346-Article Text-518-1-10-20200718
346-Article Text-518-1-10-20200718
“Mimikri‖ Jurnal Bidang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan terbut dua kali dalam
setahun pada bulan Juni dan Desember. Redaksi menerima tulisan mengenai agama dan
kebudayaan, baik berupa artikel hasil penelitian, kajian non penelitian, dan resensi buku.
Panajang tulisan 15-20 halaman, A4, 1,5 sparis, font Times New Roman, 12, margin 3 cm,
pengutipan acuan dalam tubuh tulisan menggunanakn (innote) dengan urutan nama penulis,
tahun erbit, dan halama, seperti (Saprillah, 2019: 12), diserahkan dalam format print out dan
file dalam format Microsoft Word. Biodata penulis dapat dikirimkan melalui e-mail: petunjuk
lengkap penulisan terdapat pada bagian belakang jurnal ini.
ii
SALAM REDAKSI
Mimikri dalam edisi ini mengangkat tema Moderasi Beragama. Tema ini sengaja
dipilih untuk menggemakan moderasi beragama lebih nyaring lagi. Sebagaimana kita pahami
bersama, Indonesia dalam beberapa tahun terakhir berkubang dengan maraknya paham-
paham keagamaan yang intoleran bahkan ekstrem. Laman berbagai pemberitaan di media
online dihiasi dengan ajaran-ajaran keagamaan yang intoleran dan penuh dengan ujaran
kebencian. Dalam situasi semacam itu, maka ceramah-ceramah yang sejuk, informasi yang
menenangkan dan tulisan-tulisan yang mengusung kedamaian dan moderasi beragama patut
dimasifkan.
Moderasi beragama sendiri adalah sikap keberagamaan yang memilihi posisi di
tengah-tengah. Tidak mengambil posisi ekstrem di salah satu sisi; radikal di sisi satunya dan
liberal pada sisi yang lainnya. Tentu moderasi beragama, bukanlah menggampangkan
agama, misalnya karena atas nama kebebasan, lalu harus memunggungi prinsip-prinsip
agamanya sendiri. Sebaliknya moderasi beragama adalah sikap sungguh-sungguh
menjalankan ajaran agama, sembari di saat yang sama terbuka untuk berdialog dengan agama
lain.
Jika sikap seperti yang disebutkan tadi yang dimaksud dengan moderasi beragama,
maka seharusnya ―all religions are inherently moderate.‖ Tetapi sayangnya dalam praktiknya
tidak semudah mengucapkannya. Di Indonesia sendiri tantangan untuk menerapkan moderasi
beragama ini tidaklah mudah. Kendati demikian, berbagai pengalaman-pengalaman dan
praktik yang berkembang di masyarakat memberikan harapan yang cukup besar. Harapan
bahwa moderasi beragama akan menjadi mainstrem beragama di Indonesia.
Beberapa tulisan dalam mimikri kali ini menggambarkan beberapa model-model
moderasi beragama yang dipraktikkan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Meski di
antara itu ada pula yang memperlihatkan tantangan moderasi itu sendiri. Salah satunya yang
memperlihatkan tantangan atas moderasi beragama, tepatnya moderasi Islam termuat dalam
tulisan pertama yang disajikan oleh Muhammad Nurkhoiron: ―Liberalisasi Sebagai Moderasi
Islam Dalam Masyarakat Pasca Sekuler.‖ Tulisan ini mempertanyakan kemajuan Islam
moderat saat ini di tengah gemuruhnya Islam politik yang sedang semangat mencari celah
penyatuan agama dan negara.
Sementara itu tulisan Sabara yang menyoal Paradigma dan Implementasi Moderasi
Beragama dalam Konteks Kebangsaan menunjukkan kerentanan dari keragaman di Indonesia
pasca reformasi. Dengan penelusuran literatur, Sabara mengemukakan keretakan-keretakan
dalam kemajemukan kita karena semakin menguatnya politik identitas pasca reformasi.
Karena itulah menurutnya, moderasi beragama menjadi alternatif keberagamaan di tengah-
tengah masyarakat Indonesia yang religius-nasionalis ini.
Tulisan selanjutnya dari Syamsurijal mengenai Santri yang Berdamai dengan Tradisi
Lokal, menyajikan satu fakta yang cukup unik, yakni kenyataan bahwa pesantren salafi yang
selama ini dituduh konservatif, intoleran dan anti tradisi, malah berjalan sebaliknya di
pesantren-pesantren salafi di Polewali Mandar (Polman). Melalui kiai atau Annang Guru,
pesantren salafi justru menjadi penjaga tradisi atau tepatnya menjadi semacam the main
connecting link antara Islam dan tradisi lokal.
iii
Berikutnya ada tulisan Sitti Arafah: Pengarustamaan Kearifan Lokal dalam Moderasi
Beragama; Meneguhkan Kepelbagaian. Tulisan ini menitik beratkan pentingnya tradisi atau
kearifan lokal yang ada di banyak tempat di Indoensia ini dalam menopang kehidupan
beragama yang moderat. Kearifan lokal yang bersumber dari ajaran leluhur sejatinya banyak
mengandung ajaran tentang moderasi ini. Tinggal kini bagaimana ajaran tersebut kembali
direvitalisasi agar tidak kehilangan elang vitalnya dalam kehidupan beragama masyarakat.
