Anda di halaman 1dari 12

PAPER AREA HOMELESS (TUNAWISMA)

KEPERAWATAN KOMUNITAS

Dosen Pembimbing : Nur Setiawati Dewi, S.Kp.,M.Kep.,Sp.Kom.,Ph.D

Disusun oleh :
Kelompok 3 A18.1
1. Milla Dia Laila Nurul Islamiyah (22020118120007)
2. Novianita Elce (22020118120024)
3. Novita Nur Utami (22020118130067)
4. Alya Puspita Angela (22020118130092)
5. Nia Apriliani (22020118130097)
6. Fadil Bumantara (22020118130081)
7. Muhammad Rizal Mufty Alim (22020118130116)
8. Nurman Wahyu Hidayat (22020118140122)

DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2021
A. KONSEP MENGENAI HOMELESS
1. Pengertian
Definisi tunawisma dan ketunawismaan tidak hanya kompleks tetapi terkadang
juga membingungkan. Meskipun beberapa masyarakat menerima secara umum
pengertian tunawisma yang masih sedikit namun perlu definisi yang tepat untuk
menentukan mana yang dihitung sebagai tunawisma dan siapa yang perlu perencanaan
untuk dibantu (Burt, Aron & Lee, 2001; Murphy & Tobin, 2011; Shumsky, 2012
dalam Nies dan McEwen, 2018). Bidang penelitian FEANSTA (European Federation
of Organisations Working with the Homeless) menggunakan kata “rumah” sebagai
dasar untuk penyusunan definisi ketunawismaan. Menurut European Typology of
Homelessness and Housing Exclusion (ETHOS), konsep rumah ada tiga domain, yaitu
fisik, sosial dan legal. Domain fisik artinya memiliki tempat tinggal yang adekuat
miliki sendiri atau keluarga, domain sosial berarti mampu memelihara privasi dan
menjalin hubungan, domain legal berarti memiliki barang pribadi secara istimewa,
pekerjaan tetap dan pekerjaan legal (Edgar, 2009 dalam Sahar et al., 2018). Dari
pemaparan tesebut dapat disimpulkan bahwa tunawisma merupakan orang yang tidak
memiliki rumah sendiri, tidak mampu memelihara privasi dan menjalin hubungan,
tidak memiliki barang pribadi secara istimewa, tidak memiliki pekerjaan tetap dan
legal.
Populasi tunawisma adalah individu tanpa rumah permanen yang mungkin hidup
di jalanan, tinggal di penampungan, tinggal di bangunan atau di kendaraan terlantar,
berada dalam situasi tidak stabil atau tidak permanen serta menghadapi ketidakadilan
kesehatan di berbagai kondisi (Aldridge et al., 2018 dalam Omerov et al., 2020).
2. Ciri-ciri
Peneliti dari Eropa menyusun empat tipe utama keadaan tempat tinggal untuk
mengelompokkan tunawisma yaitu:
a) Tidak memiliki atap
b) Tidak memiliki rumah
c) Rumah tidak permanen
d) Rumah tidak layak
Klasifikasi tersebut bertujuan untuk menentukan sesuatu, penentuang tingkat
ketunawismaan, penyusunan kebijakan, mengevaluasi intervensi dan tujuan yang lain
(FEANSTA, 2011 dalam Nies dan McEwen, 2018). Sementara ETHOS pada tahun
2012 menggolongkan ketunawismaan dengan empat kategori:
a) Tidak memiliki tempat berteduh
b) Tempat berteduh darurat
c) Akomodasi sementara
d) Risiko ketunawismaan
3. Faktor Penyebab
Terdapat tiga faktor utama yang berperan terhadap populasi tunawisma (Sahar et
al., 2018). Faktor ini dapat berkontribusi secara tunggal dalam meningkatkan kejadian
ketunawismaan maupun didukung dengan faktor lain.
1) Kurangnya perumahan yang terjangkau
Perumahan yang dianggap terjangkau adalah jika biaya sewa tidak lebih dari
30% pendapatan.
2) Pendapatan tidak mencukupi untuk kebutuhan dasar
Selama lebih dari 10 tahun, Burt et al. (2001) mendokumentasikan bahwa
pendapatan yang tidak mencukupi serta pengangguran dapat menghalangi
orang untuk bebas dari ketunawismaan. Kurangnya perumahan yang
terjangkau disertai pendapatan yang tidak cukup akan mendorong seseorang
untuk membelanjakan pendapatan untuk menyewa tempat tinggal. Hal ini
membuat tunawisma tidak memiliki sumber yang cukup untuk melengkapi
kebutuhan dasar seperti kebutuhan pangan, kebutuhan sandang dan pelayanan
kesehatan. Keadaan ini dapat meningkatkan risiko merebaknya
ketunawismaan (Nies dan McEwen, 2018).
3) Layanan pendukung tidak maksimal
Layanan dukungan untuk tunawisma mungkin kurang dalam hal kualitas dan
kuantitas. Sebagian memerlukan bantuan tersebut agar bisa bekerja dan
menghasilkan uang. Kelompok ini dapat berfungsi dalam angkatan kerja,
sementara sebagian lain memerlukan layanan untuk mempertahankan status
rumah. Kelompok lain memiliki masalah kesehatan mental dan/atau
penyalahgunaan zat di luar masalah perumahan. Mereka membutuhkan
bantuan pendapatan dan layanan kesehatan baik fisik maupun perilaku secara
komprehensif serta mudah diakses. Layanan kesehatan yang terjangkau
adalah layanan yang mencerminkan kondisi kesehatan seperti yang ditentukan
oleh WHO yaitu kesejahteraan dalam fisik, mental maupun sosial (Klimeret
et al., 2012; WHO, 1948 dalam Nies dan McEwen, 2018).

