Biomat Drg. Pung
Biomat Drg. Pung
DISUSUN OLEH :
Kelompok 1 Ganjil
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
menganugerahkan rahmat dan ridha-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Sifat Fisik dan Kimia Bahan Kedokteran Gigi” guna memenuhi tugas mata kuliah
Biomaterial I.
Terima kasih kami ucapkan kepada teman-teman dan semua pihak yang telah
membantu dalam pengerjaan makalah ini, sehingga makalah ini dapat terselesaikan
sebagaimana mestinya.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini jauh dari kesempurnaan yang
hanya dimiliki oleh Tuhan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan makalah ini untuk kedepannya.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan masalah yaitu
Apa saja sifat fisik dan kimia yang ada pada pada bahan kedokteran gigi, khusunya pada resin
komposit dan semen ionomer kaca? Apakah terdapat perbedaan sifat fisik dan kimia antara
resin komposit dan semen ionomer kaca?
I.3. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui apa saja sifat fisik dan kimia yang ada
pada pada bahan kedokteran gigi, khusunya pada resin komposit dan semen ionomer kaca,
serta perbedaan sifat fisik dan kimia pada kedua material tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
Resin komposit dan semen ionomer kaca harus memiliki sifat mekanis dan kimia agar
bahan-bahan tersebut kompatibel di gunakan dalam rongga mulut. Sifat fisik yang terdapat
dalam bahan tersebut yaitu:
1. Warna dan Persepsi warna
Perubahan warna pada tumpatan akan mengurangi estetik dan berpengaruh pada
kegagalan klinis (van Noort,2007). Bahan-bahan non-metal seperti resin komposit dan semen
ionomer kaca mempunyai tendensi untuk mengalami perubahan warna dan sifat hidrofil dari
bahn tersebut (Craig dan Power,1997). Perubahan warna terjadi selama pemakain dalam
rongga mulut dibagi menjadi 2 yaitu faktor ekstrinsik dan intrinsik. Faktor ekstrinsik dapat
meliputi absorpsi zat warna yang di dapat dari sumber kontaminan (Guler,2005). Faktor
intrinsik meliputi faktor usia pemakaian bahan material dari kondisi fisik maupun kimia,
misalnya suhu ( Assuncao,2009).
A. Resin Komposit
Perubahan warna pada Resin Komposit
Perubahan warna resin komposit terjadi karena faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik
dapat disebabkan oleh bahan resin komposit itu sendiri yaitu: jenis filler, perubahan resin
matrik, kurang kuatnya penyinaran menyebabkan perubahan dari resin matrik itu sendiri dan
perubahan antar muka (interface) antara matrik dan filler, monomer sisa yang tidak
terpolimerisasi pada waktu polimerisasi. Stabilitas warna resin matrik juga rendah, karena
sifat resin yang dapat mengabsorpsi cairan.
Perubahan warna bahan restorasi resin komposit merupakan faktor ekstrinsik yang
dipengaruhi oleh cairan atau zat pembawa warna di sekitar lingkungan restorasi resin
komposit tersebut berada, misalnya: kopi, teh, wine, minuman ringan, nikotin, obat kumur
serta dipengaruhi oleh pellicle dan plak atau oral hygiene yang rendah. (Dewi, 2012)
Resin komposit resisten terhadap perubahan warna yang disebabkan oleh oksidasi
tetapi sensitive pada penodaan. Stabilitas warna resin komposit dipengaruhi oleh pencelupan
berbagai noda seperti kopi, teh, jus anggur, arak dan minyak wijen. Perubahan warna bisa
juga terjadi dengan oksidasi dan akibat dari penggantian air dalam polimer matriks. Untuk
mencocokan dengan warna gigi, komposit kedokteran gigi harus memiliki warna visual
(shading) dan translusensi yang dapat menyerupai struktur gigi. Translusensi atau opasitas
dibuat untuk menyesuaikan dengan warna email dan dentin (annusavice, 2003)
2. Kekasaran
A. Kekasaran permukaan pada Resin Komposit
Kekasaran yang terjadi pada resin komposit disebabkan oleh adanya absorbsi atau
adsorbs dari suatu kontaminan sehingga menyebabkan terputusnya ikatan matriks filler pada
resin sehingga prosess setting berlangsung tidak sempurna dan menyebabkan kekuatan fisik
berkurang. Kekuatan fisik yang berkurang akan menyebabkan bahan tumpatan rentan
terhadap kontaminan seperti asam sehingga dapat menyebabkan kekasaran permukaan.
