Anda di halaman 1dari 115

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN JIWA

Mahasiswa

Nur Annisa Mandalika


201901065

PROGRAM STUDI S1 NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIDYA NUSANTARA PALU
2021
LAPORAN PENDAHULUAN

1. Masalah Utama
Isolasi sosial : menarik diri

2. Proses Terjadinya Masalah


a. Pengertian
Perilaku isolasi sosial menarik diri merupakan suatu gangguan hubungan interpersonal
yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku
maladaptive dan mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial (Depkes RI, 2000)
Tanda dan Gejala
Menurut Budi Anna Kelia (2009), tanda dan gejala ditemui seperti:
 Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul.
 Menghindar dari orang lain (menyendiri).
 Komunikasi kurang/tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan
klien lain/perawat.
 Tidak ada kontak mata, klien sering menunduk.
 Berdiam diri di kamar/klien kurang mobilitas.
 Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan percakapan
atau pergi jika diajak bercakap-cakap.
 Tidak melakukan kegiatan sehari-hari.
 Posisi janin saat tidur.
b. Penyebab
Menurut Budi Anna Keliat (2009), salah satu penyebab dari menarik diri adalah harga
diri rendah. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan
menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri
dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan
diri, merasa gagal mencapai keinginan.

c. Akibat
Klien dengan perilaku menarik diri dapat berakibat adanya terjadinya resiko perubahan
sensori persepsi (halusinasi). Halusinasi ini merupakan salah satu orientasi realitas yang
maladaptive, dimana halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa stimulus
yang nyata, artinya klien menginterprestasikan sesuatu yang nyata tanpa
stimulus/rangsangan eksternal.

3. Pohon masalah:
Resiko perubahan persepsi sensori: halusinasi

Isolasi sosial: Menarik diri


Core Problem

Gangguan konsep diri: Harga diri rendah

4. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji


a. Masalah keperawatan:
 Isolasi sosial: menarik diri
b. Data yang perlu dikaji
Isolasi Sosial : menarik diri
Data Subyektif:
 Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh,
mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri.
Data Obyektif:
 Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif tindakan,
ingin mencederai diri/ingin mengakhiri hidup.

5. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


 Isolasi sosial: menarik diri
6. Rencana Tindakan Keperawatan
Diagnosa : Isolasi sosial: menarik diri

1. Pada Pasien
a. Tujuan
1) Klien mampu membina hubungan saling percaya
2) Klien mampu mengidentifikasi penyebab isolasi sosial
3) Klien mampu berinteraksi dengan orang lain secara bertahap
b. Tindakan
1) Membina hubungan saling percaya
a) Mengucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan klien
b) Sapa klien dengan ramah
c) Berkenalan dengan klien
- Perkenalkan nama dan nama panggilan yang perawat sukai,serta tanyakan
nama dan nama panggilan klien
- Menanyakan perasaan dan keluhan klien saat ini
d) Buat kontrak asuhan keperawatan/interaksi
Apa yang akan perawat lakukan bersama klien,tujuannya apa,berapa lama
akan dikerjakan,dan dimana tempatnya.
e) Tunjukkan sikap empati setiap saat pada klien
f) Jujur dan tepati janji
g) Beri perhatian dan penuhi kebutuhan dasar klien
h) Membantu klien mengidentifikasi perilaku sosial yang dilakukan
i) Menanyakan pendapat klien tentang kebiasaan berinteraksi dengan orang lain.
Menanyaka apa yang menyebabkan klien tidak ingin berinteraksi dengan
orang lain.
2) Membantu klien mengidentifikasi keuntungan berhubungan dan kerugian
tidak berhubungan dengan orang lain
a) Membantu klien mengidentifikasi keuntungan berhubungan dengan orang lain
b) Membantu klien mengidentifikasi kerugian tidak berinteraksi dengan orang
lain.
1) Berdiskusi dengan klien kerugian jika klien hanya mengurung diri dan
tidak bergaul dengan orang lain
2) Menjelaskan pengaruh isolasi sosial terhadap kesehatan fisik klien
c) Membantu klien untuk berinteraksi dengan orang lain secara bertahap
1) Berkenalan dengan satu orang
- Diskusikan dengan klien tentang cara berkenalan : menyebutkan nama
lengkap, nama panggilan, hobi dan alamat.
- Beri kesempatan klien mempraktekkan cara berinteraksi dengan orang lain
yang dilakukan dihadapan perawat.
- Membantu klien untuk berinteraksi dengan satu 1 orang (perawat, teman
atau keluarga).
- Beri reinforcement positif untuk setiap kemajuan interaksi yang telah
dilakukan klien
- Identifikasi kemampuan/ keterampilan sosial klien yang telah dilakukan
dalam hubungan interpersonal dengan orang lain
2) Berkenalan dengan 2 orang atau lebih
- Membantu klien untuk berinteraksi dengan 2 orang/lebih (perawat, teman
atau keluarga)
- Beri reinforcement positif untuk setiap kemajuan interaksi yang telah
dilakukan klien
- Identifikasi kemampuan/ keterampilan sosial klien yang telah dilakukan
dalam hubungan interpersonal dengan orang lain
3) Berinteraksi dalam kelompok
Membantu klien untuk ikut TAK Sosialisasi

2. Pada Keluarga
a. Tujuan : Keluarga mampu merawat klien dengan Isolasi sosial
b. Tindakan
1) Berdiskusi dengan keluarga tentang masalah yang dirasakan keluarga dalam
merawat klien
2) Menjelaskan tentang masalah Isolasi sosial yang ada pada klien dan dampaknya
3) Menjelaskan tentang penyebab Isolasi sosial
4) Berdiskusi dengan keluarga tentang cara merawat klien dengan Isolasi sosial
a) Membina hubungan saling percaya dengan klien dengan cara bersikap peduli
dan tidak ingkar janji.
b) Memberikan semangat dan motivasi kepada klien untuk bisa melakukan
kegiatan bersama-sama dengan orang lain yaitu dengan tidak mencela kondisi
klien memberika pujian yang wajar
5) Memperagakan cara merawat klien dengan Isolasi sosial
6) Membantu keluarga mempraktekkan cara merawat klien Isolasi sosial yang telah
didiskusikan
7) Menyusun rencana pulang klien bersama keluarga
Strategi Pelaksanaan
Isolasi Sosial
SPI : Pasien
1. Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial pasien
2. Berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berinteraksi dengan orang lain
3. Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain
4. Mengajarkan pasien cara berkenalan dengan satu orang
5. Menganjurkan pasien memasukkan kegiatan latihan berbincang-bincang dengan
orang lain dalam kegiatan harian
SPII: Pasien
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2. Memberikan kesempatan kepada pasien mempraktekan cara berkenalan dengan satu
orang
3. Membantu pasien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan orang lain
sebagai salah satu kegiatan harian.
SPIII: Pasien
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
2. Memberikan kesempatan berkenalan dengan dua orang atau ebih
3. Menganjurkan pasien memasukan dalam jadwal kegiatan harian

SPI: Keluarga
1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
2. Menjelaskan pengertian isolasi sosial, tanda dan gejala, serta proses terjadinya isolasi
sosial
3. Menjelaskan cara merawat pasien dengan isolasi sosial
SPII: Keluarga
Melatih keluarga mempraktekan cara merawat pasien dengan isolasi sosial
SPIII: Keluarga
Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien isolasi sosial
SPIV: Keluarga
1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat
(discharge planning)
2. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang
Daftar Pustaka
Budi Anna Keliat. 2009. Model praktik keperawatan professional jiwa. Jakarta. ECG
Yosep Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Jakarta. ECG
LAPORAN PENDAHULUAN

RESIKO BUNUH DIRI

A. Pengertian
Resiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri yang dapat mengancam
kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena merupakan perilaku untuk
mengakhiri kehidupannya. Perilaku bunuh diri disebabkan karena stress yang tinggi dan
berkepanjangan dimana individu gagal dalam melakukan mekanisme koping yang digunakan
dalam mengatasi masalah. Beberapa alasan individu mengakhiri kehidupan adalah kegagalan
untuk beradaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stress, perasaan terisolasi, dapat terjadi
karena kehilangan hubungan interpersonal/ gagal melakukan hubungan yang berarti, perasaan
marah/ bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri sendiri, cara untuk
mengakhiri keputusasaan (Stuart, 2006).
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri
kehidupan. Bunuh diri merupakan keputusan terakhir dari individu untuk memecahkan masalah
yang dihadapi (Captain, 2008). Menciderai diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri
dan dapat mengakhiri kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terakhir dari
individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2008).
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri
kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terkahir dari individu untuk memecahkan
masalah yang dihadapi.  (Budi Anna Kelihat, 2000).
Bunuh diri menurut Gail W. Stuart dalam buku “Keperawatan Jiwa” dinyatakan sebagai
suatu aktivitas yang jika tidak dicegah, dimana aktivitas ini dapat mengarah pada kematian
(2007). 
Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar (2000), bunuh diri memiliki 4
pengertian, antara lain:
a. Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional
b. Bunuh diri dilakukan dengan intensi
c. Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri
d. Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung (pasif), misalnya
dengan tidak meminum obat yang menentukan kelangsungan hidup atau secara sengaja
berada di rel kereta api.

Menurut Shives (2008) mengemukakan rentang harapan putus harapan merupakan rentang
adaptif maladaptif. Respon adaptif merupakan respon yang dapat diterima oleh norma-norma
sosial dan kebudayaan yang secara umum berlaku, sedangkan respon maladaptif merupakan
respon yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah yang kurang dapat diterima oleh
norma-norma sosial dan budaya setempat. Respon maladaptif antara lain:
1. Ketidakberdayaan, keputusasaan, apatis.
Individu yang tidak berhasil memecahkan masalah akan meninggalkan masalah, karena
merasa tidak mampu mengembangkan koping yang bermanfaat sudah tidak berguna lagi,
tidak mampu mengembangkan koping yang baru serta yakin tidak ada yang membantu.
2. Kehilangan, ragu-ragu
Individu yang mempunyai cita-cita terlalu tinggi dan tidak realistis akan merasa gagal dan
kecewa jika cita-citanya tidak tercapai. Misalnya :
Kehilangan pekerjaan dan kesehatan, perceraian, perpisahan individu akan merasa gagal dan
kecewa, rendah diri yang semuanya dapat berakhir dengan bunuh diri.
a) Depresi
Dapat dicetuskan oleh rasa bersalah atau kehilangan yang ditandai dengan kesedihan
dan rendah diri. Biasanya bunuh diri terjadi pada saat individu ke luar dari keadaan
depresi berat.

b) Bunuh diri
Adalah tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk mengkahiri
kehidupan. Bunuh diri merupakan koping terakhir individu untuk memecahkan masalah
yang dihadapi (Laraia, 2005).

Respon Adaptif Respon Mal-


adaptif

B. Klasifikasi
Perilaku bunuh diri terbagi menjadi tiga kategori (Stuart, 2006):
 Ancaman bunuh diri yaitu peringatan verbal atau nonverbal bahwa seseorang tersebut
Self Growth Indirect Self Self Suicide
mempertimbangkan
Enchancement Promoting untuk bunuh diri. Orang yang
Injury ingin bunuh diri mungkin
Destructive
mengungkapkan
Risksecara
Takingverbal bahwa ia tidak akan berada di sekitar kita lebih lama lagi atau
Behavior
mengomunikasikan secara non verbal.
 Upaya bunuh diri yaitu semua tindakan terhadap diri sendiri yang dilakukan oleh individu
yang dapat menyebabkan kematian jika tidak dicegah.
 Bunuh diri yaitu mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau diabaikan. Orang
yang melakukan bunuh diri dan yang tidak bunuh diri akan terjadi jika tidak ditemukan tepat
pada waktunya.
Sementara itu, Yosep (2010) mengklasifikasikan terdapat tiga jenis bunuh diri, meliputi:
 Bunuh diri anomik
Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh diri yang didasari oleh faktor lingkungan
yang penuh tekanan (stressful) sehingga mendorong seseorang untuk bunuh diri.
 Bunuh diri altruistik
Bunuh diri altruistik adalah tindakan bunuh diri yang berkaitan dengan kehormatan
seseorang ketika gagal dalam melaksanakan tugasnya.
 Bunuh diri egoistik
Bunuh diri egoistik adalah tindakan bunuh diri yang diakibatkan faktor dalam diri seseorang
seperti putus cinta atau putus harapan.

C. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala menurut Fitria (2009):
 Mempunyai ide untuk bunuh diri
 Mengungkapkan keinginan untuk mati
 Impulsif
 Menunjukan perilaku yang mencurigakan
 Mendekati orang lain dengan ancaman
 Menyentuh orang lain dengan cara menakutkan
 Latar belakang keluarga

B. Faktor yang mempengaruhi


1. Faktor Mood dan Biokimiawi otak
Ghansyam pandey menemukan bahwa aktivitas enzim di dalam manusia bisa
mempengaruhi mood yang memicu keinginan mengakhiri nyawa sendiri. Pandey
mengetahui faktor tersebut setelah melakukan eksperimen terhadap otak 34 remaja yang 17
diantaranya meninggal akibat bunuh diri. Ditemukan bahwa tingkat aktivitas protein kinase
C (PKC) pada otak pelaku bunuh diri lebih rendah dibanding mereka yang meninggal bukan
karena bunuh diri.
Hj. Rooswita mengatakan, “depresi berat menjadi penyebab utama. Depresi timbul karena
pelaku tidak kuat menanggung beban permasalahan yang menimpa. Karena terus menerus
mendapat tekanan, permasalahan kian menumpuk dan pada puncaknya memicu keinginan
bunuh diri.”
2. Faktor riwayat gangguan mental
Dalam otak kita gterdapat berbagai jaringan, termasuk pembuluh darah. Di dalamnya juga
terdapat serotonin, adrenalin, dan dopamin. Ketiga cairan dalam otak itu bisa menjadi
petunjuk dalam neurotransmiter(gelombang/gerakan dalam otak) kejiwaan manusia. Karena
itu, kita harus waspadai bila terjadi peningkatan kadar ketiga cairan itu di dalam otak.
Biasanya, bila kita lihat dari hasil otopsi para korban kasus bunuh diri, cairan otak ini tinggi,
terutama serotonin.
Apa penyebab umum yang meningkatkan kadar cairan otak itu? Sebagai contoh adanya
masalah yang membebani seseorang sehingga terjadi stress atau depresi. Itulah yang sering
membuat kadar cairan otak meningkat.
3. Faktor meniru, imitasi, dan pembelajaran
Dalam kasus bunuh diri, dikatakan ada Proses Pembelajaran. Para korban memiliki
pengalaman dari salah satu keluarganya yang pernah melakukan percobaan bunuh diri atau
meninggal karena bunuh diri. Tidak hanya itu, bisa juga terjadi pembelajaran dari
pengetahuan lainnya. Proses pembelajran di sini merupakan asupan yang masuk ke dalam
memori seseorang. Memori itu bisa menyebabkan perubahan kimia lewat pembentukan
protein-protein yang erat kaitannya dengan memori. Sering kali banyak yang idak menyadari
Proses Pembelajaran ini sebagai keadaan yang perlu diwaspadai. Bahkan, kita baru paham
kalau pasien sudah diperiksa psikiater/dokter. Kita perlu memperhatikan bahwa orang yang
pernah mencoba bunuh diri denngan cra yang halus, seperti minum racun bisa melakukan
cara lain yang lebih keras dari yang pertama bila yang sebelumnya tidak berhasil.
4. Faktor isolasi sosial dan Human Relations
Secara umum, stress muncul karena kegagalan beradaptasi. Ini dapat terjadi di lingkungan
pekerjaan, keluarga, sekolah, pergaulan dalam masyarakat, dan sebagainya. Demikian pula
bila seseorang merasa terisolasi, kehilangan hubungan atau terputusnya hubungan dengan
orang lain yang disayangi. Padahal hubungan interpersonal merupakan sifat alami manusia.
Bahkan keputusan bunuh diri juga bisa dilakukan karena perasaan bersalah. Suami
membunuh istri, kemudian dilanjutkan membunuh dirinya sendiri, bisa dijadikan contoh
kasus.
5. Faktor hilangnya perasaan aman dan ancaman kebutuhan dasar
Penyebab bunuh diri yang lain adalah rasa tidak aman. Rasa tidak aman merupakan
penyebab terjadinyabanyak kasus bunuh diri di Jakarta dan sekitarnya akhir-akhir ini. tidak
adanya rasa aman untuk menjalankan usaha bagi warga serta ancaman terhadap tempat
tinggal mereka berpotensi kuat memunculkan gangguan kejiwaan seseorang hingga tahap
bunuh diri.
Stuart (2006) menyebutkan bahwa faktor predisposisi yang menunjang perilaku resiko bunuh
diri meliputi:

 Diagnosis psikiatri
Tiga gangguan jiwa yang membuat pasien berisiko untuk bunuh diri yaitu gangguan alam
perasaan, penyalahgunaan obat, dan skizofrenia.
 Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan peningkatan resiko bunuh diri adalah
rasa bermusuhan, impulsif, dan depresi.

