Anda di halaman 1dari 9

1.

Studi Kasus Mengenai Pulau Komodo yang Dijadikan Sebagai Kawasan


Wisata

https://www.youtube.com/watch?v=skZ-e7Z_S_U

Kekayaan sumber daya alam Indonesia dipahami pemerintah sebagai


modal penting dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Karena itu,
atas nama pembangunan yang diabdikan pada pengejaran target
pertumbuhan ekonomi (economic growth development), demi peningkatan
pendapatan dan devisa negara (state revenue), maka pemanfaatan
sumberdaya alam dilakukan tanpa memperhatikan prinsip-prinsip
keadilan, demokratis, dan keberlanjutan fungsi sumberdaya alam.
Implikasi yang ditimbulkan dari praktik-praktik pemanfaatan sumber daya
alam yang mengedepankan pencapaian pertumbuhan ekonomi semata
adalah secara perlahan tetapi pasti menimbulkan kerusakan dan degradasi
kuantitas maupun kualitas sumberdaya alam, yang meliputi : (a) laju
kerusakan hutan mencapai 1,8 juta hektar per tahun dan sejumlah spesies
hutan tropis terancam punah akibat eksploitasi sumberdaya hutan yang tak
terkendali; (b) sekitar 70 % terumbu karang mengalami kerusakan serius
akibat endapan erosi, pengambilan batu karang, penangkapan ikan yang
menggunakan bom atau racun (sianida), dan pencemaran air laut oleh
limbah industri; (c) sekitar 64 % dari total hutan mangrove seluas 3 juta
hektar mengalami kerusakan yang serius akibat penebangan liar untuk
kayu bakar dan dikonversi menjadi areal pertambakan; (d) kegiatan
pertambangan yang dilakukan secara besar-besaran telah mengubah
bentang alam, yang selain merusak tanah juga menghilangkan vegetasi
yang berada diatasnya. Lahan-lahan bekas pertambangan membentuk
kubangan- kubangan raksasa, sehingga hamparan tanah menjadi gersang
dan bersifat asam akibat limbah tailing dan batuan limbah yang dihasilkan
dari kegiatan pertambangan (Nurjaya, 1993; Choi & Hutagalung, 1998;
More, 1994; Bchahriadi, 1998; Kantor MENLH, 2000).

Dari sisi lain, pemanfaatan sumber daya alam yang semata-mata


mementingkan target peningkatan pendapatan dan devisa negara juga
menimbulkan implikasi sosial dan budaya yang cukup memperihatinkan.
Banyak konflik mengenai hak penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya
alam antara masyarakat adat/lokal dengan pemerintah atau pemegang
konsesi hutan dan pertambangan terjadi di berbagai kawasan Indonesia.
Kemiskinan juga mewarnai
kehidupan masyarakat adat/lokal di tempat-tempat di mana berlangsung
kegiatan- kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam. Demikian pula, berbagai
bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia, terutama hak-hak masyarakat
adat/lokal mengiringi praktik-praktik pemanfaatan sumber daya alam selama
tiga dekade terakhir ini (Bodley, 1982; Poffenberger, 1990; Peluso, 1992;
Reppeto & Gillis, 1982; Bachriadi, 1998; Nurjaya, 2000).

Jika dicermati secara substansial, persoalan-persoalan yang muncul dalam


pemanfaatan sumber daya dalam seperti diuraikan di atas sesungguhnya
bersumber dari anutan paradigma pengelolaan sumberdaya alam yang bercorak
sentralistik, berpusat pada negara (state-based resource management),
mengedepankan pendekatan sektoral, dan mengabaikan perlindungan hak-hak
asasi manusia. Paradigma seperti ini selain tidak mengutamakan kepentingan
konservasi dan perlindungan serta keberlanjutan fungsi sumber daya alam,
juga tidak secara utuh memberi ruang bagi partisipasi masyarakat, serta
mengabaikan hak-hak masyarakat adat/lokal atas penguasaan dan pemanfaatan
sumber daya alam. Implikasinya, dari segi ekonomi menghilangkan sumber-
sumber ekonomi bagi kehidupan masyarakat adat/lokal (economic resources
loss); dari segi sosial dan budaya secara nyata telah merusak sistem
pengetahuan, teknologi, institusi, tradisi, dan religi masyarakat/lokal (social
and cultural loss); dari segi ekologi menimbulkan kerusakan dan degradasi
kualitas maupun kuantitas sumberdaya alam (ecological loss); dan dari segi
politik pembangunan hukum telah mengabaikan fakta pluralisme hukum (legal
pluralism) dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang secara
nyata hidup dan berkembang dalam masyarakat (Nurjaya, 2000).

