Anda di halaman 1dari 5

1

Serangan Pneumotoraks Spontan Primer

Sumber: alomedika.com

Pneumotoraks spontan primer merupakan pengempisan paru-paru yang terjadi tanpa adanya
riwayat penyakit paru seperti tuberculosis (TBC) dan kanker paru-paru. Kejadian tersebut pernah
dialami seorang pasien (22) pada 4 Maret 2019. Awalnya pasien merasa sehat dan tidak
mengeluhkan apa pun sejak pagi hari. Ketika bangun dari tidur siang, tiba-tiba pasien mengalami
nyeri pada dada bagian kiri yang menjalar hingga ke punggung dan sesak napas berat. Pasien
segera dilarikan menuju Unit Gawat Darurat (UGD) sebuah rumah sakit. Dokter umum yang
berjaga saat itu memeriksa dan menyatakan bahwa pasien menderita penyakit mag atau sakit
lambung. Pasien akhirnya diperbolehkan pulang dan diresepkan obat untuk mengatasi penyakit
mag tersebut.

Setelah menebus obat dan pulang, bukannya membaik pasien justru mengalami batuk kering yang
intens disertai nyeri pada dada bagian kiri dan sesak napas namun tidak separah gejala awal.
Akhirnya pasien melakukan pemeriksaan ke Rumah Sakit Paru Dr. HA Rotinsulu Bandung. Setelah
melakukan pemeriksaan kondisi paru-paru, tim dokter rumah sakit tersebut mendiagnosis pasien
mengalami pneumotoraks spontan primer. Namun, hingga saat ini tim dokter belum dapat
mengidentifikasi penyebab kondisi tersebut sehingga tergolong penyakit idiopatik. Hasil diagnosis
tersebut membuat pasien dirawat di rumah sakit selama satu bulan dengan waktu untuk sembuh
total selama dua bulan. Selama perawatan di rumah sakit, pasien diharuskan mengonsumsi obat
antibiotik, obat batuk, dan suplemen. Selain itu terdapat tindakan pemasangan selang ada (chest
tube) melalui sela tulang iga untuk membantu memompa dan mencegah kegagalan paru-paru
pasien.

Saat pertama kali didiagnosis penyakit ini, pasien menuturkan bahwa dirinya merasa tidak
menyangka dapat mengalaminya. Hal tersebut terjadi mengingat pasien tidak memiliki riwayat
penyakit paru-paru. Selain itu, pasien juga tidak memiliki faktor risiko seperti menjadi perokok
aktif atau pasif dan mengalami cedera toraks. Pasien pun selalu menjaga gaya hidup sehat di
antaranya dengan tidak memiliki kebiasaan begadang sehingga memiliki cukup waktu untuk
beristirahat. Namun, hal tersebut tidak membuat pasien menyerah dengan penyakit dan berhenti
memiliki gaya hidup sehat. Hasil pencarian pasien menunjukkan bahwa kasus seperti ini ternyata
tidak hanya dialami pasien, tetapi juga beberapa pasien lainnya. Pasien berharap penyebab
penyakit-penyakit idiopatik dapat segera teridentifikasi sehingga dapat dilakukan pencegahan dan
penanganan yang efektif.
2
Anakku Mengidap Tumor Ganas yang Langka

Sumber: cnnindonesia.com

Cerita diawali saat anak laki-laki bernama Rayyan Al Faizan yang kala itu berusia sembilan bulan
tiba-tiba mengalami demam dan bernapas sangat cepat. Rayyan lalu dilarikan ke rumah sakit dan
didiagnosis mengalami pneumonia sehingga harus mendapat perawatan rumah sakit. Saat
anaknya dirawat, Ibu pasien mengatakan bahwa dirinya mendapati ada keanehan di bagian perut
Rayyan yang membesar setiap harinya. Merasa panik, Ibu pasien menanyakan hal tersebut
bahkan hingga kepada tiga orang dokter dan semua jawabannya sama, yaitu karena Rayyan yang
terus menerus menangis. Tidak puas dengan jawaban tersebut, Ibu pasien berinisiatif
memeriksakan kondisi anaknya tersebut ke dokter anak dan dokter menyarankan agar dilakukan
pemeriksaan USG terhadap pasien. Ternyata hasilnya benar, ada yang tidak beres dengan perut
Rayyan. Sejak saat itu, kondisi Rayyan semakin buruk. Rayyan mengalami muntah, buang air, dan
menangis terus menerus. Akhirnya Rayyan dirujuk ke RSAB Harapan Kita di Jakarta untuk transfusi
darah dan biopsi. Hasil biopsi belum keluar namun Rayyan perlu tindakan karena perut Rayyan
bertambah semakin besar, bahkan kemaluannya pun membengkak. Dokter menduga kondisi
tersebut adalah Tumor Wilms atau jenis tumor pada ginjal yang menyerang anak-anak. Akhirnya
dokter menyarankan Rayyan untuk kemoterapi. Setelah satu kali kemoterapi, perut Rayyan
mengempis dan kemaluannya kembali normal. Namun ternyata terdapat keluhan lain berupa
kondisi testis yang tidak normal, testis sebelah kanan naik dan sebelah kiri menghilang. Hasil
pemeriksaan USG pun belum dapat menjelaskan kondisi tersebut.

