Anda di halaman 1dari 11

Nama : Muniaty Sulam Ng

Kelas : Alpha 2019

Kelompok : A1

IT : Hipertiroidisme

Hipertiroidisme

Hipertiroidisme merupakan keadaan yang disebabkan kelenjar tiroid memproduksi


hormon tiroid berlebihan. Berbeda dengan hipertiroidisme, tirotoksikosis adalah gejala klinis
yang disebabkan peningkatan kadar hormon tiroid di dalam darah. Penyakit Graves (PG)
merupakan penyebab hipertiroidisme yang tersering. Pada hipertiroidisme grave disease,
oftalmopati dapat penyertai hipertiroidisme. Sekitar 60-80% hipertiroidisme disebabkan oleh
PG. Prevelensi hipertiroidisme 2%, sering terjadi pada usia pertengahan dan perbandingan
pria dengan wanita adalah 1: 5 (Davey, 2005).

Usia diatas 60 tahun lebih rentan mengalami hipertiroidisme karena fungsi tubuh yang
semakin menurun. Genetik juga menjadi faktor risiko, dimana biasanya dapat menyebabkan
autoimun sehingga kelenjar tiroid mengalami gangguan produksi hormon. Kebiasaan buruk
seperti merokok menyebabkan kekurangan oksigen di otak dan kandungan nikotin pada
rokok dapat memicu inflamasi. Gaya hidup juga berpengaruh, stress berkolerasi terhadap
antibodi, pola makanan dan lainnya. Hipertiroidisme juga terjadi setelah mengalami
pencitraan menggunakan zat kontras yang mengandung iodium (Kemenkes, 2015).

Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi penduduk yang terdiagnosis hipertiroid


lebih tinggi pada perempuan (0,6%), usia yang lebih tua (> 45 tahun), Pendidikan tinggi (D1-
D3/ PT), tidak bekerja dan bekerja sebagai pegawai, tinggal di perkotaan, indeks kepemilikan
atas dan teratas. Faktor sosial ekonomi mungku mempengaruhi tingginya kesadaran dan
akses untuk memeriksakan diri ketika merasakan adanya gejala.
Pada hipertiroidisme, tiroid kehilangan kendali dalam mengatur fungsinya dan
menyebabkan kelebihan hormon tiroid. Kelebihan hormone menyebabkan pembesaran tiroid
yang dikenal sebagai gioter. Terjadi juga peningkatan kecepatan metabolism dan
kalorigenesis, mengubah metabolism protein, lemak dan karbohidrat; menstimulasi sistem
tubuh tertentu seperti tulang dan sumsum dan lainya. Hipertiroidisme yang berat dapat
berakhir fibrilasi atrial, disritmia, angina dan gagal jantung kongesif (Baradero, 2005).

Mekanisme yang bertanggung jawab dalam hal ini diantaranya peningkatan


stimulasi reseptor TSH oleh immunoglobulin, auto-produksi hormon tiroid, peningkatan
sekresi tanpa peningkatan produksi hormon, peningkatan produksi TSH dan asupan hormon
tiroid berlebih. Hormon tiroid menstimulasi kalorigenesis, katabolisme dan peningkatan
sensitivitas terhadap katekolamin.

Penyebab paling umum dari peningkatan pelepasan hormon tiroid (hipertiroidisme)


adalah long-acting thyroid stimulator (LATS) atau thyroid-stimulating immunoglobulin
(TSI), merupakan IgG yang dapat berikatan dengan reseptor TSH (Penyakit Grave). IgG
diproduksi limfosit B yang mampu menginduksi hyperplasia tiroid dan meningkatkan
pengambilan iodin oleh tiroid. Limfosit T menjadi lebih sensitif terhadap antigen tiroid
dan menstimulasi sel limfosit B untuk mensekresi autoantibodi. Autoantibodi
tersebut akan berikatan dengan reseptor TSH di kelenjar tiroid. Stimulasi tersebut yang
akan meningkatkan produksi hormon tiroid dan sel pertumbuhan. Pelepasan TSH ditekan
dengan level T3 / T4 yang tinggi. Penyebab hipertiroidisme lainnya adalah tiroid ortotopik
atau ektopik hormon tiroid, peradangan tiroid (tiroiditis), peningkatan pelepasan TSH, atau
suplai hormon tiroid yang berlebihan (Sirberlnag, 2000).

Sumber: Baradero, 2005


Hormon tiroid berperan merangsang resorpsi tulang sehingga pada pasien hipertiroidisme
akan menyebabkan hiperkalsemia. Pada pasien pasca-menopause, dapat menyebabkan
osteopenia. Hipertiroidisme juga dapat menyebabkan Amenore (Sudoyo, Aru W, dkk. 2014).

Manfestasi perifer hipertiroidisme memperlihatkan keadaan hiperadrenergik. Hormon


tiroid dapat meningkatkan jumlah reseptor beta. Horman tiroid meningkatkan sintesis miosin
dan Na+, K•-ATPase, demikian juga densitas reseptor beta-adrenergik miokard. Hormon
tiroid menyebabkan peningkatan metabolism tubuh total. Konsumsi oksigen yang secara
tidak langsung memberikan beban kerja pada jantung. Selain itu, hormon tiroid memberikan
efek inotropik, kronotropik, dan dromotropik yang mirip dengan yang ditemukan pada
stimulasi adrenergik (misalnya, takikardia, curah jantung yang meningkat). Sinus takikardia
ditemukan pada sekitar 40 persen pasien, dan fibrilasi atrium sekitar 15 persen. Tanda lain
meliputi prekordium hiperaktif, peningkatan intensitas bunyi jantung pertama dan komponen
pulmonik dari bunyi jantung kedua, dan bunyi jantung ketiga.

Terjadinya keluhan dan gejala hipertiroidi diakibatkan oleh adanya hipersensitivitas


pada sistem simpatis. Meningkatnya rangsangan sistem simpatis ini diduga akibat
meningkatnya kepekaan reseptor terhadap katekolamin (Riddle, 1970).

Untuk kasus hipertiroidisme yang biasa, diagnosis yang tepat adalah dengan melakukan
pengukuran langsung konsentrasi tiroksin bebas di dalam plasma (serum free T4 & T3
meningkat dan TSH sedikit/tdk ada) dengan menggunakan cara pemeriksaan
radioimunologik yang tepat. Pembentukan dan pelepasan T3 dan T4 dan pertumbuhan
kelenjar tiroid dirangsang oleh tirotropin (TSH) dari hipofisis anterior. Sementara,
pelepasannya dirangsang oleh thyroliberin (TRH) dari hipotalamus. Stres dan estrogen
meningkatkan pelepasan TSH, sedangkan glukokortikoid, somatostatin, dan dopamin
menghambatnya.

Kadar normal dari TSH serum untuk dewasa adalah antara 0,4 –5,0 mIU/L. Kadar normal
dariTT4 adalah antara 57 -148 nmol/L. Sedangkan kadar FT4 biasa diukur juga dengan free
thyroxine index (FTI) untuk melihat perbandingan T4 yang terikat dan yang bebas. Kadar
normal dari FT4 antara 10-26pmol/L. Hormon T3 memiliki efek yang lebih besar dari T4
walaupun jumlahnya didalam darah jauh lebih sedikit dibandingkan T4. Waktu paruh T4
plasma adalah 6 hari sedangkan T3, 24-30 jam. Pada pemeriksaan T3 yang dinilai adalah T3
yang terikat dan yang bebas. Kadar normal T3 antara 80-200 μg/L (1,2-3,1 nmol/L). Selain
itu kadar FT3 normal juga bisa dihitung antara 260-480 nmg/L (4,0-7,4 pmol/L).

Stres psikis ataupun perubahan emosi dapat mempengaruhi fungsi sistem hormonal
misalnya peningkatan produksi katekolamin, bertambahnya sekresi Adrenocorticotropin
hormone (ACTH), kenaikan produksi hormon pertumbuhan, prolaktin. Sebaliknya, gangguan
hormone dan penyakit endokrin juga dapat mempengaruhi keadaan psikis seseorang, hal ini
dikenal sebagai somatopsikis psikosomatik, yaitu terjadinya perubahan fungsi psikis
contohnya kecemasan pada hipertiroidisme, depresi pada pasien hipotiroid dan lainnya
(Sudoyo, Aru W, dkk. 2014).

Selain psikis fungsi normal kelenjar tiroid juga terganggu, seperti yang tertulis pada tabel
berikut ini (Baradero, 2005):
Sumber: Baradero, 2005

Triidothyronine(T3), yang merupakan bentuk aktif dari hormon tiroid setelah berubah
dari T4, meningkatkan HR dan CO melalui sistem RAA. Hipertiroidisme berhubungan
dengan peningkatan dari tekanan darah sistolik. Sedangkan, pasien dengan hipotiroidisme
mengalami penurunan dari CO, yang menjadikan pasien tersebut mengalami peningkatan
tekanan darah diastolik. Hormon tiroid berhubungan langsung dengan thermogenesis
jaringan. Thermogenesis yang berakibat pada vasodilatasi pembuluh darah perifer dan
menurunkan resistensi vaskular. Dengan menurunnya resistensi terjadi peningkatan dari pada
curah jantung
Terapi supresi hormonal jangka panjang yang dapat menyebabkan hipertiroidisrne
subklinik dengan efek samping berupa osteopeni atau gangguan pada jantung (Sudoyo, Aru
W, dkk. 2014).

Nodul panas disebut sebagai nodul tiroid autonomy (Autonomously Functioning Thyroid
Nodule = AFTN), menekan fungsi jaringan tiroid normal dan jika menetap selama bertahun-
tahun, berkemungkinan untuk menyebabkan hipertiroidisme subklinik (kadar T4 masih
dalam batas normal tetapi kadar TSH tersupresi) (Sudoyo, Aru W, dkk. 2014).

Terapi yodium juga dapat memicu hipertiroidisme. Peningkatan prevalensi penyakit


tiroid autoimun juga dilapokan pada daerah populasi dengan asupan yodium tinggi.
Pemberian yodium biasanya berhubungan dengan nodul tiroid otonom. Untuk mencegah ini,
terapi pemberian yodium pada penyakit gondok dapat diganti dengan pemberian hormone
tiroksin (Sudoyo, Aru W, dkk. 2014).

Pada gagal ginjal kronik, terjadi hiperfosfatemia akibat dari kadar fosfat yang gagal
diekskresikan. Peningkatan kadar fosfat di dalam serum diikuti dengan penurunan kadar Ca
serum. Kadar serum Ca yang rendah dapat menyebabkan hipertiroidisme sekunder (Sudoyo,
Aru W, dkk. 2014).

Terapi dilakukan dengan pemberian obat penekan tiroid atau pemberian radioaktif iodin
untuk menginaktivasi hiperfungsi kelenjar tiroid. Stres perlu dikurangi untuk menghilangkan
resiko krisis tiroid sehingga penggunaan obat epinefrin dan atropine merupakan
kontraindikasi.

Obat – obat tiroid berinteraksi dengan obat antikoagulan (warfarin) dan menyebabkan
efek antikoagulan. Selain itu obat tiroid juga menurunkan efek insulin, obat digitalis dan
antidiabetic oral; digoksin dan litium meningkatkan kerja obat – obat tiroid; dan asparin,
fenitoin (Dilantin) meningkatkan kadar T3 serum.
Daftar Pustaka

Baradero, Mary, dkk. 2005. Klien Gangguan Endokrin: Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta:
Buku Kedokteran ECG

Davey, Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga

Kemenkes. 2015. Bebaskan Dirimu dari Gangguan Tiroid. Pusat Data dan Informasi

Sirbernalg, Steven dan Florian Lang. 2000. Color of Atlas Pathophysiology. Jerman: Staudigl
Druck, Donauwörth

Sudoyo, Aru W, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi VI. Jakarta: Intema
Publishing

Riddle MC, Schwartz TB. 1970. New tactics for hyperthyroidism: Sympathetic blockade.
Ann Inter Med

Analisis Masalah

a) Bagaimana patofisiologi dari hipertiroid?

