Anda di halaman 1dari 11

BAB III

STRUKTUR KETATANEGARAAN PADA UMUMNYA

1. Struktur Ketatanegaraan
Struktur ketatanegaraan suatu negara, pada umumnya meliputi 2 (dua) hal, yaitu :
a. Supra struktur politik, yaitu segala sesuatu yang bersangkutan dengan apa yang
disebut alat-alat perlengkapan negara, termasuk segala hal yang berhubungan
dengannya, antara lain mengenai kedudukannya, kekuasaan dan wewenangnya,
tugasnya, pembentukannya serta hubungan antara alat-alat perlengkapan itu satu
sama lain, yang pada umumnya diatur dalam kontitusi atau undang-undang dasar
suatu negara; dan
b. Infra struktur politik, yaitu struktur politik yang berada di bawah permukaan, yang
meliputi 5 (lima) komponen, yaitu komponen partai politik, golongan
kepentingan (interest group), alat komunikasi politik, golongan penekan (pressure
group) dan tokoh politik (political figure). Oleh karena pemilihan umum
menentukan pula kehidupan kepartaian, termasuk sistem kepartaiannya, maka ia
masuk kedalam infra struktur politik.
Antara supra struktur politik dengan infra struktur politik terdapat hubungan timbal
balik, dalam arti bahwa supra struktur politik dapat mengatur segala sesuatu yang
bersangkutan dengan infra struktur politik, sedangkan infra struktur politik dapat
mempengaruhi serta menentukan berjalannya supra struktur politik.
Menurut S.L.Witman dan J.J.Wuest, struktur ketatanegaraan itu mempunyai
bermacam-macam perlengkapan (the agents and a tool of government), yaitu: the
constitution, the electorate, the political parties, the legislature, the executive, the
judiciary, the intergovernmental relationships dan the local government.
Menurut S.L.Witman dan J.J. Wuest, sebagai pelaksanaan asas demokrasi pada
setiap negara, maka rakyat melalui lembaga pemilihan umum (electorate) memilih
wakil-wakilnya untuk duduk dalam konstituante dan lembaga perwakilan
rakyat (legislature). Setelah konstuante terbentuk, lalu bersidang untuk menetapkan
suatu konstitusi atau undang-undang dasar yang akan mengatur antara lain lembaga
legislatif, lembaga eksekutif, lembaga peradilan dan sebagainya. Partai politik
mempunyai peranan penting dalam menyalurkan pendapat rakyat dalam
menentukan/memilih wakil-wakil rakyat dalam kedua lembaga tersebut. Konstitusi juga
menentukan sistem ketatanegaraan yang dianut dalam suatu negara, baik mengenai
sistem pemerintahannya, sistem desentralisasinya, bentuk negaranya dan lain sebagainya.
Setelah konstutusi ditetapkan berlaku dalam suatu negara, maka setiap warganegara
harus taat pada undang-undang dasarnya.
2. Pola Ketatanegaraan C.F.Strong
Pola ketatanegaraan yang dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles adalah setiap
negara bergerak melalui apa yang dinamakan cycle of revolution, yaitu :
a. setiap negara mula-mula dikuasai oleh hanya seorang saja (the rule of man) yang
disebut monarchy;
b. bahwa namun kemudian, ada saatnya dimana orang yang mempunyai sifat-sifat yang
baik untuk memegang kekuasaan sudah tidak ada dan akhirnya digantikan oleh
orang yang lebih mementingkan kekuasaan daripada kepentingan
rakyatnya (tyranny/despotism);
c. selanjutnya si tiran atau despoot tersebut akhirnya menghadapi suatu tantangan serta
oposisi dari suatu kelompok orang yang mempunyai sifat-sifat baik dan ingin
memperbaiki kehidupan rakyatnya yang disebut aristokrasi;
d. saatnya semangat artistokrasi hilang dan muncullah sekelompok orang yang
menjalankan kekuasaan secara sewenang-wenang untuk kepentingan kelompok itu
sendiri dan terjadi korupsi dikalangan penguasa tersebut (oligarchy);
e. akhirnya rakyat sangat marah dan menentang dan menggulingkan penguasa korup
tadi dan muncullah pemerintahan yang disebut demokrasi, yaitu pemerintahan oleh
banyak orang;
f. pada akhirnya cycle of revolution ini dipatahkan dengan tipe pemerintahan yang
disebut polity.