Kekasaran permukaan juga dapat disebabkan oleh proses polishing dan finishing yang tidak
sempurna, masih banyak terdapat permukaan yang tidak rata dapat menyebabkan bakteri plak
mudah menempel (Reis dkk, 2003).
B. Kekasaran Permukaan pada Semen Ionomer
Semen ionomer kaca memiliki sifat fisik yang kurang baik seperti kekuatan tekannya
yang kurang baik selain itu semen ionomer kaca tidak tahan asam. Kontaminasi asam yang
berlebih maka partikel dari semen ionomer kaca yaitu flouroaluminosilikatkaca. Karena
terlepasnya partikel tersebut maka semen ionomer kaca mudah terjadi erosi. Erosi yang terus
menerus akan mengakibatkan permukaan tumpatan menjadi kasar dan mudah dilekati oleh
bakteri ( De Witte, 2003).
3. Polymerisasi shrinkage
A. Polymerisasi Shrinkage pada semen ionomer kaca
Pada resin komposit, shrinkage atau penyusutan terjadi pada proses polimerisasi, yaitu
saat monomer diubah dari agregat molekul yang bergerak bebas menjadi ikatan silang rantai
polimer yang rigid (Anusavice, 2003). Fenomena penyusutan tidak dapat dihindari saat resin
komposit mengeras dan mempengaruhi kompatibilitas jaringan secara tidak langsung
(Roberson dkk., 2002). Sebagai polimer, setiap unit mer komposit terikat oleh ikatan kovalen
dengan jarak 8pectr potensial minimum sekitar 20% lebih rendah 8pectrum88 saat berwujud
monomer tak bereaksi. Hal ini menghasilkan kontraksi volume selama polimerisasi.
Penyusutan ini menghasilkan tekanan berlebih pada resin ketika resin telah mencapai titik
menyerupai gel dan mulai mengeras. Tekanan ini cenderung terjadi pada permukaan antara
jaringan dan resin komposit, sehingga mampu melemahkan ikatan antara keduanya dan
menghasilkan celah pada batas restorasi (Anusavice, 2003). Contoh klinis dari penyusutan
polimerisasi misalnya pada restorasi kavitas kelas V dengan resin komposit, penyusutan
dapat menyebabkan adanya celah antara tepi restorasi dengan dinding preparasi, sehingga
menimbulkan terjadinya staining pada batas restorasi dan karies sekunder (Roberson dkk.,
2002; Schmalz dan Arenholt-Bindslev, 2009).
Resin komposit dengan basis atau matriks berupa Methyl methacrylate (MMA)
mengalami kontraksi volume yang cukup besar saat mengeras, maka dari itu dikembangkan
matriks dari monomer dimethacrylate seperti bisphenol A glycidyl methacrylate (bis-GMA),
triethylene glycol dimethacrylate (TEGDMA), dan urethane dimethacrylate (UDMA) yang
memiliki berat molekul lebih tinggi dari mampu menurunkan besar penyusutan polimerisasi
pada resin komposit. Penggunaan dimethacrylate juga meningkatkan rigiditas dan kekuatan
dari resin komposit (Anusavice, 2003).
Sebuah sistem monomer baru juga telah dikembangkan untuk menurunkan volume
penyusutan dan 9pectr internal pada polimerisasi resin komposit. Sistem ini dinamakan
Silorane, yang berasal dari Siloxane dan Oxirane (Epoxy). Resin komposit berbasis silorane
memiliki besar penyusutan polimerisasi 0,8% volume, sedangkan resin dengan basis
methacrylate memiliki besar penyusutan 1,5-4% volume. Penambahan bahan pengisi (filler)
pada komponen resin komposit juga mampu menurunkan penyusutan polimerisasi
(Anusavice, 2003; Powers dan Sakaguchi, 2012; Schmalz dan Arenholt-Bindslev, 2009).
6. Kekerasan
Kekerasan dapat didefinisikan sebagai ketahanan terhadap indentasi (lekukan).
Kekerasan juga dapat digunakan untuk memperkirakan ketahanan aus suatu bahan dan
kemampuan untuk mengabrasi struktur gigi antagonis. Kekerasan juga dihubungkan dengan
kekuatan dan kekakuan material (anusavice,2004)
A. Kekerasan pada resin komposit
Kekerasan resin komposit sinar dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya seperti
sifat fisik resin komposit seperti penyerapan air dan kelarutan. Penyerapan air yang
berlebihan dapat menyebabkan penurunan kekerasan resin komposit (Craig dan Powers,
2002). Kekerasan dipengaruhi pula oleh proses polimerisasi, termasuk jarak penyinaran,
tebal bahan, lama penyinaran, dan makanan atau minuman yang dikonsumsi oleh pasien.