 Lingkungan psikososial
Baru mengalami kehilangan, perpisahan atau perceraian, kehilangan yang dini, dan
berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor penting yang berhubungan dengan bunuh
diri.
 Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor resiko untuk
perilaku resiko bunuh diri
 Faktor biokimia
Proses yang dimediasi serotonin, opiat, dan dopamine dapat menimbulkan perilaku resiko
bunuh diri.

C. Stressor pencetus
Stuart (2006) menjelaskan bahwa pencetus dapat berupa kejadian yang memalukan, seperti
masalah interpersonal, dipermalukan di depan umum, kehilangan pekerjaan, atau ancaman
pengurungan. Selain itu, mengetahui seseorang yang mencoba atau melakukan bunuh diri atau
terpengaruh media untuk bunuh diri, juga membuat individu semakin rentan untuk melakukan
perilaku bunuh diri.

D. Penilaian stressor
Upaya bunuh diri tidak mungkin diprediksikan pada setiap tindakan. Oleh karena itu, perawat
harus mengkaji faktor resiko bunuh diri pada pasien.

E. Sumber koping
Pasien dengan penyakit kronis, nyeri, atau penyakit yang mengancam kehidupan dapat
melakukan perilaku destruktif-diri. Sering kali pasien secara sadar memilih untuk bunuh diri.
F. Mekanisme koping
Stuart (2006) mengungkapkan bahwa mekanisme pertahanan ego yang berhubungan dengan
perilaku destruktif-diri tidak langsung adalah penyangkalan, rasionalisasi, intelektualisasi, dan
regresi.

G. Gambaran klinis dan diagnosis


Dalam mengenali pasien yang cenderung bunuh diri merupakan satu tugas yang penting
namun sulit dilaksanakan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa resiko bunuh diri yang
berhasil akan meningkat pada jenis pria, berkulit putih, umur lanjut, dan isolasi sosial. Pasien
dengan riwayat keluarga percobaan bunuh diri atau bunuh diri yang berhasil membuat resiko
makin tinggi juga, demikian pula pasien dengan nyeri kronik, pembedahan yang baru terjadi, atau
mengidap penyakit fisik kronik. Demikian pula pasien yang tidak mempunyai pekerjaan, tinggal
sendiri, yang mengatur masalah– masalahnya secara teratur, dan hari ulang tahun dari kematian
anggota keluarga.
Delapan puluh persen pasien yang melaksanakan bunuh diri dan berhasil, biasanya
mengidap gangguan afetif dan 25% biasanya bergantung pada alkohol. Bunuh diri merupakan
15% sebab kematian pada kedua kelompok orang diatas. Sedangkan resiko tinggi untuk
peminum alkohol dalam kurun waktu 6 bulan setelah suatu kehilangan anggota keluarga.
Skizofrenia merupakan gangguan yang jarang, oleh sebab itu menjadi faktor pengurangan angka
bunuh diri pada kasus ini, namun 10% dari para pasien skizofrenik meninggal akibat bunuh diri.
Harapan yang terbaik bagi upaya pencegahan bunuh diri terletak pada penemuan dan
terapi sedini mungkin dari gangguan psikiatri yang menyebabkannya.
Peran dari upaya bunuh diri yang terdahulu dalam menilai resiko bunuh diri saat
mendatang amat kompleks, kebanyakan dari para korban bunuh diri yang berhasil tidak pernah
mencoba pada masa sebelumnya, biasanya mereka akan berhasil pada percobaan pertama.
Walaupun para pelaku yang mencoba bunuh diri masa lampau menunjukkan perilaku yang
mampu merusak diri, hanya 10% para pelaku percobaan bunuh diri yang berhasil dalam 10 tahun.
Sejumlah cukup besar orang yang secara sengaja melakukan tindak merusak diri seperti
memotong nadi atau membakar diri dengan cara yang jelas tidak mematikan tanpa keinginan
sungguh untuk membunuh diri. Berbagai motif mungkin berada dibelakang ini, termasuk
manipulasi secara sengaja dan amarah yang tak sadar terhadap orang lain yang berarti dalam
hidupnya. Secara diagnostik, pasien dapat memenuhi kriteria untuk gangguan anti sosial atau
ambang, atau perilaku itu dapat berada bersama dengan gagasan aneh yang lain dan perilaku
skizofrenik.
Yang paling merisaukan dan menantang secara medikolegal ialah peristiwa parasuisida
(usaha percobaan bunuh diri) berulang, dan biasanya berperilaku bunuh diri yang mendekati letal
sedangkaan ia menyangkal adanya gagasan bunuh diri itu. Varian yang paling sering dijumpai
ialah pasien yang minum obat overdosis secara berulang dan tidak bertujuan. Pasien macam ini
biasanya mempunyai gangguan kepribadian tanpa gejala psikiatrik gawat. Mereka sering meminta
dipulangkan dari rumah sakit secepatnya setelah pulih dari intosikasi akutnya, kadang lebih cepat
lebih senang, dan ternyata sulit untuk menentukan perawatan dengan agak paksa. Namun
demikian, lebih bijaksana untuk menahan orang semacam ini secara paksa atau involunter bila
frekuensi perilaku parasuisidanya meningkat.

H. Pedoman wawancara dan psikoterapi


Awali pembicaraan dengan bertanya pada pasien apakah ia pernah merasa ingin menyerah saja
terhadapa hidup ini? atau mereka merasa lebih baik mati. Pendekatan seperti ini membewa stigma
kecil saja dan dapa diterima oleh kebanyakan orang. Lalu bicaralah soal tepatnya apa yang
dipikirkan oleh pasien? Dan catatlah semua pikiran itu. Begitu masalahnya telah mulai
diperbincangkan, gunakan kata seperti “bunuh diri” dan mati daripada “cidera” atau “melukai”
karena beberapa pasien bingung dengan kata-kata itu dan kebanyakan mereka tidak mau
mencederai dirinya, walaupun bila mereka ingin membunuh dirinya.
Ajukan pertanyaan seperti : berapa sering pikiran bunuh diri anda? Apakah pikiran bunuh diri
anda makin meningkat? Apakah anda hanya punya pikiran yang kurang baik saja atau pernahkah
anda merencanakan cara bunuh dirinya? Apakah pikiran bunuh diri anda hanya sepintas saja atau
benar-benar serius? Pertimbangkan umur pasien dan kecanggihan serta keinginan dan cara bunuh
dirinya. Cocokkan ucapan dan rencana dari cara yang akan dilakukan itu.

I. Pohon Masalah

Resiko perilaku kekerasan Akibat

Resiko Bunuh Diri Core Problem


Isolasi Sosial
Penyebab

Harga Diri Rendah Penyebab

J. Peran Perawat dalam Perilaku Mencederai Diri


Pengkajian

1. Lingkungan dan upaya bunuh diri : perawat perlu mengkaji peristiwa yang menghina atau
menyakitkan, upaya persiapan, ungkapan verbal, catatan, lukisan, memberikan benda yang
berharga, obat, penggunaan kekerasan, racun.
2. Gejala : perawat mencatat adanya keputusasaan, celaan terhadap diri sendiri, perasaan gagal
dan tidak berharga, alam perasaan depresi, agitasi gelisah, insomnia menetap, berat badan
menurun, bicara lamban, keletihan, withdrawl.
3. Penyakit psikiatrik : uoaya bunuh diri sebelumnya, kelainan, afektif, zat adiktif, depresi
remaja, gangguan mental lansia
4. Riwayat psikososial: bercerai, putus hubungan, kehilangan pekerjaan, stress multiple
(pindah, kehilangan,putus hubungan, masalah sekolah, krisis disiplin), penyakit kronik.
5. Faktor kepribadian: impulsive, agresif, bermusuhan, kognisi negative dan kaku, putus asa,
harga diri rendah, antisocial
6. Riwayat keluarga : riwayat bunuh diri, gangguan afektif, alkoholisme.

Diagnosa Keperawatan

Resiko tinggi mutilasi diri/kekerasan pada diri sendiri sehubungan dengan takut terhadap
penolakan, alam perasaan yang tertekan, reaksi kemarahan, ketidakmampuan mengungkapkan
perasaan secara verbal, ancaman harga diri karena malu, kehilangan pekerjaan dan sebagainya.

- Sasaran jangka pendek : klien akan mencari bantuan staf bila ada perasaan ingin mencederai
diri.
- Saran jangka panjang : klien tidak akan mencederai diri

Intervensi dan Rasional


- Observasi perilaku kliem lebih sering melalui aktivitas dan interaksi rutin, hindari kesan
pengamatan dan kecurigaan pada klien (observasi ketat dibutuhkan supaya intervensi dapat
terjadi jika dibutuhkan untuk memastikan keamanan klien).
- Tetapkan kontrak verbal dengan klien bahwa ia akan meminta bantuan jika keinginan untuk
bunuh diri dirasakan (mendiskusikan perasaan ingin bunuh diri dengan orang yang
dipercaya memberikan derajat keringanan untuk klien, sikap penerimaan klien sebagai
individu dapat dirasakan)
- Jika mutilasi diri terjadi, rawat luka klien dengan tidak mengusik penyebabnya jangan
berikan reinforcement positif untuk perilaku tersebut (kurangnya perhatian untuk perilaku
maladaptive dalat menurunkan pengulangan mutilasi).
- Dorong klien untuk bicara tentang perasaan yang dimilikinya sebelum perilaku ini terjadi
(agar memecahkan masalah dan memahami faktor pencetus).
- Bertindak sebagai model dalam mengekspresikan kemarahan yang tepat (perilaku bunuh diri
dipandang sebagai marah yang diarahkan pada diri sendiri)
- Singkirkan semua benda yang berbahaya dari lingkungan klien (keamanan klien merupakan
prioritas keperawatan)
- Arahkan kembali perilakku mutilasi dengan penyaluran fisik (latihan fisik merupakan cara
yang aman untuk menyalurkan ketegangan yang terpendam)
- Komitmen semua staf untuk memberikan spirit kepada klien(bukti control terhadap situasi
dan memberikan kemanan fisik serta semangat hidup)
- Berikan obat-obatan sesuai hasil kolaborasi, pantau keefektifan, dan efek samping (obat
penenang seperti ansiolotik/ antipsikotik dapat memberikan efek menenangkan pada klien
dan mencegah perilaku agresif)
- Gunakan restrain mekanis bila keadaan memaksa sesuai prosedur tetap (bila klien menolak
obat-obatan dan situasi darurat, restrain diperlukan pada jam-jam tertentu)
- Observasi klien dalam restrain tiap 15 menit/ sesuai prosedur tetap dengan
mempertimbangan keamanan, sirkulasi darah, kebutuhan dasar (keamanan klien merupakan
prioritas keperawatan)

Intervensi Klien Bunuh Diri

1. Listening, Kontrak, Kolaborasi dengan Keluarga


Klien bisa ditolong dengan terapi dan bisa hidup lebih baik, jika ia mau berbicara dan
mendengar dalam upaya memecahkan persoalan, serta tidak ada alasan melalui kesulitan
sendirian tanpa bantuan orang lain. Selain itu, bila mendapati ada orang yang hendak
melakukan bunuh diri, sebaiknya dengarkan apa yang dia keluhkan. Berikan dukungan agar
dia tabah dan tetap berpandangan bahwa hidup ini bermanfaat, buat lingkungan tempat dia
tinggal aman dengan cara menjauhkan alat-alat yang bisa digunakan untuk bunuh diri.
“Kalau perlu buatlah semacam ‘kontrak’ pada dia untuk tidak melakukan bunuh diri, meski
tingkat keberhasilan ini sangat kecil. “Kesulitan utama yang dihadapi apabila orang yang
akan melakukan bunuh diri itu tidak menunjukkan gejala-gejala tersebut. Pada tingkat
permukaan dia tampak mengerti dan memahami arti hidup, serta terkesan tidak akan
melakukan bunuh diri, tetapi tiba-tiba dia sudah mati bunuh diri. Lingkungan sosial,
termasuk keluarga, juga menjadi sarana yang baik untuk membantu mengurangi atau
menghilangkan keinginan orang untuk bunuh diri.
2. Pahami Persoalan dari “Kacamata” Mereka
Menghadapi orang yang berniat bunuh diri atau gagal melakukan bunuh diri, perlu sikap
menerima, sabar dan empati. Perawat berupaya agar tidak bersikap memvonis, memojokkan,
apalagi menghakimi mereka yang punya niat bunuh diri atau gagal melakukan bunuh diri.
“Kalau mereka merasa dipojokkan kemungkinan bunuh diri akan semakin cepat”. Yang
paling penting disini adalah mencoba menampung segala keluhannya dan menjadi pendengar
yang baik. Hindari argumentasi dan nasihat-nasihat. Jangan harap kata-kata anda bisa
menjadi senjata ajaib untuk menyadarkannya. Pada dasarnya dalam diri orang yang ingin
bunuh diri tersimpan sikap mendua atau ambivalen. Sebagian dari dirinya ingin tetap hidup,
tapi sebagian lagi ingin segera mati untuk mengakhiri penderitaannya. Karena sedang
menderita itulah, sebenarnya ia sangat membutuhkan orang lain. Ia butuh ventilasi untuk
mengalirkan masalah dan perasaannya. Namun, orang yang berniat bunuh diri biasanya takut
untuk mencoba mencari pertolongan. Ia takut usaha itu justru akan menambah beban
penderitaannya karena bisa saja ia akan dibilang bodoh, sinting, berdosa, atau diberi cap
negatif lainnya.
3. Pentingnya Partisipasi Masyarakat
Gangguan kejiwaan sebenarnya bisa sembuh hanya perlu terus dievaluasi karena bisa
sewaktu-waktu kambuh. Masih banyak stigma atau penilaian negatif di masyarakat kepada
klien gangguan kejiwaan. Namun, bila dibandingkan dulu, stigma sekarang sudah menurun.
Bahkan stigma membuat pihak keluarga klien juga tidak memahami karakter anggota
keluarganya yang menderita gangguan jiwa. Keluarga jadi bersikap apatis dan sering
mengelak bila diajak konsultasi ke psikiater.Padahal, dukungan keluarga sangat penting
untuk upaya penyembuhan klien gangguan kejiwaan. Keluarga perlu didukung masyarakat
sekitarnya agar klien gangguan jiwa dianggap sama dengan penyakit-penyakit fisik lain
seperti Decomp, DM,hepatitis, dan sebagainya. Yang membutuhkan perawatan dan tenaga
ahli serta dianggap sebagai cobaan yang bisa menimpa siapa saja.
4. Express Feeling
Perlu ada dukungan dari lingkungan. Istilah ngetopnya sharing atau curhat, sehingga
membantu meringankan beban yang menerpa. Salah satu solusi yang ditawarkan selain
mengontrol emosi, lebih mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Express feeling sangat
penting agar masalah yang menekan semakin ringan.
5. Lakukan Implementasi khusus
- Semua ancaman bunuh diri secara verbal dan non verbal harus ditanggap serius oleh
perawat, Laporkan sesegera mungkin dan lakukan tindakan pengamatan
- Jauhkan semua benda yang berbahaya dari lingkungan klien.
- Jika klien beresiko tinggi untuk bunuh diri, observasi secara ketat meskipun di tempat
tidur/kamar mandi.
- Observasi dengan cermat saat klien makan obat, periksa mulut, pastikan bahwa obat telah
ditelan, berikan obat dalam bentuk cair bila memungkinkan.
- Jelaskan semua tindakan pengamanan kepada klien, komunikasikan perhatian dan
kepedulian perawat
- Waspadai bila klien terlihat tenang sebab mungkin saja ia telah selesai merencanakan
bunuh diri.

