Contoh Makalah Tutorial
Contoh Makalah Tutorial
BLOK: DERMATOMUSKULO-SKELETAL
DISUSUN OLEH :
NAMA:
NPM:
Fasilitator tutor
Skenario
I. KLARIFIKASI ISTILAH
a. Makula : perubahan warna kulit yang tidak menonjol
dipermukaan
kelenjar keringat
Laki-laki 35 tahun
Puskesmas
DD:
1. Lepra
2. Pitiriasis Rosea
3. Tinea Corporis
V. LEARNING OBJECTIVE
1. Anatomi kulit
1. Anatomi Kulit
Jawaban :
Kulit adalah pembatas antara manusia dan lingkungannya. Kulit mempunyai berat rata-
rata 4 kg dan meliputi area seluas 2m². Kulit berperan sebagai pembatas, melindungi
tubuh dari lingkungan luar dan mencegah hilangnya zat-zat tubuh yang penting,
terutama air (Weller, et al, 2015).
Kulit memiliki 3 lapisan, yaitu:
1. Epidermis
Ketebalan epidermis berbeda-beda pada berbagai bagian tubuh, yang paling tebal
berukuran 1 milimeter, misalnya pada telapak kaki dan telapak tangan, dan lapisan yang
tipis berukuran 0,1 milimeter terdapat pada kelopak mata, pipi, dahi, dan perut. Sel-sel
epidermis disebut keratinosit.
a. Stratum Korneum
Terdiri atas beberapa lapis sel yang pipih, mati, tidak memiliki inti, tidak mengalami
proses metabolisme, tidak berwarna, dan sangat sedikit mengandung air. Lapisan ini
sebagian besar terdiri atas keratin, jenis protein yang tidak larut dalam air, dan
sangat resisten terhadap bahan-bahan kimia. Hal ini berkaitan dengan fungsi kulit
untuk memproteksi tubuh dari pengaruh luar. Secara alami, sel-sel yang sudah mati
di permukaan kulit akan melepaskan diri untuk beregenerasi. Permukaan stratum
korneum dilapisi oleh suatu lapisan pelindung lembab tipis yang bersifat asam,
disebut mantel asam kulit (Eroschenko, 2012).
b. Stratum Lucidum
Terletak tepat di bawah stratum korneum, merupakan lapisan yang tipis, jernih,
mengandung eleidin. Antara stratum lucidum dan stratum granulosum terdapat
lapisan keratin tipis yang disebut rein's barrier (Szakall) yang tidak bisa ditembus
(Eroschenko, 2012).
c. Stratum Granulosum
Tersusun oleh sel-sel keratinosit yang berbentuk poligonal, berbutir kasar, berinti
mengkerut. Di dalam butir keratohyalin terdapat bahan logam, khususnya tembaga
yang menjadi katalisator proses pertandukan kulit (Eroschenko, 2012).
d. Stratum Spinosum
Memiliki sel yang berbentuk kubus dan seperti berduri. Intinya besar dan oval.
Setiap sel berisi filamen-filamen kecil yang terdiri atas serabut protein. Cairan limfe
masih ditemukan mengitari sel-sel dalam lapisan malphigi ini (Eroschenko, 2012).
e. Stratum Germinativum Adalah lapisan terbawah epidermis. Di dalam stratum
germinativum juga terdapat sel-sel melanosit, yaitu sel-sel yang tidak mengalami
keratinisasi dan fungsinya hanya membentuk pigmenmelanin dan memberikannya
kepada sel-sel keratinosit melalui dendrit-dendritnya. Satu sel melanosit melayani
sekitar 36 sel keratinosit. Kesatuan ini diberi nama unit melanin epidermal
(Eroschenko, 2012).
2. Dermis
tersusun atas jaringan ikat dan jaringan adiposa yang membentuk fasia superficial yang
tampak secara anatomis. Hipodermis ini terdiri dari sel-sel lemak, ujung saraf tepi, pembuluh
darah dan pembuluh getah bening, kemudian dari beberapa kandungan yang terdapat pada
lapisan ini sehingga lapisan hipodermis ini memiliki fungsi sebagai penahan terhadap
benturan ke organ tubuh bagian dalam, memberi bentuk pada tubuh, mempertahankan
suhu tubuh dan sebagai tempat penyimpan cadangan makanan (Eroschenko, 2012).
Fungsi Kulit
1. Termoregulasi Kulit
berkontribusi pada termoregulasi tubuh dengan dua cara, yaitu: dengan cara
melepaskan keringat dari permukaan dan menyesuaikan aliran darah di dermis. Sebagai
respon pada lingkungan bersuhu tinggi atau karena panas yang disebabkan oleh
olahraga, produsi keringat dari kelenjar ekrin akan meningkat, hal ini menyebabkan
menguapnya keringat dari permukaan kulit dan menjadikan temperatur tubuh menurun.
