Anda di halaman 1dari 10

PELAYANAN PUBLIK DIGITAL

(PKP Angkatan Ke-2)


MATERI PELENGKAP MODUL (MPM)

Utama Andri A. ST. MT

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BPS


TAHUN 2020
PELAYANAN PUBLIK DIGITAL
Pemerintahan di seluruh dunia pada saat ini menghadapi "tekanan" dari berbagai pihak untuk
meningkatkan kualitas pelayanan publik dan meningkatkan partisipasi aktif dalam pemberian informasi
bagi masyarakat serta dituntut untuk lebih efektif. Hal tersebut menyebabkan eGovernment atau
pemerintahan berbasis elektronik semakin berperan penting bagi semua pengambil keputusan.
Pemerintah Tradisional (traditional government) yang identik dengan paper-based administration mulai
ditinggalkan. Transformasi traditional government menjadi electronic government (e-Government)
menjadi salah satu isu kebijakan publik yang hangat dibicarakan saat ini.

Birokrasi identik dengan kinerja yang berbelit-belit, struktur yang terlalu besar, penuh dengan kolusi,
korupsi dan nepotisme, serta tidak ada standar yang pasti (Yusriadi & Misnawati, 2017, p. 100). Saat ini
birokrasi harus mampu melaksanakan kebijakan publik yang efektif, efisien dan cepat, bermuara pada
kualitas dan kecepatan pelayanan dan peningkatan daya saing (Cahyono, 2017). Salah satu isu penting
dalam proses reformasi di Indonesia adalah perwujudan tata pemerintahan yang baik (good governance)
melalui reformasi birokrasi, di mana rekam jejak birokrasi dianggap tidak profesioal, tidak netral, dan
sangat paternalistik yang menjadi akar korupsi, kolusi, dan nepotisme (Firnas, 2007, p. 27). Birokrasi juga
harus melayani, sesuai paradigma New Public Services (NPS) yang menekankan pemerintah sebagai
pelayan, melayani bukan mengarahkan, tidak dijalankan dengan prinsip bisnis (Denhardt & Denhardt,
2016). Menurut penelitian Taufan (2017) dampak reformasi birokrasi yang berpengaruh signifikan
terhadap kualitas pelayanan di antaranya perubahan cara berpikir (Mindset) pegawai dari penguasa
menjadi pelayan, serta meningkatkan pengawasan masyarakat terhadap kinerja birokrasi.

Salah satu indikator keberhasilan reformasi birokrasi adalah kecepatan birokrasi dalam pelayanan dengan
memangkas regulasi, peraturan, maupun sistem yang menghambat, serta penggunaan sistem yang lebih
tanggap. Hasil penelitian Nurbarani (2009) di Kota Surakarta menyatakan keberhasilan reformasi birokrasi
karena gagasan program inovatif yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, serta adanya
prinsip-prinsip utama yang melandasi pelaksanaan good governance Kota Surakarta. Prinsip tersebut
yaitu akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat. Begitu pun pengaruh reformasi birokrasi
dengan penerapan pelayanan satu pintu yang terlihat nyata adalah mempersingkat waktu pelayanan. Ada
dua strategi dalam pelaksanaan reformasi birokrasi, yaitu Comprehensive Strategy dan Incremental
Strategy. Comprehensive Strategy meliputi berbagai bidang cakupan seperti personil, anggaran, dan
organisasi dan sangat ditentukan political will kepala daerah. Adapun Incremental Strategy adalah
pendekatan reformasi birokrasi secara bertahap dan berurutan, karena reformasi dianggap sebagai salah
satu proses (Ahmad, 2018).