K. Evaluasi dan Pengelolaan


1. Bila mengevaluasi pasien yang cenderung bunuh diri, jangan tinggalkan mereka sendiri,
singkirkan semua benda yang potensial berbahaya.
2. Bila megevaluasi pasien yang baru saja mencoba bunuh diri, nilailah apakah usaha itu telah
direncanakan atau impulsif saja sambil menentukan derajat letalitasnya, kemungkinan pasien
pulih kembali.
3. Pengelolaan bergantung sebagian besar pada diagnosis. Pasien dengan depresi berat dapat
diobati sebagai pasien berobat jalan bila keluarganya dapat mengawasi mereka dengan
seksama dan terapi dapat dimulai dengan segera. Bila tidak, perawatan inap di rumah sakit
diperlukan.
4. Gagasan bunuh diri dari pasien alkoholik biasanya akan membaik dalam beberapa hari
dengan abstinensi. Kebanyakan tidak ada terapi spesifik yang perlu diberikan. Bila depresi
tetap bertahan setelah gejala abstinensi mereda, dugaan besar adalah gangguan depresi berat.
Semua pasien yang cenderung bunuh diri yang mengalami intoksikasi alkohol atau obat
harus dinilai ulang saat mereka lepas pengaruh alkoholnya.
5. Gagasan bunuh diri pada pasien skizofrenik harus diperhatikan secara serius karena mereka
cenderung mempergunakan cara yang keras dan aneh dengan derajat letalitas tinggi.
6. Pasien dengan gangguan kepribadian akan mengambil manfaat dari bantuan dan konfrotasi
empatik, dan perlu dilanjutkan pendekatan secara rasional, bertanggung jawab pada masalah
yang mencetuskan dan menyebabkan krisis tersebut. Keikutsertaan keluarga atau teman dan
manipulasi lingkungan dapat membantu untuk menyelesaikan krisis yang membawa pasien
untuk bunuh diri.
7. Perawatan inap di rumah sakit jangka panjang dianjurkan bagi kasus dengan kecenderungan
mutilasi diri, namun perawatan inap jangka pendek tidak akan mempengaruhi perilaku yang
berulang ini. Parasuisida juga mungkin akan mendapatkan manfaat yang baik dari
rehabilitasi jangka panjang, dan stabilisasi jangka pendek juga diperlukan dari waktu ke
waktu, tetapi terapi jangka pendek tidak akan dapat mempengaruhi secara berarti perjalanan
gangguan ini.

L. Terapi obat
Pasien dalam krisis karena kematian orang terdekat atau peristiwa lain dengan perjalanan
waktu yang terbatas akan berfungsi lebih baik setelah menerima sedasi ringan seperlunya,
terutama bila sebelum itu tidurnya terganggu. Benzodiazepin merupakan obat terpilih dan ramuan
yang khas ialah Lorazepam (Ativan) 1 mg 1-3x sehari untuk 2 minggu. Iritabilitas pasien
mungkin meningkat dengan penggunaan teratur Benzodiazepin dan iritabilitas ini merupakan satu
resiko untuk bunuh diri, maka Benzodiazepin harus digunakan secara hati-hati pada pasien yang
bersikap keras dan bermusuhan. Hanya sejumlah kecil dari medikasi itu harus disediakan, dan
pasien harus diikuti dalam beberapa hari.
Antidepresiva merupakan terapi yang pasti bagi semua pasien yang menampilkan diri
dengan gagasan bunuh diri, tetapi tidak biasanya untuk mulai memberikan antidepresiva di UGD.
Bila diberi resep, harus diadakan perjanjian untuk pemeriksaan lanjutan, sebaiknya keesokan
harinya.
Rujukan-Silang :
Putus alkohol, depresi, hospitalisasi, mutilasi-diri
Daftar Pustaka

Anonim. 2013. Strategi Pelaksanaan Resiko Bunuh Diri. Diunduh pada tanggal 18 Maret 2015 dari
alamat web: http://ahlinyajiwa.blogspot.com/2013/02/strategi-pelaksanaan-resiko-bunuh-
diri.html

Captain, C. (2008). Assessing suicide risk, Nursing made incredibly

easy, Volume 6(3).

Fitria,Nita.2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan
Tindakan Keperawatan (LP & SP) untuk 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat bagi Program S1
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Keliat A. Budi, Akemat. 2009. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: EGC.

Stuart, G. W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Yosep, I. 2010. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama


LAPORAN PENDAHULUAN

PERUBAHAN PROSES PIKIR : WAHAM

A.    Masalah Utama

Gangguan proses pikir : Waham

B.     Proses Terjadinya Masalah

1.      Definisi

A. Waham adalah keyakinan tentang suatu pikiran yang kokoh, kuat, tidak sesuai dengan
kenyataan, tidak cocok dengan intelegensia dan latar belakang budaya, selalu
dikemukakan berulang-ulang dan berlebihan biarpun telah dibuktikan kemustahilannya
atau kesalahannya atau tidak benar secara umum. (Tim Keperawatan PSIK FK UNSRI,
2005).
B. Waham adalah keyakinan keliru yang sangat kuat yang tidak dapat dikurangi dengan
menggunakan logika (Ann Isaac, 2004)
C. Waham adalah keyakinan tentang suatu isi pikiran yang tidak sesuai dengan
kenyataannya atau tidak cocok dengan intelegensia dan latar belakang kebudayaannya,
biarpun dibuktikan kemustahilannya (Maramis,W.F,1995)
D. Waham adalah keyakinan yang salah dan menetap dan tidak dapat dibuktikan dalam
kenyataan (Harold I, 1998).

Kesimpulan:

Waham adalah keyakinan yang salah dan menetap dan selalu dikemukakan berulang-ulang.

C. Etiologi

Waham merupakan salah satu gangguan orientasi realitas. Gangguan orientasi realitas adalah
ketidakmampuan klien menilai dan berespons pada realitas. Klien tidak dapat membedakan
rangsangan intern  al dan eksternal, tidak dapat membedakan lamunan dan kenyataan. Klien
tidak mampu memberi respons secara akurat, sehingga tampak perilaku yang sukar dimengerti
dan mungkin menakutkan.

Gangguan orientasi realitas disebabkan oleh fungsi otak yang terganggu yaitu fungsi kognitif dan
isi fikir; fungsi persepsi, fungsi emosi, fungsi motorik dan fungsi sosial. Gangguan pada fungsi
kognitif dan persepsi mengakibatkan kemampuan menilai dan menilik terganggu. Gangguan
fungsi emosi, motorik dan sosial mengakibatkan kemampuan berespons terganggu yang tampak
dari perilaku non verbal (ekspresi muka, gerakan tubuh) dan perilaku verbal (penampilan
hubungan sosial). Oleh karena gangguan orientasi realitas terkait dengan fungsi otak maka
gangguan atau respons yang timbul disebut pula respons neurobiologik.

D.    Proses terjadinya Waham

1. Individu diancam oleh lingkungan, cemas dan merasa sesuatu yang tidak
menyenangkan.
2. Individu mengingkari ancaman dari persepsi diri atau objek realitas yang
menyalahartikan kesan terhadap kejadian
3. Individu memproyeksikan pikiran, perasaan dan keinginan negative atau tidak dapat
diterima menjadi bagian eksternal
4. Individu memberikan pembenarn atau interpretasi personal tentang realita pada diri
sendiri atau orang lain.

E.     Faktor Penyebab Terjadinya Waham

1.       Faktor Predisposisi

a.       Faktor Biologis

1)      Gangguan perkembangan otak, frontal dan temporal

2)      Lesi pada korteks frontal, temporal dan limbik

3)      Gangguan tumbuh kembang

4)      Kembar monozigot, lebih beresiko dari kembar dua telur

b.      Faktor Genetik

1)    Gangguan orientasi realita yang ditemukan pada klien dengan skizoprenia

c.       Faktor Psikologis

1)    Ibu pengasuh yang cemas/over protektif, dingin, tidak sensitif

2)    Hubungan dengan ayah tidak dekat/perhatian yang berlebihan

3)     Konflik perkawinan

4)    Komunikasi “double bind”

5)    Sosial budaya

6)    Kemiskinan

7)    Ketidakharmonisan sosial 
8)    Stress yang menumpuk

2.      Faktor Presipitasi

a.    Stressor sosial budaya

Stres dan kecemasan akan meningkat bila terjadi penurunan stabilitas keluarga, perpisahan
dengan orang yang paling penting, atau diasingkan dari kelompok.

b.    Faktor biokimia

Penelitian tentang pengaruh dopamine, inorefinefrin, lindolomin, zat halusinogen diduga


berkaitan dengan orientasi realita

c.    Faktor psikologi

Intensitas kecemasan yang ekstrim dan menunjang disertai terbatasnya kemampuan mengatasi
masalah memungkinkan berkurangnya orientasi realiata.

F.     Jenis-jenis Waham

Menurut  Mayer Gross, waham dibagi 2 macam :

1.      Waham Primer

Timbul secara tidak logis sama sekali, tanpa penyebab apa-apa dari luar. Misal seseorang merasa
istrinya sedang selingkuh sebab ia melihat seekor cicak berjalan dan berhenti dua kali.

2.       Waham Sekunder

Biasanya logis kedengarannya, dapat diikuti dan merupakan cara bagi penderita untuk
menerangkan gejala-gejala skizofrenia lainnya.

Ada beberapa jenis waham :

1.      Waham Kejar

Klien mempunyai keyakinan ada orang atau komplotan yang sedang mengganggunya atau
mengatakan bahwa ia sedang ditipu, dimata-matai atau kejelekannya sedang dibicarakan

2.      Waham Somatik

Keyakinan tentang (sebagian) tubuhnya yang tidak mungkin benar, umpamanya bahwa ususnya
sudah busuk, otaknya sudah cair, ada seekor kuda didalam perutnya.

3.      Waham Kebesaran

Klien meyakini bahwa ia mempunyai kekuatan, pendidikan, kepandaian atau kekayaan yang luar
biasa, umpamanya ia adalah Ratu Kecantikan, dapat membaca pikiran orang lain, mempunyai
puluhan rumah atau mobil.
4.      Waham Agama

Keyakinan klien terhadap suatu agama secara berlebihan dan diucapkan secara berulang-ulang
tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.

5.       Waham Dosa

Keyakinan bahwa ia telah berbuat dosa atau kesalahan yang besar, yang tidak dapat diampuni
atau bahwa ia bertanggung jawab atas suatu kejadian yang tidak baik, misalnya kecelakaan
keluarga, karena pikirannya yang tidak baik

6.      Waham Pengaruh

Yakin bahwa pikirannya, emosi atau perbuatannya diawasi atau dipengaruhi oleh orang lain atau
suatu kekuatan yang aneh

7.      Waham Curiga

Klien mempunyai keyakinan bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusah merugikan atau
mencederai dirinya yang disampaikan secara berulang-ulang dan tidak sesuai dengan kenyataan

8.      Waham Nihilistik

Klien yakin bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia atau meninggal yang dinyatakan secara
berulang-ulang dan tidak sesuai dengan kenyataan

9.       Delusion of reference

Pikiran yang salah bahwa tingkah laku seseorang ada hubunganya dengan dirinya.

G.    Karakteristik atau Kriteria Waham

1.       Klien percaya bahwa keyakinannya benar

2.      Bersifat egosentris

3.      Tidak sesuai dengan rasio atau logika

4.      Klien hidup menurut wahamnya

H.    Tanda dan Gejala

1.       Kognitif :

a.       Tidak mampu membedakan nyata dengan tidak nyata

b.      Individu sangat percaya pada keyakinannya

c.       Sulit berfikir realita


d.      Tidak mampu mengambil keputusan

2.      Afektif

a.       Situasi tidak sesuai dengan kenyataan

b.      Afek tumpul

3.      Prilaku dan Hubungan Sosial

a.       Hipersensitif

b.      Hubungan interpersonal dengan orang lain dangkal

c.       Depresif

d.      Ragu-ragu

e.       Mengancam secara verbal

f.       Aktifitas tidak tepat

g.      Streotif

h.      Impulsiv

i.        Curiga

4.      Fisik

a.       Higiene kurang

b.      Muka pucat

c.       Sering menguap

d.      BB menurun

e.       Nafsu makan berkurang dan sulit tidur

I.       Rentang Respon

 Respon Adaptif                                                                      Respon Maldaptif

-          Pikiran logis                - Kondisi proses pikir              - Gangguan proses pikir halusinasi


-          Persepsi akurat            - Terganggu                             - Perubahan proses emosi

-          Emosi konsisten          - Ilusi                                       - Perilaku tidak terorganisasi

Dengan pengalaman

-          Perilaku                       - berperilaku yang tidak          - Isolasi sosial

-          Hubungan sosial            biasa

harmonis                      - Menarik diri

J.      Pohon Masalah dan Analisa Data

Pohon Masalah

            effect                                                   Resiko tinggi perilaku kekerasan

            Core Problem                                      Perubahan isi pikir : waham

            Cause                                                  Isolasi sosial : menarik diri

                                                                        Harga Diri Rendah Kronis

K.    Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul

1.      Resiko tinggi perilaku kekerasan

2.      Perilaku proses pikir : waham

3.      Isolasi sosial

4.      Harga diri rendahData yang perlu dikaji

L.     Data  yang perlu dikaji

Masalah keperawatan Data yang Perlu dikaji

Perubahan proses pikir = Subjektif  :


waham kebesaran
a.       Klien mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang paling
hebat

b.      Klien mengatakan bahwa ia memiliki kebesaran kekuasaan


khusus

Objektif :

a.       Klien terus berbicara tentang kemampuan yang


dimilikinya

b.      Pembicaraan klien cenderung berulang – ulang

c.       Isi pembicaraan tidak sesui dengan kenyataan

M.   Diagnosa Keperawatan

Perubahan proses pikir = waham kebesaran

N.    Rencana Tindakan Keperawatan

1.      Tindakan keperawatan pada klien

Tujuan :

a.    Klien dapat berorientasi terhadap realitas secara bertahap

b.   Klien mampu berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan

c.    Klien menggunakan obat dengan prinsip enam benar

Tindakan

a.       Membina Hubungan Saling Percaya

Sebelum memulai pengkajian pada klien dengan waham, saudara harus membina hubungan
saling percaya  terlebih dahulu agar klien merasa aman dan nyaman saat interaksi. Tindakan
yang harus saudara lakukan dalam rangka membina hubungan saling percaya adalah :

1)      Mengucapkan salam terapetik, perkenalan diri

2)      Berjabat tangan

3)      Jelaskan tujuan interaksi,

4)      Ciptakan lingkungan yang tenang,

5)      Buat kontrak yang jelas pada tiap pertemuan (topic, tempat dan waktu)

b.      Jangan membantah dan mendukung klien

c.       Yakinkan klien berada dalam keadaan aman


d.      Observasi pengaruh waham terhadap aktivitas sehari-hari

e.       Diskusikan kebutuhan psikologis yang tidak terpenuhi karena dapat menimbulkan


kecemasan, rasa takut dan marah.

f.       Jika klien terus  menerus membicaarkan wahamnya, dengarkan tanpa memberikan


dukungan atau menyangkal sampai klien berhenti membicarakannya.

g.      Berikan pujian bila penampilan dan orientasi klien sesuai dengan realitas.

h.      Diskusikan dengan klien kemampuan realitas yang dimilikinya pada saat yang lalu dan saat
ini

i.        Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas sesuai kemampuan yang dimilikinya

j.        Tngkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan emosional klien

k.      Berbicara dalam kontek realita

l.        Berikan pujian yang sesuai.

m.    Jelaskan pada klien tentang program pengobatannya (manfaat, dosis obat, jenis, dan efek
samping obat yang diminum serta cara meminum obat yang benar)

n.      Diskusikan akibat yang terjadi bila klien behenti meminum obat tanpa konsultasi.

