Anda di halaman 1dari 27

I.

KONSEP MEDIK
A. DEFENISI
Diabetes melitus merupakan sekumpulan gangguan metabolik yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah(hiperglikemia) akibat kerusakan pada sekresi insulin,
kerja insulin atau keduanya (smelzel dan Bare,2015). Diabetes melitus merupakan suatu
kelompok penyakit atau gangguan metabolik dengan karakteristik hipeglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi urin, kerja insulin, atau kedua – duanya (ADA,2017).
Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronik yang terjadi ketika pankreas tidak
cukup dalam memproduksi insulin atau ketika tubuh tidak efisien menggunakan insulin
itu sendiri. Insulin adalah hormon yang mengatur kadar gula darah. Hiperglikemia atau
kenaikan kadar gula darah, adalah efek yang tidak terkontrol dari diabetes dan dalam
waktu panjang dapat terjadi kerusakan yang serius pada beberapa sistem tubuh,
khususnya pada pembuluh darah jantung (penyakit jantung koroner), mata (dapat terjadi
kebutaan), ginjal (dapat terjadi gagal ginjal) (WHO, 2011)
B. ETIOLOGI
Menurut Smeltzer 2015 Diabetes Melitus dapat diklasifikasikan kedalam 2 kategori
klinis yaitu:
1. Diabetes Melitus tergantung insulin (DM TIPE 1)
a. Genetik
Umunya penderita diabetes tidak mewarisi diabetes type 1 namun mewarisi
sebuah predisposisis atau sebuah kecendurungan genetik kearah terjadinya
diabetes type 1. Kecendurungan genetik ini ditentukan pada individu yang
memiliki type antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA ialah
kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen tranplantasi & proses
imunnya. (Smeltzer 2015 dan bare,2015).
b. Imunologi
Pada diabetes type 1 terdapat fakta adanya sebuah respon autoimum. Ini adalah
respon abdomal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh secara
bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya sebagai jaringan asing.
(Smeltzer 2015 dan bare,2015).
c. Lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan
destruksi selbeta. (Smeltzer 2015 dan bare,2015)
2. Diabetes melitus tidak tergantung insulin (DM TIPE II)
Menurut Smeltzel 2015 Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin
dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor
genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Faktor-faktor
resiko :
a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)
b. Obesitas
c. Riwayat keluarga
C. PATOFISIOLOGI
Menurut Smeltzer,Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe I terdapat ketidakmampuan
untuk menghasilkan insulin karena sel sel beta prankreas telah dihancurkan oleh proses
autoimun.Hiperglikemi puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh
hati. Disamping glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dihati
meskipun tetap berada dalam darah menimbulkan hiperglikemia prospandial.jika
kosentrasi glukosa daram darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat menyerap kembali
glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam
urine(glikosuria).
Ketika glukosa yang berlebihan dieksresikan kedalam urine,ekresi ini akan disertai
pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan, keadaan ini dinamakan diuresis
ostomik,sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami
peningkatan dal berkemih(poliurea),dan rasa haus (polidipsi). (Smeltzer 2015 dan
Bare,2015).Difisiensi insulin juga akan menganggu metabilisme protein dalam lemak
yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera
makan (polifagia), akibat menurunan simpanan kalori. Gejala lainya kelelahan dan
kelemahan . dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis(pemecahan
glikosa yang tersimpan) dan glukoneogenesis(pembentukan glukosa baru dari asam
asam amino dan subtansi lain).
Namun pada penderita difisiensi insulin,proses ini akan terjadi tampa hambatan dan
lebih lanjut akan turut menimbulkan hipergikemia. Disamping itu akan terjadi
pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang
merupakan produk smping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang
menganggu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebih. Ketoasidosis
yang disebabkan dapat menyebabkan tanda tanda gejala seperti nyeri abdomen mual,
muntah, hiperventilasi ,mafas berbaun aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan
penurunan kesadaran,koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama cairan dan
elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut
dan mengatasi gejala hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai
pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan komponen terapi yang penting.
(Smeltzer 2015 dan Bare,2015).
DM tipe II merupakan suatu kelainan metabolik dengan karakteristik utama adalah
terjadinya hiperglikemia kronik. Meskipun pula pewarisannya belum jelas, faktor
genetik dikatakan memiliki peranan yang sangat penting dalam munculnya DM tipe II.
Faktor genetik ini akan berinterksi dengan faktor faktor lingkungan seperti gaya hidup,
obesitas,rendah aktivitas fisik,diet, dan tingginya kadar asam lemak bebas(Smeltzer 2015
dan Bare,2015).
Mekanisme terjadinya DM tipe II umunya disebabkan karena resistensi insulin dan
sekresi insulin. Normalnya insulin akan terkait dengan reseptor khusus pada permukaan
sel.sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut,terjadi suatu rangkaian
reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin DM tipe II disertai
dengan penurunan reaksi intra sel. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk
menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan
mencegah terbentuknya glukosa dalam darah,harus terjadi peningkatan jumlah insulin
yang disekresikan. (Smeltzer 2015 dan Bare,2015).Pada penderita toleransi glukosa
terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa
akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian,
jika sel sel B tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan insulin, maka kadar
glukosa akan meningkat dan terjadinya DM tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi
insulin yang berupakan ciri khas DM tipe II, namun masih terdapat insulin dengan
jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang
menyertainya, karena itu ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada DM tipe II, meskipun
demikian, DM tipe II yang tidak terkontrol akan menimbulkan masalah akut lainya
seperti sindrom Hiperglikemik Hiporosmolar Non-Ketotik(HHNK). (Smeltzer 2015 dan
Bare,2015) Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat(selama bertahun tahun)
dan progesif, maka DM tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalannya dialami
pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan, seperti: kelelahan, iritabilitas,
poliuria,polidipsia, luka pada kulit yang lama sembuh, infeksi vagina atau pandangan
kabur (jika kadar glukosanya sangat tinggi.). (Smeltzer 2015 dan Bare,2015).
D. MANIFESTASI KLINIK
Menurut PERKENI (2015) , penyakit diabetes melitus ini pada awalnya seringkali
tidak dirasakan dan tidak disadari penderita. Tanda awal yang dapat diketahui bahwa
seseorang menderita DM atau kencing manis yaitu dilihat langsung dari efek
peningkatan kadar gula darah, dimana peningkatan kadar gula dalam darah mencapai
nilai 160-180 mg/dL dan air seni (urine) penderita kencing manis yang mengandung gula
(glucose),sehingga urine sering dilebung atau dikerubuti semut.
Menurut PERKENI gejala dan tanda tanda DM dapat digolongkan menjadi 2 yaitu:
1. Gejala akut penyakit DM Gejala penyakit DM bervariasi pada setiap, bahkan
mungkin tidak menunjukan gejala apapun sampai saat tertentu. Pemulaan gejala
yang ditunjukan meliputi:
a. Lapar yang berlebihan atau makan banyak(poliphagi) Pada diabetes,karena
insulin bermasalah pemaasukan gula kedalam sel sel tubuh kurang sehingga
energi yang dibentuk pun kurang itun sebabnya orang menjadi lemas. Oleh
karena itu, tubuh berusaha meningkatkan asupan makanan dengan menimbulkan
rasa lapar sehingga timbulah perasaan selalu ingin makan.
b. Sering merasa haus(polidipsi) Dengan banyaknya urin keluar, tubuh akan
kekurangan air atau dehidrasi.untu mengatasi hal tersebut timbulah rasa haus
sehingga orang ingin selalu minum dan ingin minum manis, minuman manis
akan sangat merugikan karena membuat kadar gula semakin tinggi.
c. Jumlah urin yang dikeluarkan banyak(poliuri) Jika kadar gula melebihi nilai
normal , maka gula darah akan keluar bersama urin,untu menjaga agar urin yang
keluar, yang mengandung gula,tak terlalu pekat, tubuh akan menarik air
sebanyak mungkin ke dalam urin sehingga volume urin yang keluar banyak dan
kencing pun sering.Jika tidak diobati maka akan timbul gejala banyak minum,
banyak kencing, nafsu makan mulai berkurang atau berat badan turun dengan
cepat (turun 5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah lelah dan bila tidak lekas
diobati, akan timbul rasa mual (PERKENI, 2015) .
2. Gejala kronik penyekit DM Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita DM
(PERKENI, 2015) adalah:
a. Kesemutan
b. Kulit terasa panas atau seperti tertusuk tusuk jarum
c. Rasa tebal dikulit
d. Kram
e. Mudah mengantuk
f. Mata kabur
g. Biasanya sering ganti kaca mata
h. Gatal disekitar kemaluan terutama pada wanita
i. Gigi mudah goyah dan mudah lepas
j. Kemampuan seksual menurun
k. Dan para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam
kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg.
E. KOMPLIKASI
Kadar glukosa darah yang tidak terkontrol pada penderita DM tipe II akan
menyebabkan berbagai komplikasi. Komplikasi DM tipe II terbagi menjadi dua
berdasarkan lama terjadinya yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronik (Smeltzel dan
Bare, 2015; PERKENI , 2015)
1. Komplikasi Akut
a. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
KAD merupakan komplikasi akut DM yang di tandai dengan peningkatan kadar
glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dl), disertai dengan adanya tanda dan
gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-
320 mOs/Ml) dan terjadi peningkatan anion gap (PERKENI,2015).
b. Hipoglikemi
Hipoglikemi ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah hingga mencapai
<60 mg/dL. Gejala hiperglikemia terdiri dari gejala adrenergic (berdebar, banyak
keringat, gemetar dan rasa lapar) dan gejala neuroglikopenik (pusing, gelisah,
kesadaran menurun sampai koma) (PERKENI, 2015)
c. Hiperosmolar Non Ketonik (HNK)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600- 1200
mg/dl), tanpa tanda dan gejala asidosis,osmolaritas plasma sangat meningkat
(330-380 mOs/ml),plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat
(PERKENI, 2015).
2. Komplikasi Kronis (Menahun)
Menurut Smeltzer 2015,kategori umum komplikasi jangka panjang terdiri dari:
a. Makroangiopati: pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi, pembuluh darah
otak
b. Mikroangiopati: pembuluh darah kapiler retina mata (retinopati diabetik) dan
Pembuluh darah kapiler ginjal (nefropati diabetik)
c. Neuropatid : suatu kondisi yang mempengaruhi sistem saraf, di mana serat-serat
saraf menjadi rusak sebagai akibat dari cedera atau penyakit
d. Komplikasi dengan mekanisme gabungan: rentan infeksi, contohnya tuberkolusis
paru, infeksi saluran kemih,infeksi kulit dan infeksi kaki. dan disfungsi ereksi.
e. Ulkus
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah :
1. Pemeriksaan darah

N PEMERIKSAAN NORMAL
O
1. Glukosa darah sewaktu >200 mg/dl
2. Glukosa darah puasa >140 mg/dl
3. Glukosa darah 2 jam setelah makan >200 mg/dl
2. Pemeriksaan fungsi tiroid
Peningkatan aktivitas hormon tiroid dapat meningkatkan glukosa darah dan
kebutuhan akan insulin.
3. Urine
Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan dilakukan dengan
cara Benedict ( reduksi ). Hasil dapat dilihat melalui perubahan warna pada urine :
hijau ( + ), kuning ( ++ ), merah ( +++ ), dan merah bata ( ++++ ).
4. Kultur pus
Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik yang sesuai dengan
jenis kuman.
G. PENATALAKSANAAN MEDIK
1. Terapi dengan Insulin
Terapi farmakologi untuk pasien diabetes melitus geriatri tidak berbeda dengan
pasien dewasa sesuai dengan algoritma, dimulai dari monoterapi untuk terapi
kombinasi yang digunakan dalam mempertahankan kontrol glikemik. Apabila terapi
kombinasi oral gagal dalam mengontrol glikemik maka pengobatan diganti menjadi
insulin setiap harinya. Meskipun aturan pengobatan insulin pada pasien lanjut usia
tidak berbeda dengan pasien dewasa, prevalensi lebih tinggi dari faktor-faktor yang
meningkatkan risiko hipoglikemia yang dapat menjadi masalah bagi penderita
diabetes pasien lanjut usia.
Alat yang digunakan untuk menentukan dosis insulin yang tepat yaitu dengan
menggunakan jarum suntik insulin premixed atau predrawn yang dapat digunakan
dalam terapi insulin. 16 Lama kerja insulin beragam antar individu sehingga
diperlukan penyesuaian dosis pada tiap pasien. Oleh karena itu, jenis insulin dan
frekuensi penyuntikannya ditentukan secara individual. Umumnya pasien diabetes
melitus memerlukan insulin kerja sedang pada awalnya, kemudian ditambahkan
insulin kerja singkat untuk mengatasi hiperglikemia setelah makan. Namun, karena
tidak mudah bagi pasien untuk mencampurnya sendiri, maka tersedia campuran tetap
dari kedua jenis insulin regular (R) dan insulin kerja sedang ,Idealnya insulin
digunakan sesuai dengan keadaan fisiologis tubuh, terapi insulin diberikan sekali
untuk kebutuhan basal dan tiga kali dengan insulin prandial untuk kebutuhan setelah
makan. Namun demikian, terapi insulin yang diberikan dapat divariasikan sesuai
dengan kenyamanan penderita selama terapi insulin mendekati kebutuhan fisiologis.
2. Obat Antidiabetik Oral
a. Sulfonilurea
Pada pasien lanjut usia lebih dianjurkan menggunakan OAD generasi kedua yaitu
glipizid dan gliburid sebab resorbsi lebih cepat, karena adanya non ionic-binding
dengan albumin sehingga resiko interaksi obat berkurang demikian juga resiko
hiponatremi dan hipoglikemia lebih rendah. Dosis dimulai dengan dosis rendah.
Glipizid lebih dianjurkan karena metabolitnya tidak aktif sedangkan 18 metabolit
gliburid bersifat aktif.Glipizide dan gliklazid memiliki sistem kerja metabolit
yang lebih pendek atau metabolit tidak aktif yang lebih sesuai digunakan pada
pasien diabetes geriatri. Generasi terbaru sulfoniluera ini selain merangsang
pelepasan insulin dari fungsi sel beta pankreas juga memiliki tambahan efek
ekstrapankreatik.
b. Golongan Biguanid Metformi
Pada pasien lanjut usia tidak menyebabkan hipoglekimia jika digunakan tanpa
obat lain, namun harus digunakan secara hati-hati pada pasien lanjut usia karena
dapat menyebabkan anorexia dan kehilangan berat badan. Pasien lanjut usia
harus memeriksakan kreatinin terlebih dahulu. Serum kretinin yang rendah
disebakan karena massa otot yang rendah pada orangtua.
c. Penghambat Alfa Glukosidase/Acarbose
Obat ini merupakan obat oral yang menghambat alfaglukosidase, suatu enzim
pada lapisan sel usus, yang mempengaruhi digesti sukrosa dan karbohidrat
kompleks. Sehingga mengurangi absorb karbohidrat dan menghasilkan
penurunan peningkatan glukosa postprandial.Walaupun kurang efektif
dibandingkan golongan obat yang lain, obat tersebut dapat dipertimbangkan pada
pasien lanjut usia yang mengalami diabetes 19 ringan. Efek samping
gastrointestinal dapat membatasi terapi tetapi juga bermanfaat bagi mereka yang
menderita sembelit. Fungsi hati akan terganggu pada dosis tinggi, tetapi hal
tersebut tidak menjadi masalah klinis.
d. Thiazolidinediones
Thiazolidinediones memiliki tingkat kepekaan insulin yang baik dan dapat
meningkatkan efek insulin dengan mengaktifkan PPAR alpha reseptor.
Rosiglitazone telah terbukti aman dan efektif untuk pasien lanjut usia dan tidak
menyebabkan hipoglekimia. Namun, harus dihindari pada pasien dengan gagal
jantung. Thiazolidinediones adalah obat yang relatif .
II. PENGKAJIAN
Asuhan keperawatan pada tahap pertama yaitu pengkajian. Dalam pengkajian perlu dikaji
biodata pasien dan data data untuk menunjang diagnosa. Data tersebut harus seakurat
akuratnya, agar dapat digunakan dalam tahap berikutnya, meliputi nama pasien,umur,
keluhan utama .
1. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya klien masuk ke RS dengan keluhan nyeri, kesemutan pada esktremitas,luka
yang sukar sembuh Sakit kepala, menyatakan seperti mau muntah, kesemutan, lemah
otot, disorientasi, letargi, koma dan bingung.
b. Riwayat kesehatan lalu
Biasanya klien DM mempunyai Riwayat hipertensi, penyakit jantung seperti Infark
miokard.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya Ada riwayat anggota keluarga yang menderita DM 2.
2. Pengkajian Pola Gordon
a. Pola persepsi
Pada pasien gangren kaki diabetik terjadi perubahan persepsi dan tatalaksana hidup
sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gangren pada kaki diabetik,
sehingga menimbulkan persepsi negatif terhadap diri dan kecendurangan untuk tidak
mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan yang lama,lebih dari 6 juta dari
penderita DM tidak menyadari akan terjadinya resiko kaki diabetik bahkan mereka
takut akan terjadinya amputasi.
b. Pola nutrisi metabolik
Akibat produksi insulin yang tidak adekuat atau adanya defisiensi insulin maka kadar
gula darah tidak dapat dipertahankan sehingga menimbulkan keluhan sering kencing,
banyak makan, banyak minum, berat badan menurun dan mudah lelah. Keadaan
tersebut dapat mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang
dapat mempengarui status kesehatan penderita. Nausea, vomitus, berat badan
menurun, turgor kulit jelek , mual muntah.
c. Pola eliminasi
Adanya hiperglikemia menyebabkan terjadinya diuresis osmotik yang menyebabkan
pasien sering kencing(poliuri) dan pengeluaran glukosa pada urine(glukosuria). Pada
eliminasi alvi relatif tidak ada gangguan.
d. Pola ativitas dan latihan
Kelemahan, susah berjalan dan bergerak, kram otot, gangguan istirahat dan
tidur,tachicardi/tachipnea pada waktu melakukan aktivitas dan bahkan sampai terjadi
koma. Adanya luka gangren dan kelemahanotot otot pada tungkai bawah
menyebabkan penderita tidak mampu melakukan aktivitas sehari hari secara
maksimal, penderita mudah mengalami kelelahan.
e. Pola tidur dan istirahat
Istirahat tidak efektif adanya poliuri,nyeri pada kaki yang luka,sehingga klien
mengalami kesulitan tidur.
f. Kongnitif persepsi
Pasien dengan gangren cendrung mengalami neuropati/ mati rasa pada luka sehingga
tidak peka terhadap adanya nyeri. Pengecapan mengalami penurunan, gangguan
penglihatan.
g. Persepsi dan konsep diri Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh menyebabkan
penderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Luka yang sukar sembuh ,
lamanya perawatan, banyaknya baiaya perawatan dan pengobatan menyebabkan
pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran pada keluarga (self esteem).
h. Peran hubungan
Luka gangren yang sukar sembuh dan berbau menyebabkan penderita malu dan
menarik diri dari pergaulan.
i. Seksualitas
Angiopati daoat terjadi pada pebuluh darah diorgan reproduksi sehingga
menyebabkan gangguan potensi sek,gangguan kualitas maupun ereksi seta memberi
dampak dalam proses ejakulasi serta orgasme. Adanya perdangan pada vagina, serta
orgasme menurun dan terjadi impoten pada pria. Risiko lebih tinggi terkena kanker
prostat berhubungan dengan nefropatai.
j. Koping toleransi
Lamanya waktu perawatan,perjalannya penyakit kronik, persaan tidak berdaya
karena ketergantungan menyebabkan reasi psikologis yang negatif berupa marah,
kecemasan, mudah tersinggung, dapat menyebabkan penderita tidak mampu
menggunakan mekanisme koping yang kontruktif/adaptif.
k. Nilai kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta luka pada kaki
tidak menghambat penderita dalam melaksanakan ibadah tetapi mempengarui pola
ibadah penderita.
3. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan Vital Sign
Yang terdiri dari tekanan darah, nadi, pernafasan, dan suhu. Tekanan darah dan
pernafasan pada pasien dengan pasien DM bisa tinggi atau normal, Nadi dalam batas
normal, sedangkan suhu akan mengalami perubahan jika terjadi infeksi.
b. Pemeriksaan Kulit
Kulit akan tampak pucat karena Hb kurang dari normal dan jika kekurangan cairan
maka turgor kulit akan tidak elastis. kalau sudah terjadi komplikasi kulit terasa gatal.
c. Pemeriksaan Kepala dan Leher
Kaji bentuk kepala,keadaan rambut Biasanya tidak terjadi pembesaran kelenjar
tiroid, kelenjar getah bening, dan JVP (Jugularis Venous Pressure) normal 5-2 cmH2.
d. Pemeriksaan Dada (Thorak)
Pada pasien dengan penurunan kesadaran acidosis metabolic pernafasan cepat dan
dalam.
e. Pemeriksaan Jantung (Cardiovaskuler)
Pada keadaan lanjut bisa terjadi adanya kegagalan sirkulasi.
f. Pemeriksaan Abdomen
Dalam batas normal
g. Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus
Sering BAK
h. Pemeriksaan Muskuloskeletal
Sering merasa lelah dalam melakukan aktifitas, sering merasa kesemutan
i. Pemeriksaan Ekstremitas
Kadang terdapat luka pada ekstermitas bawah bisa terasa nyeri, bisa terasa baal
j. Pemeriksaan Neurologi
GCS :15, Kesadaran Compos mentis Cooperative(CMC).
III. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan resistensi insulin dibuktikan
dengan ;

Gejala dan tanda mayor


Subejektif Objektif
Hipoglikemia Hipoglikemia
1. Mengantuk 1. Gangguan koordinasi
2. Pusing 2. Kadar glukosa dalam darah/urin
rendah
Hiperglikemia Hiperglikemia
1. Lelah dan lesu 1. Kadar glukosa dalam darah/urin
tinggi
Gejala dan tanda minor
Subjektif Objektif
Hipoglikemia Hipoglikemia
1. Palpitasi 1. Gemetar
2. Mengeluh lapar 2. Kesadaran menurun
3. Perilaku aneh
4. Sulit bicara
5. Berkeringat
Hiperglikemia Hiperglikemia
1. Mulut kering 1. Jumlah urin meningkat
2. Haus meningkat

2. Nyeri Akut berhubungan dengan Agen pencedera fisiologis dibuktikan dengan ;


Gejala dan tanda mayor
Subjektif Objektif
1. Mengeluh nyeri 1. Tampak meringis
2. Bersikap protektif (mis. waspada,
posisi menghindari nyeri)
3. Gelisah
4. Frekuensi nadi meningkat
5. Sulit tidur
Gejala dan tanda minor
Subjektif Objektif
(tidak tersedia) 1. Tekanan darah meningkat
2. Pola nafas berubah
3. Nafsu makan berubah
4. Proses berfikir terganggu
5. Menarik diri
6. Berfokus pada diri sendiri
7. Diaphoresis

3. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan hiperglikemia dibuktikan dengan :

Tanda dan gejala mayor


Subjektif Objektif
(tidak tersedia) 1. Pengisian kapiler >3 detik
2. Nadi perifer menurun atau tidk
terabaca
3. Akral teraba dingin
4. Warana kulit pucat
5. Turgor kulit menurun
Gejala dan tanda minor
Subjektif Objektif
1. Parastesia 1. Edema
2. Nyeri ekstermitas (klaudikasi 2. Penyembuhan luka lambat
intermiten) 3. Indeks ankle-brachial <0,90
4. Bruit femoral

4. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan ganggren dibuktikan dengan :

Gejala dan tanda mayor


Subjektif Objektif
(tidak tersedia) 1. Kerusakan jaringan dan/atau
lapisan kulit

Gejala dan tanda minor


Subjektif Objektif
(tidak tersedia) 1. Nyeri
2. Pendarahan
3. Kemerahan
4. Hematoma

5. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan imobilitas dibutikan dengan :

Gejala dan tanda mayor


Subjektif Objektif
1. Mengeluh lelah 1. Frekuensi jantung meningkat
>20% dari kondisi istirahat
Gejala dan tanda minor
Subjektif Objektif
1. Dyspnea saat/setelah aktivitas 1. Tekanan darah berubah >20% dari
2. Merasa tidak nyaman setelah kondisi istirahat
beraktivitas 2. Gambaran EKG menunjukkan
3. Merasa lelah aritmia saat/setelah aktivitas
3. Gambaran EKG menunjukkan
iskemia
4. Sianosis
IV. PENYIMPANAN KDM
Reaksi Autoimun Obesitas, usia, genetik

DM tipe I DM tipe II

Sel Beta Pancreas Hancur Sel beta pankreas rusak

Defisiensi Insulin

Anabolisme Proses Liposis meningkat Penurunan pemakaian

Kerusakan pada antibodi Gliserol asam lemak Glukosa

Kekebalan tubuh aterosklerosis katogenesis Hiperglikemia

Neuropati sensori perifer ketonuria polipagi viskolita

Klien merasa sakit pada luka ketoasidosis polidipsi darah

 Nyeri abdomen poliurea aliran


Nyeri akut
 Mual, muntah darah lambat
 Coma

Makrovaskuler Mikrovaskuler ischemic

Jantung serebral retina ginjal jaringan

Miocard infark penyumbatan retina neuropati Ketidakstabilan Kadar


Glukosa Darah

Nekrosis luka

ganggren
Intoleransi Gangguan Integritas Perfusi
Aktvitas aktivitas terganggu Kulit/ Jaringan Perifer
Tidak
( Smeltzer dan Bare, 2015) Efektif
V. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan resistensi insulin dibuktikan
dengan :

Gejala dan tanda mayor


Subejektif Objektif
Hipoglikemia Hipoglikemia
3. Mengantuk 3. Gangguan koordinasi
4. Pusing 4. Kadar glukosa dalam darah/urin
rendah
Hiperglikemia Hiperglikemia
2. Lelah dan lesu 2. Kadar glukosa dalam darah/urin
tinggi
Gejala dan tanda minor
Subjektif Objektif
Hipoglikemia Hipoglikemia
3. Palpitasi 6. Gemetar
4. Mengeluh lapar 7. Kesadaran menurun
8. Perilaku aneh
9. Sulit bicara
10. Berkeringat
Hiperglikemia Hiperglikemia
1. Mulut kering 2. Jumlah urin meningkat
2. Haus meningkat

Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan dengan waktu yang telah ditentukan, maka
kestabilan kadar glukosa darah meningkat. Dengan kriteria hasil:
1) Kesadaran meningkat
2) Mengantuk menurun
3) Pusing menurun
4) Lelah/lesu menurun
5) Keluhan lapar menurun
6) Gemetar menurun
7) Berkeringat menurun
8) Mulut kering menurun
9) Rasa haus menurun
10) Perilaku aneh menurun
11) Kesulitan bicara menurun
12) Kadar glukosa dalam darah membaik
13) Kadar glukosa dalam urine membaik
14) Palpitasi membaik
15) Perilaku membaik
16) Jumlah urine membaik
Intervensi:
MANAJEMEN HIPERGLIKEMIA
Observasi
1) Identifikasi kemungkinan penyebab hiperglikemia
2) Identifikasi situasi yang menyebabkan kebutuhan insulin meninggi ( mis.penyakit
kambuhan)
3) Monitor kadar glukosa darah ,jika Perlu
4) Monitor tanda dan Gejala hiperglikemia ( mis, poliuria, polidipsia, polifagia,
kelemahan, malaise, pandangan kabur, sakit kepala.)
5) Monitor intake dan output cairan
6) Monitor keton urin , kadar analisa gas darah , elektrolit, tekanan darah ortostatik, dan
frekuensi nadi
Terapeutik
1) Berikan asupan cairan oral
2) Konsultasi dengan medis jika tanda dan gejala hiperglikemia tetap ada atau
memburuk
3) Fasilitasi ambulansi jika ada hipotensi ortostatik
Edukasi
1) Anjurkan menghindari olahraga saat kadar glukosa darah lebih dari 250 mg/Dl
2) Anjurkan monitor kadar glukosa secara mandiri.
3) Anjurkan kepatuhan Terhadap diet dan olahraga.
4) Ajarkan indikasi dan pentingnya pengujian keton urine, jika perlu
5) Ajarkan pengelolaan diabetes ( mis , penggunaan insulin, obat oral , monitor asupan
cairan, penggantian karbohidrat, dan bantuan profesional kesehatan)
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian insulin, jika perlu
2) kolaborasi pemberian cairan IV, jika perlu
3) Kolaborasi pemberian kalium, jika perlu.
2. Nyeri Akut berhubungan dengan Agen pencedera fisiologis dibuktikan dengan :

Gejala dan tanda mayor


Subjektif Objektif
2. Mengeluh nyeri 6. Tampak meringis
7. Bersikap protektif (mis. waspada,
posisi menghindari nyeri)
8. Gelisah
9. Frekuensi nadi meningkat
10. Sulit tidur
Gejala dan tanda minor
Subjektif Objektif
(tidak tersedia) 8. Tekanan darah meningkat
9. Pola nafas berubah
10. Nafsu makan berubah
11. Proses berfikir terganggu
12. Menarik diri
13. Berfokus pada diri sendiri
14. Diaphoresis

Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan dengan waktu yang telah ditentukan, maka
tingkat nyeri menurun. Dengan kriteria hasil:
1) Kemampuan menuntaskan aktivitas meningkat
2) Keluhan nyeri menurun
3) Meringis menurun
4) Sikap protektiif menurun
5) Gelisah menurun
6) Kesulitan tidur menurun
7) Menarik diri menurun
8) Berfokus pada diri sendiri menurun
9) Diaphoresis menurun
10) Perasaan depresi menurun
11) Perasaan takut mengalami cedera berulang menurun
12) Anoreksia menurun
13) Perineum terasa tertekan menurun
14) Uterus teraba membulat menurun
15) Ketegangan otot menurun
16) Pupil dilatasi menurun
17) Muntah menurun
18) Mual menurun
19) Frekuensi nadi membaik
20) Pola napas membaik
21) Tekanan darah membaik
22) Proses berfikir membaik
23) Fokus membaik
24) Fungsi berkemih membaik
25) Perilaku membaik
26) Nafsu makan membaik
27) Pola tidur membaik
Intervensi:
MANAJEMEN NYERI
Observasi
1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2) Identifikasi skala nyeri
3) Identifikasi respons nyeri non verbal
4) Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
5) Identifikasi pengetahuan dan keyaninan tentang nyeri
6) Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri Identifikasi pengaruh nyeri pada
kualitas hidup
7) Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
8) Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
1) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hipnosis,
akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, teknik imajinasi
terbimbing. kompres hangat/dingin, terapi bermain)
2) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
3) Fasilitasi istirahat dan tidur
4) Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi
1) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2) Jelaskan strategi meredakan nyeri
3) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri Anjurkan menggunakan analgetik secara
tepat
4) Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian analgetik, jika pertu
3. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan hiperglikemia dibuktikan dengan :

Tanda dan gejala mayor


Subjektif Objektif
(tidak tersedia) 6. Pengisian kapiler >3 detik
7. Nadi perifer menurun atau tidk
terabaca
8. Akral teraba dingin
9. Warana kulit pucat
10. Turgor kulit menurun
Gejala dan tanda minor
Subjektif Objektif
3. Parastesia 5. Edema
4. Nyeri ekstermitas (klaudikasi 6. Penyembuhan luka lambat
intermiten) 7. Indeks ankle-brachial <0,90
8. Bruit femoral

Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan dengan waktu yang telah ditentukan, maka
perfusi perifer meningkat. Dengan kriteria hasil:
1) Jumlah urine meningkat
2) Nyeri abdomen menurun
3) Mual menurun
4) Muntah menurun
5) Distensi abdomen menurun
6) Tekanan arteri rata-rata membaik
7) Kadar urea nitrogen darah membaik
8) Kadar kreatinin plasma membaik
9) Tekanan darah sistolik membaik
10) Tekanan darah diastolic membaik
11) Kadar eletrolit membaik
12) Keseimbangan asam basa membaik
13) Bising usus membaik
14) Fungsi hati membaik
Intervensi:
PERAWATAN SIRKULASI
Observasi
1) Periksa sirkulasi perifer ( mis.nadi , perifer, edema, pengisian kapiler , warna, suhu,
anklebrachial index)
2) Identifikasih faktor gangguan sirkulasi (mis. Diabetes, rokok, orang tua, hipertensi
,dan kadar kolestrol tinggi)
3) Monitor panas , kemerahan , nyeri , atau bengkak pada esternitas
Terapeutik
1) Hindari pemasangan infus atau pemgambilan darah di area keterbatasan perfusi
2) Hindari pengukuran tekana darah pada esternitas dengan keterbatasan perfusi
3) Hindari penekanan dan pemasangan turnequet pada area yang cedera
4) Lakukan pencegahan infeksi
5) Lakukan perawatan kaki dan kuku
6) Lakukan hidrasi
Edukasi
1) Anjurkan berhenti merokok
2) Anjurkan berolaraga rutin
3) Anjurkan mengecek air mandi untuk menghindari kulit terbakar
4) Anjurkan menggunakan obat penurun tekanan darah antikoagulan dan penurun
kolestrol jika perlu
5) Anjurkan mnum obat pengontrol tekanan darah secarah teratur
6) Anjurkan menghindari penggunaan obat penyekat beta
7) Anjurkan melakukan perawatan kulit yang tepat ( mis. Melembabkan kulit kering
pada kaki)
8) Anjurkan program rehabilitas vascular
9) Anjurkan program diet untuk memperbaiki sirkulasi
10) Informasikan tanda dan gejala darurat yang harus di laporkan ( mis. Rasa sakit yang
tidak hilang saat istirahat , luka tidak sembuh , hilang rasa)
4. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan ganggren dibuktikan dengan :

Gejala dan tanda mayor


Subjektif Objektif
(tidak tersedia) 2. Kerusakan jaringan dan/atau
lapisan kulit

Gejala dan tanda minor


Subjektif Objektif
(tidak tersedia) 5. Nyeri
6. Pendarahan
7. Kemerahan
8. Hematoma

Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan dengan waktu yang telah ditentukan, maka
integritas kulit dan jaringan meningkat. Dengan kriteria hasil:
1) Elastisitas meningkat
2) Hidrasi meningkat
3) Perfusi jaringan meningkat
4) Kerusakan jaringan menurun
5) Kerusakan lapisan kulit menurun
6) Nyeri menurun
7) Pendarahan menurun
8) Kemerahan menurun
9) Hematoma menurun
10) Pigmentasi abnormal menurun
11) Jaringat parut menurun
12) Nekrosis menurun
13) Abrasi kornea menurun
14) Suhu kulit membaik
15) Sensasi membaik
16) Tekstur membaik
17) Pertumbuhan rambut membaik
Intervensi:
PERAWATAN LUKA
Observasi
1) Monitor karakteristik luka (mis. drainase, wama, ukuran, bau)
2) Monitor tanda-tanda infeksi
Terapeutik
1) Lepaskan balutan dan plester secara perlahan
2) Cukur rambut di sekitar daerah luka, jika pertu
3) Bersihkan dengan cairan NaCI atau pembersih nontoksik, sesuai kebutuhan
4) Bersihkan jaringan nektrotik
5) Berikan salep yang sesuai ke kulit/lesi, jika perlu
6) Pasang balutan sesuai jenis luka
7) Pertahankan teknik steril saat melakukan perawatan luka
8) Ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan drainase
9) Jadwalkan perubahan posisi setiap 2 jam atau sesuai kondisi pasien
10) Berikan diet dengan kalori 30-35 kkalkgB8/hari dan protein 1,25-1,5 g/kgBB/hari
11) Berikan suplemen vitamin dan mineral (mis. vitaznin A, vitamin C, Zinc, asam
amnino), sesuai indikasi
12) Berikan terapi TENS (stimulasi saraf transkutanecus), jika perlu
Edukasi
1) Jelaskan tanda dan gejala infeksi
2) Anjurkan mengkonsumsi makanan tinggi kalori dan protein
3) Ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri
Kolaborasi
1) Kolaborasi prosedur debridement (mis. enzimatik, biologis, mekanis, autolitik), jika
2) Kolaborasi pemberian antibiotik, jika pertu
5. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan imobilitas dibutikan dengan :

Gejala dan tanda mayor


Subjektif Objektif
2. Mengeluh lelah 2. Frekuensi jantung meningkat
>20% dari kondisi istirahat
Gejala dan tanda minor
Subjektif Objektif
4. Dyspnea saat/setelah aktivitas 5. Tekanan darah berubah >20% dari
5. Merasa tidak nyaman setelah kondisi istirahat
beraktivitas 6. Gambaran EKG menunjukkan
6. Merasa lelah aritmia saat/setelah aktivitas
7. Gambaran EKG menunjukkan
iskemia
8. Sianosis

Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan dengan waktu yang telah ditentukan, maka
toleransi aktivitas meningkat. Dengan kriteria hasil:
1) Frekuensi nadi meningkat
2) Saturasi oksigen meningkat
3) Kemudahan dalam melakukan aktivitas sehari-hari meningkat
4) Kecepatan berjalan meningkat
5) Jarak berjalan meningkat
6) Kekuatan tubuh bagian atas meningkat
7) Kekuatan tubuh bagian bawah meningkat
8) Toleransi dalam menaiki tangga meningkat
9) Keluhan lelah menurun
10) Dyspnea saat aktivitas menurun
11) Perasaan lemah menurun
12) Aritmia saat aktivitas menurun
13) Aritmia setelah aktivitas menurun
14) Sianosis menurun
15) Warna kulit membaik
16) Tekanan darah membaik
17) Frekuensi napas membaik
18) EKG Iskemia membaik
Intervensi:
MANAJEMEN ENERGI
Observasi
1) Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
2) Monitor kelelahan fisik dan emosional
3) Monitor pola dan jam tidur
4) Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas
Teraupeutik
1) Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis.cahaya,suara,kunjungan)
2) Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif
3) Berikan aktivitas distraksi menenangkan
4) Fasilitasi duduk di tempat tidur,jika tidak dapat berpindah atau berjalan
Edukasi
1) Anjurkan tirah baring
2) Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
3) Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kesalahan tidak berkurang
4) Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
Kolaborasi
1) Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association., 2017. “Standars of Medical Care in Diabetes 2017” Vol. 40.
USA : ADA
IDF. 2015. Idf diabetes altas sixth edition [online]. (diupdate 15 april 2016)
http://www.idf.org/sites/default/files/Atlas-poster-2015_EN.pdf (diakses 17 Maret
2021)
PERKERNI., 2015. Konsensus pengelolaan dan pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia. Jakarta : PERKERNI
PPNI DPP SDKI Pokja Tim, 2018. Standar Diagnosia Keperawatan Indonesia Edisi 1 : Jakarta:
DPP PPNI
PPNI DPP SIKI Pokja Tim, 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Edisi 1 : Jakarta:
DPP PPNI
PPNI DPP SLKI Pokja Tim, 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Edisi 1 : Jakarta:
DPP PPNI
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas )., 2017. Badan penelitian dan pengembangan Kesehatan
Kementrian RI tahun 2018. Diakses 17 Maret 2017 www.depkes.go.id,
Shadine,M., 2010. Mengenal Penyakit Diabetes Melitus. Jakarta : Penebit Keenbooks
Smeltzer, S.C dan B,G Bare. 2015. Baru Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.
Jakarta : EGC
Tarwoto, dkk., 2012. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Endokrin. Jakarta: Trans
Info Media

Anda mungkin juga menyukai