Anda di halaman 1dari 7

Nama : Muniaty Sulam Ng

Kelas : Alpha 2019


Kelompok : A1
IT : Diabetes Melitus
Insulin
Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormon insulin) pada
retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, preproinsulin mengalami
pemecahan sehingga terbentuk proinsulin yang kemudian dihimpun dalam gelembung-
gelembung (ecretory vesicles) dalam sel tersebut. Di sini, sekali lagi dengan bantuan enzim
peptidase, proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C yang keduanya sudah siap untuk
disekresikan secara bersamaan melalui membran sel (Sudoyo, Aru W, dkk. 2014).
Setelah glukosa hadir, insulin akan disekresikan. Insulin akan melewati membrane sel
beta melalui glucose transporter (GLUT). Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan
sesuai dengan kebutuhan tubuh normal oleh sel beta dalam dua fase, sehingga sekresinya
berbentuk biphasic. Sekresi fase 1 (acute insulin secretion responce = AIR) adalah sekresi
insulin yang terjadi segera setelah ada rangsangan terhadap sel beta, muncul cepat dan
berakhir cepat. Sekresi fase 1 (AIR) biasanya mempunyai puncak yang relatif tinggi, karena
hal itu memang diperlukan untuk mengantisipasi kadar glukosa darah yang biasanya
meningkat tajam, segera setelah makan. AIR yang berlangsung normal, bermanfaat dalam
mencegah terjadinya hiperglikemia akut setelah makan atau lonjakan glukosa darah
postprandial (postprandial spike) dengan segala akibat yang ditimbulkan termasuk
hiperinsulinemia kompensatif. Selanjutnya, setelah sekresi fase 1 berakhir, muncul sekresi
fase 2 (sustained phase, latent phase), di mana sekresi insulin kembali meningkat secara
perlahan dan bertahan dalam waktu relatif lebih lama. Jadi, terjadi semacam mekanisme
penyesuaian dari sekresi fase 2 terhadap kinerja fase 1 sebelumnya(Sudoyo, Aru W, dkk.
2014).
Definisi Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka
panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung
dan pembuluh darah. World Health Organization (WHO) DM secara umum dapat dikatakan
sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor yaitu
defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.
Etiologi
Pada DMT 1, terjadi kerusakan sel beta pankreas akibat proses autoimun atau idiopatik.
Secara umum, American Diabetes Association (ADA) dan Intemational Society for Pediatric
and Adolescent Diabetes (ISPAD) membagi klasifikasi DM seperti berikut:
- DM Tipe 1 (destruksi sel beta): autoimun atau idiopatik;
- DM Tipe 2: Untuk mendapatkan proses metabolisme glukosa normal, selain diperlukan
mekanisme serta dinamika sekresi yang normal, dibutuhkan pula aksi insulin yang
berlangsung normal. Rendahnya sensitivitas atau tingginya resistensi jaringan tubuh
terhadap insulin merupakan salah satu faktor etilogi terjadinya diabetes, khususnya
diabetes tipe 2 (Sudoyo, 2014).
- DM Tipe lain, yang disebabkan oleh:
a. Defek genetik fungsi sel beta pankreas (monogenik): maturity-onset diabetes of
the young (MODY), neonatal diabetes melitus (NDM). MODY umumnya
ditandai dengan hiperglikemia ringan pada usia muda. biasanya sebelum 25 tahun.
Sementara NDM merupakan diabetes yang terjadi dalam enam bulan pertama
kehidupan,
b. Defek genetik kerja insulin,
c. Kelainan eksokrin pankreas,
d. Gangguan endokrin: akromegali, sindrom Cushing, glukagonoma,
feokromositoma, hipertiroidisme, somatostatinoma, aldosteronoma,
e. Terinduksi obat: Vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, diazoxid,
interferon- alfa, takrolimus, antipsikotik generasi kedua,
f. Infeksi: rubela kongenital, sitomegalovirus,
g. DM bentuk immune-mediated, atau
h. Sindrom lainnya yang berhubungan dengan DM: sindrom Down, Klinefelter,
Tumer. Wolfram, Prader-Willi, dan sebagainya;
- DM gestasional.
Epidemiologi
Menurut data Intemational Diabetes Federation (IDF) tahun 2011, jumlah anak di dunia
(usia 0-14 tahun) dengan DMT 1 ialah 490.100 anak, dengan penambahan kasus baru
sebanyak 77.800 anak pertahun. Di Indonesia sendiri, berdasarkan data registrasi Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 2012, insidens DMT 1 berkisar 0,2- 0,42 per 100.000
anak per tahun (bervariasi di setiap provinsi).
