Anda di halaman 1dari 20

Makalah Biomaterial I

Sifat Fisik dan Kimia Bahan Kedokteran Gigi

DISUSUN OLEH :

Kelompok 1 Ganjil

Rizqie Indra Maulana 09/280303/KG/8393


Rizky Noorleta Putri 09/280327KG/8395
Vanny Kusuma Wardani 09/280599/KG/8411
Fransisca Debby RD 09/280733/KG/8421
Rifkifani SP 09/280974/KG/8439
Setyaningsih 09/280989/KG/8441
Puspita Laras Widjanarti 09/282014/KG/8459
Mahar Rosa Erwidawan 09/282393/KG/8491
Galih Puspitaningrum 09/282527/KG/8493
Ryan Christian P 09/282673/KG/8501
Dian Fitriana Hestiningsih 09/282926/KG/8517
Tresy charlotte Marito 09/288772/KG/8559
Nathania Pramudita 09/288820/KG/8561

Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Gadjah Mada
2013
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
menganugerahkan rahmat dan ridha-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Sifat Fisik dan Kimia Bahan Kedokteran Gigi” guna memenuhi tugas mata kuliah
Biomaterial I.
Terima kasih kami ucapkan kepada teman-teman dan semua pihak yang telah
membantu dalam pengerjaan makalah ini, sehingga makalah ini dapat terselesaikan
sebagaimana mestinya.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini jauh dari kesempurnaan yang
hanya dimiliki oleh Tuhan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan makalah ini untuk kedepannya.

Yogyakarta, 14 Maret 2013


BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Mempertahankan dan meningkatkan mutu kehidupan pasien merupakan tujuan
utama dalam perawatan kedokteran gigi yang dapat dicapai dengan mencegah
penyakit, menghilangkan rasa sakit, memperbaiki efisiensi pengunyahan,
meningkatkan pengucapan serta memperbaiki estetika. Tujuan ini memerlukan
penggantian atau pengubahan struktur gigi yang ada dengan menggunakan bahan
kedokteran gigi yang memiliki biokompatibilitas yang dapat berinteraksi dengan
kondisi lingkungan dalam mulut. Biokompatibilitas adalah kemampuan suatu material
untuk bekerja selaras dengan tubuh tanpa menimbulkan efek lain yang berbahaya.
Bahan kedokteran gigi harus harus memenuhi persyaratan yang dapat diterima
atau dapat hidup berdampingan dengan jaringan hidup yang ditempatinya. Kinerja
dari semua material kedokteran gigi, baik keramik, plastik, maupun logam, didasari
oleh struktur atomnya. Reaksi keseluruhan dari atom, baik secara fisik maupun kimia,
menentukan sifat bahan itu sendiri.
Sifat fisik didasarkan pada mekanika, akustik, optik, termodinamika,
kelistrikan, magnet, radiasi, dan struktur atom. Corak, nilai, kroma, serta translusensi
adalah sifat fisik yang berdasarkan pada dalil optik, yaitu ilmu yang berhubungan
dengan fenomena cahaya, visi, dan penglihatan. Konduktivitas termal dan koefisien
ekspansi termal adalah sifat fisik yang berdasarkan pada dalil termodinamika.
Kekerasan, kekasaran, polymerisasi shrinkage, dan water sorbtion juga merupakan
sifat fisik yang ada pada bahan kedokteran gigi. Sifat kimia merupakan sifat yang
dihasilkan dari perubahan kimia, antara lain korosif, pengerasan, dan kelarutan.
Resin komposit dan semen ionomer kaca merupakan bahan yang sering
digunakan pada kedokteran gigi. Keduanya memiliki sifat fisik dan kimia yang
diperlukan agar dapat merestorasi fungsi dari jaringan asli yang rusak atau hilang.
Makalah ini akan membahas beberapa sifat fisik dan kimia bahan kedokteran gigi,
khususnya pada resin komposit dan semen ionomer kaca.
I.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan masalah yaitu
Apa saja sifat fisik dan kimia yang ada pada pada bahan kedokteran gigi, khusunya pada resin
komposit dan semen ionomer kaca? Apakah terdapat perbedaan sifat fisik dan kimia antara
resin komposit dan semen ionomer kaca?

I.3. Tujuan

Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui apa saja sifat fisik dan kimia yang ada
pada pada bahan kedokteran gigi, khusunya pada resin komposit dan semen ionomer kaca,
serta perbedaan sifat fisik dan kimia pada kedua material tersebut.
BAB II

