Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Ushul Fiqih
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh :
MALANG
2019
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ushul Fiqih adalah ilmu pengetahuan dari hal kaidah-kaidah dan pembahasan-
pembahasan yang dapat membawa kepada pengambilan hukum-hukum tentang amal
perbuatan manusia dari dalil-dalil yang terperinci. Objek pembahasan dari ushul fiqh itu
sendiri adalah dalil-dalil syara’. Hukum syar’i ialah khithab pencipta syari’at yang
berkaitan dengan perbuatan-perbuatan orang mukallaf. Yang mengandung suatu tuntutan
atau pilihan yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya
sesuatu yang lain. Hukum syar’i di bagi menjadi dua macam, yaitu Hukum Taklifi dan
Hukum Wadh’i.
Pembahasan Ushul fiqih adalah seputar hukum, dalil-dalil dan pembagiannya,
teori pengambilan hukum dari dalil dan kode etik seorang pengambil hukum. Rukun
hukum ada empat yaitu : hakim, mahkum alaih, mahkum fiih dan hukum itu sendiri. Dari
sini hakim adalah salah satu rukun hukum dari rangkaian rukun-rukun hukum. Persoalan
tentng hakim adalah penting
Dalam makalah ini. Kami akan membahas tentang hukum wadh’i berikut
pembagiannya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat kami simpulkan rumusan masalah sebagai
berikut :
C. Tujuan Penulisan
PEMBAHASAN
1. Hukum Taklifi
a. Pengertian
Hukum taklifi ialah firman(titah) Allah yang berbentuk Tholab(tuntutan) dan takhyir
(pilihan) atas perbuatan. Pada umumnya ulama’ ushul fiqih mendefinisikan hokum
taklifi dengan “sesuatu yang mengandung perintah untuk berbuat atau tidak berbuat
ataupun untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat suatu perbuatan”.
Hokum taklifi dinamai demikian karena hokum-hukumnya baik perintah, larangan atau
pilihan berkaitan secara langsung dengan perbuatan mukallaf.1
b. Pembagian Hukum Taklifi
Secara terperinci, hokum taklifi dibagi lima sebagai berikut:
1. Wajib
Pada umumnya ulama’ushul fiqih menjelaskan, kata wajib secara etimologi berarti
tetap. Sedangkan secara terminology ialah perbuatan yang dituntut Allah untuk
dilaksanakan oleh mukallaf dengan sifat mesti ( tidak boleh tidak) dilakukan, yang
jika perbuatan itu dilaksanakan, maka pelakunya diberi pahala dan jika ditinggalkan,
maka ia dikenakan dosa.2
2. Mandub
Secara etimologi mandub berarti sesuatu yang dianjurkan karena ia bersifat penting.
Sedangkan dari segi terminology, para ahli ushul fiqih mendefinisikannya dengan
berbagai ungkapan, antara lain :
a. Suatu perbuatan yang Asy-Syari’ menyerukan untuk melakukannya, tetapi tidak
memestikan untuk melaksanakannya.
b. Suatu perbuatan yang Asy-Syari’ memberi pahala kepada pelakunya tetapi tidak
menimpakan dosa kepada orang yang tidak melakukannya.
c. Suatu perbuatan yang Asy-Syari’ memerintahkan untuk mengerjakannya, tetapi
secara umum tidak mencela orang yang meninggalkan perintah itu.3
1
Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, MA, Ushul Fiqh, Amzah, Jakarta, 2014.hal. 39
2
Ibid hal. 45
3
Ibid hal. 55
3. Haram
Yang diamksud dengan haram ialah Suatu perbuatan yang Asy-Syari’ menurut
mukallaf harus meninggalkannya ( melarang melakukannya) yang jika mukallaf
menjauhi larangan itu karena patut kepada Allah, maka ia akan diberi pahala
sedangkan jika melanggar larangan itu maka ia dinilai melakukan pendurhakaan
kepada Allah sehingga akan dikenai dosa dan ancaman siksa.4
4. Makruh
Dari segi etimologi makruh berarti yang dibenci sedangkan dari segi terminology
ialah Suatu perbuatan yang Asy-Syari’ menurut mukallaf untuk meninggalkan
perbuatan tersebut secara tidak mesti ( menganjurkan untuk meninggalkannya) yang
jika mukallaf menjauhi larangan itu karena patuh kepada Allah maka ia akan di beri
pahala tetapi jika ia melanggar larangan itu maka ia tidak dikenai dosa dan ancaman
siksa.5
5. Mubah
Dari segi etimologi mubah berarti melepaskan atau mengizinkan sedang dari segi
terminology yang dimaksud dengan mubah ialah Suatu perbuatan yang Asy-Syari’
memberikan pilihan kepada mukallaf untuk melakukannya atau meninggalkannya,
yang jika melakukan salah satunya tidak diberi pahala dan tidak pula diancam
dengan dosa dan siksa. Sebagian ulama’ lain mendefinisikan mubah dengan : suatu
perbuatan yang tidak diberi ujian atau celaan jika mukallaf mengerjakan atau
meninggalkannya. Menurut sebagian ulama’ hokum mubah itu sendiri identic dengan
halal dan jaiz (boleh).6
2. Hukum Wadh’i
a. Pengertian
Hukum Wadh’i ialah firman (titah) Allah yang berbentuk ketentuan yang menjadikan
sesuatu sebagai sebab atau syarat atau halangan dari suatu ketetapan hokum taklifi. Oleh
karena itu, pada hakikatnya, hokum Wadh’I sangat erat kaitannya dengan hokum taklilfi,
baik dalam bentuk sebab sehingga melahirkan suatu musabbab suatu hokum taklifi atau
4
Ibid hal. 58
5
Ibid hal. 64
6
Ibid hal. 65
dalam bentuk hokum syarat sehingga dimungkinkan berlakunya masyruth suatu hokum
taklifi ataupun dalam bentuk halangan (mani’).7
b. Pembagian Hukum Wadh’i
1. Sabab
Dari segi etimologi, sebab (sabab) berarti sesuatu yang dapat menyampaikan kepada
sesuatu yang lain. Sedangkan dari segi terminology ushul fiqih, sabab ialah sesuatu
yang dijadikan Asy-Syari’ sebagai pengenal terhadap adanya hokum taklifi tertentu,
yang jika ia ada maka hokum tertentu menjadi ada, dan jika ia tidak maka hokum
itupun menjadi tidak ada.