Pada saat itu pula, pembuluh darah di dermis akan dilatasi sehingga aliran darah
mengalir ke dermis, yang mana akan menyebabkan semakin bertambahnya panas yang
keluar dari tubuh. Pada keadaan lingkungan dingin, maka sebaliknya, produksi dari
kelenjar keringat ekrin akan menurun dan aliran darah di dermis akan konstriksi untuk
mengurangi pengeluaran panas dari tubuh (Tortora & Derrickson, 2009).
2. Reservoir Darah
Dermis mempunyai jaringan pembuluh darah yang luas yang mana membawa 8-10%
dari total pembuluh darah dalam manusia dewasa yang sedang beristirahat (Tortora &
Derrickson, 2009).
3. Proteksi Kulit
memproteksi tubuh dengan berbagai cara. Keratin membantu proteksi jaringan
dibawahnya dari mikroba, abrasi, panas, dan kmia. Lipid dilepaskan oleh lamellar
granules menghambat penguapan air dari permukaan kulit, sehingga menjaga tubuh dari
dehidrasi. Lipid juga membantu memperlambat air masuk pada saat renang atau mandi.
Minyak sebum dari kelenjar sebasea membantu kulit dan rambut kering dan
mengandung bakterisidal yang dapat membunuh bakteri di permukaan. Keringat, yang
mana bersifat pH asam membantu memperlambat tumbuhnya beberapa mikroba.
Pigmen melanin 10 membantu proteksi dari efek berbahaya sinar ultraviolet (Tortora &
Derrickson, 2009).
4. Ekskresi & Absorbsi
Walaupun stratum korneum bersifat tahan air, sekitar 400 mL air menguap melaluinya
setiap hari. Keringat berperan sebagai melepas air dan panas dari tubuh, selain itu
keringat juga sebagai transportasi untuk ekskresi beberapa jumlah garam, karbon
dioksida, dan 2 molekul organic yang dihasilkan oleh pemecahan protein: amonia dan
urea. Absorbsi zatzat yang larut air melalui kulit tidak perlu dibahas, namun beberapa
vitamin yang larut lemak (A, D, E, & K), beberapa obat, dan gas oksigen serta gas
karbondioksida dapat menembus kulit. Beberapa material toksik seperti aseton dan
karbon tetraklorida, garam dari logam berat seperti timah, arsen, merkuri juga dapat
diabsorbsi oleh kulit (Tortora & Derrickson, 2009).
5. Cutaneous Sensations
Cutaneous Sensations adalah sensasi yang timbul di kulit, termasuk sensasi taktil;
sentuhan, tekanan, dan getaran; sensasi termal seperti panas dan dingin. Cutaneous
Sensations yang lain adalah rasa sakit, biasanya sakit adalah indikasi adanya jaringan
yang akan atau rusak. Di kulit ada banyak susunan akhiran saraf dan reseptor, seperti
korpuskel di dalam dermis, dan pleksus akar rambut di setiap folikel rambut (Tortora &
Derrickson, 2009)
2. Menjelaskan ruam primer dan sekunder ( pada scenario jelaskan mana ruam primer dan
sekunder)
Jawaban :
Ruam primer: ruam yang timbul pertama kali tidak dipengaruhi trauma, manipulasi,regresi
alamiah makula, papula,plak, urtika, nodus, nodulus, vesikel, bula, pustul dan kista
Ruam sekunder: akibat garukan / gosokan,lanjutan dari ruam primer, atau terbentuk akibat
perkembangan waktu skuama, krusta, erosi, ulkus, dan sikatriks.
Ruam primer :
Makula : batas tegas,setinggi permukaan kulit Î perubahan warna putih, coklat,
merah, hitam.
Papul : penonjolan padat, ∅ < 0,5 cm
Nodul : ∅ 0,5 - 1 cm
Nodus/tumor: masa padat, terletak di kutan/ subkutan, ∅ >1 cm
Plak : penonjolan padat, rata ∅> 0,5 cm.