Dari perspektif hukum dan kebijakan, maka cerminan dari anutan


paradigma seperti tersebut di atas secara jelas dapat dicermati dari substansi
dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sumber daya
alam, seperti undang- undang agraria (1960), undang-undang pertambangan
(1967), undang-undang pengairan (1974), undang-undang perikanan (1985),
undang-undang sumber daya alam hayati (1990), dan undang-undang
kehutanan (1999), yang diproduk pemerintah dalam kurun waktu 3 dekade
terakhir ini.
Pertanyaan :

a. Berdasarkan video dan latar belakang di atas, upaya apa saja yang akan kalian lakukan
untuk melakukan konservasi terhadap mahluk hidup yang ada di Pulau Komodo
tersebut, terutama Komodo yang dijadikan ikon kepulauan tersebut?
b. Dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat sekitar juga untuk meningkatkan
keadaan ekonomi mereka, upaya apa yang bisa kalian ambil agar kelestarian Pulau
Komodo tetap terjaga, tetapi perekonomian masyarakat juga dapat ditingkatkan. Jelaskan
alasan mengapa kalian mengambil langkah tersebut.

2. Pandemi Virus Corona, Lonceng Peringatan Bagi Keanekaragaman Hayati

Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat UI itu mengatakan, tak bisa ditampik
bahwa kemunculan virus baru menandakan adanya pergeseran pada alam. Mulai dari
perubahan lingkungan, perubahan rantai makanan, perubahan perilaku, pola konsumsi,
hingga berujung ke perubahan host juga agen pembawa virus.

Ketika semua berubah, kondisi ini akan mendorong makhluk hidup—hingga yang paling kecil sekalipun—
untuk turut bermutasi. “Kalau ada makhluk hidup kecil bermutasi, kan kira-kira, ada perubahan alam
pasti di situ. Kan perubahan rantai makanan itu, kalau rantai makanannya berubah, ya, kemudian
pelaku-pelakunya juga akan berubah, begitu teorinya,” jelas dia.

Kasus virus corona jenis baru ini pertama kali muncul di Wuhan, China di penghujung Desember 2019.
Beberapa peneliti menduga kuat virus ini berasal dari salah satu pasar di wilayah tersebut yang menjual
pelbagai jenis hewan.

Tri Yunis menduga, pintu lain penyebaran virus dan mutasi itu juga bisa melalui trading atau
perdagangan. “Kemungkinan besar ini karena hewan dikasih makanan lain, kemudian tumbuh virus lain
kemudian manusia memakan hewan. Jadi bisa menginfeksi manusia. Lalu trading atau perdagangan ini
juga bisa menyebar ke manusia. Bisa juga dari sektor pertanian, rekayasa genetik,” kata dia.

Sementara ahli kebijakan lingkungan yang juga akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB), Hariadi
Kartodiharjo berpendapat, munculnya SARS-CoV-2 ini terjadi seperti virus lainnya. Menurut dia,
hilangnya jasa alam berupa keanekaragaman hayati akan mengakibatkan
ketidakseimbangan populasi.

Terputusnya rantai alam dan rusaknya habitat akibat eksploitasi, mendorong hewan liar
mendekati populasi manusia. Dengan begitu bisa meningkatkan kemungkinan virus zoonosi seperti
SARS-CoV-2 melakukan lompatan lintas spesies dan manusia sebagai inang.
“Jadi hampir mirip dengan prinsip-prinsip seperti itu yang terjadi di alam—kalau ular atau elang diburu
maka tikus akan meledak karena tikus makanan elang dan ular. Hanya, tentu lebih luas karena cakupan
hubungan antara hayati–baik tumbuhan dengan hewan–dengan virus dan lanskap itu sebenarnya sangat
unik,” kata Guru Besar Kehutanan IPB tersebut kepada Ekuatorial.com, Minggu (19/4).

Penyakit zoonosis merupakan infeksi yang ditularkan hewan ke manusia. Kondisi ini bisa
berlanjut pada wabah penyakit berbahaya dan menular. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
memperkirakan sekitar 75 persen penyakit baru yang ditemukan bersifat zoonotik.

Lingkungan tak jadi prioritas

Namun sayangnya, Hariadi mengatakan, hingga kini pengaruh jasa alam atau lingkungan ini belum
menjadi pertimbangan pengambilan keputusan ataupun kebijakan. Dia menduga hal ini dilatari dampak
kerusakan alam yang selama ini tak bisa dipastikan atau tak terlihat nyata. Lain halnya, dengan efek yang
terjadi di sektor ekonomi.

“Mislanya, begitu inflasi naik maka dengan segera otoritas akan memperbaiki dalam konteks moneter dan
fiskal untuk mengendalikan. Dan kalau dilakukan manfaatnya juga terbukti, itu clear ketika ahli ekonomi
menggunakan cara itu maka kemudian beberapa hari inflasi akan turun,” kata Hariadi.

Tapi tidak begitu dengan keanekaragaman hayati dan dampaknya yang kompleks. Antara kerusakan
dengan efek yang ditimbulkan pun seringkali tak bisa dipandang linear.

“Misalnya, orang menghancurkan hutan di Papua, itu yang menghancurkan ternyata orang Jakarta,
Singapura atau dari daerah lain. Kalau kita lihat dampaknya, tidak dirasakan mereka, tetapi oleh
masyarakat lokal (di Papua),” terang dia.

Sekalipun tak jelas waktunya, dampak dari kerusakan keanekaragaman hayati itu sudah
pasti ada. Kerugian akibat kerusakan jasa alam atau lingkungan tak bisa sekadar dilihat secara kasat
mata.

“Karena walaupun kita tahu misalnya, kalau hutan lindung dihabisin, nanti banjir, lho. Tapi kemudian
orang mengatakan, kapan banjirnya? Nggak ada yang tahu. Bisa empat tahun, lima tahun atau 10 tahun
lagi, itu nggak ada yang tahu Nah, dari situ sebenarnya problematika lingkungan itu selalu harus selalu
diwadahi dalam konteks etika,” katanya.

Menurut Hariadi, itulah sebabnya permasalahan lingkungan tak bisa semata dibawa dalam konteks
rasionalitas atau kalkulasi belaka melainkan lebih kepada etika dalam penerapannya. Misalnya,
prinsip kehati-hatian dalam penerapan pemanfaatan sumber daya alam.

Kondisi kian pelik karena pemerintah belum memandang kerusakan lingkungan menyangkut
keanekaragaman hayati ini sebagai kerugian negara. Berdasarkan penelusuran Hariadi, setidaknya dua
peraturan yakni Undang-Undang tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan Undang-Undang tentang
Perbendaharaan Negara mendefinisikan kerugian negara sebagai kekurangan uang, surat
berharga, dan barang yang nyata.

“Jadi kerugian negara dalam konstalasi ini tidak termasuk hilangnya jasa alam yang berupa
keanekaragaman hayati. Nah kalau itu terjadi, maka sebenarnya itu nggak memberikan sebuah dorongan
bahwa Kehati (keanekaragaman hayati) itu harus dilindungi. Karena negara sendiri mengatakan, itu
nggak ada harganya kok,” kata dia.
Padahal, dengan mengutip pelbagai penelitian, dia mengatakan, merosotnya kondisi keanekaragaman
hayati kian nyata. Laporan Daniel Cleary dan Lyndon Devantier dalam ‘Indonesia: Threats to The
Country’s Biodiversity’, misalnya, mengatakan hampir 90 persen daratan Indonesia tertutup hutan hujan
alami pada tahun 1880. Namun 100 tahun kemudian, di tahun 1980, Indonesia sudah kehilangan 25
persen tutupan hutan. Sedangkan saat ini, lebih dari 50 persen tutupan hutan itu sebagian besar telah
terdegradasi.

Kepala Unit Ilmu Konservasi WWF Indonesia Thomas Barano, menilai pola konsumsi berlebihan
masyarakat terhadap satwa liar — sebagai bagian keanekaragaman hayati — ikut memberikan andil
dalam menimbulkan penyakit zoonotik. Dia memperkirakan jika eksploitasi terus terjadi, tak pelak lagi
akan berakibat pada penurunan jenis-jenis satwa yang diperdagangkan.

“Karena laju recovery populasi dan pengambilan (satwa) tidak sebanding ,” tutur Thomas
Barano kepada Ekuatorial.com pada Selasa (21/2).

“Dari tahun ke tahun, ekspolitasi satwa liar secara ilegal masih terus terjadi dan kondisi ini tentu terus
menekan populasi satwa liar di alam. Perubahan yang terjadi, adalah perluasan tata cara berdagang
satwa liar dari pasar hewan ke perdagangan lewat gawai,” jelas dia lagi.

Karena itu dia berharap ada peningkatan pengawasan dan kontrol atas praktik perdagangan ilegal satwa
liar. Sehingga laju eksploitasi satwa liar pun mampu ditekan.

Bila kebijakan tak segera diperbaiki, dia khawatir skenario terburuk dari merosotnya
keanekaragaman hayati akan terus memunculkan penyakit-penyakit baru. “Tentu ini akan
meningkatkan peluang penyakit zoonotik baru, karena pola konsumsi manusia yang mengeksploitasi
berlebihan, sehingga keseimbangan ekosistem juga terganggu,” kata dia.

Laporan dua tahunan yang dirilis WWF menganalisis faktor ancaman yang paling umum dihadapi 8.500
spesies terancam atau hampir punah. Temuannya, penggerak terbesar hilangnya keanekaragaman
hayati adalah eksploitasi berlebihan dan pertanian yang didorong melonjaknya konsumsi manusia.

Pertanyaan :

a. Dari cuplikan berita di atas, apa yang bisa kalian simpulkan mengenai dampak pandemic
terhadap keanekaragaman hayati?
b. Adanya virus yang baru, ternyata berdampak juga terhadap rantai makanan. Bagaimana hal
itu bisa terjadi?Jelaskan.
c. Menurut berita di atas, kerusakan keanekaragaman hayati tidak akan berdampak secara cepat,
namun akan dirasakan di masa yang akan datang. Apa yang dapat dilakukan untuk
mengendalikan keberadaan keanekaragaman hayati, agar suatu hari nanti generasi yang
akan datang tetap dapat melihat dan merasakan keberadaan keanekaragaman hayati yang ada di
muka bumi.

3. Gambar peta persebaran fauna di dunia


 Sebutkan masing-masing zona di atas.
 Berdasarkan peta di atas, hewan-hewan di bawah ini termasuk ke dalam zona mana?

a.

d.
b.

e.
c.
g.

f.
h.

4. Gambar peta persebaran fauna di Indonesia

Berdasarkan gambar di atas :


 Garis A adalah ….
 Garis B adalah ….
 Wilayah 1 adalah …., ciri-ciri hewannya adalah ….
 Wilayah 2 adalah …., ciri-ciri hewannya adalah ….
 Wilayah 3 adalah …., ciri-ciri hewannya adalah ….

Berdasarkan peta di atas, hewan-hewan di bawah ini termasuk ke dalam zona mana?

a.

b.
e.

c. f.

g.
d.

Anda mungkin juga menyukai