PEMBAHASAN

Penggunaan bahan restorasi estetik mengalami peningkatan yang pesat dalam


beberapa tahun terkhir sejalan dengan tuntutan pasien dalam hal estetik. Bahan tambal yang
berkembang yaitu resin komposit dan semen ionomer kaca karena memiliki beberapa
kelebihan dibandingkan dengan bahan lain. Bahan tumpatan yang sering digunakan pada gigi
anterior yang memerlukan estetis adalah resin komposit dan semen ionomer kaca
konvensional ( Summit dkk, 2006).
Resin komposit adalah hasil kombinasi dua atau lebih bahan dengan sifat kimia yang
berbeda sehingga didapatkan hasil akhir yang lebih baik (Craig dan Powers, 2002). Resin
komposit terdiri dari tiga komponen utama yaitu bahan matriks organik, bahan pengisi
anorganik, dan organosilan atau coupling agent. Komponen matriks resin yang banyak
digunakan adalah bis-GMA yang merupakan monomer dimetakrilat yang disintesis oleh
reaksi antara bisphenol-A dan glisidil metakrilat (van Noort, 2007).
Semen ionomer kaca yang biasa disebut sebagai semen polialkenoat adalah material
restorative yang terdiri dari serbuk dan cairan yang dicampur dan menghasilkan massa yang
plastis kemudian menjadi padat dan kaku (van Noort, 2007). Bubuk semen ionomer kaca
adalah kaca fluoroaluminosilikat yang larut dalam asam. Lanthanum, strontium,barium, atau
oksida seng ditambahkan untuk menimbulkan sifat radiopak. Sedangkan cairan untuk semen
ionomer kaca adalah larutan asam poliakrilat dengan konsentrasi 50%. Cairan ini cukup
kental dan cenderung menjadi gel dengan berjalannya waktu (Anusavice, 2003).

Resin komposit dan semen ionomer kaca harus memiliki sifat mekanis dan kimia agar
bahan-bahan tersebut kompatibel di gunakan dalam rongga mulut. Sifat fisik yang terdapat
dalam bahan tersebut yaitu:
1. Warna dan Persepsi warna
Perubahan warna pada tumpatan akan mengurangi estetik dan berpengaruh pada
kegagalan klinis (van Noort,2007). Bahan-bahan non-metal seperti resin komposit dan semen
ionomer kaca mempunyai tendensi untuk mengalami perubahan warna dan sifat hidrofil dari
bahn tersebut (Craig dan Power,1997). Perubahan warna terjadi selama pemakain dalam
rongga mulut dibagi menjadi 2 yaitu faktor ekstrinsik dan intrinsik. Faktor ekstrinsik dapat
meliputi absorpsi zat warna yang di dapat dari sumber kontaminan (Guler,2005). Faktor
intrinsik meliputi faktor usia pemakaian bahan material dari kondisi fisik maupun kimia,
misalnya suhu ( Assuncao,2009).

A. Resin Komposit
Perubahan warna pada Resin Komposit
Perubahan warna resin komposit terjadi karena faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik
dapat disebabkan oleh bahan resin komposit itu sendiri yaitu: jenis filler, perubahan resin
matrik, kurang kuatnya penyinaran menyebabkan perubahan dari resin matrik itu sendiri dan
perubahan antar muka (interface) antara matrik dan filler, monomer sisa yang tidak
terpolimerisasi pada waktu polimerisasi. Stabilitas warna resin matrik juga rendah, karena
sifat resin yang dapat mengabsorpsi cairan.
Perubahan warna bahan restorasi resin komposit merupakan faktor ekstrinsik yang
dipengaruhi oleh cairan atau zat pembawa warna di sekitar lingkungan restorasi resin
komposit tersebut berada, misalnya: kopi, teh, wine, minuman ringan, nikotin, obat kumur
serta dipengaruhi oleh pellicle dan plak atau oral hygiene yang rendah. (Dewi, 2012)
Resin komposit resisten terhadap perubahan warna yang disebabkan oleh oksidasi
tetapi sensitive pada penodaan. Stabilitas warna resin komposit dipengaruhi oleh pencelupan
berbagai noda seperti kopi, teh, jus anggur, arak dan minyak wijen. Perubahan warna bisa
juga terjadi dengan oksidasi dan akibat dari penggantian air dalam polimer matriks. Untuk
mencocokan dengan warna gigi, komposit kedokteran gigi harus memiliki warna visual
(shading) dan translusensi yang dapat menyerupai struktur gigi. Translusensi atau opasitas
dibuat untuk menyesuaikan dengan warna email dan dentin (annusavice, 2003)

