Anda di halaman 1dari 3

D.

Hukum-Hukum Syara dalam Sunah Nabi


Dari satu segi sunah adalah segala apa yang dikatakan Nabi, diperbuat Nabi,
atau yang diakui Nabi. Di sisi lain, umat dituntut untuk mengikuti semua sunah Nabi
itu. Di antara sunah itu ada yang tidak mesti diikuti oleh umat, bahkan ada yang
dilarang umat melakukannya. Dalam hal ini ulama mengelompokkan sunah itu
kepada dua kelompok, yaitu:

1. Sunah bukan tasyrî’ atau sunah yang tidak berdaya hukum, yaitu sunah yang
tidak harus diikuti dan oleh karenanya tidak mengikat. Sunah yang tidak berdaya
hukum itu ada tiga macam:

a. Ucapan dan perbuatan Nabi yang timbul dari hajat insani dalam kehidupan
keseharian Nabi dalam pergaulan, seperti: makan, tidur, kunjungan, sopan dalam
bertamu, cara berpakaian, dan ucapan serta perbuatan Nabi sebagai seorang
manusia biasa.

b. Ucapan dan perbuatan Nabi yang timbul dari pengalaman pribadi, kebiasaan
dalam pergaulan, seperti; urusan pertanian, kesehatan badan, cara berjual beli,
dan memelihara ternak.

c. Ucapan dan perbuatan Nabi yang timbul dari tindakan pribadi dalam keadaan dan
lingkungan tertentu, seperti penempatan pasukan, pengaturan barisan, dan
penentuan tempat dalam peperangan.

Semua yang dinukil dari Nabi dalam tiga bentuk tersebut tidak mempunyai
daya hukum mengikat yang mengandung tuntutan atau larangan. Umat dapat saja
mengikuti apa yang dilakukan Nabi itu karena ia adalah sunah, namun sifatnya tidak
mengikat.

2. Sunah tasyrî’ atau sunah yang berdaya hukum yang mengikat untuk diikuti.
Sunah dalam bentuk ini ada tiga macam:

a. Ucapan dan perbuatan yang muncul dari Nabi dalam bentuk penyampaian risalah
dan penjelasan terhadap Al-Qur’an; seperti menjelaskan apa- apa yang dalam Al-
Qur’an masih bersifat belum jelas, membatasi yang umum, memberi qayid yang
masih bersifat mutlak, menjelaskan bentuk ibadah, halal dan haram, akidah dan
akhlak. Ucapan dan perbuatan Nabi dalam kapasitasnya sebagai seorang Rasul
termasuk sunah berdaya hukum. Tasyrî’ dalam bentuk ini berlaku secara umum
sampai hari kiamat dan dalam pelaksanaannya tidak tergantung kepada sesuatu
selain pengetahuan akan adanya sunah itu.
b. Ucapan dan perbuatan yang timbul dari Nabi dalam kedudukannya sebagai imam
dan pemimpin umat islam, seperti mengirim pasukan untuk jihad, membagi harta
rampasan, menggunakan bait al-mâl, mengikat per janjian, dan tindakan lain
dalam sifatnya sebagai pemimpin. Sunah tasyrî’ dalam bentuk ini tidak berlaku
secara umum untuk semua orang dan dalam pelaksanaannya tergantung kepada
izin atau persetujuan imam atau pemimpin.

c. Ucapan dan perbuatan Nabi dalam kedudukannya sebagai hakim atau qadhi yang
menyelesaikan persengketaan di antara umat Islam. Daya hukum dalam bentuk
ini, tidak bersifat umum dan dapat dilakukan oleh perorangan dengan penunjukan
dari imam atau penguasa.

Sunah berdaya hukum sebagaimana disebutkan di atas secara garis besarnya


mengandung beberapa bidang sebagai berikut:

1) Akidah
Bidang akidah dibatasi oleh islam dalam hal perbedaan antara iman dan kafir,
yang berhubungan dengan Allah dan sifat-sifat-Nya, para rasul, wahyu, dan hari
kiamat. Sunah tidak dapat menetapkan dasar akidah karena akidah itu menim
bulkan kepercayaan, sedangkan kepercayaan itu berarti keyakinan yang pasti.
Tidak ada yang mungkin menghasilkan keyakinan yang pasti itu kecuali yang
pastipula. Sunah yang pasti atau qhat‘i ialah sunah yang baik dari segi lafaz atau
wurudnya maupun dari segi dilalah-nya adalah qath’i atau pasti. Sunah yang
pasti hanyalah sunah menurut persyaratan mutawâtir yang jumlahnya sangat
terbatas.

2) Akhlak
Dalam sunah atau hadis banyak disampaikan Nabi hikmah-hikmah, adab
sopan santun dalam pergaulan, nasihat-nasihat, baik secara langsung maupun
dalam bentuk pujian terhadap keadilan, kebenaran, menepati janji atau celaan
terhadap perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan umat. Sunah tersebut
menuntut munculnya manusia sempurna yang juga dikehendaki oleh rasa dan
pandangan yang wajar. Semua yang muncul dari sunah dalam bentuk akhlak ini
pada umumnya mempunyai dasar dan rujukan dalam Al-Qur’an. Sunah yang
datang kemudian hanya bersifat memperjelas atau merincinya.

3) Hukum-hukum Amaliyah
Hal ini berhubungan dengan penetapan bentuk-bentuk ibadah, pengaturan
muamalat antarmanusia; memisahkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban; dan
menyelesaikan persengketaan di antara umat secara adil. Hukum-hukum yang
diperoleh dari sunah dalam bentuk inilah, yang disebut fiqih sunah; sedangkan
hadisnya sendiri disebut hadîs Ahkâm. Hadis-hadis dalam bentuk inilah yang
dijadikan sumber hukum oleh para ahli fiqih sesudah Al-Qur’an. Dari situlah
mereka meng-istinbath- kan hukum dan mencari penjelasan tentang petunjuk-
petunjuk Al-Qur’an yang menyangkut hukum.

Anda mungkin juga menyukai