Anda di halaman 1dari 83

UNIVERSITAS INDONESIA

PERMODELAN KOMPONEN EVAPORATOR DAN ABSORBER PADA


SISTEM SINGLE EFFECT ABSORPTION CHILLER MENGGUNAKAN
AMMONIA-WATER

SKRIPSI

Denny Rachmansyah

1706023630

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN

DEPOK

JULI 2021
i
Universitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA

PERMODELAN SISTEM EVAPORATOR PADA SINGLE EFFECT


ABSORPTION CHILLER MENGGUNAKAN AMMONIA-WATER

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Sarjana Teknik

DENNY RACHMANSYAH

1706023630

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN

DEPOK

JULI 2021

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS


ii
Universitas Indonesia
Skripsi ini adalah hasil karya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar. Selain itu, terdapat beberapa kata yang sama

pada penulisan dengan skripsi Naufal Rizki Fadhila Irawan memiliki kesamaan

dalam tema atau topik skripsi.

Nama : Denny Rachmansyah

NPM : 1706023630
Tanda Tangan :

Tanggal : 6 Juli 2021

iii
Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN

Makalah Skripsi dengan Judul:


Permodelan Sistem Evaporator pada Single – Effect Absorbtion Chiller Menggunakan
Solution Ammonia – Water

Oleh:
DENNY RACHMANSYAH
1706023630

Dibuat untuk melengkapi persyaratan menjadi Sarjana Teknik pada Program


Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Indonesia

Depok, 6 Juli 2021

Pembimbing

Prof. Dr. Ir. M. Idrus Alhamid

iv
Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh :


Nama : Denny Rachmansyah
NPM : 1706023630
Program Studi : Teknik Mesin
Judul Seminar : Permodelan Komponen Evaporator dan pada Single –
Effect Absorption Chiller Menggunakan Solution
Ammonia – Water

Telah berhasil dipertahankan Dewan Penguji dan diterima sebagai persyaratan


menjadi gelar Sarjana Teknik pada Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik,
Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Prof. Dr. Ir. M. Idrus Alhamid ( )

Penguji I : Dr. Eng. Arnas, S.T., M.T. ( )

Penguji II : Dr.-Ing. Ir. Nasruddin, M.Eng. ( )

Penguji III : Dr.Ir. Budihardjo. Dipl-Ing ( )

Ditetapkan di: Departemen Teknik Mesin, Universitas Indonesia, Depok


Tanggal : 6 Juli 2021

v
UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah, Puji Syukur Kehadirat Allah SWT, berkat Rahmat dan


hidayahNya penulis dapat menyelesaikan seminar skripsi dengan judul ” Permodelan
dan Desain Sistem Evaporator dan Absorber pada Single – Effect Absorbtion Chiller
Menggunakan Solution Ammonia – Water”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik di Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik
Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa selesainya laporan ini tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak, maka perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. M. Idrus Alhamid selaku pembimbing yang telah bersedia
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing, mengarahkan,
memberikan koreksi dalam penyusunan skripsi ini
2. Dr. Eng. Arnas, S.T, M.T. yang telah memberikan banyak masukan, arahan, serta
membantu berdiskusi perihal skripsi ini.
3. Kak I Gusti Agung Ayu Desy Wulandari yang telah membantu saya dalam
menghasilkan skripsi dengan panduannya dan pembelajarannya.
4. Keluarga yang telah mendukung dalam perjuangan saya dalam menghasilkan
skripsi ini.
5. Mahasiswa Departemen Teknik Mesin yang telah memberikan dukungan
sepenuhnya dalam penyusunan skripsi ini.
6. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan Skripsi ini,


oleh karena itu saran dan masukan dari semua pihak sangat penulis harapkan. Penulis
berharap semoga Tugas Akhir ini dapat memberikan manfaat
Depok,

Penulis

vi
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Denny Rachmansyah
NPM : 1706023630
Program Studi : Teknik Mesin
Departemen : Teknik Mesin
Fakultas : Teknik
Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas


Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya
ilmiah saya yang berjudul:
Permodelan dan Desain Sistem Evaporator dan Absorber pada Single – Effect Absorbtion
Chiller Menggunakan Solution Ammonia – Water beserta perangkat yang ada (jika
diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini, Universitas Indonesia bentuk
menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di: Depok


Pada Tanggal: 6 Juli 2021
yang menyatakan

(Denny Rachmansyah)

vii
Universitas Indonesia
viii
Universitas Indonesia
ABSTRAK

Nama : Denny Rachmansyah

Program Studi : Teknik Mesin


Judul : Permodelan Sistem Evaporator dan Absorber pada Single – Effect
Absorption Chiller Menggunakan Ammonia – Air.

Pembimbing : Prof. Dr. Ir. M. Idrus Alhamid.

Dengan meningkatnya kebutuhan untuk memperoleh sistem pendinginan ruangan yang


ramah lingkungan, dibutuhkan perkembangan teknologi yang dapat membantu dalam
merendahkan dampak emisi terhadap lingkungan. Sistem pendingin dengan tenaga surya
termasuk peluang yang sangat besar dalam mengatasi hal tersebut. Teknologi Absorption
Chiller dapat menggantikan kerja kompressor dalam sistem pendingin yang tersedia secara
komersil. Penggunaannya pada skala kecil dapat membantu menghasilkan kapasitas pendingin
5 kW dengan penelitian menggunakan simulasi sistem Single-Effect Ammonia Water
Absorption Chiller menggunakan metode termodinamika untuk menghasilkan COP dari
batasan masalah yang telah disesuaikan sebesar 0.334. Dengan tujuan untuk menghasilkan
model sistem absorption untuk menentukan jenis heat exchanger dan dimensinya. Kemudian
melakukan permodelan dynamic untuk mengetahui berapa banyak jumlah ammonia dan water
yang dibutuhkan dengan kapasitas pendingin tertentu.

Kata Kunci : Absorption chiller, Solar cooling, Air-cooled, Ammonia-water, Modelling.

ix
Universitas Indonesia
ABSTRACT

Name : Denny Rachmansyah


Study Program : Mechanical Engineering
Title : Modeling and Design of Evaporator and Absorber Systems for Single-
Effect Absorption Chiller Using Ammonia-Water Solution

Advisor : Prof. Dr. Ir. M. Idrus Alhamid

With the increasing need for environmentally-friendly indoor cooling systems, there is a need
for technological developments that can help reduce the impact of emissions on the
environment. Solar-powered cooling systems are a huge opportunity to overcome this. Chiller
Absorption Technology can replace the work of a compressor in a commercially available
cooling system. Its use on a small scale can help produce low cooling capacity by research
using a simulation of the Single-Effect Ammonia Water Absorption Chiller system using a
thermodynamic method to produce a COP with certain boundary of 0.334. With the aim of
producing an absorption system model to determine the type of heat exchanger and its
dimensions. Then do dynamic modeling to find out how much ammonia and water are needed
with a certain cooling capacity.

Keywords : Absorption chiller, Solar cooling, Air-cooled, Ammonia-water, Modelling.

x
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN................................................................................................................ iv

HALAMAN PENGESAHAN................................................................................................................. v

UCAPAN TERIMA KASIH.................................................................................................................. vi

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI........................................................ vii

ABSTRAK ............................................................................................................................................. ix

ABSTRACT............................................................................................................................................ x

Daftar Gambar ..................................................................................................................................... xiii

Daftar Tabel ......................................................................................................................................... xiv

NOMENCLATURE ............................................................................................................................ xvi

BAB I ...................................................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ....................................................................................................................... 1

1.2 Perumusan Masalah ................................................................................................................ 2

1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................................................... 2

1.4 Batasan Masalah ..................................................................................................................... 3

1.5 Sistematika Penulisan ............................................................................................................. 3

1.6 Studi Literatur ......................................................................................................................... 5

BAB II..................................................................................................................................................... 6

TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................................................... 6

2.1 Sistem Pendingin .................................................................................................................... 6

2.2 Solar – Assisted Air Conditioning System ........................................................................... 10

2.2.1 Absorption Chiller......................................................................................................... 10

2.2.2 Single – Stage Absorption Chiller ................................................................................ 12

2.2.3 Refrigeran pada Sistem Pendinginan Absorpsi ............................................................. 17

2.2.4 NH3 – H2O Absorption Chiller Pool Boiling ............................................................... 18

2.2.5 NH3 – H2O Absorption Chiller dengan Air-Cooled Heat Exchanger .......................... 18

xi
Universitas Indonesia
2.3 Modelling dalam aplikasi EES .............................................................................................. 19

2.3.1 Aplikasi Sistem dalam Model Matematika ................................................................... 19

BAB III ................................................................................................................................................. 22

METODE PENELITIAN ...................................................................................................................... 22

3.1 Diagram Alir Penelitian ........................................................................................................ 22

3.2 Perancangan Model Simulasi ................................................................................................ 23

3.3 Perhitungan Kapasitas Overall Heat Transfer (UA) pada Komponen Evaporator dan
Absorber............................................................................................................................................ 26

3.4 Model Simulasi ..................................................................................................................... 27

3.4.1 Desain Evaporator ................................................................................................................ 28

3.4.2 Desain Absorber................................................................................................................... 29

3.5 Validasi Model ...................................................................................................................... 30

BAB IV ................................................................................................................................................. 31

HASIL dan ANALISIS ......................................................................................................................... 31

4.1 Hasil dan Analisis Tunak ...................................................................................................... 31

4.2 Hasil dan Analisis dinamik ................................................................................................... 33

4.3 Perhitungan Desain Air-Cooled Heat Exchangers ................................................................ 34

4.4 Perhitungan Desain Heat Exchanger Pool Boiling ............................................................... 37

BAB V .................................................................................................................................................. 39

KESIMPULAN ..................................................................................................................................... 39

REFERENSI ......................................................................................................................................... 40

xii
Universitas Indonesia
Daftar Gambar

Gambar 2. 1 Alur Kerja Sistem Chiller secara general (Corrada et al., 2015) ........................................ 7

Gambar 2. 2 Sistem refrigerasi Absorpsi Sederhana (Miller, 2006; Moran, 1998) ................................ 7

Gambar 2. 3 Diagram p-h Siklus Kompresi Uap dan Absorpsi (Miller, 2006; Moran, 1998) ................ 9

Gambar 2. 4 Alur Diagram Sistem Pendingin Absorpsi ....................... Error! Bookmark not defined.

Gambar 2. 5 Variasi Temperatur latent dalam Condenser (Chávez-Islas & Heard, 2009) ................... 13

Gambar 2. 6 Skema dari Condenser...................................................................................................... 14

Gambar 2. 7 Skema dari Evaporator ..................................................................................................... 15

Gambar 2. 8 Skema dari Absorber ........................................................................................................ 16

Gambar 3. 1 Alur Pelaksanaan Eksperimen .......................................................................................... 22

Gambar 4. 1 Skematik Heat Exchanger Pool Boiling ........................................................................... 37

xiii
Universitas Indonesia
Daftar Tabel

Tabel 2. 1 Perbandingan efek Absorption Chiller................................................................................. 16


Tabel 2. 2 Persamaan Kesetimbangan Massa dan Energi dalam Sistem .............................................. 19
Tabel 2. 3 Properti Ammonia - Air dalam Aplikasi EES(Klein & Nellis, 2014).................................. 20
Tabel 2. 4 Model Input dan Output dari Sistem .................................................................................... 20

Tabel 3. 1 Parameter Input dalam Kondisi Setimbang ......................................................................... 25

Tabel 4. 1 Perbedaan Hasil tunak EES dan Matlab .............................................................................. 31


Tabel 4. 2 Daftar dimensi tube .............................................................................................................. 35
Tabel 4. 3 Input parameter awal Air - Cooled....................................................................................... 36
Tabel 4. 4 Hasil perhitungan Air – Cooled ........................................................................................... 36
Tabel 4. 5 Massa Total dari fin and tube............................................................................................... 37
Tabel 4. 6 Dimensi komponen Vessel .................................................................................................. 38
Tabel 4. 7 Dimensi Komponen tube ..................................................................................................... 38
Tabel 4. 8 Massa total komponen Absorber ......................................................................................... 38

xiv
Universitas Indonesia
DAFTAR GRAFIK

Grafik 4. 1 Duhring Diagram plot dari sistem...................................................................................... 32


Grafik 4. 2 Perbedaan temperatur terhadap kapasitas termal Evaporator ............................................. 33

xv
Universitas Indonesia
NOMENCLATURE

𝑘𝑔 𝑃 Tekanan[𝑘𝑃𝑎]
𝑚̇ Laju Aliran Massa [ ]
𝑠
𝑇 Temperatur[0 𝐶]
𝑄̇ Kapasitas Termal [kW]
𝑡 waktu [𝑠]
∆𝐿𝑀𝑇𝐷 Perbedaan Temperatur Rata
𝑘𝑊
– rata [K] 𝑈𝐴 Konduktivitas Termal[ ]
𝐾

𝐴 Area [𝑚2 ] 𝑉 Volume[𝑚3 ]


𝐶𝑂𝑃 Koefisiesien Performa dari 𝑋 Fraksi Massa[−]
sistem[−] 𝑎, 𝐴 Komponen Absorber
𝑘𝐽 𝑐, 𝐶 Komponen Kondenser
𝐶𝑝 Panas Spesifik komponen [ 𝐾]
𝑘𝑔
𝑒, 𝐸 Komponen Evaporator
𝑑 diameter komponen [𝑚2 ]
𝑔, 𝐺 Komponen Generator
𝐻 Entalpi pada komponen[𝑘𝐽]
𝑊 Daya[𝑘𝑊]
𝐿 Panjang komponen[𝑚]
𝐸𝐸𝑆 Aplikasi EES
𝑀 Massa komponen[𝑘𝑔]

xvi
Universitas Indonesia
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dengan meningkatnya konsumsi energi AC di gedung dan kebutuhan untuk


mengurangi emisi CO2 pada lingkungan, minat untuk menggunakan sumber energi
terbarukan muncul lebih kuat dari sebelumnya. Energi matahari, sering kali berkorelasi
dengan kebutuhan pendinginan sebuah gedung, suhu air panas yang memaksimalkan
efisiensi seketika secara keseluruhan dari fasilitas pendingin surya ditentukan. Model
persamaan karakteristik yang dimodifikasi digunakan dan diterapkan pada pendingin
serapan air-Amonia-efek tunggal merupakan salah satu sumber energi terbaik untuk
sistem pendingin udara (Grossman, 2002). Bagian utama dari sistem pendingin surya
menggunakan chiller penyerapan efek tunggal yang digerakkan secara termal, yang
tersedia di pasar dalam berbagai kapasitas dan dirancang untuk aplikasi yang berbeda.
Tetapi penerapan sistem yang tersedia pada pasar memiliki demand dengan kapasitasi
sebesar 50 kW dan dengan desain selain dari aplikasi tenaga surya (Henning, 2007).
Untuk aplikasi skala kecil, seperti rumah keluarga tunggal, hanya tersedia sedikit
pendingin di pasar. Oleh karena itu pengembangan sistem pendingin dan pendingin
udara berdaya rendah sangat dibutuhkan.
Ada dua pasangan kerja utama untuk pendingin absorpsi: air-lithium bromida dan
amonia-air. Pendingin air amonia sangat menarik karena biaya produksi dan
pemeliharaannya yang rendah (Wang et al., 2009). Selain itu, siklus termodinamika
tekanan tinggi cocok untuk panas internal dan optimalisasi perpindahan massa, untuk
menghasilkan desain akhir yang ringkas. Sistem penyerapan amonia-air berkapasitas
pendinginan 5 kW yang dijelaskan dalam makalah ini dirancang khusus untuk aplikasi
pendinginan matahari.
Untuk melepaskan Termal energi keluar dari sistem dibutuhkan sistem pendingin
yang ideal agar sistem kerja dengan sempurna, maka untuk aplikasi skala kecil hanya
diperlukan beban yang ringan maka tidak diperlukannya Cooling Tower. Cooling
Tower sendiri sangat berguna dalam melepaskan panas dari bangunan, menggunakan
aliran air ke suhu yang lebih rendah menggunakan sifat evaporasi natural untuk
melakukan ini. Menara pendingin besar biasanya digunakan di industri seperti

1
Universitas Indonesia
pembangkit listrik, kilang minyak bumi, dan berbagai fasilitas manufaktur. Ukurannya
bervariasi dari struktur hiperboloid besar hingga yang lebih kecil di atap pusat
perbelanjaan, rumah sakit, atau universitas. Pemeliharaan operasional rutin sangat
penting untuk mencapai hasil yang konsisten dari menara pendingin. Sebagian besar
pabrikan menyertakan petunjuk untuk perawatan yang baik serta program perawatan
yang dapat menyederhanakan waktu dan uang untuk pengeluaran operasional sistem.
Prosedur ini dapat mencegah hilangnya efisiensi pada bagian perpindahan panas
dengan menjaga aliran air dan aliran udara yang benar, serta mencegah korosi pada
menara pendingin. Maka untuk aplikasi skala kecil dalam perumahan cukup
menggunakan Air Cooled System menggunakan udara ambien dari luar untuk
membantu mendinginkan sistem (Ayou & Coronas, 2020).