B. Perubahan Warna pada Semen Ionomer Kaca


Perubahan warna pada semen ionomer kaca , warna dihasilkan oleh glass dan
berdasarkan pemilihan zat aditif dari pigmen warna seperti ferric oxide atau carbon black.
warna pada SIK bukanlan masalah besar, transluesensi dari sik tidak adekuat dalam bahan
awal. kurangnya transluesensi pada SIK menunjukan bahwa penampilan estetika sik selalu
dianggap lebih rendah dari resin komposit kebanyakan. Transluesensi dari SIK lebih
mendekati kecocokan dengan dentin dari pada email. Terjadinya gambaran warna gelap pada
SIK disebabkan oleh absorbsi dari air, secara klinis restorasi dapat menjadi lebih gelap ketika
berkontak dengan air (Van Noort, 1994)
menurut Wilson dan McLean (1998) kontaminasi saliva pada saat pengerasan akan
menyebabkan semen ionomer kaca menyerap air. Penyerapan air menyebabkan ikut
terserapnya zat-zat yang terlarut . Penyerapan air dapat menyebabkan perubahan warna
sehingga dapat memperburuk stabilitas warna bahan tumpatan. Sifat penyerapan air yang
tinggi akan menghasilkan perubahan warna. (Van Noort, 1994)
Hilangnya kalsium dan aluminium akibat kontaminasi air akan menyebabkan reaksi
pengerasan tidak sempurna. pada saat pengerasan awal, ikatan kalsium dan poliakrilat lebih
rentan terhadap air dari pada aluminiumdan poliakrilat. Sehingga hal ini menjadi alasan SIK
harus diberi bahan pelindung permukaan saat SIK baru mulai pengerasan (Wilson dan
McLean, 1988).

2. Kekasaran
A. Kekasaran permukaan pada Resin Komposit
Kekasaran yang terjadi pada resin komposit disebabkan oleh adanya absorbsi atau
adsorbs dari suatu kontaminan sehingga menyebabkan terputusnya ikatan matriks filler pada
resin sehingga prosess setting berlangsung tidak sempurna dan menyebabkan kekuatan fisik
berkurang. Kekuatan fisik yang berkurang akan menyebabkan bahan tumpatan rentan
terhadap kontaminan seperti asam sehingga dapat menyebabkan kekasaran permukaan.
Kekasaran permukaan juga dapat disebabkan oleh proses polishing dan finishing yang tidak
sempurna, masih banyak terdapat permukaan yang tidak rata dapat menyebabkan bakteri plak
mudah menempel (Reis dkk, 2003).
B. Kekasaran Permukaan pada Semen Ionomer
Semen ionomer kaca memiliki sifat fisik yang kurang baik seperti kekuatan tekannya
yang kurang baik selain itu semen ionomer kaca tidak tahan asam. Kontaminasi asam yang
berlebih maka partikel dari semen ionomer kaca yaitu flouroaluminosilikatkaca. Karena
terlepasnya partikel tersebut maka semen ionomer kaca mudah terjadi erosi. Erosi yang terus
menerus akan mengakibatkan permukaan tumpatan menjadi kasar dan mudah dilekati oleh
bakteri ( De Witte, 2003).

3. Polymerisasi shrinkage
A. Polymerisasi Shrinkage pada semen ionomer kaca
Pada resin komposit, shrinkage atau penyusutan terjadi pada proses polimerisasi, yaitu
saat monomer diubah dari agregat molekul yang bergerak bebas menjadi ikatan silang rantai
polimer yang rigid (Anusavice, 2003). Fenomena penyusutan tidak dapat dihindari saat resin
komposit mengeras dan mempengaruhi kompatibilitas jaringan secara tidak langsung
(Roberson dkk., 2002). Sebagai polimer, setiap unit mer komposit terikat oleh ikatan kovalen
dengan jarak 8pectr potensial minimum sekitar 20% lebih rendah 8pectrum88 saat berwujud
monomer tak bereaksi. Hal ini menghasilkan kontraksi volume selama polimerisasi.
Penyusutan ini menghasilkan tekanan berlebih pada resin ketika resin telah mencapai titik
menyerupai gel dan mulai mengeras. Tekanan ini cenderung terjadi pada permukaan antara
jaringan dan resin komposit, sehingga mampu melemahkan ikatan antara keduanya dan
menghasilkan celah pada batas restorasi (Anusavice, 2003). Contoh klinis dari penyusutan
polimerisasi misalnya pada restorasi kavitas kelas V dengan resin komposit, penyusutan
dapat menyebabkan adanya celah antara tepi restorasi dengan dinding preparasi, sehingga
menimbulkan terjadinya staining pada batas restorasi dan karies sekunder (Roberson dkk.,
2002; Schmalz dan Arenholt-Bindslev, 2009).
Resin komposit dengan basis atau matriks berupa Methyl methacrylate (MMA)
mengalami kontraksi volume yang cukup besar saat mengeras, maka dari itu dikembangkan
matriks dari monomer dimethacrylate seperti bisphenol A glycidyl methacrylate (bis-GMA),
triethylene glycol dimethacrylate (TEGDMA), dan urethane dimethacrylate (UDMA) yang
memiliki berat molekul lebih tinggi dari mampu menurunkan besar penyusutan polimerisasi
pada resin komposit. Penggunaan dimethacrylate juga meningkatkan rigiditas dan kekuatan
dari resin komposit (Anusavice, 2003).
Sebuah sistem monomer baru juga telah dikembangkan untuk menurunkan volume
penyusutan dan 9pectr internal pada polimerisasi resin komposit. Sistem ini dinamakan
Silorane, yang berasal dari Siloxane dan Oxirane (Epoxy). Resin komposit berbasis silorane
memiliki besar penyusutan polimerisasi 0,8% volume, sedangkan resin dengan basis
methacrylate memiliki besar penyusutan 1,5-4% volume. Penambahan bahan pengisi (filler)
pada komponen resin komposit juga mampu menurunkan penyusutan polimerisasi
(Anusavice, 2003; Powers dan Sakaguchi, 2012; Schmalz dan Arenholt-Bindslev, 2009).

