https://www.youtube.com/watch?v=skZ-e7Z_S_U
a. Berdasarkan video dan latar belakang di atas, upaya apa saja yang akan kalian lakukan
untuk melakukan konservasi terhadap mahluk hidup yang ada di Pulau Komodo
tersebut, terutama Komodo yang dijadikan ikon kepulauan tersebut?
b. Dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat sekitar juga untuk meningkatkan
keadaan ekonomi mereka, upaya apa yang bisa kalian ambil agar kelestarian Pulau
Komodo tetap terjaga, tetapi perekonomian masyarakat juga dapat ditingkatkan. Jelaskan
alasan mengapa kalian mengambil langkah tersebut.
Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat UI itu mengatakan, tak bisa ditampik
bahwa kemunculan virus baru menandakan adanya pergeseran pada alam. Mulai dari
perubahan lingkungan, perubahan rantai makanan, perubahan perilaku, pola konsumsi,
hingga berujung ke perubahan host juga agen pembawa virus.
Ketika semua berubah, kondisi ini akan mendorong makhluk hidup—hingga yang paling kecil sekalipun—
untuk turut bermutasi. “Kalau ada makhluk hidup kecil bermutasi, kan kira-kira, ada perubahan alam
pasti di situ. Kan perubahan rantai makanan itu, kalau rantai makanannya berubah, ya, kemudian
pelaku-pelakunya juga akan berubah, begitu teorinya,” jelas dia.
Kasus virus corona jenis baru ini pertama kali muncul di Wuhan, China di penghujung Desember 2019.
Beberapa peneliti menduga kuat virus ini berasal dari salah satu pasar di wilayah tersebut yang menjual
pelbagai jenis hewan.
Tri Yunis menduga, pintu lain penyebaran virus dan mutasi itu juga bisa melalui trading atau
perdagangan. “Kemungkinan besar ini karena hewan dikasih makanan lain, kemudian tumbuh virus lain
kemudian manusia memakan hewan. Jadi bisa menginfeksi manusia. Lalu trading atau perdagangan ini
juga bisa menyebar ke manusia. Bisa juga dari sektor pertanian, rekayasa genetik,” kata dia.
Sementara ahli kebijakan lingkungan yang juga akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB), Hariadi
Kartodiharjo berpendapat, munculnya SARS-CoV-2 ini terjadi seperti virus lainnya. Menurut dia,
hilangnya jasa alam berupa keanekaragaman hayati akan mengakibatkan
ketidakseimbangan populasi.
Terputusnya rantai alam dan rusaknya habitat akibat eksploitasi, mendorong hewan liar
mendekati populasi manusia. Dengan begitu bisa meningkatkan kemungkinan virus zoonosi seperti
SARS-CoV-2 melakukan lompatan lintas spesies dan manusia sebagai inang.
“Jadi hampir mirip dengan prinsip-prinsip seperti itu yang terjadi di alam—kalau ular atau elang diburu
maka tikus akan meledak karena tikus makanan elang dan ular. Hanya, tentu lebih luas karena cakupan
hubungan antara hayati–baik tumbuhan dengan hewan–dengan virus dan lanskap itu sebenarnya sangat
unik,” kata Guru Besar Kehutanan IPB tersebut kepada Ekuatorial.com, Minggu (19/4).
Penyakit zoonosis merupakan infeksi yang ditularkan hewan ke manusia. Kondisi ini bisa
berlanjut pada wabah penyakit berbahaya dan menular. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
memperkirakan sekitar 75 persen penyakit baru yang ditemukan bersifat zoonotik.
Namun sayangnya, Hariadi mengatakan, hingga kini pengaruh jasa alam atau lingkungan ini belum
menjadi pertimbangan pengambilan keputusan ataupun kebijakan. Dia menduga hal ini dilatari dampak
kerusakan alam yang selama ini tak bisa dipastikan atau tak terlihat nyata. Lain halnya, dengan efek yang
terjadi di sektor ekonomi.
“Mislanya, begitu inflasi naik maka dengan segera otoritas akan memperbaiki dalam konteks moneter dan
fiskal untuk mengendalikan. Dan kalau dilakukan manfaatnya juga terbukti, itu clear ketika ahli ekonomi
menggunakan cara itu maka kemudian beberapa hari inflasi akan turun,” kata Hariadi.
Tapi tidak begitu dengan keanekaragaman hayati dan dampaknya yang kompleks. Antara kerusakan
dengan efek yang ditimbulkan pun seringkali tak bisa dipandang linear.
“Misalnya, orang menghancurkan hutan di Papua, itu yang menghancurkan ternyata orang Jakarta,
Singapura atau dari daerah lain. Kalau kita lihat dampaknya, tidak dirasakan mereka, tetapi oleh
masyarakat lokal (di Papua),” terang dia.
Sekalipun tak jelas waktunya, dampak dari kerusakan keanekaragaman hayati itu sudah
pasti ada. Kerugian akibat kerusakan jasa alam atau lingkungan tak bisa sekadar dilihat secara kasat
mata.
“Karena walaupun kita tahu misalnya, kalau hutan lindung dihabisin, nanti banjir, lho. Tapi kemudian
orang mengatakan, kapan banjirnya? Nggak ada yang tahu. Bisa empat tahun, lima tahun atau 10 tahun
lagi, itu nggak ada yang tahu Nah, dari situ sebenarnya problematika lingkungan itu selalu harus selalu
diwadahi dalam konteks etika,” katanya.
Menurut Hariadi, itulah sebabnya permasalahan lingkungan tak bisa semata dibawa dalam konteks
rasionalitas atau kalkulasi belaka melainkan lebih kepada etika dalam penerapannya. Misalnya,
prinsip kehati-hatian dalam penerapan pemanfaatan sumber daya alam.
Kondisi kian pelik karena pemerintah belum memandang kerusakan lingkungan menyangkut
keanekaragaman hayati ini sebagai kerugian negara. Berdasarkan penelusuran Hariadi, setidaknya dua
peraturan yakni Undang-Undang tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan Undang-Undang tentang
Perbendaharaan Negara mendefinisikan kerugian negara sebagai kekurangan uang, surat
berharga, dan barang yang nyata.
“Jadi kerugian negara dalam konstalasi ini tidak termasuk hilangnya jasa alam yang berupa
keanekaragaman hayati. Nah kalau itu terjadi, maka sebenarnya itu nggak memberikan sebuah dorongan
bahwa Kehati (keanekaragaman hayati) itu harus dilindungi. Karena negara sendiri mengatakan, itu
nggak ada harganya kok,” kata dia.
Padahal, dengan mengutip pelbagai penelitian, dia mengatakan, merosotnya kondisi keanekaragaman
hayati kian nyata. Laporan Daniel Cleary dan Lyndon Devantier dalam ‘Indonesia: Threats to The
Country’s Biodiversity’, misalnya, mengatakan hampir 90 persen daratan Indonesia tertutup hutan hujan
alami pada tahun 1880. Namun 100 tahun kemudian, di tahun 1980, Indonesia sudah kehilangan 25
persen tutupan hutan. Sedangkan saat ini, lebih dari 50 persen tutupan hutan itu sebagian besar telah
terdegradasi.
Kepala Unit Ilmu Konservasi WWF Indonesia Thomas Barano, menilai pola konsumsi berlebihan
masyarakat terhadap satwa liar — sebagai bagian keanekaragaman hayati — ikut memberikan andil
dalam menimbulkan penyakit zoonotik. Dia memperkirakan jika eksploitasi terus terjadi, tak pelak lagi
akan berakibat pada penurunan jenis-jenis satwa yang diperdagangkan.
“Karena laju recovery populasi dan pengambilan (satwa) tidak sebanding ,” tutur Thomas
Barano kepada Ekuatorial.com pada Selasa (21/2).
“Dari tahun ke tahun, ekspolitasi satwa liar secara ilegal masih terus terjadi dan kondisi ini tentu terus
menekan populasi satwa liar di alam. Perubahan yang terjadi, adalah perluasan tata cara berdagang
satwa liar dari pasar hewan ke perdagangan lewat gawai,” jelas dia lagi.
Karena itu dia berharap ada peningkatan pengawasan dan kontrol atas praktik perdagangan ilegal satwa
liar. Sehingga laju eksploitasi satwa liar pun mampu ditekan.
Bila kebijakan tak segera diperbaiki, dia khawatir skenario terburuk dari merosotnya
keanekaragaman hayati akan terus memunculkan penyakit-penyakit baru. “Tentu ini akan
meningkatkan peluang penyakit zoonotik baru, karena pola konsumsi manusia yang mengeksploitasi
berlebihan, sehingga keseimbangan ekosistem juga terganggu,” kata dia.
Laporan dua tahunan yang dirilis WWF menganalisis faktor ancaman yang paling umum dihadapi 8.500
spesies terancam atau hampir punah. Temuannya, penggerak terbesar hilangnya keanekaragaman
hayati adalah eksploitasi berlebihan dan pertanian yang didorong melonjaknya konsumsi manusia.
Pertanyaan :
a. Dari cuplikan berita di atas, apa yang bisa kalian simpulkan mengenai dampak pandemic
terhadap keanekaragaman hayati?
b. Adanya virus yang baru, ternyata berdampak juga terhadap rantai makanan. Bagaimana hal
itu bisa terjadi?Jelaskan.
c. Menurut berita di atas, kerusakan keanekaragaman hayati tidak akan berdampak secara cepat,
namun akan dirasakan di masa yang akan datang. Apa yang dapat dilakukan untuk
mengendalikan keberadaan keanekaragaman hayati, agar suatu hari nanti generasi yang
akan datang tetap dapat melihat dan merasakan keberadaan keanekaragaman hayati yang ada di
muka bumi.
a.
d.
b.
e.
c.
g.
f.
h.
Berdasarkan peta di atas, hewan-hewan di bawah ini termasuk ke dalam zona mana?
a.
b.
e.
c. f.
g.
d.