Anda di halaman 1dari 8

YTH.

PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA:


COVID-19 BUKAN ALASAN UNTUK MENCEDERAI HAK ASASI WARGA NEGARA

 Arief Maulana 

“Bila omongan penguasa tidak boleh dibantah, kebenaran pasti akan terancam. Jika usul
ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif
dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: lawan!” (Wiji Thukul).

PENDAHULUAN
Kata-kata puitis penuh semagat di atas menyiratkan bahwa hak asasi harus dilindungi
oleh setiap pemerintah yang berkuasa. Salah satu konsideran Universal Declaration of
Human Rights PBB menyebutkan bahwa “hak-hak asasi manusia perlu dilindungi oleh
peraturan hukum supaya orang tidak akan terpaksa memilih pemberontakan sebagai usaha
terakhir guna menentang kelaliman dan penindasan” (un.org). Pemberangusan terhadap
kebebasan berpendapat merupakan langkah awal pembodohan terhadap kehidupan bangsa.
Muhammad Abduh menyatakan bahwa kebebasan adalah fitrah manusia, bahkan Tuhan pun
tak pernah sekalipun membungkam kebebasan (free will) makhluknya (Didin Saefudin,
2003).
Kemudian, jika dikaitkan dengan kondisi dunia saat ini, Scilla Alecci dari International
Consortium of Investigative Journalist (ICIJ) menulis adanya tren di mana pemerintah di
beberapa negara melanggar hak dasar warganya dengan dalih keamanan (icij.org, 2 April
2020). Di Serbia, beberapa jurnalis ditangkap polisi karena memberitakan tentang
ketidaklengkapan alat perlindungan diri (APD) bagi petugas kesehatan (ipi.media, 3 April
2020). Di Venezuela, seorang gubernur mengancam untuk menangkap seorang reporter
karena mempertanyakan kesiapan rumah sakit lewat laman Facebooknya (aljazeera.com, 3
Mei 2020). Sedangkan di Asia, ada Kamboja sebagai contohnya. Di sana, pemerintahnya
telah menangkap 17 orang sejak akhir Januari 2020 karena membagikan informasi soal
Covid-19. Selain itu, selain menyasar kubu oposisi, krisis Covid-19 ini digunakan sebagai
alasan oleh pemerintah Kamboja untuk menangkap warga biasa yang mengekspresikan
pandangannya di media massa (reuters.com, 24 Maret 2020).
Berbeda dengan Kamboja, pemerintah India meminta pemilik dan editor surat kabar
untuk bertindak sebagai penyambung antara pemerintah dan masyarakat serta
mempublikasi berita-berita positif dan menginspirasi. Langkah ini menuai kritikan keras
karena menempatkan media sebagai bagian dari pemerintah, alih-alih sebagai lembaga
independen yang seharusnya mengawasi kerja pemerintah. Seolah tak cukup, pemerintah
India bahkan meminta Mahkamah Agung untuk melarang semua pemberitaan Covid-19
tanpa izin pemerintah (hindustantimes.com, 24 Maret 2020).
Respons yang dilakukan pemerintah Hongaria jauh lebih ekstrim lagi. Perdana
Menteri Viktor Orban diberikan kuasa untuk memberlakukan rule by decree dengan batas

