Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

DEMAM TIFOID

MIRNASARI
BT2001076
TINGKAT 1 C

PRECEPTOR LAHAN PRECEPTOR INSTITUSI

Ns. FIRKAWATI. S.Kep MEGAWATI SIBULO S.Kep.Ns,M.Kep.Sp.KMB

AKADEMI KEPERAWATAN BATARITOJA


WATAMPONE
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
DEMAM TIFOID

A. DEFINISI

Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella thypi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang
yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat
dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan
sanitasi yang buruk serta standar hygiene industri pengolahan makanan yang masih
rendah (Simanjuntak, C.H, 2009).

B. ETIOLOGI

Salmonella thypi dengan salmonela yang lain adalah bakteri Gram negative,
mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob.
Mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H)
yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polosakarida.
Mempunyai makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar
dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella thypi juga dapat memperoleh
plasmid factor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple antibiotic.
(Nanda Nic-Noc,2013)

C. PATOFISIOLOGI

Kuman Salmonella masuk bersama makanan/minuman. Setelah berada dalam


usus halus kemudian mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus (terutama
Plak Peyer) dan jaringan limfoid mesenterika. Setelah menyebabkan peradangan dan
nekrose setempat, kuman lewat pembuluh limfe masuk ke aliran darah (terjadi
bakteremi primer) menuju ke organ-organ terutama hati dan limfa. Kuman yang tidak
difagosit akan berkembang biak dalam hati dan limfa sehingga organ tersebut
membesar disertai nyeri pada perabaan. Pada akhir masa inkubasi (5-9 hari) kuman
kembali masuk dalam darah (bakteremi sekunder) dan menyebar keseluruh tubuh
terutama kedalam kelenjar limfoid usus halus, menimbulkan tukak berbentuk lonjong
di atas Plak Peyer. Tukak tersebut dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi
usus. Pada masa bakteremi ini, kuman mengeluarkan endotoksin yang mempunyai
peran membantu proses peradangan lokal dimana kuman ini berkembang.

Demam tifoid disebabkan karena Salmonella Typhosa dan endotoksinnya


merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh lekosit pada jaringan yang
meradang. Zat pirogen ini akan beredar dalam darah dan mempengaruhi pusat
termoregulator di hipotalamus yang menimbulkan gejala demam. (PPNI Klaten.
2009)
D. TANDA DAN GEJALA

Tanda dan gejala dari demam thypoid sebagai berikut (Nanda NIC- NOC.
2013) :

1. Gejala pada anak : Inkubasi anatara 5-40 hari dengan rata-rata 10-14 hari.

2. Demam meninggi sampai akhir minggu pertama

3. Demam turun pada minggu ke empat, kecuali demam tidak tertangani akan

menyebabkan shock, Stupor dan koma.

4. Ruam muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selam 2-3 hari

5. Nyeri kepala

6. Nyeri perut

7. Kembung

8. Mual muntah

9. Diare

10. Konstipasi

11. Pusing

12. Nyeri otot

13. Batuk

14. Epistaksis

15. Bradikardi

16. Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepid an ujung merah serta tremor)

17. Hepatomegali
18. Splenomegali

19. Meteroismus

20. Gangguan mental berupa samnolen

21. Delirium atau psikosis

22. Dapat timbul dengan gejala yang tidak tipikal terutama pada bayi muda

sebagai penyakit demam akut dengan diseryai syok dan hipotermia.

E.KOMPLIKASI

Komplikasi intestinal : perdarahan usus, perporasi usus dan ilius paralitik.

Komplikasi extra intestinal

1) Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis),

miokarditis, trombosis, tromboplebitis.

2) Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia dan syndroma

uremia hemolitik.

3) Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.

4) Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, dan

kolesistitis.

5) Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan

perinepritis.

6) Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan

arthritis.
7) Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meninggiusmus, meningitis,

polineuritis perifer, sindroma guillain bare dan sindroma katatonia.

(Lestari Titik, 2016).

F..PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Menurut widodo 2007 Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid

adalah pemeriksaan laboratorium, yang terdiri dari :

1. Pemeriksaan leukosit

Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia


dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai.
Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun
tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah
leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.

2. Pemeriksaan Sgot Dan Sgpt Sgot Dan Sgpt pada demam typhoid seringkali
meningkat tetapi dapat kembali normal setelah sembuhnya typhoid.

3. Biakan darah

Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan
darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini
dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :

a. Teknik pemeriksaan Laboratorium

Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal
ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu
pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat
bakteremia berlangsung.

b. Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit

Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama
dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah
dapat positif kembali.

c. Vaksinasi di masa lampau

Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibody


dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bacteremia sehingga biakan darah
negatif.

4. Pengobatan dengan obat anti mikroba

Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin
negatif.

5. Uji Widal

Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibody (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan
typhoid juga terdapat pada orang yang pernah

G.PENATALAKSANAAN

Prinsip penatalaksanaan demam tifoid masih menganut trilogy penatalaksanaan


yang meliputi : istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (baik simptomatik
maupun suportif), serta pemberian antimikroba. Selain itu diperlukan pula tatalaksana
komplikasi demam tifoid yang meliputi komplikasi intestinal maupun
ekstraintestinal.

1. Istirahat dan Perawatan

Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Tirah


baring dengan perawatan dilakukan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum,
mandi, dan BAB/BAK. Posisi pasien diawasi untuk mencegah dukubitus dan
pnemonia orthostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.

2. Diet dan Terapi Penunjang

Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat.

a. Memberikan diet bebas yang rendah serat pada penderita tanpa gejala meteorismus,
dan diet bubur saring pada penderita dengan meteorismus. Hal ini dilakukan untuk
menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna dan perforasi usus. Gizi penderita
juga diperhatikan agar meningkatkan keadaan umum dan mempercepat proses
penyembuhan.

b. Cairan yang adequat untuk mencegah dehidrasi akibat muntah dan diar.

c. Primperan (metoclopramide) diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah


dengan dosis 3 x 5 ml setiap sebelum makan dan dapat dihentikan kapan saja
penderita sudah tidak mengalami mual lagi.

3. Pemberian Antimikroba

Obat – obat antimikroba yang sering digunakan dalam melakukan tatalaksana tifoid
adalah: Pada demam typhoid, obat pilihan yang digunakan adalah chloramphenicol
dengan dosis 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara oral maupun intravena,
diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas.

Chloramphenicol bekerja dengan mengikat unit ribosom dari kuman salmonella,


menghambat pertumbuhannya dengan menghambat sintesis protein.
Chloramphenicol memiliki spectrum gram negative dan positif. Efek samping
penggunaan klorampenikol adalah terjadi agranulositosis. Sementara kerugian
penggunaan klorampenikol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%),
penggunaan jangka panjang (14 hari), dan seringkali menyebabkan timbulnya karier.

Tiamfenikol, dosis dan efektifitasnya pada demam tofoid sama dengan kloramfenikol
yaitu 4 x 500 mg, dan demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.
Komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol. Ampisillin dan Amoksisilin, kemampuan untuk
menurunkan demam lebih rendah dibandingkan kloramfenikol, dengan dosis 50-150

mg/kgBB selama 2 minggu. Trimetroprim-sulfamethoxazole, (TMP-SMZ) dapat


digunakan secara oral atau intravena pada dewasa pada dosis 160 mg TMP ditambah

800 mg SMZ dua kali tiap hari pada dewasa. Sefalosforin Generasi Ketiga, yaitu
ceftriaxon dengan dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama ½ jam
perinfus sekali sehari, diberikan selama 3-5 hari. Golongan Flurokuinolon
(Norfloksasin, siprofloksasin). Secara relatif obat – obatan golongan ini tidak
mahal, dapat ditoleransi dengan baik, dan lebih efektif dibandingkan obat – obatan
lini pertama sebelumnya (klorampenicol, ampicilin, amoksisilin dan
trimethoprimsulfamethoxazole). Fluroquinolon memiliki kemampuan untuk
menembus jaringan yang baik, sehingga mampu membunuh S. Thypi yang berada

dalam stadium statis dalam monosit/makrophag dan dapat mencapai level obat yang
lebih tinggi dalam gallblader dibanding dengan obat yang lain. Obat golongan ini
mampu memberikan respon terapeutik yang cepat, seperti menurunkan keluhan panas
dan gejala lain dalam 3 sampai 5 hari. Penggunaan obat golongan fluriquinolon juga
dapat menurunkan kemungkinan kejadian karier pasca pengobatan.

Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan pada keadaan tertentu seperti toksik
tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik. Pada wanita hamil, kloramfenikol
tidak dianjurkan pada trimester ke-3 karena menyebaban partus prematur, kematian
fetus intrauterin, dan grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan
pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik. Obat yang dianjurkan
adalah ampisilin, amoksisilin, dan ceftriaxon. (Yudhistira.W.2009)

II.KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

PENGKAJIAN

a. Pengumpulan data

1) Identitas klien

Meliputi nama,, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku/bangsa, agama,


status perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, nomor register dan diagnosa medik.

2) Keluhan utama

Keluhan utama demam tifoid adalah panas atau demam yang tidak

turun-turun, nyeri perut, pusing kepala, mual, muntah, anoreksia, diare

serta penurunan kesadaran.

3) Riwayat penyakit sekarang

Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella typhi ke

dalam tubuh.

4) Riwayat penyakit dahulu

Apakah sebelumnya pernah sakit demam tifoid.


5) Riwayat penyakit keluarga

Apakah keluarga pernah menderita hipertensi, diabetes melitus.

6) Pola-pola fungsi kesehatan

a. Pola nutrisi dan metabolisme

Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena mual dan muntah saat makan
sehingga makan hanya sedikit bahkan tidak makan sama sekali.

b. Pola eliminasi

Eliminasi alvi. Klien dapat mengalami konstipasi oleh karena tirah baring lama.
Sedangkan eliminasi urine tidak mengalami gangguan, hanya warna urine menjadi
kuning kecoklatan. Klien dengan demam tifoid terjadi peningkatan suhu tubuh yang
berakibat keringat banyak keluar dan merasa haus, sehingga dapat meningkatkan
kebutuhan cairan tubuh.

c. Pola aktivitas dan latihan

Aktivitas klien akan terganggu karena harus tirah baring total, agar tidak terjadi
komplikasi maka segala kebutuhan klien dibantu.

d. Pola tidur dan istirahat

Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan peningkatan suhu tubuh.

e. Pola persepsi dan konsep diri

Biasanya terjadi kecemasan pada orang tua terhadap keadaan penyakitanaknya.

f. Pola sensori dan kognitif

Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan penglihatan umumnya


tidak mengalami kelainan serta tidak terdapat suatu waham pad klien.

g. Pola hubungan dan peran


Hubungan dengan orang lain terganggu sehubungan klien di rawat di rumah sakit
dan klien harus bed rest total.

h. Pola penanggulangan stress Biasanya orang tua akan nampak cemas.

7) Pemeriksaan fisik

a. Keadaan umum

Didapatkan klien tampak lemah, suhu tubuh meningkat 38 – 410

C, muka kemerahan.

b. Tingkat kesadaranDapat terjadi penurunan kesadaran (apatis).

c. Sistem respirasi

Pernafasan rata-rata ada peningkatan, nafas cepat dan dalam dengan gambaran
seperti bronchitis.

d. Sistem kardiovaskuler

Terjadi penurunan tekanan darah, bradikardi relatif, hemoglobin rendah.

e. Sistem integumen

Kulit kering, turgor kullit menurun, muka tampak pucat, rambut agak kusam

f. Sistem gastrointestinal

Bibir kering pecah-pecah, mukosa mulut kering, lidah kotor (khas), mual, muntah,
anoreksia, dan konstipasi, nyeri perut, perut terasa tidak enak, peristaltik usus
meningkat.

g. Sistem muskuloskeletal

Klien lemah, terasa lelah tapi tidak didapatkan adanya kelainan.

h. Sistem abdomen
Saat palpasi didapatkan limpa dan hati membesar dengan konsistensi lunak serta
nyeri tekan pada abdomen. Pada perkusi didapatkan perut kembung serta pada
auskultasi peristaltik usus meningkat.

b. Diagnosa Keperawatan

1. Hipertermi berhubungan dengan komsumsi alkohol

2. Nyeri berhubungan dengan agen pencendera fisiologis

3. Risiko defisit nutrisi berhubungan dengan factor psikologis ( mis stress keenganan
untuk makan)

4 Nausea berhubungan dengan rasa makanan/minuman yang tidak enak


III.INTERVENSI KEPERAWATAN

1. HIPETERMI
2. Nyeri akut
3. Resiko defisit nutrisi
4. Nausea
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & suddarth 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 3. Volume 2.


Jakarta : EGC
Price, Sylvia. 2005. Patofisiologi. Konsep Klinis proses-proses Penyakit.
Edisi 6. Jakarta: EGC
Nanda. 2013. Diagnosi Keperawatan Nanda. Yogyakarta: Medika Salemba
Noer. 2002. Kapita Salemba Kedokteran. Jakarta: FKUI
Price, Sylvia. 2005. Patofisiologi. Konsep Klinis proses-proses Penyakit.
Edisi 6. Jakarta: EGC
Smelter, S.C., & Bare, B.G. (2006), Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
EGC
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia


Definisi dan Implementasi Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.

Anda mungkin juga menyukai