Anda di halaman 1dari 8

Fluorosis Pada Anak Akibat Kelebihan Fluor Dalam Pasta Gigi

Anak

Category/Subject: Student Papers / Dentistry / Pendidikan Dokter Gigi


Keyword: Fluorosis, Fluor, Pasta, Gigi, Anak.
Creator: Irma Merary Malau

Description (Indonesia):
Fluorosis gigi adalah kerusakan enamel secara kualitatif yang merupakan hasil ari
peningkatan konsentmsi fl uor di sekitar ameloblast selama pembentukan gigi ang dapat
menyebabkan perubahan warna pada gigi dan meningkatkan porositas enamel permukaan
sehingga enamel nampak opak. Fluorosis gigi pada anak telah tersebar secara endemik di 25
negara, bahkan dari data tahun 2002 dinyatakan bahwa 62 juta penduduk di India berpeluang
terkena fluorosis. Konsentrasi fluor dalam pasta gigi yang dianjurkan untuk anak adalah 250-
500 ppm, akan tetapi sebagian besar pasta gigi anak yang beredar di pasaran Indonesia
mengandung fluor dengan konsentrasi yang tidak aman untuk anak yaitu lebih dari 1000
ppm. Diduga hal inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya fluorosis gigi pada anak.
Ada beberapa faktor resiko dari pemakaian pasta gigi yang dapat menyebabkan terjadinya
fluorosis pada anak yaitu konsentrasi fluor yang tinggi, tambahan rasa yang ada dalam pasta
gigi anak, jumlah pasta gigi yang dioleskan di atas sikat gigi anak, frekuensi menyikat gigi
dan umur anak mulai menyikat gigi dengan pasta gigi berfluor. Untuk mengurangi terjadinya
resiko fluorosis pada anak maka sangat diharapkan pengawasan orang tua terhadap anak
sewaktu menyikat gigi dan kerja sarna dari pihak produsen pasta gigi anak.
Tag Archive | "skeletal fluorosis"

Tags: fluoride, skeletal fluorosis, teh, teh hitam


Teh hitam ternyata banyak mengandung fluoride
Posted on 17 July 2010 by dentisia
Teh hitam, minuman yang paling banyak dikonsumsi di dunia, ternyata mengandung konsentrasi fluoride yang lebih
tinggi dari yang diduga sebelumnya, yang dapat menimbulkan masalah bagi para pecandu teh, kata peneliti di  Medical
College Georgia.

Sebagian besar penelitian menunjukkan 1 liter teh hitam mengandung 1-5


miligram fluoride, namun menurut penelitian terbaru menunjukkan hasil 9 miligram per liter teh hitam. ”Tambahan
fluoride dari meminum 2-4 cangkir teh sehari tidak akan merugikan seseorang, tapi pecandu teh yang sangat berat
dapat terkena masalah,” kata Dr Gary Whitford, asisten profesor biologi mulut di Sekolah Kedokteran Gigi. Dia
mempresentasikan temuan ini di 2010 International Association of Dental Research Conference Barcelona, Spain.
Fluoride dikenal untuk membantu mencegah terjadinya lubang gigi, namun konsumsi jangka panjang dalam jumlah
berlebihan dapat menimbulkan gangguan pada tulang. Rata-rata asupan fluoride seseorang berada pada jumlah yang
sangat aman, 2 -3 miligram per hari, melalui air minum berfluoride, pasta gigi dan makanan.  Diperlukan dosis sekitar 20
miligram sehari selama 10 tahun atau lebih sampai timbul gangguan kesehatan tulang.
Whitford mengemukakan bahwa ketika ia mulai menganalisis data dari empat pasien dengan advanced skeletal
fluorosis (penyakit yang disebabkan oleh konsumsi fluoride yang berlebihan dan ditandai dengan kerusakan dan nyeri
pada sendi dan tulang), konsentrasi fluoride pada teh hitam awalnya tidak menjadi faktor yang diperhitungkan. Namun,
hasil analisis penelitian tersebut menunjukkan adanya hubungan antara empat pasien yaitu konsumsi teh mereka –
setiap pasien minum 1-2 galon teh setiap hari selama 10 hingga 30 tahun terakhir.
Informasi ini hendaknya tidak mengurungkan niat orang untuk meminum teh, karena minuman tersebut aman dan
bahkan memiliki manfaat kesehatan, kata Whitford. ”Intinya adalah untuk menikmati teh favorit Anda, tapi seperti hal
lain, janganlah minum secara berlebihan.”
Sumber:
Paual Hinely
Medical College of Georgia
Prevalensi dan keparahan fluorosis gigi diantara siswa-
siswa dari Joao Pessoa, PB, Brazil
 Monday, January 18, 2010   Posted by Masdin
Abstrak 

Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan prevalensi dan keparahan fluorosis gigi diantara siswa-
siswa berusia 12-15 tahun dari Joao Pessoa, PB, Brazil, sebelum memulai sebuah program fluoridasi air
minum secara buatan. Penggunaan pasta gigi berfluoride juga disurvei. Sampel yang terdiri dari 1.402
siswa dipilih secara acak. Akan tetapi, 31 siswa menolak berpartisipasi dan 257 bukan penduduk tetap di
Joao Pessoa, sehingga sampel akhir yang tersisa adalah 1.114 siswa. Pemeriksaan klinis dilakukan oleh
dua dokter-gigi terlatih (Kappa = 0,78) dibawah sinar matahari tidak langsung. Gigi depan atas dan bawah
dibersihkan dengan kasa dan dikeringkan, dan kemudian diperiksa dengan menggunakan indeks TF untuk
fluorosis. Kuisioner tentang penggunaan pasta gigi dan kebiasaan kesehatan mulut diberikan kepada
siswa. Hasilnya menunjukkan bahwa prevalensi fluorosis pada kategori usia ini (12-15 tahun) lebih tinggi
dari yang diduga (29,2%). Kebanyakan kasus fluorosis masuk dalam kategori TF = 1 (66,8%), dan kasus
yang paling parah adalah kategori TF = 4 (2,2%). Kebanyakan siswa melaporkan bahwa mereka telah
menggunakan pasta gigi berfluoride sejak masa kanak-kanak; 95% peserta lebih memilih merek pasta gigi
yang mengandung konsentrasi fluoride 1.500 ppm, dan 40% mengingat bahwa mereka biasanya menelan
pasta gigi selama sikat gigi, bahkan ada yang melakukan kebiasaan ini sampai sekarang. Disimpulkan
bahwa prevalensi fluorosis gigi diantara siswa di Joao Pessoa lebih tinggi dari yang diduga untuk sebuah
daerah dengan persediaan air minum yang belum difluoridasi. Akan tetapi, walaupun kebanyakan siswa
menggunakan pasta gigi berfluoride, dan hampir setengahnya menelan busa pasta saat menyikat gigi,
kebanyakan kasus memiliki sedikit relevansi estetik jika ditinjau dari sudut pandang profesional, sehingga
menunjukkan bahwa fluorosis bukan merupakan masalah kesehatan masyarakat di lokasi tersebut. 

Kata kunci: fluorosis gigi; fluoride; pasta gigi

Pendahuluan 
    
Penggunaan fluoride dalam produk-produk kesehatan gigi, khususnya pasta gigi, telah dianggap sebagai
salah satu alasan utama berkurangnya karies di beberapa negara dan daerah-daerah maju di Brazil. 
    
Akan tetapi, fluoride bisa menimbulkan efek toksik. Intoksikasi kronis dengan fluoride mempengaruhi
proses remineralisasi gigi, menghasilkan email-gigi yang tidak bermineralisasi sempurna
(hypomineralized). Kondisi ini disebut sebagai fluorosis gigi. Keparahan fluorosis email gigi tergantung
pada dosis dan durasi keterpaparan fluoride. 
    