Pola ketatanegaraan tersebut digambarkan oleh Plato sebagai berikut :
TYPE OF BAD OR PERVERTED
CONSTITUTION GOOD OR TRUE FORM FORM
Government of One Monarchy or Royalty Tyrani or Despotism
Government of The Few Aristocracy Oligarchy
Government of The Many Polity Democracy

Menurut C.F. Strong, dalam kondisi saat ini pola ketatanegaraan Aristoteles tersebut
dipastikan tidak mempunyai daya tetap. Sehingga ia mencari klasifikasi lain dengan cara
mencari ciri atau tanda yang bersamaan pada negara-negara modern, yang pada asasnya
mempunyai 3 (tiga) macam kekuasaan: organ kekuasaan legislatif, organ kekuasaan
eksekutif dan organ kekuasaan judisiil.
Berdasarkan sugesti dan saran-saran dari Lord Bryce, Edward Jenks dan Sir
J.A.Marriott, C.F. Strong mengemukakan pola-pola ketatanegaraannya, yaitu :
a. The nature of the state to which the constitution applies;
b. The nature of the constitution itself;
c. The nature of the legislature;
d. The nature of the executive;
e. The nature of the judiciary.
Menurut C.F.Strong, dilihat dari segi hakekat negara, negara-negara modern dapat
dikelompokkan ke dalam 2 (dua) kelas besar, yaitu: negara kesatuan dan negara
serikat/federal.
Negara kesatuan adalah suatu negara yang:
a. berada di bawah satu pemerintahan pusat;
b. mempunyai wewenang sepenuhnya di dalam wilayah negara tersebut;
c. bagian-bagian negara tidak mempunyai kekuasaan asli, melainkan diperoleh dari
pemerintah pusat.
Dicey mengatakah bahwa yang dimaksud dengan unitarianism adalah the habitual
exercise of supreme legislative authority by one central power. Dengan demikian,
walaupun kepada bagian-bagian negara diberikan otonomi yang luas, tapi sama sekali
tidak mempunyai wewenang apalagi kekuasaan untuk mengurangi kekuasaan pemerintah
pusat. Sebaliknya, pemerintah pusat dapat saja mengatur dan menentukan sampai
seberapa luaskah wewenang yang diberikan kepada daerah-daerah otonom.
Jika dilihat dari sudut kedaulatan, maka kedaulatan dalam negara bagian tidak dapat
dibagi-bagi. Adanya pelimpahan wewenang dari pemerintahan pusat kepada daerah-
daerah otonom bukanlah karena hal itu ditetapkan dalam konstitusinya, melainkan
karena masalah tersebut adalah merupakan hakekat dari negara kesatuan.
Menurut C.F.Strong, terdapat 2 (dua) ciri yang bersifat esensiil yang ada pada suatu
negara kesatuan, yaitu:
a. adanya supremasi lembaga perwakilan rakyat pusat (parliament);
b. tidak adanya badan-badan bawahan yang mempunyai kedaulatan (the absence of
subsidiary sovereign bodies).
Negara serikat/federal menurut C.F.Strong adalah suatu negara dimana terdapat 2
(dua) atau lebih negara atau lebih yang sederajat, bersatu karena tujuan-tujuan tertentu
yang sama.