1
waktu yang tak ditentukan. Artinya, Viktor Orban boleh menciptakan produk hukum atau
kebijakan baru tanpa melalui parlemen dan lembaga-lembaga lainnya. Selain itu, parlemen
Hongaria juga mengeluarkan aturan yang menjatuhkan hukuman penjara hingga 5 tahun
bagi mereka yang menyebarkan “kebohongan” mengenai virus corona atau tindakan
mengatasinya (theguardian.com, 23 Maret 2020).
Lalu, apakah Pemerintah Indonesia sedang mengikuti jejak beberapa negara yang
pemerintahnya berupaya mendapatkan “kekuasaan ekstra” di tengah pandemi Covid-19?
Pertanyaan ini layak dimunculkan setelah kita sama-sama menyaksikan gestur represif yang
beberapa kali ditunjukkan oleh pejabat publik, khususnya dalam bidang hak warga atas
informasi dan komunikasi. Dimulai dari pernyataan juru bicara presiden Fadjroel Rachman,
yang meminta masyarakat untuk berhenti menyampaikan kritik negatif terhadap upaya
pemerintah dalam menanggulangi wabah Covid-19. Lalu disusul dengan wacana
pemberlakukan status “darurat sipil”, yang membuat Presiden Jokowi punya kewenangan
lebih kuat dari sebelumnya, seperti membatasi informasi publik, melarang pemberitaan
tanpa izin, dan serta mengetahui percakapan antarwarga via telepon. Yang paling anyar
adalah langkah Kepolisian Republik Indonesia yang menerbitkan surat telegram. Dengan
dalih demi menjaga keamanan, surat telegram ini berisi instruksi tentang penanganan
penyebar hoaks, pelaku penghina presiden serta pejabat pemerintahan di ruang siber.
Apa yang sama dari pernyataan dan aturan tersebut adalah adanya potensi ancaman
yang bakal melanggar hak berpendapat dan berekspresi warga, dan dalam jangka panjang
itu semua bisa memperburuk iklim demokrasi. Pasalnya, aturan-aturan tersebut sangat
mungkin mengkriminalisasi warga yang mengkritik pemerintah atau jurnalis yang mana fakta
dalam beritanya mungkin tidak sesuai dengan selera rezim penguasa. Dari semua kasus di
atas, kita bisa melihat bagaimana tren represi yang dilakukan pemerintah di berbagai negara
dilancarkan dengan menggunakan krisis Covid-19 sebagai alibinya.

YTH. PEMERINTAH INDONESIA: BAGAIMANA NASIB “NEGARA HUKUM” KITA?


Setiap bencana besar punya potensi besar untuk mengubah sejarah peradaban umat
manusia. Tak terkecuali, pandemi global Covid-19 yang sedang dihadapi oleh umat manusia
di berbagai negara. Perlahan tapi pasti, kita lihat potensi perubahan di berbagai aspek
peradaban dalam  pandemi ini. Suatu kondisi normal yang baru (new normal) semakin terasa
mendekat dan membayangi kita semua. Meningkatnya ketergantungan pada teknologi,
tanda-tanda mulai menyempitnya ruang kebebasan sipil, menguatnya peran negara dalam
mendisiplinkan warga, melemahnya perekonomian berbagai negara, dan lain sebagainya.
Ketika peradaban berubah, perilaku manusia pun berubah. Ketika perilaku manusia berubah,
hukum pun bisa berubah.
Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 jelas menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara
hukum. Dalam penjelasannya, dijabarkan bahwa negara Indonesia berdasar atas hukum
(rechtstaat), tidak berdasar kekuasaan belaka (machstaat). Pada dasarnya, kekuasaan
negara harus dibatasi hukum, dan hak asasi manusia harus dilindungi. Lantas, bagaimana
dengan nasib “negara hukum” Indonesia di kala pandemi saat ini?