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut untuk menghasilkan data penelitian yang akurat:
 Bagaimanakah cara mendapatkan sistem absorpsi ideal dalam aplikasi skala
rumahan (Small Scale Applications)
 Bagaimanakah cara agar menghasilkan sistem Evaporator dan Absorpsi yang
ideal dalam pengaplikasian skala kecil
 Bagaimanakah cara agar mendapatkan nilai efisiensi dan Coefficient of
Performace (COP) yang ideal dalam pengaplikasian pada sistem

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan desain dari sistem single
effect absorption chiller Ammonia-Water dengan kinerja optimum sehingga dapat
dijadikan acuan pada instalasi mau pun riset terkait absorption chiller khususnya di
Indonesia dan negara beriklim tropis lainnya dengan mengembangkan model
matematika komponen utama dalam sistem pendinginan solar.

Mensimulasikan efisiensi sistem refrigerasi menggunakan Absorption Chiller


Cycle dengan mengukur COP dari rasio Cooling Capacity dan daya yang dikeluarkan
untuk menjalankan sistem dengan perbandingan dari kapasitas pendinginan Evaporator

2
Universitas Indonesia
(Qe) dan energi yang disuplai untuk Generator (Qg). Mendapatkan hasil simulasi yang
valid terhadap komponen dari Evaporator dan Absorber. Menghasilkan estimasi berat
komponen utama dari Evaporator dan Absorber.

1.4 Batasan Masalah

Berikut merupakan Batasan Masalah pada penelitian ini meliputi:


1. Metode simulasi steady yang digunakan untuk simulasi dengan dan hanya
menggunakan aplikasi EES (Engineering Equation Solver) untuk menghasilkan
data validasi yang terkontrol.
2. Metode simulasi dynamic hanya dapat digunakan pada aplikasi Matlab, dengan
sebelumnya menghasilkan data steady dan melakukan validasi terhadap hasil
aplikasi EES.
3. Absorption chiller yang akan diteliti adalah sistem dengan efek tunggal (single-
effect) dengan cairan solution ammonia-water.
4. Rectifier dan Solution Heat Exchanger pada sistem tidak digunakan.
5. Refrigeran keluar dari evaporator dan condenser dalam fasa saturasi cairan.
6. Asumsi tekanan pada evaporator sama dengan tekanan pada absorber (low
pressure).
7. Heat exchanger yang digunakan bersifat adiabatis.

1.5 Sistematika Penulisan

Sebagai visualisasi dari penelitian tugas akhir ini, penulisan dibagi menjadi
beberapa bagian agar penyampaian penelitian lebih mudah dimengerti. Bagian – bagian
dalam penulisannya terbagi seperti berikut:

BAB 1 PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang, perumusan masalah, Batasan masalah,
serta sistematika penulisan dari penelitian yang dilakukan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menjelaskan tentang dasar dari aplikasi Absorption Chiller menggunakan
aplikasi solar termal, Sistem Refrigerasi, Kesetimbangan Energi, Kesetimbangan
Massa, dan Modelling menggunakan EES.
BAB III METODE PENELITIAN

3
Universitas Indonesia
Bab ini menjelaskan secara singkat metode yang diadaptasikan dan skenario dari
simulasi yang telah ditentukan.
BAB IV PEMBAHASAN
Bab ini menjelaskan secara padat dan detail mengenai model matematika dari
komponen Evaporator, Absorber, dan komponen pelengkap lainnya.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang dapat membantu dan mengarahkan
penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Pada bagian daftar pustaka ini akan dituliskan segala referensi yang digunakan
dalam melaksankan penelitian. Referensi yang digunakan pada penelitian ini dapat
berupa buku, jurnal, maupun referensi lainnya

4
Universitas Indonesia
1.6 Studi Literatur

Berikut daftar studi literatur yang digunakan dalam penelitian, yaitu:

5
Universitas Indonesia
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Pendingin

Sistem pendingin udara telah digunakan selama berdekade untuk meningkatkan


tingkat kenyamanan manusia pada lingkungan gedung publik (Herold, Radermacher,
& Klein, 2016), perkantoran dan sektor perumahan. Selain dari peningkatan
efisiensinya, sistem ini masih membutuhkan daya yang besar. Hal ini merupakan
ancaman besar untuk lingkungan, khususnya di mana sumber energi bersih belum
tersedia, dan menjadi tantangan bagi beberapa daerah yang kekurangan listrik atau
terlalu mahal. Sistem pendingin udara memberikan kontrol pendinginan, ventilasi dan
kelembaban untuk semua atau sebagian rumah atau bangunan, dengan menghilangkan
panas dan kelembaban melalui suatu proses disebut siklus pendinginan.
Terdapat beberapa macam tipe pendinginan tergantung dengan kebutuhan pasar.
Penerapan jenis sistem tertentu bergantung pada sejumlah faktor seperti ukuran area
yang akan dikondisikan dan beban panas total area tersebut. Dalam setiap sistem
pengkondisian udara, evaporator bekerja untuk menyediakan dehumidifikasi dalam
sistem pengkondisian udara melalui kondensasi kelembaban pada kumparan.
Evaporator sendiri beroperasi pada suhu di bawah titik embun (Dew Point) udara yang
akan dikondisikan.
Dalam sistem pendingin, berbagai desain sangat memungkinkan. Perbedaan
utamanya adalah bagaimana cara menghasilkan air dingin. Air dingin dapat diproduksi
dengan pendinginan mekanis atau dengan proses absorpsi. Namun, mereka semakin
menarik minat karena konsumsi energinya yang rendah, yang sesuai untuk aplikasi
berbasis sumber energi terbarukan.

Siklus Refrigerasi secara dasar adalah untuk mentransfer panas dari lingkungan
dingin (suhu rendah) ke lingkungan panas (suhu lebih tinggi), berlawanan dengan aliran
panas alami, menghasilkan pendinginan yang diperlukan. Fungsi chiller didasarkan
pada penggunaan transformasi siklus termodinamika (siklus kompresi uap) yang
menarik energi dari luar sistem.

6
Universitas Indonesia
Siklus ini didasarkan dengan perubahan fase uap-cair dapat terjadi dengan
penyerapan atau pelepasan panas pada temperatur yang berbeda-beda tergantung pada
tekanan sistem. Chiller menggunakan fluida refrigeran, yang mampu menyerap panas
dalam jumlah besar per satuan massa dalam fase transisi. Dalam unit pendingin yang
ideal, mesin menggunakan jumlah pekerjaan yang sama untuk mengekstraksi panas
dari tangki dingin dan mentransfernya ke tangki yang lebih hangat, menjalankan siklus
ke arah sebaliknya.

Gambar 2. 1 Alur Kerja Sistem Chiller secara general (Corrada et al., 2015)

Siklus Absorption Chiller yang ideal terdiri dari empat proses seperti yang
ditunjukkan pada Gambar berikut :

Gambar 2. 2 Sistem refrigerasi Absorpsi Sederhana (Miller, 2006; Moran, 1998)

7
Universitas Indonesia
Kerja siklus secara keseluruhan adalah sebagai berikut :

Proses 1-2/1-3 : Larutan encer campuran zat penyerap dengan refrijeran


(konsentrasi zat penyerap rendah) masuk ke generator pada tekanan tinggi. Di generator
panas dari sumber bersuhu tinggi ditambahkan untuk menguapkan dan memisahkan
refrijeran dari zat penyerap, sehingga terdapat uap refrijeran dan larutan pekat zat
penyerap. Larutan pekat campuran zat penyerap mengalir ke absorber dan uap refrijeran
mengalir ke kondensor.

Proses 2-7 : Larutan pekat campuran zat penyerap dengan refrijeran (konsentrasi
zat penyerap tinggi) kembali ke absorber melalui katup cekik. Penggunaan katup cekik
bertujuan untuk mempertahankan perbedaan tekanan antara generator dan absorber.

Proses 3-4 : Di kondensor, uap refrijeran bertekanan dan bersuhu tinggi


diembunkan, panas dilepas ke lingkungan dengan menggunakan kipas angin, dan
terjadi perubahan fase refrijeran dari uap ke cair. Dari kondensor dihasilkan refrijeran
cair bertekanan tinggi dan bersuhu rendah.

Proses 4-5 : Tekanan tinggi refrijeran cair diturunkan dengan menggunakan katup
cekik (katup ekspansi) dan dihasilkan refrijeran cair bertekanan dan bersuhu rendah
yang selanjutnya dialirkan ke evaporator.

Proses 5-6 : Di evaporator, refrijeran cair mengambil panas dari lingkungan yang
akan didinginkan dan menguap sehingga terjadi uap refrijeran bertekanan rendah.

Proses 6-8/7-8 : Uap refrijeran dari evaporator diserap oleh larutan pekat zat
penyerap di absorber dan membentuk larutan encer zat penyerap. Jika proses
penyerapan tersebut terjadi secara adiabatik, terjadi peningkatan suhu campuran larutan
yang pada gilirannya akan menyebabkan proses penyerapan uap terhenti. Agar proses
penyerapan berlangsung terus-menerus, absorber didinginkan dengan air yang
mengambil dan melepaskan panas tersebut ke lingkungan.

Proses 8-1 : Pompa menerima larutan cair bertekanan rendah dari absorber,
meningkatkan tekanannya, dan mengalirkannya ke generator sehingga proses berulang
secara terus menerus.

8
Universitas Indonesia
Gambar 2. 3 Diagram p-h Siklus Kompresi Uap dan Absorpsi (Miller, 2006; Moran, 1998)

Pada siklus pertama,setelah refrijeran menguap dari evaporator di titik 1. Uap ini
akan masuk ke siklus kedua dan keluar ke titik 2 pada kondisi uap kering (super heat)
dan tekanan tinggi. Setelah di titik 2, uap refrijeran masuk masuk ke kondensor dan
melepas panas ke lingkungan. Proses pelepasan panas ini terjadi secara isobarik, dan
akhirnya refrijeran berubah menjadi cair di titik 3. Kemudian terjadi penurunan tekanan
secara adiabatik. Pada saat tekanan tekanan turun temperatur juga akan turun dan
sebagian cairan akan berubah menjadi uap di titik 4. Selanjutnya refrijeran akan
melakukan fungsi refrigerasi di evaporator dan akhirnya menguap, kembali ke titik 1,
dan siklus akan berulang (Wu et al., 2014).

Kinerja chiller dijelaskan oleh rasio manfaat yang diperoleh, efek pendinginan,
dibagi dengan input daya. Nilai ini selalu lebih besar dari 1,0 dan didefinisikan dalam
istilah pekerjaan sebagai COP.
Dengan menggunakan diagram P-h, efisiensi dalam COP dapat dihitung sebagai:
𝑄𝐿
𝜂 = 𝐶𝑂𝑃 = (2.1)
𝑊𝑖𝑛

Hukum kedua keadaan termodinamika untuk siklus Carnot pada Gambar 2.3
bahwa untuk operasi yang dapat dibalik produksi entropi bersih adalah nol sehingga

9
Universitas Indonesia
𝑄𝐿 𝑄𝐻
− =0 (2.2)
𝑇0 𝑇1

Maka perhitungan dapat disimpulkan untuk menghasilkan persamaan


menggunakan perbedaan tempertatur dengan mengeliminasi W.
𝑇1
𝜂= (2.3)
𝑇1 − 𝑇0

Persamaan di atas disebut sebagai faktor efisiensi Carnot untuk aplikasi


pendinginan atau refrigerasi, istilah COP digunakan selama mode pemanasan dan
istilah EER (Rasio Efisiensi Energi) digunakan selama teknik pendinginan.

2.2 Solar – Assisted Air Conditioning System

Dengan meningkatnya konsumsi energi AC di gedung dan sector perumahan,


kebutuhan untuk mengurangi emisi CO2 ke lingkungan, minat untuk menggunakan
sumber energi terbarukan untuk memasok AC di gedung meningkat. Energi matahari,
seringkali berkorelasi dengan kebutuhan pendinginan gedung. Studi dari berbagai
teknologi untuk aplikasi energi surya telah dilakukan dan telah ditemukan bahwa
menyambungkan panel termal surya dengan sistem penyerapan efek tunggal (Single –
Effect) adalah pilihan terbaik untuk sistem pendingin surya. Secara khusus, bagian
utama dari sistem pendingin surya menggunakan chiller penyerapan air-amonia dengan
efek tunggal yang digerakkan secara termal karena biaya dan pemeliharaannya yang
terbatas, atau dengan chiller penyerapan air lithium bromida.

2.2.1 Absorption Chiller


Sistem absorpsi mirip dengan sistem pengkondisian udara kompresi uap tetapi
berbeda dalam tahap tekanan udara. Mereka adalah perangkat yang dioperasikan
dengan panas yang menghasilkan air dingin tanpa menggunakan kompresor melalui
siklus penyerapan yang memungkinkan pengurangan yang signifikan dalam konsumsi
listrik. Sumber panas biasanya terdiri dari pembakaran bahan bakar gas, uap, gas buang
suhu tinggi atau air panas. Sangat sedikit daya listrik yang diperlukan untuk
mengoperasikan pompa, yang digunakan untuk mengedarkan larutan refrigeran dan
media transportasi di dalam chiller. Ini membuatnya juga cocok untuk lokasi terpencil
di mana listrik tidak tersedia.

10
Universitas Indonesia
Dalam pendingin absorpsi, cairan penyerap di sisi bertekanan rendah menyerap
refrigeran yang menguap. Kombinasi fluida yang paling umum termasuk litium
bromida – air (LiBr – H2O) di mana air adalah refrigeran dan litium bromida adalah
media transpor, dan sistem amonia – air (NH3 – H2O) di mana amonia berfungsi
sebagai refrigeran dan air sebagai media transportasi. Seperti pada kompresi uap,
dalam siklus refrigerasi absorpsi, penghilangan panas dicapai melalui penguapan
refrigeran pada tekanan rendah dan penolakan panas melalui kondensasi refrigeran
pada tekanan yang lebih tinggi. Tahapan bertekanan dalam siklus absorpsi dicapai
dengan melarutkan refrigeran pada absorben pada bagian absorber. Selanjutnya,
larutan dipompa ke tekanan tinggi dengan pompa cairan biasa. Penambahan panas pada
generator digunakan untuk memisahkan refrigeran dengan titik didih rendah dari
larutan. Dengan cara ini uap refrigeran dikompresi dengan sedikit energi mekanik.

Dengan memanfaatkan larutan air / amonia dengan amonia sebagai refrigeran dan
air sebagai penyerap, dimungkinkan untuk mencapai suhu serendah -30°C, jadi sistem
ini lebih cocok untuk siklus Pendingin lemari es pada skala industri. Siklus absorpsi
yang menggunakan air sebagai refrigeran dan litium bromida sebagai penyerap dapat
mencapai suhu antara 3°C dan 5°C yang membuat sistem berguna untuk aplikasi AC.
Menggunakan air sebagai refrigeran berarti ada batasan suhu minimum yang dapat
dicapai yaitu di atas 0°C.
Pendingin absorpsi dapat berupa Half-Effect, Single-Effect atau Double-Effect, di
mana satu atau dua generator uap digunakan. Pendingin efek ganda menggunakan dua
generator di mana generator kedua menggunakan panas yang dibuang oleh kondensor
generator pertama untuk meningkatkan jumlah refrigeran yang tersedia melalui siklus,
sehingga meningkatkan efek pendinginan dan efisiensi.

11
Universitas Indonesia
2.2.2 Single – Stage Absorption Chiller

HOT WATER

CONDENSER GENERATOR

REFRIGERANT

WEAK SOLUTION

STRONG SOLUTION

EXPANSION VALVE EXPANSION VALVE

COOLING AIR STRONG SOLUTION PUMP

EVAPORATOR
ABSORBER

CHILLED WATER

Gambar 2. 4 Skematik sistem Single Stage Absorption Chiller

Sistem ini mencakup beberapa penukar panas yang digunakan sebagai evaporator,
kondensor, generator penyerap larutan, penyearah, penukar panas refrigeran dan
penukar panas larutan. Dua perangkat ekspansi juga digunakan.

a. Generator
Generator terdiri dari penukar panas antara larutan dan sumber panas sistem.
Panas ditransfer ke generator untuk mendidihkan larutan dan mengubah
refrigeran menjadi uap. Uap amonia kemudian bergerak menuju penyearah.
Penguapan amonia dari larutan mengarah pada pembentukan larutan amonia air
yang lemah (konsentrasi amonia rendah), yang bergerak ke penyerap setelah
mengalir ke Heat Exchanger.

12
Universitas Indonesia
Gambar 2. 5 Skema dari Generator

b. Condenser
Kondensor adalah tempat uap jenuh mengembun menolak panas. Selama
proses kondensasi panas yang dibuang terdiri dari panas laten sehingga pada
heat exchanger ini profil suhu pada sisi larutan bersifat linier seperti yang
ditunjukkan pada Gambar.

Gambar 2. 6 Variasi Temperatur latent dalam Condenser (Chávez-Islas & Heard, 2009)

13
Universitas Indonesia
Gambar 2. 7 Skema dari Condenser

c. Katup Ekspansi
Katup ekspansi di sirkuit digunakan untuk membuat penurunan tekanan
dalam larutan, menghasilkan ekspansi adiabatik yang mengarah ke
pendinginan. Selama ekspansi larutan meningkatkan volume spesifiknya.

d. Evaporator
Evaporator adalah komponen tempat terjadinya pertukaran panas antara
udara dan refrigeran. Maka efek pendinginan dikirim ke evaporator. Karena
refrigeran bukan amonia murni tetapi larutan amonia dan air, terjadi gradien
suhu selama penguapan.
Larutan cair dibiarkan mengalir dari kondensor ke evaporator melalui katup
ekspansi. Pengurangan tekanan cairan dari tinggi (di kondensor) ke rendah (di
evaporator) mengurangi titik didih amonia. Jadi amonia cair menyerap panas
dari udara untuk menguap dan membentuk uap, yang masuk ke penukar panas.

14
Universitas Indonesia
Gambar 2. 8 Skema dari Evaporator

e. Absorber
Uap amonia dari heat exchanger mengalir ke dalam penyerap. Di sini, gas
amonia bersuhu rendah dibiarkan bercampur dengan larutan lemah larutan
amonia air. Campuran larutan lemah dan zat pendingin adalah cairan jenuh
dan konsentrasinya meningkat selama pendinginan dari saluran masuk ke
saluran keluar.

15
Universitas Indonesia
Gambar 2. 9 Skema dari Absorber

f. Pompa
Solusi kuat yang terbentuk di penyerap harus dikirim kembali ke generator.
Pompa diperlukan untuk mendorong larutan kuat dari absorber ke dalam
generator, sehingga mengurangi tekanan di absorber dan meningkatkan tekanan
di generator.

Tabel 2. 1 Perbandingan efek Absorption Chiller

Solution LiBr-H2O H2O-NH3

Jumlah Efek Single Double Single

Kapasitas Pendinginan ~ 5 - 10.000 ~ 20 – 10.000 ~10 - 1.500


Nominal (kW)

COP 0.7 - 0.8 1.2 – 1.4 0.5 - 0.7

Temperatur sumber 80 - 100 160 - 180 100 - 120


panas (°C)

16
Universitas Indonesia
2.2.3 Refrigeran pada Sistem Pendinginan Absorpsi
Saat ini, terdapat dua kombinasi refrijeran-zat penyerap yang umum digunakan,
yaitu air-litium bromida (H2O-LiBr) dan amonia-air (NH3-H2O). Pada kombinasi
pertama, air bertindak sebagai refrijeran dan litium bromida sebagai zat penyerap,
sedang pada kombinasi kedua, amonia bertindak sebagai refrijeran dan air sebagai zat
penyerap.

A. Sistem Litium Bromida – Air


Sistem litium bromida-air banyak digunakan untuk pengkondisian udara
dimana suhu evaporasi berada di atas 0 ºC. Litium Bromida (LiBr) adalah suatu
kristal garam padat, yang dapat menyerap uap air. Larutan cair yang terjadi
memberi tekanan uap yang merupakan fungsi suhu dan konsentrasi larutan.
Hubungan antara entalpi dengan persentase Litium-Bromida dalam larutan LiBr
pada berbagai suhu larutan. Proses terjadi kristalisasi larutan LiBr-H2O, yaitu
pada keadaan yang mana larutan mengalami pemadatan. Proses yang terjadi pada
wilayah melewati batas kristalisasi akan mengakibatkan pembentukan lumpur
padat dan penyumbatan sehingga mengganggu aliran di dalam pipa (Lee et al.,
2019).
B. Sistem Air – Ammonia
Sistem amonia-air digunakan secara luas untuk mesin pendingin berskala
kecil (perumahan) maupun industri, yang mana suhu evaporasi yang dibutuhkan
mendekati atau di bawah 0 ºC. Sistem amonia-air mempunyai hampir seluruh
kriteria yang diperlukan di atas, kecuali bahwa zat-zat tersebut dapat bersifat
korosif terhadap tembaga dan alloynya, serta sifat amonia yang sedikit beracun
sehingga membatasi penggunaannya untuk pengkondisian udara.
Kelemahan utama sistem amonia-air adalah air yang juga mudah menguap
sehingga amonia yang berfungsi sebagai refrijeran masih mengandung uap air
pada saat keluar dari generator dan masuk ke evaporator melalui kondensor.
Keadaan ini dapat menyebabkan uap air meninggalkan panas di evaporator dan
meningkatkan suhunya sehingga menurunkan efek pendinginan. Untuk
menghindari hal itu, mesin pendingin absorpsi dengan sistem amonia-air
umumnya dilengkapi dengan rectifier dan analyzer.

17
Universitas Indonesia
2.2.4 NH3 – H2O Absorption Chiller Pool Boiling
Berbagai karya eksperimental telah menunjukkan perubahan dalam kolam nukleat
mendidih (Pool Boiling) sehubung campuran dengan kedua komponen Ammonia dan
Air berikut adalah dalam bentuk campuran murni. Pertama, itu diamati bahwa
perbedaan suhu yang lebih besar diperlukan untuk proses boiling dimulai. Kedua,
koefisien perpindahan panas lebih rendah dibandingkan dengan nilai interpolasi linier
antara dua komponen murni. Penurunan ini menunjukkan maksimum di zona di mana
konsentrasi molar perbedaan antara fase uap dan fase cair tinggi. Biasanya, perbedaan
konsentrasi maksimum ini juga bertepatan dengan konsentrasi maksimum dalam
perbedaan suhu antara titik embun dan titik saturasi. Untuk alasan itu, sebagian besar
korelasi yang dikembangkan untuk memprediksi kumpulan nukleat campuran koefisien
didih termasuk istilah koreksi yang mencakup perbedaan konsentrasi atau perbedaan
suhu.
Penurunan koefisien perpindahan panas campuran ini dijelaskan dalam literatur
sebagai akibat dari peningkatan konsentrasi komponen berat dalam antarmuka
gelembung. Sebagai akibatnya, suhu titik gelembung lokal di antarmuka naik, yang
mengurangi panas berlebih yang tersedia untuk penguapan dan karenanya
memperlambat laju pertumbuhan gelembung lalu menurunkan koefisien perpindahan
panas.
Jenis Heat Exchanger berikut ideal dengan penggunaan Tekanan konstan pada
Vessel.

2.2.5 NH3 – H2O Absorption Chiller dengan Air-Cooled Heat Exchanger

Chiller berpendingin udara bekerja dengan menyerap panas dari cairan olahan.
Setelah air dalam sistem Air – cooled digunakan, cairan menjadi dingin dan dikirim
kembali ke Heat Exchanger. Panas dipindahkan dari cairan Condenser dan Absorber.
Refrigeran vapor menyublim saat bergerak ke atas Absorber lalu refrigeran yang
berubah fase menjadi liquid bergerak ke Generator dan Evaporator di mana refrigerant
dalam bentuk liquid diperlukan.

Sistem yang ideal untuk menghasilkan kapasitas pendingin pada komponen


Condenser dan Absorber adalah Fin and Tube Heat Exchanger. Tube Fin Heat
Exchanger, juga disebut penukar panas koil bersirip, terdiri dari tabung yang melewati

18
Universitas Indonesia
tumpukan sirip padat yang secara mekanis didukung oleh bingkai pemasangan. Fluida
melewati kumparan tabung, menghantarkan panas ke sirip dan membuang panas ke
udara yang dipaksa melalui penukar panas.

2.3 Modelling dalam aplikasi EES

Tujuan dari menggunakan aplikasi berikut adalah untuk membuat model yang
merupakan representasi berguna dari siklus penyerapan nyata. maka masukan dan
keluaran dipilih untuk mendapatkan sebanyak mungkin hubungan dengan praktisi pada
dunia nyata.
EES (Engineering Equation Solver) sendiri mempunyai fungsi dasar untuk
menyelesaikan data numerik dari persamaan aljabar dan diferensial linier dan non-
linier. EES menggunakan persamaan daripada tugas yang digunakan dalam bahasa
pemrograman formal. EES memecahkan sistem persamaan (yaitu, hubungan antar
variabel) secara otomatis, yang membebaskan pengguna untuk mengembangkan
teknik iteratif mereka sendiri untuk menyelesaikan serangkaian persamaan non-linier
(Klein & Nellis, 2014).

2.3.1 Aplikasi Sistem dalam Model Matematika


Model matematis yang digunakan untuk mengevaluasi sistem absorpsi didasarkan
pada neraca massa dan energi karena proses perpindahan kalor dan massa pada masing-
masing komponen sesuai skema seperti pada Tabel 2.2.

Tabel 2. 2 Persamaan Kesetimbangan Massa dan Energi dalam Sistem

Component Name Mass Balance Equation Energy Balance Equation


Evaporator m12 = m13 QEVAP + m12h12 = m13h13
Absorber m13 + m6 = m1 m13h13 + m6h6 = m1h1 + QABS
m6x6 = m1x1
Desorber m3x3 + m8x8 = m4x4 + m7x7 QDES + m3x3 + m8x8 = m4x4 +
m7x7
Condenser m9 = m10 m9h9 = m10h10 + QCOND

Untuk menghitung koefisien kinerja sistem (COP), Persamaan. (1) digunakan, di mana
QEVAP kapasitas pendinginan dibagi dengan QDES konsumsi sumber panas yang
digerakkan.

19
Universitas Indonesia
𝑄𝐸𝑉𝐴𝑃
𝐶𝑂𝑃 = (2.4)
𝑄𝐷𝐸𝑆

Tabel 2. 3 Properti Ammonia - Air dalam Aplikasi EES(Klein & Nellis, 2014)

Dalam Tabel 2.3. menunjukkan fraksi massa untuk NH3H2O, sedangkan X


menunjukkan kualitas untuk semua cairan murni. Q digunakan untuk menunjukkan
kualitas NH3H2O. Sementara fungsi kualitas akan mengembalikan nilai –0,001 untuk
kondisi sub-pendinginan dan 1,001 untuk kondisi panas berlebih, sedangkan –100 dan
100 digunakan untuk fluida murni. Jika tidak, penggunaan fungsi properti NH3H2O
sama dengan penggunaan fluida murni (Herold et al., 2016).

Tabel 2. 4 Model Input dan Output dari Sistem

Input Output

20
Universitas Indonesia
Laju aliran pompa Laju Aliran refrigerasi dan siklus
cairan
Laju perpindahan kalor eksternal Titik Keadaan Termodinamika
Laju perpindahan kalor dari inlet Laju perpindahan Kalor
temperatur
Ukuran Heat Exchanger Performa Sistem

21
Universitas Indonesia
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Diagram Alir Penelitian

Pada Penelitian ini digunakan metode perhitungan numerik menggunakan simulasi


Engineering Equation Solver (EES). Hasil dari simulasi kemudian akan divalidasi
menggunakan data lapangan yang didapatkan melalui eksperimen. Adapun secara
umum alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1.