Kista : kantong berisi cairan (encer / semi solid)
Vesikel : gelembung berisi cairan jernih (serum),∅ <0,5 cm
Bula : vesikel >0,5 cm
Pustul : vesikel berisi nanah
Vesikel : gelembungberisi cairan jernih (serum),∅ <0,5 cm
Bula : vesikel >0,5 cm
Pustul : vesikel berisi nanah
Eritema: kemerahan kulit pelebaran kapiler
Abses : kumpulan nanah dalam jaringan / kutis / subkutis
Urtika : edema setempat, temporer Æ papul / plak, timbul mendadak, hilang
perlahan-lahan
Ruam sekunder:
Erosi : kehilangan
jaringan, tidak melampaui stratum basale
Ekskoriasi: > erosi - ujung papilla dermis
Ulkus : > ekskoriasi terbentuk pinggir, dinding, dasar dan isi
Fissura : kulit terbelah secara linier, vertikal Pada epidermis dan dermis
Krusta : cairan eksudat yang mengering dapat bercampur kotoran, obat, dll
Skuama : adalah lapisan stratum korneum yang terlepas dari kulit
Likenifikasi : perubahan kulit Îrelief kulit makin jelas
Sikatriks : relief kulit abnormal krn jaringan tidak utuh lagi; timbul kumpulan
jaringan ikat baru cekung(atrofik) atau meninggi(hipertrofik)
Vegetasi: penonjolanbulat atau runcing menjadi satu
Papul / Nodul verukosa: papul / nodul dgn permukaan verukosa
Teleangiektasi: pelebaran pembuluh darah kecil superfisial (kapiler, arteriol, dan
venul) yang menetap
Petekie : keluarnya darah dari pembuluh darah ke dermis ruam tidak
Memucat 5 mm bila ditekan, ∅ < Purpura : petekie yang > 5mm
Burrow : terowongan berkelok-kelok , meninggi di epridermis superfisial karena
parasit
Komedo : ruam akne non inflamasi sumbatan keratin di muara saluran pilosebasea
Lesi target: tdd 3 zona
berbentuk lingkaran : purpura / vesikel Æ lingkaran pucat Æ lingkaran eritema;
biasanya dijumpai pada telapak tangan penderita eritema multiforme (seperti mata
sapi) .
untuk skenario ruam primernya tidak ada dan ruam skundernya adalah skuama
halus.
3. Definisi dan klasifikasi kusta
Jawaban:
Definisi kusta
Penyakit kusta adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang di sebabkan oleh bakteri Mycobacterium
leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada syaraf tepi dan mukosa dari saluran
pernapasan atas, dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani,
kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, syarafsyaraf, anggota gerak, dan
mata.
Klasifikasi kusta
Klasifikasi Ridley-Jopling, penyakit kusta dapat di klasifikasikan dalam tiga tipe, yaitu : Kusta tipe
indetermnate (I), Tuberculoid (TT), Borderline Lepramatause (BL), dan Lepramatouse(LL).Sedangkan
menurut WHO penyakit kusta di klasifikasikan dalam dua tipe yaitu : tipe Pausi Basiler (PB), dan tipe
Multi Basiler (MB).
Lesi kulit terdiri dari suatu makula yang pipih dan tunggal, biasanya sedikit hipopigmentasi ataupun
sedikit erythematose, sedikit oval ataupun bulat dalam hal bentuk. Permukaannya rata dan licin,
tidak di temukan tanda-tanda ataupun perubahan tekstur kulit. Pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA)
pada umumnya negatif atau sedikit positif.
Jenis Lesi ini pada umumnya bersifat stabil, lesi pada umumnya berwarna kemerah-merahan dan
kecoklat-coklatan ataupun mengalami hipopigmentasi berbentuk oval atau bulat, berbatas tegas
dari kulit yang normal di sekitarnya.
Tipe ini sangat labil (tidak stabil), lesi-lesi kulit pada umumnya sukkulent atau eras, pleimorfik
menebal secara seragam (uniform) atau pun dengan suatu daerah penyambuhan sentral.
Lesi kulit dapat ditentukan dari beberapa sampai banyak berwarna kemerah–merahan sampai
kecoklat-coklatan atau hypochronik, dan ada lesi-lesi yang tersendiri yang dapat meninggi batasnya
tampak dengan nyata apabila dibandingkan dengan kulit yang sehat di sekelilingnya. Syaraf–syaraf
tepi kadang dapat terus menebal, dengan hasil pemeriksaan BTA positif yang ringan.
e) Penyakit Kusta Tipe Bordeline Lepramatouse (BL)
Lesi kulit bentuknya berbagai ragam, bervariasi dalam hal ukuran, menebal atau mengalami infitrasi,
berwarna kemerahmerahan ataupun kecoklatan, sering banyak dan meluas. Hasil pemeriksaan BTA
adalah positif.
Pada tipe penyakit kusta Lepramatouse yang sub polar, lesilesi kulit sangat menyerupai lesi-lesi
penyakit kusta Lepramatouse yang polar, namun masih dijumpai sejumlah kecil sisa lesi-lesi dari
kusta yang asimetrik, juga kerusakan syaraf (tepi yang asimetrik dengan pembesaran syaraf dapat
pula diperlihatkan pada tipe kusta ini.
Klasifikasi kusta menurut WHO dapat di golongkan dalam dua tipe yaitu
WHO atau Organisasi Kesehatan Dunia membagi kusta berdasarkan jenis dan jumlah area kulit yang
terkena. Jenis kusta menurut WHO dibagi menjadi dua, yakni paucibacillary dan multibacillary.