2. Asy-Syarth
Dari segi etimologi, Syarth (syarat) berarti sesuatu yang diperlukan untuk adanya
sesuatu yang lain. Sedangkan dari segi terminology ialah sesuatu yang kepadanya
bergantungkeberadaan sesuatu yang kedua, sedangkan sesuatu yang pertama itu
bukanlah merupakan sesuatu yang kedua itu, sementara ketiadaan itu, sementara
ketiadaan sesuatu yang kedua tidak mesti menyebabkan ketiadaan sesuatu yany
pertama.8
3. Mani’
Dari segi etimologi, Mani’ berarti penghalang. Sedangkan dari segi terminology
yang dimaksud dengan mani’ ialah sesuatu yang Asy-Sri’ keberadaannya menjadi
ketiadaan hokum atau ketiadaan sebab maksudnya batalnya sebab itu, sedangkan
menurut ulama’ lainnya suatu ketentuan syara’ yang keberadaannya menegaskan
hokum kasual dari sebab atau menegaskan akibat hokum.9
4. Al-azhimah dan Ar-rukhshoh
Adapun yang dimaksud dengan Al-azimah ialah suatuu ketentuan syara’ yang sejak
semula ditetapkan sebagai ketentuan yang berlaku secara umum. Sebagian ulama’
ushul fiqih lainnya mendefinisikan Al-azimah dengan rumusan kalimat : suatu
ketentuan yang sejak semula disyariatkan sebagai ketentuan hokum yang umum.
Adapun yang dimaksud dengan Ar-rukhsoh menurut sebagian ulama’ ushul fiqih
ialah hokum-hukum yang disyariatkan untuk keringanan bagi mukallaf dalam
7
Ibid hal. 67
8
Ibid hal. 70
9
Ibid hal. 72
keadaan tertentu. Sebagian ulama’ ushul fiqih lainnya mendefinisikan ar-rukhsoh
dengan ketetapan hokum yang berlaku yang berbeda dengan dalil yang umum karena
adanya kesulitan/keberatan.10
5. Ash-Shihhah, Al-Buthlan, dan Al-Fasad
Yang dimaksud dengan Ash-Shihhah ialah suatu perbuatan yang telah memiliki
sebab, memenuhi berbagai rukun dan persyaratan syara’dan tidak terdapat mani’
padanya. Kata kunci suatu perbuatan yang disebut sah ialah, terpenuhinya semua
kriteria yang dituntut dari suatu perbuatan yang disyariatkan, baik dalam bidang
ibadah maupun dalam muamalah.11
Yang dimaksud dengan Al-Buthlan Menurut bahasa berarti batal, rusak dan gugur
hukumnya. Secara istilah ialah tindakan hukum yang bersifat syar’i terlepas dari
sasarannya, menurut pandangan syara’. Maksudnya, tindakan hukum yang bersifat
syar’i tidak memenuhi ketentuan yang di tetapkan oleh syara’, sehingga apa yang
dikehendaki oleh syara’ dari perbuatan tersebut lepas sama sekali (tidak tercapai).
Misalnya suatu perbuatan tidak memenuhi rukun atau tidak memenuhi syarat, atau
suatu perbuatan di laksanakan ketika ada mani’(penghalang). Perbuatan seperti itu
dalam pandangan syara’ tidak sah (bathl). Misalnya : dalam persoalan ibadah yaitu
orang yang melaksanakan ibadah sholat harus memnuhi rukun dan syaratnya, apabila
ada penghalang seperti haid atau nifas maka sholatnya tidak sah atau batal.12
Yang dimaksud dengan Fasad adalah kondisi perbuatan yang pada asalnya sesuai
syara’, tapi sifat dari perbuatan itu (di luar rukun dan syarat) membuat cacat
perbuatan asal tersebut, yaitu menyimpang dari perintah as syaari’.
Fasad hanya ada pada muamalat, sedang dalam ibadah yang ada hanya sah dan batal
saja.
Contohnya : orang kota berjual beli dengan orang dusun yang tidak mengetahui harga
kota.
Jual belinya secara asal adalah sah, tapi ada sifat dalam jual beli itu, di luar rukun dan
akad jual beli, yaitu pengetahuan ttg harga yang hanya diketahui salah satu pihak,
yang menyimpang dari syara’.
10
Ibid hal. 76
11
Ibid hal. 43
12
http://asyrofi19tuban.blogspot.com/2017/02/makalah-ushul-fiqih-hukum-wadhi-dan.html
Akad yg fasad tidak wajib diulang, tapi cukup menyempurnakan apa yang dianggap
cacat.13
BAB III
PENUTUP
Daftar Pustaka
http://asyrofi19tuban.blogspot.com/2017/02/makalah-ushul-fiqih-hukum-wadhi-dan.html
https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-fasad-didalam-islam/119137
Dahlan, Abdur Rohman, Ushul Fiqh, Jakarta : Hamzah, 2014.