Gambar 3. 1 Alur Pelaksanaan Eksperimen

22
Universitas Indonesia
3.2 Perancangan Model Simulasi

Metode simulasi dari sistem single-effect ammonia-water absorption chiller


diawali dengan pengumpulan persamaan yang digunakan untuk mengevaluasi
kesetimbangan massa dan energi di setiap komponen sesuai dengan skematik sistem
yang terlihat pada Gambar 3.2. Model dari sistem pada penelitian ini menggunakan
sistem single-effect ammonia-water absorption chiller yang sederhana (Herold et al.,
2016).

Gambar 3. 2 Alur Pelaksanaan Metode Simulasi

23
Universitas Indonesia
Sebuah model siklus Single-stage Ammonia-Water diimplementasikan pada
aplikasi EES. Persamaan kesetimbangan massa dan energi telah dilakukan untuk
masing-masing komponen untuk melihat karakteristik dari sistem. Larutan dan zat
pendingin diasumsikan berada pada titik jenuh saat keluar dari setiap komponen (tidak
ada batasan perpindahan panas dan massa). Dengan menentukan kondisi suhu operasi,
aliran massa solusi atau beban pendinginan yang diperlukan, perangkat lunak
menyediakan status termodinamika yang sesuai dari siklus dan kinerja global. Model
ini digunakan untuk merancang prototipe dan melakukan studi parametrik dan juga
dinamik.

Melalui simulasi ini, diperhitungkan kinerja termal dari sistem single-effect


ammonia-water absorption chiller berupa COP (Coefficient of Performance) yang
didapat menggunakan persamaan (2.4), dan variasi kapasitas termal lainnya. COP
merupakan perbandingan antara pendinginan yang dihasilkan oleh sistem dengan
kerja atau panas yang dibutuhkan untuk menggerakkan sistem. Dalam sistem
absorption chiller kedua hal tersebut dinyatakan oleh Qevap dan Qgen.

Metode simulasi untuk sistem single-effect ammonia-water absorption chiller ini


dilakukan dengan menggunakan asumsi untuk membantu mencapai hasil terkontrol
sebagai berikut:
 Konduktivitas termal pada tiap heat exchanger bernilai konstan
 Pressure loss pada perpipaan dan heat exchanger diabaikan
 Adiabatik heat exchangers
 Larutan ammonia-water yang keluar dari absorber berada pada titik saturasi,
begitu pula dengan yang keluar dari kondenser
 Laju alir pemompaan konstan.
 Menghasilkan kapasitas termal pada evaporator sebesar 5 kW.
 Asumsi tekanan pada evaporator sama dengan tekanan pada absorber (low
pressure).

24
Universitas Indonesia
Sebelum melakukan simulasi terhadap target desain yang diinginkan, simulasi
terlebih dahulu dijalankan dengan parameter-paremeter input sesuai dengan model
yang sama(Ayou & Coronas, 2020). dengan tujuan untuk memvalidasi hasil simulasi,
sehingga apabila data yang dihasilkan telah valid atau sesuai maka selanjutnya dapat
dimasukkan parameter-parameter yang dapat menghasilkan nilai sesuai dengan batasan
pada penelitian ini.

Tabel 3. 1 Parameter Input dalam Kondisi Setimbang

Parameter Input Nilai Satuan


Temperatur keluar evaporator (titik 13) 6 ℃
Temperatur keluar absorber/kondenser (titik 10 &1) 38 ℃

Selisih fraksi massa ammonia-water pada keluar/masuk generator 0,05 -


(titik 1 & 4)

Fraksi massa ammonia-water keluar dari kondenser (titik 10) 0,9996 -

Laju alir massa melalui pompa strong solution (titik 1) 0.05 kg/s

Efisiensi isentropic pompa solution 1,0 -


Vapor Quality pada keluaran evaporator (titik 13) 0,975 -

Vapor Quality solution pada keluaran kondenser, keluaran absorber ke 0 -


pompa, keluaran generator ke expansion valve (titik 10,1, & 5)

Vapor Quality solution pada keluaran generator ke kondenser (titik 7) 1 -

Kondisi simulasi yang digunakan sebagai parameter input yang sesuai untuk
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.1. Nilai input ini didapat dari spesifikasi mesin
absorption chiller yang sesungguhnya terutama sesuai dengan batasan-batasan
penelitian yang telah disebutkan pada bab sebelumnya (Herold et al., 2016).

25
Universitas Indonesia
3.3 Perhitungan Kapasitas Overall Heat Transfer (UA) pada Komponen Evaporator
dan Absorber

Setelah mendapatkan parameter temperatur dan solusi pada tiap titik, perhitungan
model sistem single-effect ammonia-water absorption chiller dilanjutkan untuk
mendapatkan kapasitas perpindahan panas (UA) pada system. Dengan menghitung
masing-masing komponen pada model absorption chiller, antara lain evaporator,
absorber, dan solution heat exchanger. Dengan menggunakan perolehan hasil simulasi
sesuai dengan parameter input yang disebutkan pada Tabel 3.1.
Dimulai dari menghasilkan perbedaan temperature rata – rata pada tiap komponen
perlu menggunakan ∆𝑇𝐿𝑀𝑇𝐷 .
(𝑇𝑠,𝑖𝑛 −𝑇𝑟,𝑜𝑢𝑡 )−(𝑇𝑠,𝑜𝑢𝑡 −𝑇𝑟,𝑖𝑛 )
∆𝑇𝐿𝑀𝑇𝐷 = (𝑇𝑠,𝑖𝑛 −𝑇𝑟,𝑜𝑢𝑡 )
(3.1)
ln( ⁄ )
(𝑇𝑠,𝑜𝑢𝑡 −𝑇𝑟,𝑖𝑛 )

𝑇𝑠 merupakan temperatur dari aliran sumber panas pada heat exchanger, 𝑇𝑟


merupakan temperatur dari refrigeran mau pun solution yang melalui heat exchanger,
sedangkan in dan out menunjukkan arah aliran masuk dan juga keluar heat exchanger.

Di dalam sistem, banyaknya perpindahan kalor dihitung berdasarkan perbedaan


temperatur logaritmik. Hal tersebut dilukiskan pada gambar 3.4. Semakin besar
perbedaan temperatur rata-rata, makin kecil ukuran penukar kalor (luas bidang
perpindahan kalor) yang bersangkutan.

Gambar 3. 3 Selisih Perbedaan Temperatur rata-rata Logaritmik

Dimana LMTD ini disebut beda suhu rata-rata log atau beda suhu pada satu ujung
kalor dikurangi beda suhu pada ujung lainnya dibagi dengan logaritma alamiah
daripada perbandingan kedua beda suhu pada ujung lainnya.(Ayou et al., 2013)

26
Universitas Indonesia
Perhitungan UA untuk prediksi desain masing-masing heat exchanger pada setiap
komponen sistem dilakukan dengan menggunakan persamaan 3.2 yang merupakan
persamaan umum perpindahan panas (Cengel, 1989).
𝑄̇𝑛 = 𝑈𝐴 ∆𝑇𝐿𝑀𝑇𝐷 (3.2)
Dengan persamaan dasar berikut, dapat diperoleh nilai komponen evaporator,
absorber, dan solution heat exchanger.
Sementara untuk menghasilkan nilai U (Overall Heat Transfer) pada sistem,
diperlukan persamaan.
1
𝑈 = 1 𝑥 1
(3.3)
( )+ ( )+ ( )
−ℎ[1] 𝑘𝑐𝑜𝑝𝑝𝑒𝑟 ℎ𝑎𝑖𝑟

Dengan persamaan berikut, ℎ merupakan koefisien perpindahan panas konveksi, x


merupakan ketebalan dinding pipa tembaga, dan 𝑘𝑐𝑜𝑝𝑝𝑒𝑟 merupakan konduktifitas
termal dari tembaga.
Setelah menghasilkan nilai U tiap komponen, maka luasan penampang dari heat
exchanger (A) didapatkan dengan membagi nilai UA dengan U sesuai pada persamaan
(3.4).

𝐴 = 𝑈𝐴⁄𝑈 (3.4)
Kemudian, panjang dari pipa heat exchanger (L) didapat dengan membagi luasan
penampang pipa (A) dengan keliling lingkaran pipa tembaga, maka menghasilkan 𝑑
yang merupakan diameter luar dari pipa tembaga heat exchanger yang diinginkan.

𝐿 = 𝐴⁄𝜋. 𝑑 (3.5)

3.4 Model Simulasi

Untuk menghasilkan model simulasi yang tepat, diperlukan dasar persamaan


matematika yang mendukung dari prinsip termodinamika alat. Maka berikut adalah

27
Universitas Indonesia
persamaan yang diperlukan dalam aplikasi Engineering Equation Solver (EES) dan
Matlab.
Dalam penelitian ini, masing-masing komponen absorpsi dianggap sebagai volume
kontrol. massa dan keseimbangan energi dan persamaan momentum digunakan untuk
analisis dinamis. Mi(t) dianggap berkorespondensi ke massa dalam komponen i, dan
mi(t) ke laju aliran massa antar komponen. Selanjutnya, keseimbangan massa
keseluruhan untuk setiap komponen diberikan oleh.

3.4.1 Desain Evaporator


Desain berikut merupakan persamaan yang dimasukan dalam aplikasi
dengan menggunakan desain pool boiling Heat Exchanger.

𝑇𝑐ℎ𝑤𝑖𝑛 = 150 𝑐
𝑇𝑐ℎ𝑤𝑜𝑢𝑡 = 6⁰𝑐
Tchwin merupakan temperatur chilled water pada sisi masuk evaporator, dan
Tchwout merupakan temperatur chilled water pada sisi keluar evaporator

𝑘𝑎𝑙𝑙𝑜𝑦 = 0.410
Untuk memperoleh data ideal, diberikan konstanta konduktivitas Tembaga
kcopper, ketebalan pipa alloy, x, dan kapasitas panas air, Cpwater.

𝑄𝑎𝑏𝑠 = 𝑚𝑎𝑖𝑟 ∗ 𝐶𝑝𝑎𝑖𝑟 ∗ (𝑇𝑎𝑖𝑟𝑜𝑢𝑡 − 𝑇𝑎𝑖𝑟𝑖𝑛 ) (3.6)


𝑄𝑎𝑏𝑠 = 𝑈𝐴𝐸 ∆ 𝑇𝐿𝑀𝑇𝐷 𝑎𝑏𝑠 (3.7)
((𝑇𝑐ℎ𝑤𝑖𝑛 − 𝑡[13])− (𝑇𝑐ℎ𝑤𝑜𝑢𝑡 − 𝑡[12]) )
∆ 𝑇𝐿𝑀𝑇𝐷 𝑒𝑣𝑎𝑝 = (𝑇𝑐ℎ𝑤𝑖𝑛 − 𝑡[13])
(3.8)
𝑙𝑛( )
(𝑇𝑐ℎ𝑤𝑜𝑢𝑡 − 𝑡[12])

𝑑(𝑀𝐸 )
= 𝑚12 − 𝑚13 ` (3.9)
𝑑𝑡
𝑑 𝑚12 ℎ12 −𝑚13 ℎ13 + 𝑄𝐸 −ℎ𝐸 (𝑚12 −𝑚13 )
(ℎ𝐸 ) = (3.10)
𝑑𝑡 𝑀𝐴
𝑈𝐴𝑒𝑣𝑎𝑝
𝐴𝑒𝑣𝑎𝑝 = (3.11)
𝑈𝑒𝑣𝑎𝑝

28
Universitas Indonesia
3.4.2 Desain Absorber
Tahap selanjutnya memasukan komponen Absorber. Namun tidak
diperlukan memasukkan timbangan massa dan amonia untuk penyerap. Persamaan
berikut merupakan aliran siklik dan keseimbangan massa dan amonia telah ditulis
untuk semua komponen lainnya (Herold et. Al, 2016). Sebaliknya, disarankan
untuk memasukkan istilah kesetimbangan massa dan amonia, sebagai berikut.

𝑚̇13 ℎ13 + 𝑚̇6 ℎ6 = 𝑚1̇ℎ1 + 𝑄̇𝑎𝑏𝑠 (3.12)

𝑇𝑐𝑎𝑖𝑛 = 350 𝐶

𝑇𝑐𝑎𝑜𝑢𝑡 = 42⁰𝐶

𝐶𝑝𝑎𝑖𝑟 = 𝐶𝑝(𝐴𝑖𝑟, 𝑇 = 35)

ℎ𝑎𝑖𝑟 = 𝐸𝑛𝑡ℎ𝑎𝑙𝑝𝑦(𝐴𝑖𝑟, 𝑇 = 𝑇𝑐𝑎𝑖𝑛 )


((𝑇𝑐𝑎𝑖𝑛 − 𝑡[1]) − (𝑇𝑐𝑎𝑜𝑢𝑡 − 𝑡[13]− 𝑡[6]))
∆𝑇𝐿𝑀𝑇𝐷𝑎𝑏𝑠 = − (𝑇𝑐𝑎𝑖𝑛 − 𝑡[1])
(3.13)
𝑙𝑛( )
(𝑇𝑐𝑎𝑜𝑢𝑡 − 𝑡[13]− 𝑡[6])

𝑄𝑎𝑏𝑠
𝑈𝐴𝑎𝑏𝑠 = (3.14)
∆𝑇𝐿𝑀𝑇𝐷𝑎𝑏𝑠

𝑑(𝑀𝐴 )
= 𝑚13 + 𝑚6 − 𝑚1 (3.15)
𝑑𝑡
𝑈𝐴𝑎𝑏𝑠
𝐴𝑎𝑏𝑠 = (3.16)
𝑈𝑎𝑏𝑠

𝑑 𝑚13 𝑋13 +𝑚6 𝑋6 −𝑚1 ℎ1 −𝑋𝐴 (𝑚13 +𝑚6 −𝑚1 )


𝑋𝐴 = (3.17)
𝑑𝑡 𝑀𝐴

Dimana Xi(t) adalah fraksi massa penyerap yang keluar dari suatu
komponen. Selanjutnya, kita memiliki keseimbangan massa penyerap berikut
dalam absorber dan generator.(Ebrahimnataj Tiji et al., 2020)

Setelah memasukan parameter utama yang diperlukan selanjutnya adalah


menghitung COP. Selain itu, mengolah keseimbangan energi keseluruhan pada
siklus untuk memastikan model dimasukkan dengan benar.

𝑄̇𝑒𝑣𝑎
𝐶𝑂𝑃1 = (3.18)
𝑊𝑝𝑢𝑚𝑝̇ +𝑄𝑔𝑒𝑛
̇

𝑄̇ ̇
𝐶𝑂𝑃2 = 𝑄𝑒𝑣𝑎
̇
(3.19)
𝑔𝑒𝑛

𝐷𝑒𝑙𝑡𝑎 𝑇 𝑔𝑙𝑖𝑑𝑒 = 𝑇𝑒𝑣𝑎,𝑜𝑢𝑡 − 𝑇𝑒𝑣𝑎,𝑖𝑛 (3.20)

29
Universitas Indonesia
Untuk mendapatkan koefisien performa pada sistem (COP), dapat melalui
persamaan 3.18. dan 3.19 dengan perbedaan koefisien kerja dengan dan tanpa
bantuan pompa. Sementara untuk menghasilkan hasil refrigerant keluar dari
evaporator dalam fasa superheated, diperlukan perbedaan temperatur dalam
persamaan delta Temperatur glide 3.20.