B. PERMASALAHAN KESEHATAN YANG SERING MUNCUL PADA HOMELESS


Tunawisma biasanya tinggal di lingkungan yang dapat menyebabkan epidemi
penyakit. Banyak tunawisma yang tinggal bersamaan di lingkungan formal seperti
tempat penampungan atau di lingkungan informal seperti kolong jembatan tidak
memiliki akses untuk mendapatkan kebersihan dasar sehingga memudahkan penularan
virus. Kelompok tunawisma adalah kelompok rentan berpotensi terkena COVID-19.
Tunawisma yang berumur kurang dari 65 tahun memiliki tingkat mortalitas atau
kematian 5 – 10 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum akibat memiliki
beberapa penyakit yang fatal. Infeksi yang diakibatkan oleh COVID-19 berbahaya
untuk kalangan tunawisma karena dapat lebih meningkatkan mortalitas mereka (Tsai
dan Wilson, 2020).
Penyakit kesehatan yang sering diderita oleh tunawisma adalah penyakit-
penyakit fisik. Sebagian besar tunawisma di beberapa bagian Amerika Serikat bahkan
mengalami banyak mengalami penyakit seperti tifus, hepatitis A, TBC, infeksi bakteri
Shigella, infeksi pernafasan, infeksi penyakit menular seksual, dan penyakit lainnya.
Hal itu dikarenakan kurangnya akses untuk mendapatkan perawatan kesehatan pada
tunawisma sehingga meningkatkan potensi tunawisma tidak terdeteksi memiliki
COVID-19 (Tsai dan Wilson, 2020).
Selain itu, masalah kesehatan mental pada tunawisma juga merupakan masalah
yang cukup serius. Tunawisma seringkali mengalami distress psikologi seperti kondisi
emosional yang kurang stabil, depresi dan kecemasan akibat banyaknya tekanan hidup
dan tidak adanya dukungan atau support dari sekitar. Beban mental inilah yang
menjadi salah satu faktor wanita tunawisma yang sedang mengandung mengalami
kelahiran bayi premature (Nies dan McEwen, 2018).
C. PERAN PERAWAT
Secara umum, perawat memiliki beberapa peran penting dalam peningkatan
pelayanan kesehatan masayarakat. Dalam konteks ini, perawat komunitas mempunyai
potensi untuk membentuk hubungan kerjasama yang harmonis dan mengembangkan
program serta intervensi yang memberikan efek positif untuk masyarakat secara luas,
termasuk kelompok tunawisma (Anderson dan McFarlane, 2011).
Dalam konsep dasar keperawat komunitas, menjelaskan bahwa terdapat 3 level
pencegahan. Menurut Leavell & Clark (1958) menjabarkan tiga level pencegahan yang
dapat dilakukan yaitu, meliputi pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan
pencegahan tersier. Teori ini biasanya digambarkan dalam sebuah bentuk segitiga,
yang mana pencegahan primer menjadi dasar. berikut penjelasan lebih rincinya:
1. Pencegahan primer ditunjukan kepada suatu individu atau kelompok sehat.
Pencegahan ini memiliki hubungan dengan kegiatan yang diarahkan pada
pencegahan suatu problem yang belum terjadi dengan cara mengubah risiko atau
mengurangi pajanan pada individu yang berisiko. Terdapat beberapa langkah
atau metode dalam melakukan pencegahan primer, diantaranya yaitu melakukan
promosi kesehatan, edukasi kesehatan dan perlindungan spesifik.
2. Pencegahan sekunder ditunjukan kepada suatu individu atau kelompok yang
memiliki risiko tujuannya untuk mendeteksi dini dan melakukan tindakan
intervensi segera selama fase pre-patogenesis penyakit atau masalah.
3. Pencegahan tersier ditunjukan kepada suatu individu atau kelompok yang sudah
mengidap atau mengalami suatu masalah penyakit. Fokus dari pencegahan ini
adalah untuk membatasi kecacatan serta dilakukan tindakan rehabilitasi. Hal
tersebut memiliki tujuan yaitu untuk mencegah penyakit atau masalah kesehatan
semakin memburuk, mengurangi efek dan cidera akibat dari penyakit dan
mengembalikan dungsi individu kearah optimal.

