Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MAKALAH

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Ushul Fiqih

Dosen Pengampu: Musbihin Sahal, LC., M.A.

Disusun Oleh:

MUHAMAD IRHAM ADHARUDIN (53010210021)

FATIMAH MUSHLIHAH AZZAHRA (53010210031)

PROGRAM STUDI

SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS USLUHUDDIN ADAB DAN HUMANIORA

IAIN SALATIGA

2021
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Di masa Rasululloh SAW, umat Islam tidak memerlukan kaidah-


kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i, semua
permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasululloh SAW lewar
penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an , atau melalui sunnah beliau
SAW. Mereka juga para ahli bahasa dan pemilik kecerdasan berpikir
serta kebersihan fitrah yang luar biasa, sehingga sepeninggal Rosululloh
SAW merekapun tidak memerlukan perangkat teori (kaidah) untuk
berijtihad.

Setelah meluasnya futuhat islamiyah, umat Islam Arab banyak


berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain yang berbeda bahasa dan latar
belakangnya. Perbedaan ini yang kemudian membuat para ulama merasa
perlu membuat kaidah-kaidah tertulis yang dibukukan sebagai undang-
undang bersama yang bertujuan untuk menyatukan.
BAB II

ISI

Ilmu ushul fiqih selalu berkembang di setiap zaman, mulai dai zaman para sahabat
sampai saat ini. Para mujtahid salling mengedepankan argumen kuat selama tidak bertentangan
dengan syariah. Ada penambahan bahkan penyempurnaan ilmu ushul fiqih pada ijtihad para
sahabat sampai dengan para mujtahid setelah sahabat, terutama pada masa imam syafi’i mulai
membukukan kitab ushul fiqih yang terkenal dengan nama ar-risalah ini sebagai acuan para
ulama fiqih berlomba-lomba untuk membukukan pemkiran ushul fiqih mulai dari perkara yang
diajarkan guru madzhab sampai kepada kasus-kasus masyarakat.

Untuk mempermudahkan pemahaman mengenai perkembangan ushul fiqih, disini kami


akan menuliskan periodisasasi sejarah perkembangan ushul fiqih.

 Periodisasi sejarah perkembangan ushul fiqih


Periode nabi
Ushul Fiqh sebagai sebuah metode telah ada semenjak zaman Nabi, Saw. Walaupun
pada masa itu Ushul Fiqh belum dalam bentuk baku sebagai suatu bidang ilmu yang khas.
Ketika seorang sahabat, misalnya dihadapkan terhadap persoalan hukum, lalu ia mencari ayat
al-Qur’an atau mencari jawaban dari Rasulullah saw., maka hal itu bisa dipandang sebagai
metode memecahkan hukum. Ia sudah punya gagasan bahwa untuk memecahkan hukum
harus dicari dari al-Qur’an atau bertanya kepada Rasulullah saw.
Prototipe-prototipe ushul fiqh demikian tentu telah ditemukan pada masa hidup
Rasulullah saw. sendiri. Para sahabat berijtihad pada saat ia menghadapi suatu persoalan
yang menuntut jawaban hukumnya, sedangkan posisinya berada jauh dari Nabi, Saw. Ijtihad
tersebut masih dilakukan sahabat dalam bentuk sederhana, tanpa persyaratan rumit seperti
yang dirumuskan para ulama dikemudian hari.
Contoh Ijtihad Sahabat, pada masa Nabi, Saw. ketika dua orang sahabat bepergian,
kemudian tibalah waktu shalat. Sayangnya mereka tidak punya air untuk wudlu. Keduanya
lalu bertayammum dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka
menemukan air pada waktu shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang
lain tidak. Keduanya lalu mendatangi Rasulullah saw. dan menceritakan kejadian tersebut.
Kepada yang tidak mengulang, Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah dan
shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudlu dan mengulang shalatnya, Rasulullah
saw. menyatakan: “Bagimu dua pahala.”

Periode sahabat

Periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum, pada hakikatnya
para sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk berijtihad. Hanya saja, ushul fiqh
yang mereka gunakan baru dalam bentuknya yang paling awal, dan belum banyak terungkap
dalam rumusan-rumusan sebagaimana yang kita kenal sekarang.

Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, para
sahabat telah mempraktikkan ijma’ , qiyas, dan istishlah (maslahah mursalah) bilamana
hukum suatu masalah tidak ditemukan secara tertulis dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Pertama, khalifah biasa melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama
tentang persoalan hukum.
Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu), yang berupa qiyas dan
maslahah.

Periode Tabi’in

Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasi
tabi’in juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para pendahulu
mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Al-Qur’an dan sunnah, mereka telah
memiliki tambahan rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ahl al madinah,
fatwa ash shahabi, qiyas, dan maslahah mursalah yang telah dihasilkan oleh generasi
Pada masa tabi’in ini mulai muncul dua fenomena penting:
1. Pemalsuan hadits
2. Perdebatan mengenai penggunaan ra’yu yang memunculkan kelompok Irak (ahl al-
ra’yi) dan kelompok Madinah (ahl al-hadits).
Dua arus besar madrasah ushul fiqih
Dua Arus Besar Madrsah Ushul Fiqih Masa pembentukan hukum Islam yang
telah berlangsung lama, sampai muncullah dua aliran ushul fiqih dengan metode yang
berbeda. Yaitu madrasah Ahlu al-Hadits (tekstualis) dan madrasah Ahlu al-Ra’yu
(rasionalis).
Perbedannya, Ahlu al-Hadits membatasi kajiannya pada Al-Qur’an dan hadits
Nabi. Mereka sangat berhati-hati dan tidak mau melangkah lebih jauh. Mereka tidak
mendukung kajian nalar. Pendek kata, Ahlu al-Hadits beraliran tekstualis. Berbeda
dengan Ahlu al-Hadits, Ahlu al-Ra’yu lebih menggunakan rasio dalam menetapkan
hukum Islam. Prinsip mereka adalah satu, kemaslahatan umat. Dibanding Ahlu al-Hadits,
Ahlu al-Ra’yu lebih rasionalis.
Pada fase ini tidak hanya muncul dua aliran tersebut yang membuat kompleksitas
kajian hukum Islam. Muncul pula kelompok yang melenceng dari dari batas wajar.
Mereka lebih menggunakan nafsu untuk menjadikan dalil. Kondisi memprihatinkan ini
semakin mendesak untuk segara disusun batasan dan bahasan dalil-dalil syara’ serta cara
menggunakannya. Dari sini lah mulai terbentuk ilmu ushul fiqih.

Periode Imam Madzhab

Pada masa periode ini metode ijtihad menjadi lebih jelas dan sistematis. Periode
dimana sebelum Imam Syafi’I merumuskan dan menyusun ilmu Ushul Fiqh.
Imam Abu Hanifah an-Nu’man, pendiri madzhab Hanafi menjelaskan dasar-dasar
istinbath-nya yaitu, berpegang kepada Kitabullah, jika tidak ditemukan di dalamnya, ia
berpegang pada Sunnah Rasulullah. Jika tidak didapati di dalamnya ia berpegang kepada
pendapat yang disepakati para sahabat. Jika mereka berbeda pendapat, ia akan memilih salah
satu dari pendapat-pendapat itu dan tidak akan mengeluarkan fatwa yang menyalahi pendapat
sahabat. Dalam melakukan ijtihad, Abu Hanifah terkenal banyak melakukan qiyas dan
istihsan.
Demikian pula Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, dalam berijtihad
mempunyai metode yang cukup jelas, seperti tergambar dalam sikapnya dalam
mempertahankan praktik penduduk Madinah sebagai sumber hukum.

Periode kodifikasi ushul fiqih

Pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga, Imam Muhammad bin Idris
alSyafi’i (150 H-204 H) tampil berperan dalam meramu, mensistematisasi, dan membukukan
Ushul Fiqh. Imam Syafi’i banyak mengetahui tentang metodologi istinbath para imam
mujtahid sebelumnya, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan metode istinbath para
sahabat, serta mengetahui di mana kelemahan dan keunggulannya.
Imam Syafi’i menyusun sebuah buku yang diberinya judul al-Kitab dan kemudian
dikenal dengan sebutan al-Risalah yang berarti sepucuk surat. Dikenal demikian karena buku
itu pada mulanya merupakan lembaran-lembaran surat yang dikirimkan kepada
Abdurrahman al-Mahdi (w. 198 H), seorang pembesar dan ahli hadits ketika itu. Munculnya
buku al-Risalah merupakan fase awal dari perkembangan ushul fiqh sebagai satu disiplin
ilmu.

Periode pasca kodifikasi ushul fiqih

Pondasi awal Ilmu Ushul Fiqh yang sudah dibangun Imam Syafi’I, menunjukkan
kesempurnaannya pasca wafatnya Imam Syafi’i. kesempurnaan Ushul Fiqh terwujud melalui
usaha para ulama berbagai madzhab dalam mengembangkan hasil pemikiran Imam Syafi’I
yang tertuang dalam kitab ar-Risalah.
Pada periode ini muncul kitab-kitab yang membahas masalah Ushul Fiqh, sepert:
1. Khabar al-Wahid, Karya ‘Isa Ibnu Aban Ibnu Shadaqah (w.220 H);
2. Al-Nasikh wal Mansukh, karya Imam Ahmad Bin Hanbal (164 H- 241H);
3. Ibtal al-Qiyas, karya Imam Daud Al-Zhahiri (200-270 H).
 Aliran-aliran Ushul Fiqih
Sejarah perkembangan ushul fiqh menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak berhenti,
melainkan berkembang secara dinamis. Ada beberapa aliran metode penulisan ushul fiqh
yang saat ini dikenal. Secara umum, para ahli membagi aliran penulisan ushul fiqh menjadi
dua, yaitu mutakallimin (Syafi’iyyah) dan aliran fuqaha (Aliran Hanafiyah). Dari kedua
aliran tersebut lahir aliran gabungan.

Aliran Mutakallimin
Aliran mutakallimin disebut juga dengan aliran Syafi’iyyah. Alasan penamaan tersebut
bisa dipahami karena orang paling pertama mewujudkan cara penulisan ushul fiqh seperti ini
adalah Imam Syafi’I, dan dikenal sebagai aliran Mutakallimin karena para pakar dibidang ini
setelah Imam Syafi’I adalah dari kalangan Mutakallimin (ahli ilmu kalam). Beberapa ciri
aliran ini adalah Ushul Fiqh disajikan secara rasional, filosofis, dan teoritis tanpa disertai
dengan contoh, dan murni tanpa mengacu kepada madzhab fiqh tertentu yang sudah ada.
Alasan atau faktor penyebab aliran ini murni tanpa mengacu madzhab fiqh tertentu
adalah:
1. Imam Syafi’i sendiri yang menetapkan bahwa dasar-dasar tasyri’ itu memang terlepas
dari pengaruh furu’.
2. Mereka berkeinginan untuk mewujudkan pembentukan kaidah-kaidah atas dasar-dasar
yang kuat, tanpa terikat dengan furu’ atau madzhab.
3. Mereka membuat penguat kaidah-kaidah yang telah dibuatnya dengan menggunakan
berbagai macam dalil, tanpa menghiraukan apakah kaidah tersebut memperkuat madzhab
atau melemahkannya.
Semua pemikiran mereka, dapat dilihat dari hasil karya mereka, dalam bentuk tiga kitab,
yang kemudian dikenal dengan sebutan al-Arkan al-Tsalatsah yaitu sebagai berikut:
1. Kitab al-Mu’tamad, karya Abu Husain Muhammad ibn ‘Ali al-Bashriy (w. 412 H).
2. Kitab al-Burhan, karya al-Imam al-Haramain (w. 474 H).
3. Kitab al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, karya al-Ghazali (w. 500 H).
4. Mahsul karya fakhr al-Din Muhammad bin Umar al- Razi al-Syafi’i (w. 606 H).
Aliran Fuqaha
Aliran yang kedua ini dikenal dengan aliran fuqaha yang dianut oleh para ulama madzhab
Hanafi. Dinamakan aliran fuqaha karena dalam sistem penulisannya banyak diwarnai oleh
contoh-contoh fiqh. Dalam merumuskan kaidah ushul fiqh, mereka berpedoman pada
pendapat-pendapat fiqh Abu Hanifah dan pendapat-pendapat para muridnya serta
melengkapinya dengan contoh-contoh.

Di antara kitab-kitab standar dalam aliran fuqaha ini antara lain: kitab al-Ushul (Imam
Abu Hasan al-Karakhiy), kitab al-Ushul (Abu Bakar al-Jashash), Ushul al-Syarakhsi (Imam
alSyarakhsi), Ta’shish an-Nadzar (Imam Abu Zaid al-Dabusi), dan al-Kasyaf al-Asrar (Imam
alBazdawi).

Aliran Gabungan
Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh aliran
mutakallimin dan Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran gabungan adalah dengan
membumikan kaidah ke dalam realitas persoalan-persoalan fiqh. Persoalan hukum yang
dibahas imam-imam madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah yang menjadi sandarannya.
BAB 3

PENUTUP

Periodisasi perkembangan ushul fiqh di mulai sejak zaman Rasulullah SAW sumber
hukum Islam hanya dua, yaitu Al-Quran dan Assunnah. Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW
menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun,
maka Rauslullah SAW menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian
dikenal dengan hadits atau sunnah.
Perkembangan Ushul Fiqh pada masa sahabat Memang, semenjak masa sahabat telah
timbul persoalan-persoalan baru yang menuntut ketetapan hukumnya. Untuk itu para sahabat
berijtihad, mencari ketetapan hukumnya. Setelah wafat Rasulullah SAW sudah barang tentu
berlakunya hasil ijtihad para sahabat pada masa ini, tidak lagi disahkan oleh Rasulullah SAW,
sehingga dengan demikian semenjak masa sahabat ijtihad sudah merupakan sumber hukum.
Perkembangan Ushul Fiqh pada masa tabi’in, tabi’it-tabi’in dan para imam mujtahid, di
sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke
daerah- daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab
dan beragam pula situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang
bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang
memeluk agama Islam.
Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah
tersebut, menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak
didapati ketetapan hukumnya dalam Alquran dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal
di berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Nazar Bakry, 2003, fiqh dan ushul fiqh, Cetakan IV,Jakarta: Raja Grafindo Persada
Satria Efendu, M.Zein.2005. Ushul Fiqh. Jakarta, Prenada Media Group
Syafe’I, Rachmat Prof. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Cv Pustaka Setia

Anda mungkin juga menyukai