3.5 Validasi Model

Untuk memastikan bahwa model memiliki akurasi yang cukup, 3 kelompok data
eksperimen, termasuk: COP, kapasitas pendingin Evaporator, Condenser, Generator,
dan Absorber dari Herold,et,al, dimasukkan ke dalam model. Kemudian hasil simulasi
dibandingkan dengan datadari Herold,et,al.. Penyimpangan dihitung dengan
persamaan:
|𝑃𝑎−𝑟𝑒𝑓|
𝐷𝑒𝑣𝑖𝑎𝑠𝑖 = 𝑥 100% (3.21)
|𝑟𝑒𝑓|

Dimana Pa berarti hasil yang dihitung dengan model saat ini, dan ref mewakili
parameter dalam ref. [Herold,et,al].

Software MATLAB digunakan untuk menyelesaikan persamaan diferensial


simulasi berikut. Sifat termodinamika fluida kerja pada komponen utama, seperti
tekanan, temperatur, kualitas,dll., diperoleh dengan menggunakan nilai awal dan proses
percobaan. Kemudian, ikatan persamaan termodinamika di titik lain dari AC dapat
dihitung. Dengan membuat link antara software EES dan MATLAB, persamaan
diferensial simultan menggunakan persamaan Radermacher (Herold,et,al). Proses ini
adalah diulang sampai kriteria konvergensi terpenuhi.

30
Universitas Indonesia
BAB IV

HASIL dan ANALISIS

4.1 Hasil dan Analisis Tunak

Tabel 4. 1 Perbedaan Hasil tunak EES dan Matlab

- Wp Q_ABS Q_DES Q_CON Q_EVA COP


EES 58.4 15.778 16.034 5.358 5.403 0.313
Matlab 41.525 15.606 16.001 3.447 5.3181 0.3324
unit [W] [kW] [kW] [kW] [kW] [-]

Dapat dilihat dari hasil data simulasi tunak pada kedua aplikasi berikut telah
menghasilkan data yang akurat, dengan hasil kapasitas pendingin masing – masing
komponen pada sistem dengan error relatif kecil, dan menghasilkan COP (koefisien
performa) yang akurat.

COP Q Generator Q Evaporator Q Absorber Q Condenser

4
DEVIASI PANAS (%)

0
0 1 2 3 4
NOMOR GRUP

Grafik 4. 1 Perbandingan data Tunak untuk validasi model

31
Universitas Indonesia
Hasil komparatif ditunjukkan pada Gambar 4, dan sumbu vertikal kanan adalah
suhu keluaranperbedaan antara model dan Ref. [Herold,et,al]. Penyimpangan cukup kecil
untuk membuktikan keakuratan model. Meskipun validasinya untuk model tunak, baik
model tunak maupun dinamikmodel mengikuti kekekalan massa dan energi, dan model
dinamis dapat menjadi model yang stabilketika semua item diferensial sama dengan nol.
Oleh karena itu, model ini dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya.

C 2 4

E 1 6

Grafik 4. 1 Duhring Diagram plot dari sistem

Plot berikut disebut sebagai kurva tekanan uap. Grafik 4.1 menunjukkan kurva
tekanan uap untuk air dan amonia. Area di sebelah kiri kurva tekanan - uap dari satu
fluida tertentu menunjukkan tekanan yang lebih tinggi dan/atau suhu yang lebih rendah
dari nilai saturasi dan mewakili cairan yang didinginkan. Sebaliknya, area di sebelah
kanan mewakili suhu yang lebih tinggi dan/atau tekanan yang lebih rendah dan mewakili
uap super panas. Rentang dua fase diwakili oleh garis tekanan uap itu sendiri. Dalam
beberapa representasi, kurva tekanan uap digambar persis seperti garis lurus. Dalam
kasus tersebut, skala sumbu tekanan disesuaikan.(Puig-Arnavat et al., 2010)

Persamaan kondisi tunak model menghasilkan Duhring diagram dari sistem secara
keseluruhan. Pada Grafik 4.1. terdapat 6 titik tertentu yang menghasilkan berbeda
tekanan sebanding tempertatur pada titik tersebut. Untuk Komponen Absorber terdapat
pada titik 1, titik 6, dan titik E, bertekanan rendah menghasilkan kesetimbangan energi

32
Universitas Indonesia
dengan berbagai perbedaan fraksi massa ammonia – air. Sementara untuk Evaporator
pada titik E menyatakan kesetimbangan energi dengan fraksi massa air 0.999634.

Untuk menghasilkan model dinamik, berbagai input harus ada perbedaan terhadap
salah satu komponen untuk mendapatkan hasil perbedaan yang signifikan untuk
komponen lainnya. Untuk percobaan ini digunkan perubahan Temperatur pada cooling
load untuk mensimulasikan apa yang akan terjadi pada sistem.(Lee et al., 2019)

4.2 Hasil dan Analisis dinamik

Pada komponen dinamik memberikan hasil komponen apabila kondisi ideal


beradaptasi dengan kondisi lingkungan luar. Dalam kasus ini, temperatur pada supply
temperatur lingkungan pada ruangan berubah sebesar 3⁰ C yang akan mengakibatkan
perubahan pada sistem Absorption Chiller dalam kondisi tunak.

COP Q evaporator

6 0.35

5 0.3
Q evaporator (kW)

Performa COP(-)
0.25
4
0.2
3
0.15
2
0.1
1 0.05

0 0
0 1 2 3
Perbedaan Temperatur

Grafik 4. 2 Perbedaan temperatur terhadap kapasitas termal Evaporator

Dalam hasil kondisi tunak sistem apabila chilled water mengalami perbedaan
temperatur sebesar 1 sampai 3 ⁰ C, kapasitas pendinginan Evaporator akan terus
menurun seperti pada Grafik 4.2. seiring bertambahnya Cooling Load dari
bertambahnya temperatur yang masuk kedalam komponen Evaporator.

𝑄𝑒𝑣𝑎𝑝,15−𝑄𝑒𝑣𝑎𝑝,18
∆ 𝑄𝑒𝑣𝑎𝑝 = . 100% (4.2)
𝑄𝑒𝑣𝑎𝑝,15

33
Universitas Indonesia
Dapat dilihat penurunan Performa COP terhadap naiknya temperatur pada chilled
water, menghasilkan turunnya COP sebesar 0.150 dari kondisi ideal pengoperasian
sistem dampak ini menghasilkan kapasitas pendinginan yang turun secara signifikan
sebesar 2.59 kW dari sebelumnya beroperasi pada 5.813 kW menghasilkan penurunan
yang cukup signifikan sebesar 51%.

Dikarenakan limitasi pemanggilan dari fungsi densitas pada subcooled dan


superheated pada aplikasi Matlab. Sayangnya untuk saat ini fungsi untuk evaporator
tidak dapat berubah terhadap waktu dengan perubahan entalpi.

berikut menyangkut kinerja dinamis dari chiller penyerapan di bawah yang


berbedakondisi kerja, yang penting untuk penyesuaian AC dan stabilisasi keseluruhan
sistem, yang meliputi AC. Kriteria penilaian kondisi mapan adalah:

(4.1)

di mana Qe,st pada persamaan 4.1 adalah kapasitas pendinginan pada kondisi
tunak setelah proses dinamis, yang diperoleh darimodel tetap, kW; Qe,ext,i adalah laju
pertukaran panas eksternal di evaporator pada waktu i, yaitudihitung dengan model
dinamis, kW.Proses dinamis ujung ketika δ Qe,i lebih kecil dari 0,2%, dan interval
waktu saya disebut sebagai waktu relaksasi.(Wang et al., 2017).

4.3 Perhitungan Desain Air-Cooled Heat Exchangers

Dengan kondisi iklim tropis pada Indonesia. Diperlukan cara untuk melepaskan
panas sistem kepada ambien dengan adanya temperatur ambien yang relatif tinggi,
maka diperlukan unit heat exchanger yang dapat bekerja dalam iklim tropis dengan
menggunakan Fin – tube heat exchanger.

34
Universitas Indonesia
Gambar 4. 1 Gambar skematik Absorber dengan Air – Cooled Heat Exchangers

Solution masuk kedalam komponen Air – Cooled Gambar 4.1. lalu menghasilkan
heat transfer dari kompone untuk dilepaskan ke temperatur ambien. Setelah itu solution
ammonia – air kembali ke komponen Absorber untuk melanjutkan proses absorption
dalam sistem.
Untuk memudahkan permodelan. Ada berbagai limitasi yang diperlukan.
Tabel 4. 2 Daftar dimensi tube

Dimensi Tube Dimensi

Diameter luar tube 1 Inch

Ketinggian Fin 0.625 Inch

Layout tube 30 Degree

Tube Pitch 2.5 Inch

Tube Length 70 m

Tube Pass Single -

Number of tube Rows 3 -

Densitas Tube 8440 Kg/m3


INCONEL 625

35
Universitas Indonesia
Pada Tabel telah ditentukan desain tube secara general yang ada dalm pasaran.
Lalu dari input dimensi dari tabel, maka dapat menentukan besar input parameter dari
kesetimbangan energi dan massa dari komponen Absorber.

Tabel 4. 3 Input parameter awal Air - Cooled

Heat Duty 16 kW/h


Overall HTC, U 269.6 Kcal/h.m2.C
Process Side
Inlet Temperature 42.8 Deg C
Outlet Temperature 38.0 Deg C
Air Side
Inlet Temperature 35.0 Deg C
Design Face Velocity 3.6 m/s
Site Elevation 0 m
Outlet Temperature 42.43 Deg C

Dengan kedua elemen dari kapasitas termal Internal dan External telah
diketahui, dapat dikalkulasikan dimensi dari Heat Exchanger sebagai berikut.

Tabel 4. 4 Hasil perhitungan Air – Cooled

Result Drive Power


LMTD 1.2 Deg C Fan Efficiency 100 %
Correction Factor 1.000 Motor Efficiency 100 %
Corrected MTD 1.21 Deg C
Finned Area 15 m2 Air Flowrate 2,366 m3/h
Face Area 0.2 m2 Air Side Pressure Drop 15.29 mm H2O
Unit Width 2.64 mm Brake Power 0.1 kW
Total Tubes 1 Motor Shaft Power 0.1 kW
Tubes per Row 0

Setelah mendapatkan estimasi hasil dari kebutuhan heat exchanger, dapat


estimasi berat material dari komponen sebagai berikut.

𝑇𝑢𝑏𝑒 𝐿𝑒𝑛𝑔𝑡ℎ ∗ 𝐴𝑟𝑒𝑎 𝑇𝑢𝑏𝑒 ∗ 𝜌𝑀𝑎𝑡𝑒𝑟𝑖𝑎𝑙 = 𝑀𝑎𝑠𝑠 𝑇𝑢𝑏𝑒 (4.1)

𝐹𝑖𝑛𝑛𝑒𝑑 𝐴𝑟𝑒𝑎 ∗ 𝐹𝑖𝑛𝑛𝑒𝑑 𝑇ℎ𝑖𝑐𝑘𝑛𝑒𝑠𝑠 ∗ 𝜌𝑚𝑎𝑡𝑒𝑟𝑖𝑎𝑙 = 𝑀𝑎𝑠𝑠 𝐹𝑖𝑛 (4.2)

36
Universitas Indonesia
Maka Berat Aircooled Heat Exchanger dapat diestimasi dengan kedua
komponen utama dari sistem tersebut.

Tabel 4. 5 Massa Total dari fin and tube

Massa [Kg]
Massa Fin 2.06
Massa Tube 25.67
Massa Total 27.73

4.4 Perhitungan Desain Heat Exchanger Pool Boiling

Bottom A

Gambar 4. 2 Skematik Heat Exchanger Pool Boiling

Dengan sistem membutuhkan untuk melepaskan dan mengambil panas dari


udara sekitar, diperlukan komponen heat exchanger yang mampu untuk menahan
proses heat exchanger dan tangguh dalam kondisi optimal kerja. Maka untuk
menghasilkan pendinginan pada Evaporator dibutuhkan Heat Exchanger tipe Pool
Boiling. Pada Gambar 4.2. Refrigerant dalam fase cairan masuk kedalam Vessel untuk
menerima pertukaran panas dari tube Chilled Water yang berasal dari ruangan

37
Universitas Indonesia
membawa panas kedalam komponen untuk merubah cairan Refrigerant menjadi uap
refrigeran yang akan diteruskan ke komponen Absorber.

Tabel 4. 6 Dimensi komponen Vessel

Dimensi Vessel Unit


Densitas Shell 7830 kg/m3
Ketebalan Shell 1.5 mm
Tinggi Shell 50 cm
Dia. Shell 30 cm
Ketebalan Pan 1.5 mm

Tabel 4. 7 Dimensi Komponen tube

Dimensi Tube Unit


Densitas tube 8440 kg/m3
Ketebalan tube 1.05 mm
Panjang tube 17 m
Dia. Tube 1.17 cm

Dari keterangan berikut dapat diperkirakan berat komponen utama Evaporator


pada sistem absorption chiller dengan menghitung ammonia yang berada pada dalam
tangki sebesar

Tabel 4. 8 Massa total komponen Absorber

kg
Massa Vessel 7.278
Massa Ammonia 12.116
Massa Tube 5.040
Massa Chilled Water 1.230
Massa Total 25.664

Perhitungan untuk menghasilkan komponen pool Boiling cukup mudah,


bergantung dengan kapasitas termal pada komponen yang disimpan kedalam tangki
untuk mendapatkan sistem yang setimbang.

38
Universitas Indonesia
BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan data hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa


kesimpulan sebagai berikut:
1. Mendapatkan desain dari sistem single effect absorption chiller Ammonia-
Water dengan kinerja optimum.
2. Model dapat dijadikan acuan pada instalasi mau pun riset terkait absorption
chiller khususnya di Indonesia dan negara beriklim tropis.
3. Mensimulasikan efisiensi sistem refrigerasi menggunakan Absorption Chiller
Cycle dengan mengukur COP dari rasio Cooling Capacity dan daya yang
dikeluarkan untuk menjalankan sistem dengan perbandingan dari kapasitas
pendinginan Evaporator (Qe) dan energi yang disuplai untuk Generator (Qg)
menghasilkan angka senilai 0.334.
4. Massa komponen Evaporator dalam kondisi ideal sebesar 25.644 kg. Dengan
jenis Pool Boiling.
5. Massa komponen Absorber dalam kondisi ideal sebesar 27.73 kg. Dengan jenis
Heat Exchanger Air – cooled.

Untuk lebih memperjelas penerapan model ini, maka kesatuan sistem harus
dibangun untuk diterapkan dalam mendinginkan ruangan pada aplikasi rumahan
dengan suhu rendah untuk memaksimalkan kenyamanan.