Variasi lama penyinaran resin komposit berkisar antara 20 hingga 60 detik dengan ketebalan
2,0-2,5 mm agar sinar dapat menembus masuk sampai lapisan yang paling bawah. Ujung alat
sinar harus diletakkan sedekat mungkin dengan tumpatan tanpa
menyentuhnya(Anusavice,2003).
Selain sifat fisik yang dimiliki bahan tersebut pula sifat kimia yang terkandung dalam resin
kompist dan semen ionomer kaca yaitu:
1. Kelarutan / solubilitas dan degradasi
Solubilitas atau kelarutan adalah kemampuan suatu zat kimia tertentu, zat
terlarut (solute), untuk larut dalam suatu pelarut (solvent). Kelarutan dinyatakan
dalam jumlah maksimum zat terlarut yang larut dalam suatu pelarut pada
kesetimbangan. Secara kuantitatif, kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai suatu
konsentrasi zat terlarut di dalam larutan jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu.
Kelarutan dinyatakan dalam satuan 13pectrum1313 pelarut yang dapat melarutkan
satu gram zat. Suatu kelarutan juga dapat dinyatakan dalam satuan molalitas,
molaritas dan persen (Sampoerna, 2012). Degradasi atau disintegrasi merupakan
proses pemecahan atau penghancuran bahan menjadi partikel-partikel yang lebih kecil
sehingga dapat meningkatkan kelarutan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan, yaitu:
1. Temperatur
Kenaikan suhu akan mengakibatkan material mudah larut dalam zat pelarut.
Semakin tinggi suhu maka kelarutan semakin besar. Hal ini terjadi karena
partikel-partikel suatu zat pada suhu yang lebih tinggi akan bergerak lebih cepat
sehingga memungkinkan terjadinya tumbukan yang lebih sering dan efektif.
2. Pengaruh tekanan
Semakin besar tekanan yang diterima oleh material, semakin besar kelarutannya.
3. Volume bahan
Volume bahan mempengaruhi kelarutan. Volume semakin besar, maka
penyerapan oleh zat pelarut atau air semakin besar.
4. Ukuran zat terlarut
Semakin besar luas permukaan suatu zat, proses pelarutan akan semakin cepat.
Luas permukaan suatu zat mempengaruhi tumbukan tang akan terjadi antara
partikel-partikel zat terlarut dan partikel-partikel air atau zat pelarut. Semakin
besar luas permukaan berarti semakin banyak permukaan partikel yang saling
bertumbukan satu sama lain. Hal itu mengakibatkan proses pelarutan berlangsung
lebih cepat.
(Nurul, 2006)
5. Ph
Semakin bahan bersifat asam atau memiliki Ph rendah, maka akan mudah larut.
Daya larut semen dalam air rendah, tetapi jika terpajan asam-asam 13pectru
dengan Ph 4,5 atau kurang, daya larutnya meningkat sangat besar (Anusavice,
2004).
6. Macam bahan
Resin komposit memiliki kelarutan yang tinggi daripada alloy.
Pada study in vitro, ditemukan bahwa SIK lebih resisten terhadap erosi karena Ph
asam daripada semen polycarboxylate. Besar kelarutan semen polycarboxylate (3,989%)
yang mana lebih tinggi dari pada SIK (1,867%) pada Ph 7 setelah 28 hari, akan tetapi
kelarutan SIK dalam air lebih tinggi (Yanikoglu dan Duymus, 2006). Semen glass
ionomer memiliki solubility (kelarutan) lebih rendah dari semen silikat, yaitu
sebesar 0,4% sedangkan semen silikat 0,7%. Berdasarkan tes terhadap cavitas
mulut, semen glass ionomer memiliki resistensi tinggi terhadapdegradasi dibandingkan dengan
semen lainnya (Anonim, 2009)
SIK lebih resisten mengalami degradasi daripada zinc phospat dan semen
polycarboxylate. SIK bersifat hidrofilik sehingga yang dapat mengikat molekul air.
Pengikatan molekul air dapat menggganggu proses kimia dan mempengaruhi penurunan
kekerasan akibat dari penyerapan air sebagai fase awal degradasi (Toledano, 2002).