B. Polymerisasi shringake pada Semen Ionomer Kaca


Pada semen ionomer kaca (SIK) konvensional, tidak ditemukan keterangan pasti
mengenai besar volume penyusutan selama polimerisasi. Menurut Strassler (2011), SIK
konvensional memiliki penyusutan yang kecil. Namun, pada ionomer kaca modifikasi resin
(IKMR) atau hybrid ionomer ditemukan bahwa besar penyusutan volume selama polimerisasi
lebih besar daripada SIK konvensional. Kandungan air dan asam karboksilat yang lebih
rendah juga menyebabkan terjadinya mikroleakage karena kemampuan semen membasahi
permukaan kavitas menurun (Anusavice, 2003)
4. Penyerapan air ( Water sorbtion)
Bahan tumpat, dalam pemakaiannya di rongga mulut tidak akan terlepas dari kontak
dengan saliva. Saat berkontak dengan saliva yang memiliki komponen terbesar berupa air,
bahan tumpat akan mengalami dua mekanisme, yaitu penyerapan air dan kelarutan bahan
(yang akan dibahas pada sifat kimia). Penyerapan air merupakan proses difusi air yang terjadi
pada matriks resin sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan masa dan perubahan
dimensi (Archegas, L.R. dkk., 2008; Agustino, P., dan Irnawati, D., 1997). Penyerapan air
diharapkan seminimal mungkin karena dapat menimbulkan kerugian. Kerugian penyerapan
air adalah terjadi perubahan dimensi, perubahan warna (stanning), dan merusak kontur tepi
sehingga menyebabkan gagalnya suatu restorasi. Di sisi lain, penyerapan air juga memiliki
efek menguntungkan, yaitu menyebabkan terjadinya ekspansi pada material sehingga dapat
mengimbangi pengerutan polimerisasi dan mencegah kebocoran mikro (Keyf,F. dkk., 2006;
Veranes, Y. dkk., 2006).

A. Penyerapan Air oleh Resin Komposit


Penyerapan air oleh resin komposit merupakan proses difusi terkendali oleh resin
komposit sewaktu direndam dalam air selama jangka waktu tertentu. Penyerapan air
mempengaruhi kekuatan, ketahanan abrasi, volume dan stabilitas warna. Konsekuensi dari
penyerapan air yang tinggi terkait dengan sifat mekanik yang turun dan berkurangnya
ketahanan restorasi komposit (Toledano dkk., 2003; Berger dkk., 2009). Penyerapan air
dipengaruhi oleh jumlah matriks resin, jenis matriks resin (hidrofobik atau hidrofilik),
kualitas ikatan antara matriks resin dengan bahan pengisi dan luas permukaan resin yang
berhubungan dengan air (Khalil, 2011; Shalan dan Yasin, 2011). Semakin besar luas
permukaan yang berkontak dengan air maka semakin besar jumlah air yang terserap (Khalil,
2011). Jenis dan jumlah filler komposit telah dianggap sebagai salah satu faktor yang
singnifikan mempengarui penyerapan air. Material dengan ukuran filler rendah dan matriks
resin tinggi memiliki penyerapan air yang besar (Shalan dan Yasin, 2011). Jumlah air yang
dapat diserap oleh resin komposit adalah 0,3-0,7% (Benhameurlain dan Al Qahtani, 2010).

B. Penyerapan Air oleh Semen Ionomer Kaca


Semen ionomer kaca rentan terhadap penyerapan air dan kelarutan bahan dalam air.
Penyerapan air pada semen ionomer kaca dapat menyebabkan berkurangnya kekuatan fisik
dan hilangnya translusensi material. Penyerapan air oleh semen ionomer kaca lebih tinggi
dibandingkan dengan resin komposit. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Benhameurlain dan Al Qahtani (2010), Semen Ionomer Kaca konvensional memiliki
penyerapan air yang tinggi yaitu 10,7 %. Dibandingkan dengan Resin-Modified Glass
Ionomer Cement yang memiliki penyerapan air sebesar 0,72 %, Semen Ionomer Kaca
menyerap air jauh lebih tinggi. Jika dikaitkan dengan stanning pada restorasi maka restorasi
menggunakan semen ionomer kaca lebih memungkinkan terjadinya stanning dibandingkan
dengan RMGIC dan resin komposit.

5. Koefisien Ekspansi Termal


Koefisien ekspansi termal. Sifat ekspansi termal sangat penting untuk bahan
tumpatan. Ketika pasien meminum minuman yang dingin antara bahan tumpatan dan gigi
akan berkontraksi, besar kontraksi bergantung pada besar koefisien ekspansi termal masing-
masing. Jika besar koefisien ekspansi termal dari material bahan tumpatan secara signifikan
lebih besar dari gigi maka celah kecil akan terbentuk dan memungkinkan cairan yang
mengandung bakteri dapat masuk (McCabe, 2008). Koefisien ekspansi termal gigi di bagian
enamel adalah 16, 96 x 10 -6/οC (Xu dkk., 1989).
Koefisien ekspansi termal SIK : Bahan material semen silikat (Semen ionomer
kaca) menunjukkan respon yang baik pada ekspansi termalnya sehingga tidak terbentuk celah
berbeda dengan resin akrilik yang menunjukkan respon yang buruk (McCabe, 2008).
Kestabilan dimensi semen ionomer kaca sangat baik karena bahan ini mempunyai koefisien
termal sebesar 14 ppm/οC yang mendekati koefisien ekspansi termal struktur gigi. (Armilia,
2006)
Koefisien ekspansi termal resin komposit : dari hasil penelitian Versluis (1996)
yang menguji 7 jenis resin komposit didapatkan rata-rata 33, 48 x 10 -6/οC. masih dekat
dengan koefisien ekspansi termal gigi tetapi bila dibandingkan dengan SIK, resin komposit
memiliki koefisien ekspansi termal yang lebih berbeda dengan struktur gigi.

6. Kekerasan
Kekerasan dapat didefinisikan sebagai ketahanan terhadap indentasi (lekukan).
Kekerasan juga dapat digunakan untuk memperkirakan ketahanan aus suatu bahan dan
kemampuan untuk mengabrasi struktur gigi antagonis. Kekerasan juga dihubungkan dengan
kekuatan dan kekakuan material (anusavice,2004)
A. Kekerasan pada resin komposit
Kekerasan resin komposit sinar dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya seperti
sifat fisik resin komposit seperti penyerapan air dan kelarutan. Penyerapan air yang
berlebihan dapat menyebabkan penurunan kekerasan resin komposit (Craig dan Powers,
2002). Kekerasan dipengaruhi pula oleh proses polimerisasi, termasuk jarak penyinaran,
tebal bahan, lama penyinaran, dan makanan atau minuman yang dikonsumsi oleh pasien.
Variasi lama penyinaran resin komposit berkisar antara 20 hingga 60 detik dengan ketebalan
2,0-2,5 mm agar sinar dapat menembus masuk sampai lapisan yang paling bawah. Ujung alat
sinar harus diletakkan sedekat mungkin dengan tumpatan tanpa
menyentuhnya(Anusavice,2003).

B. Kekerasan pada Semen Ionomer Kaca


Kekerasan permukaan SIK antara lain dipengaruhi oleh reaksi pengerasan yang
diperpanjang, dehidrasi atau hidrasi dari SIK. Rusaknya sifat-sifat fisik semen setelah
penyimpanan jangka panjang dalam suatu lingkungan aqueos dapat berhubungan dengan
absorpsi dari material tersebut. Salah satu diantara sifat-sifat fisik semen tersebut adalah
kekerasan permukaan.

Selain sifat fisik yang dimiliki bahan tersebut pula sifat kimia yang terkandung dalam resin
kompist dan semen ionomer kaca yaitu:
1. Kelarutan / solubilitas dan degradasi
Solubilitas atau kelarutan adalah kemampuan suatu zat kimia tertentu, zat
terlarut (solute), untuk larut dalam suatu pelarut (solvent). Kelarutan dinyatakan
dalam jumlah maksimum zat terlarut yang larut dalam suatu pelarut pada
kesetimbangan. Secara kuantitatif, kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai suatu
konsentrasi zat terlarut di dalam larutan jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu.
Kelarutan dinyatakan dalam satuan 13pectrum1313 pelarut yang dapat melarutkan
satu gram zat. Suatu kelarutan juga dapat dinyatakan dalam satuan molalitas,
molaritas dan persen (Sampoerna, 2012). Degradasi atau disintegrasi merupakan
proses pemecahan atau penghancuran bahan menjadi partikel-partikel yang lebih kecil
sehingga dapat meningkatkan kelarutan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan, yaitu:
1. Temperatur
Kenaikan suhu akan mengakibatkan material mudah larut dalam zat pelarut.
Semakin tinggi suhu maka kelarutan semakin besar. Hal ini terjadi karena
partikel-partikel suatu zat pada suhu yang lebih tinggi akan bergerak lebih cepat
sehingga memungkinkan terjadinya tumbukan yang lebih sering dan efektif.

