Anda di halaman 1dari 3

REGULASI PERIKLANAN

A. Latar Belakang
Obat mempunyai kedudukan yang khusus dalam masyarakat karena merupakan produk yang
diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Namun demikian,
penggunaan yang salah, tidak tepat dan tidak rasional dapat membahayakan masyarakat.

WHO memberikan gambaran terkait periklanan/ promosi suatu produk/ sediaan farmasi
dalam Ethical Criteria for Medicinal Drug Promotion (1), sehingga dapat melindungi
masyarakat dari kemungkinan penggunaan obat yang salah, tidak tepat dan tidak rasional
akibat pengaruh promosi melalui iklan, Pemerintah melaksanakkan pengendalian dan
pengawasan terhadap penyebaran informasi obat, termasuk periklanan obat.(2)

Perkembangan periklanan saat ini sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat, baik
media elektronik maupun media cetak. Sesuai aturan yang berlaku di negara kita produk obat
yang diiklankan wajib telah mendapatkan persetujuan izin edar. Meskipun produk yang
secara substansi telah dinyatakan aman, berkhasiat dan bermutu baik tetap harus di
informasikan dengan baik, objektif dan lengkap.

Dalam periklanan obat, masalah yang dihadapi relatif kompleks karena aspek yang
dipertimbangkan tidak hanya menyangkut kriteria etis periklanan, tetapi juga menyangkut
manfaat-resikonya terhadap kesehatan dan keselamatan masyarakat luas. Oleh karena itu isi,
struktur maupun format pesan iklan obat perlu dirancang dengan tepat agat tidak
menimbulkan presepsi dan interprestasi yang salah oleh masyarakat luas.

B. Kajian Regulasi
Terkait dengan iklan sediaan farmasi secara konvensional sudah diatur dengan cukup baik
pada peraturan UU NO. 36/2009 tentang Kesehatan (3), UU NO. 8/1999 Perlindungan
Konsumen (4), Kepmenkes NO. 386/MENKES/IV/1994 Pedoman Periklanan Obat Bebas,
OT, Alkes, Kosmetika, PKRT dan makanan/minuman (5), UU NO. 40/1999 Pers, PP 82/2012
tentang penyelenggaraan sistem elektronik dan tata krama periklanan (6), serta peraturan
BPOM NO. 2/2021 tentang pedoman pengawasan periklanan obat (7) dinyatakan bahwa
“dilarang untuk mempublikasikan iklan pada jejaring sosial media” yang seharusnya
peraturan ini dapat dipertimbangkan kembali mengingat saat ini media sosial dapat dijangkau
oleh semua kalangan. Sehingga perlu di buat suatu hukum yang mengatur perikalanan online
atau daring untuk mencegah konsumen mengalami kerugian akibat pengiklanan produk obat
yang tidak objektif, tidak lengkap, dan tidak sesuai atau tidak menyesatkan. Pengawasan
terhadap iklan secara daring di nilai sulit tetapi BPOM sudah memiliki cyber patrol untuk
melakukan pengawasan terhadap periklanan secara online.

C. Kesimpulan

1. Iklan obat harus obyektif, lengkap dan tidak menyesatkan.


2. Pengawasan iklan obat bebas di lakukan oleh badan pom kerjasama dengan berbagai
pihak perlu dilakukan agar iklan obat bebas mentaati peraturan perundangan yang
berlaku
3. Peran serta masyarakat dalam pengawasan iklan obat antara lain dalam bentuk
pengaduan kepada bdan POM atau lembaga masyarakat terkait iklan tersebut
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Ethical criteria for medicinal drug promotion World Health Organization. World. 1988;
Available from: http://whqlibdoc.who.int/publications/1988/924154239X_eng.pdf

2. Herxheimer A. The Textbook of Pharmaceutical Medicine. Vol. 308, Bmj. 1994. 728 p.

3. UU. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. 2009;

4. UU. Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 2 Tentang Perlindungan Konsumen.
1999;1–46.

5. Kepmenkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 386 tahun 1994
tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional, Alkes, Kosmetika, PKRT dan
Makanan/ minuman. 1994;22:3005577.

6. UU. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang PERS. 1999;(1) :1
-15.

7. BPOM. Peraturan Badan pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 2 tahun
2021 tentang Pedoman Pengawasan Periklanan Obat. 2005;53:1689–99.

Anda mungkin juga menyukai