Tiga bulan menjalani kemoterapi, akhirnya diperoleh hasil diagnosis kondisi Rayyan. Rayyan
didiagnosis mengalami tumor rabdomiosarkoma sehingga perlu adanya penggantian protokol
pengobatan sebelumnya. Protokol pengobatan tumor rabdomiosarkoma biasa hingga risiko tinggi
telah dilakukan, namun ternyata tidak memperkecil ukuran tumor yang dimiliki Rayyan sama
sekali. Setelah melakukan kemoterapi selama satu tahun lebih, dokter menyarankan untuk
dilakukan biopsi kedua pada bulan Januari 2021. Saat itu dokter berkata bahwa hasil biopsi masih
belum bisa menjelaskan tumor yang diderita Rayyan. Dokter hanya berkata bahwa Rayyan
mengalami pembuluh darah di perut yang membesar. Pada bulan Mei 2021, Rayyan melakukan
biopsi yang ketiga, namun hasilnya masih sama, kondisi Rayyan belum dapat ditentukan dengan
jelas. Oleh karena itu, diputuskan bahwa Rayyan harus menjalani pemeriksaan imunohistokima
(IHK) seharga lima juta rupiah untuk memastikan hasil tes biopsi sebelumnya. Akhirnya, hasil IHK
keluar dan menunjukkan kondisi yang sebenarnya diderita Rayyan, yaitu fibrosarcoma infantil
yang merupakan tumor jaringan lunak nonrabdomiosarkoma pada bayi dan anak-anak. Tumor ini
termasuk langka dan sangat ganas. Saat ini Rayyan menggunakan selang nasogastrik di hidungnya
untuk minum susu khusus karena Rayyan juga dinyatakan gizi buruk. Rayyan belum bisa berjalan
dan berbicara serta sudah hampir enam bulan Rayyan tidak mau makan. Hingga saat ini pun
Rayyan sering muntah karena kondisinya termasuk efek kemoterapi yang dijalani.
3
Menyaksikan Kakek Berjuang Melawan Gagal Ginjal

Sumber: clinicaladvisor.com

Tujuh tahun yang lalu, Kakek Kho didiagnosis mengalami penurunan fungsi ginjal karena Kakek
Kho memiliki kebiasaan tidak mengonsumsi air dengan cukup disaat bekerja dengan keras. Hal
tersebut dapat menyebabkan dehidrasi ringan hingga berat yang berisiko merusak fungsi ginjal.
Kerusakan fungsi ginjal tersebut dapat bersifat reversibel atau pun tidak. Pengobatan awal yang
dijalani Kakek Kho adalah konsumsi obat yang diresepkan dan melakukan cuci darah tidak rutin
dengan jadwal yang telah ditentukan dokter. Karena kondisi fungsi ginjal yang semakin menurun,
dokter mengharuskan pasien untuk melakukan cuci darah rutin selama dua kali dalam seminggu.
Dua tahun belakangan ini, kondisi fungsi ginjal Kakek Kho semakin menurun dengan angka yang
semula sebesar 10% hingga mencapai angka 5% dan terus menurun. Kakek Kho sempat mencoba
melakukan pengobatan ke Malaysia untuk memperbaiki kondisi ginjalnya. Namun, hal tersebut
tidak terlalu membawa dampak signifikan untuk kesehatan Kakek Kho. Akhirnya, Kakek Kho harus
melakukan cuci darah dengan penambahan frekuensi menjadi tiga kali dalam seminggu. Kakek
Kho juga tidak diperbolehkan untuk mengonsumsi makanan yang dapat memperburuk kondisinya
saat itu, seperti makanan dengan kandungan kalium yang tinggi dan santan. Cucu Kakek Kho
mengatakan bahwa Kakek Kho masih sering melanggaran larangan tersebut dan ketika dicegah
Kakek Kho akan marah. Cucu Kakek Kho juga menuturkan bahwa hal tersebut mungkin terjadi
karena faktor usia yang menyebabkan Kakek Kho lebih mudah marah.

Dalam sekali melakukan cuci darah, dapat memakan biaya yang tidak murah dan waktu yang
lama, berkisar empat hingga 5 jam. Untungnya, Kakek Kho memiliki asuransi kesehatan yang
membuat Kakek Kho tidak terbebani biaya tersebut. Kakek Kho juga selalu diantar dan ditunggu
oleh anggota keluarganya saat melakukan cuci darah. Karena satu kali cuci darah memakan waktu
yang lama, Kakek Kho sering berinteraksi dengan pasien yang melakukan cuci darah lainnya.
Bahkan anggota keluarga yang menunggu Kakek Kho termasuk cucunya juga dekat dengan
anggota keluarga pasien lain karena sering berinteraksi saat menunggu Kakek Kho melakukan cuci
darah. Selama rutin melakukan cuci darah, Kakek Kho beberapa kali membutuhkan transfusi darah
karena kekurangan darah, namun terkadang kesulitan untuk memperolehnya karena stok yang
terbatas. Cuci darah untuk pasien gagal ginjal tidak memperbaiki fungsi ginjal yang menurun,
namun hanya bertindak untuk menggantikan fungsi ginjal tersebut. Berjuang melawan penyakit
gagal ginjal dan harus rutin melakukan cuci darah bukan sebuah hal yang mudah. Banyak
pengorbanan yang telah dilakukan, seperti biaya, tenaga, waktu, dan pikiran. Hingga akhirnya
Kakek Kho Wie Kau belum lama ini meninggal di usia 75 tahun karena penyakit gagal ginjalnya
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai