Anda di halaman 1dari 5

A Letter From Past

Prolog
Rasanya aku telah tertidur cukup lama, hingga tetesan air entah darimana jatuh melalui ujung
pelupuk mata kiriku. Tidak ada mimpi yang dapat kuingat, termasuk hari-hariku sebelum tidur
panjang ini. Namun, hanya suara itu yang terus melayang bebas diingatanku.
“Nao-kun.
Nao-kun.
Nao-kun, isshouni ittekureru?”
Kenapa –
–hatiku selalu sakit mengingatnya?
***
Episode 1: (Bukan) Pemeran Utama
Malam Tokyo kembali basah oleh hujan. Kurasa berjalan kaki bukanlah ide yang tepat.
Payung tidak memberiku jaminan akan baik-baik saja diesok hari. Aku segera melebarkan payung
lipat berwarna biru dan berlari kecil menembus hujan menuju halte bis yang berada diseberang kantor.
Namun, sebelum aku menyebrang, seorang anak laki-laki –mungkin masih berusia 7 tahun –
dengan jas hujan berwarna kuningnya menghadangku. Aku tertegun dan memperhatikan sekeliling
yang agak sepi. Anak ini pasti tersesat. Aku memayunginya dan jongkok dihadapannya sambil
tersenyum. Wajahnya yang tertutup oleh tudung jas terlihat jelas olehku. Wajah yang manis dengan
tahi lalat kecil di pipi kanannya.
“Apa kau tersesat?”
Ia menggeleng. “Nee-chan yang tersesat.”
“eh?” keningku mengerut tipis. Apa maksud anak ini?
Anak laki-laki itu kembali membuatku tertegun kala mengeluarkan secarik amplop dari balik
jas hujannya. Ia menyodorkannya padaku. Sebuah amplop tanpa perangko.
“Buat –nee-chan?” Tanyaku sedikit ragu. Untuk apa dia memberikanku sebuah amplop?
“Hm.” Dia mengangguk mantap. “Paman menyuruhku memberikannya pada nee-chan?”
“Paman –“ Aku meraihnya dengan bingung dan suaraku melirih. “ –siapa?”
Eh?
Amplop ini tidak kosong. Ada secarik kertas didalamnya. Aku kembali menatap anak laki-
laki itu untuk menanyakan kejelasan “paman” yang menitipkan surat ini. Namun, ia seolah mendengar
kata-kata yang baru saja kulontarkan didalam hati.
“Surat untuk Nee-chan dari paman tentara 12 tahun yang lalu.”
Ini benar-benar tidak lucu. Pasti ada seseorang dibalik anak ini. Tidak mungkin seumuran dia
bisa mengatakan hal konyol seperti ini. Terutama “paman tentara” yang ia maksud adalah ayahku.
“Paman tentara yang menyuruhku mengatakan ini.”
Deg.
Deg.
Aku mulai ketakutan saat menatap tatapan anak laki-laki itu yang begitu kosong. Aku baru
tersadar, sejak awal, tatapan anak laki-laki itu kosong.
“iikoh.”
Eh?
Tiba-tiba ia meraih pergelangan tanganku dan menarik tubuhku berdiri lalu menyebrangi
jalan. Keterkejutanku menyebabkan payung biruku terjatuh dan jemari tanganku yang lain semakin
keras mencengkram surat. Aku tidak bisa menggapainya karena anak laki-laki ini menggenggam
tanganku begitu erat dan mengambil langkah sangat banyak. Aku pun hampir terjatuh beberapa kali
oleh kakiku sendiri.
“Nee-chan harus kembali.”
“kembali kemana?”
Langkahnya terhenti. Kami berdiri ditengah jalan dan anak laki-laki itu berbalik
menghadapku sembari mengangkat wajahnya kearahku dan menyibakkan tudung jas hujan yang
sedari tadi ia pakai kebelakang kepalanya. Ia tersenyum lebar.
“Nee-chan, kebohongan tidak akan pernah membuat orang lain bahagia. Kenapa Nee-chan
memberikan cerita-cerita bohong untuk paman?”
A –ayah –tidak mungkin.
Tetesan- tetesan air hujan semakin membasahi rambut dan wajahku. Tapi, aku bisa merasakan
hangat bulir-bulir air mata yang jatuh dikedua ujung pelupuk mataku. Aku tidak ingin percaya setiap
kata yang terlontar oleh anak laki-laki aneh ini, tapi, mengingat betapa menyedihkannya aku 12 tahun
yang lalu membuatku tidak sanggup menahannya.
“Bagaimana jika kembali untuk memperbaiki semuanya?”
Belum sempat aku membalas ajakannya, sebuah klakson berbunyi nyaring dari sisi kananku.
Aku menoleh dan –
Brak!
***
Aku beranjak duduk dengan nafas tersengal-sengal. Bulir-bulir keringat mengalir turun
melalui pori-pori rambut bagian depanku. Aku langsung menyekanya dan tertegun saat telapak
tanganku menyentuh rambutku.
Sangat basah.
Aku memegang seluruh rambutku. Keringat tidak mungkin bisa membasahi seluruh
rambutku. Namun, yang lebih mengejutkanku adalah rambutku yang sedikit memanjang dari
sebelumnya. Kupikir, panjang rambutku hanya setengah tengkuk.
“Nee-chan?”
Kasumi menatapku dengan kesal sambil berkacak pinggang setelah menggeser pintu
kamarku. “kenapa baru bangun?”
“ka –“ cotto!
Aku memperhatikan sekelilingku dan kedua mataku menangkap sebuah kalender meja dimeja
belajar. November 2004.
Bagaimana jika kembali untuk memperbaiki semuanya?
Tubuhku bergetar hebat dan kedua tanganku menutup mulutku yang sedikit menganga dengan
kedua mataku yang terus menatap sekelilingku tidak percaya.
“u –u –uso –aku tidak mungkin –“
“Onee-chan” Pekik Aoi. “Gohan iku yo.”
Bruk.
Kasumi membanting pintu kamarku dengan kasar. Samar-samar aku mendengar decakan
kekesalannya. Namun, aku mengabaikannya. Aku beranjak berdiri dari futonku dan berjalan perlahan
menuju kaca yang tertempel dipintu lemari melewati kertas-kertas yang berserakan dilantai.
Air mataku jatuh setelah menatap wajahku dengan rambut sebahu dan sebuah jepitan yang
menjepit poniku kesamping. Sebuah jepitan yang sangat kurindukan.
“Ini –mimpi, kan?”
***
Ini bukan mimpi!
Ini nyata!
Aku. Kembali. Ke. Masa. Lalu.
Aku berdiri didepan cermin sembari mengepang rambut panjang sebahuku. Sebuah
handsaplast tertempel manis dikeningku. Untuk memastikan ini adalah mimpi, aku menggoreskan
sedikit keningku dengan gunting di kamar mandi tadi. Lalu, setelah rasa perih yang kudapatkan, aku
menyadari satu hal.
Bukan.
Bukan tentang pertanyaan ‘apa ini mimpi’, tapi, ‘kenapa harus kening? Kenapa aku tidak
menggores jariku saja?’
Ma ii ka.
Aku tersenyum menatap diriku didepan cermin. Ini pertama kalinya aku mengepang
rambutku. Selama ini –maksudku saat aku masih sekolah –aku tidak pernah mau mengepang
rambutku. Hanya menguncirnya biasa. Aku tidak menganggap ‘mengepang rambut’ adalah gaya yang
kuno, tapi mengepang rambut adalah simbol keluarga besarku. Hanya anggota keluargaku yang boleh
mengepang rambutnya dikota ini.
Klan Nakayashi.
Aroma sop jamur miso menyeruak masuk kedalam kamarku seolah memaksaku untuk segera
meninggalkan kamar ini. Aku segera meraih tas sekolahku dan beranjak keluar. Suara obrolan dfnan
tawa pun terdengar olehku setelah menggeser pintu kamar.
Aku terlahir dari sebuah keluarga terkaya dikota kecil ini. Tinggal agak terpencil dari
pemukiman karena rumah kami yang begitu besar. Setiap inci interior rumah ini tidak berubah sejak
dibangun pertama kali. Walau untuk beberapa bagian telah diganti dengan bahan-bahan yang lebih
modern.
“Yasumi.“ Lirih Nenek tertegun menatap kehadiranku dan memancing semua kepala
memandang kearahku.
Aku tersenyum tipis sembari membungkuk rendah dan duduk disebelah adik terakhirku,
Nanba. “Ohayou.”
Diatas meja rendah sepanjang tiga meter ini terhidang berbagai macam sarapan tradisional
yang hampir semuanya dimasak dengan kayu dan anehnya, dalam 30 menit, semua makanan itu habis
tidak tersisa.
“Apa akhirnya kau berhenti memberontak, Yasumi?” Takato mendesah berat. “tsumanai.”
Nakayashi Takato, 29 tahun, pengangguran, pamanku yang kelima. Pemalas, berantakan, dan
seenaknya. Selalu menghabiskan hari-harinya didepan TV dan katanya akan memulai kehidupan baru
setelah Nenek meninggal. Tapi, Takato adalah seorang pendengar yang baik. Hanya dengan
keluhanku dalam hati, Takato akan menghampiriku dan menceritakan segala hal yang membuat
perasaanku menjadi lebih baik. Sejak kecil, aku memang sudah dekat dengan Takato karena hanya
aku yang mau membantunya kabur ditengah malam untuk bermain bersama teman-temannya.
Ngomong-ngomong, aku tidak pernah memberontak. Aku hanya tidak ingin mengepang
rambutku.
“Nee-chan, pemberontakan itu apa?” Tanya Yui kepada kakaknya, kurumi, dan memancing
semua pasang mata tertuju pada Takato dengan sinis.
Nakayashi kurumi, anak keempat dari generasi kelima klan Nakayashi. Memiliki seorang adik
bernama Yui yang masih berusia lima tahun. Sepupu tercantik yang kumiliki. Ibunya berkebangsaan
perancis dan pergi begitu saja setelah Yui lahir. Kami seumuran dan satu kelas. Ayah kurumi
memiliki sebuah perusahaan asuransi di kobe, Tokyo, dan setahun sekali pulang kerumah.
Empat tahun yang lalu, kurumi nekat pergi ke Tokyo sendiri karena ayahnya tidak datang ke
hari ulang tahunnya. Sayangnya, kesialan menimpa kurumi. Begitu sampai di Tokyo, ia hampir
diperkosa oleh sekawanan anak SMA. Beruntung Ayah dan Takato berhasil menemukan kurumi
sebelum segala “hal” yang dimilikinya terenggut. Sejak saat itu, kurumi sangat ketakutan saat berada
didekat bahkan tidak sengaja tersentuh oleh seorang cowok.
Disekolah, fobia cowoknya sangat terkenal, namun hal itu justru membuat semakin banyak
cowok yang menyukai. Dalam sehari, mungkin ada sekitar lima cowok yang menembaknya. Benar-
benar gadis yang beruntung sekaligus sial.
“Perhatikan ucapanmu, Takato!” Tegur Ibu membuat Tubuh Takato sedikit membungkuk.
Ibu adalah anak keempat dan satu-satunya perempuan digenerasinya. Selalu menghabiskan
waktunya didapur dan mengejar Nanba untuk mandi. Tapi, Ibu melakukannya hanya untuk
melupakan ayah yang meninggal tiga bulan yang lalu. Tepat dihari ulang tahun pernikahan mereka.
Ayah adalah seorang tentara angkatan udara dan jarang pulang karena selalu ditugaskan di
benua lain. Namun, ketika ayah pulang, ayah akan mengajak kami tinggal bersama dirumah mendiang
orang tuanya yang berada dipinggir kota dan dimalam kepulangannya, aku selalu mendengar isak
tangis bahagia Ibu dibalik tembok.
Namun, setelah kematian ayah, kami tidak pernah mendatangi rumah tua itu lagi. Apalagi
sebentar lagi Nanba akan masuk TK dan kasumi masuk SMA, Ibu mulai menambah kesibukannya
dengan membuatkan seragam untuk mereka.
“kirei ne, Yasumi-chan.” Bisik Ebina yang duduk bersebrangan dihadapaku.
Hanya keluarga Ebina yang menurutku “paling normal” dirumah ini. Ayah ibunya lengkap
dan ia memiliki dua adik kembar yang masih berusia 9 tahun serta dua kakaknya yang sekarang
tinggal di Tokyo. Ayah Ebina adalah anak ketiga dan satu-satunya orang yang dipercaya Nenek untuk
melanjutkan usaha tanaman hias Nakayashi.
“gochizou sama deshita.” Irie merapikan alat makannya sembari beranjak kedapur.
Irie memang selalu sarapan lebih cepat, sehingga tidak satupun diantara kami yang terkejut.
Irie setahun lebih tua dariku. Ayahnya meninggal tiga tahun yang lalu karena penyakit jantung. Irie
memiliki seorang ibu yang sangat sabar dan pendiam. Aku tidak begitu mengenal Bibi Irie karena ia
sangat jarang ikut berkumpul bersama.
“Yukata ne, Yasumi.” Aku benci pemilik suara ini. “Setidaknya, kau bisa menunjukkan ke
semua orang kalau kau adalah bagian dari klan Nakayashi.”
Nakayashi Ayako, anak tunggal dari anak pertama generasi kelima. Orang tuanya bekerja dan
tinggal di Chiba. Mereka tidak mengizinkan Ayako ikut dengan mereka karena takut Ayako kesepian.
Tapi, hal itu justru membuat Ayako semakin kesepian.
Aku sangat membenci Ayako. Entah kenapa, ia selalu menyudutkanku dan menatapku dengan
tatapan rendah. Aku tahu dia tidak bermaksud seperti itu karena ia memang seseorang yang dingin.
Tapi, Irie lebih dingin daripada dia dan walau aku tidak begitu dekat dengan irie, tatapannya kepadaku
tetap hangat.
Aku menatapnya sekilas lalu menundukkan pandanganku. Aku tidak pernah bisa membalas
ucapannya atau lebih tepatnya, aku terlalu takut untuk membalas. Aku tidak ingat sejak kapan
ketakutan itu muncul, namun keresahan berada didekatnya sudah kurasakan sejak lama.
“Yasumi,” Nenek kembali memanggilku.
Deg.
Eh?
Naoto mengalami gangguan pendengaran sementara setelah lahir hingga berusia tiga tahun
setengah. Hal itu memaksaku dan kasumi untuk belajar isyarat dengan nenek. Jika diruang makan
Nenek ingin berbicara denganku dan jarak kami yang cukup jauh, Nenek akan menggunakan bahasa
isyarat.
Tadaima.
Senyuman hangat Nenek membuat jantungku semakin berdegup kencang. Aku tidak mengerti
maksud ucapan Nenek barusan, tapi –
--mungkinkah Nenek tahu aku mengalami perpindahan waktu?
***

Anda mungkin juga menyukai