Salah satu sifat yang kurang diinginkan dari SIK adalah sensitivitas terhadap daya
serap kelembaban atau kehilangan kelembaban selama 24 pertama setelah pengaplikasian.
Kelarutan SIK pada waktu tersebut sangat tinggi, sehingga harus dilindungi atau ditutupi
dengan varnish. SIK rentan terhadap crack atau craze (keretakan), biasanya terjadi
keretakan dangkal pada permukaannya jika dikeringkan terlalu berlebihan selama 24 jam
pertama (Hatrick dkk., 2003).
2. Setting
Setting Semen Ionomer Kaca (SIK)
Semen ionomer kaca merupakan bahan restorasi yang berupa serbuk dan cairan. Rasio
serbuk/cairan yang direkomendasikan sekitar 3 gr :1gr(Mc Cabe, 2008). Serbuk pada SIK
mengandung sodium aluminosilikat, sedangkan cairan untuk semen ionomer kaca adalah
larutan asam poliakrilat dengan konsentrasi 40-50%. Liquid asamnya berada dalam bentuk
kopolimer dengan asam itakonik, maleik, atau trikarboksilik. Asam ini cenderung
meningkatkan reaktifitas dari liquid, mengurangi kekentalan dan mengurangi kecenderungan
untuk menjadi gel. Kandungan yang lain pada liquid adalah asam tartaric, asam ini
memperbaiki karakteristik manipulasi, memperpanjang working time, tetapi memperpendek
settingtime(Craig, 2008). Setting time semen ionomer kaca menurut ISO 9917 untuk
restorative semen antara 2-6 menit. Sedangkan untuk working time kurang lebih 2 menit pada
suhu 23 derajat celcius(Mc Cabe, 2008).
Bahan yang diaktifkan secara kimia dipasok dalam dua pasta, satu mengandung inisiator
benzoil peroksida dan lainnya mengandung amine tersier (N,N dimetil-p-toluidin). Bila kedua
pasta diaduk, amin beraksi dengan benzoil peroksida untuk membentuk radikal bebas dan
polimerisasi tambahan dimulai.Bahan-bahan ini digunakan unntuk restorasi dan pembuatan
inti yang pengerasannya tidak dengan sumber sinar(Neo, 2005).
Sistem yang pertama diaktifkan dengan sinar menggunakan sinar ultra violet untuk
merangsang radikal bebas. Dewasa ini, komposit yang diaktifkan dengan sinar ultra violet
telah diganti karna efek cahayanya dapat mengiritasi retina. Sehingga diganti dengan sinar
yang dapat dilihat dengan mata (sinar biru) yang secara nyata meningkatkan kemampuan
berpolimerisasi lebih tebal sampai 2 mm. Resin komposit yang mengeras dengan sinar
dipasok sebagai pasta tunggal. Radikal bebas pemulai reaksi, terdiri atas molekul foto-
inisiator dan 17pectrum17 amin, yang terdapat dalam pasta ini. Bila kedua komponen tidak
terpapar oleh sinar, komponen tersebut tidak bereaksi(Noerdin dkk., 2006).
Pemamparan terhadap sinar dengan panjang gelombang yang tepat yaitu 468 nm dapat
merangsang fotoinisiator dan interaksi dengan amin untuk membentuk radikal bebas yang
mengawali polimerisasi tambahan.Foto-inisiator yang umum digunakan adalah
camphoroquinone, yang memiliki penyerapan berkisar 400 dan 500 nm yang berada pada
region biru dari 17pectrum sinar tampak. Inisiator ini ada dalam pasta sebesar 0,2 % berat
atau kurang. Juga ada sejumlah aselelator amin yang cocok untuk berinteraksi dengan
camphoroqunone seperti dimetilaminoetil metakrilat 0,15 % berat, yang ada dalam
pasta(Garcia, 2009).
BAB III
Kesimpulan
a. Bahan semen ionomer kaca cocok untuk restorasi gigi anterior dan posterior. Tapi
lebih disarankan untuk restorasi gigi anterior karena lebih tahan terhadap perubahan
warna, mengeras lebih cepat, tidak mudah larut, lebih translusens dan estetiknya dapat
diterima.
b. Bahan resin komposit cocok untuk restorasi gigi anterior dan posterior. Tapi lebih
disarankan untuk restorasi gigi posterior karena stabilitas warna matriks resin lebih
rendah, lebih tahan asam, tahan terhadap abrasi terutama bagian oklusal.