Perbedaan keduanya, yaitu:
Multibacillary. Kusta yang masuk kategori multibacillary apabila timbul lebih dari lima lesi
dan biopsi kulit didiagnosis mengandung bakteri.
Klasifikasi Ridley-Jopling, penyakit kusta dapat di klasifikasikan dalam tiga tipe, yaitu : Kusta
tipe indetermnate (I), Tuberculoid (TT), Borderline Lepramatause (BL), dan Lepramatouse
(LL).4 Sedangkan menurut WHO penyakit kusta di klasifikasikan dalam dua tipe yaitu : tipe
Pausi Basiler (PB), dan tipe Multi Basiler (MB).
a) Penyakit Kusta Indeterminate Lesi kulit terdiri dari suatu makula yang pipih dan tunggal,
biasanya sedikit hipopigmentasi ataupun sedikit erythematose, sedikit oval ataupun bulat
dalam hal bentuk. Permukaannya rata dan licin, tidak di temukan tanda-tanda ataupun
perubahan tekstur kulit. Pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA) pada umumnya negatif atau
sedikit positif.
b) Penyakit Kusta Tipe Tubercoloid Jenis Lesi ini pada umumnya bersifat stabil, lesi pada
umumnya berwarna kemerah-merahan dan kecoklat-coklatan ataupun mengalami
hipopigmentasi berbentuk oval atau bulat, berbatas tegas dari kulit yang normal di
sekitarnya.
c) Penyakit Kusta Tipe Bordeline Tipe ini sangat labil (tidak stabil), lesi-lesi kulit pada
umumnya sukkulent atau eras, pleimorfik menebal secara seragam (uniform) atau pun
dengan suatu daerah penyambuhan sentral.
d) Penyakit Kusta Tipe Bordeline Tuberculoid (BT) Lesi kulit dapat ditentukan dari beberapa
sampai banyak berwarna kemerah–merahan sampai kecoklat-coklatan atau hypochronik,
dan ada lesi-lesi yang tersendiri yang dapat meninggi batasnya tampak dengan nyata apabila
dibandingkan dengan kulit yang sehat di sekelilingnya. Syaraf–syaraf tepi kadang dapat terus
menebal, dengan hasil pemeriksaan BTA positif yang ringan.
Lesi kulit bentuknya berbagai ragam, bervariasi dalam hal ukuran, menebal atau mengalami
infitrasi, berwarna kemerahmerahan ataupun kecoklatan, sering banyak dan meluas. Hasil
pemeriksaan BTA adalah positif.
Pada tipe penyakit kusta Lepramatouse yang sub polar, lesilesi kulit sangat menyerupai lesi-
lesi penyakit kusta Lepramatouse yang polar, namun masih dijumpai sejumlah kecil sisa lesi-
lesi dari kusta yang asimetrik, juga kerusakan syaraf (tepi yang asimetrik dengan
pembesaran syaraf dapat pula diperlihatkan pada tipe kusta ini.
Jawaban :
I. Definisi Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit
yang sebenarnya sangat kronik. Reaksi kusta terdiri atas reaksi tipe 1 (reaksi reversal)
dan tipe 2 (eritema nodosum leprosum).
II. Faktor risiko
Jawaban :
Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yang merupakan bakteri tahan asam,
berbentuk batang gram positif, tidak dapat dikultur pada media buatan, aerob dan bersifat obligat
intraseluler. Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Gerhard Armauer Hansen pada tahun 1873.
(Lee dkk., 2012; Sekar, 2010).
Mycobacterium leprae merupakan bakteri nonmotil dengan panjang 1-8 mikron dan diameter 0,3
mikron dengan sisi paralel dan ujung yang membulat. M. leprae hidup dalam sel terutama jaringan
bersuhu dingin dan membelah secara biner. Replikasi memerlukan waktu 11 hingga 21 hari, tumbuh
maksimal pada suhu 270 C hingga 300 C (Eichelmann dkk., 2013; Sekar, 2010).
Kuman ini mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwann cell) dan sel sistem
retikuloendotelial. Secara mikroskopis, tampak basil yang bergerombol seperti ikatan cerutu,
sehingga disebut packet of cigars (globi) yang terletak intraseluler dan ekstraseluler. Pada
pewarnaan Ziehl-Neelsen (ZN) akan tampak berwarna merah yang merupakan basil tahan asam.
(Rao dkk., 2012) Dinding sel bakteri mengandung peptidoglikan yang berikatan dengan
arabinogalaktan dan mycolic acid. Lipoarabinomanan merupakan target lipoglikan respon imunitas
seluler maupun humoral yang ditemukan pada membran bagian luar hingga ke membran sel. Kapsul
M. leprae mengandung 2 lipid bakteri utama yaitu pthiocerol dimycocerosate dan phenolic
glycolipid-1 (PGL-1) yang merupakan glikolipid spesifik untuk M. leprae yang aktif secara serologis.