39
Universitas Indonesia
REFERENSI

Ayou, D. S., & Coronas, A. (2020). New developments and progress in absorption chillers
for solar cooling applications. In Applied Sciences (Switzerland) (Vol. 10, Issue 12).
https://doi.org/10.3390/app10124073

Ayou, D. S., Saravanan, R., Bruno, J. C., & Coronas, A. (2013). Analysis and simulation of
modified ammonia/water absorption cycle for power and cooling applications.
International Journal of Low-Carbon Technologies, 8(SUPPL1), 19–26.
https://doi.org/10.1093/ijlct/ctt032

Chávez-Islas, L. M., & Heard, C. L. (2009). Design and analysis of an ammonia/water


absorption refrigeration cycle by means of an equation-oriented method. Industrial and
Engineering Chemistry Research, 48(4), 1944–1956. https://doi.org/10.1021/ie800827z

Ebrahimnataj Tiji, A., Ramiar, A., & Ebrahimnataj, M. R. (2020). Investigation of the launch
time of NH3-H2O absorption chiller under different working condition. Proceedings of
the Institution of Mechanical Engineers, Part E: Journal of Process Mechanical
Engineering, 234(1), 15–28. https://doi.org/10.1177/0954408919879871

Klein, S., & Nellis, G. (2014). Mastering EES. 608.

Lee, S. K., Lee, J. W., Lee, H., Chung, J. T., & Kang, Y. T. (2019). Optimal design of
generators for H2O/LiBr absorption chiller with multi-heat sources. Energy, 167, 47–59.
https://doi.org/10.1016/j.energy.2018.10.185

Puig-Arnavat, M., López-Villada, J., Bruno, J. C., & Coronas, A. (2010). Analysis and
parameter identification for characteristic equations of single- and double-effect
absorption chillers by means of multivariable regression. International Journal of
Refrigeration, 33(1), 70–78. https://doi.org/10.1016/j.ijrefrig.2009.08.005

Wang, J., Shang, S., Li, X., Wang, B., Wu, W., & Shi, W. (2017). Dynamic performance
analysis for an absorption chiller under different working conditions. Applied Sciences
(Switzerland), 7(8). https://doi.org/10.3390/app7080797

Wu, W., Wang, B., Shi, W., & Li, X. (2014). An overview of ammonia-based absorption
chillers and heat pumps. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 31, 681–707.
https://doi.org/10.1016/j.rser.2013.12.021

40
Universitas Indonesia
LAMPIRAN

SIMULASI RADERMACHER TANPA RECTIFIER & SHX EES


Laju
entalpi Tekanan Temperatur
titik aliran Kualitas uap Fraksi massa
(kj/kg) (kPa) (C)
(kg/s)
1 -68.419 0.05 527.264 0 38.000 0.522818
2 -67.251 0.05 1471.090 -0.001 38.091 0.522818
3
4 142.639 0.045 1471.090 0 84.402 0.472818
5
6 142.639 0.045 527.264 0.093 54.954 0.472818
7 1309.912 0.005 1471.090 1 43.064 0.999634
8
9
10 180.832 0.005 1471.090 0 38.000 0.999634
11
12 180.832 0.005 527.264 0.124 5.626 0.999634
13 1243.63 0.005 527.264 0.975 6.000 0.999634

SIMULASI MATLAB

Laju aliran Temperatur Fraksi


Titik entalpi (kj/kg) Tekanan (kPa) Kualitas uap
(kg/s) (C) massa

1 -67.4150 0.0500 504780.0000 0.0000 38.0000 0.5295


2 -66.4200 0.0500 1470328.6578 0.0000 38.0511 0.5295
3
4 152.0300 0.0452 1470328.6578 0.0000 86.1069 0.4795
5
6 152.0300 0.0452 504780.0000 0.0995 55.1210 0.4795
7 1311.0000 0.0048 1470328.6578 1.0000 42.7656 0.9996
8
9
10 181.7900 0.0048 1470328.6578 0.0000 38.0000 0.9996
11
12 181.7900 0.0048 504780.0000 0.1420 5.6259 0.9996
13 1245.4000 0.0048 504780.0000 0.9750 6.0000 0.9996

41
Universitas Indonesia
EES MATLAB deviasi
COP 0.313 0.334 1.278
Q Generator 16.034 16.001 0.206
Q Evaporator 5.043 5.318 5.453
Q Absorber 15.778 15.606 1.090
Q Condenser 5.358 5.649 5.428

clear
clc
format short
XNH3H2O('INIT', 'PropLib2.dat')

% Input parameters

T13 = 6+273.15 ;%K, temperature at exit


of the evaporator
T10 = 38+273.15 ;%K, temperature at exit
of the condenser
T1 = 38+273.15 ;%K, temperature at exit
of the absorber

% Mass fraction
XNH3_7 = 0.999634;%-, mass fraction at exit
the rectifier

% Quality of solution
Q1 = 0;%-, quality of liquid exiting
absorber entering pump

42
Universitas Indonesia
Q4 = 0;%-, quality of liquid exiting
the generator
Q7 = 1;%-, quality at vapour exit
generator
%Q8 = 0;%-, quality of liquid returning
from rectifier
%Q9 = 1;%-, quality at exit rectifier
Q10 = 0;%-, quality at exit condenser
Q13 = 1;%-, quality at exit evaporator

err_mabs = 0;

% Efficiencies
eta_pump = 1;%-, isentropic efficiency of
pump
delta_X = 0.05;%-, difference between the
mass fraction to and from the generator
mdot1 = 0.05;%kg/s, mass flow rate through
solution pump

%INPUT KEDALAM EQUATION SATUANNYA Pa, K, J

for i = 1:1

%DESORBER

EQ1 = @(mdot4,XNH3_4,Qdot_DES,...
Wpump,mdot2,XNH3_2,H2,...
mdot7,XNH3_10,Qdot_CON,XNH3_1,...
mdot10,XNH3_12,H12,tglide,mdot12,...
XNH3_13,Qdot_EVA,mdot13,err_absammonia,Qdot_ABS,...
P1,P10,XNH3_6,H6,mdot6,T6)...

43
Universitas Indonesia
mdot2 - mdot7 - mdot4;

EQ2 = @(mdot4,XNH3_4,Qdot_DES,...
Wpump,mdot2,XNH3_2,H2,...
mdot7,XNH3_10,Qdot_CON,XNH3_1,...
mdot10,XNH3_12,H12,tglide,mdot12,...
XNH3_13,Qdot_EVA,mdot13,err_absammonia,Qdot_ABS,...
P1,P10,XNH3_6,H6,mdot6,T6)...
(mdot2 * XNH3_2) - (mdot7 * XNH3_7) - (mdot4 *
XNH3_4);

EQ3 = @(mdot4,XNH3_4,Qdot_DES,...
Wpump,mdot2,XNH3_2,H2,...
mdot7,XNH3_10,Qdot_CON,XNH3_1,...
mdot10,XNH3_12,H12,tglide,mdot12,...
XNH3_13,Qdot_EVA,mdot13,err_absammonia,Qdot_ABS,...
P1,P10,XNH3_6,H6,mdot6,T6)...
(mdot2 * H2) + Qdot_DES - (mdot7 *
(XNH3H2O('PXQ_H',P10, XNH3_7, Q7))) - (mdot4 * (XNH3H2O('PXQ_H',P10,
XNH3_4, Q4)));

%PUMP

EQ4 = @(mdot4,XNH3_4,Qdot_DES,...
Wpump,mdot2,XNH3_2,H2,...
mdot7,XNH3_10,Qdot_CON,XNH3_1,...
mdot10,XNH3_12,H12,tglide,mdot12,...
XNH3_13,Qdot_EVA,mdot13,err_absammonia,Qdot_ABS,...
P1,P10,XNH3_6,H6,mdot6,T6)...
Wpump - (mdot1 * (H2 - (XNH3H2O('TPQ_H',T1, P1,
Q1))));

EQ5 = @(mdot4,XNH3_4,Qdot_DES,...
Wpump,mdot2,XNH3_2,H2,...

44
Universitas Indonesia
mdot7,XNH3_10,Qdot_CON,XNH3_1,...
mdot10,XNH3_12,H12,tglide,mdot12,...
XNH3_13,Qdot_EVA,mdot13,err_absammonia,Qdot_ABS,...
P1,P10,XNH3_6,H6,mdot6,T6)...
mdot1 - mdot2;

EQ6 = @(mdot4,XNH3_4,Qdot_DES,...
Wpump,mdot2,XNH3_2,H2,...
mdot7,XNH3_10,Qdot_CON,XNH3_1,...
mdot10,XNH3_12,H12,tglide,mdot12,...
XNH3_13,Qdot_EVA,mdot13,err_absammonia,Qdot_ABS,...
P1,P10,XNH3_6,H6,mdot6,T6)...
XNH3_1 - XNH3_2;

EQ7 = @(mdot4,XNH3_4,Qdot_DES,...
Wpump,mdot2,XNH3_2,H2,...
mdot7,XNH3_10,Qdot_CON,XNH3_1,...
mdot10,XNH3_12,H12,tglide,mdot12,...
XNH3_13,Qdot_EVA,mdot13,err_absammonia,Qdot_ABS,...
P1,P10,XNH3_6,H6,mdot6,T6)...
H2 - XNH3H2O('TPQ_H',T1, P1, Q1) -
(XNH3H2O('TPQ_V',T1, P1, Q1) * (P10 - P1))/eta_pump;

%CONDENSER

EQ8 = @(mdot4,XNH3_4,Qdot_DES,...
Wpump,mdot2,XNH3_2,H2,...
mdot7,XNH3_10,Qdot_CON,XNH3_1,...
mdot10,XNH3_12,H12,tglide,mdot12,...
XNH3_13,Qdot_EVA,mdot13,err_absammonia,Qdot_ABS,...
P1,P10,XNH3_6,H6,mdot6,T6)...
(mdot7 - mdot10);

45
Universitas Indonesia
EQ9 = @(mdot4,XNH3_4,Qdot_DES,...
Wpump,mdot2,XNH3_2,H2,...
mdot7,XNH3_10,Qdot_CON,XNH3_1,...
mdot10,XNH3_12,H12,tglide,mdot12,...
XNH3_13,Qdot_EVA,mdot13,err_absammonia,Qdot_ABS,...
P1,P10,XNH3_6,H6,mdot6,T6)...
(XNH3_7 - XNH3_10);

EQ10 = @(mdot4,XNH3_4,Qdot_DES,...
Wpump,mdot2,XNH3_2,H2,...
mdot7,XNH3_10,Qdot_CON,XNH3_1,...
mdot10,XNH3_12,H12,tglide,mdot12,...
XNH3_13,Qdot_EVA,mdot13,err_absammonia,Qdot_ABS,...
P1,P10,XNH3_6,H6,mdot6,T6)...
Qdot_CON - (mdot7 * ((XNH3H2O('PXQ_H',P10, XNH3_7,
Q7)) - (XNH3H2O('TPQ_H',T10,P10,Q10))));

%OVERDEFINED_ERROR
EQ11 = @(mdot4,XNH3_4,Qdot_DES,...
Wpump,mdot2,XNH3_2,H2,...
mdot7,XNH3_10,Qdot_CON,XNH3_1,...
mdot10,XNH3_12,H12,tglide,mdot12,...
XNH3_13,Qdot_EVA,mdot13,err_absammonia,Qdot_ABS,...
P1,P10,XNH3_6,H6,mdot6,T6)...
XNH3_1 - XNH3_4 - delta_X;

%EXPANSION VALVE MENUJU EVAPORATOR


EQ12 = @(mdot4,XNH3_4,Qdot_DES,...

46
Universitas Indonesia
Wpump,mdot2,XNH3_2,H2,...
mdot7,XNH3_10,Qdot_CON,XNH3_1,...
mdot10,XNH3_12,H12,tglide,mdot12,...
XNH3_13,Qdot_EVA,mdot13,err_absammonia,Qdot_ABS,...
P1,P10,XNH3_6,H6,mdot6,T6)...
mdot10 - mdot12;

EQ13 = @(mdot4,XNH3_4,Qdot_DES,...
Wpump,mdot2,XNH3_2,H2,...
mdot7,XNH3_10,Qdot_CON,XNH3_1,...
mdot10,XNH3_12,H12,tglide,mdot12,...
XNH3_13,Qdot_EVA,mdot13,err_absammonia,Qdot_ABS,...
P1,P10,XNH3_6,H6,mdot6,T6)...
XNH3_10 - XNH3_12;

EQ14 = @(mdot4,XNH3_4,Qdot_DES,...
Wpump,mdot2,XNH3_2,H2,...
mdot7,XNH3_10,Qdot_CON,XNH3_1,...
mdot10,XNH3_12,H12,tglide,mdot12,...
XNH3_13,Qdot_EVA,mdot13,err_absammonia,Qdot_ABS,...
P1,P10,XNH3_6,H6,mdot6,T6)...
(XNH3H2O('TPX_H',T10,P10,XNH3_10)) - H12;

EQ15 = @(mdot4,XNH3_4,Qdot_DES,...
Wpump,mdot2,XNH3_2,H2,...
mdot7,XNH3_10,Qdot_CON,XNH3_1,...
mdot10,XNH3_12,H12,tglide,mdot12,...
XNH3_13,Qdot_EVA,mdot13,err_absammonia,Qdot_ABS,...
P1,P10,XNH3_6,H6,mdot6,T6)...

47
Universitas Indonesia
0 - T13 + XNH3H2O('PXH_T',P1,XNH3_12,H12);

%EVAPORATOR
EQ16 = @(mdot4,XNH3_4,Qdot_DES,...
Wpump,mdot2,XNH3_2,H2,...
mdot7,XNH3_10,Qdot_CON,XNH3_1,...
mdot10,XNH3_12,H12,tglide,mdot12,...
XNH3_13,Qdot_EVA,mdot13,err_absammonia,Qdot_ABS,...
P1,P10,XNH3_6,H6,mdot6,T6)...
mdot12 - mdot13;

EQ17 = @(mdot4,XNH3_4,Qdot_DES,...
Wpump,mdot2,XNH3_2,H2,...
mdot7,XNH3_10,Qdot_CON,XNH3_1,...
mdot10,XNH3_12,H12,tglide,mdot12,...
XNH3_13,Qdot_EVA,mdot13,err_absammonia,Qdot_ABS,...
P1,P10,XNH3_6,H6,mdot6,T6)...
XNH3_12 - XNH3_13;

EQ18 = @(mdot4,XNH3_4,Qdot_DES,...
Wpump,mdot2,XNH3_2,H2,...
mdot7,XNH3_10,Qdot_CON,XNH3_1,...
mdot10,XNH3_12,H12,tglide,mdot12,...
XNH3_13,Qdot_EVA,mdot13,err_absammonia,Qdot_ABS,...
P1,P10,XNH3_6,H6,mdot6,T6)...
Qdot_EVA - (mdot13 * ((XNH3H2O('TPQ_H',T13,P1,Q13))-
H12));

%ABSORBER

48
Universitas Indonesia
EQ19 = @(mdot4,XNH3_4,Qdot_DES,...
Wpump,mdot2,XNH3_2,H2,...
mdot7,XNH3_10,Qdot_CON,XNH3_1,...
mdot10,XNH3_12,H12,tglide,mdot12,...
XNH3_13,Qdot_EVA,mdot13,err_absammonia,Qdot_ABS,...
P1,P10,XNH3_6,H6,mdot6,T6)...
mdot13 + mdot6 - mdot1 - err_mabs;

EQ20 = @(mdot4,XNH3_4,Qdot_DES,...
Wpump,mdot2,XNH3_2,H2,...
mdot7,XNH3_10,Qdot_CON,XNH3_1,...
mdot10,XNH3_12,H12,tglide,mdot12,...
XNH3_13,Qdot_EVA,mdot13,err_absammonia,Qdot_ABS,...
P1,P10,XNH3_6,H6,mdot6,T6)...
(mdot13 * (XNH3_13)) + (mdot6 * (XNH3_6)) - (mdot1 *
XNH3_1) - err_absammonia;

EQ21 = @(mdot4,XNH3_4,Qdot_DES,...
Wpump,mdot2,XNH3_2,H2,...
mdot7,XNH3_10,Qdot_CON,XNH3_1,...
mdot10,XNH3_12,H12,tglide,mdot12,...
XNH3_13,Qdot_EVA,mdot13,err_absammonia,Qdot_ABS,...
P1,P10,XNH3_6,H6,mdot6,T6)...
(mdot13 * (XNH3H2O('TPQ_H',T13,P1,Q13))) + (mdot6 *
H6) - (mdot1 * (XNH3H2O('TPX_H',T1,P1,XNH3_1))) - Qdot_ABS;

%P1 dan P10 didefinisiin disini


EQ22 = @(mdot4,XNH3_4,Qdot_DES,...
Wpump,mdot2,XNH3_2,H2,...
mdot7,XNH3_10,Qdot_CON,XNH3_1,...

49
Universitas Indonesia
mdot10,XNH3_12,H12,tglide,mdot12,...
XNH3_13,Qdot_EVA,mdot13,err_absammonia,Qdot_ABS,...
P1,P10,XNH3_6,H6,mdot6,T6)...
refpropm('P','T',T1,'Q',Q1,'ammonia','water',[XNH3_1
1-XNH3_1])*(1000) - P1;

EQ23 = @(mdot4,XNH3_4,Qdot_DES,...
Wpump,mdot2,XNH3_2,H2,...
mdot7,XNH3_10,Qdot_CON,XNH3_1,...
mdot10,XNH3_12,H12,tglide,mdot12,...
XNH3_13,Qdot_EVA,mdot13,err_absammonia,Qdot_ABS,...
P1,P10,XNH3_6,H6,mdot6,T6)...
P10 -
refpropm('P','T',T10,'Q',Q10,'ammonia','water',[XNH3_7 1-
XNH3_7])*(1000);

%EXPANSION VALVE DESOBER TO ABSORBER

EQ24 = @(mdot4,XNH3_4,Qdot_DES,...
Wpump,mdot2,XNH3_2,H2,...
mdot7,XNH3_10,Qdot_CON,XNH3_1,...
mdot10,XNH3_12,H12,tglide,mdot12,...
XNH3_13,Qdot_EVA,mdot13,err_absammonia,Qdot_ABS,...
P1,P10,XNH3_6,H6,mdot6,T6)...
XNH3_4 - XNH3_6;

EQ25 = @(mdot4,XNH3_4,Qdot_DES,...
Wpump,mdot2,XNH3_2,H2,...
mdot7,XNH3_10,Qdot_CON,XNH3_1,...
mdot10,XNH3_12,H12,tglide,mdot12,...
XNH3_13,Qdot_EVA,mdot13,err_absammonia,Qdot_ABS,...
P1,P10,XNH3_6,H6,mdot6,T6)...

50
Universitas Indonesia
(XNH3H2O('PXQ_H',P10,XNH3_4,Q4)) - H6;

EQ26 = @(mdot4,XNH3_4,Qdot_DES,...
Wpump,mdot2,XNH3_2,H2,...
mdot7,XNH3_10,Qdot_CON,XNH3_1,...
mdot10,XNH3_12,H12,tglide,mdot12,...
XNH3_13,Qdot_EVA,mdot13,err_absammonia,Qdot_ABS,...
P1,P10,XNH3_6,H6,mdot6,T6)...
mdot4 - mdot6;

EQ27 = @(mdot4,XNH3_4,Qdot_DES,...
Wpump,mdot2,XNH3_2,H2,...
mdot7,XNH3_10,Qdot_CON,XNH3_1,...
mdot10,XNH3_12,H12,tglide,mdot12,...
XNH3_13,Qdot_EVA,mdot13,err_absammonia,Qdot_ABS,...
P1,P10,XNH3_6,H6,mdot6,T6)...
XNH3H2O('PXH_T',P1,XNH3_6,H6) - T6;

fun = @(x) [EQ1(x(1), x(2), x(3), x(4), x(5), x(6), x(7), x(8),
x(9), x(10), x(11), x(12), x(13), x(14), x(15), x(16), x(17), x(18),
x(19), x(20), x(21), x(22), x(23), x(24), x(25), x(26), x(27)),...
EQ2(x(1), x(2), x(3), x(4), x(5), x(6), x(7), x(8),
x(9), x(10), x(11), x(12), x(13), x(14), x(15), x(16), x(17), x(18),
x(19), x(20), x(21), x(22), x(23), x(24), x(25), x(26), x(27)),...
EQ3(x(1), x(2), x(3), x(4), x(5), x(6), x(7), x(8),
x(9), x(10), x(11), x(12), x(13), x(14), x(15), x(16), x(17), x(18),
x(19), x(20), x(21), x(22), x(23), x(24), x(25), x(26), x(27)),...
EQ4(x(1), x(2), x(3), x(4), x(5), x(6), x(7), x(8),
x(9), x(10), x(11), x(12), x(13), x(14), x(15), x(16), x(17), x(18),
x(19), x(20), x(21), x(22), x(23), x(24), x(25), x(26), x(27)),...
EQ5(x(1), x(2), x(3), x(4), x(5), x(6), x(7), x(8),
x(9), x(10), x(11), x(12), x(13), x(14), x(15), x(16), x(17), x(18),
x(19), x(20), x(21), x(22), x(23), x(24), x(25), x(26), x(27)),...

51
Universitas Indonesia
EQ6(x(1), x(2), x(3), x(4), x(5), x(6), x(7), x(8),
x(9), x(10), x(11), x(12), x(13), x(14), x(15), x(16), x(17), x(18),
x(19), x(20), x(21), x(22), x(23), x(24), x(25), x(26), x(27)),...
EQ7(x(1), x(2), x(3), x(4), x(5), x(6), x(7), x(8),
x(9), x(10), x(11), x(12), x(13), x(14), x(15), x(16), x(17), x(18),
x(19), x(20), x(21), x(22), x(23), x(24), x(25), x(26), x(27)),...
EQ8(x(1), x(2), x(3), x(4), x(5), x(6), x(7), x(8),
x(9), x(10), x(11), x(12), x(13), x(14), x(15), x(16), x(17), x(18),
x(19), x(20), x(21), x(22), x(23), x(24), x(25), x(26), x(27)),...
EQ9(x(1), x(2), x(3), x(4), x(5), x(6), x(7), x(8),
x(9), x(10), x(11), x(12), x(13), x(14), x(15), x(16), x(17), x(18),
x(19), x(20), x(21), x(22), x(23), x(24), x(25), x(26), x(27)),...
EQ10(x(1), x(2), x(3), x(4), x(5), x(6), x(7), x(8),
x(9), x(10), x(11), x(12), x(13), x(14), x(15), x(16), x(17), x(18),
x(19), x(20), x(21), x(22), x(23), x(24), x(25), x(26), x(27)),...
EQ11(x(1), x(2), x(3), x(4), x(5), x(6), x(7), x(8),
x(9), x(10), x(11), x(12), x(13), x(14), x(15), x(16), x(17), x(18),
x(19), x(20), x(21), x(22), x(23), x(24), x(25), x(26), x(27)),...
EQ12(x(1), x(2), x(3), x(4), x(5), x(6), x(7), x(8),
x(9), x(10), x(11), x(12), x(13), x(14), x(15), x(16), x(17), x(18),
x(19), x(20), x(21), x(22), x(23), x(24), x(25), x(26), x(27)),...
EQ13(x(1), x(2), x(3), x(4), x(5), x(6), x(7), x(8),
x(9), x(10), x(11), x(12), x(13), x(14), x(15), x(16), x(17), x(18),
x(19), x(20), x(21), x(22), x(23), x(24), x(25), x(26), x(27)),...
EQ14(x(1), x(2), x(3), x(4), x(5), x(6), x(7), x(8),
x(9), x(10), x(11), x(12), x(13), x(14), x(15), x(16), x(17), x(18),
x(19), x(20), x(21), x(22), x(23), x(24), x(25), x(26), x(27)),...
EQ15(x(1), x(2), x(3), x(4), x(5), x(6), x(7), x(8),
x(9), x(10), x(11), x(12), x(13), x(14), x(15), x(16), x(17), x(18),
x(19), x(20), x(21), x(22), x(23), x(24), x(25), x(26), x(27)),...
EQ16(x(1), x(2), x(3), x(4), x(5), x(6), x(7), x(8),
x(9), x(10), x(11), x(12), x(13), x(14), x(15), x(16), x(17), x(18),
x(19), x(20), x(21), x(22), x(23), x(24), x(25), x(26), x(27)),...
EQ17(x(1), x(2), x(3), x(4), x(5), x(6), x(7), x(8),
x(9), x(10), x(11), x(12), x(13), x(14), x(15), x(16), x(17), x(18),
x(19), x(20), x(21), x(22), x(23), x(24), x(25), x(26), x(27)),...
EQ18(x(1), x(2), x(3), x(4), x(5), x(6), x(7), x(8),
x(9), x(10), x(11), x(12), x(13), x(14), x(15), x(16), x(17), x(18),
x(19), x(20), x(21), x(22), x(23), x(24), x(25), x(26), x(27)),...
EQ19(x(1), x(2), x(3), x(4), x(5), x(6), x(7), x(8),
x(9), x(10), x(11), x(12), x(13), x(14), x(15), x(16), x(17), x(18),
x(19), x(20), x(21), x(22), x(23), x(24), x(25), x(26), x(27)),...

52
Universitas Indonesia
EQ20(x(1), x(2), x(3), x(4), x(5), x(6), x(7), x(8),
x(9), x(10), x(11), x(12), x(13), x(14), x(15), x(16), x(17), x(18),
x(19), x(20), x(21), x(22), x(23), x(24), x(25), x(26), x(27)),...
EQ21(x(1), x(2), x(3), x(4), x(5), x(6), x(7), x(8),
x(9), x(10), x(11), x(12), x(13), x(14), x(15), x(16), x(17), x(18),
x(19), x(20), x(21), x(22), x(23), x(24), x(25), x(26), x(27)),...
EQ22(x(1), x(2), x(3), x(4), x(5), x(6), x(7), x(8),
x(9), x(10), x(11), x(12), x(13), x(14), x(15), x(16), x(17), x(18),
x(19), x(20), x(21), x(22), x(23), x(24), x(25), x(26), x(27)),...
EQ23(x(1), x(2), x(3), x(4), x(5), x(6), x(7), x(8),
x(9), x(10), x(11), x(12), x(13), x(14), x(15), x(16), x(17), x(18),
x(19), x(20), x(21), x(22), x(23), x(24), x(25), x(26), x(27)),...
EQ24(x(1), x(2), x(3), x(4), x(5), x(6), x(7), x(8),
x(9), x(10), x(11), x(12), x(13), x(14), x(15), x(16), x(17), x(18),
x(19), x(20), x(21), x(22), x(23), x(24), x(25), x(26), x(27)),...
EQ25(x(1), x(2), x(3), x(4), x(5), x(6), x(7), x(8),
x(9), x(10), x(11), x(12), x(13), x(14), x(15), x(16), x(17), x(18),
x(19), x(20), x(21), x(22), x(23), x(24), x(25), x(26), x(27)),...
EQ26(x(1), x(2), x(3), x(4), x(5), x(6), x(7), x(8),
x(9), x(10), x(11), x(12), x(13), x(14), x(15), x(16), x(17), x(18),
x(19), x(20), x(21), x(22), x(23), x(24), x(25), x(26), x(27)),...
EQ27(x(1), x(2), x(3), x(4), x(5), x(6), x(7), x(8),
x(9), x(10), x(11), x(12), x(13), x(14), x(15), x(16), x(17), x(18),
x(19), x(20), x(21), x(22), x(23), x(24), x(25), x(26), x(27))];

x0 = [0.045,0.472818,16.034*1000,0.05843*1000,0.05,...
0.522818,-67.251*1000,0.005,0.999634,5.358*1000,...
0.522818,0.005,0.999634,180.832*1000,0,...
0.005,0.999634, 5.043*1000,0.005,0,...

15.778*1000,527.264*1000,1471.090*1000,0.472818,142.639*1000,...
0.045,54.954+273.15];
options = optimset('TolX',1e-6); % set TolX
[x, resnorm, f, exitflag, output, jacob] = newtonraphson(fun,
x0, options);
fprintf('\nexitflag: %d, %s\n',exitflag, output.message) %
display output message

53
Universitas Indonesia
iteration=i;
fprintf('iteration= %1.0f %%\n', iteration)

mdot4 =x(1);
XNH3_4 =x(2);
Qdot_DES =x(3);
Wpump =x(4);
mdot2 =x(5);
XNH3_2 =x(6);
H2 =x(7);
mdot7 =x(8);
XNH3_10 =x(9);
Qdot_CON =x(10);
XNH3_1 =x(11);
mdot10 =x(12);
XNH3_12 =x(13);
H12 =x(14);
tglide =x(15);
mdot12 =x(16);
XNH3_13 =x(17);
Qdot_EVA =x(18);
mdot13 =x(19);
err_absammonia =x(20);
Qdot_ABS =x(21);
P1 =x(22);
P10 =x(23);
XNH3_6 =x(24);
H6 =x(25);
mdot6 =x(26);
T6 =x(27);

54
Universitas Indonesia
T2 = XNH3H2O('PXH_T',P10,XNH3_2,H2);
Q2 = XNH3H2O('TPX_Q',T2,P10,XNH3_2);

T4 = XNH3H2O('PXQ_T',P10,XNH3_4,Q4);
H4 = XNH3H2O('TPQ_H',T4,P10,Q4);

Q6 = XNH3H2O('TPX_Q',T6,P1,XNH3_6);

T7 = XNH3H2O('PXQ_T',P10,XNH3_7,Q7);
H7 = XNH3H2O('TPQ_H',T7,P10,Q7);

H10 = XNH3H2O('TPX_H',T10,P10,XNH3_10);

T12 = XNH3H2O('PXH_T',P1,XNH3_12,H12);
Q12 = XNH3H2O('TPX_Q',T12,P1,XNH3_12);

H13 = XNH3H2O('TPX_H',T13,P1*0.001,XNH3_13);
H1 = XNH3H2O('TPX_H',T1,P1,XNH3_1);

% %% Overall
COP_1 = Qdot_EVA / (Wpump + Qdot_DES);
COP_2 = Qdot_EVA / Qdot_DES;
%
%
P_ratio = P10/P1;
%f = (XNH3_9 - XNH3_4) / (XNH3_3 - XNH3_4);

55
Universitas Indonesia
%
%
% %% Energy balance
checkQ = Qdot_DES + Qdot_EVA + Wpump*0.001 - (Qdot_CON + Qdot_ABS);

format bank
fprintf('\nOutputs:\n')
points = { '1', '2', '4', '6',
'7', '10', '12', '13', '', 'Wp',
'Q_SHX', 'Q_ABS', 'Q_RECT', 'Q_DES', 'Q_CON', 'Q_EVA',
'COP'};
mdot = { mdot1, mdot2, mdot4, mdot6,
mdot7, mdot10, mdot12, mdot13, '', Wpump,
'Qdot_SHX', Qdot_ABS, 'Qdot_RECT', Qdot_DES, Qdot_CON,
Qdot_EVA, COP_1};
Pres = { P1, P10, P10, P1,
P10, P10, P1, P1 , '', '[W]',
'[W]', '[W]', '[W]', '[W]', '[W]', '[W]', '[-
]'};
Qual = { Q1, Q2, Q4, Q6,
Q7, Q10, Q12, Q13, '', '', '',
'', '', '', '', '', ''};
Temp = { (T1-273.15), (T2-273.15), (T4-273.15), (T6-
273.15), (T7-273.15), (T10-273.15),(T12-273.15), (T13-273.15),
'', '', '', '', '', '', '',
'', ''};
XNH3 = { XNH3_1, XNH3_2, XNH3_4, XNH3_6,
XNH3_7, XNH3_10, XNH3_12, XNH3_13, '', '',
'', '', '', '', '', '',
''};

fprintf('%15s %15s %15s %15s %15s %15s\n','State point', 'mdot


[kg/s]', 'P [kPa]','Q [-]', 'T [degC]','X [-]')
results = [points; mdot; Pres; Qual; Temp; XNH3];
fprintf('%15s %15.5s %15.4s %15.2s %15.4s %15.5g\n',results{:})

filename = 'Output_validasi_MATLAB_DATANEW';

56
Universitas Indonesia
results = [points; mdot; Pres; Qual; Temp; XNH3];
xlswrite(filename,results);

Outputs:
State point mdot [kg/s] P [kPa] Q [-]
T [degC] X [-]
1 5.00000e-02 5.2726e+05
& 0.52282
2 5.00000e-02 1.4711e+06
3.7989e+01 0.52282
4 4.50000e-02 1.4711e+06
8.7359e+01 0.47282
6 4.50000e-02 5.2726e+05 7.25e-02
5.4954e+01 0.47282
7 5.00000e-03 1.4711e+06
4.2780e+01 0.99963
10 5.00000e-03 1.4711e+06
& 0.99963
12 5.00000e-03 5.2726e+05 1.37e-01
6.8454e+00 0.99963
13 5.00000e-03 5.2726e+05
0.99963

Wp 5.84300e+01 [W]
Q_SHX Qdot_ [W]

Q_ABS 㶢 [W]

Q_RECT Qdot_ [W]


Q_DES 1.60340e+04 [W]

Q_CON ᓮ [W]

Q_EVA Ꮃ [W]
COP 3.347e-01 [-]
end
____________________________________________________________________
______________

57
Universitas Indonesia
function Hp = TPQ_H(Tn,Pn,Q)

T = Tn +273.15;
P = Pn * 1000;

H = XNH3H2O('TPQ_H',T,P,Q);

Hp = H *0.001;
End

function rho = rho_PQX(p,q,x)

rho = refpropm('D','P',p,'Q',q,'ammonia','water',[x 1-x]);

end

function C = CP_PHX(P,H,X)

Cp = refpropm('C','P',P, 'H', H,'ammonia','water',[X 1-X]);

C = Cp * 0.001;
End

clear
clc
format short

58
Universitas Indonesia
XNH3H2O('INIT','PropLib2.dat')

%% Absorber
m_r_out_eva = 0.005;
m_ws_A = 0.045;
m_ss_A = 0.05;
A_A = 0.03;
Plow = 504.78;
Q1 = 0;
T_13 = 6;
Q13 = 0.975;
Phigh = 1470.328;
T_ws = 55.12;
X_6 = 0.4795;
X_13 = 0.999634;
UA_A = 1.378;
Q4 = 0;
MCp_sol_A = 2;

%% Variabel

Z_A_old(1) = 0.3;
T_ss_old(1) = 38;
X_1_old(1) = 0.5295;
T_airout = 42.43;

59
Universitas Indonesia
for i = 2:30
deltaT = 1;
if i >= 10
T_airin(i) = 35;
else
T_airin(i) = 35;
end

Assum = [Z_A_old(i-1),T_ss_old(i-1),X_1_old(i-1)];

EQ1 = @(Z_A,T_ss,X_1)...
m_r_out_eva + m_ws_A - m_ss_A...
- (A_A * Z_A * rho_PQX(Plow,Q1,X_1)...
- A_A * Z_A_old(i-1) * rho_PQX(Plow,Q1,X_1_old(i-
1)))/deltaT;

EQ2 = @(Z_A, T_ss, X_1)...


m_r_out_eva * TPQ_H(T_13,Plow,Q13)...
+ m_ws_A * PXQ_H(Phigh,X_6,Q4)...
- m_ss_A * TPQ_H(T_ss,Plow,Q1)...
- (UA_A * ((((T_ss+T_ws)/2 - T_airout) - ((T_ss+T_ws)/2 -
T_airin(i)))...
/(log((T_ss+T_ws)/2 - T_airout)/((T_ss+T_ws)/2 -
T_airin(i)))))...
- (A_A * ((Z_A * rho_PQX(Plow,Q1,X_1) *
TPQ_H(T_ss,Plow,Q1)...
+ MCp_sol_A * (T_ss+T_ws)/2)...
- (Z_A_old(i-1) * rho_PQX(Plow,Q1,X_1_old(i-1)) *
TPQ_H(T_ss_old(i-1),Plow,Q1)...

60
Universitas Indonesia
+ MCp_sol_A * (T_ss_old(i-1)+T_ws)/2))/deltaT);

EQ3 = @(Z_A, T_ss, X_1)...


m_r_out_eva * X_13...
+ m_ws_A * X_6...
- m_ss_A * X_1...
- (A_A * Z_A * rho_PQX(Plow,Q1,X_1) * X_1...
- A_A * Z_A_old(i-1) * rho_PQX(Plow,Q1,X_1_old(i-1)) *
X_1_old(i-1))/deltaT;

fun = @(x) [EQ1(x(1),x(2),x(3))...


EQ2(x(1),x(2),x(3))...
EQ3(x(1),x(2),x(3))];

x0 = Assum;

options = optimset('TolX',1e-6); % set TolX


[x, resnorm, f, exitflag, output, jacob] = newtonraphson(fun,
x0, options);
fprintf('\nexitflag: %d, %s\n',exitflag, output.message) %
display output message

Z_A_old(i) = x(1);
T_ss_old(i)= x(2);
X_1_old(i) = x(3);

End

61
Universitas Indonesia
clear
clc
format short

XNH3H2O('INIT','PropLib2.dat')
%% Last revised data all comp.

%fungsi yang dapat dipanggil, (TPX,THX,PHX,PQX,HQX, dll. Cek


refprom_cara)
%disini isi semua input konstan masing2 komponen

%%% E (Evaporator)
shell_density_E = 7955; %kg/m3, reference?
shell_thickness_E = 1.5/1000; %m, assumption
shell_length_E = 1; %1.992;%m, from KTE
picture
shell_develop_E = 1.590; %m, from KTE
picture
pan_weight_E = 2.372;
shell_weight_E = shell_density_E *
shell_thickness_E* shell_length_E * shell_develop_E;
V_tank = 0.2*1;

tubeshell_density_E = 8900; %kg/m3, reference?


tubeshell_number_E = 1; %-, assumption
tubeshell_dia_out_E = 0.0117; %m, assumption
tubeshell_thickness_E = 1.05/1000; %m, assumption
tubeshell_length_E = 17.2201; %m, assumption
tubeshell_weight_E = tubeshell_density_E * pi *
tubeshell_dia_out_E * tubeshell_thickness_E * tubeshell_length_E *
tubeshell_number_E; %kg,

62
Universitas Indonesia
A_tube = 3.14*(tubeshell_dia_out_E-
(tubeshell_thickness_E*2)) * (tubeshell_dia_out_E-
(tubeshell_thickness_E*2))/4; %0.007536 m^2
V_tube = 0.129770674;
tubeplate_density_E = 7830; %kg/m3, reference?
tubeplate_thickness_E = 16/1000; %m, assumption
tubeplate_width_E = 0.8; %m, assumption
tubeplate_height_E = 0.645; %m, assumption
tubeplate_weight_E = tubeplate_density_E *
tubeplate_thickness_E * tubeplate_width_E * tubeplate_height_E * 2;
%kg,

tubefluid_dia_in_E = 0.01410; %m, assumption


tubefluid_lenght_E = 2.025; %m, assumption
tubefluid_number_E = 240; %m, assumption
tubefluid_volume_E = pi *
(tubefluid_dia_in_E/2)^2 * tubefluid_lenght_E * tubefluid_number_E;
%m3,

%Vlm_chw_E = tubefluid_volume_E +
waterboxfluid_volume_E; %m3,

%Internal fluid
pan_width_E = 0.53; %m,
pan_length_E = 1.99; %m,
A_E = 0.2; %m2, Pan area
%mdot_chwin = 0.140689;

Cp_ssteel = 0.51; %kJ/kg.K,


Cp_alloy = 0.410; %kJ/kg.K,

m_l_out_exv2 = 0.05;
m_v_out_eva = 0.05;
%P_low = 534.33;
P_E = 534.33; %CAREFUL

63
Universitas Indonesia
UA_E = 0.5909;
Q_12 = 0;
T_12 = 5.626;
% T_13 = 6;
XNH3_10 = 0.999634;
%H_13 = 1611.5;
%H_12 = 369.2819;
%370.97;
%368.87; %untuk T 12 = 5.626
Z_E = 0.2;%m

cpchw = 4.2;%bisa jadi variable


%A_E = 0.001988;
Vflow_chw = 0.000134759;
Vlm_chw_E = 0.129770674;
P_chw = 100;
% T_chwout = 6;
X = 1;
% T_chwout = 6;

MCp_ref_E = (shell_weight_E +
pan_weight_E*2) * Cp_ssteel; %kJ/K, Mass specific heat againts
outlet absorber solution temperature
MCp_chw_E = tubeshell_weight_E *
Cp_alloy;

%VARIABLE
%T_chwout = 6;
H_13_old(1) = 1611.5; %HATIHATI
%T_13_old(1) = 6;
%P_E_old(1) = 534.33;

64
Universitas Indonesia
H_12_old(1) = 369.2819;
Z_E_old(1) = 0.2;
T_chwout_old(1) = 6;

%% Calculation

for i = 2:30
% P_low_old(i-1) = 504.78;
T_chwout_old(i-1) = 6;
% P_E_old(i-1) = 534.53;
deltaT = 0.1;

if i >= 10
T_chwin(i) = 15;
else
T_chwin(i) = 15;
end

assum = [Z_E_old(i-1),H_13_old(i-1),T_chwout_old(i-
1),H_12_old(i-1)];

EQ1 = @(Z_E,H_13,T_chwout,H_12)... %Mass Balance


m_l_out_exv2 - m_v_out_eva - A_E * (((Z_E *
rho_PHX(P_E,H_13,X)) - (Z_E_old(i-1) * rho_PHX(P_E,H_13_old(i-
1),X))))/deltaT;

EQ2 = @(Z_E,H_13,T_chwout,H_12)... %Q_E INT


m_l_out_exv2 * H_12 - m_v_out_eva * H_13 - A_E *...
((Z_E * rho_PHX(P_E,H_13,X) * H_13 + MCp_ref_E *
T_PHX(P_E,H_13,X) + MCp_ref_E * T_PHX(P_E,H_13,X))...
- (Z_E_old(i-1) * rho_PHX(P_E,H_13_old(i-1),X) *
H_13_old(i-1) + MCp_ref_E * T_PHX(P_E,H_13_old(i-1),X)))/deltaT;

65
Universitas Indonesia
EQ3 = @(Z_E,H_13,T_chwout,H_12)... %P_E sebagai disguise karena
EQ1 dan EQ2 tidak berhubungan dengan T_CHWIN OK
Vflow_chw * water_sc_roul_PT(P_chw, T_chwout) *
water_sc_cpl_PT(P_chw, T_chwout) * (T_chwin(i) - T_chwout)...
- UA_E * (((T_chwin(i) - T_PHX(P_E,H_13,X)) - (T_chwout -
T_PHX(P_E,H_13,X)))...
/log((T_chwin(i) - T_PHX(P_E,H_13,X))/(T_chwout -
T_PHX(P_E,H_13,X))))...
- ((Vlm_chw_E * water_sc_roul_PT(P_chw,
(T_chwout+T_chwin(i))/2) * water_sc_cpl_PT(P_chw,
(T_chwout+T_chwin(i))/2) * ((T_chwout+T_chwin(i))/2)...
+ MCp_chw_E * ((T_chwout+T_chwin(i))/2))...
- (Vlm_chw_E * water_sc_roul_PT(P_chw, (T_chwout_old(i-
1)+T_chwin(i))/2) * water_sc_cpl_PT(P_chw, (T_chwout_old(i-
1)+T_chwin(i))/2) * ((T_chwout_old(i-1)+T_chwin(i))/2)...
+ MCp_chw_E * ((T_chwout_old(i-1)+T_chwin(i))/2)))/deltaT;

EQ4 = @(Z_E,H_13,T_chwout,H_12)...
m_l_out_exv2 * H_12 - m_v_out_eva * H_13 - (UA_E *
(((T_chwin(i) - T_PHX(P_E,H_13,X)) - (T_chwout -
T_PHX(P_E,H_13,X)))/log((T_chwin(i) - T_PHX(P_E,H_13,X))/(T_chwout -
T_PHX(P_E,H_13,X)))));

fun = @(x) [EQ1(x(1),x(2),x(3),x(4))...


EQ2(x(1),x(2),x(3),x(4))...
EQ3(x(1),x(2),x(3),x(4))...
EQ4(x(1),x(2),x(3),x(4))];

x0 = assum;

options = optimset('TolX',1e-6); % set TolX


[x, resnorm, f, exitflag, output, jacob] = newtonraphson(fun,
x0, options);
fprintf('\nexitflag: %d, %s\n',exitflag, output.message) %
display output message

66
Universitas Indonesia
Z_E_old(i) = x(1);
H_13_old(i)= x(2);
T_chwout_old(i) = x(3);
% H_13_old(i) = x(2);
% Z_E_old(i) = x(3);
H_12_old(i-1) = x(4);

%densitas(i) = (rho_w_TP(((T_chwin(i) + T_chwout_old(i-


1))/2),P_chw));

% T_eva(i) = T_PHX(P_E,H_13_old(i),X);

end

67
Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai