Anda di halaman 1dari 26

Menyulam angan

Oleh: Vianda Alshafaq

Kemilau bintang menyolek jelaga

Menyepuh awan kabut

Penghalau jeda

Asa

Kabut

Setipis benang

Merajut rajutan tangan

Mendekap pendar rembulan impian

Beranjak mengarak awan jingga

Peluh mengucur terseka

Terselip cerita

Muara

Tawa

Menggorogoti kisah

Kerikil menyerah enyah

Wajah bersemu merah ayu

Menjemput sejumput ambisi diri

Merangkak meniti pagi

Semusim bersemi

Terdekap
Gejolak

Luruhkan penat

Serumpun asa rimbun

Menggenggam jemari pengukir mimpi

Kaca-kaca di Bola Mata

Oleh : Nofri Wahyudi

Bagai burung tanpa bulu

Dimakan waktu tak terhenti

Jalan menurun dibawah kelopak mata

Bagai jantunh kehilangan detaknya

Bulan ditelan fajar memerah

Benang merah tak terasa lagi

Air bening dari bola mata

Menggenangi daratan merah

Serasa kendaraan yang hilang kendali

Hati belabuh tak pernah kembali

Hanya derai tangis yang menemani

Ufuk barat menanti kedatangan matahari

Senyuman yang pernah mulai hilang

Dimakan sayatan kata-kata bermata tajam

Detakan di dada menghilang tiap detiknya

Harapan berlabuh menuju ujung tak bertepi


Rasa ingin tahu yang dulu melebihi gunung berapi

Terhempas jatuh ke dasar bumi

Melebihi kesakitan senapan api yang menusuk api

Hidup gelap tanpa setetes cahaya yang menemani

Setetes air benin yang terus jatuh membasahi wajah ini

Tak akan pernah bisa menghapus kesakitan pedih didasar hati

Berjuta kata melebihi tajam belati

Terus mencabik-cabik gumpalan di dada ini

Mentari Mengecup Samudera Pilu

Oleh : Nofri Wahyudi

Mawar patah tak berbunga

Rasa senang begitu hampa

Jatuh berderai airmata

Lumpuhkan segenap jiwa

Pelangi tampak hambar di sudut jelaga

Badai yang dating tak kunjung reda

Air mata mengalir deras

Ditemani rasa bersalah yang membuntu

Malang sekali nasib pohon bambu

Menjulang tinggi tak bercabang

Hidup bersama tumbuh sendiri

Terlihat senang tapi tersakiti


Semua ocehan yang dating

Menghujani pelupuk hati

Harapan yang menjulang tinggi

Serasa ditebang tak henti-hentinya

Semua yang sama dulu dipandang

Kini terasa tak bertepi

Terbenam matahari di samudera

Menenggelamkan harapan di dada

Andai hidup seperti awan

Yang bisa hiang dan dating sesuka hati

Membawa berkah dari ilahi

Menghujani muka bumi

Semua yang terjadiberharap mimpi

Dapat mengurangi kesedihan di hati

Membawa kembali senyum di pipi

Mengulang waktu yang tak kunjung menepi

Kita Adalah

Oleh : Fio adella Illahi

Kita adalah seorang pemimpi yang menunggu pagi

Kita dalah seorang pengkhayal yan menggapai pelangi

Kita adala seorang pengejar yang senang berlari

Kita adalah seorang pejuang yang mencari peluang


Membangun cerita dimalam hari untuk tujuan pagi

Menciptakan dereta jalan yang dalam penggapaian

Mengejar segala harap ketika telah digarap

Menimbun dentingan jelaga ketika dihantam nestapa

Kita adalah penjangkau masa depan

Kita adalah pencipta aksa dunia yang fana

Kita adalah penunggu terbitnya matahari

Kita adalah pengusaha yang dengan segala untung ruginya

Namun sejatinya, kita adalah kita

Seorang yang paling mengenal jatidiri

Seseorang yang menentukan kemana tapaka kaki

Seseorang yang lebih tahu apa hasrat hati

Titik Masa Abu-abu

Oleh : Fio Adella Illahi

Dekap hangat sang mentari

Ketika pagi datang menjemput hari

Waktu datang menepikan bahtera di pelabuha rasa

Disitulah temu menciptakan haru yang menggebu

Dan disanalah kapal kan berlayar menuju jangkauan asa

Terbayang sekilas rasa yang tercipta di tengah kita

Antara sang sahabat lama

Saat berjumpa di dentingan senda tawa

Kala waktu masih mengizinkan kita untuk bersama


Namun, rasa harus di akhiri oleh jarak

Temu harus diakhiri oleh masa yang membawa pilu

Aliran nestapa terus menguras sisa kalbu

Inilah takdir yang telah tertulis di Lauhul Mahfudz kita sejak dahulu

Kini deru sendu menggerus hebat saat jumpa harus bertukar rindu

Izinkan cerita menjadi sekillas kenang tanpa jelaga

Dan berjuang lah untk menggapai cita

Nanti, kita akan berjumpa untuk mengingat bait demi bait aksara di masa SMA

Ungkapan Pembawa Pilu

Oleh : Nova Safrina

Tawa tak mampu menutupi rintihan

Rintihan yang kian menyiksa diri

Siapa yang mampu membendung?

Kala ungkapan “Perpisahan “ yang terlontar

Mengiris hati, memupus harapan

Apa hiburan dapat mengobati

Saat memori tak mau berhenti

Kebisingan kota tak mampu mengelak

Ketika sukma berteriak menolak lupa perpisahan

Takkan ada yang mampu menyembunyikan

Bahkan jam dinding mengolok penyesalan

kala waktu terlewat sia-sia

Meninggalkan tawa yang hilang


Menghapus jarak sebuah ikatan

Berakhir dengan pekikan hati tertanam

Ku tak ingin ada akhir

Namun perpisahan kembali menampar

Rintihan kini semakin menggema

Kembali menampar kenyataan

Ini akhir dari segalanya

Music tak mampu menutupi rintihan

Kala perpisahan kembali terucap

Teriakan sudah tak lagi terdengar

Ketika hati mulai menerima,

Dengan penuh isakan

Hujan Dan Pengendara

Oleh : Nova Safrina

Tik.. Tik.. Tik

Akan datang titik titik

Air yang bergemericik

Membuat aspal mejadi licik

Jalanan mulai sepi

Pengendara sibuk menepi

Mencari tempat sembunyi

Dan melindungi diri

Bosan ku lihat sekeliling

Ku dengar suara suara bising


Dari pengendara yang mulai pening

Menunggu hujan tak kunjung kering

Waktu terus berputar

Tak terasa mendung telah pudar

Malu malu muncul sinar

Berbentuk bola bundar

Jalanan kembali ramai

Ku rasa akan damai

Antara langit dan pengendara

Yang akan melanjutkan acara

Segenggam Asa Untuk Palu

Oleh : Rena Devita sari

Kala ombak hitam menghantam

Kala gempa mengguncang daratan

Terdengar ratapan sahut sahutan

Tanah palu berduka, meratap pindah haluan

Sendau gurau hilang temaram

Berganti tangisan kian membenam

Rintihan menyambut pusaran kelam

Semua andam karam dalam selincar

Jiwa jiwa terhanyut dalam kegemangan

Keluarga dan mereka yang sibuk mencari dalam kesemuaan

Membungkus secercah harapan dengan telan

Hingga gumpalan kepedihan suram memmbuana

Illahi...

Dengarlah tangis pilu saudaraku


Tengadahku disepertiga malammu

Berharap sedikit dari limpahan kuasamu

Hingga tiba dan bersujud dihadapanmu

Saudaraku

Getaran kubu kian berkabung

Denyut waktu kian membusung

Melebut dosa sebagai pelipur

Hai saudaraku...

Mari bersama sama membenah diri, membuka cakrawala hati

Sesungguhnya peristiwa demi peristiwa ini

Menjadi penegas diantarasemua tragedi

Bahwa kita tak pernah bisa lari dari mati

Saudaraku...

Kita mendengar, melihat menyaksikan

Lalu? Apalagi yang kau sangkal

Sebab kita hanyalah seorang candala

Yang bergelut dengan dosa

Dan teruntuk saudara palu

Tak banyak yang ingin ku ucap

Hanya saja doa doa ku mewakili ratap

Maka tenanglah kau terlelap

Maafkan juga mereka, orang orang di negriku yang kerap kali menghujat

Percayalah mereka bukan menawat

Melainkan memberi sedikit nasihat namun tak tepat hasrat

Duhai...

Inilah bait bait yang ku toreh dan renjanaku, ditengah hiruk pikuknya bencana pahit
Penguat Kaki

Oleh : Fio Adella Illahi

Setumpuk aksa ciptaan illahi

Menggugur asa para insani

Mengadah tangan kesekian kali

Terlantun doa penguat kaki

Langkah demi langkah yang terhenti

Ketika semesta tak bersahabat lagi

Mimpi mimpi yang bergantii sepi

Harapanmu pecah dan mati

Meski warnamu menjadi kelabu

Dan tawamu hanya berhias sendu

Kuatkanlah ragamu wahai palu

Untuk esok mengais harapan baru

Pijaklah kokoh tanah itu

Tuhan menegur agar kau tahu

Bahwa dia menyayangimu

Takkan mengujimu melebihi batas mampu

Jeritan Ditanah Palu

Oleh : Yulia Rahmawati

Hina...

Duka serta lara

Berkecambuuk dalam jiwa dan raga

Tanah palu...
Rintihan tangis negrimu menuai haru

Jeritan duka menyayat dada

Bocah bocah nakal yang harusnya berbaju bagus nan merona

Kini dibungkus kain kafan tak bercelah warna

Beribu tawa di negri beruubah menjadii suara duka

Kni tak ada lagi pelukan ibu bapaknya

Rasa takut berusaha menyelamatkan badan nan bergelimang dosa

Tuhan...

Telah nista kami dalam dosa bersama

Dalam pikiran yang ganda

Nada sumbang berseraya

Membuatku merasa lenyap seketika

Ratapan Palu

Oleh : Suci Indah Cahyani

Tanah palu terdengar pilu

Meratap mendengar derumu

Menyaksikan kemurkaan laut

Merasakan hebatnya goncangan

Ombak menyerbu tanpa batasan

Pekat kelam menghancurkan daratan

Semua kandas dalam satu sapuan

Tinggalah negri Yang terporak porandakan

Pekikan laut menjemput kematian

Terdengar teriakan teriakan insan

Berlari tak tau arah tujuan


Sayup sayup akan suara tangisan

Nyawapun terenggut sampai ribuan

Kehancuran, kehilangan, kesedihan

Menyeruak dalam kesenyapan

Puing puing hitam membelaai tepian

Liang liang panjang tanpa batu nisan

Kutorehkan sajak sajak perihku

Yang tak cukup mencatat perihmu

Tenanglah , tidur lelaplah saudaraku

Nikmatilah akan pertemuan dengan tuhanmu

Tinggalah asaan pilu, berdzikir kepadaMu

Tuhan...

Inilah pintaku

Untuk saudara saudaraku

Berilah payung teduhMu

Berilah kekuatan dariMu

Berilah benih cintaMu

Berilah kasih sayangMu

Tuhan...

Inilah pintaku

Untuk saudara saudaraku

Yang telah kembali padaMu

Rebahkanlah mereka diats permadaniMu

Tempatkan mereka disisi muliaMu

Masukkanlah mereka kedalam syurgaMu

Aamiin...
Sembilu Untuk Palu

Oleh : Vira Ananda S

Dua puluh delapan September lalu

Ombak bergelung meremas degup jantung dermaga

Langkah memanjang berlari kencang

Takbir mengawang pada awangkara luka

Luluh lantak tanah donggalla

Waktu merenggut senyum pilu

Sendu menghunus kalbu

Mengaum tangis menyayat pilu

Reruntuhan rumah serata tanah

Puing puing tembok menghantam tubuh

Terkapar tanpa nyawa

Berjejer tiada bersama

Sembilu mengiris nadi

Tersungkur tubuh terlilit dawai dawai tangis

Ranting ranting pohon menyuir kulit

Raungan mencekat tenggorokan, perih

Duhai tuhan, sang Maha Pencipta

Terasa kelu lidah membantu

Tanpa kata berderaii air mata

Hujaman adzab Mu semoga pelipur dosa


Hilang

Oleh : Alifia Andra Sakinah

Hari ini

Akan kuceritakan kepada kau

Tentang tanah ini

Tanah yang selalu kubanggakan

Bak matahari bersinar

Hilang lenyap, saat mataku terpejam

Kurasakan sesuatu yang hilang

Dari sela sela kehidupan

Ada sesuatu yang longgar

Tak terpaut akan indahnya kebahagiaan

Hari ini...

Disaat nafasku kembali berhembus

Aku ingin kembali melihat permata muncul ditawa mereka

Aku ingin melihat berlian hadir, dibalik tikus tikus kecil yang berlarian

Namun kerinduanku fana

Kebagiiaan mereka hanyut dihempas air

Tawa mereka tertimbun reruntuhan gempa

Senyuman mereka terdampar bak mayat bergelimpangan

Hanya tangisan menutupi kehilangan

Lenyap...

Andai bisa kuubah debu menjadi nuklir

Andai bisa ku ubah tetesan embun menjadi guyuran api

Akan ku kirim dan hancurkan

Mereka yang bisa menjadi penyebab kemurkaan itu


Namun sayang, aku bukan tuhan

Tanah palu... bermandi air mata

Akibat ulah manusia tanpa moral yang mereka tak berdosa

Anak anak kecil menangis meronta meronta

Mencari orangtua yang telah tiada

Aku hanya bisa menangis dan berdoa

Semoga air mata mu jalan menuju syurgaNya


Ruang

Oleh: Andri Taufik

Sungguhlah luas alam semesta ini

Sungguhlah banyak waktu diberi

Kan kutelusuri seluruh ruang dan waktu

Namun tidak tanpamu, kawan

Sebuah kamar tempat berlindung

Akan kerasnya dunia ini

Disitu kau denganku kawan

Disaksikan barang dan debu diam

Nanti kan jadi saksi bisu

Kawan

Terlalu luas ruang didunia ini

Tak kan sanggup jika sendiri ku arungi

Bulan dan matahari terdiam sunyi

Ku butuh ku disini

Ruang bak wadah penemu

Bak mati yang diam membisu

Saksi setiap hal yang semu

Disana kita bertemu

Berjuang melewati waktu

Di ruang ini...

Bersamamu... sahabatku
Peluk Aku, Tuhan

Oleh : Vianda Alshafaq

Patah

Sesak

Harapan

Menggelegak

Ringkih

Tenggelam

Larut malam

Kenangan

Penat

Amarah

Kalah

Terpuruk

Sesal

Air mata

Tuhan

Dekaplah

Sekolahku

Oleh :Lailaturrahmi

Tiang demi tiang kutelusuri

Menyonsong lorong demi lorong

Menyambut pagi berakhir petang


Bersua dan berpisah jua

Disinilah...

Suara gemuruh tatakrama

Slalu kudengar

Disinilah...

Tempat ku berbagi

Bersua dengan teman sekaligus sahabat

Disinilah...

Setiap pagi kami mendengarkan

Denting demi dentng bel berbuyi

Bergalut raungan setiap paginya

Hati seakan luruh

Tatkala semua menyapa

Disinilah

Rumah kedua kami

Dijejeran bangunn kubus ini

Ku duduk menimba ilmu

Sekolah ini...

Jiwaku.. Separuh jalanku awal dari semuanya

Menuju sukses masa datang

Air matamu

Oleh : lailaturrahmi

Tuhan...

Surga kecil yang kau berikan


Sekarang sudah hilang tertelan

Air matanya menjadi aksi kegagalan

Ibu

Kurindu ksu yang dulu

Sebelum semuanya hilang berlalu

Hingga menjadi saksi bisu

Antara goresan dan tikaman

Menjadi bukti kehancuran

Yang selalu membara tertekan

Menjadi alur yang berantakan

Tuhan

Air mata yang bergelinang

Menghantar setiap doa yang malang

Rindu serindu- rindunya terkenang

Ibu

Kau jiwa amarah kami

Kau hidup berkelana kami

Kau nafas separuh jiwa ini

Untuk kali ini

Air mata mu
Tentang mimpiku

Oleh : aulia wulandari

Masa kecilku

Kumemimpikan banyak hal

Tapi saat ku beranjak remaja

Ku hanya memimpikan

Cita cita terbesarku

Mereka bilang

Orang miskin takkan sukses

Saat itu aku kehilangan semangat

Untuk bermimpi

Ayah pernah berkata

Sekaya kayanya orang, belum tentu ia sukses

Semiskin miskinya orang, ia akan bisa sukses

Kata itu selalu ku genggam

Mimpiku yang begitu kokoh

Awalnya tergoyahkan oleh kata orang

Tapi kini tak kan lagi terulang

Karna ku sadar

Tampa mimpi ku tak kan bisa hidup

Kasih sayang ayah

Oleh : aulia wulandari

Ia membanting tulang

Menghidupkan lima orang anaaknya


Membahagiakan keluarganya

Dengan apapun yang ia punya

Ia cinta pertama anak anaknya

Melindungi anaknya

Tampa takut dirinya terluka

Ia ayah dari lima orang anaknya

Kasih sayangnya begitu besar

Tak seorangpun ayah yang menginginkan

Putra putrinya terluka

Anaknya bilang ayahnya keras

Tapi percayalah dalam hatinya ontang

Terlukis kelembutan dan ketulusan

Seorang ayah

Tak akan membiarkan buah hatinya

Mengenal betapa jahat dan kejamnya dunia

Seperti yang telah ia rasakan

Dipenghujung musim

Oleh : Febi Febiola

Di penghujung musim yang menyisakan dingin

Daun daun berguguran

Tanah kering kerontang

Kau tau kenapa ?

Mungkin semesta sedang marah


Aku yang tak peduli lagi pada manusia

Yang tamak

Yang rakus

Yang tak pernah peduli pada semesta

Dipenghujung musim yang menyisakan dingin

Daun daun berbisik

Tanah pun ikut bergejolak

Bencana alam kian bermunculan

Tak pandang bulu

Dalam sekejab dihancurkan permukaan

Bumi hancur

Lantas apa yang tersisa

Curhatan hati*
Oleh : Jordy Epriliano H

Terasa pilu di dada..

Jantung bergetar tidak karuan..

Bisikan hangat yang terasa..

Merasa sepi tak berteman..

Berjalan tanpa tujuan...

Pergi tanpa patokan...

Mencari yang tak bertuan..

Yang dapat hanyalah cacian..


Hati ku menangis tanpa alasan..

Air mataku berlinangan..

Tanpa ada sebuah tataan..

Hidupku hampa tanpa arahan..

Yang aku inginkan..

Hanyalah tempat sandaran..

Sadaran yang dipaparkan..

Hanya untukku seorang..

SAJADAH
(Dinda Rahmasari)

Tempat aku bersujud


Sajadah ini yang setia menemaniku
Setiap lima waktuku
Saat sepertiga malamku
Tempat aku bercerita kepada-Mu
Tentang liku kehidupanku
Suka dan dukaku
Tangis dan tawaku
Tersungkur di sajadah ini
Aku merasa dekat dengan-Mu
Dan akan kuungkapkan segala rasa
Di atas sajadah ini aku berdoa
Memohon ampun kepada-Mu
Ya Allah Ya Rabbi
Pantaskah aku memohon ampunan-Mu
Setelah sekian banyak noda yang hamba torehkan pada hidup ini
Setelah sekian kerusakan yang hamba perbuat di bumi ini
Setelah sekian lama hamba terpuruk dalam sumur dosa ini
Setelah berjalan dengan menyombongkan diri ini
Tanpa rasa malu
Tanpa rasa bersalah
Kini, kutundukkan kepalaku
Berteman dengan air mata penyesalanku
Senada dengan deru nafas yang saling memburu
Ya Allah Ya Rabbi
Inilah aku
Sang pendosa terhebat
Yang berharap belas kasih-Mu
Di sajadah ini
Akan kuungkapkan pengakuanku

DEMI TEMPAT BERTEDUH

Oleh : Dinda Rahmasari

Kapan penderitaan ini berakhir

Mereka yang tak pernah mengeluh

Akan panasnya terik matahari

Lebatnya hujan yang mengguyur bumi ini

Tapi mereka selalu berjuang demi hidupnya

Tak pernah ada henti

Menyiksa beban hidup ini

Walau semua sulit dilewati

Apalah daya ini harus dijalani


Saat cahaya matahari mulai meredup

Dan digantikan oleh setitik cahaya rembulan

Mereka pun beristirahat

Ditempat yang tak layak

Dibawah jembatan

Pelantaran toko

Ditemani dinginnya angin malam

Yang menusuk sampai ke tulang

Mereka bekerja

Untuk melawan kerasnya hidup ini

Takdir manusia memang berbeda

Begitu pula cara menjalaninya

Tapi mengapa cara menjalani

Takdir mereka begitu sulit

Mereka harus berjuang mati-matian

Demi tempat berteduh

Derita Pilu dari Palu


Oleh : Jordy Epriliano Hidayat
Jeritan masal menggoncang bukit

Tangis perih mulai terkait

Resah hati kian merakit

Tanda batin yang kan sakit


Ombak kecil mulai gusar

Tanda alam sudah kasar

Tak ada tempat tuk bersandar

Akan jiwa yang terbakar

Air mata tak terhapus

Curhat lidah yang terhalus

Amarah kesal yang terputus

Bak gunung kan meletus

mayat mulai terjatuh

terselimuti sedih nan patuh

beralaskan kain yang lesuh

tak satupun nan utuh

Anda mungkin juga menyukai