Tanda dan Gejala DM1
- Sebagian besar DMT 1 (70%) bersifat asimtomatis;
- Gejala klasik DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, serta berat badan yang menurun
cepat pada umumnya muncul secara akut (l -2 minggu sebelum diagnosis ditegakkan).
Gejala/tanda poliuria yang sering ditemui berupa enuresis noktumal (pada anak besar),
atau pada anak dengan dehidrasi sedang-berat tetapi masih diuresis (poliuria);
- Gejala lain akibat hiperglikemia: luka sulit sembuh, kulit kering dan gatal, parestesia
pada kaki, atau pandangan kabur;
- Pada kasus yang terlambat terdiagnosis, dapat ditemui komplikasi DMT 1 berupa
ketoasidosis (pemapasan Kussmaul, napas berbau keton, penurunan kesadaran, tanda-
tanda asidosis).
Perjalanan Penyakit
1. Periode pre-diabetes. Karena adanya kerentanan genetik dan ditandai dengan
ditemukannya antibodi (IAA, GAD. IA, dan sebagainya) yang merupakan prediktor
terjadinya diabetes.
2. Manifestasi klinis diabetes; namun 73% pasien tidak menunjukkan gejala yang khas
(asimtomatis)
3. Periode "honeymoon". Merupakan fase remisi, baik itu parsial atau total, yakni
berfungsinya kembali jaringan residual pankreas, sehingga pankreas mensekresikan
kembali sisa insulin yang ada. Secara klinis, pada fase ini, pasien DMTl yang telah
mendapatkan insulin akan sering mengalami hipoglikemia sehingga dosis insulin harus
dikurangi. Namun, hal tersebut tidak berarti "sembuh" karena cadangan insulin akan terus
berkurang hingga habis.
4. Ketergantungan insulin yang menetap. Apabila kebutuhan insulin sudah mencapai 0,25
U/ KgBB/ hari, maka dikatakan pasien telah mengalami fase "remisi total".
Kriteria Diagnosis
1. Ditemukan gejala klasik DM (poliuria, polidipsia, polifagia, maupun penurunan berat
badan) dan kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/dL (11, 1 mmol/L);
2. Pada pasien yang asimtomatis, ditemukan kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/dL (11,
l mmol/ L) atau kadar glukosa puasa lebih tinggi dari normal (~ 126 mg/dL atau 7
mmol/L). dengan hasil tes toleransi glukosa (TTG) terganggu pada lebih dari satu kali
pemeriksaan. Cara melakukan tes toleransi glukosa (TTG):
- Sebelum pemeriksaan, pastikan selama tiga hari berturut-turut anak telah mendapat diet
tinggi karbohidrat (150-200 g per hari). lalu puasa semalam menjelang pemeriksaan
TTG. Biarkan anak beraktivitas seperti biasa.
- Hitung kadar glukosa darah sewaktu terlebih dahulu (sebelum tes).
- Larutkan sebanyak 1,75 g/KgBB glukosa (maksimum 75 g) ke dalam air 200-250 mL
lalu diberikan secara oral. Tunggu selama 2jam, lalu hitung kembali kadar glukosa
darah sewaktu.
- Interpretasi hasil TTG:
 Menderita DM, apabila: kadar glukosa puasa ~140/dL (7 ,8 mmol/ L) atau kadar
glukosa darah pada jam ke-2 ~ 200 mg/ dL (I 1.1 mmol/L);
 Toleransi glukosa terganggu (TGT), apabila: kadar glukosa puasa < 140/dL (7,8
mmol/ L) dan kadar glukosa darah pada jam ke-2: 140-199 mg/dL (7 ,8-11,1
mmol/ L):
 Normal, apabila: kadar glukosa puasa <110/ dL (6,7 mmol/ L) dan kadar glukosa
darah pada jam ke-2 <140 mg/dL (7 ,8 mmol/ L).
- Pemeriksaan Penunjang
 Deteksi autoantibodi pada serum: Islet cell autoantibodies (ICAs), Glutamic acid
decarboxylase (GAD65A). Insulin autoantibodies (!AA) , Transmembrane
tyrosine phosphatase (ICA512A), Zinc transporter 8 autoantibody (ZnT8A);
 Keton darah;
 Urinalisis (reduksi, keton, protein);
 C-peptide (<0,85 ng/ mL). menggambarkan kadar insulin secara tidak langsung:
 HbA 1 c, sebagai parameter kontrol metabolik.
Nilai HbA 1 c <7% berarti kontrol metabolik baik; HbA 1 c 7-8% berarti kontrol
metabolik cukup. serta HbA le > 8% dianggap kontrol metabolik buruk.
Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes tipe 1 murni disebabkan defisiensi insulin secara absolut. Gangguan
metabolisme glukosa yang terjadi, diawali oleh kelainan pada dinamika sekresi insulin
berupa gangguan pada fase 1 sekresi insulin yang tidak sesuai kebutuhan (inadekuat).
Untuk mendapatkan kadar glukosa yang normal dalm darah diperlukan obat-obatan yang
dapat merangsang sel beta untuk peningkatan sekresi insulin (insulin secretagogue) atau bila
diperlukan secara substitusi insulin, di samping obat-obatan yang berkhasiat menurunkan
resistensi insulin (insulin sensitizer) (Sudoyo, Aru W, dkk. 2014).
Diabetes Melitus Tipe 2
Pada diabetes melitus tipe 2 (DMT2), yakni jenis diabetes yang paling sering ditemukan,
gangguan metabolisme glukosa disebabkan oleh dua faktor utama yakni tidak adekuatnya
sekresi insulin (defisiensi insulin) dan kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin
(resistensi insulin), disertai oleh faktor lingkungan. Dimana resintensi insulin ini,
menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme karbohidrat, sehingga energi yang di
butuhkan oleh tubuh akan dibentuk melalui metabolisme lemak. Dari proses metabolisme
lemak tersebut maka dihasilkan benda keton yang dapat ditemukan dalam urin atau ketonuria
(Kusmiati et al., 2015).
Defisiensi insulin ini secara langsung menimbulkan dampak buruk terhadap homeostasis
glukosa darah. Yang pertama terjadi adalah hiperglikemia akut postprandial (HAP) yakni
peningkatan kadar glukosa darah segera (10 - 30 menit) setelah beban glukosa (makan atau
minum) (Sudoyo, Aru W, dkk. 2014).
Tidak adekuatnya fase 1, yang kemudian diikuti peningkatan kinerja fase sekresi insulin,
pada tahap awal belum akan menimbulkan gangguan terhadap kadar glukosa darah. secara
klinis, barulah pada tahap dekompensasi, dapat terdeteksi keadaan yang dinamakan toleransi
glukosa terganggu yang disebut juga sebagai prediabetic state. Pada toleransi glukosa
terganggu (TGT) didapatkan kadar glukosa darah postprandial, atau setelah diberi beban
larutan 75 g glukosa dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO), berkisar di antara 140-200
mg/dl. Juga dinamakan sebagai prediabetes, bila kadar glukosa darah puasa antara 100- 260
mg/dl, yang disebutjuga sebagai glukosa darah puasa terganggu (GDPT) (Sudoyo, Aru W,
dkk. 2014).
Pada tahap awal DMT2, meskipun dengan kadar insulin serum yang cukup tinggi, namun
hiperglikemia masih dapat terjadi. Kerusakan jaringan yang terjadi, terutama mikrovaskular,
meningkat secara tajam pada tahap diabetes, sedangkan gangguan makrovaskular telah
muncul semenjak prediabets. Semakin tingginya tingkat resistensi insulin dapat terlihat pula
dari peninghkatan kadar glikosa darah puasa maupun postprandial. Sejalan dengan itu, pada
hepar semakin tinggi tingkat resistensi
Akibat
Tingginya kadar glukosa darah (glucotoxicity) yang diikuti pula oleh dislipidemia
(lipotoxicity) bertanggung jawab terhadap kerusakan jaringan baik secara langsung melalui
sters oksidatif, dan proses glikosilasi yang meluas (Sudoyo, Aru W, dkk. 2014).
Berbagai penelitian prospektif jelas menunjukkan meningkatnya penyakit akibat
penyumbatan pembuluh darah, baik mikrovaskular seperti retinopati, nefropati maupun
makrovaskular seperti penyakit pembuluh darah koroner dan juga pembuluh darah tungkai
bawah. Retinopati merupakan sebab kebutaan yang paling mencolok pada penyandang
diabetes melitus. Penyandang diabetes melitus semakin banyak memenuhi ruang dialisis
dibanding dengan beberapa dekade sebelumnya. Demikian pula halnya dengan penyakit
jantung coroner (Sudoyo, Aru W, dkk. 2014).