2
Sebelum pandemi, kita bisa dengan bangga mengucapkan fiat justitia ruat caelum
(tegakkan keadilan walaupun langit runtuh). Kenyataannya, menegakkan keadilan tidak
semudah dalam pepatah. Langit masih belum runtuh, bumi pun masih beredar di garis orbit
yang telah ditentukan, tapi kita sudah mulai tergoda untuk mengesampingkan hukum dan
hak asasi manusia dengan alasan pandemi. Lalu, di kala pandemi melanda, kita mulai
mengutip ungkapan lainnya: salus populi suprema lex esto (keselamatan rakyat merupakan
hukum tertinggi). Tak ada yang salah dengan kutipan dari Cicero itu. Makna ungkapan ini
juga tidak bertentangan dengan makna fiat justitia ruat caelum. Namun ungkapan ini juga
bisa saja disalahgunakan untuk menjustifikasi kesewenang-wenangan atas nama
keselamatan rakyat.
Pandemi Covid-19 ini mungkin satu-satunya masa di mana warga negara, termasuk
para aktivis pro demokrasi dan hak asasi manusia, meminta agar pemerintah cepat
mengambil langkah untuk menerapkan pembatasan-pembatasan. Berbagai  jenis dan tingkat
pembatasan tentunya bukan hanya wajar, tapi juga memang harus diterapkan dalam
menghadapi pandemi ini. Strategi penelusuran (tracing), pembatasan/karantina (isolating),
pemeriksaan/pengujian (testing), dan perawatan (treatment) sudah menjadi resep wajib
yang dijalankan oleh berbagai negara dengan kadarnya masing-masing.
Namun demikian, penting untuk kita ingat bersama, bahwa pembatasan dalam
pandemi bukanlah tak berbatas. Hukum dan hak asasi manusia harus selalu menjadi
panduan agar pembatasan tidak bablas menjadi pengekangan yang berlebihan, apalagi
penyalahgunaan kekuasaan. Dalam menghadapi pandemi, komitmen kita pada prinsip-
prinsip negara hukum sebenarnya sedang dalam ujian berat.
Tak ada yang  menyangkal bahwa penegakan hukum tetaplah harus berjalan dalam
situasi pandemi apapun. Tak bisa dipungkiri juga, bahwa ada berbagai pembatasan yang
dibenarkan dan diharuskan ada secara proporsional, dalam rangka melindungi kesehatan
masyarakat. Namun bukan berarti penegakan hukum tersebut bisa dilakukan dengan
mencederai hak asasi manusia atau melanggar hukum itu sendiri. Kita harus bisa
membedakan antara Rule of Law, dengan sekedar Rule by Law. Merawat kebebasan adalah
bagian dari upaya merawat negara hukum dalam pandemi. Berada dalam darurat kesehatan,
bukan berarti kita juga harus mengalami darurat kebebasan.
 
YTH. PEMERINTAH INDONESIA: LINDUNGI HAK ASASI WARGA NEGARA ANDA!
Berkenaan dengan penanganan Covid-19 oleh Pemerintah Indonesia, kita memahami
bahwa pandemi sebagai situasi darurat kesehatan yang berdampak pada persoalan ekonomi
dan sosial. Namun demikian,  pembatasan, atau tindakan dan kebijakan yang diambil harus
proporsional, serta tidak mengorbankan hak asasi manusia dan demokrasi yang dilindungi
dan dijamin oleh konstitusi (amnesty.id, 9 April 2020). Pada situasi pandemi, kita melihat
bahwa penanganan Covid-19 menimbulkan dampak yang tidak diinginkan terhadap situasi
dan kondisi hak asasi manusia. Kita mengkhawatirkan kerentanan menjadikan pandemi
Covid-19 sebagai alasan untuk memberangus hak asasi manusia dan mengancam demokrasi.

3
Namun, apa sebenarnya dampak Covid-19 terhadap hak asasi manusia? Dari
sejumlah analisis media, setidaknya ada empat hak asasi warga negara yang terdampak
akibat pandemi global ini, yaitu:
1. Hak atas Kesehatan
Masih ingat soal tenaga kesehatan kita yang kekurangan alat pelindung diri
(APD) dan terpaksa memodifikasi jas hujan, plastik sampah dan aneka rupa materi
lainnya untuk melindungi diri mereka saat bertugas? Kondisi itu berarti hak atas
kesehatan mereka sedang terancam. Nah, menurut Pasal 12 huruf d Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant
on Economic, Social and Cultural Rights - ICESCR) serta Paragraf 12 (b) Komentar
Umum Nomor 14 mengenai Pasal 12 ICESCR, yang telah diratifikasi Indonesia melalui
UU Nomor 11 tahun 2005, negara wajib mengupayakan perbaikan semua aspek
kesehatan lingkungan dan industri, pencegahan, pengobatan dan pengendalian
segala penyakit menular, endemik, dan penyakit lainnya yang berhubungan dengan
pekerjaan (Komnas HAM, 2009).
Hak atas kesehatan juga dijamin dalam Pasal 4 UU Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan serta Pasal 9 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Selain para tenaga kesehatan, kelompok lain yang juga terancam hak atas
kesehatannya di tengah wabah ini adalah kelompok rentan. Siapa saja mereka?
Menurut Pasal 55 UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,
kelompok rentan meliputi lansia, bayi, balita, anak-anak, ibu yang mengandung atau
menyusui serta penyandang disabilitas. Mereka semua wajib diberikan perlindungan
secara khusus.