2.      Tindakan keperawatan untuk keluarga klien

Tujuan

a.       Keluarga mampu mengidentifikasi waham klien

b.      Keluarga mampu memfasilitasi klien untuk memenuhi kebutuhan yang belum dipenuhi
oleh wahamnya

c.       Keluarga mampu mempertahankan program pengobatan klien secara optimal

Tindakan Keperawatan

a.       Diskusikan dengan keluarga tentang wham yang dialami klien

b.      Diskusikan dengan keluarga tentang cara merawat klien waham di rumah, follow up dan
keteraturan pengobatan serta lingkungan yang tepat untuk klien

c.       Diskusikan dengan keluarga tentang obat klien (nama obat, dosis, frekueni, efek samping,
dan akibat penghentian obat)

d.      Diskusikam dengan keluarga kondisi klien yang memerlukan bantuan

Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan

-          Masalah           : Perubahab proses pikir : waham kebeasaran


-          Pertemuaan     : Ke – 1 (Pertama)

A.    Proses Keperawatan

1.      Kondisi

Klien mengatakan Ia memiliki Toserba, sibuk bisnis, dan ingin mendirikan partai. Klien selalu
mengulang-ulang kemampuan yang dimilikinya. Mondar – mandir dan tidak peduli dengan
lingkungannya

2.      Diagnosis Keperawatan

Perubahan proses pikir : waham kebesaran

3.      Tujuan khusus / SP 1

Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan kriteria sebagai berikut :

a.       Ekspresi wajah bersahabat

b.      Menunjukkan rasa senang

c.       Bersedia berjabat tangan

d.      Bersedia menyebutkan nama

e.       Ada kontak mata

f.       Klien bersedia untuk berdampingan dengan perawat

4.      Tindakan Keperawatan

1)      Bina hubungan saling percaya dengan prinsip komunikasi terapeutik

a.       Sapa klien dengan ramah dengan baik verbal maupun non verbal

b.      Perkenalkan diri dengan sopan

c.       Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yangb disukai

d.      Jelaskan tujuan pertemuan

e.       Jujur dan menepati janji

f.       Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya

g.      Beri perhatian kepada klien

2)      Identifikasi kebutuhan klien

3)      Bicara pada konteks realitas (tidak mendukung dan membantah waham klien

4)      Latih klien untuk memenuhi kebutuhan


5)      Masukkan dalam jjadwal klien

B.     Strategi Komunikasi dan Pelaksanaan

1.      Orientasi

a.       Salam Terapeutik

“ Selamat Pagi Pak......bertemu dengan saya, masih kenal tidak dengan saya ?. Nama saya ....
Bisa dipanggil ,,,saja. Bapak ingat?Seperti kemarin, hari ini saya bertugas disini dari pukul
07.00  - 12.00 Wib siang nanti”.

b.      Evaluasi / validasi

“Bagaimana perasaan bapak hari ini ? Tidurnya semalam nyenyak tidak ? Sekarang bapak ada
keluhan tidak ? bagaimana giginya ? sudah sembuh ?

c.       Kontrak

“ Baiklah sessui janji kemarin, hari ini kita akan  ngobrol ya Pak ? Bagaimana kalau kita hari ini
bercakap-cakap tentang bidang yang bapak sukai ? Dimana kita duduk ? Berapa lama ?
Bagaimana kalau 10 menit ?”

2.      Kerja

“Bidang apakah yang bapak sukai? Kemarin bapak sempat mengatakam memiliki Toserba,
apakah bapak suka dengan bisnis ? Mengapa Bapak menyukainya? Karena beberapa hari yang
lalu bapak juga mengatakan pada saya ingin membuat partai politik baru, benar Pak ? Mana yang
lebih bapak sukai bisnis atau politik ? Mengapa Bapak lebih menyukai itu ? karena bapak
sekarang sedang berada pada saat ini, Apakah Bapak menjalankan biang yang bapak minati
tersebut ? banimana caranya ? Apakah bisa kita masukkan kedalam jadwal kegiatan sehari –
hari?”

3.      Terminasi

a.       Evaluasi Subjektif

“Bagaimana perasaan Bapak setelah kita bercakap – cakap?”

b.      Evaluasi subjektif

“Jadi bidang apa yang Bapak sukai?”

c.       Rencana Tindak Lanjut


“Setelah kita tahu bidang apa yang bapak sukai, bagaimana kalau besok kita ngobrol tentang
potensi atau kemampuan lain yang Bapak miliki?”

d.      Kontrak yang akan datang

1)      Topik

“Bagaimana kalau besok kita ngobrol tentang potensi atau kemampuan yang bapak miliki.
Selanjutnya kita pilih mana yang bisa kita lakukan di sisni , Bapak setuju ?”

2)      Waktu

“Kira – kira kita besok kita ketemu jam berapa? Bagaimana kalau jam 10.00 ? Sampai ketemu
besok ya Pak?”

3)      Tempat

“Bagaimana  kalau ditempat biasa kita ngobrolnya ?”


DAFTAR PUSTAKA

Fitria,Nita.2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi


Pelaksanaan Tindakan Keperawatan ( LP & SP ) untuk 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat bagi
Program S1 Keperawatan. Salemba Medika : Jakarta
LAPORAN PENDAHULUAN
PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR PERAWATAN DIRI

A. KONSEP PERAWATAN DIRI


1. Definisi
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi
kebutuhannya guna memepertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan sesuai
dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan terganggu keperawatan dirinya jika tidak
dapat melakukan perawatan diri (Depkes, 2000). Defisit perawatan diri adalah gangguan
kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting)
(Nurjannah, 2004).
Menurut Poter. Perry (2005), Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk
memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis,
kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan
perawatan kebersihan untuk dirinya (Tarwoto dan Wartonah 2015).
Tanda dan Gejala :
1. Gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit
berdaki dan bau, serta kuku panjang dan kotor
2. Ketidakmampuan berhias/berpakaian, ditandai dengan rambut acak-acakan,
pakain kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada pasien laki-laki
bercukur, pada pasien perempuan tidak berdandan.
3. Ketidakmampuan makan secara mandiri, ditandai oleh ketidakmampuan
mengambil makan sendiri, makan berceceran, dan makana tidak pada
tempatnya
4. Ketidakmampuan eliminasi sevara mandiri, ditandai dengan buang air besar
atau buang air kecil tidak pada tempatnya, dan tidak membersihakan diri
dengan baik setelah BAB/BAK
2. Penyebab
Menurut Tarwoto dan Wartonah, (2015) Penyebab kurang perawatan diri adalah
kelelahan fisik dan penurunan kesadaran. Dalam Depkes (2000: 20) Tanda dan gejala
klien dengan defisit perawatan diri adalah:
a) Fisik
 Badan bau, pakaian kotor.
 Rambut dan kulit kotor.
 Kuku panjang dan kotor
 Gigi kotor disertai mulut bau
 Penampilan tidak rapi
b) Psikologis
 Malas, tidak ada inisiatif.
 Menarik diri, isolasi diri.
 Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
c) Sosial
 Interaksi kurang
 Kegiatan kurang
 Tidak mampu berperilaku sesuai norma.
 Cara makan tidak teratur
 BAK dan BAB di sembarang tempat
3. Pohon Masalah

Defisit perawatan Defisit perawatan Defisit perawatan Defisit perawatan


diri :mandi diri :eliminasi diri : berpakaiann diri : makan

Ketidakmampuan Ketidakmampuan Hambatan Ketidakmampuan


membasuh tubuh melakukan mengambil memakan makanan
hygiene eliminasi pakaian dalam jumlah
yang tepat memadai

Penurunan kemampuan dan


motivasi merawat diri

Hambatan mandi, eliminasi,


berpakaian dan makan

4. Diagnosa Keperawatan
a. Defisit perawatan diri : mandi, berpakaian, makan dan eliminasi

5. Intervensi Keperawatan

No. Diagnosa NOC NIC

1. Defisit Setelah dilakukan tindakan Bantuan Perawatan Diri:


Perawatan keperawatan selama 2x pertemuan, Mandi
Diri: Mandi klien mampu melakukan
kebersihan diri secara mandiri - Fasilitasi klien untuk
mandi sendiri, dengan
Perawatan Diri: Mandi tepat

- Masuk dan keluar dari - Tentukan jumlah dan tipe


kamar mandi (2-4) terkait dengan bantuan
yang diperlakukan
- Mandi dengan bersiram
(3-5) - Sediakan barang pribadi
yang diinginkan
- Mengeringkan badan (4-5)
- Letakkan handuk. Sabun,
Keterangan : deodorant, alat bercukur
dan asesoris lain di sisi
1 = sangat terganggu tempat tidur atau kamar
2 = banyak terganggu mandi

3 = cukup terganggu

4 = sedikit terganggu

5 = tidak terganggu

2. Defisit Setelah dilakukan tindakan Bantuan Perawatan Diri:


Perawatan keperawatan selama 2x pertemuan, Berpakaian/Berdandan
Diri: klien mampu berpakaian/berhias
Berpakaian secara baik - Pertimbangkan budaya
klien saat mempromosikan
Perawatan Diri: Berpakaian aktivitas perawatan diri

- Memilih Pakaian (4-5) - Informasikan klien


mengenai ketersediaan
- Mengambil pakaian (3-4) pilihan pakaian
- Mengancingkan baju (4-5) - Sediakan pakaian pasien di
Keterangan: area yang dapat dijangkau

1 = sangat terganggu - Bantu klien memasangkan


kancing baju
2 = banyak terganggu

3 = cukup terganggu

4 = sedikit terganggu

5 = tidak terganggu

3. Defisit Setelah dilakukan tindakan Bantuan Perawatan Diri:


Perawatan keperawatan selama 2x pertemuan, Pemberian Makan
Diri: Makan klien mampu melakukan makan
dengan baik - Identifikasi diet yang
disarankan
Perawatan Diri: Makan
- Gunakan alat makan dan
- Menggunakan alat makan gelas yang tidak mudah
(3-5) pecah dan tidak berat,
sesuai kebutuhan
- Menelan minuman (4-5)
- Sediakan makanan dan
- Menghabiskan makanan minuman yang disukai,
(3-4) dengan tepat

- Dukung pasien untuk


menghabiskan makanan

4 Defisit Setelah dilakukan tindakan Bantuan Perawatan Diri:


Perawatan keperawatan 2x pertemuan, klien Eliminasi
Diri: mampu melakukan BAB/BAK
Eliminasi secara mandiri - Membuat jadwal aktifitas
tekait eliminasi, dengan
Perawatan Diri: Eliminasi tepat

- Merespon saat kandung - Intruksikan klien dalam


kemih penuh dengan tepat rutinitas toilet
waktu (3-5)

- Menanggapi dorongan
untuk buang air besar
secara tepat waktu (3-5)

Keterangan:

1 = sangat terganggu

2 = banyak terganggu

3 = cukup terganggu

4 = sedikit terganggu

5 = tidak terganggu
DAFTAR PUSTAKA

Bluechek, G. M., Butcher, H. M., Dochterman, J. M. & Wagner, C. M., 2013. Nursing
Interventions Classification (NIC) Edisi Bahasa Indonesia. 6 ed. Yogyakarta: Mocomedia.

Herdman, T. H. & Kamitsuru, S., 2015. Diagnosa Keperawatan: Definisi & Klasifikasi 2015-
2017. 10 penyunt. Jakarta: EGC.

Moorhead, S., Johnson, M., Mass, M. L. & Swanson, E., 2013. Nursing Outcomes Classification
(NOC) Edisi Bahasa Indonesia. 5 ed. Yogyakarta: mocomedia.

Nurjannah I. 2004. Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa Manajemen, Proses


Keperawatan dan Hubungan Terapeutik Perawat-Klien. Yogyakarta: Mocomedia
Potter, Perry. 2005. Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC
Tarwoto & Wartonah. 2015. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN PERILAKU KEKERASAN

1.1 Konsep Dasar Perilaku Kekerasan


1.1.1 Pengertian
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi tersebut maka perilaku kekerasan
dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri,orang lain, dan lingkungan. Perilaku
kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu saat sedang berlangsung perilaku kekerasan
terdahulu. (Yosep, 2010).
1.2 Etiologi/Faktor Yang Berhubungan
Menurut Sujuono Riyadi (2009), faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan
yaitu:
1.2.1 Faktor predisposisi
1) Faktor biologis
(1) Instinctual drive theory (teori dorongan naluri)
Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebabkan oleh suatu
dorongan kebutuhan dasar yang kuat.
(2) Psycomatic theory (teori psikomatik)
Pengalaman marah adalah akibat dari respons psikologis terhadap stimulus
eksternal, internal maaupun lingkungan. Dalaam hal ini sistem limbik
berperan sebagai pusat untuk mengekspresikan maupun menghambat rasa
marah.
2) Faktor psikologis
(1) Frustasion aggression theory (teori agresif frustasi)
Menurut teori ini perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil akumulasi frustasi
terjadi apabila keinginan individu untuk mencapai sesuatu gagal atau
terhambat. Keadaan tersebut dapat mendorong individu berperilaku agresif
karena perasaan frustasi akan berkurang melalui perilaku kekerasan.
(2) Behaviororal theory (teori perilaku).
Kemarahan adalah proses belajar, hal ini dapat dicapai apabila tersedia
fasilitas atau situasi yang mendukung. Reinforcement yang diterima pada saat
melakukan kekerasan, sering mengobservasi kekerasan dirumah atau luar
rumah. Semua aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku
kekerasan.
(3) Existentinal theory (teori eksistensi)
Bertindak sesuai perilaku adalah kebutuhan dasar manusia apabila kebutuhan
tersebut tidak dapat dipenuhi melalui perilaku konstruktif maka individu akan
memenuhi kebutuhannya melalui perilaku destruktif.
3) Faktor social kultural
(1) Social environment theory (teori lingkungan)
Lingkungan sosial akan mempengaruhi sikap individu dalam menekspresikan
marah. Budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan kontrol
sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan menciptaakan seolah-
olah perilaku kekerasan diterima.
(2) Social learning theory (teori belajar sosial)
Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara langsung maupun melalui proses
sosialisasi.
1.2.2 Faktor prespitasi
Menurut Yosep (2010), faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan
seringkali berkaitan dengan:
1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan ekstensi diri atau simbolis solidaritas seperti
dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian massal dan
sebagainya.
2) Ekspesi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
3) Kesulitan dalam dialog untuk memecahkan masalah cenderung melakukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4) Adanya riwayat perilaku anti social meliputi penyalahgunaan obat dan
alcoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa
frustasi.

1.3 Mekanisme Koping


Menurut stuart dan laraia (2001), mekanisme koping yang dipakai pada klien marah
untuk melindungi diri antara lain:

1.3.1 Sublimasi, yaitu menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya dimata
masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya
secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan
kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan kue, meninju tembok, dan
sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
1.3.2 Proyeksi, yaitu menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau
keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal
bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan kerjanya, berbalik
menuduh bahwa temannya tersebut mencoba merayu, mencumbunya.
1.3.3 Represi, yaitu mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk
kealam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orangtuanya yang
tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak
kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh
tuhan, sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat
melupakannya.
1.3.4 Reaksi formasi, yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan,
dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada teman
suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
1.3.5 Displacement, yaitu melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan,
pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang
membangkitkan emosi itu. Misalnya anak berusia 4 tahun marah karena ia baru
saja mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar di dinding kamarnya.
Dia mulai bermain perang perangan dengan temennya.
1.4 Tanda Dan Gejala

Menurut yosep (2010) perawat dapat mengidentifikasi dan mengobservasi tanda dan
gejala perilaku kekerasan:

1) Muka merah dan tegang


2) Mata melotot atau pandangan tajam
3) Tangan mengepal
4) Rahang mengatup
5) Wajah memerah dan tegang
6) Postur tubuh kaku
7) Pandangan tajam
8) Mengatupkan rahang dengan kuat
9) Mengepalkan tangan
10) Jalan mondar-mandir
1.5 Penatalaksanaan
1.5.1 Farmakologi:
a) Obat anti psikosis:Penotizin
b) Obat anti depresi:Amitripilin
c) Obat anti ansietas:Diasepam,Bromozepam,Clobozam
d) Obat anti insomnia:Phneobarbital
1.5.2 Non-Farmakologi:
a) Terapi Keluarga:Berfokus pada keluarga dimana keluarga membantu
mengatasi masalah klien dengan memberikan perhatian
b) Terapi Kelompok:Berfokus pada dukungan dan perkembangan, keterampilan
sosial, atau aktivitas lain dengan berdiskusi dan bermain untuk
mengembalikan keadaan klien karena masalah sebagian orang merupakan
perasaan dan tingkah laku pada orang lain.
c) Terapi Musik:Dengan music klien terhibur,rileks dan bermain untuk
mengembalikan kesadaran diri.
1.6 Pohon Masalah

Gangguan Konsep Diri:Harga Diri Rendah

Perilaku Kekerasan

Resiko Menciderai Diri Sendiri,Orang


Lain dan Lingkungan

1.7 Diagnosis Keperawatan


Diagnosis keperawatan dari pohon masalah pada gambar diatas adalah sebagai berikut :
1) Risiko perilaku mencederai diri berhubungan dengan perilaku kekerasan.
2) Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah kronis.
3) Gangguan pemeliharaan kesehatan berhubungan dengan defisit perawatan diri
mandi dan berhias.
4) Ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik berhubungan dengan
ketidakmampuan keluarga merawat klien di rumah.

ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 RENCANA KEPERAWATAN PERILAKU KEKERASAN

N Perencanaan
Diagnosa
Tg o. Tujuan Kriteria
Keperaw Intervensi Rasional
l D Evaluasi
atan
x
1 2 3 4 5 6 7
Perilaku 1.Klien 1.1 klien mau 1.1.1 beri salam/ panggil  Hubun
kekerasa dapat membalas salam nama klien gan
n membina 1.2 klien mau 1.1.2 sebutkan nama saling
hubungan menjabat tangan perawat sambil jabat percay
saling 1.3 klien mau tangan a
percaya menyebutkan nama 1.1.3 jelaskan maksud merup
1.4 klien mau hubungan interaksi akan
tersenyum 1.1.4 jelaskan tentang landas
1.5 klien mau kontak kontrak yang akan dibuat ann
mata 1.1.5 beri rasa aman dan utama
1.6 klien mengetahui sikap empati untuk
nama perawat 1.1.6 lakukan kontak hubun
1.7 menyediakan singkat tapi sering gan
waktu untuk kontrak selanju
tnya.
2.Klien 2.1 Klien dapat 2.1.1 Beri kesempatan  Beri
dapat mengungkapkan untuk mengungkapkan kesem
mengindeti perasaannya perasaannya patan
fikasi 2.2 Klien dapat 2.1.2 Bantu klien untuk untuk
penyebab mengungkapkan mengungkapkan mengu
perilaku penyebab perasaan penyebab jengkel/kesal ngkap
kekerasan jengkel//kesal (dari kan
diri sendiri,dari perasa
lingkungan/orang annya
lain) dapat
memb
antu
mengu
rangi
stress
dan
penye
bab
perasa
an
jengke
l/kesal
dapat
diketa
hui
3.Klien 3.1 Klien dapat 3.1.1 Anjurkan klien  Untuk
dapat mengungkapkan mengungkapkan apa menge
mengidenti perasaan saat yang dialami saat tahui
fikasi marah/jengkel marah/jengkel hal
tanda- 3.2 Klien dapat 3.1.2 Observasi tanda yang
tanda menyimpulkan tanda- perilaku kekerasan pada dialam
perilaku tanda jengkel/kesal klien i dan
kekerasan yang dialami 3.1.3 Simpulkan bersama dirasa
klien tanda-tanda saat
jengkel/kesal yang jengke
dialami klien l
 Untuk
menge
tahui
tanda-
tanda
klien
jengke
l/kesal
 Menar
ik
kesim
pulan
bersa
ma
klien
supaya
klien
menge
tahui
secara
garis
besar
tanda-
tanda
marah/
kesal
4.Klien 4.1 Klien dapat 4.1.1 Anjurkan klien  Menge
dapat mengungkapkan untuk mengungkapkan ksplor
mengidenti perilaku kekerasan perilaku kekerasan yang asi
fikasi yang biasa dilakukan biasa dilakukan klien perasa
perilaku 4.2 Klien dapat 4.1.2 Bantu klien an
kekerasan bermain peran dengan bermain peran sesuai klien
yang biasa perilaku kekerasan dengan perilaku terhad
dilakukan yang biasa dilakukan kekerasan yang biasa ap
4.3 Klien dapat dilakukan perilak
mengetahui cara yang 4.1.3 Bicarakan dengan u
biasa dapat klien apakah cara yang kekera
menyesuaikan klien lakukan san
masalah atau tidak masalahnya selesai? yang
biasa
dilaku
kan
 Untuk
menge
tahui
perilak
u
kekera
san
yang
biasa
dilaku
kan
dan
denga
n
bantua
n
peraw
at bisa
memb
edakan
perilak
u
konstr
uktif
dan
destru
ktif
 Dapat
memb
antu
klien
dapat
mene
mukan
cara
yang
dapat
menye
lesaika
n
masala
h
5.Klien 5.1 Klien dapat 5.1.1 Bicarakan  Memb
dapat menjelaskan akibat akibat/kerugian dari cara antu
mengidenti dari cara yang yang dilakukan klien klien
fikasi digunakan klien 5.1.2 Bersama klien untuk
akibat menyimpulkan akibat menila
perilaku vara yang digunakan i
kekerasan oleh klien perilak
u
kekera
san
yang
dilaku
kanny
a
 Denga
n
menge
tahui
akibat
perilak
u
kekera
san
dihara
pkan
klien
dapat
merub
ah
perilak
u
destru
ktif
yang
dilaku
kanny
a
menja
di
perilak
u yang
konstr
uktif.
6.Klien 6.1 Klien dapat 6.1.1 Tanyakan pada  Agar
dapat melakukan cara klien “apakah ia ingin klien
mengidenti berespon terhadap mempelajari cara baru dapat
fikasi cara kemarahan secara yang sehat?” memp
konstruktif konstruktif 6.1.2 Berikan pujian jika elajari
dalam klien mengetahui cara cara
merespon lain yang sehat yang
terhadap 6.1.3 Diskusikan dengan lain
kemarahan klien cara lain yang sehat yang
a. Secara konstr
fisik:tarik nafas uktif
dalam jika  Denga
sedang n
kesal/memukul mengi
bantal/kasur dentifi
atau olah raga kasi
atau pekerjaan cara
yang yang
memerlukan konstr
tenaga uktif
b. Secara dalam
verbal:katakana meres
bahwa anda pon
sedang terhad
kesal/tersinggun ap
g/jengkel (saya kemar
kesal anda ahan
berkata seperti dapat
itu;saya marah memb
karena mama antu
tidak memenuhi klien
keinginan saya mene
c. Secara mukan
sosial:lakukan cara
dalan kelompok yang
cara-cara marah baik
yang untuk
sehat;latihan mengu
asentif.Latihan rangi
manajemen kejeng
perilaku kelann
kekerasan ya
d. Secara sehing
spiritual:anjurka a klien
n klien tidak
sembahyang,ber stress
do’a/ibadah lagi
lain;meminta  Reinfo
pada Tuhan rceme
untuk diberi nt
kesabaran,meng positif
adu pada Tuhan dapat
kekerasan/kejen memot
gkelan. ivasi
klien
menin
gkatka
n
harga
dirinya
 Berdis
kusi
denga
n klien
untuk
memili
h cara
yang
lain
sesuai
denga
n
kema
mpuan
klien
7.Klien 7.1 Klien dapat 7.1.1 Bantu klien  Memb
dapat mendemonstrasikan memilih cara yang paling erikan
mendemon cara mengontrol tepat untuk klien stimul
strasikan perilaku kekerasan: 7.1.2 Bantu klien asi
cara  Fisik:tarik mengidentifikasi manfaat kepada
mengontro nafas cara dipilih klien
l cara dalam,olah 7.1.3 Bantu keluarga untuk
mengontro raga,menyira klien untuk menstimulasi menila
l perilaku m tanaman cara tersebut (role play) i
kekerasan  Verbal:meng 7.1.4 Berreinforcement respon
atakannya positif atau keberhasilan perilak
secara klien menstimulasi cara u
langsung tersebut kekera
dengan tidak 7.1.5 Anjurkan klien san
menyakiti untuk menggunakan cara secara
 Spiritual:sem yang telah dipelajari saat tepat
bahyang,berd jengkel/marah  Memb
o’a atau antu
ibadah lain klien
dalam
mebua
t
keputu
san
terhad
ap cara
yang
telah
dipilih
nya
denga
n
meliha
t
manfa
atnya
 Agar
klien
menge
tahui
cara
marah
yang
konstr
uktif
 Pujian
dapat
menin
gkatka
n
motiva
si dan
harga
diri
klien
 Agar
klien
dapat
melaks
anakan
cara
yang
telah
dipilih
nya
jika ia
sedang
kesal
atau
marah
8.Klien 8.1 Keluarga klien 8.1.1 Identifikasi  Kema
mendapat dapat: kemampua mpuan
dukungan  Menyebutkan n keluarga keluar
keluarga cara merawat merawat ga
dalam klien yang klien dari dalam
mengontro berperilaku sikap apa mengi
l perilaku kekerasan yang telah dentifi
kekerasan  Mengungkap dilakukan kasi
kan rasa puas keluarga akan
dalam terhadap memu
merawat klien ngkink
klien selama ini an
8.1.2 Jelaskan keluar
peran serta ga
keluarga untuk
dalam melak
merawat ukan
klien penilai
8.1.3 Jelaskan an
cara-cara terhad
merawat ap
klien: perilak
 Terkai u
t kekera
denga san
n cara  Menin
mengo gkatka
ntrol n
perilak penget
u ahuan
marah keluar
secara ga
konstr tentan
uktif g cara
 Sikap meraw
tenang at
,bicara klien
tenang sehing
dan ga
jelas keluar
 Memb ga
antu terlibat
klien dalam
menge peraw
nal atan
penye klien
bab ia  Agar
marah keluar
8.1.4 Bantu ga
keluarga dapat
mendemons meraw
trasikan at
cara klien
merawat denga
klien n
8.1.5 Bantu perilak
keluarga u
mengungka kekera
pkan san
perasaanny  Agar
a setelah keluar
melakukan ga
demonstrasi menge
tahui
cara
meraw
at
klien
melalu
i
demon
strasi
yang
dilihat
keluar
ga
secara
langsu
ng
 Menge
ksplor
asi
perasa
an
keluar
ga
setelah
melak
ukan
demon
strasi
9.Klien 9.1 Klien dapat 9.1.1 Jelaskan jenis-jenis  Klien
dapat menyebutkan obat- obat yang diminum klien dan
mengguna obatan yang diminum pada klien keluarga keluar
kan obat- dan kegunaannya 9.1.2 Diskusikan manfaat ga
obatan (jenis,waktu,dan efek) minum obat dan kerugian dapat
yang 9.2 Klien dapat berhenti minum obat menge
diminum minum obat sesuai tanpa seizing dokter tahui
dan program pengobatan 9.2.1 Jelaskan prinsip nama-
kegunaann benar minum obat (baca nama
ya nama yang tertera pada obat
(jenis,wakt botol obat,dosis yang
u,dosis dan obat,waktu dan cara diminu
efek) minum) m oleh
9.2.2 Ajarkan klien minta klien
obat dan minum tepat  Klien
waktu dan
9.2.3 Anjurkan klien keluar
melaporkan pada ga
perawat/dokter jika dapat
merasakan efek yang menge
tidak menyenangkan tahui
9.2.4 Beri pujian,jika kegun
klien minum obat dengan aan
benar obat
yang
dikons
umsi
klien
 Klien
dan
keluar
ga
menge
tahui
prinsip
benar
agar
tidak
terjadi
kesala
han
dalam
mengk
onsum
si obat
 Klien
dapat
memili
ki
kesada
ran
pentin
gnya
minum
obat
dan
bersed
ia
minum
obat
denga
n
kesada
ran
sendiri
 Menge
tahui
efek
sampi
ng
sedini
mungk
in
sehing
ga
tindak
an
dapat
dilaku
kan
sesege
ra
mungk
in
untuk
mengh
indari
kompli
kasi
 Reinfo
rceme
nt
positif
dapat
memot
ivasi
keluar
ga dan
klien
serta
dapat
menin
gkatka
n
harga
diri

Daftar Pustaka

Sujono riyadi teguh.2009. ASUHAN KEPERAWATAN JIWA. Yogyakarta: Graha Ilmu.


Nita Fitria 2010 .PRINSIP DASAR DAN APLIKASI PENULISAN LAPORAN PENDAHULUAN
DAN STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN. Jakarta: Salemba Medika.

Mukhripah Dayamaiyanti.2012.ASUHAN KEPERAWATAN JIWA.Bandung:Pt Refika Aditama.

LAPORAN PENDAHULUAN HARGA DIRI RENDAH


A. Konsep Dasar Harga Diri Rendah Kronis
1. Pengertian Harga Diri Rendah Kronis
Harga diri rendah merupakan perasaan tidak berharga, tidak berharga, tidak
berarti, rendah diri, yang menjadikan evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan
kemampuan diri (Keliat, 2011).

Harga diri rendah merupakan evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau
kemampuan diri yang negatif terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan
harga diri, merasa gagal dalam mencapai keinginan (Direja, 2011)

Harga diri rendah merupakan keadaan dimana individu mengalami evaluasi diri
negatif tentang kemampuan dirinya (Fitria, 2012).

Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa harga diri rendah yaitu dimana
individu mengalami gangguan dalam penilaian terhadap dirinya sendiri dan
kemampuan yang dimiliki, yang menjadikan hilangnya rasa kepercayaan diri
akibat evaluasi negatif yang berlangsung dalam waktu yang lama karena merasa
gagal dalam mencapai keinginan.

2. Rentang Respon Harga Diri Rendah Kronis

Adapun tentang respon konsep diri dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Respon Adaptif Respon maladptif

Aktualisasi Konsep Diri Harga Diri Keracunan depersonalisasi

Diri positif Rendah Identitas

Gambar 2.1 Rentang respon Konsep Diri menurut (Stuart, 2007)


Respon adaptif terhadap konsep diri meliputi:

a. Aktualisasi diri
Pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan latar belakang
pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima individu dapat
mengapresiasikan kemampuan yang dimilikinya

b. Konsep diri positif


Apabila individu mempunyai pengalaman positif dalam beraktualisasi diri dan
menyadari hal-hal positif maupun yang negatif dari dirinya. Individu dapat
mengidentifikasi kemampuan dan kelemahannya secara jujur dalam menilai
suatu masalah individu berfikir secara positif dan realistis.

Sedangkan respon maladaptif dari konsep diri meliputi:

a. Harga diri rendah adalah individu cenderung untuk menilai dirinya negatif
dan merasa lebih rendah dari orang lain.
b. Kekacauan identitas
Suatu kegagalan individu mengintegrasikan berbagai identifikasi masa kanak-
kanak kendala kepribadian psikososial dewasa yang harmonis.

a. Depersonalisasi
Perasaan yang tidak realitas dan asing terhadap diri sendiri yang berhubungan
dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat membedakan sdirinya dengan
orang lain.

3. Faktor Predisposisi Harga Diri Rendah Kronis


Berbagai faktor menunjang terjadinya perubahan dalam konsep diri seseorang.
Menurut Kemenkes RI (2012) faktor predisposisi ini dapat dibagi sebagai berikut:

a. Faktor Biologis
Pengaruh faktor biologis meliputi adanya faktor herediter anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa, riwayat penyaakit atau trauma kepala.
b. Faktor psikologis
Pada pasien yang mengalami harga diri rendah, dapat ditemukan adanya
pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan, seperti penolakan dan harapan
orang tua yang tidak realisitis, kegagalan berulang, kurang mempunyai tanggung
jawab personal, ketergantungan pada orang lain, penilaian negatif pasien
terhadap gambaran diri, krisis identitas, peran yang terganggu, ideal diri yang
tidak realisitis, dan pengaruh penilaian internal individu.

c. Faktor sosial budaya


Pengaruh sosial budaya meliputi penilaian negatif dari lingkungan terhadap
pasien yang mempengaruhi penilaian pasien, sosial ekonomi rendah, riwayat
penolakan lingkungan pada tahap tumbuh kembang anak, dan tingkat pendidikan
rendah.

4. Faktor Presipitasi Harga Diri Rendah Kronis


Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah biasanya adalah kehilangan bagian
tubuh, perubahan penampilan/bentuk tubuh, kegagalan atau produktifitas yang
menurun. Secara umum gangguan konsep diri harga diri rendah ini dapat terjadi
secara situasional atau kronik. Secara situsional misalnya karena trauma yang
muncul tiba-tiba, sedangkan yang kronik biasanya dirasakan klien sebelum sakit atau
sebelum dirawat klien sudah memiliki pikiran negatif dan memingkat saat dirawat
(yosep, 2009)

Menurut Kemenkes RI (2012) faktor presipitasi harga diri rendah antara lain:

1) Trauma: penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan


peristiwa yang mengancam kehidupan
2) Ketegangan peran: berhubungan dengan peran atau posisi yang
diharapkan dan individu mengalaminya sebagai frustasi
a) Transisi peran perkembangan: perubahan normatif yang berkaitan
dengan pertumbuhan
b) Transisi peran situasi: terjadi dengan bertambah atau berkurangnya
anggota keluarga melalui kelahiran atau kematian
c) Transisi peran sehat-sakit: sebagai akibat pergeseran dari keadaan
sehat dan keadaan sakit. Transisi ini dapat dicetuskan oleh kehilangan
bagian tubuh; perubahan ukuran, bentuk, penampilan atau fungsi
tubuh; perubahan fisik yang berhubungan dengan tumbuh kembang
normal; prosedur medis dan keperawatan.

5. Proses Terjadinya Harga Diri Rendah Kronis


Harga diri rendah kronis terjadi merupakan proses kelanjutan dari harga diri
rendah situasional yang tidak terselesaikan. Atau dapat juga terjadi karena
individu tidak pernah mendapat feed back dari lingkungan tentang prilaku klien
sebelumnya bahkan kecendrungan lingkungan yang selalu memberi respon
negatif mendorong individu menjadi harga diri rendah.

Harga diri rendah kronis terjadi disebabkan banyak faktor. Awalnya individu
berada pada suatu situasi yang penuh dengan stressor (krisis), individu berusaha
menyelesaikan krisis tetapi tidak mampu atau merasa gagal menjalankan fungsi
dan peran. Penilaian individu terhadap diri sendiri karena kegagalan menjalankan
fungsi dan peran adalah kondisi harga diri rendah situasional, jika lingkungan
tidak memberi dukungan positif atau justru menyalahkan individu dan terjadi
secara terus menerus akan mengakibatkan individu mengalami harga diri rendah
kronis.

Psikodinamika terjadinya Harga Diri Rendah dapat dijelaskan pada gambar 2.2
berikut ini :
Faktor predisposisi faktor presipitasi
Faktor biologis : Faktor psikologis: Faktor sosial budaya:

1. Faktor herediter 1. Penolakan dan harapan 1. Penilaian negatif dari


2. Riwayat orang tua yang tidak lingkungan
penyakit/trauma realisitis 2. Sosial ekonomi
kepala 2. Kegagalan yang rendah
berulang 3. Tekanan dari
3. Kurang mempunyai kelompok teman
tanggung jawab sebaya
personal 4. Perubahan struktur
4. Ketergantungan pada sosial
orang lain

1. Trauma : penganiayaan seksual dan


psikologis, menyaksikan kejadian
yang mengancam kehidupan
2. Ketegangan peran: transisi peran
perkembangan, transisi peran situasi,
transisi peran sehat-sakit

Koping individu tidak efektif

Harga Diri rendah

Menarik diri : isolasi sosial Defisit perawatan diri

Halusinasi
Resiko perilaku kekerasan Resiko Menciderai Diri

Gambar 2.2 Proses Terjadinya Harga Diri Rendah (Stuart, 2013)


6. Tanda dan Gejala Harga Diri Rendah Kronis
Tanda dan gejala harga diri rendah dapat dinilai dari ungkapan pasien yang
menunjukkan penilaian tentang dirinya dan didukung dengan data hasil
wawancara dan observasi (Kemenkes, RI)

a. Data subjektif
Pasien mengungkapkan tentang:

1) Hal negatif diri sendiri atau orang lain


2) Perasaan tidak mampu
3) Pandangan hidup yang pesimis
4) Penolakan terhadap kemampuan diri
b. Data objektif
1) Penurunan produktifitas
2) Tidak berani menatap lawan bicara
3) Lebih banyak menundukkan kepala saat berinteraksi
4) Bicara lambat dengan nada suara rendah

Manifestasi yang bisa muncul pada klien gangguan jiwa dengan harga diri rendah
menurut Fitria (2009) adalah:

1) Mengkritik diri sendiri


2) Perasaan tidak mampu
3) Pandangan hidup yang pesimistis
4) Tidak menerima pujian
5) Penurunan produktivitas
6) Penolakan terhadap kemampuan diri
7) Kurang memperhatikan perawatan diri
8) Berpakaian tidak rapi
9) selera makan kurang
10) Tidak berani menatap lawan bicara
11) Lebih banyak menunduk
12) Bicara lambat dengan nada suara lemah
7. Mekanisme Koping Harga Diri Rendah Kronis

Mekanisme koping pasien harga diri rendah menurut Ridhyalla Afnuhazi (2015)
adalah:

a. Jangka pendek
1) Kegiatan yang dilakukan untuk lari sementara dari krisis:
pemakaian obat-obatan, kerja keras, nonton TV terus menerus.
2) Kegiatan mengganti identitas sementara (ikut kelompok sosial,
keagaman, politik).
3) Kegiatan yang memberi dukungan sementara (kompetisi olahraga
kontes popularitas).
4) Kegiatan mencoba menghilangkan identitas sementara
(penyalahgunaan obat).
b. Jangka panjang
1) Menutup identitas
2) Identitas negatif: asumsi yang bertentangan dengan nilai dan
harapan masyarakat.

8. Penatalaksanaan Keperawatan Harga Diri Rendah Kronis


Strategi pelaksanaan tindakan dan komunikasi (SP/SK) merupakan suatu metoda
bimbingan dalam melaksanakan tindakan keperawatan yang berdasarkan
kebutuhan pasien dan mengacu pada standar dengan mengimplementasikan
komunikasi yang efektif. Penatalaksanaan harga diri rendah tindakan keperawatan
pada pasien menurut Suhron (2017) diantaranya:

1. Tujuan keperawatan: pasien mampu:


a. Membina hubungan saling percaya
b. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
c. Menilai kemampuan yang dapat digunakan
d. Menetapkan atau memilih kegiatan yang telah dipilih sesuai
kemampuan
e. Merencanakan kegiatan yang telah dilatih
2. Tindakan keperawatan
a. Membina hubungan saling percaya dengan cara:
1) Ucapkan setiap kali berinteraksi dengan pasien
2) Perkenalkan diri dengan pasien
3) Tanyakan perasaan dan keluhan saat ini
4) Buat kontrak asuhan
5) Jelaskan bahwa perawat akan merahasiakan informasi yang
diperoleh untuk kepentingan terapi
6) Tunjukkan sikap empati terhadap klien
7) Penuhi kebutuhan dasar pasien bila memungkinkan
b. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki
pasien:
1) Identifikasi kemampuan melakukan kegiatan dan aspek positif
pasien (buat daftar kegiatan)
2) Beri pujian yang realistik dan hindarkan memberikan penilaian
yang negatif setiap kali bertemu dengan pasien
c. Membantu pasien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan
1) Bantu pasien menilai kegiatan yang dapat dilakukan saat ini (pilih
dari daftar kegiatan) : buat daftar kegiatan yang dapat dilakukan
saat ini
2) Bantu pasien menyebutkan dan memberi penguatan terhadap
kemampuan diri yang diungkapkan pasien
d. Membantu pasien dapat memilih/menetapkan kegiatan berdasarkan
kegiatan yang dilakukan
1) Diskusikan kegiatan yang dipilih untuk dilatih saat pertemuan.
2) Bantu pasien memberikan alasan terhadap pilihan yang ia tetapkan.
e. Melatih kegiatan yang telah dipilih sesuai kemampuan
1) Latih kegiatan yang dipilih (alat atau cara melakukannnya).
2) Bantu pasien memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan dua
kali perhari.
3) Berikan dukungan dan pujian yang nyata setiap kemajuan yang
diperlihatkan pasien.
4) Bantu pasien dapat merencanakan kegiatan sesuai kemampuannya
menyusun rencana kegiatan.
5) Beri kesempatan klien untuk mencoba kegiatan yang telah
dilatihkan.
6) Beri pujian atas kegiatan yang dapat dilakukan pasien setiap hari
7) Tingkatkan kegiatan sesuai dengan tingkat toleransi dan perubahan
setiap aktivitas.
8) Susun daftar aktivitas yang sudah dilatihkan bersama pasien dan
keluarga.
9) Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya setelah
pelaksanaan kegiatan

B. Asuhan Keperawatan Jiwa Harga Diri Rendah Kronis


1. Pengkajian keperawatan
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan.
Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu penentuan status
kesehatan dan pola pertahanan klien, mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan
klien, serta merumuskan diagnosa keperawatan. Pengkajian adalah pemikiran dasar
dari proses keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data
tentang klien agar dapat mengidentifikasi, mengenal masalah-masalah, kebutuhan
kesehatan dan keperawatan klien baik mental, sosial, dan lingkungan (Keliat, 2011)

Menurut Prabowo (2014) isi dari pengkajian tersebut adalah:

1) Identitas pasien
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan,
status marital, suku/bangsa, alamat, nomor rekam medis, ruang rawat, tanggal
masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, diagnosa medis, dan identitas
penanggung jawab.

1) Keluhan utama/alasan masuk


Biasanya pasien datang ke rumah sakit jiwa atau puskesmas dengan alasan masuk
pasien sering menyendiri, tidak berani menatap lawan bicara, sering menunduk
dan nada suara rendah.
2) Tipe Keluarga
Menjelaskan mengenai tipe keluarga beserta kendala mengenai jenis tipe
keluarga atau masalah yang terjadi dengan jenis tipe keluarga tradisional dan
nontradisional.

3) Suku Bangsa
Membahas tentang suku bangsa keluarga serta mengidentifikasi budaya suku
bangsa tersebut kaitannya dengan kesehatan.

4) Agama
Menjelaskan tentang agama yang dianut oleh masing-masing keluarga, perbedaan
kepercayaan yang dianut serta kepercayaan yang dapat memengaruhi kesehatan

5) Status Sosial dan Ekonomi


Status sosial ekonomi keluarga ditentukan oleh pendapatan baik dari kepala
keluarga maupun anggota keluarga lainnya. Selain itu status sosial ekonomi
keluarga ditentukan pula oleh kebutuhan-kebutuhan yang dikeluarkan oleh
keluarga serta barang-barang yang dimiliki oleh keluarga.

6) Aktivitas Rekreasi Keluarga


Rekreasi keluarga tidak hanya dilihat dari kapan saja keluarga pergi bersama-
sama untuk mengunjungi tempat rekreasi tertentu, namun dengan menonton
televisi dan mendengarkan radio juga merupakan aktivitas rekreasi

7) Riwayat keluarga dan Tahap Perkembangan


a) Tahap perkembangan keluarga saat ini
Dari beberapa tahap perkembangan keluarga, identifikasi tahap
perkembangan keluarga saat ini. Tahap perkembangan keluarga ditentukan
oleh anak tertua dari keluarga inti.

b) Tahap Perkembangan keluarga yang belum tercapai


Identifikasi tahap perkembangan keluarga yang sudah terpenuhi dan yang
belum terpenuhi. Pengkajian ini juga menjelaskan kendala – kendala yang
membuat tugas perkembangan keluarga tersebut belum terpenuhi.
c) Riwayat keluarga inti
Pengkajian dilakukan mengenai riwayat kesehatan keluarga inti, meliputi
riwayat penyakit keturunan, riwayat kesehatan masing – masing anggota
keluarga meliputi penyakit yang pernah diderita oleh keluarga, terutama
gangguan jiwa.

d) Riwayat keluarga sebelumnya


Pengkajian mengenai riwayat kesehatan orang tua dari suami dan istri, serta
penyakit keturunan dari nenek dan kakek mereka. Berisi tentang penyakit
yang pernah diderita oleh keluarga klien, baik berhubungan dengan panyakit
yang diderita oleh klien, maupun penyakit keturunan dan menular lainnya.

2) Data Lingkungan
a) Karakteristik rumaah
Karakteristik rumah diidentifikasi dengan melihat luas rumah, tipe rumah,
jumlah ruangan, jumlah jendela, jarak septic tank dengan sumber air, sumber
air minum yang digunakan serta dilengkapi dengan denah rumah.

b) Karakteristik tetangga dan komunitas RW


Identifikasi mengenai karakteristik dari tetangga dan komunitas setempat
meliputi kebiasaan, lingkungan fisik, aturan atau kesepakatan penduduk
setempat serta budaya setempat yang memengaruhi kesehatan.

c) Mobilitas geografis keluarga


Mobilitas geografis keluarga dapat diketahui melalui kebiasaan keluarga
berpindah tempat.

d) Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan masyarakat


Identifikasi mengenai waktu yang digunakan keluarga untuk berkumpul
serta perkumpulan keluarga yang ada dan sejauh mana interaksi keluarga
dengan masyarakat.
3) Struktur Keluarga
a) Sistem pendukung keluarga
Hal yang perlu dalam identifikasi sistem pendukung keluarga adalah jumlah
anggota keluarga yang sehat, fasilitas – fasilitas yang dimiliki keluarga
untuk menunjang kesehatan mencangkup fasilitas fisik, fasilitas psikologis
atau dukungan dari anggota keluarga dan fasilitas sosial atau dukungan dari
masyarakat setempat.

b) Pola komunikasi keluarga


Identifikasi cara berkomunikasi antar anggota keluarga, respon anggota
keluarga dalam komunikasi, peran anggota keluarga, pola komunikasi yang
digunakan, dan kemungkinan terjadinya komunikasi disfungsional.

c) Struktur kekuatan keluarga


Mengenai kemampuan anggota keluarga mengendalikan dan mempengaruhi
orang lain untuk mengubah prilaku.

d) Struktur peran
Mengetahui peran masing – masing anggota keluarga baik secara formal
maupun informal

e) Nilai dan norma keluarga


Mengetahui nilai dan norma yang dianut oleh keluarga yang berkaitan
dengan kesehatannya.

4) Fungsi Keluarga
a) Fungsi afektif
Hal yang perlu dikaji yaitu gambaran diri anggota keluarga, perasaan
memiliki dan dimiliki dalam keluarga, dukungan keluarga terhadap anggota
keluarga lainnya, bagaiman kehangatan tercipta pada anggota keluarga dan
bagaimana keluarga mengembangkan sikap saling menghargai.

b) Fungsi sosialisasi
Kaji mengenai interaksi atau hubungan dalam keluarga, sejauh mana
anggota keluarga belajar disiplin, norma, budaya, serta prilaku.
c) Fungsi perawatan kesehatan
Mengetahui sejauh mana keluarga menyediakan makanan, pakaian,
perlingdungan, serta perawatan anggota keluarga yang sakit. Kesanggupan
anggota keluarga dalam melaksanakan perawatan kesehatan dilihat dari
kemampuan keluarga dalam melaksanakan lima tugas kesehatan keluarga,
yaitu (a) Mengenal masalah kesehatan; (b) Mengambil keputusan untuk
melakukan tindakan; (c) melakukan perawatan terhadap anggota yang sakit;
(d) Menciptakan lingkungan yang dapat meningkatkan kesehatan; (e)
Mampu memanfaatkan fasilitas kesehatan yang terdapat di lingkungan
tempat tinggal.

d) Fungsi reproduksi
Fungsi Reproduksi perlu dikaji mengenai jumlah anak, rencana mengenai
jumlah anggota keluarga, dan upaya mengendalikan jumah anggota
keluarga.

e) Fungsi ekonomi
Hal yang perlu dikaji mengenai fungsi ekonomi keluarga adalah sejauh mana
keluarga memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan, sejauh mana
keluarga memanfaatkan sumberdaya dimasyarakat untuk meningkatkan
status kesehatannya

5) Faktor predisposisi
a) Riwayat gangguan jiwa
Biasanya pasien dengan harga diri rendah memiliki riwayat gangguan
jiwa dan pernah dirawat sebelumnya.

b) Pengobatan
Biasanya pasien dengan harga diri rendah pernah memiliki riwayat
gangguan jiwa sebelumnya, namun pengobatan klien belum berhasil.

c) Aniaya
Biasanya pasiendengan harga diri rendah pernah melakukan, mengalami,
menyaksikan penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan,
kekerasan dalam keluarga, dan tindakan kriminal.
d) Anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
Biasanya ada keluarga yang mengalami gangguan jiwa yang sama dengan
pasien.

e) Pengalaman masa lalu yang kurang menyenangkan


Biasanya pasien dengan harga diri rendah mempunyai pengalaman yang
kurang menyenangkan pada masa lalu seperti kehilangan orang yang
dicintai, kehilangan pekerjaan serta tidak tercapainya ideal diri merupakan
stressor psikologik bagi klien yang dapat menyebabkan gangguan jiwa.

6) Pengkajian fisik
Tanda tanda vital:
Biasanya tekanan darah dan nadi pasien dengan harga diri rendah meningkat.

7) Pengkajian psikososial
a) Genogram
Biasanya menggambarkan garis keturunan keluarga pasien, apakah ada
keluarga pasien yang mengalami gangguan jiwa seperti yang dialami
pasien.

b) Konsep diri
(1) Gambaran diri
Biasanya pasien dengan harga diri rendah akan mengatakan tidak ada
keluhan apapun

(2) Identitas diri


Biasanya pasien dengan harga diri rendah merasa tidak berdaya dan
rendah diri sehingga tidak mempunyai status yang di banggakan atau
diharapkan di keluarga maupun di masyarakat.

(3) Peran
Biasanya pasien mengalami penurunan produktifitas, ketegangan
peran dan merasa tidak mampu dalam melaksanakan tugas.
(4) Ideal diri
Biasanya pasien dengan harga diri rendah ingin diperlakukan dengan
baik oleh keluarga maupun masyarakat, sehingga pasien merasa dapat
menjalankan perannya di keluarga maupun di masyarakat.