Salah satu cara mengatasi masalah birokrasi adalah dengan “inovasi” (Andhika, 2017, p. 50). Pasalnya,
inovasi dipandang sebagai kebutuhan karena dapat mengatasi masalah patologi birokrasi, meningkatkan
kualitas pelayanan publik, memaksimalkan potensi aparatur, serta mengembalikan kepercayaan publik.
Inovasi juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi yang pesat. Aparatur pemerintah
dituntut mampu bekerja sesuai dengan perkembangan teknologi tersebut. Teknologi menjadi hal cukup
penting sebagai instrumen dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Hal ini didorong oleh
tumbuhnya model komunikasi baru yang berkembang seiring pesatnya penetrasi internet dan media
sosial. Data menunjukkan bahwa 132,7 juta orang (51,5%) penduduk Indonesia telah menggunakan
internet, mayoritas pengguna internet di pulau Jawa mencapai 65 % (86,3 Juta orang). Diprediksi angka
tersebut meningkat tajam pada tahun-tahun mendatang (Cahyono, 2017).
Penerapan e-governance merupakan salah satu upaya yang perlu dilakukan. Untuk menyikapi hal
tersebut, meskipun tidak semua jenis pelayanan publik dapat disediakan sepenuhnya melalui elektronik
dalam bingkai e-government, tetapi faktanya sejauh ini banyak kegiatan pelayanan publik disediakan
melalui elektronik (Holle, 2011). Beberapa negara seperti Amerika dan Inggris jauh menerapkan e-
government dalam pelayanan publik (Indrajit, 2009, p. 8). Adapun manfaat nyata yang dirasakan seperti;

1) Memperbaiki kualitas pelayanan pemerintah;


2) Meningkatkan transparansi, kontrol, dan akuntabilitas,
3) Mengurangi secara signifikan total biaya administrasi, relasi, dan interaksi,
4) Memberikan peluang bagi pemerintah untuk mendapatkan sumber-sumber pendapatan baru,
5) Menciptakan suatu lingkungan masyarakat baru yang cepat dan tepat menjawab permasalahan,
6) Memberdayakan masyarakat dan pihak-pihak lain sebagai mitra pemerintah dalam proses
pengambilan berbagai kebijakan publik

Pada awal abad ke 21, berbagai gerakan menuju e-government telah dimulai, baik dalam skala mikro
maupun makro. E-government juga menyentuh berbagai sektor, baik penyelenggaraan manajerial dan
tata kelola pemerintahan, maupun pelayanan publik. Di banyak daerah, perjalanan e-government dimulai
dari pemanfaatan teknologi informasi untuk memberikan informasi, penerangan, dan penyajian profil.
Perkembangan selanjutnya, penggunaan teknologi informasi merambah ke penyediaan ruang partisipasi/
pengaduan, penentuan kebijakan, bahkan tata kelola manajerial dan saluran utama pemberian layanan
kepada masyarakat. Pada prinsipnya, reformasi birokrasi pada pelayanan publik harus berjalan karena
merupakan pintu masuk menuju good governance menggunakan prinsip efektivitas dan efisiensi,
demokrasi, transparansi, taat hukum, menghargai HAM, responsif, representatif, dan akuntabel
(Akhmaddhian, 2012). Hasil assessing terhadap pengembangan e-government di Indonesia sejauh ini
terdapat empat pemerintah daerah yang sudah sampai pada tahapan pemanfaatan, yaitu Pemerintah
Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Gresik, dan Kota Surabaya (Yunita & Aprianto,
2018, p. 334). Hakekat Pelayanan Publik antara lain :

 Meningkatkan mutu dan produktivitas pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah di bidang
pelayanan publik.
 Mendorong upaya mengefektifkan sistem dan tata laksana pelayanan, sehingga pelayanan publik
dapat diselenggarakan lebih berdaya guna dan berhasil guna.
 Mendorong tumbuhnya kreativitas, prakasa, dan peran serta masyarakat dalam derap langkah
pembangunan serta dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.

Praktek Maladministrasi Dalam Pelayanan Publik

Pengertian maladministrasi sebagaimana dalam kamus Cambridge mendefinisikan maladministrasi


sebagai lack of care, judgment or honesty in the management of something, atau dapat diartikan sebagai
kekurangpedulian atau ketidakjujuran seseorang dalam mengelola sesuatu. Sedangkan dalam Wikipedia
mendefenisikan maladministrasi sebagai sesuatu yang memiliki makna yang luas dan mencakup antara
lain.

a. Delay (menunda-nunda pekerjaan)


b. Incorrect action or failure to take any action (kesalahan dalam bertindak atau melayani)
c. Failure to follow procedures or the law (mengabaikan prosedur atau hukum yang berlaku)
d. Failure to provide information (kesalahan dalam memberi kan informasi) e. Inadequate record-
keeping (pencatatan yang tidak memadai)
e. Failure to investigate (kesalahan dalam penyelidikan)
f. Failure to reply (kesalahan dalam menjawab)
g. Misleading or inaccurate statements (pernyataan yang menyesatkan atau tidak akurat)
h. Inadequate liaison ( kurangnya penghubung)
i. Inadequate consultation (kurangnya konsultasi)
j. Broken promises (ingkar janji)

Proyeksi Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik 2020

Kualitas pelayanan publik ditentukan oleh seberapa baik sikap dan perlakukan penyelenggara
negara/instansi pemerintah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya kepada masyarakat serta
tingkat kepuasan masyarakat yang ditandai dengan membaiknya kesejahteraan masyarakat dari waktu ke
waktu.

Ombudsman RI sebagai lembaga negara pengawas pelayanan publik sesuai amanah UU Nomor 37 Tahun
2008 tentang Ombudsman RI dan UU Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Ombudsman RI
melakukan pengawasan pelayanan publik terhadap dugaan dan potensi maladministrasi yang dilakukan
penyelenggara negara sebagaimana Pasal 6 dan Pasal 7 UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman
RI, yaitu mengawasi aspek pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan
pemerintahan, termasuk BUMN, BUMD, BHMN, Badan Swasta dan/atau perseorangan yang
melaksanakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari
APBN/APBD. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik tahun 2020, kita perlu mencermati kondisi
pelayanan publik tahun 2019.

Pengaduan Masyarakat kepada Ombudsman

Pengaduan atau laporan masyarakat terkait pelayan publik yang telah dilakukan penanganan dan
penyelesaian oleh Ombudsman sepanjang tahun 2019 mencapai 11.087 aduan. Jumlah ini meningkat dari
tahun 2018 yang mencapai 10.985 aduan. Berdasarkan data Ombudsman, tahun 2019, pemerintah
daerah menjadi terlapor yang banyak diadukan masyarakat berkaitan dengan pelayanan publik sebanyak
41,03 persen. Instansi kepolisian menduduki peringkat kedua dengan 13,84 persen dan diikuti instansi
pemerintah/kementerian dengan 9,87 persen (Catatan Akhir Tahun Ombudsman, publikasi ke media 17
Desember 2019).

Substansi pengaduan masyarakat tersebut terkait dengan maladministrasi dalam berbagai hal yang
menjadi objek kewenangan Ombudsman RI yaitu perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui
wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut,
termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang
dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau
immaterial bagi masyarakat dan orang perseorangan (Pasal 1 Ayat 3, UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman RI).

Bentuk-bentuk maladministrasi yang dilaporkan mencakup berbagai bentuk, yang dirumuskan sesuai
acuan dalam Pasal 11 Peraturan Ombudsman RI Nomor 26 tahun 2017 tentang Tata Cara Penerimaan,
Pemeriksaan dan Penyelesaian Laporan, menjelaskan bahwa bentuk maladministrasi terdiri dari : 1)
Penundaan berlarut, 2) Tidak memberikan pelayanan, 3) Tidak kompeten, 4) Penyalahgunaan wewenang,
5) Penyimpangan prosedur, 6) Permintaan imbalan, 7) Tidak patut, 8) Berpihak, 9) Diskriminasi, dan 10)
Konflik kepentingan.

Demi mewujudkan kualitas pelayanan untuk tercapainya pelayanan publik prima, salah satu indikator
sasaran pembangunan dalam Rancangan Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2020 sesuai Perpres Nomor 61
tahun 2019 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2020, bagian pembangunan aparatur adalah
meningkatnya inovasi dan kualitas pelayanan publik. Presiden Joko Widodo, dalam pidatonya mengenai
visi Indonesia di Sentul International Convention Center tanggal 14 Juli 2019, yang menggagas lima hal
untuk visi pembangunan Indonesia lima tahun kedepan, salah satunya juga menekankan pentingnya
agenda reformasi birokrasi, terletak pada kecepatan pelayanan dan perizinan.

Apabila penyelenggara negara/instansi pemerintah berkomitmen kuat dalam menjalankan tugas dan
fungsinya, sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan mengutamakan aspek pelayanan dan keadilan,
maka visi dan tujuan untuk mencapai peningkatan kualitas pelayanan publik prima tahun 2020 semoga
dapat terwujud.

Etika Pelayanan Publik

Dalam memberikan suatu pelayanan kepada publik sudah barang tentu norma seperti halnya Standard
Operational Procedure (SOP) menjadi suatuguidance/pedoman penyelenggara pelayanan publik. Namun
demikian aspek etika maupun moral juga tidak serta merta diabaikan hanya karena sudah adanya aspek
prosedural formal. Senyum, salam, sapa, ramah dan melayani dengan penuh ketulusan merupakan salah
satu contoh etika yang baik dalam memberikan suatu pelayanan kepada publik.

Secara etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani yaitu Ethos yang mempunyai dua dimensi konsep yaitu
tunggal dan jamak. Pada dimensi tunggal berarti sikap, cara berpikir, watak, akhlak. Sedangkan dalam
bentuk dimensi jamak bermakna adat kebiasaan. Lalu, apa bedanya etika dan moral? Sederhananya etika
adalah sebuah penilaian baik dan buruk. Sementara moral bentuk operasional dari etika tersebut yakni
integritas. Maka ketika kita berbicara etika di dunia publik tidak hanya berbicara mengenai institusi-
institusi sosial baik itu hukum maupun kebiasaan. Namun, dalam etika publik ada yang namanya integritas
publik yang merupakan landasan utama etika publik itu sendiri.

Dalam dunia pelayanan publik atau administrasi publik, etika diartikan sebagai filsafat moral atau nilai,
dan disebut dengan "profesional standard" (kode etik) atau "right rules of conduct" (aturan perilaku yang
benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik. Artinya, penyelenggara pelayanan selain
melayani masyarakat dengan berperilaku yang baik, ramah juga harus mematuhi standar atau kode etik
yang telah diterapkan di setiap institusi-institusi. Apabila ada penyelenggara yang melanggar etika
administrasi publik maka sama saja penyelenggara tersebut maladministrasi karena tidak
menjalankan professional standard dan tidak berperilaku yang benar.

Sederhananya, untuk melihat penyelenggara pelayanan publik tersebut menjalankan etika administrasi
publik adalah melihat apakah si penyelenggara tersebut sudah menerapkan standar pelayanan atau
belum dalam proses pelayanan publiknya. Beberapa waktu lalu, Ombudsman Republik Indonesia merilis
hasil penilaian kepatuhan standar pelayanan publik sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik hasilnya, masih banyak pemerintah daerah memperoleh kepatuhan standar
pelayanan yang rendah dan sedang.
Padahal, pemenuhan standar pelayanan adalah suatu keharusan yang mesti dipenuhi oleh penyelenggara
pelayananan sebagai pemenuhan dari aspek prosedural formal. Kepatuhan standar pelayanan yang
rendah selain bentuk dari tidak menjalankan etika administrasi juga menimbulkan potensi adanya
maladministrasi. Pada akhirnya, masyarakat pun akan menilai sendiri, jika aspek prosedural formal saja
tidak dipenuhi bagaimana dengan aspek etika atau moral? Betul penilaian tersebut tidak dapat dijadikan
satu-satunya indikator untuk mengukur etika seseorang atau instansi, tapi apa iya kita akan selamanya
membiasakanwrong rule of conduct bukanright rule of conduct? Tentu saja tidak.

Rencana Transformasi Digital BPS


Arsitektur Bisnis BPS
Alur Data BPS

Arsitektur Data
DAFTAR PUSTAKA

Sofianto, Arif. (2019). Inovasi Manajemen Pemerintahan Berbasis Aplikasi Digital di Provinsi Jawa
Tengah. Matra Pembaruan. 3. 99-108. 10.21787/mp.3.2.2019.99-108.

Erick S. Holle (2011). Pelayanan publik melalui electronic government: upaya meminimalisir praktek
maladministrasi dalam meningkatan public service. Jurnal Sasi Vol.17 No.3 Bulan Juli-September 2011

Bennis,W. and M.Mische, 1995. The 21 Century Organization. Pfeiffer&Company.NewYork.

Forman, Mark, 2005. E-Government: Using IT to Transform the Effectiveness and Efficiency of
Government.

Hartono, Sunaryati; Budhi Masthuri, Enni Rochmaeni, Winarso, Panduan Investigasi untuk Ombudsman
Indonesia, Diterbitkan atas dukungan The Asia Foundation Indonesia.2003

Hadjon M. Philipus, dkk, Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, Gadjah Mada University Press,
Jogyakarta, 2011
Indrajit, R.E. E-Government: Strategi Pembangunan dan Pengembangan Sistem Pelayanan Publik
Berbasis Teknologi Digital. Penerbit: Andi, Yogyakarta.2002

Masthuri, Budi, Mengenal Ombudsman Indonesia. Penerbit: Pradnya Paramita, Jakarta, 2005

Anda mungkin juga menyukai