2. Hak atas Informasi


Dalam pasal 19 (2) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik
(International Covenant on Civil and Political Rights - ICCPR) serta Paragraf 18
Komentar Umum Nomor 34 terhadap Pasal 19 ICCPR, negara wajib menjamin hak
setiap orang untuk mencari dan menerima informasi, termasuk informasi yang
dimiliki badan publik. Tidak hanya itu, negara juga wajib menjamin aksesibilitas
terhadap informasi kesehatan sesuai Pasal 12 (1) ICESCR dan Paragraf 12 (b)
Komentar Umum Nomor 14 terhadap Pasal 12 ICESCR (ohchr.org, 2020). Menurut
Pasal 12 Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 tahun 2010 tentang Standar Layanan
Informasi Publik, informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak,
termasuk informasi terkait epidemik dan wabah, juga wajib diumumkan oleh badan
publik yang memiliki kewenangan. Bahkan, jika kita menilik pasal 154 (1) UU
Kesehatan, Pemerintah punya kewajiban untuk menetapkan dan mengumumkan
jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam
waktu yang singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber
penularan. Keterbukaan informasi ini penting dan dibutuhkan oleh seluruh lapisan
masyarakat, terutama oleh para tenaga kesehatan yang berada di garda terdepan

4
dalam penanganan wabah. Keterlambatan dan rendahnya transparansi informasi
terkait penanganan Covid-19 bisa membahayakan kesehatan, karena masyarakat dan
tenaga kesehatan menjadi tidak bisa mengambil langkah pencegahan yang maksimal.
Namun, pada awal penyebaran Covid-19, pemerintah justru melakukan hal
yang sebaliknya. Hingga Mei 2020, pemerintah terus menutupi dan memonopoli
informasi mengenai sebaran daerah merah yang menyulitkan tidak hanya publik tapi
juga pemerintah daerah untuk mengambil tindakan pencegahan yang efektif dan
memadai. Ketertutupan dan penyangkalan atas informasi, justru telah memberikan
sinyal dan arah yang keliru untuk publik, menurunkan kewaspadaan yang bisa
berakibat pada perluasan penularan wabah dan memperparah bencana (detik.com,
17 Mei 2020).

3. Hak atas Kebebasan Berekspresi


Kemerdekaan berekspresi merupakan salah satu hak yang fundamental yang
diakui dalam sebuah negara hukum yang demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia. Pada saat penanganan Covid-19, setelah keluarnya surat telegram Kapolri
(ST/1100/IV/HUK.7.1.2020), terdapat 41 kasus penangkapan terhadap orang-orang
yang dituduh menyampaikan penghinaan terhadap pejabat negara atau
menyebarkan berita ‘bohong’ (menurut versi pemerintah). Hal tersebut menjadi
pelanggaran HAM jika dilakukan dalam konteks mengkritik, mempertanyakan dan
menyampaikan keluhan mengenai cara-cara pemerintah dalam menangani pandemi
(kontras.org, 11 Mei 2020).
Ekspresi, dengan segala bentuknya yang disampaikan oleh warga negara
untuk mengkritik cara-cara pemerintah dalam menangani Covid-19 adalah sah dan
dilindungi hukum. Kendati kebebasan berekspresi adalah aspek yang dapat dibatasi,
namun pembatasannya perlu dilakukan secara cermat dan terukur oleh negara.
Kebebasan berekspresi dan berpendapat merupakan aspek krusial yang aplikasinya
harus dilindungi oleh negara. Hal ini selaras dengan Pasal 19 Kovenan Hak Sipol
sebagaimana telah diadopsi dalam Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 dan turunannya
dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