(5) Harga diri


Biasanya pasien dengan harga diri rendah kronis selalu
mengungkapkan hal negatif tentang dirinya dan orang lain, perasaan
tidak mampu, pandangan hidup yang pesimis serta penolakan terhadap
kemampuan diri. Hal ini menyebabkan pasien dengan harga diri
rendah memiliki hubungan yang kurang baik dengan orang lain
sehingga pasien merasa dikucilkan di lingkungan sekitarnya.

c) Hubungan sosial
(1) Pasien tidak mempunyai orang yang berarti untuk mengadu atau
meminta dukungan
(2) Pasien merasa berada di lingkungan yang mengancam
(3) Keluarga kurang memberikan penghargaan kepada klien
(4) Pasien sulit berinteraksi karena berprilaku kejam dan
mengeksploitasi orang lain.
d) Spiritual
(1) Falsafah hidup
Biasanya pasien merasa perjalanan hidupnya penuh dengan ancaman,
tujuan hidup biasanya jelas, kepercayaannya terhadap sakit serta
dengan penyembuhannya

(2) Konsep kebutuhan dan praktek keagamaan


Pasien mengakui adanya tuhan, putus asa karena tuhan tidak
memberikan sesuatu yang diharapkan dan tidak mau menjalankan
kegiatan keagamaan.
8) Status mental
(1) Penampilan
Biasanya pasien dengan harga diri rendah penampilannya tidak rapi,
tidak sesuai karena klien kurang minta untuk melakukan perawatan diri.
Kemuduran dalam tingkat kebersihan dan kerapian dapat merupakan
tanda adanya depresi atau skizoprenia.

(2) Pembicaraan
Biasanya pasien berbicara dengan frekuensi lambat, tertahan, volume
suara rendah, sedikit bicara, inkoheren, dan bloking.

(3) Aktivitas motorik


Biasanya aktivitas motorik pasien tegang, lambat, gelisah, dan terjadi
penurunan aktivitas interaksi.

(4) Alam perasaan


Pasien biasanya merasa tidak mampu dan pandangan hidup yang pesimis.

(5) Afek
Afek pasien biasanya tumpul yaitu klien tidak mampu berespon bila ada
stimulus emosi yang bereaksi.

(6) Interakasi selama wawancara


Biasanya pasien dengan harga diri rendah kurang kooperatif dan mudah
tersinggung.

(7) Persepsi
Biasanya pasien mengalami halusinasi dengar/lihat yang mengancam
atau memberi perintah.

(8) Proses pikir


Biasanya pasien dengan harga diri rendah terjadi pengulangan
pembicaraan (perseverasi) disebabkan karena pasien kurang kooperatif
dan bicara lambat sehingga sulit dipahami.

(9) Isi pikir


Biasanya pasien merasa bersalah dan khawatir, menghukum atau
menolak diri sendiri, mengejek dan mengkritik diri sendiri.
(10) Tingkat kesadaran
Biasanya tingkat kesadaran pasien stupor (gangguan motorik seperti
ketakutan, gerakan yang diulang-ulang, anggota tubuh klien dalam sikap
canggung yang dipertahankan dalam waktu lama tetapi klien menyadari
semua yang terjadi di lingkungannya).

(11) Memori
Biasanya pasien dengan harga diri rendah umumnya tidak terdapat
gangguan pada memorinya, baik memori jangka pendek ataupun memori
jangka panjang.

(12) Tingkat konsentrasi dan berhitung


Biasanya tingkat konsentrasi terganggu dan mudah beralih atau tidak
mampu mempertahankan konsentrasi dalam waktu lama, karena merasa
cemas. Dan biasanya tidak mengalami gangguan dalam berhitung.

(13) Kemampuan menilai


Biasanya gangguan kemampuan penilaian ringan (dapat mengambil
keputusan yang sederhana dengan bantuan orang lain, contohnya: berikan
kesempatan pada pasien untuk memilih mandi dahulu sebelum makan
atau makan dahulu sebelum mandi, setelah diberikan penjelasan pasien
masih tidak mampu mengambil keputusan) jelaskan sesuai data yang
terkait. Masalah keperawatan sesuai dengan data.

(14) Daya tilik diri


Biasanya pasien tidak menyadari gejala penyakit (perubahan fisik dan
emosi) pada dirinya dan merasa tidak perlu meminta pertolongan/pasien
menyangkal keadaan penyakitnya, pasien tidak mau bercerita penyakitnya.

9) Kebutuhan persiapan pulang


a) Makan
Biasanya pasien makan 3 kali sehari dengan lauk pauk dan sayuran.
b) Buang air besar dan buang air kecil
Biasanya pasien BAB dan Bak secara mandiri dengan menggunakan
toilet. Klien jarang membersihkannya kembali

c) Mandi
Biasanya pasien mandi 2 kali sehari, memakai sabun, menyikat gigi dan
pasien selalu mencuci rambutnya setiap 2 hari 1 kali. Klien menggunting
kuku setiap kuku pasien dirasakan panjang.

d) Berpakaian
Biasanya pasien dapat mengenakan pakaian yang telah disediakan, klien
mengambil, memilih dan mengenakan secara mandiri.

e) Istirahat dan tidur


Biasanya pasien tidur siang setelah makan siang lebih kurang 2 jam, dan
pada malam hari pasien tidur lebih kurang 7-8 jam. Terkadang pasien
terbangun dimalam hari karena halusinasinya muncul.

f) Penggunaan obat
Biasanya pasien minum obat 3 kali dalam sehari, cara pasien meminum
obatnya dimasukkan kemudian pasienmeminum air. Biasanya pasien
belum paham prinsip 5 benar dalam meminum obat.

g) Pemeliharaan kesehatan
Biasanya pasien akan melanjutkan obat untuk terapi dengan dukungan
dari keluarga serta petugas kesehatan dan orang disekitarnya.

h) Aktivitas di dalam rumah


Biasanya pasien jarang membantu di rumah, pasien jarang menyiapkan
makanan sendiri dan membantu membersihkan

i) Aktivitas di luar rumah.


Biasanya pasien jarang bersosialisasi dengan keluarga maupun dengan
lingkungannya.
10) Mekanisme koping
Pasien dengan harga diri rendah biasanya menggunakan mekanisme koping
maladaptif yaitu dengan minum alkohol, reaksi lambat, menghindar dan
mencederai diri.

11) Masalah psikososial dan lingkungan


Biasanya pasien mempunyai masalah dengan dukungan dari keluarganya.
Pasien merasa kurang mendapat perhatian dari keluarga. Pasien juga merasa
tidak diterima di lingkungan karena penilaian negatif dari diri sendiri dan
orang lain.

12) Kurang pengetahuan


Biasanya pasien dengan harga diri rendah tidak mengetahui penyakit jiwa
yang ia alami dan penatalaksanaan program pengobatan.

13) Aspek medik


Biasanya pasien dengan harga rendah perlu perawatan dan pengobatan yang
tepat. Pasien dengan diagnosa medis Skizofrenia biasanya klien mendapatkan
Clorpromazine 1x100 mg, Halloperidol 3x5 mg, Trihexy penidil 3x2 mg, dan
Risporidon 2x2 mg.

Jenis data yang diperoleh dapat berupa data primer yaitu data yang langsung
didapat oleh perawat, dan data sekunder yaitu data yang diambil dari hasil
pengkajian atau catatan tim kesehatan lain. Perawat dapat menyimpulkan
kebutuhan atau masalah pasien dari kelompok data yang telah dikumpulkan.

Kemungkinan kesimpulan tersebut adalah:

a. Tidak ada masalah tetapi ada kebutuhan


1) Pasien tidak memerlukan peningkatan kesehatan, pasien hanya
memerlukan pemeliharaan kesehatan dan memerlukan follow up
secara periodik karena tidak ada masalah dan pasien telah
mempunyai pengetahuan untuk antisipasi masalah.
2) Pasien memerlukan peningkatan kesehatan berupa upaya prevensi
dan promosi sebagai program antisipasi terhadap masalah.
b. Ada masalah dengan kemungkinan:
1) Resiko terjadi masalah karena sudah ada faktor yang dapat
menimbulkan masalah.
2) Aktual terjadi masalah disetai data pendukung.

Dari pengelompokkan data, selanjutnya perawat merumuskan masalah


keperawatan pada setiap kelompok data yang terkumpul. Umumnya sejumlah
masalah pasien saling berhubungan dan dapat digambarkan sebagai pohon
masalah (Eko Prabowo, 2014).

Agar penentuan pohon masalah dapat dipahami dengan jelas, penting untuk
diperhatikan tiga komponen yang terdapat pada pohon masalah yaitu: penyebab
(causa), masalah utama (core problem) dan effect (akibat). Masalah utama
adalah prioritas masalah pasien dari beberapa maslaah yang dimiliki oleh pasien.
Umumnya masalah utama berkaitan erat dengan alasan masuk atau keluhan
utama. Penyebab adalah salah satu dari beberapa masalah pasien yang merupakan
penyebab masalah utama. Masalah ini dapat pula disebabkan oleh salah satu
masalah lain, demikian seterusnya. Akibat adalah salah satu dari masalah pasien
yang merupakan efek/akibat dari masalah utama. Efek ini dapat pula
menyebabkan efek lain, demikian seterusnya.

Pohon masalah Harga Diri Rendah menurut Fitria (2009) Defisit

Perawatan Diri Isolasi sosial Effect

Harga diri rendah Core Problem

Koping individu tidak efektif Causa


2. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
Yosep (2014) menjelaskan terdapat beberapa masalah keperawatan yang mungkin
muncul pada pasien dengan harga diri rendah diantaranya adalah:

1. Harga diri rendah kronik


1. Koping Individu tidak efektif
2. Isolasi sosial
3. Defisit Perawatan Diri

3. Perencanaan tindakan keperawatan


Perencanaan tindakan keperawatan pada pasien menurut Kemenkes RI (2012), yaitu:

a) Strategi pelaksanaan pertama pasien: pengkajian dan latihan kegiatan


pertama
(1) Identifikasi pandangan/penilaian pasien tentang diri sendiri dan
pengaruhnya terhadap hubungan dengan orang lain, harapan yang telah
dan belum tercapai, upaya yang dilakukan untuk mencapai harapan yang
belum terpenuhi
(2) Identifikasi kemampuan melakukan kegiatan dan aspek positif pasien
(buat daftar kegiatan)
(3) Membantu pasien menilai kegiatan yang dapat dilakukan saat ini (pilih
dari daftar kegiatan mana kegiatan yang dapat dilaksanakan)
(4) Membuat daftar kegiatan yang dapat dilakukan saat ini
(5) Membantu pasien memilih salah satu kegiatan yang dapat dilakukan saat
ini untuk dilatih
(6) Melatih kegiatan yang dipilih oleh pasien (alat dan cara melakukannya)
(7) Memasukkan kegiatan yang telah dilatih pada jadwal kegiatan untuk
dilatih dua kali per hari
b) Strategi pelaksanaan kedua pasien: latihan kegiatan kedua
(1) Mengevaluasi tanda dan gejala harga diri rendah.
(2) Memvalidasi kemampuan pasien melakukan kegiatan pertama yang telah
dilatih dan berikan pujian.
(3) Mengevaluasi manfaat melakukan kegiatan pertama
(4) Membantu pasien memilih kegiatan kedua yang telah dilatih
(5) Melatih kegiatan kedua (alat dan cara)
(6) Memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan: dua kegiatan, masing-
masing dua kali per hari

c) Strategi pelaksanaan ketiga pasien: latihan kegiatan ketiga


(1) Mengevaluasi tanda dan gejala harga diri rendah
(2) Memvalidasi kemampuan melakukan kegiatan pertama dan kedua yang
telah dilatih dan berikan pujian
(3) Mengevaluasi manfaat melakukan kegiatan pertama dan kedua
(4) Membantu pasien memilih kegiatan yang akan dilatih
(5) Melatih kegiatan ketiga (alat dan cara)
(6) Memasukkan jadwal kegiatan untuk latihan: tiga kegiatan, masing-
masing dua kali per hari.

d) Strategi pelaksanaan keempat pasien: latihan kegiatan keempat


(1) Mengevaluasi data harga diri rendah
(2) Memvalidasi kemampuan melakukan kegiatan pertama, kedua, dan
ketiga yang telah dilatih dan berikan pujian
(3) Mengevaluasi manfaat melakukan kegiatan pertama, kedua dan ketiga.
(4) Membantu pasien memilih kegiatan keempat yang akan dilatih
(5) Melatih kegiatan keempat (alat dan cara)
(6) Memasukan pada jadwal kegiatan untuk latihan: empat kegiatan masing-
masing dua kali per hari.
Strategi tindakan keperawatan keluarga menurut Suhron (2017) yaitu:

a) Strategi pelaksanaan pertama keluarga: mengenal masalah harga diri rendah


dan megenal masalah harga diri rendah dan latihan cara merawat (melatih
kegiatan pertama)
(1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan dalam merawat pasien harga diri
rendah.
(2) Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala, proses terjadinya harga diri
rendah dan akibat harga diri rendah (gunakan booklet).
(3) Menjelaskan cara merawat pasien dengan harga diri rendah .
(4) Memberikan pujian terhadap semua hal positif yang dimiliki pasien.
(5) Melatih keluarga memberi tanggung jawab kegiatan yang dipih pasien.
(6) Menganjurkan kepada keluarga untuk membantu pasien sesuai jadwal
dan memberikan pujian.
b) Strategi pelaksanaan kedua keluarga: latihan cara merawat/membimbing
melakukan kegiatan kedua
(1) Mengevaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi gejala harga diri
rendah.
(2) Memvalidasi kemampuan keluarga dalam membimbing pasien
melaksanakan kegiatan yang telah dilatih.
(3) Mengevaluasi manfaat yang dirasakan keluarga dalam merawat dan
berikan pujian.
(4) Bersama keluarga melatih pasien melakukan kegiatan kedua yang
dipilih.
(5) Menganjurkan pada keluarga untuk membantu pasien sesuai jadwal dan
berikan pujian.

c) Strategi pelaksanaan ketiga keluarga: latihan cara merawat/membimbing


melakukan kegiatan ketiga
(1) Mengevaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi gejala harga diri
rendah
(2) Memvalidasi kemampuan keluarga dalam membimbing pasien
melaksanakan kegiatan yang telah dilatih
(3) Mengevaluasi manfaat yang dirasakan keluarga dalam merawat dan
berikan pujian
(4) Bersama keluarga melatih pasien melakukan kegiatan ketiga yang
dipilih
(5) Menganjurkan pada keluarga untuk membantu pasien sesuai jadwal dan
berikan pujian
d) Strategi pelaksanaan keempat keluarga: latihan cara merawat/membimbing
melakukan kegiatan keempat
(1) Mengevaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi gejala harga diri
rendah
(2) Memvalidasi kemampuan keluarga dalam membimbing pasien
melaksanakan kegiatan yang telah dilatih
(3) Mengevaluasi manfaat yang dirasakan keluarga dalam merawat dan
berikan pujian
(4) Bersama keluarga melatih pasien melakukan kegiatan ketiga yang
dipilih
(5) Menganjurkan pada keluarga untuk membantu pasien sesuai jadwal dan
berikan pujian.

4. Evaluasi keperawatan
Menurut Kemenkes RI (2012) evaluasi kemampuan pasien dan keluarga dalam
merawat harga diri rendah adalah:

a. Evaluasi kemampuan pasien harga diri rendah berhasil apabila pasien


dapat:
1) Mengungkapkan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
2) Menilai dan memilih kemampuan yang dapat dikerjakan
3) Melatih kemampuan yag dapat dikerjakan
4) Membuat jadwal kegiatan harian
5) Melakukan kegiatan sesuai jadwal kegiatan harian
6) Merasakan manfaat melakukan kegiatan positif dalam mengatasi
harga diri rendah
b. Evaluasi kemampuan keluarga (pelaku rawat) harga diri rendah berhasil
apabila keluarga dapat:
1) Mengenal harga diri rendah yang dialami pasien (pengertian, tanda
dan gejala, proses terjadinya harga diri rendah, dan akibat jika
harga diri rendah tidak diatasi)
2) Mengambil keputusan merawat harga diri rendah
3) Merawat harga diri rendah
4) Menciptakan suasana keluarga dan lingkungan yang mendukung
pasien untuk meningkatkan harga dirinya
5) Memantau peningkatan kemampuan pasien dalam mengatasi harga
diri rendah
6) Melakukan follow up ke puskesmas, mengenal tanda kambuh, dan
melakukan rujukan.