Laporan-laporan yang ada tentang prevalensi fluorosis gigi di Brazil menunjukkan banyak perbedaan.
Disamping faktor-faktor risiko yang berbeda, juga perlu dipahami bahwa beberapa indeks epidemiologi
telah digunakan untuk mengukur fluorosis. Sejauh ini, fluorosis gigi merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat di beberapa kawasan Brazil akibat tingginya asupan fluoride dari air berfluoride
alami atau akibat hubungan antara asupan air berfluoride dan asupan produk berfluoride yang tidak
terkontrol, khususnya pasta gigi. Di Alagoas, sebuah propinsi di daerah timur laut Brazil, penelanan pasta
gigi berfluoride (konsentrasi 1.500 ppm) oleh anak-anak kecil mewakili 80% dari total asupan fluoride. Akan
tetapi, kebanyakan data di Brazil tentang keterpaparan fluoride berasal dari kota-kota dai kawasan selatan
dan tenggara negara tersebut, dimana masyarakat terpapar terhadap air berfluoride serta sumber fluoride
lainnya. Dengan demikian, pemeriksaan menyeluruh khusus terhadap pengaruh penelanan pasta gigi
berfluoride selama masa kanak-kanak jauh lebih sulit. 
    
Pada penelitian yang dilakukan sebelumnya, dengan jumlah sampel yang sedikit, ditemukan bahwa
prevalensi fluorosis gigi di Joao Pessoa cukup rendah (< 10%). Disamping itu, data empiris menunjukkan
sedikit kasus mikroabrasi klinis, sehingga menunjukkan rendahnya keparahan fluorosis. Adanya
Rancangan Undang-Undang yang dirumuskan pada tahun 2004 dan selanjutnya disahkan pada bulan Mei
2005 oleh dewan kesehatan setempat telah memungkinkan dilakukannya fluoridasi air di kawasan ini sejak
tahun 2006. Akan tetapi, sampai Juni 2007, Joao Pessoa masih belum memiliki sistem air masyarakat
yang berfluoride. Sehingga, sebuah studi epidemiologi tentang fluorosis gigi di Joao Pessoa sebelum
fluoridasi sistem air masyarakat cukup penting, utamanya karena data tentang prevalensi fluorosis gigi
akan bermanfaat pada studi-studi epidemiologi di masa mendatang, dan juga karena studi ini akan
bertanggung jawab untuk mengukur kontribusi asupan fluoride dari pasta gigi berfluoride dan dari air
berfuoride (dalam daerah perkotaan yang sama). Oleh karena itu, tujuan penelitian kali ini adalah untuk
menentukan fluorosis gigi diantara siswa-siswa berusia 12 sampai 15 tahun dari Joao Pessoa (PB),
sebuah kota dengan persediaan air minum yang belum difluoridasi, yang akan segera memulai sebuah
program fluoridasi air minum. Penggunaan pasta gigi berfluoride juga disurvei. 

Material dan Metode

Lokasi yang diteliti


    
Joao pessoa memiliki sekitar 600 ribu penduduk. Kota ini memiliki persediaan air yang telah difluoridasi
selama periode dua tahun pada pertengahan 1980an, tetapi sejak itu proyek fluoridasi tersebut dibatalkan.
Sekarang ini, konsentrasi fluoride dalam air di kawasan ini sangat rendah sebagaimana dinyatakan oleh
Alves (2001) yang memantau kadar fluoride selama 1 tahun dan menemukan bahwa kadarnya kurang dari
0,1 ppm. 