2. Pengaruh tekanan
Semakin besar tekanan yang diterima oleh material, semakin besar kelarutannya.
3. Volume bahan
Volume bahan mempengaruhi kelarutan. Volume semakin besar, maka
penyerapan oleh zat pelarut atau air semakin besar.
4. Ukuran zat terlarut
Semakin besar luas permukaan suatu zat, proses pelarutan akan semakin cepat.
Luas permukaan suatu zat mempengaruhi tumbukan tang akan terjadi antara
partikel-partikel zat terlarut dan partikel-partikel air atau zat pelarut. Semakin
besar luas permukaan berarti semakin banyak permukaan partikel yang saling
bertumbukan satu sama lain. Hal itu mengakibatkan proses pelarutan berlangsung
lebih cepat.
(Nurul, 2006)
5. Ph
Semakin bahan bersifat asam atau memiliki Ph rendah, maka akan mudah larut.
Daya larut semen dalam air rendah, tetapi jika terpajan asam-asam 13pectru
dengan Ph 4,5 atau kurang, daya larutnya meningkat sangat besar (Anusavice,
2004).
6. Macam bahan
Resin komposit memiliki kelarutan yang tinggi daripada alloy.

1. Kelarutan dan degradasi Resin Komposit


Menurut ADA Specification No.27, penyerapan air oleh material harus lebih kecil
atau sama dengan 40 mikrogram/mm3 dan kelarutannya harus lebih kecil atau sama
dengan 7,5 mikrogram/mm3 dengan lama perendaman dalam air selama 7 hari. Indikasi
kelarutan resin komposit menurut ISO 4049:1988 nilai maksimum 7,5 mikrogram/mm 3
dengan lama perendaman dalam air selama 7 hari, dengan maksud agar material tersebut
dapat digunakan untuk pengguanaan klinis. Kelarutan bahan meningkat pada hari-hari
pertama (khususnya dalam waktu 24 jam), sebab monomer yang tidak bereaksi adalah
komponen utama yang terlepas pada hari-hari awal (Razooki dan Khfaji, 2013)
Kelembaban dapat mengakibatkan degradasi kimia dan erosi resin komposit
karena hidrolisis atau hidrolisis enzim. Enzim pada saliva berpengaruh terhadap proses
degradasi kimia pada matrix resin. Sensitivitas degradasi pada resin komposit tergantung
pada perbedaan monomer matrix resin dan tingkat cross-linking. Selain itu tipe filler atau
bahan pengisi dan volume fraksi juga mempengaruhi kelarutan dan penyerapan air
(Ertengrena, dkk., 2001). Degradasi hidrolitik merupakan hasil pemecahan ikatan kimia
resin atau melalui aksi pelunakan oleh air. Ketika resin direndam dalam air, beberapa
komponen, seperti monomer yang tidak bereaksi atau filler melarutkan dan dilarutkan
keluar. Hal ini mengakibatkan kehilangan berat yang dapat diukur dengan sebagai
kelarutan.
Kelarutan dipengaruhi oleh Ph, Ertengrena, dkk., (2001) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa kelarutan material resin komposit meningkat pada Ph 4 dan 6.
Sensitivitas penyerapan dan kelarutan berdasarkan waktu dan Ph berhubungan dengan
sifat hidrofilik dari matrix dan komposisi kimia filler (bahan pengisi).

2. Kelarutan dan gedradasi SIK


Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan pada semen yaitu, immersion
time (waktu perendaman), konsentrasi zat terlarut pada disolusi medium, Ph medium,
bentuk dan ketebalan bahan dan rasio powder-liquid (Yanikoglu dan Duymus, 2007).

Penelitian menunjukkan SIK memiliki resistensi kelarutan daripada semen zinc


phosphate. Oilo (1991), menyatakan bahwa SIK memiliki kekuatan dan sifat 15pectrum15
yang tinggi dan solubilitas rendah. Tetapi pada umumnya semua semen ditekankan untuk
dihindarkan atau diisolasi dari keadaan lembab dan dari saliva, terutama beberapa jam
setelah sementasi.

Pada study in vitro, ditemukan bahwa SIK lebih resisten terhadap erosi karena Ph
asam daripada semen polycarboxylate. Besar kelarutan semen polycarboxylate (3,989%)
yang mana lebih tinggi dari pada SIK (1,867%) pada Ph 7 setelah 28 hari, akan tetapi
kelarutan SIK dalam air lebih tinggi (Yanikoglu dan Duymus, 2006). Semen glass
ionomer memiliki solubility (kelarutan) lebih rendah dari semen silikat, yaitu
sebesar 0,4% sedangkan semen silikat 0,7%. Berdasarkan tes terhadap cavitas
mulut, semen glass ionomer memiliki resistensi tinggi terhadapdegradasi dibandingkan dengan
semen lainnya (Anonim, 2009)
SIK lebih resisten mengalami degradasi daripada zinc phospat dan semen
polycarboxylate. SIK bersifat hidrofilik sehingga yang dapat mengikat molekul air.
Pengikatan molekul air dapat menggganggu proses kimia dan mempengaruhi penurunan
kekerasan akibat dari penyerapan air sebagai fase awal degradasi (Toledano, 2002).
Salah satu sifat yang kurang diinginkan dari SIK adalah sensitivitas terhadap daya
serap kelembaban atau kehilangan kelembaban selama 24 pertama setelah pengaplikasian.
Kelarutan SIK pada waktu tersebut sangat tinggi, sehingga harus dilindungi atau ditutupi
dengan varnish. SIK rentan terhadap crack atau craze (keretakan), biasanya terjadi
keretakan dangkal pada permukaannya jika dikeringkan terlalu berlebihan selama 24 jam
pertama (Hatrick dkk., 2003).