Teori 3 level pencegahan diatas, dapat diterapkan dalam sebuah upaya


peningkatan kesehatan pada kelompok tunawisma. Tunawisma merupakan salah satu
kelompok klien yang juga perlu mendapatkan perhatian khusus dari perawat. Banyak
masalah kesehatan yang terjadi pada tunawisma karena keadaan lingkungan serta
kemampuan seadaanya. Oleh karena itu, perlunya peran perawat dalam pelayanan
kesehatan kepada tuna wisma.
Intervensi yang dapat dilakukan pada kelompok tunawisma berdasarkan 3 level
pencegahan diantaranya sebagai berikut:
1) Perawat dapat melakukan program relokasi dan berkolaborasi dengan berbagai
aspek atau sektor pemerintahan atau lembaga lainnya seperti perusahaan untuk
mengajukan bantuan finansial, bantuan hukum sebagai upaya pencegahan primer
2) Perawat dapat menargetkan orang-orang yang berisiko tinggi menjadi tunawisma
kemudian dilakukan pencegahan sekunder berupa skirining, dukungan konseling
atau merujuk ke lembaga yang terlibat.
3) Salah satu pencegahan tersier yang dapat dilakukan adalah perawat dapat
memberikan bimbingan mental, bimbingan kesehatan dengan mengedukasi,
bimbingan ketertiban, dan bimbingan keagamaan sebagai salah satu pencegahan
tersier (Widagdo dan Kholifah, 2016).
D. KASUS
Terbaring Merintih di Sebuah Gang, Tunawisma Ini Ternyata Positif Covid-19

TUBAN, KOMPAS.com - Seorang tunawisma di Kabupaten Tuban, Jawa Timur,


terpapar Covid-19 dengan kondisi memprihatinkan di sebuah gang kampung. Tunawisma
tersebut diketahui oleh warga sekitar sudah beberapa hari terbaring sakit di Gang 6
Kelurahan Sendangharjo, Kecamatan Tuban. Lurah Sendangharjo Ahmad Sofyan
menuturkan, tunawisma tersebut sudah biasa tidur di Gang 6 Kelurahan Sendangharjo
beberapa tahun terakhir. Tunawisma itu diketahui bernama Salim (70), warga Kelurahan
Sendangharjo. "Setiap kali dibawa pulang kerabatnya, mereka selalu balik dan tidur di
sini," kata Ahmad Sofyan saat dikonfirmasi, Kamis (5/8/2021).
Ahmad Sofyan menceritakan, awalnya ada warga sekitar yang mengetahui Salim sudah
beberapa hari terakhir ini terlihat berbaring saja. Saat hendak memberikan makan,
ternyata warga justru melihat kondisi tubuh salim demam dan merintih sakit. Dirinya
mengeluh nyeri dada. Saat disentuh, tubuh tunawisma tersebut ternyata terasa hangat.
Mengetahui kondisi Salim sedang sakit dan khawatir terjadi sesuatu, warga pun
melaporkan kepada pihak kelurahan dan Satpol PP setempat. Petugas Satpol PP bersama
petugas dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tuban pun mendatangi lokasi untuk
mengevakuasi tunawisma tersebut.
Kasatpol PP Kabupaten Tuban, Hery Muharwanto mengatakan, pihaknya mendapatkan
laporan adanya tunawisma yang sakit dan warga khawatir dengan kondisinya. Melihat
kondisinya sedang sakit, apalagi saat ini situasi sedang pandemi Covid-19. Maka,
sebelum dievakuasi harus dilakukan tes kesehatan terlebih dahulu. Ketika dicek oleh
tenaga medis, suhu Salim menunjukkan angka 38,5 o C."Saat di-tracing oleh petugas
medis, ternyata hasilnya mereka dinyatakan positif Covid-19," kata Hery Muharwanto,
saat dihubungi Kompas.com, Kamis.
Selanjutnya, proses evakuasi terhadap tunawisma tersebut pun dilakukan dengan
menggunakan protokol kesehatan ketat. "Mereka kita bawa RSUD dr Koesma Tuban
untuk mendapatkan perawatan," jelasnya.
E. DIAGNOSA KEPERAWATAN BERDASARKAN KASUS

ANALISA DATA
Nama Klien : Tn. Salim
Umur : 70 tahun

No Analisa Data Diagnosa Etiologi


. Keperawatan
1. DS : Hipertermi Proses
1. Ahmad Sofyan mengatakan, “Saat hendak penyakit
memberikan makan, ternyata warga justru (COVID-19)
melihat kondisi tubuh salim demam”
2. Ahmad Sofyan mengatakan, “Saat
disentuh, tubuh tunawisma tersebut
ternyata terasa hangat”
3. Hery Muharwanto mengatakan,"Saat di-
tracing  oleh petugas medis, ternyata
hasilnya mereka dinyatakan positif Covid-
19.”
DO :
1. Kulit terasa hangat
2. T : 38,5oC
3. Hasil Swab Antigen (+)
2. DS : Nyeri Akut Agen
1. Tn. Salim mengeluh nyeri dada pencedera
DO : fisiologi
1. Meringis kesakitan
3. DS : Manajemen Kesulitan
1. Ahmad Sofyan mengatakan, “Awalnya ada Kesehatan Ekonomi
warga sekitar yang mengetahui Salim Tidak Efektif
sudah beberapa hari terakhir ini terlihat
berbaring saja”
F. PERAN PERAWAT BERDASARKAN KASUS
1. Pencegahan Primer
Dalam kasus yang telah diambil yaitu terkait tunawisma lansia yang terpapar
COVID-19. Sesuai dengan kasus tersebut, peran serta kita sebagai perawat melalui
pencegahan primer dapat ditunjukkan dengan menjadi pendidik serta agen promosi
kesehatan. Sebagai sosok pendidik, maka perawat harus mampu untuk menyediakan
informasi dan juga mengajarkan kepada komunitas atau keluarga mengenai upaya
kesehatan yang dapat dilakukan oleh mereka.
Sesuai kasus, dimana seorang tunawisma lansia sudah terkena penyakit, berarti
sudah tidak bisa dicegah secara dini. Upaya preventif kita bisa kita alihkan ke
wilayah tunawisma di sekitar kasus tersebut. Kita mengedukasi kepada tunawisma-
tunawisma yang ada di lingkungan tersebut dengan memberikan penjelasan terkait
pencegahan dini COVID-19. Upaya edukasi yang dapat dilakukan, diantaranya
adalah memberikan informasi dan mengedukasi tunawisma yang lain terkait tetap
menjaga protokol kesehatan yaitu dengan selalu menggunakan masker sesuai
ketentuan, mencuci tangan, menjaga jarak sejauh 1-2 meter dengan yang lain dan
selalu menjaga kebersihan lingkungan yang ditinggali. Walaupun berada pada
lingkungan yang kurang bersih, tunawisma harus tetap mencegah diri sendiri secara
dini dengan tetap menjaga diri sendiri agar tidak merasakan akibat dari virus
tersebut. Sebagai perawat, kita dapat mencegah secara dini agar di lingkungan
tunawisma tersebut tidak menelan korban kembali (Anderson, 2007 dalam Pakpahan
et al.,2020). Dalam lingkungan tunawisma, langkah pencegahan primer yang dapat
dilakukan yaitu promosi kesehatan. Perawat dapat mengidentifikasi dan juga
mengurangi risiko kesehatan yang ada pada klien atau di sekitar klien, memberikan
lingkungan yang mendukung untuk kesehatan, dan mencegah terjadinya penularan
penyakit untuk tunawisma lain dengan memberikan imunisasi atau vaksinasi kepada
mereka (Hulu et al., 2020).

2. Pencegahan Sekunder
Sesuai dengan kasus yang didapat, peran serta kita sebagai perawat dalam
pencegahan sekunder ini dapat ditunjukkan dengan menjadi pelaksana asuhan
keperawatan, yaitu dengan memberikan pelayanan langsung kepada komunitas
sesuai dengan kebutuhan komunitas atau keluarga. Perawat dapat melakukan peran
ini sesuai dengan tahapan pengkajian hingga evaluasi keperawatan, yaitu melakukan
pengkajian secara komprehensif, menetapkan masalah keperawatan sesuai dengan
keadaan komunitas, menyusun rencana keperawatan dengan menyesuaikan pada
kebutuhan dan potensi komunitas lingkungan termasuk di lingkungan tunawisma
sendiri, serta melakukan tindakan keperawatan. Kita sebagai perawat pelaksana
asuhan keperawatan, dapat melakukan tindakan mandiri jika di lingkungan tersebut
terdapat tanda-tanda dini penyakit tertentu (Pakpahan et al., 2020).
Jika melihat dari kasus yang didapat, yaitu terpapar virus COVID-19 yang bisa
saja tanda awal kemunculannya adalah demam, batuk dan sebagainya, kita sebagai
perawat dapat memberikan obat penurun panas dan lain sebagainya sebagai upaya
pencegahan terhadap terjadinya komplikasi, dan segera mengisolasi atau membawa
klien ke rumah sakit untuk mencegah penyebaran masalah kesehatan yang
merupakan penyakit menular (Hulu et al., 2020).
Selain itu, fokus pencegahan sekunder yang dapat dilakukan lainnya, diantaranya
adalah kita bisa mendata tunawisma untuk melihat data kebutuhan tempat tinggal,
pelayanan kesehatan dan pekerjaan. Dalam penataan dan pengelolaan tunawisma,
kita bisa bekerjasama dengan dinas sosial, pekerja sosial, komunitas dan lain-lain
(Pakpahan et al., 2020).

3. Pencegahan Tersier
Sesuai dengan kasus ditemukan, tunawisma berada dalam kondisi positif COVID-
19 dan sudah berusia lanjut maka peran perawat dapat ditunjukkan dengan menjadi
perawat perintis (change agent), yaitu dengan membantu individu untuk dapat
melakukan perubahan agar menjadi lebih sehat setelah individu tersebut terpapar
COVID-19. Perawat berperan dalam penyembuhan tunawisma yang ditemukan
terkena COVID-19 dan mengurangi komplikasi dari gangguan yang diderita. Perawat
juga dapat menemani klien ketika melakukan rehabilitasi agar kesehatannya dapat
kembali berfungsi secara optimal (Widagdo dan Kholifah, 2016).
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, E. T., dan McFarlane, J. Community as Partner: Theory and Practice in Nursing
(Edisi 6). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Hulu, V. T., Pane, H. W., Zuhriyatun, T. F., Munthe, S. A., Salman, S. H., Hidayati, W.,
Sianturi, H. E., Pattola, Mustar. (2020). Promosi Kesehatan Masyarakat. Medan:
Yayasan Kita Menulis.
Kompas. (2021). Terbaring Merintih di Sebuah Gang, Tunawisma Ini Ternyata Positif Covid-
19. Diakses pada 25 Agustus 2021, dari
https://regional.kompas.com/read/2021/08/05/224518278/terbaring-merintih-di-sebuah-
gang-tunawisma-ini-ternyata-positif-covid-19
Nies, M. A., & McEwen, M. (2018). Community and Familly Health Nursing (Edisi 1
Indonesia). (A. Setiawan, J. Sahar, & N. M. Riasmini, Penyunting). Singapura: Elsevier
Omerov, P., Craftman, Å. G., Mattsson, E., & Klarare, A. (2020). Homeless persons'
experiences of health- and social care: A systematic integrative review. Health & social
care in the community, 28(1), 1–11. https://doi.org/10.1111/hsc.12857
Pakpahan, M., Hutapea, A. D., Siregar, D., Frisca, S., Sitanggang, Y. F., Manurung, E. I.,
Pranata, L., Daeli, N. E., Koerniawan, D., Pangkey, B. C. A., Ikasari, F. S., Hardika, B.
D. (2020). Buku Ajar Keperawatan Komunitas. Medan: Yayasan Kita Menulis.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnostik (Edisi 1 Cetakan III Revisi). Jakarta: TIM POKJA DPP
PPNI
Tsai, J., & Wilson, M. (2020). COVID-19: a potential public health problem for homeless
populations. The Lancet. Public health, 5(4), e186–e187. https://doi.org/10.1016/S2468-
2667(20)30053-0
Widagdo, W., dan Kholifah, S. T. (2016). Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Keperawatan
Keluarga dan Komunitas. Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan

Anda mungkin juga menyukai