4. Hak atas Berkumpul/Berserikat


Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB), yakni khususnya yang terkait
dengan pembatasan berkumpul, haruslah mengacu pada aturan perundang-
undangan. Hal ini jelas bahwa penerapan PSBB suatu wilayah haruslah berdasarkan
penetapan dari Menteri Kesehatan berdasarkan permohonan dari Kepala Daerah,
sehingga tidak serta merta dengan dalil PSBB yang disampaikan oleh Presiden,
dijadikan alat dan tafsir serampangan oleh aparat keamanan untuk melakukan
tindakan pembubaran warga (Kirana, 2020). Banyak wilayah yang belum menerapkan
status PSBB, tapi aparat keamanan dengan tindakan yang sewenang-wenang
melakukan aksi-aksi pembubaran warga. Hal ini bertentangan dengan jaminan hak

5
kebebasan berkumpul, dimana hak kebebasan berkumpul dijamin oleh undang-
undang dan dapat dibatasi sesuai dengan standar hukum dan HAM. Sehingga sudah
sepatutnya aparat penegak hukum di lapangan dan di daerah-daerah harus
memahami bahwa pembubaran hak atas berkumpul belum dapat dilakukan sebelum
adanya penetapan status PSBB (mediaindonesia.com, 6 April 2020).

PENUTUP
Covid-19 adalah ujian bagi masyarakat, pemerintah, komunitas, dan individu.
Penghormatan terhadap hak asasi manusia di seluruh spektrum, termasuk hak ekonomi,
sosial, budaya, dan sipil dan politik, akan menjadi fundamental bagi keberhasilan respon
kesehatan masyarakat dan pemulihan dari pandemi. Pandemi Covid-19 tidak boleh dan tidak
bisa menjadi alasan bagi setiap negara untuk membuat kebijakan yang bersifat represif dan
melanggar hak asasi manusia. Sebaliknya, hal tersebut seharusnya menjadi evaluasi untuk
kembali melihat peristiwa Covid-19 sebagai isu kesehatan publik yang berdampak pada isu
kesejahteraan sosial. Atas dasar tersebut, terdapat beberapa hal penting yang bisa kami
rekomendasikan, antara lain:
1. Pemerintah wajib menghormati dan mengedepankan HAM, nilai dan prinsip negara
hukum dan demokrasi dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan dan dijalankan dalam
penanganan pandemi Covid-19. Jikapun pengurangan atau pembatasan hak asasi
manusia harus dilalukan dengan mengikuti ketentuan instrumen hukum nasional dan
internasional yang telah diratifikasi pemerintah. Pemerintah tidak boleh menggunakan
pendekatan yang represif dan anti kritik dalam penangangan Covid-19. Pemerintah harus
menempatkan penanganan Covid-19 sebagai persoalan darurat kesehatan masyarakat,
yang diselesaikan dengan pendekatan kesehatan dan medis, dukungan jaring pengaman
sosial yang tepat dan efektif, penyedian informasi yang tepat, memberikan dukungan
dan perlindungan bagi seluruh tenaga medis, memberikan prioritas dukungan fasilitas
kesehatan baik bagi rumah sakit maupun masyarakat dalam memerangi Covid-19.
2. DPR, DPD dan lembaga-lembaga independen seperti Komnas HAM dan Ombudsman
harus menjalankan fungsi pengawasan secara aktif. Fungsi parlemen dan lembaga negara
independen menjadi penting ketika ada pembatasan hak asasi manusia, guna
memastikan tidak ada abuse of power oleh pemerintah.
3. Kapolri agar memastikan anggotanya tetap mengedepankan upaya-upaya persuasif,
proporsioal, tanpa penggunaan kekuatan yang berlebihan dalam melakukan
pengamanan dalam konteks program pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19,
dan apabila harus melakukan pemidanaan harus dilakukan dengan tidak sewenang-
wenang dan harus berdasarkan pada aturan yang berlaku.

