Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH KONSEP AQIDAH

DALAM ISLAM”
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Aqidah adalah pokok-pokok keimanan yang telah ditetapkan oleh
Allah, dan kita sebagai manusia wajib meyakininya sehingga kita
layak disebut sebagai orang yang beriman (mu’min).
Namun bukan berarti bahwa keimanan itu ditanamkan dalam diri
seseorang secara dogmatis, sebab proses keimanan harus disertai
dalil-dalil aqli. Akan tetapi, karena akal manusia terbatas maka
tidak semua hal yang harus diimani dapat diindra dan dijangkau
oleh akal manusia
Para ulama sepakat bahwa dalil-dalil aqli yang haq dapat
menghasilkan keyakinan dan keimanan yang kokoh. Sedangkan
dalil-dalil naqli yang dapat memberikan keimanan yang diharapkan
hanyalah dalil-dalil yang qath’i.
Makalah kecil ini menampilkan beberapa bahasan yang bisa
membantu siapa saja yang ingin memahami aqidah.
2. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan aqidah ?
2. Apa landasan filosofis dan religiusnya?
3. Apa saja ruang lingkup aqidah?
4. Apa kaidah dari aqidah?
5. Apa fungsi dan peran aqidah?
6. prinsip aqidah ?
7. Aliran Aqidah Islam?
3. Tujuan Makalah
1. Menjelaskan pengertian aqidah
2. Menjelaskan landasan filosofis dan religiusnya
3. Menerangkan tentang ruang lingkup aqidah
4. Memaparkan delapan kaidah aqidah
5. Menyampaikan fungsi dan peran aqidah
6. menyampaikan prinsip Aqidah
7. mempaparkan prinsip Aqidah
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN DAN LANDASAN FILSOFIS AQIDAH ISLAM
1.1. Pengertian Aqidah Islam
Secara etimologi (lughatan), aqidah berakar dari kata ‘aqada –
ya’qidu – ‘aqdan yang berarti simpul, ikatan, perjanjian dan kokoh.
Setelah terbentuk menjadi aqidah berarti keyakinan. Relevansi
antara arti kata aqdan dan aqidah adalah keyakinan itu tersimpul
dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung
perjanjian.
Secara terminologis (isthilahan), terdapat beberapa definisi (ta’rif)
antara lain:
1. Menurut Hasan al-Banna:
-‫العقائد هي األمور التى يجب أن يصدق بها قلبك وتطمئن اليها نفسك وتكون يقينا عندك ال يمازجه‬
‫ شك‬-‫ريب واليخالطه‬
“Aqidah adalah beberapa perkara yang wajib diyakini
keberadaannya oleh hatimu, mendatangkan ketentraman jiwa,
menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan
keragu-raguan”
2. Munurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy:
‫ يعقد عليها اإلنسان‬,‫ والسمع والفطرة‬,‫العقيدة هي مجموعة من قضايا الحق البدهية المسلمة بالعقل‬
‫ أنه يصح أو يكون‬-‫ قاطعا بوجودها وثبوتها اليرى خالفها‬,‫ ويثنى عليها صدره جازما بصحتها‬,‫قلبه‬
‫أبدا‬
“Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara
umum (axioma) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fithrah.
(Kebenaran) itu dipatrikan oleh manusia di dalam hati serta
diyakini kesahihan dan kebenarannya secara pasti dan ditolak
segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu”
Untuk lebih memahami kedua definisi di atas maka perlu
dikemukakan beberapa catatan tambahan:
1. Ilmu terbagi dua: pertama ilmu dharuri, kedua ilmu nazhari. Ilmu
yang dihasilkan oleh indera, dan tidak memerlukan dalil disebut
ilmu dharuri. Misalnya anda melihat meja di hadapan mata, anda
tidak lagi memerlukan dalil atau bukti bahwa benda itu ada.
Sedangkan ilmu yang memerlukan dalil atau pembuktian itu disebut
ilmu nazhari. Misalnya 1+1=2, tentu perlu dalil untuk orang yang
belum tahu teori itu. Di antara ilmu nazhari itu, ada hal-hal yang
karena sudah sangat umum dan terkenal maka tidak memerlukan
lagi adanya dalil, misalnya sepeda bannya ada dua sedangkan mobil
bannya ada empat, tanpa dalil siapapun pasti mengetahui hal
tersebut. Hal inilah yang disebut badihiyah. Badihiyah adalah segala
sesuatu yang kebenarannya perlu dalil pembuktian, tetapi karena
sudah sangat umum dan mendarah daging maka kebenaran itu
tidak perlu pembuktian lagi.
2. Setiap manusia memiliki fithrah mengakui kebenaran (bertuhan),
indera untuk mencari kebenaran, akal untuk menguji kebenaran
dan memerlukan wahyu untuk menjadi pedoman menentukan
mana yang benar dan mana yang tidak. Tentang Tuhan, misalnya,
setiap manusia memiliki fithrah bertuhan, dengan indera dan akal
dia bisa buktikan adanya Tuhan, tapi hanya wahyulah yang
menunjukkan kepadanya siapa Tuhan yang sebenernya.
3. Keyakinan tidak boleh bercampur sedikitpun dengan keraguan.
Sebelum seseorang sampai ke tingkat yakin dia akan mengalami
lebih dahulu Syak (50%-50% antara membenarkan dan menolak),
kemudian Zhan (salah satu lebih kuat sedikit dari yang lainnya
karena ada dalil yang menguatkan), kemudian Ghalabatuz Zhan
(cenderung menguatkan salah satu karena dalilnya lebih kuat, tapi
masih belum bisa menghasilkan keyakinan penuh), kemudian
Ilmu/Yakin (menerima salah satu dengan sepenuh hati karena
sudah meyakini dalil kebenarannya). Keyakinan yang sudah sampai
ke ringkat ilmu inilah yang disebut aqidah.
4. Aqidah harus mendatangkan ketenteraman jiwa. Artinya
lahiriyah seseorang bisa saja pura-pura meyakini sesuatu, akan
tetapi hal itu tidak akan mendatangkan ketenangan jiwa karena dia
harus melaksanakan sesuatu yang berlawanan dengan
keyakinannya. Kawin paksa misalnya, hidup satu rumah dengan
orang yang tidak pernah dia sukai, secara lahiriyah hubungan
mereka telah sukses karena berakhir dipelaminan namun jiwa
mereka tidaklah tenteram seperti kelihatan.
5. Bila seseorang sudah meyakini suatu kebenaran, dia harus
menolak segala yang bertentangan dengan kebenaran itu. Artinya
seseorang tidak akan bisa meyakini sekaligus dua hal yang
bertentangan. Misalnya ada meyakini gula itu rasanya manis,
tentunya anda akan menolak untuk meyakini bahwa gula itu
rasanya asin, tidak mungkin anda yakin bahwa gula itu rasanya
manis dan asin.
6. Tingkat keyakinan (aqidah) seseorang tergantung kepada tingkat
pemahamannya terhadap dalil. Misalnya:
– Anda akan meyakini adanya beasiswa bila anda mendapatkan
informasi tentang beasiswa tersebut dari orang yang anda kenal
tidak pernah berbohong.
– Keyakinan itu akan bertambah apabila anda mendapatkan
informasi yang sama dari beberapa orang lain, namun tidak
menutup kemungkinan bahwa anda akan meragukan kebenaran
informasi itu apabila ada syubuhat (dalil dalil yang menolak
informasi tersebut).
– Bila anda melihat pengumuman beasiswa di fakultas maka
bertambahlah keyakinan anda sehingga kemungkinan untuk ragu
semakin kecil
– Apabila anda diberi formulir pengajuan beasiswa maka keyakinan
anda semakin bertambah dan segala keraguan akan hilang bahkan
anda tidak mungkin ragu lagi bahkan anda tidak akan merubah
pendirian anda sekalipun semua orang menolaknya
– Ketika anda bolak balik mengurus segala yang terkait dengan
beasiswa maka bertambahlah pengetahuan dan pengalaman anda
tentang beasiswa yang diyakini tadi.
1.2. Landasan Filosofis Aqidah Islam
Pada hakikatnya filsafat dalam bahasan aqidah tetap bersumber
pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Allah mengutus (Rasul) yang membawa pesan dari-Nya untuk
disampaikan kepada seluruh umat manusia. Pesan Allah itu ditulis
dalam Al-Kitab (Al-Qur’an). Allah menganugerahkan kebijakan dan
kecerdasan berfikir kepada manusia untuk mengenal adanya Allah
dengan memperhatikan alam sebagai bukti hasil perbuatan-Nya
Yang Maha Kuasa. Hasil perbuatan Allah itu serba teratur, cermat
dan berhati-hati. Yang menerima hikmah-hikmai inilah yang
disebut “Hukuman” atau “Filosof.
Berikut beberapa pendapat para filosof barat tentang Tuhan:

 Pendapat Xenophanes
Xenophanes menyatakan: “Tuhan hanya satu, yang terbesar di
antara dewa dan manusia, tidak serupa dengan makhluk yang fana.”
“Tuhan Yang Esa itu tidak dijadikan tidak bergerak dan berubah-
ubah, dan ia mengisi seluruh alam. Dia melihat semuanya,
mendengar semua dan memikirkan seluruhnya. Mudah sekali Ia
memimpin alam ini dengan kakuatan fikirNya.”
 Pendapat Socrates
Socrates menyatakan: “Tuhan pencipta ala mini bukanlah hanya
untuk memikirkan dan memperhatikan manusia saja, tapi ialah roh
bagi manusia. Jika tidak begitu cobalah sebutkan padaku, hewan
manakah yang dapat mengetahui adanya Tuhan yang mengatur
susunan tubuh yang mempunyai sifat-sifat tinggi seperti ini! Coba
katakana hewan mana selain manusia yang dapat dibawa akalnya
menyembah dan berkhidmah kepada Tuhan?”
 Pendapat Descartes
Descartes menyatakan: “Saya tidak menjadikan diri saya sendiri.
Sebab kalau saya menjadikan, tentulah saya dapat memberikan
segala sifat kesempurnaan kepada diri saya itu. Oleh sebab itu tentu
saya dijadikan oleh Dzat yang lain. Dan sudah pasti pula Dzat lain
itu menjadikan saya mempunyai sifat-sifat kesempurnaan, kalau
tidak akan sama halnya dengan diri saya.”
“Saya selalu merasa diri saya dalam kekurangan, dan pada waktu itu
juga diri saya merasa tentu ada Dzat yang tidak kekurangan, yakni
sempurna. Dan Dzat yang sempurna itu ialah Allah”[5]
Mari kita kaji Al-Qur’an lalu kita perhatikan kandungannya, bahwa
apa yang dinyatakan oleh para filosof di atas, semakna dengan apa
yang dinyatakan oleh Allah di dalam Al-Qur’an:
Dan Apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami
menciptakannya dari setitik air(ma
Dan ia membuat perumpamaan bagi kami; dan Dia lupa kepada
kejadiannya; ia berkata: “Siapakah yang dapat menghidupkan
tulang belulang, yang telah hancur luluh?”
Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya
kali yang pertama. dan Dia Maha mengetahui tentang segala
makhluk. [QS.36:77-79].
Maka hendaklah manusia memperhatikan dari Apakah Dia
diciptakan?
Dia diciptakan dari air yang dipancarkan,
yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada
perempuan.
Sesungguhnya Allah benar-benar Kuasa untuk mengembalikannya
(hidup sesudah mati). [QS.86:5-8]
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa pada hakikatnya landasan
aqidah Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
B. FUNGSI DAN PERANAN AKIDAH ISLAM
a. Fungsi akidah islam ,diantaranya yaitu :
1. Sebagai pondasi untuk mendirikan bangunan Islam.
2. Merupakan awal dari akhlak yang mulia. Jika seseorang memiliki
aqidahyang kuat pasti akan melaksanakan ibadah dengan tertib,
memiliki akhlak yang mulia, dan bermu’amalat dengan baik.
3. Semua ibadah yang kita laksanakan jika tanpa ada landasan
aqidah maka ibadah kita tersebut tidak akan diterima
b. Sedangkan peran akidah dalam islam meliputi :
1. Aqidah merupakan misi pertama yang dibawa para rasul Allah.
Allah berfirman:Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada
tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan
jauhilah Thaghut itu” (QS. An-Nahl: 36).
2. Manusia diciptakan dengan tujuan beribadah kepada Allah.
Allah berfirman:”Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia
kecuali untuk menyembah-Ku”. (QS. Adz-Dzariyat: 56).
3. Aqidah yang benar dibebanrkan kepada setiap mukallaf.
Nabi bersabda:”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia
hingga mereka bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang
sebenarnya selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah rasul
utusan Allah.” (Muttafaq ‘alaih).
4. Berpengang kepada aqidah yang benar merupakan kewajiban
manusia seumur hidup.
Allah berfirman:”Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan
Tuhan kami ialah Allah kemudian merkea beristiqomah (teguh
dalam pendirian mereka) maka para malaikat akan turun kepada
mereka (seraya berkata) : “Janganlah kamu merasa takut dan
janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan
(memperoleh) surga yang dijanjikan Allah kepadamu.”(QS.
Fushilat: 30).
5. Aqidah merupakan akhir kewajiban seseorang sebelum
meninggalkan dunia yang fana ini.
Nabi saw bersabda:“Barangsiapa yang akhir ucapannya “Tiada
sesembahan yang berhak disembah selain Allah niscaya dia akan
masuk surga”. (HSR. Al-Hakim dan lainnya).
6. Aqidah yang benar telah mampu menciptakan generasi terbaik
dalam sejarah umat manusia, yaitu generasi sahabat dan dua
generasi sesusah mereka.
Allah berfirman:”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, kamu menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah
dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali-Imran:
110).
7. Kebutuhan manusia akan aqidah yang benar melebihi segala
kebutuhan lainnya karena ia merupakan sumber kehidupan,
ketenangan dan kenikmatan hati seseorang. Dan semakin sempurna
pengenalan serta pengetahuan seorang hamba terhadap Allah
semakin sempurna pula dalam mengagungkan Allah dan mengikuti
syari’at-Nya.
1.3. Landasan Religius Aqidah Islam
Sumber aqidah Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Artinya apa
saja yang disampaikan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan oleh
Rasulullah dalam Sunnahnya wajib diimani (diyakini dan
diamalkan).[6]
Akal pikiran tidaklah menjadi sumber aqidah, tetapi hanya
berfungsi memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber
tersebut dan mencoba –kalau diperlukan – membuktikan secara
ilmiah kebenaran yang disampaikan Al-Qur’an dan Sunnah. Itupun
harus didasari oleh suatu kesadaran bahwa kemampuan akal sangat
terbatas. Sesuatu yang terbatas/akal tidak akan mampu menggapai
sesuatu yang tidak terbatas. Misalkan, saat ditanya, kekal [sesuatu
yang tidak terbatas] itu sampai kapan?, maka akal tidak akan
mampu menjawabnya karena akal itu terbatas.
Aqidah itu mempunyai sifat keyakinan dan kepastian sehingga tidak
mungkin ada peluang bagi seseorang untuk meragukannya. Dan
untuk mencapai tingkat keyakinan ini, aqidah Islam wajiblah
bersumber pada dua warisan tersebut [Al-Qur’an Hadits] yang tidak
ada keraguan sedikit pun padanya. Dan akal bukanlah bagian dari
sumber yang tidak ada keraguan padanya.
Dengan kata lain, untuk menjadi sumber aqidah, maka asal dan
indikasinya haruslah pasti dan meyakinkan, tidak mengandung
sedikut pun keraguan. Jika kita memandang Al-Qur’an dari segi
wurud, maka ia adalah pasti lagi meyakinkan karena telah ditulis
selagi Rasulullah masih hidup dan juga dihafal serta sejumlah besar
sehabat yang mustahil mereka sepakat berdusta untuk
memalsukannya. Dan juga karena itu, tidak pernah timbul
perselisihan tentang kesahihan Al-Qur’an di kalangan umat Islam
sejak dahulu hingga sekarang.[7] Tidak pernah ada yang berbeda
pendapat bahwa Tuhan itu ada, bahwa Tuhan itu satu, bahwa Tuhan
itu mahakuasa.
Aqidah atau iman itu mempunyai peran dan pengaruh dalam hati.
Ia mendorong manusia untuk melakukan amal-amal yang baik dan
meninggalkan perbuatan keji dan mungkar. Ia mengawal dan
membimbing manusia ke jalan yang lurus dan benar serta
menjaganya untuk tidak tergelincir ke dalam lembah kesesatan; dan
juga menanamkan dalam dirinya kecintaan kepada kebenaran dan
kebaikan. Sesungguhnya hidayah Allah hanya diberikan kepada
manusia yang hatinya telah dimasuki iman.[8]
Allah berfirman dalam Surat al-Taghabun/64:11 :
. . . )11 ‫(التغابن‬. . . ‫ومن يؤمن باهلل يهد قلبه‬
“Dan barang siapa yang beriman kepada Allah niscaya Allah akan
memberi hidayah kepada hatinya.”
Pada hakikatnya, iman yang dalam hati itu atau aqidah ibarat nur
atau cahaya yang menerangi hati dan sangat diperlukan oleh
manusia dalam kehidupannya di dunia. Tanpa cahaya itu hati
sangat gelap, sehingga akan sangat mudah orang tergelincir dalam
lembah maksiat. Ibarat orang yang berjalan pada waktu malam
tanpa lampu atau cahaya, ia akan sangat mudah terperosok ke
dalam lobang atau jurang. Demikianlah peranan iman yang
merupakan bangunan bawah/fondasi utama dari kepribadian yang
kukuh dan selalu mengawal serta membuat hati agar selalu baik dan
bersih, sehingga dapat memberi bimbingan bagi manusia ke arah
kehidupan yang tenteram dan bahagia.
2. RUANG LINGKUP, KAIDAH, FUNGSI SERTA MANFAAT
AQIDAH ISLAM
1. Ruang Lingkup Pembahasan Aqidah
Meminjam sistimatika Hasaln al-Banna maka ruang lingkup
pembahasan aqidah adalah:
1. Ilahiyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan Ilah (Tuhan, Allah) seperti wujud Allah,
nama-nama dan sifat-sifat Allah, af’al Allah dan lainnya.
2. Nubuwat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan Nabi dan Rasul, termasuk tentang Kitab-Kitab
Allah, mu’jizat, karamat dan lain sebagainya.
3. Ruhaniyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan alam metafisik seperti Malaikat, Jin, Iblis,
Syetan, Roh dan lain sebagainya.
4. Sam’iyyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya
bisa diketahui lewat Sam’i (dalil naqli berupa Al-Qur’an dan
Sunnah) seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda
kiamat, surga neraka dan lain sebagainya.[9]
Di samping sistimatika di atas, pembahasan aqidah bisa juga
mengikuti sistimatika arkanul iman (rukun iman) yaitu:
1. Iman Kepada Allah SWT.
2. Iman Kepada Malaikat (termasuk juga makhluk ruhani lain
seperti Jin, Iblis dan Syetan).
3. Iman Kepada Kitab-Kitab Allah.
4. Iman Kepada Nabi dan Rasul.
5. Iman Kepada Hari Akhir.
6. Iman Kepada Takdir Allah.
2. Delapan Kaidah Aqidah
1. Apa yang saya dapat dengan indera saya, saya yakin adanya,
kecuali bila akal saya mengatakan “tidak” berdasarkan pengalaman
masa lalu.
Misalnya, bila saya untuk pertama kali melihat sepotong kayu di
dalam gelas berisi air putih kelihatan bengkok, atau melihat
genangan air di tengah jalan [fatamorgana], tentu saja saya akan
membenarkan hal itu. Tapi bila terbukti kemudian bahwa hasil
penglihatan indera saya salah maka untuk kedua kalinya bila saya
melihat hal yang sama, akal saya langsung mengatakan bahwa yang
saya lihat tidak demikian adanya.
2. Keyakinan, di samping diperoleh dengan menyaksikan langsung,
juga bias melalui berita yang diyakini kejujuran si pembawa berita.
Banyak hal yang memang tidak atau belum kita saksikan sendiri
tapi kita meyakini adanya. Misalnya anda belum pernah ke
Thailand, Afrika atau Yaman, tapi anda meyakini bahwa negeri-
negeri tersebut ada. Atau tentang fakta sejarah, tentang Daulah
Abbasiyah, Umayyah atau tentang kerajaan Majapahit, dan lain-
lain, anda meyakini kenyataan sejarah itu berdasarkan berita yang
anda terima dari sumber yang anda percaya.
3. Anda tidak berhak memungkiri wujudnya sesuatu, hanya karena
anda tidak bisa menjangkaunya dengan indera anda.
Kemampuan alat indera memang sangat terbatas. Telinga tidak bisa
mendengar suara semut dari jarak dekat sekalipun, mata tidak bisa
menyaksikan semut dari jarak jauh. Oleh karena itu, seseorang tidak
bisa memungkiri wujudnya sesuatu hanya karena inderanya tidak
bisa menyaksikannya.
4. Seseorang hanya bisa menghayalkan sesuatu yang sudah pernah
dijangkau oleh inderanya.
Khayal manusiapun terbatas. Anda tidak akan bisa menghayalkan
sesuatu yang baru sama sekali. Waktu anda menghayalkan
kecantikan seseorang secara fisik, anda akan menggabungkan
unsur-unsur kecantikan dari banyak orang yang sudah pernah anda
saksikan.
5. Akal hanya bisa menjangkau hal-hal yang terikat dengan ruang
dan waktu.
Tatkala mata mengatakan bahwa tiang-tiang listrik berjalan waktu
kita menyaksikannya lewat jendela kereta api akal dengan cepat
mengoreksinya. Tapi apakah akal bisa memahami dan menjangkau
segala sesuatu? Tidak. Karena kemampuan akalpun terbatas. Akal
tidak bisa menjangkau sesuatu yang tidak terikat dengan ruang dan
waktu.
6. Iman adalah fithrah setiap manusia.
Setiap manusia memiliki fithrah mengimani adanya Tuhan. Pada
saat seseorang kehilangan harapan untuk hidup, padahal dia masih
ingin hidup, fithrahnya akan menuntun dia untuk meminta kepada
Tuhan. Misalnya bila anda masuk hutan, dan terperosok ke dalam
lubang, pada saat anda kehilangan harapan untuk bisa keluar dari
lubang tiu, anda akan berbisik “Oh Tuhan!”
7. Kepuasan materil di dunia sangat terbatas.
Manusia tidak akan pernah puas secara materil. Seorang yang
belum punya sepeda ingin punya sepeda. Setelah punya sepeda
ingin punya motor dan seterusnya sampai mobil, pesawat, dan lain
lain. Bila keinginan tercapai maka akan berubah menjadi sesuatu
yang “biasa”, tidak ada rasa kepuasan pada keinginan itu. Selalu saja
keinginan manusia itu ingin lebih dari apa yang sudah di dapatnya
secara materil. Dan keinginan manusia akan dipuaskan secara
hakiki di alam sesudah dunia ini.
8. Keyakinan tentang hari akhir adalah konsekuensi logis dari
keyakinan tentang adanya Allah.
Jika anda beriman kepada Allah, tentu anda beriman dengan segala
sifat-sifat Allah, termasuk sifat Allah Maha Adil. Kalau tidak ada
kehidupan lain di akhirat, bisakah keadilan Allah itu terlaksana?
Bukankah tidak semua penjahat menanggung akibat kejahatannya
di dunia ini? Bukankah tidak semua orang yang berbuat baik
merasakan hasil kebaikannya?. Bila anda menonton film, ceritanya
belum selesai tiba-tiba saja dilayar tertulis kalimat “Tamat”,
bagaimana komentar anda? Oleh sebab itu, iman anda dengan Allah
menyebabkan anda beriman dengan adanya alam lain sesudah alam
dunia ini yaitu Hari Akhir.
3. Fungsi Aqidah
Aqidah adalah dasar, fondasi untuk mendirikan bangunan. Semakin
tinggi bangunan yang akan didirikan harus semakin kokoh pula
fondasi yang dibuat. Kalau fondasinya lemah bangunan itu akan
cepat ambruk. Tidak ada bangunan tanpa fondasi.[10]
Kalau ajaran Islam kita bagi dalam sistimatika Aqidah Ibadah
Akhlak dan Mu’amalat, atau Aqidah Syari’ah dan Akhlak, atau Iman
Islam dan Ihsan, maka ketiga/keempat aspek tersebut tidak bisa
dipisahkan sama sekali. Satu sama lain saling terkait. Seseorang
yang memiliki aqidah yang kuat, pasti akan melaksanakan ibadah
dengan tertib, memiliki akhlak yang mulia dan bermu’amalat
dengan baik. Ibadah seseorang tidak akan diterima oleh Allah swt
kalau tidak dilandasi dengan aqidah. Misalnya orang nonmuslim
memberi beras kepada seorang yang miskin, amal ibadah orang itu
nilainya NOL di hadapan Allah, Allah tidak menerima ibadahnya
karena orang itu tidak punya landasan aqidah.
Seseorang bisa saja merekayasa untuk terhindar dari kewajiban
formal, misalnya zakat, tapi dia tidak akan bisa menghindar dari
aqidah. Misalnya, aqidah mewajibkan orang percaya bahwa Tuhan
itu cuma satu yaitu Allah, orang yang menuhankan Allah dan
sesuatu yang lain [uang misalnya] maka akan kelihatan nanti, tidak
bisa ditutup-tutupi, tidak bisa direkayasa. Entah dari bicaranya
yang seolah-olah uang telah membantu hidupnya, tanpa uang dia
tidak akan nisa hidup, atau dari perilakunya yang satu minggu
sekali datang ke pohon besar dan berdoa disitu.
Itulah sebabnya kenapa Rasulullah SAW selama 13 tahun periode
Mekah memusatkan dakwahnya untuk membangun aqidah yang
benar dan kokoh. Sehingga bangunan Islam dengan mudah berdiri
di periode Madinah. Dalam dunia nyatapun ternyata modal untuk
membangun sebuah bangunan itu lebih besar tertanam di fondasi.
Jadi aqidah berfungsi sebagai ruh dari kehidupan agama, tanpa
ruh/aqidah maka syari’at/jasad kita tidak ada guna apa-apa.
E. ALIRAN AKIDAH ISLAM
Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih + 120 H.pada abad permulaan
kedua hijriah di kota Basyrah dan mampu bertahan sampai
sekarang, karena paham ini mampu menyusup ke dalam
masyarakat Islam di Barat dan di Timur bahkan sampai ke
Indonesia.
Pokok-pokok pendirian mu’tazillah setiap orang yang memeluk
aliran mu’tazillah diharusan untuk memegang kepada lima ajaran :
a. Tauhid (Ke-Esaan)
b. Al-Adlu (Keadilan )
c. Wal-wal Wa’id (Janji dan Acaman)
d. Al-Manzilah Bainal Manziladaini (tempat diantara dua)
e. Amar Ma’rup Nahi Munkar (Menyuruh krbaikan dan melarang
kejelekan)
Ahli sunnah dan jama’ah ini kelihatannya timbul sebagaireaksi
terhadap paham-paham glongan mu’tazilah yang telah dijelaskan
sebelumnya dan terhadap sikap mereka dalam menyiarkan ajaran-
ajaran itu. Aliran ini terdiri dari beberapa ajaran, diantaranya :
1. Ajaran-Jaran Al-asy’ariyah
2. Ajaran Maturi
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam keseluruhan bangunan Islam, aqidah dapat diibaratkan
sebagai fondasi. Di mana seluruh komponen ajaran Islam tegak di
atasnya. Aqidah merupakan beberapa prinsip keyakinan. Dengan
keyakinan itulah seseorang termotivasi untuk menunaikan
kewajiban-kewajiban agamanya. Karena sifatnya keyakinan maka
materi aqidah sepenuhnya adalah informasi yang disampaikan oleh
Allah Swt. melalui wahyu kepada nabi-Nya, Muhammad Saw.
Pada hakikatnya filsafat dalam bahasan aqidah tetap bersumber
pada Al-Qur’an dan Sunnah. Allah menganugerahkan kebijakan dan
kecerdasan berfikir kepada manusia untuk mengenal adanya Allah
dengan memperhatikan alam sebagai bukti hasil perbuatan-Nya
Yang Maha Kuasa. Hasil perbuatan Allah itu serba teratur, cermat
dan berhati-hati.
Sumber aqidah Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Akal pikiran
tidaklah menjadi sumber aqidah, tetapi hanya berfungsi memahami
nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut dan
mencoba –kalau diperlukan – membuktikan secara ilmiah
kebenaran yang disampaikan Al-Qur’an dan Sunnah. Itupun harus
didasari oleh suatu kesadaran bahwa kemampuan akal sangat
terbatas. Sesuatu yang terbatas/akal tidak akan mampu menggapai
sesuatu yang tidak terbatas.
Jadi aqidah berfungsi sebagai ruh dari kehidupan agama, tanpa
ruh/aqidah maka syari’at/jasad kita tidak ada guna apa-apa.
B. SARAN
Semoga apa yang telah kami sajikan tadi dapat diambil intisarinya
yang kemudian diamalkan juga semoga berguna bagi kehidupan
kita di masa yang akan datang.
Sumber :
Drs. H. Yunahar Ilyas.  Kuliah Aqidah Islam. (Yogyakarta: 1992). h.
1
Al-Banna, Majmu’atu ar-Rasail. Muassasah ar-Risalah Beirut:
tanpa tahun. h.165
Al-Jazairy, Aqidah al-Mukmin. (Cairo: 1978). h. 21
Drs. Edi Suresman. A.Md. Aqidah Islam. Malang. IKIP. 1993.
Drs. Edu Suresman. Aqidah Islam. (Malang: 1993). h. 1
Ibid. h. 21
Al-Jazairy, Abu Bakar Jabir. Aqidah al-Mukmin. Cairo. Maktabah
al-Kulliyat al-Azhariyah. 1978.
Drs. H. Yunahar Ilyas.  Kuliah Aqidah Islam. (Yogyakarta: 1992). h.
6
Dr. Ahmad Daudy, Kuliah Aqidah Islam. Jakarta. Bulan Bintang.
1997

Anda mungkin juga menyukai