Phenolic glycolipid-1 sangat imunogenik, dapat memicu imunoglobulin. Imunoglobulin (Ig) M
ditemukan pada 60% kusta tipe TT dan 90% kusta tipe LL. (Lee dkk., 2012; Sekar, 2010; Polycarpou
dkk., 2013).
Patogenesis
Kusta ditandai dengan spektrum klinis yang luas berdasarkan respon imunitas seluler pejamu.
Penderita kusta tipe tuberkuloid menunjukkan adanya respon imunitas seluler yang dimediasi oleh
Th1, berupa IFN-γ, IL-2 dan TNFα yang menunjukkan adanya respon hipersensitivitas tipe lambat
terhadap antigen 5 M. leprae. Hal ini ditandai dengan terbentuknya granuloma dan dominasi sel T
CD4+ dan gambaran klinis berupa gangguan saraf tepi yang jelas namun jumlah basil serta lesi yang
sedikit. Sebaliknya kusta tipe lepromatosa dihubungkan dengan respon imun yang dimediasi oleh sel
Th2, berupa IL-4, IL-5, IL-6 dan IL10 yang tidak responsif terhadap antigen M. leprae, predominan sel
T CD8+ serta tidak terbentuk granuloma. Terdapat pula kelompok kusta tipe borderline yang
menunjukan pola sistem imunitas diantara kedua kutub kusta. (Gulia dkk., 2010; Nath dan
Chaduvula, 2010; Misch dkk, 2010).
Pada tahap awal M. leprae dikenali oleh beberapa reseptor imunitas alamiah termasuk Toll-like
receptor (TLR). Toll-like receptor2 membentuk heterodimer dengan TLR1 untuk mengenali
komponen mikobakterium seperti protein 19-kDa dan lipopeptida lainnya (Misch dkk; 2010).
Lipoglikan lipomanan (LM) dan manosa atau arabinose-capped lipoarabinomanan (ManLAM dan
AraLAM) merupakan faktor virulensi utama pada spesies mikobakterium berperan sebagai agonis
poten TLR1/2 dan berkontribusi pada aktivasi makrofag dan imunomodulasi respon pejamu. Selain
itu, stimulasi makrofag oleh molekul LAM M. leprae yang telah dimurnikan, menunjukkan penurunan
pelepasan IFN γ oleh makrofag, penurunan proliferasi dan aktivasi sel T. (Hart dan Tapping, 2012).
Sel Schwann pada saraf perifer merupakan target utama infeksi oleh M. leprae. Kerusakan saraf
perifer dapat disebabkan secara langsung oleh M. leprae maupun melalui respon imunitas.
Mycobacterium leprae dapat menginvasi sel Schwann melalui ikatan PGL-1 dengan domain G pada
rantai α2 laminin-2 yang 6 terdapat pada membran sel Schwann. Laminin binding protein 21 (LBP-
21) berperan memediasi masuknya M. leprae menuju ke intraseluler sel schwann, selanjutnya
internalisasi M. leprae akan menyebabkan demielinisasi saraf perifer diakibatkan oleh ikatan
langsung antara bakteri dengan reseptor neuregulin, aktivasi ErB2 dan Erk1/2 dan aktivasi Mitogen
Activated Protein (MAP) kinase (Misch dkk; 2010; Renault dan Ernst, 2015).
Demielinisasi oleh M. leprae akan memicu invasi lebih lanjut karena M. leprae lebih menyukai unit
akson yang tidak bermielin. Mekanisme kerusakan saraf secara langsung ini terutama berperan pada
kusta tipe multibasiler (Renault dan Ernst, 2015). Diagnosis dini dan monitoring fungsi saraf dapat
dibantu dengan pemeriksaan sensibilitas menggunakan monofilamen yang lebih sensitif dibanding
dengan menggunakan kapas dan jarum pentul. Monofilamen adalah suatu benang nilon yang dapat
melengkung elastis saat diberi tekanan tegak lurus. (Shahiduzzaman, 2011; Chen, 2004).
Menurut penelitian oleh Neto pada tahun 2015 di Brazil pada 400 pasien kusta, didapatkan 93%
pasien sedikitnya memiliki 1 gejala sensoris, dan hipoestesia merupakan gejala tersering. Gejala
motoris dialami 59% penderita, dan penebalan saraf dialami 50,25% penderita. Pada tipe
lepromatosa kerusakan saraf ditandai dengan hilangnya sensibilitas minimal (Neto, 2015).
Gejala awal infeksi saraf berupa penurunan sensibilitas raba, nyeri, dan suhu, dapat disertai gejala
awal neuritis yaitu kesemutan, nyeri neuropatik, dan penebalan saraf (Rao, 2010).
Salah satu kekurangan pemeriksaan monofilamen adalah tingginya angka subjektivitas, untuk itu
mulai dikembangkan pemeriksaan elektroneurografi (ENG) yaitu suatu pemeriksaan untuk menilai
kecepatan konduksi saraf sensorik dan motorik. Pemeriksaan ini berguna dalam mengidentifikasi
dan membedakan gangguan mono atau polineuropati, neuropati aksonal ataupun neuropati
demyelinating. Neuropati awal pada kusta ditandai dengan kerusakan demyelinating, sehingga
dengan pemeriksaan ENG dapat mengkonfirmasi diagnosis neuropati dan mendeteksi saraf yang
rusak secara dini sehingga risiko kecacatan kusta bisa diminimalkan (Reni, 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Tzourio dkk melaporkan bahwa tidak adanya korelasi anatara gejala
neurologis dan pemeriksaan ENG pada pasien kusta. Akan tetapi pada studi tersebut terdapat
kelemahan karena pemeriksaan ENG hanya dilakukan pada beberapa pasien. (Skacel dkk., 2000).
Hipotesis kerusakan saraf yang dimediasi oleh sistem imun diduga disebabkan karena pelepasan
sitokin proinflamasi antara lain TNF, IL-12, IL-16, IL-18, 1L-15 dan IL-1β oleh monosit atau makrofag.
Protein 19-kDa yang dikenali oleh TLR1/2 menginduksi pelepasan sitokin proinflamasi dan
menginduksi apoptosis sel Schwann, selain itu sel Schwann yang terpapar secara in vitro terhadap
neuron yang mengalami nekrosis memproduksi TNF dan nitric oxide yang merupakan mediator
inflamasi poten. Pada tingkat jaringan, kerusakan saraf disebabkan karena influks sel imunitas dan
cairan interstisial (edema) pada saraf sehingga terjadi kompresi dan iskemia (Misch dkk; 2010;
Renault dan Ernst, 2015). Selain sel Schwann, makrofag merupakan sel host yang paling banyak
berinteraksi pada M. leprae. Fagositosis M. leprae oleh makrofag dimediasi oleh reseptor
komplemen CR1(CD35), CR3 (CD11b/CD18), dan CR4 (CD11c/CD18) dan diregulasi oleh protein
kinase (Bath dan Prakash, 2012)
7. Manifestasi Klinis dari penyakit kusta
Jawaban :
Tanda dan GejalaKusta harus dicurigai pada orang dengan gejala atau tanda, sebagai berikut:
e. Nyeri;
Meskipun kebanyakan pasien kusta memiliki lesi kulit yang terlihat, pekerja lapangan
berpengalaman menyadari bahwa berbagai macam lesi kulit terwujud dalam kasus penyakit ini. Ada
yang sangat diffused dan sulit dibedakan dari kulit normal. Dalam kasus ini, gejala dan tanda lain
menjadi penting untuk diagnosis.
8. Menentukan diagnosis dan pemeriksaan penunjang pada penyakit kusta ( Melvan, charina)
Jawaban :
Penyakit kusta dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan banyak penyakit lain. Sebaliknya
banyak penyakit lain dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan penyakit kusta. Oleh karena itu
dibutuhkan kemampuan untuk mendiagnosis penyakit kusta secara tepat dan membedakannya
dengan berbagai penyakit yang lain agar tidak membuat kesalahan yang merugikan pasien. Diagnosis
penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (tanda utama), yaitu : 4
Kelainan kulit dapat berbentuk bercak keputih–putihan (hipopigmentasi) atau kemerah – merahan
(eritematous). Mati rasa dapat bersifat kurang rasa (nipestesi) atau tidak merasa sama sekali
(anestesi)
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer).
Gangguan fungsi saraf bisa berupa gangguan fungsi sensorik seperti mati rasa, gangguan fungsi
motoris seperti kelemahan otot (Parese) atau kelumpuhan (Paralise), gangguan fungsi otonom
seperti kulit kering, retak, pembengkakan (edema) .
Bahan pemeriksaan BTA diambil dari kerokan kulit (skin smear), cuping telinga dan bagian aktif suatu
lesi kulit. Untuk tujuan tertentu kadang diambil dari bagian tubuh tertentu (biopsi). Seseorang
dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat sekurangkurangnya dua dari tanda-tanda
kardinal diatas atau bila terdapat tanda (BTA positif) diambil dari bagian kulit yang dicurigai.
Bilamana terdapat hanya salah satu dari empat tanda pertama 1- 4, maka pemeriksaan laboratium
diulangi lagi, terutama bila hanya terdapat tanda infiltrat. Dan apabila tidak adanya cardinal sign bisa
dinyatakan tersangka (suspek) kusta.
2) Kulit mengkilap
1) Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk, dan nyeri pada anggota badan atau bagian muka
pemeriksaan yaitu
1) Anamnesis
Dengan mencatat identitas penderita, riwayat tanda-tanda kulit/saraf yang dicurigai, riwayat kontak
dengan penderita.
2) Pemeriksaan klinis
Dengan melakukan periksa raba pada kelainan kulit untuk mengetahui hilangnya rasa (dengan
menggunakan kapas yang di runcingkan ujungnya, maupun dengan lidi, Periksa saraf tepi dengan
perabaan, apakah ada penebalan atau nyeri raba. Untuk dapat membedakan dengan mudah apakah
ada penebalan/pembesaran perbandingan dengan yang normal pada orang sehat
Pemeriksaan penunjang penyakit kusta
1. Bakterioskopik: sediaan slit skin smear atau kerokan jaringan kulit dengan pewarnaan Ziehl
Neelsen.
2. Bila diagnosis meragukan, dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan biopsi dan histopatologi, serta
pemeriksaan serologi (PGL-1) atau PCR.
Jawaban:
Komplikasi Kusta
Kusta yang tak ditangani dengan cepat dan efektif bisa menimbulkan berbagai komplikasi, yaitu:
Gagal ginjal.
Kerusakan permanen pada saraf di luar otak dan sumsum tulang belakang.
Cacat progresif atau kerusakan permanen pada bigian hidung, alis, atau jari kaki.
Jawaban :
Prognosis lepra cukup baik jika dilakukan penatalaksanaan adekuat dan jarang menimbulkan
mortalitas. Gangguan saraf dan kecacatan umumnya tidak kembali normal walaupun mengkonsumsi
obat, tetapi lesi kulit umumnya hilang dalam waktu 1 tahun terapi. Semakin cepat pasien
mengkonsumsi obat maka kemungkinan terjadinya deformitas semakin kecil.
Komplikasi
Komplikasi lepra yang dapat terjadi adalah kecacatan pada tangan dan kaki, seperti claw hand, atrofi
otot, dan reabsorbsi parsial pada jari.
Kebutaan dapat terjadi bila lepra mengenai mata. Gangguan saraf sensoris sulit membaik, termasuk
mati rasa. Pada pasien lepra juga sering ditemukan luka yang tidak kunjung sembuh, kelumpuhan,
atau sepsis.
Prognosis
Penyembuhan dari gangguan neurologis jarang terjadi, namun lesi kulit bisa hilang dalam 1 tahun
pertama tatalaksana. Hipopigmentasi dan luka pada kulit biasanya akan tetap meninggalkan bekas.
Jawaban:
Nonmedikamentosa
3. Edukasi kepada pasien, keluarga dan masyarakat: menghilangkan stigma dan penggunaan obat.
Medikamentosa
1. Pengobatan dengan multidrug therapy (MDT) WHO (1998, 2012) Pengobatan dengan MDT
disesuaikan dengan indikasi sebagai berikut:
Pasien yang menolak klofazimin Bila pasien menolak mengonsumsi klofazimin, maka
klofazimin dalam MDT 12 bulan dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari atau minosiklin
100 mg/hari selama 12 bulan atau rifampisin 600 mg/bulan, ofloksasin 400 mg/bulan dan
minosiklin 100 mg/bulan selama 24 bulan.
Pasien yang tidak dapat mengonsumsi DDS Bila dapson menyebabkan terjadinya efek
simpang berat, seperti sindrom dapson (sindrom hipersensitivitas obat), obat ini harus
segera dihentikan. Tidak ada modifikasi lain untuk pasien MB, sehingga MDT tetap
dilanjutkan tanpa dapson selama 12 bulan. Sedangkan untuk pasien PB, dapson diganti
dengan klofazimin dengan dosis sama dengan MDT tipe MB selama 6 bulan.
Rawat inap
diindikasikan untuk pasien kusta dengan:
Efek samping obat berat
Reaksi reversal atau ENL berat
Keadaan umum buruk (ulkus, gangren), atau terdapat keterlibatan organ tubuh lain dan
sistemik
Rencana tindakan operatif.
Edukasi
1. Saat mulai MDT
Kusta, disebabkan oleh kuman kusta dan dapat disembuhkan dengan MDT, bila
diminum teratur tiap hari sesuai dosis dan lama terapi yang ditentukan.
Penjelasan tentang efek samping obat MDT seperti urin berwarna merah, bercak kulit
gatal, berwarna kekuningan dan perubahan warna kulit.
Penjelasan tentang gejala dan tanda reaksi kusta.
Cacat baru dapat timbul saat atau setelah pengobatan dan dapat diobati.
Penyembuhan cacat yang sudah ada sebelumnya, tergantung pada lamanya cacat
diderita.
Cari dan periksa kontak untuk konfirmasi dan pengobatan.
Perawatan diri harus dilakukan tiap hari secara teratur. Lama pengobatan Jenis Obat
Dosis 6 bulan pertama Klofazimin Ditambah 2 dari 3 obat berikut: Ofloksasin Minosiklin
Klaritromisin 50 mg/hari 400 mg/hari 100 mg/hari 500 mg/hari Dilanjutkan 18 bulan
Klofazimin Dengan ofloksasin ATAU Minosiklin 50 mg/hari 400 mg/hari 100
mg/hariDermatologi Infeksi .