Saran
Banyak kegagalan terjadi karena teknik pengerjaan yang buruk. Oleh karena itu, operator
(dokter gigi) harus dapat menghilangkan atau paling tidak memperkecil hal-hal yang dapat
menyebabkan kegagalan. Operator disarankan untuk:
1. Memilih bahan restorasi yang tepat untuk suatu kasus, dan bahan yang direkomendasikan
untuk restorasi tersebut.
2. Cara manipulasi bahan yang baik.
3. Teknik isolasi pada saat penumpatan dilakukan.
4. Preparasi yang cukup.
Apabila operator memperhatikan hal-hal tersebut di atas maka akan memperkecil faktor-
faktor kegagalan.
DAFTAR PUSTAKA
Albers HF. Tooth-colored restoratives : Principles and techniques. 9th ed. Hamilton : BC
Decker INC, 2002 : 111-56.
Anusavice, K.J., 2003, Phillips' Science of Dental Materials, 11th Edition, Elsevier, St. Louis.
Anusavice, K.J., 2004, Buku Ajar Ilmu Bahan Kedokteran Gigi, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta
Benhameurlain, M. dan Al Qahtani, M., 2010, Water Sorption and Desorption of Different
Types of Direc Tooth-Colored Restorative Materials, Pakistan Oral & Dental
Journal 30(2):476-480
Berger, S.B., Palialol, M., Cavalli, V., dan Giannini, M., 2009, Characterization of Water
Sorption, Solubility and Filler Particles of Light-Cured Composite Resins, Braz Dent
J 20(4):314-318
Craig, R.G., 2000, Dental Materials Properties and Manipulation, 7 th Edition, St Louis :
Mosby Elsevier
Garcia FCP, Almeida JCF, Osorio R, et al. Influence of drying time and temperature on bond
strength of contemporary adhesives to dentine. J Dent 2009; 37 : 315-20.
Khalil, W.M., 2005, Measurement of Water Sorption of Five Different Composite Resin
Materials, J Bagh College Dentistry 17(3):37-41
Neo JCL, Yap AUJ. Composite Resins. In: Mount GJ, Hume WR, eds. Preservation and
Restoration of Tooth Structure. Australia: Knowledge Books and Software, 2005 :
200-18.
Noerdin A, Novinka N, Nursasongko B, Sutrisno G. Pengaruh penggunaan beberapa bahan
bonding adhesif terhadap kebocoran tepi tumpatan resin komposit. Dentika Dent J
2006; 11 (suppl) : 256-60.
Nurul, K., 2006, Mengenal Kimia I SMP Kelas VII, Yudhistira, Jakarta, h. 42-44
Powers, J.M., dan Sakaguchi, R.L., 2012, Craig’s Restorative Dental Materials, 13th Edition,
Elsevier, Philadelphia.
Reis, Andre J; Giannini, Marcelo, dkk, Effects of various finishing systems on the surface
roughness and staining susceptibility of packable composite resins, Journal of Dental
Material, Volume 19, Issue 1, January 2003, Pages 12–18.
Roberson, T.M., Heymann, H.O., Swift Jr., E.J., 2002, Sturdevant's Art & Science of
Operative Dentistry, 4th Edition, Mosby, St. Louis.
Sampoerna, E.P., 2012. Kelarutan atau Solubilitas, diunduh pada tanggal 12 Maret
2013.http://ekoputerasampoerna.blogspot.com/2012/08/kelarutan-atau-
solubilitas.html
Schmalz, G., dan Arenholt-Bindslev, D., 2009, Biocompatibility of Dental Materials,
Springer, Berlin.
\
Shalan, L.A. dan Yasin, S.A.H., 2011, Water Sorption of Three Types of Composite Resins,
Malaysian Dental Journal 8(3):242-247
Toledano, M., Osorio, R., Osorio, E., Fuentes, C.P., dan Godoy, F.A., 2003, Sorption and
Solubility of Resin-Based Restorative Dental Materials, Journal of Dentistry 31:43-50
Versluis, A., Douglas, W. H., and Sakaguchi, R. L., 1996, Thermal expansion coefficient of
dental composites measured with strain gauges, Dental Materials, 12(5-6): 290-4
Xu HC, Liu WY, and Wang T., 1989, Measurement of thermal expansion coefficient of
human teeth, Aust Dent J., 34(6):530-5.