2. Setting
Setting Semen Ionomer Kaca (SIK)
Semen ionomer kaca merupakan bahan restorasi yang berupa serbuk dan cairan. Rasio
serbuk/cairan yang direkomendasikan sekitar 3 gr :1gr(Mc Cabe, 2008). Serbuk pada SIK
mengandung sodium aluminosilikat, sedangkan cairan untuk semen ionomer kaca adalah
larutan asam poliakrilat dengan konsentrasi 40-50%. Liquid asamnya berada dalam bentuk
kopolimer dengan asam itakonik, maleik, atau trikarboksilik. Asam ini cenderung
meningkatkan reaktifitas dari liquid, mengurangi kekentalan dan mengurangi kecenderungan
untuk menjadi gel. Kandungan yang lain pada liquid adalah asam tartaric, asam ini
memperbaiki karakteristik manipulasi, memperpanjang working time, tetapi memperpendek
settingtime(Craig, 2008). Setting time semen ionomer kaca menurut ISO 9917 untuk
restorative semen antara 2-6 menit. Sedangkan untuk working time kurang lebih 2 menit pada
suhu 23 derajat celcius(Mc Cabe, 2008).

Setting pada Resin Komposit


Ditinjau dari aspek klinis setting komposit ini terjadi selama 20-60 detik setelah
penyinaran. Pencampuran dan setting bahan dengan light cured dalam beberapa detik
setelah aplikasi sinar (Noerdin dkk., 2006). Apabila resin komposit telah mengeras tidak
dapat dicarving dengan instrument yang tajam tetapi dengan menggunakan abrasive
rotary(Albers, 2002).

Kepadatan yang terbentuk pada resin komposit melalui mekanisme polimerisesi.


Monomer 16pect metakrilat dan dimetil metakrilat berpolimerisasi dengan mekanisme
pilomerisai tambahan yang diawali oleh radikal bebas. Radikal bebas dapat berasal dari
aktivitas kimia atau pengaktifan 16pectr eksternal (panas atau sinar) karena komposit gigi
penggunaan langsung biasanya menggunakan aktivasi sinar atau kimia kedua sistem ini akan
dibahas(Irawan, 2005).
1. Resin komposit yang diaktifkan secara kimia

Bahan yang diaktifkan secara kimia dipasok dalam dua pasta, satu mengandung inisiator
benzoil peroksida dan lainnya mengandung amine tersier (N,N dimetil-p-toluidin). Bila kedua
pasta diaduk, amin beraksi dengan benzoil peroksida untuk membentuk radikal bebas dan
polimerisasi tambahan dimulai.Bahan-bahan ini digunakan unntuk restorasi dan pembuatan
inti yang pengerasannya tidak dengan sumber sinar(Neo, 2005).

2. Resin komposit yang diaktifkan dengan sinar

Sistem yang pertama diaktifkan dengan sinar menggunakan sinar ultra violet untuk
merangsang radikal bebas. Dewasa ini, komposit yang diaktifkan dengan sinar ultra violet
telah diganti karna efek cahayanya dapat mengiritasi retina. Sehingga diganti dengan sinar
yang dapat dilihat dengan mata (sinar biru) yang secara nyata meningkatkan kemampuan
berpolimerisasi lebih tebal sampai 2 mm. Resin komposit yang mengeras dengan sinar
dipasok sebagai pasta tunggal. Radikal bebas pemulai reaksi, terdiri atas molekul foto-
inisiator dan 17pectrum17 amin, yang terdapat dalam pasta ini. Bila kedua komponen tidak
terpapar oleh sinar, komponen tersebut tidak bereaksi(Noerdin dkk., 2006).

Pemamparan terhadap sinar dengan panjang gelombang yang tepat yaitu 468 nm dapat
merangsang fotoinisiator dan interaksi dengan amin untuk membentuk radikal bebas yang
mengawali polimerisasi tambahan.Foto-inisiator yang umum digunakan adalah
camphoroquinone, yang memiliki penyerapan berkisar 400 dan 500 nm yang berada pada
region biru dari 17pectrum sinar tampak. Inisiator ini ada dalam pasta sebesar 0,2 % berat
atau kurang. Juga ada sejumlah aselelator amin yang cocok untuk berinteraksi dengan
camphoroqunone seperti dimetilaminoetil metakrilat 0,15 % berat, yang ada dalam
pasta(Garcia, 2009).