Perubahan dasar disfungsi terutama terjadi pada endotel pembuluh darah, sel otot polos
pembuluh darah maupun pada sel mesangial ginjal, semuanya menyebabkan perubahan pada
pertumbuhan dan kesintasan sel, yang kemudian pada gilirannya akan menyebabkan
teradinya komplikasi vaskular diabetes. Pada retinopati diabetik proliferatif, didapatkan
hilangnya sel perisit dan terjadi pembentukan mikroaneurisma. Di samping itu juga terjadi
hambatan pada aliran pembuluh darah dan kemudian terjadi penyumbatan kapiler. Semua
kelainan tersebut akan meyebabkan kelainan mikrovaskular berupa lokus iskemik dan
hipoksia lokal. Sel retina kemudian merespons dengan meningkatnya ekspresi faktor
pertumbuhan endotel vaskular (Vascular Endothelial Growth Factor=VEGF) dan
selanjutnya memacu terjadinya neovaskularisasi pembuluh darah (Sudoyo, Aru W, dkk.
2014).
Pada nefropati diabetik, terjadi peningkatan tekanan glomerular, dan disertai
meningkatnya matriks ekstraselular akan menyebabkan terjadinya penebalan membran basal,
ekspansi mesangial dan hipertrofi glomerular. Semua itu akan menyebabkan berkurangnya
area filtrasi dan kemudian terjadi perubahan selanjutnya yang mengarah ke terjadinya
glomerulosklerosis. Terjadinya plak aterosklerosis pada daerah sukintimal pembuluh darah
yang kemudian berlanjut pada terbentuknya penyumbatan pembuluh darah dan kemudian
sindrom koroner akut (Sudoyo, Aru W, dkk. 2014).
Patogenesis terjadinya kelainan vaskular pada diabetes melitus meliputi terjadinya
imbalans metabolik maupun hormonal. Pertumbuhan sel otot polos pembuluh darah maupun
sel mesangial keduanya distimulasi oleh sitokin. Kedua macam sel tersebut juga berespons
terhadap berbagai susbtansi vasoaktif dalam darah, terutama angiotensin II. Di pihak lain
adanya hiperinsulinemia seperti yang tampak pada DM tipe 2 atau pun juga pemberian
insulin eksogen akan memberikan stimulus mitogenik yang akan menambah perubahan yang
terjadi akibat pengaruh angiotensin pada sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel
mesangial. Jelas baik faktor hormonal maupun faktor metabolik berperan dalam patogenesis
terjadinya kelainan vaskular diabetes (Sudoyo, Aru W, dkk. 2014).
Jaringan kardiovaskular, demikian juga jaringan lain yang rentan terhadap terjadinya
komplikasi kronik diabetes (jaringan syaraf, sel endotel pembuluh darah dan sel retina serta
lensa) mempunyai kemampuan untuk memasukkan glukosa dari lingkungan sekitar ke dalam
sel tanpa harus memerlukan insulin (insulin independent), dengan demikian jaringan yang
sangat penting tersebut akan diyakinkan mendapat cukup pasokan glukosa sebelum glukosa
tersebut dipakai untuk energi di otot maupun untuk kemudian disimpan sebagai cadangan
lemak. Tetapi pada keadaan hiperglikemia kronik, tidak cukup terjadi down regulation dari
sistem transportasi glukosa yang non-insulin dependen ini, sehingga sel akan kebanjiran
masuknya glukosa; suatu keadaan yang disebut sebagai hiperglisolia. Hiperglisolia kronik
akan mengubah homeostasis biokimiawi set tersebut yang kemudian berpotensi untuk
terjadinya perubahan dasar terbentuknya komplikasi kronik diabetes, yang meliputi beberapa
jalur biokimiawi seperti jalur reduktase aldosa, jalur stres oksidatif sitoplasmik, jalur
pleiotropik protein kinase C (Sudoyo, Aru W, dkk. 2014).

Dapus:
Sudoyo, Aru W, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi VI. Jakarta: Intema
Publishing
Tanto, C. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4 Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius
Anmal:
a. Bagaimana patofisiologi sesak napas pada kasus?