Pada hipertiroidisme, tiroid kehilangan kendali dalam mengatur fungsinya dan


menyebabkan kelebihan hormon tiroid. Kelebihan hormone menyebabkan pembesaran tiroid
yang dikenal sebagai gioter. Terjadi juga peningkatan kecepatan metabolism dan
kalorigenesis, mengubah metabolism protein, lemak dan karbohidrat; menstimulasi sistem
tubuh tertentu seperti tulang dan sumsum dan lainya. Hipertiroidisme yang berat dapat
berakhir fibrilasi atrial, disritmia, angina dan gagal jantung kongesif (Baradero, 2005).

Mekanisme yang bertanggung jawab dalam hal ini diantaranya peningkatan


stimulasi reseptor TSH oleh immunoglobulin, auto-produksi hormon tiroid, peningkatan
sekresi tanpa peningkatan produksi hormon, peningkatan produksi TSH dan asupan hormon
tiroid berlebih. Hormon tiroid menstimulasi kalorigenesis, katabolisme dan peningkatan
sensitivitas terhadap katekolamin.Penyebab paling umum dari peningkatan pelepasan
hormon tiroid (hipertiroidisme) adalah long-acting thyroid stimulator (LATS) atau thyroid-
stimulating immunoglobulin (TSI), merupakan IgG yang dapat berikatan dengan reseptor
TSH (Penyakit Grave). IgG diproduksi limfosit B yang mampu menginduksi hyperplasia
tiroid dan meningkatkan pengambilan iodin oleh tiroid. Limfosit T menjadi lebih sensitif
terhadap antigen tiroid dan menstimulasi sel limfosit B untuk mensekresi
autoantibodi. Autoantibodi tersebut akan berikatan dengan reseptor TSH di kelenjar
tiroid. Stimulasi tersebut yang akan meningkatkan produksi hormon tiroid dan sel
pertumbuhan. Pelepasan TSH ditekan dengan level T3 / T4 yang tinggi. Penyebab
hipertiroidisme lainnya adalah tiroid ortotopik atau ektopik hormon tiroid, peradangan tiroid
(tiroiditis), peningkatan pelepasan TSH, atau suplai hormon tiroid yang berlebihan
(Sirberlnag, 2000).

b) Bagaimana gejala klinis dari hipertiroid?

Pada hipertiroidisme, tiroid kehilangan kendali dalam mengatur fungsinya dan


menyebabkan kelebihan hormone tiroid. Hal ini meningkatkan kecepatan metabolism dan
kalorigenesis, mengubah metabolism protein, lemak dan karbohidrat; menstimulasi sistem
tubuh tertentu seperti tulang dan sumsum dan lainya. Hipertiroidisme yang berat dapat
berakhir fibrilasi atrial, disritmia, angina dan gagal jantung kongesif (Baradero, 2005).

c) Apa saja kriteria diagnosis penyakit hipertiroid?

Untuk konfirmasi diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan hormone (thyroid function


test), seperti kadar T4 dan T3, kadar T4 bebas atau free thyroxine index (FT41). Adapun
pemeriksaan lain yang dapat membantu menegakkan diagno- sis a.l.: pemeriksaan
antibodi tiroid yang meliputi anti tiroglobulin dan antimikrosom, pengukuran kadar TSH
serum, test penampungan yodium radioaktif (radioactive iodine uptake) dan pemeriksaan
sidikan tiroid (thyroid scanning)

Uji diagnostic (Baradero, 2005):


1. Tiroksin serum (T4) yang meningkat.
2. T3 serum.
3. TSH, rendah pada hipertiroidisme.
4. Ambilan radioaktif iodin (absorpsi) meningkat pada semua macam
penyebab hipertiroidisme, kecuali tiroiditis. Pemeriksaan ini tidak akurat
apabila pasien menerima iodin dalam beberapa hari sebelum pemeriksaan.

d) Apakah diagnosis banding dari kasus ini?

Diagnosis Banding
1. Hipertiroidisme primer: struma multinudosa toksik, adenoma toksik, metastasisi karsinoma
tiroid fungsional, struma ovari,mutasi reseptor TSH, obat: kelebihan iodium (fenomena Jod
Basedow).
2. Hipertiroidisme sekunder: adenoma hipofisis yang mensekresi TSH, sindrom resistensi
hormon tiroid, tumor yang mensekresi HCG, tirotoksikosis gestasional.

Anda mungkin juga menyukai