Setelah tulisan Siti Arafah, Muh Rais muncul dengan tulisan yang lebih konseptual. Ia
menjelaskan konsep moderasi Islam yang disebut dengan washatiyah. Tulisan berjudul
―Mengarus Utamakan WasathiyyahIslam: Antara Doktrin dan Praksis Sosial, berkutat
dengan bagaimana Islam memandang wasatiyah berdasarkan sumber-sumber yang otoritatif,
misalnya pandangan Al-qur‘an, Hadist maupun pendapat ulama. Kendati tulisan semacam ini
telah banyak ditulis oleh berbagai pakar, tetapi tetap terasa penting, khususnya untuk
kepentingan sosialisasi secara masif isu moderasi Islam.
Tulisan yang juga mengemukakan pengalaman moderasi beragama muncul dalam:
―Warung Kopi Jalan Roda; Merekam Ingatan Kolektif dan Merawat Toleransi‖. Tulisan
Irfan Syuhudi menunjukkan Warung Kopi bisa menjadi ruang publik tempat perjumpaan
berbagai kalangan. Warung Kopi di Jalan Roda di kota Manado telah menjadi ruang
semacam itu. Di tempat itulah toleransi disemai dalam bentuk-bentuk diskusi dan dialog-
dialog yang konstruktif.
Mimikri untuk edisi kali ini ditutup oleh Paisal yang menulis soal ―Kerukunan
Beragama dan Dinamika kebangsaan di Wilayah Perbatasan Indonesia-Papua.‖ Tulisannya
menunjukkan bahwa masyarakat Papua di daerah perbatasan menjunjung tinggi nilai-nilai
kerukunan beragama. Tetapi yang lebih menarik, meski mereka sudah sering melintas batas
dan berbaur dengan masyarakat Papua Nugini, tetapi Komitmen Kebangsaannya tidak hilang.
Walhasil, apakah setuju dengan ide-ide yang tercetus dalam tulisan ini atau tidak, itu
semua terpulang ke pembaca sekalian untuk menyelami tulisan-tulisan dalam jurnal ini.
Pada akhirnya redaksi mengucapkan: ―Selamat membaca….!‖
iv
MIMIKRI
Jurnal Agama dan Kebudayaan
ISSN: 2476-9320
Vol. 6, No. 1 Juni 2020
DAFTAR ISI
____ MUHAMMAD NURKHOIRON ____
LIBERALISASI SEBAGAI MODERASI ISLAM
DALAM MASYARAKAT PASKA SEKULER
Halaman 1 - 16
____ SABARA____
PARADIGMA DAN IMPELEMENTASI MODERASI
BERAGAMA DALAM KONTEKS KEBANGSAAN
Halaman 17 - 35
____ SYAMSURIJAL____
SANTRI YANG BERDAMAI DENGAN TRADISI LOKAL:
MELONGOK MODERASI BERAGAMA
DI LINGKUNGAN PESANTREN SALAFI
Halaman 36 - 57
____ PAISAL____
KERUKUNAN BERAGAMA DAN KOMITMEN KEBANGSAAN
DI WILAYAH PERBATASAN PAPUA
Halaman 113 - 130
v
PARADIGMA DAN IMPELEMENTASI MODERASI
BERAGAMA DALAM KONTEKS KEBANGSAAN
Sabara
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar
Jalan AP. Pettarani No 72 Makassar
Email: barackfilsafat@yahoo.co.id
Abstrak
Fakta bahwa masyarakat Indoensia adalah masyarakat plural, utamanya plural dari segi
agama, membutuhkan suatu model keberagamaan yang dapat dijadikan dasar untuk menjaga
dan memperkuat ikatan dan integrasi kebangsaan Indonesia yang bhineka. Model
keberagamaan tersebut adalah keberagamaan yang moderat atau moderasi beragama. Tulisan
ini bertujuan mendeskripsikan secara singkat fakta keberagamaan di Indonesia, serta
mendeskripsikan secara teoretis moderasi beragama sebagai sebuah paradigma beragama dan
secara praksis impelemntasi medoerasi beragama dalam konteks kebangsaan Indonesia yang
multikultur. Tulisan ini didasarkan pada penelusuran atau kajian pustaka terkait tema yang
dibahas. Fakta keberagamaan di Indonesia menunjukkan, kerentanan terjadinya konflik
bernuansa agama, utamanya di masa pasca reformasi.Moderasi beragama merupakan cara
pandang, sikap, dan perilaku yang berposisi di tengah-tengah di antara dua pilihan ekstrem
yang ada. Pilihan ekstrem yang dimaksud adalah ekstrem kanan, yaitu fundamentalis dan
ekstrem kiri atau liberalis dalam beragama. Prinsip moderasi beragama adalah adil dan
berimbang, yang memerhatikan tiga aspek; nilai kemanusiaan, kesepakatan bersama dan
ketertiban umum. Moderasi beragama merupakan paradigma dan implementasi membangun
pola keberagamaan yang sehat baik secara individual maupun sosial. Impelementas i
moderasi beragama dalam konteks kebangsaan didasarkan pada empat indikator, yaitu
toleransi, nirkekerasan, komitmen kebangsaan, dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal.
17
Sabara MIMIKRI: Vol. 6, No. 1 Juni 2020
18
Sabara MIMIKRI: Vol. 6, No. 1 Juni 2020
Secara sosiologis dalam kenyataan dapat menjadi perekat dan kontrol sosial
masyarakat yang plural, harus diakui (Turner, 2012). Agama merupakan bagian
agama kerap melahirkan konflik dan dari subsistem sosial yang ada pada
kekerasan akibat terjadinya radikalisasi masyarakat tentu memiliki peran penting
pemahaman dan praktik keagamaan. dan secara sosiologis memunyai peran
Menurut Al-Rasyid dan Saprillah, cukup signifikan dalam mendorong
(2017),fenomena radikalisme agama terwujudnya keserasian (keharmonian)
sangat terkait dengan identitas yang sosial (Shonhaji, 2012). Pencapaian fungsi
dilekatkan pada wilayah tertentu. agama yang secara signifikan pada
Misalnya, Manado dan Papua, yang terwujudnya tatanan sosial yang harmonis
identik dengan Kristen, Bali yang tentu akan berhadapan dengan fenomena
diidentikkan dengan Hindu, dan radikalisme agama yang menampilkan
identifikasi Indonesia secara umum wajah keagamaan yang sangat eksklusif.
sebagai negeri Muslim. Proses identifikasi Kaitannya dengan hubungan terhadap
ini, tentu saja, sangat rentan memantik agama lain, kelompok radikal
marginalsiasi dan diskriminasi hingga mengembangkan konsep teologi eksklusif
persekusi terhadap penganut agama yang menutup keberlakuan risalah agama
minoritas. Penganut kelompok agama dan meyakini pintu keselamatan bagi
mayoriats merasa lebih ―memiliki‖ agama lain.Misalnya, bagi kelompok
wilayah tersebut lebih dari kelompok Islam, pintu keselamatan hanyalah Islam
agama lainnya, dan hal ini menjadi (Sumbulah 2010). Sebagai kelompok yang
legitimasi untuk mengatur pola kehidupan eksklusif, kelompok radikal menunjukkan
beragama umat yang lain. Kelompok ciri tidak dapat bekerjasama dengan
mayoritas biasanya lebih mudah untuk kelompok yang berbeda aliran apalagi
menguasai sumber-sumber kekuasaan berbeda agama. Ketertutupan membuat
politik yang sangat berpengaruh dalam mereka kurang akomodatif dan kurang
masyarakat. Sebaliknya, kelompok menerima pemikiran dari luar (Nata 200).
minoritas biasanya sangat sulit untuk Persoalan kebangsaan (Indonesia)
mendapatkan akses kekuasaan (Ahmad et yang menjadi salah satu indikator
al. 2009).Hal inilah yang membuat praktik keberagamaan menjadi urgen karena
marginalisasi dan diskrimiansi kerap diperhadapkan pada dua fenomena yang
terjadi. paradoks berkenaan dengan hubugan
Agama pada sisi lain jika dihayati antara agama dan negara. Perspektif
sebagai sebuah nilai secara sosiologis radikalis yang menghendaki terwujudnya
19
Sabara MIMIKRI: Vol. 6, No. 1 Juni 2020
sebuah ―sistem agama‖ yang ideal dan menunjukkan komitmen bernegara yang
menyeluruh dalam kehidupan negara. akomodatif terhadap keragaman. Dengan
Sebaliknya, kelompok liberalis demikian, moderasi beragama sebagai
berpandangan, bahwa hubungan antara sebuah paradigm dan implementasi pola
agama dan negara perlu dipertanyakan keberagamaan yang sehat menjadi penting.
ulang (Qodir 2005). Kelompok radikalis Selama dua tahun terakhir, Kementerian
menghendaki sistem negara agama (Islam) Agama telah menjadikan moderasi
dan kelompok liberalis cenderung pada beragama sebagai sebuah agenda besar
sistem negara sekuler. Penerimaan guna membangun hubungan antar umat
terhadap ideologi Pancasila yang diyakini beragama yang rukun dan harmonis, serta
senapas dengan ajaran agama merupakan sinergis dalam menjaga dan memperkuat
jalan tengah yang moderat diantara dua integritas bangsa yang plural.
kubu (radikal dan liberal). Pancasila Tulisan ini merupakan hasil kajian
merupakan hasil objektifikasi agama- terhadap konsep moderasi beragama secara
agama (Sabara, 2012) yang darinya nilai- paradigmatik maupun implementatif dalam
nilai unievrsal dari agama-agama yang ada konteks kebangsaan di Indonesia.
di Indonesia diambil dan dijadikan Pembahasan dalam tulisan ini didasarkan
kekuatan pemersatu. Melalui Pancasila pada tiga masalah, yaitu; bagaimana fakta
inilah, agama dalam konteks kebangsaan keberagamaan di Indonesia, bagaimana
Indonesia menjadi kekuatan pemersatu dan basis paradigmatik moderasi beragama
secara signifikan berkontribusi pada dalam konteks kebangsaan di Indonesia,
terwujudnya integritas dan harmonisasi serta bagaimana implementasi moderasi
sosial masyarakat Indoensia yang plural beragama dalam konteks kebangsaan
dalam suatu ikatan kebangsaan. Indonesia yang plural. Tulisan ini
Fakta, bahwa Indonesia merupakan menggunakan metode studi pustaka
negara multiagama dan diperhadapkan dengan menelusuri literatur terkait tema
pada kenyataan sosial, seringnya terjadi moderasi beragama, yang dieksplorasi
kekerasan dan konflik bernuansa agama dalam konteks kebangsaan di Indonesia.
meniscayakan hadirnya sebuah model
keberagamaan yang dapat akomodatif PEMBAHASAN
terhadap harmonisasi sosial masyarakat Fakta Keberagaman di Indonesia
Indoensia. Pilihan terhadap Pancasila Kemajemukan identitas yang ada,
sebagai ideologi negara dan Bhineka termasuk agama merupakan modal sosial,
Tunggal Ika sebagai semboyan bersama kultural, dan politik bagi keberlangsungan
20
Sabara MIMIKRI: Vol. 6, No. 1 Juni 2020
dapat dimanfaatkan secara sinergis dalam tahun ini, konflik-konflik di seputar isu itu,
pembangunan karakter dan kepribadian kerap berubah menjadi kekerasan yang tak
bangsa. Namun, kenyataannya, kerap tertangani dengan baik (Muqoyyidin,
menunjukkan hal yang paradoks. 2012).
Keragaman agama justru kerap menjadi Munculnya stereotip satu
pemicu terjadinya konflik horisontal. kelompok terhadap kelompok lain yang
Konflik bernuansa agama merupakan salah berbeda agama, biasanya menjadi pemicu
satu potensi bagi terjadinya disintegrasi konflik antar umat beragama yang diikuti
bangsa jika tidak diperhatikan secara dengan aksi-aksi kekerasan (Yunus, 2014).
serius. Konflik agama, sejatinya lebih Klaim kebenaran mutlak menjadi dasar
banyak disebabkan oleh faktor ekonomi terbangunnya streotip terhadap kelompok
dan politik.Namun, isu agama merupakan agama lain yang dicap sebagai kelompok
isu yang cukup sensitif, sehingga sangat kafir, sesat, dan stigma teologis lainnya.
rentan menjadi penyulut konflik horisontal Menurut Nurcholish Madjid dalam Aisyah
di Indonesia. BM. (2014), konflik horisontal bernuansa
Seringnya terjadi konflik horisontal agama lebih didasarkan pada pandangan
bernuansa agama digambarkan oleh dunia atau vision de monde yang
(Annur, 2015) sebagai potret buram keliru.Padahal, sejatinya, hal ini sangat
keberagamaan di Indonesia. Kekerasan penting untuk mengarahkan hidup dalam
atas nama agama telah terjadi sejak dulu, keragaman menjadi lebih harmonis.
namun eskalasi kekerasan agama di Pandangan dunia ini adalah cara pandang
Indonesia meningkat tajam pasca keagamaan yang lebih moderat dalam
reformasi politik 1998 seiring dengan memandang dan menyikapi kepelbagaian
menguatnya gerakan agama radikal, keyainan.
khususnya Islam radikal. Berbagai laporan Sejarah hubungan antarumat
yang dirilis oleh beberapa lembaga beragama di Indonesia sejak awal tak
menunjukkan tingginya angka kekerasan pernah sepi dari konflik horisontal. Setelah
agama di Indonesia. Ada beberapa hal reformasi bergulir, eskalasi konflik
utama yang digarisbawahi dalam laporan bernuansa keyakinan tersebut semakin
tersebut.Dari segi isu, dua yang utama dan meningkat baik secara kuantitas maupun
kerap menjadi masalah masih tetap adalah kualitas. Konflik yang terjadi bisa
penodaan/penyimpangan agama dan melibatkan antar kelompok dalam intern
persoalan rumah ibadat. Kedua hal ini agama.Misalnya, kasus persekusi terhadap
menjadi isu utama, karena dalam beberapa penganut Ahmadiyah dan Syiah, serta
22
Sabara MIMIKRI: Vol. 6, No. 1 Juni 2020
Iklim kebebasan dan terbukanya akses praktik harmoni dalam hubungan antar
informasi berpengaruh pada tumbuh umat beragama di Indonesia. Menguatnya
suburnya gerakan keagamaan baru dan toleransi antarumat beragama biasanya
diantaranya bersifat trans-nasional. disebabkan faktor nilai kearifan lokal yang
Munculnya gerakan keagamaan baru ini menjadi katup perekat. Masyarakat
umumnya dianggap saingan dan Indonesia memiliki banyak kearifan lokal
mengganggu kemapanan kelompok arus yang secara fungsional cukup efektif
utama (Dja‘far, 2018). Gerakan dalam menciptakan situasi lingkungan
keagamaan baru memperjuangkan sosial yang harmonis dan rukun. Kearifan
tumbuhnya struktur dan tatanan sosial lokal tersebut cukup efektif dalam
yang baru yang menurut mereka lebih baik membangun masyarakat yang rukun dan
(Qodir, 2014). Hal ini, tentu saja, akan damai.Misalnya,dalihan na tulo di
bersinggungan dengan kelompok Sumatera Utara, siro yo ingsun, ingsun yo
keagamaan yang sudah mapan dalam siro di Jawa Timur, sipakalebbi dan
strutkur dan tatanan sosial. Hal inilah yang sipakatauu di Sulawesi Selatan, konsep
kemudian menjadi problem dan rentan menyama braya dari Bali dan konsep
memicu terjadinya konflik horisontal rumah betang dari Kalimantan Tengah
intern agama, yakni antara kelompok (Abdullah et al, 2008). Kearifan lokal
agama arus utamadan kelompok tersebut menjadi modal kultural dalam
keagamaan baru. membangun paradigma dan implemenatsi
Pada konteks diskursus moderasi beragama dalam konteks
keagamaan, khususnya dalam konteks kebangsaan pada masyarakat Indonesia.
Islam menurut Kersten, (2018) terjadi
perebutan wacana keislaman antar Basis Paradigmatik Moderasi Beragama
berbagai kelompok, yang diantaranya Moderasi beragama sangat penting
melibatkan kelompok baru. Terbitnya dijadikan perspektif atau paradigma dalam
fatwa sesat terhadap Ahmadiyah, beragama demi membangun pola
sekularisme, pluralisme, dan liberalism keberagamaan yang sehat secara personal
oleh MUI tahun 2005 merupakan efek dari dan secara sosial dapat menumbuhkan pola
perebutan wacana tersebut. relasi antar umat yang harmonis. Menurut
Meski banyak hal yang Khalid Abou Fadl dalam Misrawi (2010),
menunjukkan potret buram fakta moderasi adalah paham dan sikap yang
keberagamaan di Indonesia, namun kita mengambil jalan tengah di antara ekstrem
juga tidak bsia menutup mata terhadap kiri dan ekstrem kanan. Moderasi
24
Sabara MIMIKRI: Vol. 6, No. 1 Juni 2020
dengan keragaman. Moderasi telah lama dan ritus keagamaan dimaknai secara kaku
menjadi aspek yang menonjol dalam dengan tafsir tunggal dan menegasi
sejarah dan tradisi semua agama di dunia. keragaman tafsir maupun ekspresi. Aspek
Setiap agama yag ada di Indonesia lahir (eksoteris) dari agama menjadi
memiliki kecenderungan ajaran yang penekanan utama dan cenderung
mengacu pada satu titik makna yang sama, mengabaikan aspek batin (esoteris).
yakni bahwa memilih jalan tengah di Berkebalikan dengan pola ekstrinsik yang
antara dua kutub ekstrem, dan tidak mengutamakan aspek eksoteris,
berlebihan merupakan paradigma dan keberagamaan intrinsik menandang aspek
sikap beragama yang paling ideal. Dalam eksoteris dari agama adalah jalan untuk
konteks kebangsaan, moderasi beragama menyelami kedalaman inti esoteris dari
menjadi basis paradigmatik model agama. Aspek esoteris dipandang sebagai
keberagamaan yang sehat dan inti dari agama, karena agama tidak
berkontribusi dalam kehidupan bersama sekadar dimaknai sebagai pengamalan
dalam kepelbagaian yang tentram dan hukum dan ritus tapi juga sebagai
menentramkan. Secara praksis, moderasi penghayatan.atas nilai terdalam dari
beragama mewujudkan manusia Indonesia agama.
seutuhnya sekaligus menjadi manusia yang Pola keberagamaan intrinsik
menjalankan agamanya secara seutuhnya menekankan pada aspek substansi dengan
pula. menghayati kedalaman nilai agama yang
Secara paradigmatik, moderasi adiluhung. Dogma, hukum, dan ritus
beragama merupakan langkah awal dalam dimaknai sebagai jalan untuk membentuk
membangun model atau pola pribadi yang bijaksana. Keberagamaan
keberagamaan yang sehat. Pakar psikologi intrinsik mengarahkan pada kematangan
agama, Gordon W. Alport, dalam beragama yang bersikap terbuka pada
Rakhmat, (2003), menjelaskan, pola keragaman fakta dan nilai. Pada pola
keberagamaan manusia memiliki dua keberagamaan intrinsik, agama dipandang
kecenderungan, yaitu ekstrinsik dan sebagai comprehensive commitment dan
intrinsik. Keberagamaan ekstrinsik adalah driving integrating motive. Agama
pola keberagamaan yang lebih diterima bukan hanya sekadar sebagai
menonjolkan bentuk-bentuk luar dari pemandu tapi juga sekaligus sebagai
agama. Pola keberagamaan ekstrinsik pemadu (uniflying factor) (Rakhmat,
fokus pada pemaknaan literer atas dogma, 2003). Implikasi dari pola keberagamaan
simbolik dan formalistik. Dogma, hukum, ini secara eksternal adalah keberagamaan
26
Sabara MIMIKRI: Vol. 6, No. 1 Juni 2020
yang inklusif dan toleran. William James, progresif dan kontributif dalam
seorang pakar filsafat agama diakhir abad menerapkan nilai-nilai kemanusian dalam
19, membuat kategori keberagamaan yang kehidupan sosial. Keberagamaan yang
sehat (Healthy minded) dan keberagamaan sehat memantik kecerdasan spiritual yang
yang sakit (sick soul). Tanda-tanda diantara pencirinya adalah sense of
keberagamaan yang ―sehat‖, yaitu sikap knowledge, sense of humanity dan sense of
dan pandangan dunia (world view) yang humor. Sense of knowledge. Orang yang
optimistik, inklusif, dan memiliki sense of beragama secara moderat memiliki
humor. Sedangkan ciri keberagamaan yang semangat keingintahuan yang tinggi dan
―sakit‖ adalah pandangan dunia (world mendorong pada pemahaman yang lebih
view yang bercorak pesimistik, ekslusif mendalam, sehingga tidak terjebak pada
dan agresif (Jalaluddin, 2012). kesimpulan dan tindakan tanpa dasar
Secara praktik individu, moderasi pengetahuan yang jelas. Sense ini
beragama meniscayakan penghayatan yang terimplementasi dalam menyikapi
mendalam terhadap nilai agama bukan perbedaan.
sekadar menjalankannya secara formal. Orang yang moderat dengan sense
Sejalan dengan pola keberagamaan of knowledgenya berusaha untuk
intrinsik yang disebut oleh Alport, menyelami makna dari setiap perbedaan
moderasi beragama adalah sikap kesalehan yang ada. Perbedaan tidak untuk
beragama yang tak terjebak pada dipertentangkan melainkan disikapi secara
keberagamaan yang simbolik dan formalis. arif melalui sense of knowledge untuk
Praktik ini menuntun pada pencapaian dua mencari titik persamaannya. Orang yang
kesalehan secara berkelindan, yaitu beragama secara moderat sense of
kesalehan ritual dan kesalehan sosial. humanity akan menuntunnya untuk
Sebagai keberagamaan yang sehat melampaui sekat-sekat perbedaan. Sense of
moderasi beragama melahirkan humanity melahirkan penghargaan kepada
spiritualitas keagamaan substantif dan manusia sebagai sesama makhluk ciptaan
progresif. Substantif dalam artian Tuhan. Memperlakukan manusia secara
spiritualitas yang dibangun menelisik pada non diskriminatif tanpa memandang
kedalaman batin melalui penghayatan perbedaan identitas keyakinan. Sense of
penuh pada nilai-nilai keagamaan yang humanity mendorong pada penghormatan
agung. atas praktik keberagamaan orang lain yang
Spiritualitas tersebut, kemudian berbeda keyakinan, karena ajaran sejati
tereksternalisasi dalam laku hidup yang setiap agama tak mengenal paksaan.
27
Sabara MIMIKRI: Vol. 6, No. 1 Juni 2020
28
Sabara MIMIKRI: Vol. 6, No. 1 Juni 2020
dan demokrasi adalah penghormatan atas perbedaan. Bisa karena alasan bahwa
hak-hak manusia, diantaranya dalam keragaman itu sudah sunnatullah, juga
kebebasan berkeyakinan dan karena alasan bahwa keragaman adalah
mengamalkan keyakinannya tersebut. lahan untuk menyemai perkembangan
Semua manusia diberi ruang yang sama manusia menjadi lebih baik.
tanpa diskriminasi untuk berkontribusi Toleransi aktif yang dimaksud
dalam ruang sosial politik dan perolehan sebagai implementasi moderasi eragama
distribusi ekonomi secara setara dan adalah bukan dengan membiarkan
berimbang. perbedaan secara pasif, melainkan sikap
Toleran itu adalah hasil yang ko-eksistensi aktif dalam perbedaan, yang
diakibatkan sikap moderat dalam mensyaratkan kerjasama untuk meraih
beragama. Moderasi adalah proses kebaikan bersama (Osman, 2006). Lebih
sedangkan toleransi adalah hasilnya. jauh lagi, menurut Nurcholish Madjid,
Seorang yang moderat, bisa jadi tidak (1999), toleransi aktif adalah ―pertalian
setuju atas suatu tafsir ajaran agama,tetapi sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan
ia tidak akan menyalahkan secara terbuka keadaban.‖ Sikap toleransi aktif membuat
orang lain yang berbeda pendapat agama menjadi fungsional sebagai alat
dengannya. Seseorang yang moderat pasti perekat kohesi sosial ada beberapa aspek
punya keberpihakan atas suatu tafsir yang perlu untuk diperhatikan oleh
agama, tapi ia tidak akan memaksakannya pemeluknya, yaitu; runtuhnya ego sektoral
berlaku untuk orang lain (Kementerian (kelompok), tidak ekstrem dan saling
Agama RI, 2019b). Moderasi beragama menghormati, serta munculnya kesadaran
adalah sikap yang terimplementasi dalam kolektif sebagai satu kesatuan masyarakat
toleransi aktif. Toleransi aktif, meski dalam perbedaan (Mashudi, 2014)
sebagaimana digambarkan Walzer (1997), Secara implementatif, toleransi
tentang apa yang disebut sebagai ―rezim adalah sikap memberi ruang dan tidak
toleransi‖. Yaitu; Pertama, menerima dan mengganggu hak orang lain untuk
mengakui bahwa orang lain memiliki hak. berkeyakinan, mengekspresikan
Kedua, Tidak hanya sebatas keyakinannya, dan menyampaikan
memperlihatkan pengakuan, tetapi juga pendapat, meski apa yang disampaikannya
keterbukaan pada yang lain, atau berbeda dengan apa yang kita yakini.
setidaknya keingintahuan untuk lebih Toleransi mengacu pada sikap terbuka,
dapat memahami sang liyan. Ketiga; lapang dada, sukarela, dan lembut dalam
Mendukung, merawat dan merayakan menerima perbedaan. Toleransi selalu
30
Sabara MIMIKRI: Vol. 6, No. 1 Juni 2020
disertai dengan sikap hormat, menerima namun juga kekerasan verbal berupa
orang yang berbeda sebagai bagian dari ujaran kebencian.
diri kita, dan berpikir positif. Toleransi Implementasi moderasi beragama
dalam kaitannya dengan relasi antaragama, yang anti kekerasan adalah menolak segala
dapat dilihat pada sikap terhadap pemeluk bentuk radikalisme agama. Dalam konteks
agama lain. Seperti kesediaan berdialog, moderasi beragama, radikalisme dipahami
bekerja sama, pendirian rumah iabdat, sebagai suatu ideologi atau paham yang
serta pengalaman berinteraksi dengan ingin melakukan perubahan pada sistem
pemeluk agama lain. Sedangkan toleransi sosial dan politik dengan menggunakan
intraagama digunakan untuk menyikapi caracara kekerasan dengan
sektesekte minoritas yang dianggap mengatasnamakan agama, baik kekerasan
menyimpang dari arus besar agama verbal, fisik maupun pikiran. Inti dari
tersebut (Kementerian Agama RI 2019a). tindakan radikalisme adalah sikap dan
Orang moderat akan tindakan seseorang atau kelompok tertentu
memerlakukan orang lain yang berbeda yang menggunakan caracara kekerasan
agama sebagai saudara sesama manusia dalam mengusung perubahan yang
dan akan menjadikan orang yang seagama diinginkan (Kementerian Agama RI,
sebagai saudara seiman. Orang yang 2019a). Sikap anti kekerasan didasarkan
moderat akan sangat mempertimbangkan pada tafsir atas teks-teks agama dengan
kepentingan kemanusiaan di samping tafsiran yang lebih humanis, misalnnya
kepentingan keagamaan yang sifatnya menafsirkan perintah jihad sebagai seruan
subjektif. Bahkan, dalam situasi tertentu, perjuangan moral (Baidhawi, 2002), bukan
kepentingan kemanusiaan mendahului semata sebagai seruan perang.
subjektifitas keagamaannya (Kementeriaan Salah satu modeal sosial yang
Agama RI 2019b). Kemanusiaan menjadi penting dalam penguatan moderasi
prinsp dalam implementasi keberagamaan beragama adalah kearifan lokal. Kearifan
yang moderat, pengamalan agama lokal sebagai media sekaligus modal
dipahami sebagai menjalankan amanat kultural dalam membentuk semangat
Tuhan untuk memuliakan sesama manusia keberagamaan masyarakat yang moderat.
dengan dasar cinta kasih unievrsal. Menurut Haba (2007), kearifan lokal
Dengan demikian, implementasi moderasi mengacu pada berbagai kekayaan budaya
beragama akanmenolak segala bentuk yang tumbuh yang berkembang dalam
kekerasan, bukan hanya kekarasan fisik, sebuah masyarakat yang dikenal,
dipercayai dan diakui sebagai elemen-
31
Sabara MIMIKRI: Vol. 6, No. 1 Juni 2020
elemen penting yang mampu mempertebal keutamaan, tentu, sekali lagi, sejauh
kohesisosial di antara masyarakat. praktik itu tidak bertentangan dengan hal
Pendekatan kebudayaan lokal dapat yang prinsipil dalam ajaran agama. Sikap
menjadi kunci membangun paradigma dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal
sikap moderasi beragama, dan di lain sisi, menjadi pendekatan utama untuk melihat
dapat menahan pengaruh penetrasi keragaman sebagai realitas yang
radikalisme beragama. Sikap akomodatif fundamental dalam kehidupan
terhadap kebudayaan lokal akan bermasyarakat. Sikap kearifan iniakan
mengantarkan sikap keberagamaan tumbuh dengan baik jika setiap individu
inklusif dan toleran, serta menjadikan membuka diri untuk hidup bersama dalam
suasana kehidupan keagamaan lebih perbedaan, yang ditandai perbedaan dalam
damai, dinamis, dan semarak. Agama ekspresi dan simbol kebudayaan sebagai
memberikan warna (spirit) pada identitas masing-masing yang meski
kebudayaan, sedangkan kebudayaan berbeda tapi memperkaya kahazanah
memberi kekayaan terhadap khazanah agama dan kebudayaan yang ada.
agama.
PENUTUP
Praktik dan perilaku keberagamaan
Fakta keberagamaan di Indonesia
yang akomodatif terhadap kebudayaan
menunjukkan, pluralitas agama dianut oleh
lokal dapat digunakan untuk melihat
penduduk Indonesia. Negara melalui
sejauh mana kesediaan untuk menerima
empat konsensus dasar dan regulasi di
praktik amaliah keagamaan yang
bawahnya mengakui dan memberikan
mengakomodasi kebudayaan lokal dan
kebebasan bagi warganya untuk beragama
tradisi. Orang-orang yang moderat
dan menjalankan agamanya.Pluralitas
memiliki kecenderungan lebih ramah
agama yang dianut penduduk Indonesia
terhadap penerimaan tradisi dan budaya
bagai ―pisau bermata dua‖, yang di satu
lokal dalam perilaku keagamaannya,
sisi menjadi modal sosial kultural bagi
sejauh tidak bertentangan dengan pokok
keberlangsungan masa depan Indonesia
ajaran agama. Tradisi keberagamaan yang
yang bhineka. Namun, faktanya, pluralitas
tidak kaku, antara lain, ditandai dengan
agama tersebut memicu terjadi kerentanan
kesediaan untuk menerima praktik dan
sosial, bahkan hingga konflik horisontal.
perilaku beragama yang tidak semata-mata
Konflik tersebut baik melibatkan
menekankan pada kebenaran normatif.
komunitas intra agama, antaragama
Melainkan juga menerima praktik
maupun antarkelompok agama dengan
beragama yang didasarkan pada
32
Sabara MIMIKRI: Vol. 6, No. 1 Juni 2020
dua pilihan ekstrem dalam beragama, yaitu Al-Rasyid, Hamzah Harun dan Saprillah.
pilihan radikalis dan liebralis. Sebagai 2017. Kekerasan Atas Nama Agama.
Yogyakarta: Lintas Nalar.
basis paradigmatik, moderasi beragama
didasarkan pada prinsip adil dan Annur, Barsihannor. 2015. ―Potret Buram
Keberagamaan di Indonesia.‖
berimbang, kemanusiaan dan ketertiban Adabiyah 15 (1): 75–90.
umum. Moderasi beragama sebagai basis
Baidhawi, Zakiyuddin. 2002. Ambivalensi
paradigmatik dalam membangun Agama, Konflik dan Nirkekerasan.
penghayatan dan pengamalan beragama Yogyakarta: LESFI.
yang menyeimbangkan seluruh aspek BM, Siti Aisyah. 2014. ―Konflik Sosial
keagamaan sehingga tercipta pola dalam Hubungan Antar Umat
Beragama.‖ Tabligh 15 (2): 189–208.
keberagamaan yang sehat baik secara
individual dan sosial. Dja‘far, Alamsjah M. 2018. Intoleransi:
Memahami Kebencian dan Kekerasan
Implementasi moderasi beragama Atas Nama Agama. Jakarta: Elex
dalam konteks kebangsaan diwujudkan Media komputindo.
dalam empat indikator, yaitu; komitmen Fidiyani, Rini. 2013. ―Kerukunan Umat
kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan Beragama di Indonesia (Belajar
Keharmonisan dan Toleransi Umat
akomodatif terhadapkebudayaan lokal. Beragama di Desa Cikakak,
Implementasi moderasi beragama pada Kecamatan Wangon, Kabupaten
Banyumas).‖ Dinamika Hukum 13
tataran praksis berbangsa tersebut guna (3): 468–82.
melahrkan sinergitas kesadaran beragama
Haba, John. 2007. Revitalisasi Kearifan
dan berbangsa sekaligus yang keduanya Lokal: Studi Resolusi Konflik di
saling menopang. Implementasi moderasi Kalimantan Barat, Maluku dan Poso.
Jakarta: ICIP dan European
beragama menunjukkan jati diri dan
33
Sabara MIMIKRI: Vol. 6, No. 1 Juni 2020
34
Sabara MIMIKRI: Vol. 6, No. 1 Juni 2020
Turner, Bryan S. 2012. Relasi Agama dan Yunus, Firdaus M. 2014. ―Konflik Agama
Teori Sosial Kontemporer. di Indonesia (Problem dan Solusi
Yogyakarta: IiRCISOD. Pemecahannya).‖ Substantia 16 (2):
217–28.
35