2. Saat RFT
Beri selamat karena telah menyelesaikan pengobatan dan berarti telah sembuh
sehingga tidak memerlukan MDT lagi
. Bercak kulit yang masih tersisa memerlukan waktu lebih lama untuk menghilang
sebagian menetap selamanya.
Mati rasa, kelemahan otot karena kerusakan saraf akan menetap.
Lapor segera apabila timbul gejala dan tanda reaksi kusta.
Walaupun sangat jarang terjadi, beri penjelasan tentang gejala dan tanda relaps.
Tetap melaksanakan kegiatan rawat-diri seperti biasanya.
12. Patofisiologi dan penatalaksanaan tinea corporis
Jawaban :
Patogenesis
Tinea kruris biasanya terjadi setelah kontak dengan individu atau binatang yang terinfeksi.
Penyebaran juga mungkin terjadi melalui benda misalnya pakaian, perabotan, dan sebagainya. Tinea
kruris umumnya terjadi pada pria. Maserasi dan oklusi kulit lipat paha menyebabkan peningkatan
suhu dan kelembaban kulit sehingga memudahkan infeksi, selain itu dapat pula terjadi akibat
penjalaran infeksi dari bagian tubuh lain.Dermatofita mempunyai masa inkubasi selama 4-10 hari.
Infeksi dermatofita melibatkan tiga langkah utama : perlekatan ke keratinosit, penetrasi melalui dan
diantara sel, dan perkembangan respon pejamu.
a. Perlekatan jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa melekat pada jaringan
keratin diantaranya sinar UV, suhu, kelembaban, kompetisi dengan flora normal dan sphingosin yang
diproduksi oleh keratinosit. Asam lemak yang di produksi oleh kelenjar sebasea juga bersifat
fungistatik.
b. Penetrasi. Setelah terjadi perlekatan, spora harus berkembang dan menembus stratum korneum
dengan kecepatan yang lebih cepat daripada proses desquamasi. Penetrasi juga dibantu oleh sekresi
proteinase, lipase dan enzim mucinolitik, yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan
maserasi 9 juga membantu penetrasi jamur ke keratinosit. Pertahanan baru muncul ketika jamur
mencapai lapisan terdalam epidermis.
Derajat inflamasi di pengaruhi oleh status imun penderita dan organisme yang terlibat. Reaksi
hipersensitivitas tipe IV, atau Delayed Type Hipersensitivity (DHT) memainkan peran yang sangat
penting dalam melawan dermatofita. Pasien yang belum pernah terinfeksi dermatofita sebelumnya,
Infeksi primer menyebabkan inflamasi dan tes trichopitin hasilnya negatif. Infeksi menghasilkan
sedikit eritema dan skuama yang dihasilkan oleh peningkatan pergantian keratinosit. Terdapat
hipotesis menyatakan bahwa antigen dermatofita diproses oleh sel langerhans epidermis dan di
presentasikan dalam limfosit T di nodus limfe. Limfosit T melakukan proliferasi dan bermigrasi ke
tempat yang terinfeksi untuk menyerang jamur. Saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi, dan barier
epidermal menjadi permeable terhadap transferin dan sel-sel yang bermigrasi. Segera jamur hilang
dan lesi secara spontan menyembuh.
Jawaban :
Patofisiologi pityriasis rosea dikaitkan dengan proses infeksi, atopik, dan autoimunitas. Pityriasis
rosea sering kali didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas. Bakteri seperti Streptococcus diduga
berperan dalam terjadinya penyakit pityriasis rosea, karena ditemukan peningkatan titer
antistreptolisin O (ASLO) pada 37,7% pasien pityriasis rosea dan adanya perbaikan klinis dengan
pemberian eritromisin. Namun, hasil penelitian-penelitian lain masih banyak yang bertolak belakang.
Hipotesis infeksi virus berperan dalam patofisiologi pityriasis rosea muncul setelah ditemukannya
partikel seperti intranuklear dan intrasitoplasma virus pada sampel biopsi kulit. Hal ini diikuti pula
dengan peningkatan jumlah limfosit CD4 dan sel Langerhans pada dermis yang diduga akibat respon
terhadap antigen virus. Anti-imunoglobulin M keratinosit juga ditemukan pada pasien dengan
pityriasis rosea. Human herpesvirus-6 dan 7 merupakan virus yang paling sering dikaitkan dengan
pityriasis rosea. Pada usia anak 2-6 tahun, infeksi kedua jenis virus tersebut bermanifestasi sebagai
exanthema subitum. Munculnya pityriasis rosea di kemudian hari, diduga akibat reaktivasi virus
tersebut.