Sampel
    
Anak-anak yang berusia antara 12 sampai 15 tahun, yang bersekolah di daerah perkotaan kota ini, dipilih
secara acak dengan metode cluster random sampling dengan efek desain 0,2. Sebuah studi pendahuluan
dilakukan untuk memperkirakan fluorosis gigi di empat sekolah (n = 120), satu di masing-masing zona
kota. Prevalensi perkiraan yang diamati adalah 21%. Sehingga, berdasarkan jumlah sampel, bisa
diperkirakan bahwa prevalensi adalah sebesar 0,21, nilai z 1,96 dan presisi mutlak 0,04. Ukuran sampel
minimum yang ditentukan adalah 797 siswa. Akan tetapi, agar penduduk yang tidak menetap permanen
tidak masuk dalam sampel dan untuk mengimbangi jumlah siswa yang kemungkinan menolak untuk
berpartisipasi, maka jumlah sampel ditambah sebesar 30%. Sehingga, jumlah siswa yang harus dipilih
adalah sekurang-kurangnya 1.036 siswa. Kelompok-kelompok dipilih berdasarkan kepadatan populasi
kelompok usia target dalam sekolah-sekolah yang tersebar di empat kota utama. Sekolah-sekolah yang
tidak memiliki siswa berusia 12-15 tahun atau kurang dari 10 siswa yang termasuk dalam kategori usia ini
tidak dipilih. Sebanyak 27 sekolah yang mewakili 18 daerah kota tetangga dipilih dalam penelitian ini. Perlu
disebutkan bahwa dari 49 lokasi bertetangga di Joao Pessoa, 21 diantaranya memiliki sebagian besar
anak sekolah di bawah 12 tahun sehingga hampir semua sekolah dimasukkan dalam penelitian. 
    
Untuk memastikan bahwa pada siswa yang dijadikan sampel hanya mengakses air dari Joao Pessoa
selama masa hidupnya, kependudukan menetap dari para sampel diperiksa di sekolah dan kemudian
dicatat dalam arsip. Semua siswa terpilih diperiksa; akan tetapi, hanya penduduk menetap yang
dipertimbangkan untuk analisis data. Disamping itu, agar dapat dimasukkan dalam penelitian, setelah
dipilih, para siswa harus memenuhi kriteria berikut: erupsi gigi telah sempurna, tidak ada lesi pada gigi,
tidak ada bracket ortodontik. Sebanyak 1.402 siswa diperiksa. Akan tetapi, 31 siswa menolak untuk
mengambil bagian dalam penelitian dan 257 bukan penduduk permanen di Joao Pessoa, sehingga jumlah
sampel terakhir adalah 1.114 siswa.

Kuisioner
    
Para siswa menjawab sebuah kuisioner yang terdiri dari empat pertanyaan mengenai penggunaan pasta
gigi berfluoride (apakah siswa menggunakannya sejak masa kanak-kanak, dan merek yang dipilih) dan
tentang kebiasaan kesehatan mulut (frekuensi menyikat gigi, dan apakah mereka mengingat kebiasaan
menelan pasta gigi sejak masa kanak-kanak). 

Pemeriksaan klinis
    
Pemeriksaan gigi untuk mengetahui fluorisis dilakukan oleh dua mahasiswa kedokteran gigi yang telah
teruji. Pengujian kedua mahasiswa kedokteran gigi ini dilakukan dalam dua tahap. Pertama-tama, kedua
pemeriksa diberikan 60 foto kasus fluorosis (TF.0 – TF.7). Selanjutnya, masing-masing mahasiswa ini
secara terpisah menganalisis dan memberikan skor TF. Pada tahap kedua, kalibrasi dilakukan di sekolah-
sekolah bersama dengan 40 siswa yang memiliki tingkat keparahan fluorosis berbeda-beda (TF.0 – TF.4).
Dengan membandingkan skor dari kedua pemeriksa ini dengan standar baku,  indeks kappa antar-
pemeriksa dapat dihitung (indeks Kappa = 0,70). Sebelum pemeriksaan, gigi bersihkan dengan kain kasa
dan dikeringkan selama 30 detik dengan menggunakan kompresori udara listrik. Pemeriksaan dilakukan
dibawah sinar matahari tidak langsung selama waktu sekolah dan dengan menggunakan spatula-spatula
kayu. Keparahan fluorosis dinilai dengan menggunakan indeks TF untuk permukaan bukal dari masing-
masing gigi. Insisor atas dan bawah, kaninus dan pra-molar diperiksa. Derajat keparahan fluorosis secara
keseluruhan untuk masing-masing individu didasarkan pada nilai TF tertinggi yang ditemukan dalam
kavitas mulut individu. 

Studi statistik 
    
Data dimasukkan dalam tabel program SPSS (versi 10.0). Uji Chi-Square digunakan jika memungkinkan.
Sebelumnya, tingkat signifikansi ditentukan sebagai 5%. Sekitar 8% dari sampel diperiksa ulang untuk
mendapatkan indeks Kappa intra-pemeriksa. Nilai indeks Kappa intra-pemeriksa adalah 0,88 dan 0,80
masing-masing untuk pemeriksa pertama dan pemeriksa kedua. 

Pertimbangan etis
    
Sebelum memulai penelitian, proyek penelitian ini dievaluasi dan disetujui oleh Ethic in Research
Committee, Health Science Center, Federal University of Paraiba (CEP/CSS-UFPB, nomor protokol
113/03). Format izin didapatkan dari masing-masing siswa dan dari masing-masing kepala sekolah,
sehingga memenuhi peraturan hukum tentang penelitian pada objek manusia. 

Hasil 
    
Prevalensi fluorosis diantara siswa-siswa yang menetap permanen di Joao Pessoa adalah 29,2% (n =
325). Angka prevalensi ini cukup mirip pada kelompok-kelompok usia siswa yang lain, tanpa ada
perbedaan statistik (Tabel 1). 

Tabel 1. Prevalensi fluorisis berdasarkan usia siswa. Joao Pessoa, 2004-2005. 
    
Sebanyak 537 laki-laki dan 577 perempuan diperiksa, dan tidak ada hubungan antara prevalensi fluorosis
dan jender yang ditemukan (p > 0,05, df =1, x2 = 2,3). Terdapat sedikit penurunan jumlah siswa pada saat
usia meningkat. Sebanyak 21.483 gigi diperiksa. Gigi yang absen (tidak mengalami fluorosis) mencapai
hingga 797 gigi, atau sekitar 3,7% dari total gigi yang ada. Sebagian besar gigi yang absen adalah kaninus
(n = 207). Pramolar atas (n = 4.212) paling banyak mengalami fluorosis (21,1%; n=889), diikuti dengan
pramolar bawah (n=4.224), dimana 8,5% diantaranya terkena. Dari kaninus yang diperiksa (n=4.190),
sebanyak 4,0% (n=169) mengalami fluorosis, dan dari gigi insisor yang diperiksa (n=8.857), 2,3% (n=201)
terkena fluorosis. 
    
Derajat keparahan fluorosis yang paling banyak diamati adalah kategori TF = 1 (66,8%), dan derajat
keparahan tertinggi yang ditemukan dalam penelitian adalah TF = 4 (Tabel 2). 

-
Tabel 2. Distribusi skor-skor fluorosis diantara 325 siswa. Joao Pessao, 2004-2005. 

Diantara 257 siswa yang bukan penduduk tetap, prevalensi fluorosis gigi adalah 46%. Kebanyakan
diantara mereka (43%) memiliki nilai TF sebesar 1 sampai 3. 
    
Pada kebanyakan daerah kota yang dikunjungi, prevalensi yang kurang dari 25% diamati. Akan tetapi, 4
kota yang bertetangga (Tambau, Castelo Branco, Cruz das Armas, dan Varadouro) memiliki prevalensi
fluorosis di atas 36%. 
    
Kebanyakan siswa menginformasikan bahwa mereka menggunakan pasta gigi berfluoride sejak masa
kanak-kanak, yang mencakup merek-merek yang sudah tidak tersedia di pasaran saat penelitian
dilakukan; 95% lebih memilih merek dengan konsentrasi fluoride 1.500 ppm. Sebanyak 65 persen siswa
melaporkan bahwa mereka menyikat gigi 3 kali sehari. Sebanyak 366 siswa tidak mengingat apakah
mereka sering menelan pasta gigi selama masa kanak-kanak, tetapi 456 diantaranya ingat betul bahwa
mereka menelan pasta gigi, bahkan sampai sekarang, ketika menyikat gigi. 

Pembahasan
    
Prosedur evaluasi fluorosis gigi yang hanya dilakukan pada penduduk yang telah menetap lama sudah
direkomendasikan sebelumnya. Karena proses migrasi, banyak siswa yang tidak dimasukkan dalam
analisis data. Prevalensi fluorosis yang lebih tinggi pada siswa yang bukan penduduk tetap (46%) bisa
mempengaruhi prevalensi fluorosis gigi yang sesungguhnya jika prosedur yang hanya mempertimbangkan
penduduk tetap tidak dipakai. Ini khususnya penting karena ada tiga daerah fluorosis endemik di Paraiba
akibat adanya fluoride alami dalam air tanah. Prevalensi fluorosis gigi pada daerah-daerah ini bisa
mencapai lebih dari 70% diantara anak-anak dan fluorosis parah bisa ditemukan. Karena migrasi,
penelitian kali ini tentu tidak akan representatif jika kriteria kependudukan menetap tidak dipertimbangkan.  
    
Prevalensi fluorosis pada siswa-siswa dari Joao Pessoa lebih tinggi dari yang diduga (Tabel 1). Nilai
prevalensi yang diperkirakan sebelumnya lebih rendah, karena kota ini tidak memiliki persediaan air yang
berfluoride. Perbandingan hasil ini dengan penelitian lain tidak layak karena perbedaan sosial-budaya,
serta akibat indeks-indeks yang digunakan untuk mencatat keparahan fluorosis. Penelitian SB-Brazil yang
dilakukan sebelumnya menemukan 8,9% angka fluorosis di Joao Pessoa. Perkiraan ini harus dianggap
sebagai perkiraan yang terlalu rendah karena jumlah sampel dalam penelitian itu cukup rendah dan
digunakan indeks Dean, yang tidak menanyakan permukaan gigi yang bersih dan kering sebelum
pemeriksaan. Berbeda dengan indeks TF, indeks Dean tidak terkait dengan gambaran histologi email-gigi.
Oleh karena itu indeks TF merupakan indeks yang paling cocok untuk skenario fluorosis ringan, khususnya
di daerah-daerah yang kekurangan fluoridasi air. Begitu juga penelitian yang dilakukan di Salvador, sebuah
kota dengan persediaan air berfluoride yang mewakili angka fluorosis 29%, angka prevalensi fluorosis
yang dihasilkan juga harus dianggap sebagai perkiraan yang terlalu rendah karena menggunakan Indeks
Dean. 
    
Prevalensi fluorosis di atas 36% ditemukan pada empat lokasi di Joao Pessoa. Lokasi-lokasi yang
bertetangga ini dianggap sebagai lokasi pusat kota, dimana kondisi hidup lebih baik dibanding daerah
lainnya. Oleh karena itu diduga bahwa bahkan penduduk miskin yang tinggal di lokasi-lokasi ini mampu
mendapatkan fasilitas kesehatan mulut lebih mudah dibanding yang tinggal di lokasi-lokasi yang lebih
miskin. 
    
Informasi tentang penelanan fluoride di Joao Pessoa tidak tersedia. Akan tetapi, ada banyak alasan untuk
mempertimbangkan pasta gigi berfluoride sebagai sumber fluoride yang utama. Pertama, fluoridasi air
dihentikan 20 tahun yang lalu, sejak saat itu, kadar fluoride dalam persediaan air sangat rendah. Kedua,
sumber fluoride lainnya, seperti air mineral, tidak mungkin berkontribusi bagi kadar fluoride karena air
mineral setempat yang diperjualbelikan dalam kota memiliki kadar fluoride yang rendah. Ketiga, produk-
produk makanan yang kaya fluoride tidak bisa dideteksi sejauh ini, dan Albuquerque dkk. (2003)
melaporkan bahwa penggunaan pasta gigi berfluoride pada masa muda umum di Joao Pessoa. Disamping
itu, data kami mendukung bahwa kebiasaan ini bisa terus berlanjut sampai remaja untuk beberapa sampel
siswa. Terakhir, sebuah survei asupan fluoride menunjukkan bahwa 80% dari fluoride yang ditelan oleh
anak-anak di kota lain dari Paraiba berasal dari pasta gigi. Meskipun hanya ada dua laporan, namun
penelanan pasta gigi diantara anak-anak di daerah timur laut Brazil lebih tinggi dari yang dilaporkan dalam
penelitian di daerah Brazil lainnya. Sebuah penelitian tentang kebiasaan kultural diperlukan untuk isu ini.
Sebuah dokumen terbaru melaporkan bahwa, di Paraiba, beberapa orang menambahkan pasta gigi ke
dalam air dan produk minuma lainnya untuk menghasilkan sensasi seperti “air dingin”. Jika kebiasaan ini
umum dipraktekkan di kalangan anak-anak, maka risiko untuk fluorosis gigi bisa tinggi. 
    
