol 46.
Surakarta. 2019
7. Irvan, Febyan dkk. Sepsis dan
Tatalaksana berdasarkan Guidline
Terbaru. Dikti. Vol X. Jakarta. 2019
8. Evans, Tom. Diagnosis and
Management of Sepsis. CME
Infectious Disease. CM vol 18.
2018

14

Anda mungkin juga menyukai