DAFTAR REFERENSI
Alecci, Scilla. 2 April 2020. Investigating The Coronavirus: Regimes Use Public Safety Guise to
Repress Rights. https://www.icij.org/inside-icij/2020/04/investigating-the-coronavirus-
regimes-use-public-safety-guise-to-repress-rights/ (Diakses 10 Oktober 2020)

6
Alfons, Matius. 17 Mei 2020. MUI Pertanyakan Zona Merah Corona, Gugus Tugas: Kita Tak
Punya Parameter Warna. https://news.detik.com/berita/d-5017876/mui-pertanyakan-
zona-merah-corona-gugus-tugas-kita-tak-punya-parameter-warna (Diakses 7 Oktober
2020)
Amnesti Indonesia. 9 April 2020. COVID-19 dan Hak Asasi Manusia.
https://www.amnesty.id/covid-19-dan-hak-asasi-manusia/ (Diakses 9 Oktober 2020)
Amri, Rahmon. Et Al. 2017. Nurturing Freedom Of The Press With Objectivity. Jakarta: Dewan
Pers Indonesia.
Cincurova, Sara. 3 Mei 2020. Venezuela Arbitrarily Detaining Reporters Covering COVID-19.
https://www.aljazeera.com/news/2020/5/3/venezuela-arbitrarily-detaining-reporters-
covering-covid-19-cpj (Diakses 7 Oktober 2020)
HT Correspondent. 24 Maret 2020. Amid Covid-19 Crisis, PM Modi Tells Media To Act As A
Link Between Govt And People. https://www.hindustantimes.com/india-news/amid-
covid-19-crisis-pm-modi-tells-media-to-act-as-a-link-between-govt-and-people/story-
CHQQ2UiVVtUHdfmzXKR0GK.html (Diakses 9 Oktober 2020)
IPI. 3 April 2020. Three Serbian Journalists Reporting On COVID-19 Issues Arrested In One
Week. https://ipi.media/three-serbian-journalists-reporting-on-covid-19-issues-arrested
-in-one-week/ (Diakses 7 Oktober 2020)
Kasim, Ifdhal. 2007. Kovenan Hak-Hak Sipil Dan Politik; Sebuah Pengantar. Jakarta: Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat
Kirana. 2020. Pengkerdilan Ruang Sipilb di Tengah Pandemi. Jakarta: Lokataru Foundation.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 2009. Komentar Umum Kovenan Internasional: Hak Sipil
Dan Politik, Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya. Jakarta: Komnas HAM
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan. 11 Mei 2020. Wabah COVID-19
Bukan Alasan untuk Mengorbankan HAM dan Demokrasi. https://kontras.org/
2020/05/11/15985/ (Diakses 7 Oktober 2020)
Mustain, Akhmad. 6 April 2020. Tindakan Represif dalam Atasi Korona Tak Punya Dasar
Hukum. https://mediaindonesia.com/read/detail/301677-tindakan-represif-dalam-atasi-
korona-tak-punya-dasar-hukum (Diakses 7 Oktober 2020)
Saefudin, Didin. 2003. Pemikiran Modern dan Postmodern Islam. Jakarta: PT. Grasindo
Thul, Prak Chan. 24 Maret 2020. Cambodia Uses Coronavirus Crisis To Arrest 17 Critics,
Rights Group Says. https://www.reuters.com/article/us-health-coronavirus-cambodia-
arrests-idUSKBN21B0JJ (Diakses 7 Oktober 2020)
United Nation. International Covenant on Civil and Political Rights. https://www.ohchr.org/
en/professionalinterest/pages/ccpr.aspx (Diakses 10 Oktober 2020)
United Nation. The Universal Declaration of Human Rights. https://www.un.org/
en/universal-declaration-human-rights/ (Diakses 7 Oktober 2020)
Walker, Shaun. 23 Maret 2020. Hungary to Consider Bill That Would Allow Orbán To Rule By
Decree. https://www.theguardian.com/world/2020/mar/23/hungary-to-consider-bill-
that-would-allow-orban-to-rule-by-decree (Diakses 11 Oktober 2020)

7
BIODATA SINGKAT PENULIS
Arief Maulana, S.IP., merupakan lulusan S1 Ilmu Politik
tahun 2012 di FISIP Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Saat ini menjabat sebagai Peneliti di Bidang Politik dan
Pemerintahan pada Pusat Kajian Daerah dan Anggaran
Setjen DPD RI. Dapat dihubungi melalui e-mail:
maulana_arief@ymail.com.

Anda mungkin juga menyukai