Perbedaan antara prevalensi fluorosis pada daerah dengan air berfluoride dan yang tidak berfluoride
semakin berkurang. Beberapa penelitian baru-baru ini melaporkan prevalensi fluorosis yang lebih tinggi
pada daerah yang tidak memiliki fluoridasi air dibanding dengan daerah yang memiliki fluoridasi air, dimana
kondisi kesehatan mulut yang lebih baik lebih sering pada daerah yang persediaan airnya difluoridasi.
Dengan demikian, program fluoridasi di Joao Pessoa diperlukan karena kejadian karies masih tinggi
dikalangan remaja (DMFR = 3,5 diantara anak-anak usia 12 tahun) dan pada anak-anak kecil. Kebanyakan
kasus fluorosis yang diamati adalah kategori TF = 1. Karena indeks TF berkisar antara 0 sampai 9, maka
skor seperti ini mewakili garus-garus putih opak tipis pada email gigi, yang hanya bisa diamati secara jelas
apabila permukaan gigi bersih dan kering. Pada kondisi mulut reguler, dengan email gigi yang tertutup oleh
plak gigi dan saliva, kadar fluorosis gigi seperti ini tidak dianggap sebagai sebuah masalah estetik,
sehingga menunjukkan bahwa kebanyakan kasus yang diamati dalam penelitian ini tidak bisa dianggap
sebagai sebuah masalah kesehatan yang umum (Tabel 2). Oleh karena itu, sebuah program fluoridasi bisa
direkomendasikan secara aman. Peningkatan prevalensi fluorosis gigi akibat hubungan antara penelanan
pasta gigi dengan fluoridasi air bisa diharapkan. Disisi lain, penting untuk menyebutkan bahwa peningkatan
prevalensi fluorosis tidak berarti peningkatan keparahan fluorosis. Dengan hasil-hasil ini, sulit untuk
mengidentifikasi sumber-sumber fluoride yang terlibat, tetapi mungkin untuk mendukung pendapat bahwa
fluoridasi air tidak memiliki pengaruh terhadap prevalensi fluorosis gigi sesungguhnya yang diamati dalam
kelompok yang diteliti. 
Kesimpulan

1.Prevalensi fluorosis gigi diantara siswa-siswa dari Joao Pessoa lebih tinggi dibanding yang diduga untuk
sebuah lokasi dengan persediaan air yang tidak berfluoride. 
2.Kebanyakan siswa menggunakan pasta gigi berfluoride yang tinggi konsentrasi fluoridenya, dan hampir
setengah diantara mereka menelan busa pasta saat menyikat gigi. 
3.Kebanyakan kasus fluorosis memiliki relevansi estetik yang sedikit, sehingga menunjukkan bahwa
fluorosis gigi tidak bisa dianggap sebagai sebuah masalah kesehatan masyarakat. 
Judul Asli : Prevalence and severity of denta lfluorosis among students from Joao Pessoa, PB, Brazil

Penulis : Thiago Saads Carvalho, Helen Moura Kehrle, Fabio Correia Samapaio 
Alih Bahasa  : Masdin (http://linguist.co.nr)
Tahun : 2007 
Sumber : Brazilian Oral Researchy vol.21 no.3 2007 
Kata kunci: 

Anda mungkin juga menyukai