Dicey mengemukakan bahwa “a federal state is a political contrivance intended to
reconcile national unity and power with the maintenance of state rights.”Dalam negara
federal, negara-negara yang bergabung atau yang disebut negara bagian mempunyai
kedudukan yang kuat, namun sebagian dari kekuasaannya diserahkan kepada negara
federal.
Kekuasaan yang ada pada negara federal dibatasi oleh kekuasaan yang terdapat pada
negara-negara yang bergabung, ini berarti adanya perbedaan antara kekuasaan
pemerintahan federal dan pemerintahan negara-negara bagian yang sangat rentan
terhadap timbulnya konflik antara keduanya. Untuk menghindarinya, pembagian
kekuasaan antara keduanya harus diatur secara tegas dan jelas yang dituangkan dalam
sebuah konstitusi. Sehingga konstitusi dalam suatu negara federal dapat disamakan
dengan perjanjian atau bersifat seabgai perjanjian (treaty) yang harus ditaati oleh negara-
negara bagian.
Jadi ciri atau sifat negara federal adalah :
a. adanya supremasi konstitusi yang menjadikan federasi itu terwujud;
b. adanya pembagian kekuasaan antara negara federal dan negara-negara bagian;
c. adanya suatu lembaga yang diberi wewenang untuk menyelesaikan suatu
perselisihan antara pemerintah federal dan pemerintah negara-negara bagian.
Tiap-tiap federalisme mempunyai akar masa lalu, yang ditentukan oleh proses
sejarah masing-masing bangsa, sehingga yang terjadi adalah timbul bermacam-macam
federalisme :
a. confederation/staatenbund, dimana negara federal tidak mempunyai kekuasaan yang
sesungguhnya (real power);
b. negara-negara yang bergabung menginginkan adanya kedaulatan nasional, dimana
negara negara sebagai keseluruhanlah yang mempunyai kedaulatan;
c. negara-negara dalam negara federal tidak mengingingkan persatuan, namun masing-
masing negara bagian tersebut tidak mau bersatu (though the federating units
desiring union, they do not desire unity).
Mengenai cara membagi kekuasaan antara negara federal dengan negara-negara
bagian, terdapat 2 (dua) cara yaitu :
a. kekuasaan yang diserahkan oleh negara-negara bagian kepada negara federal
ditetapkan secara limitatif dalam konstitusi negara federal. Disini terjadi perkuatan
kedudukan negara federal dibandingkan dengan negara-negara bagian, contoh
Kanada yang oleh C.F. Strong disebut sebagai less federal; dan
b. kekuasaan yang diserahkan kepada pemerintah negara-negara bagian dan kekuasaan
lainnya (the reserve power) ada pada negara federal, ditetapkan secara llimitatif
dalam konstitusi. Disini terjadi perkuatan kedudukan negara-negara bagian
dibandingkan dengan negara federal dan diharapkan terjadi pengawasan terhadap
kekuasaan pemerintah federal dalam hubungannya dengan kekuasaan negara-negara
bagian (to check the power of the federal authority as against the federating units).
Dengan adanya pembagian kekuasaan antara negara federal dan negara-negara
bagian ini mengandung arti bahwa Lembaga Perwakilan Rakyat masing-masing tidak
menjadi lebih tinggi dari yang lain, karena telah diikat oleh konstitusi yang
merupakan treaty. Siapa yang menilai adanya pelanggaran terhadap konstitusi? Di
Amerika Serikat, perselisihan mengenai hal tersebut diserahkan kepada kekuasaan
Mahkamah Agung, sedangkan di Swiss diserahkan kepada Lembaga Perwakilan Rakyat
Federal (The Federal Assembly).

\
BAB IV
HAKEKAT KONSTITUSI

1. Pengertian Konstitusi
Istilah konstitusi pada umumnya dipergunakan paling sedikit dalam 2 (dua)
pengertian :
a. menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara, yaitu berupa
kumpulan peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah negara; ada yang
tertulis sebagai keputusan badan yang berwenang dan ada yang tidak tertulis berupa
“usages, understandings, customs atau convention”. Meskipun tidak merupakan
undang-undang, bukan berarti kurang efektif dalam mengatur negara;
b. merupakan menggambarkan campuran antara ketentuan tertulis dan tidak tertulis,
contoh: Kerajaan Inggris dengan common law system-nya.
Dalam perkembangannya, konstitusi mempunyai 2 (dua) pengertian :
a. dalam pengertian sempit, konstitusi tidak menggambarkan keseluruhan kumpulan
peraturan, baik yang tertulis dan yang tidak tertulis (legal dan non-legal), melainkan
yang dituangkan dalam suatu dokumen tertentu. Contoh: Amerika Serikat.
Menurut Lord Bryce, konstitusi adalah “a frame of political society, organized
through and by the law, that is to say, one in which law has established permanent
institutions with recognized functions and definite rights”
b. dalam pengertian luas, menurut Bolingbroke, adalah assemblage of
laws, institutions and customs yang diambil dari certain fixed principles of reason.
Dan menurut C.F.Strong, konstitusi dapat diketemukan dalam sebuah dokumen yang
dapat diubah sesuai dengan perkembangan waktu, akan tetapi dapat pula berupa “a
bundle of separate laws” yang diberi otoritas sebagai hukum tata negara.
Menurut Maurice Duverger, tidak jarang terdapat jurang antara apa yang ditetapkan
didalamnya dengan kenyataannya/pelaksanaannya, sehingga seringkali konstitusi hanya
dijadikan sebagai tirai bagi penguasa. Dalam kaitan inilah, C.F. Strong mengemukakan
bahwa untuk disebut sebagai konstitusi, maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
a. how the various agencies are organized;
b. what power is entrusted to those agencies;
c. in what manner such power is to be exercised.
Konstitusi menurut K.C.Wheare dapat digolongkan ke dalam :
a. Written constitution dan unwritten constitution, yang dalam kenyataannya tidak
diketemukan lagi dalam negara-negara di dunia saat ini, sehingga pembagian
berdasarkan hal ini tidak dapat dipertahankan lagi;
b. Documentary constitution dan non-documentary constitution. Documentary
constitution mengandung arti bahwa dituangkan dalam suatu dokumen tertentu
seperti yang dilakukan oleh para pembentuk konstitusi di Amerika Serikat. Non-
documentary constitution, konstitusi yang tidak dituangkan dalam suatu dokumen
tertentu, tetapi dalam banyak bentuk peraturan seperti Kerajaan Inggris.
Penggolongan konstitusi ke dalam documentary constitution dan non-documentary
constitution, paralel dengan pengertian konstitusi berturut-turut dalam arti sempit
dan dalam arti luas;
c. Flexible constitution dan rigid constitution, yang dikemukakan oleh Lord Bryce,
yaitu berdasarkan pada cara-cara konstitusi itu diubah atau dengan jalan
bagaimanakah suatu konstitusi itu dapat diubah. Digolongkan kedalam flexible
constitution, apabila dapat diubah melalui proses yang sama dengan undang-undang,
yaitu dengan cara yang tidak terlalu sulit, misalnya dengan sistem suara terbanyak
mutlak. Sedangkan digolongkan ke dalam rigid constitution, jika perubahan
konstitusi dilakukan melalui cara-cara yang khusus (special process).
Pembagian ke dalam rigid dan flexible constitution ternyata menimbulkan persoalan
juga :
a. Sampai seberapa jauhkah suatu konstitusi dapat digolongkan rigid dan
lain flexible ?;
b. Manakah yang benar-benar dapat digolongkan ke dalam konstitusi rigid? 
K.C.Wheare mengemukakan, bahwa hal itu tergantung pada jumlah penghalang dan
besar-kecilnya penghalang tersebut. Jika suatu konstitusi berisi penghalang-
penghalang formil (legal obstacles) untuk mengubahnya, maka ia adalah rigid
constitution (Amerika Serikat, Australia, Denmark, Swiss, Norwegia, Perancis);
oleh karena sangat sulit diubah dan memang jarang diubah dan jika sebaliknya maka
merupakan flexible constitution (Inggris dan Selandia Baru).
Menurut C.F.Strong, terdapat 4 (empat) perbedaan cara yang dilakukan negara-
negara dalam melakukan perubahan terhadap undang-undangnya :
a. By the ordinary, legislature, but under certain restrictions, yang dapat dilakukan
melalui 3 (tiga) macam jalan: Pertama, Lembaga Perwakilan Rakyat yang ada (the
ordinary legislature) dalam sidang-sidangnya harus dihadiri oleh paling sedikit dua
pertiga atau empat perlima dari seluruh anggota (fixed quorum of members), serta
keputusan perubahan tersebut sah apabila usul perubahan tersebut disetujui oleh
suara terbanyak yang ditentukan (dua pertiga, empat per lima, setengah + 1, dsb),
dianut oleh Indonesia; Kedua, sebelum perubahan dilakukan, Lembaga Perwakilan
Rakyat dibubarkan, kemudian diadakan pemilihan umum yang baru dan Lembaga
Perwakilan Rakyat yang baru inilah yang kemudian akan bertindak sebagai
konstituante untuk mengubah konstitusi, dianut oleh Belgia, Norwegia dan
Swedia; Ketiga, dalam bicameral system, 2 (dua) Lembaga Perwakilan Rakyat harus
melakukan sidang gabungan sebagai suatu badan, yang keputusannya sah apabila
disetujui dengan suara terbanyak (bisa mutlak dan bisa yang ditentukan) dari
anggota-anggotanya;
b. By the people through a referendum; apabila perubahan konstitusi memerlukan
adanya pendapat langsung dari rakyat yang diminta melalui referendum, plebisit
atau popular vote (dianut oleh Perancis);
c. By a majority of all units of a federal state; yang berlaku hanya di negara federal,
karena pembentukan negara federal tersebut dilakukan oleh negara-negara yang
membentuk dan konstitusinya merupakan semacam perjanjian (treaty), sehingga
perubahan terhadap konstitusi memerlukan adanya persetujuan negara-negara
bagian;
d. By a special convention; mengubah konstitusi mengharuskan dibentukanya suatu
badan khusus yang dibentuk untuk itu.
BAB V
PERBANDINGAN FUNGSI LEGISLASI

1. Fungsi Legislasi
Legislasi merupakan suatu proses untuk membentuk suatu undang-undang. Menurut
Jimly Asshidiqie fungsi legislasi meliputi empat kegiatan, yaitu (1) prakarsa pembuatan
undang-undang; (2) pembahasan rancangan undang-undang; (3) persetujuan atas
pengesahan rancangan undang-undang; dan (4) pemberian persetujuan pengikatan atau
ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum
yang mengikat lainnya.
Fungsi legislasi ini dibagi menjadi 3 sistem yaitu: fungsi legislasi dalam system
parlementer, fungsi legislasi dalam system presidensial dan fungsi legislasi dalam system
semi-presidensial.
a. Fungsi Legislasi dalam Sistem Parlementer
Dengan tidak adanya pemisahan antara eksekutif dan legislative (eksekutif
juga sebagai anggota parlemen) menjadi sangat penting dalam fungsi legislasi dalam
system parlementer. Dengan demikian akan mudah bagi eksekutif untuk
menyelesaikan pembahasan mengenai rancangan undang-undang dalam proses
legislasi. Berdasarkan data dari inter parliamentary union (IPU) menunjukkan bahwa
dalam system parlementer, tingkat kesuksesan rancangan undang-undang menjadi
undang-undang yang diajukan oleh eksekutif sangatlah tinggi (lebih dari 80%).
Ada tiga faktor yang menentukan fungsi legislasi dalam pemerintahan
parlementer, yaitu: Kepala eksekutif dan anggota kabinetnya menginisiasi setiap
legislasi yang berpengaruh terhadap anggaran ataupun pengeluaran Negara; Hanya
terdapat sedikit komisi permanen dengan dukungan sedikit staf professional untuk
membantu merancang dan menilai kembali legislasi; Keputusan-keputusan
kebijakan yang penting dapat dan seringkali dibuat di tingkat kaukus partai daripada
didalam komi-komisi.
Dengan demikian sangat jarang dalam system parlementer terjadi jalan buntu
(deadlock) antara eksekutif dengan legislative dalam fungsi legislasi (pembuatan
undang-undang). Pembahasan pembuatan undang-undang bisa menjadi lebih alot
sering terjadi dalam pembahasan oleh lembaga legislative itu sendiri terutama dalam
system pemerintahan parlementer yang menggunakan bicameral system (system dua
kamar).
b. Fungsi Legislasi Dalam Sistem Presidensial
Dalam pemerintahan presidensial dengan adanya pemisahan yang jelas antara
fungsi eksekutif dengan fungsi legislative, maka proses pembuatan undang-undang
(membahas dan menyetujui RUU) dilakukan dan ditentukan sendiri oleh badan
legislative tanpa campur tangan eksekutif. Meskipun fungsi legislasi berada ditangan
legislative, namun eksekutif dapat mengajukan rancangan undang-undang yang
disampaikan melalui anggota legislative atau melalui partai pendukung eksekutif.
Secara umum karakter fungsi legislasi dalam system pemerintahan
presidensial dapat dijelaskan sebagai berikut: kekuasaan terbesar dalam fungsi
legislasi berada ditangan legislative. Untuk mengimbangi kekuasaan yang sangat
besar dalam fungsi legislasi yang dilakukan oleh legislative maka eksekutif
(presiden) diberikan hak untuk menolak (veto) terhadap rancangan undang-undang
yang sudah disetujui oleh legislative. Namun hak veto presiden ini juga dapat di veto
oleh lembaga legislative dengan komposisi tertentu.
Dengan adanya pemisahan fungsi legislasi antara kekuasaan legislative dengan
eksekutif menimbulkan beberapa konsekuensi, yaitu (1) the supreme state, dengan
memberikan kewenangan legislasi kepada parlemen menjadi undang-undang sebagai
sesuatu yang supreme; (2) necessity for legislation, dengan ini tidak memungkinkan
kekuasaan lain untuk membentuk undang-undang; (3) undang-undang tidak dapat
didelegasikan lebih lanjut kepada ketentuan yang lebih rendah; (4) legislative veto,
dengan hak ini maka memberikan hak kepada parlemen untuk membatalkan veto
presiden.
c. Fungsi Legislasi Dalam Sistem Pemerintahan Semi Presidensial
Dengan adanya pembagian kekuasaan antara presiden dengan perdana menteri
maka dalam menjalankan fungsi legislasi, baik perdana menteri maupun anggota
parlemen sama-sama mempunyai hak untuk mengajukan rancangan undang-undang.
Akan tetapi rancangan undang-undang yang diajukan oleh eksektutif lebih
diutamakan karena secara konstitusional eksekutif yang menentukan agenda
legislasi. Selain itu eksekutif dapat mengusulkan untuk pemungutan suara untuk
menentukan apakah paket rancangan undang-undang dapat disetujui atau tidak.
Dalam system semi-presidensial jika rancangan undang-undangan yang
diajukan oleh eksekutif ditolak maka eksekutif dapat mengajukan mosi tidak percaya
kepada parlemen. Presiden dapat melakukan by pass atas parlemen dengan meminta
persetujuan rakyat melalui referendum nasional. Jika referendum mendukung maka
rancangan undang-undang tersebut menjadi undang-undang tanpa persetujuan dari
legislative.

Anda mungkin juga menyukai