Keton diproduksi biasanya oleh hati sebagai bagian dari metabolisme asam lemak. Badan keton
terdiri dari 3 senyawa, yaitu aseton, asam aseotasetat, dan asam β-hidroksibutirat, yang
merupakan produk metabolisme lemak dan asam lemak yang berlebihan. Badan keton diproduksi
ketika karbohidrat tidak dapat digunakan untuk menghasilkan energi yang disebabkan oleh:
gangguan metabolisme karbohidrat (mis. diabetes mellitus yang tidak terkontrol), sehingga tubuh
mengambil simpanan asam lemak untuk dibakar (Riswanto, 2010). Pemecahan lemak yang
mengakibatkan tubuh menjadi asidosis – nafas cepat dan dalam.
b. Bagaimana patofisiologi sakit perut pada kasus?
Normalnya, otot lambung akan berkontraksi untuk mendorong makanan melewati saluran
pencernaan. Namun, kondisi kadar gula darah tinggi (hiperglikemia) dalam jangka panjang bisa
merusak saraf di sekitar saluran pencernaan sehingga menghambat pergerakan otot. Akibatnya,
pergerakan otot yang mendorong makanan ke usus pun menjadi lambat atau bahkan dapat
berhenti.
c. Bagaimana hubungan usia dengan gejala yang dialami pasien?
Pasien pada scenario berumur 10 tahun. Pada anak, diabetes melitus yang dialami biasanya tipe
1. 95% DMeskipun kasus DM tipe-1 yang paling banyak pada anak, terdapat kecenderungan
peningkatan kasus DM tipe-2 pada anak dengan faktor risiko obesitas, genetik dan etnik, serta
riwayat DM tipe-2 di keluarga.
Data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyatakan angka kejadian DM pada anak usia 0-18
tahun mengalami peningkatan sebesar 700% selama jangka waktu 10 tahun. Jumlah kasus baru
DM tipe-1 dan tipe-2 berbeda antar populasi dengan distribusi usia dan etnik yang bervariasi.
Pada kelompok umur 20-44 tahun, diperkirakan sekitar 3,7% penderita diabetes; sedangkan pada
kelompok umur 45-64 tahun meningkat menjadi 13,7%; dan persentase tertinggi sebesar 26,9%
ditemukan pada kelompok usia ≥ 65 tahun (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, 2011).
d. Apa saja faktor resiko yang berkaitan dengan keluhan yang dialami pada kasus?
Faktor risiko diabetes tipe 1 pada anak-anak meliputi:
- Sejarah keluarga. Siapapun yang memiliki orang tua atau saudara kandung dengan
diabetes tipe 1 memiliki sedikit peningkatan risiko terkena kondisi tersebut. Siapapun
yang memiliki orang tua atau saudara kandung dengan diabetes tipe 1 memiliki sedikit
peningkatan risiko terkena kondisi tersebut.
- Genetika. Gen tertentu menunjukkan peningkatan risiko diabetes tipe 1.
- Ras. Di Amerika Serikat, diabetes tipe 1 lebih sering terjadi pada anak kulit putih atau
keturunan non-hispanik dibandingkan pada anak dari ras lain.
- Virus tertentu. Paparan berbagai virus dapat memicu kerusakan autoimun dari sel-sel
pulau islets of langerhans.

e. Mengapa sesak napas semakin memberat pada kasus?

f. Apa yang menyebabkan pasien mengalami mual, sakit perut, lemas, dan sesak
napas pada kasus?

g. Apakah hubungan sesak dengan tidak dipengaruhi cuaca, posisi, dan aktivitas? 1
dan 2
h. Bagaimana hubungan antara frekuensi banyaknya minum dan sering BAK pada
skenario? 1
i. Pada kasus ini, mengapa nafsu makan tetap baik tetapi badan terlihat kurus? 1
j. Apa yang menyebabkan minumnya banyak? 1
k. Apa yang menyebabkan BAK terjadi 2—3 kali? 1
l. Bagaimana hubungan genetik dan lingkungan pada skenario? 1 dan 2
m. Bagaimana cara membedakan BAK yang sering akibat infeksi dan kondisi lainnya
yang mungkin terkait pada skenario? 1
n. Apa yang menyebabkan terjadinya peningkatan nilai HbA1C pada kasus? 1
o. Apa yang menyebabkan meningkatnya kadar gula darah sewaktu? 1
p. Apa saja tipe diabetes melitus? 1

Anda mungkin juga menyukai