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

a. Bahan semen ionomer kaca cocok untuk restorasi gigi anterior dan posterior. Tapi
lebih disarankan untuk restorasi gigi anterior karena lebih tahan terhadap perubahan
warna, mengeras lebih cepat, tidak mudah larut, lebih translusens dan estetiknya dapat
diterima.
b. Bahan resin komposit cocok untuk restorasi gigi anterior dan posterior. Tapi lebih
disarankan untuk restorasi gigi posterior karena stabilitas warna matriks resin lebih
rendah, lebih tahan asam, tahan terhadap abrasi terutama bagian oklusal.

Saran
Banyak kegagalan terjadi karena teknik pengerjaan yang buruk. Oleh karena itu, operator
(dokter gigi) harus dapat menghilangkan atau paling tidak memperkecil hal-hal yang dapat
menyebabkan kegagalan. Operator disarankan untuk:

1. Memilih bahan restorasi yang tepat untuk suatu kasus, dan bahan yang direkomendasikan
untuk restorasi tersebut.
2. Cara manipulasi bahan yang baik.
3. Teknik isolasi pada saat penumpatan dilakukan.
4. Preparasi yang cukup.
Apabila operator memperhatikan hal-hal tersebut di atas maka akan memperkecil faktor-
faktor kegagalan.

DAFTAR PUSTAKA

Albers HF. Tooth-colored restoratives : Principles and techniques. 9th ed. Hamilton : BC
Decker INC, 2002 : 111-56.

Anusavice, K.J., 2003, Phillips' Science of Dental Materials, 11th Edition, Elsevier, St. Louis.

Anusavice, K.J., 2004, Buku Ajar Ilmu Bahan Kedokteran Gigi, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta

Benhameurlain, M. dan Al Qahtani, M., 2010, Water Sorption and Desorption of Different
Types of Direc Tooth-Colored Restorative Materials, Pakistan Oral & Dental
Journal 30(2):476-480

Berger, S.B., Palialol, M., Cavalli, V., dan Giannini, M., 2009, Characterization of Water
Sorption, Solubility and Filler Particles of Light-Cured Composite Resins, Braz Dent
J 20(4):314-318

Craig, R.G., 2000, Dental Materials Properties and Manipulation, 7 th Edition, St Louis :
Mosby Elsevier
Garcia FCP, Almeida JCF, Osorio R, et al. Influence of drying time and temperature on bond
strength of contemporary adhesives to dentine. J Dent 2009; 37 : 315-20.
Khalil, W.M., 2005, Measurement of Water Sorption of Five Different Composite Resin
Materials, J Bagh College Dentistry 17(3):37-41

McCabe, Jhon F. 2008. Anderson’s Applied Dental Materials. Blackwell Scientific.


Blackwell. Melbourne.

Neo JCL, Yap AUJ. Composite Resins. In: Mount GJ, Hume WR, eds. Preservation and
Restoration of Tooth Structure. Australia: Knowledge Books and Software, 2005 :
200-18.
Noerdin A, Novinka N, Nursasongko B, Sutrisno G. Pengaruh penggunaan beberapa bahan
bonding adhesif terhadap kebocoran tepi tumpatan resin komposit. Dentika Dent J
2006; 11 (suppl) : 256-60.
Nurul, K., 2006, Mengenal Kimia I SMP Kelas VII, Yudhistira, Jakarta, h. 42-44
Powers, J.M., dan Sakaguchi, R.L., 2012, Craig’s Restorative Dental Materials, 13th Edition,
Elsevier, Philadelphia.

Reis, Andre J; Giannini, Marcelo, dkk, Effects of various finishing systems on the surface
roughness and staining susceptibility of packable composite resins, Journal of Dental
Material, Volume 19, Issue 1, January 2003, Pages 12–18.

Roberson, T.M., Heymann, H.O., Swift Jr., E.J., 2002, Sturdevant's Art & Science of
Operative Dentistry, 4th Edition, Mosby, St. Louis.

Sampoerna, E.P., 2012. Kelarutan atau Solubilitas, diunduh pada tanggal 12 Maret
2013.http://ekoputerasampoerna.blogspot.com/2012/08/kelarutan-atau-
solubilitas.html
Schmalz, G., dan Arenholt-Bindslev, D., 2009, Biocompatibility of Dental Materials,
Springer, Berlin.
\
Shalan, L.A. dan Yasin, S.A.H., 2011, Water Sorption of Three Types of Composite Resins,
Malaysian Dental Journal 8(3):242-247

Toledano, M., Osorio, R., Osorio, E., Fuentes, C.P., dan Godoy, F.A., 2003, Sorption and
Solubility of Resin-Based Restorative Dental Materials, Journal of Dentistry 31:43-50

Versluis, A., Douglas, W. H., and Sakaguchi, R. L., 1996, Thermal expansion coefficient of
dental composites measured with strain gauges, Dental Materials, 12(5-6): 290-4
Xu HC, Liu WY, and Wang T., 1989, Measurement of thermal expansion coefficient of
human teeth, Aust Dent J., 34(6):530-5.

Anda mungkin juga menyukai