5. Dokumentasi keperawatan
Pendokumentasian asuhan keperawatan dilakukan pada setiap proses keperawatan
yang meliputi dokumentasi pengkajian, diagnosis keperawatan, perencanaan,
implementasi tindakan keperawatan dan evaluasi.
DAFTAR PUSTAKA
Afnuhazi, Ridhyalla. 2015. Komunikasi Terapeutik Dalam keperawatan Jiwa.

Yogyakarta: Gosyen Publishing

Badan PPSDM.2012. Modul pelatihan Kesehatan Jiwa Masyarakat. Jakarta:


Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

Dermawan, D. 2013. Keperawatan Jiwa, Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan


Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Pustaka Biru

Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa.

Yogyakarta: Nuha Medika

Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta:
Salemba Medika

Fitria, Nita. 2012. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta:
Salemba Medika

Friedman, Marilyn m, dkk. 2010. Buku Ajar Keperawatan Keluarga Riset,


Teori, dan Praktik. Jakarta : EGC.

Guindon, M, H. 2010. Self-esteem Across the Lifespan and interventions. New


York: Taylor and Francis Group

Keliat, B.A. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta: EGC


Muhith, Abdul. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:CV Andi
Offset

Notoadmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta


Padila. 2012. Buku Ajar Keperawatan Keluarga. Yogyakarta : Nuha Medika.

Prabowo, Eko. 2014. Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.

Yogyakarta: Nuha Medika

Pramujiwati, Desi, dkk. 2013. Pemberdayaan keluarga dan kader Kesehatan Jiwa
Dalam Penanganan Pasien Harga Diri Rendah Kronik dengan Pendekatan
Model Precede L.Green di RW 06, 07 dan 10 Tanah Baru Bogor Utara.
Bogor [diunduh pada 16 Mei 2018 pukul 08.10]
Raco, J.R. 2010. Metode Penelitian Kualitatif Jenis, Karakterisitik
dan Keunggulannya. Jakarta: Grasindo

Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Mentri Kesehatan RI

Suerni, Titik, dkk. 2013. Penerapan Terapi Kognitif dan Psikoedukasi KeluargA
LAPORAN PENDAHULUAN HALUSINASI
A. Konsep Keluarga

1. Pengertian Keluarga

Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat dimana terjadi

interaksi antara anak dan orang tuanya.Keluarga berasal dari bahasa sansekerta

kulu dan warga atau kuluwarga yang berarti anggota kelompok kerabat(Padila,

2012).Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena

hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup

dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan didalam perannya

masing-masing menciptakan serta mempertahankan kebudayaan(Friedman,

2010).

Keluarga adalah dua atau lebih individu yang bergabung karena hubungan

darah, perkawinan dan adopsi dalam satu rumah tangga, yang berinteraksi satu

dengan lainnya dalam peran dan menciptakan serta mempertahankan

suatubudaya(Ali, 2010).

2. Tipe keluarga

Tipe keluarga adalah sebagai berikut.

a. Tipe keluarga tradisional, terdiri atas beberapa tipe di bawah ini.

1) The Nuclear family (keluarga inti), yaitu keluarga yang terdiri atas

suami, istri, dan anak, baik anak kandung maupun anak angkat.

2) The dyad family (keluarga dyad), suatu rumah tangga yang terdiri

atas suami dan istri tanpa anak. Hal yang perlu Anda ketahui, keluarga

ini mungkin belum mempunyai anak atau tidak


7
3) mempunyai anak, jadi ketika nanti Anda melakukan pengkajian

data dan ditemukan tipe keluarga ini perlu Anda klarifikasi lagi

datanya.

4) Single parent, yaitu keluarga yang terdiri atas satu orang tua

dengan anak (kandung atau angkat). Kondisi ini dapat disebabkan

oleh perceraian atau kematian.

5) Single adult, yaitu suatu rumah tangga yang terdiri atas satu orang

dewasa. Tipe ini dapat terjadi pada seorang dewasa yang tidak

menikah atau tidak mempunyai suami.

6) Extended family, keluarga yang terdiri atas keluarga inti ditambah

keluarga lain, seperti paman, bibi, kakek, nenek, dan sebagainya.

Tipe keluarga ini banyak dianut oleh keluarga Indonesia terutama

di daerah pedesaan.

7) Middle-aged or elderly couple, orang tua yang tinggal sendiri di

rumah (baik suami/istri atau keduanya), karena anak-anaknya

sudah membangun karir sendiri atau sudah menikah.

8) Kin-network family, beberapa keluarga yang tinggal bersama atau

saling berdekatan dan menggunakan barang-barang pelayanan,

seperti dapur dan kamar mandi yang sama.

b. Tipe keluarga yang kedua adalah tipe keluarga nontradisional, tipe

keluarga ini tidak lazim ada di Indonesia, terdiri atas beberapa tipe

sebagai berikut.
1. Unmarried parent and child family, yaitu keluarga yang terdiri atas

orang tua dan anak dari hubungan tanpa nikah.

2. Cohabitating couple, orang dewasa yang hidup bersama di luar

ikatan perkawinan karena beberapa alasan tertentu.

3. Gay and lesbian family, seorang yang mempunyai persamaan jenis

kelamin tinggal dalam satu rumah sebagaimana pasangan suami

istri.

4. The nonmarital heterosexual cohabiting family, keluarga yang

hidup bersama berganti-ganti pasangan tanpa melalui pernikahan.

5. Foster family, keluarga menerima anak yang tidak ada hubungan

keluarga/saudara dalam waktu sementara, pada saat orang tua anak

tersebut perlu mendapatkan bantuan untuk menyatukan kembali

keluarga yang aslinya.

3. Fungsi Keluarga

Menurut Friedman (2010) fungsi keluarga ada lima antara lain berikut ini.

a. Fungsi afektif

Fungsi ini meliputi persepsi keluarga tentang pemenuhan kebutuhan

psikososial anggota keluarga. Melalui pemenuhan fungsi ini, maka keluarga

akan dapat mencapai tujuan psikososial yang utama, membentuk sifat

kemanusiaan dalam diri anggota keluarga, keperawatan keluarga dan

komunitas stabilisasi kepribadian dan tingkah laku, kemampuan menjalin

secara lebih akrab, dan harga diri.


b. Fungsi sosialisasi dan penempatan sosial.

Sosialisasi dimulai saat lahir dan hanya diakhiri dengan kematian.

Sosialisasi merupakan suatu proses yang berlangsung seumur hidup, karena

individu secara kontinyu mengubah perilaku mereka sebagai respon terhadap

situasi yang terpola secara sosial yang mereka alami. Sosialisasi merupakan

proses perkembangan atau perubahan yang dialami oleh seorang individu

sebagai hasil dari interaksi sosial dan pembelajaran peran-peran sosial.

c. Fungsi reproduksi

Keluarga berfungsi untuk meneruskan keturunan dan menambah sumber

daya manusia.

d. Fungsi ekonomi

Keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara

ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan individu

meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

e. Fungsi perawatan kesehatan

Menyediakan kebutuhan fisik dan perawatan kesehatan. Perawatan

kesehatan dan praktik-praktik sehat (yang mempengaruhi status kesehatan

anggota keluarga secara individual) merupakan bagian yang paling relevan

dari fungsi perawatan kesehatan.


Lima fungsi tugas keluarga di bidang kesehatan :

1) Kemampuan keluarga mengenal masalah kesehatan keluarga.

2) Kemampuan keluarga membuat keputusan yang tepat bagi

keluarga.

3) Kemampuan keluarga dalam merawat keluarga yang mengalami

gangguan kesehatan.

4) Kemampuan keluarga dalam mempertahankan atau menciptakan

suasana rumah yang sehat.

5) Kemampuan keluarga dalam menggunakan fasilitas.

4. Tahap Perkembangan Keluarga

Terdapat delapan tahap perkembangan keluarga adalah sebagai berikut :

a. Keluarga baru menikah atau pemula

Tugas perkembangannya adalah:

1) Membangun perkawinan yang saling memuaskan;

2) Membina hubungan persaudaraan, teman, dan kelompok sosial;

3) Mendiskusikan rencana memiliki anak.

b. Tahap perkembangan keluarga yang kedua adalah keluarga dengan

anak baru lahir.

Tugas perkembangannya adalah:

1) Membentuk keluarga muda sebagai sebuah unit yang mantap

mengintegrasikan bayi yang baru lahir ke dalam keluarga;

2) Rekonsiliasi tugas-tugas perkembangan yang bertentangan dan


kebutuhan anggota keluarga;
3) Mempertahankan hubungan perkawinan yang memuaskan;

4) Memperluas persahabatan dengan keluarga besar dengan

menambahkan peranperan orang tua dan kakek nenek.

c. Keluarga dengan anak usia pra sekolah

Tugas perkembangannya adalah:

1) Memenuhi kebutuhan anggota keluarga, seperti rumah, ruang

bermain, privasi, dan keamanan;

2) Mensosialisasikan anak;

3) Mengintegrasikan anak yang baru, sementara tetap memenuhi

kebutuhan anak yang lain;

4) Mempertahankan hubungan yang sehat dalam keluarga dan di luar

keluarga.

d. Keluarga dengan anak usia sekolah

Tugas perkembangannya adalah:

1) Mensosialisasikan anak-anak, termasuk meningkatkan prestasi

sekolah dan hubungan dengan teman sebaya yang sehat;

2) Mempertahankan hubungan perkawinan yang memuaskan;

3) Memenuhi kebutuhan kesehatan fisik anggota keluarga.

e. Keluarga dengan anak remaja

Tugas perkembangannya adalah:

1) Menyeimbangkan kebebasan dengan tanggung jawab ketika remaja

menjadi dewasa dan semakin mandiri;

2) Memfokuskan kembali hubungan perkawinan;


3) Berkomunikasi secara terbuka antara orang tua dan anak-anak.

f. Keluarga melepas anak usia dewasa muda

Tugas perkembangannya adalah:

1) Memperluas siklus keluarga dengan memasukkan anggota keluarga

baru yang didapatkan melalui perkawinan anak-anak;

2) Melanjutkan untuk memperbaharui dan menyesuaikan kembali

hubungan perkawinan;

3) Membantu orangtua lanjut usia dan sakit-sakitan dari suami atau

istri.

g. Keluarga dengan usia pertengahan

Tugas perkembangannya adalah:

1) Menyediakan lingkungan yang meningkatkan kesehatan;

2) Mempertahankan hubungan yang memuaskan dan penuh arti

dengan para orang tua lansia dan anak-anak;

3) Memperkokoh hubungan perkawinan.

h. Keluarga dengan usia lanjut

Tugas perkembangannya adalah:

1) Mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan;

2) Menyesuaikan terhadap pendapatan yang menurun;

3) Mempertahankan hubungan perkawinan;

4) Menyesuaikan diri terhadap kehilangan pasangan;

5) Mempertahankan ikatan keluarga antargenerasi;


6) Meneruskan untuk memahami eksistensi mereka (penelaahan

hidup).

5. Peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan keluarga

Peran dan fungsi perawat di keluarga adalah sebagai berikut.

a. Pelaksana

Peran dan fungsi perawat sebagai pelaksana adalah memberikan

pelayanan keperawatan dengan pendekatan proses keperawatan, mulai

pengkajian sampai evaluasi. Pelayanan diberikan karena adanya kelemahan

fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan, serta kurangnya keamanan

menuju kemampuan melaksanakan kegiatan sehari-hari secara mandiri.

Kegiatan yang dilakukan bersifat promotif, preventif, kuratif, serta

rehabilitatif.

b. Pendidik

Peran dan fungsi perawat sebagai pendidik adalah mengidentifikasi

kebutuhan menentukan, tujuan, mengembangkan, merencanakan, dan

melaksanakan pendidikan kesehatan agar keluarga dapat berperilaku sehat

secara mandiri.

c. Konselor

Peran dan fungsi perawat sebagai konselor adalah memberikan konseling

atau bimbingan kepada individu atau keluarga dalam mengintegrasikan

pengalaman kesehatan dengan pengalaman yang lalu untuk membantu

mengatasi masalah kesehatan keluarga.


d. Kolaborator

Peran dan fungsi perawat sebagai kolaborator adalah melaksanakan kerja

sama dengan berbagai pihak yang terkait dengan penyelesaian masalah

kesehatan di keluarga.

Selain peran perawat keluarga di atas, ada juga peran perawat keluarga dalam

pencegahan primer, sekunder dan tersier, sebagai berikut :

a. Pencegahan Primer

Peran perawat dalam pencegahan primer mempunyai peran yang penting

dalam upaya pencegahan terjadinya penyakit dan memelihara hidup sehat.

a. Pencegahan sekunder

Upaya yang dilakukan oleh perawat adalah mendeteksi dini terjadinya

penyakit pada kelompok risiko, diagnosis, dan penanganan segera yang dapat

dilakukan oleh perawat. Penemuan kasus baru merupakan upaya pencegahan

sekunder, sehingga segera dapat dilakukan tindakan. Tujuan dari pencegahan

sekunder adalah mengendalikan perkembangan penyakit dan mencegah

kecacatan lebih lanjut. Peran perawat adalah merujuk semua anggota

keluarga untuk skrining, melakukan pemeriksaan, dan mengkaji riwayat

kesehatan.

b. Pencegahan tersier

Peran perawat pada upaya pencegahan tersier ini bertujuan mengurangi

luasnya dan keparahan masalah kesehatan, sehingga dapat


meminimalkan ketidakmampuan dan memulihkan atau memelihara fungsi

tubuh. Fokus utama adalah rehabilitasi.

Rehabilitasi meliputi pemulihan terhadap individu yang cacat akibat penyakit

dan luka, sehingga mereka dapat berguna pada tingkat yang paling tinggi

secara fisik, sosial, emosional.

B. Konsep Halusinasi

1. Pengertian Halusinasi

Stuart & Laraia (2009) mendefinisikan halusinasi sebagai suatu tanggapan

dari panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus) eksternal Halusinasi

merupakan gangguan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang

sebenarnya tidak terjadi. Ada lima jenis halusinasi yaitu pendengaran,

penglihatan, penghidu, pengecapan dan perabaan.Halusinasi pendengaran

merupakan jenis halusinasi yang paling banyak ditemukan terjadi pada 70%

pasien, kemudian halusinasi penglihatan 20%, dan sisanya 10% adalah halusinasi

penghidu, pengecapan dan perabaan.

Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana pasien

mengalami perubahan sensori persepsi, seperti merasakan sensasi palsu berupa

suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan, klien merasakan

stimulus yang sebetulnya tidak ada (Muhith, 2011).Halusinasi merupakan

gangguan atau perubahan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang

sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanda ada rangsangan dari

luar. Suatu penghayatan yang


dialami suatu persepsi melaluipanca indra tanpa stimullus eksteren : persepsi

palsu(Prabowo, 2014).

2. Proses Terjadinya Halusinasi

Proses terjadinya halusinasi dijelaskan dengan menggunakan konsep

stress adaptasi Stuart yang meliputi stressor dari faktor predisposisi dan

presipitasi.

a. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi halusinasi terdiri dari

1) Faktor Biologis :

Adanya riwayat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa

(herediter), riwayat penyakit atau trauma kepala, dan riwayat penggunaan

narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain (NAPZA).

2) Faktor Psikologis

Memiliki riwayat kegagalan yang berulang.Menjadi korban, pelaku

maupun saksi dari perilaku kekerasan serta kurangnya kasih sayang dari

orang-orang disekitar atau overprotektif.

3) Sosiobudaya dan lingkungan

Sebagian besar pasien halusinasi berasal dari keluarga dengan sosial

ekonomi rendah, selain itu pasien memiliki riwayat penolakan dari

lingkungan pada usia perkembangan anak, pasien halusinasi seringkali

memiliki tingkat pendidikan yang rendah serta pernah mengalami

kegagalan dalam hubungan sosial (perceraian, hidup sendiri), serta tidak

bekerja.
b. Faktor Presipitasi

Stressor presipitasi pasien gangguan persepsi sensori halusinasi

ditemukan adanya riwayat penyakit infeksi, penyakit kronis atau kelainan

struktur otak, adanya riwayat kekerasan dalam keluarga, atau adanya

kegagalan-kegagalan dalam hidup, kemiskinan, adanya aturan atau tuntutan

di keluarga atau masyarakat yang sering tidak sesuai dengan pasien serta

konflik antar masyarakat.

c. Stress Lingkung

Ambang toleransi terhadap tress yang berinteraksi terhadap stressor

lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.

d. Sumber Koping

Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam

menanggapistress(Prabowo, 2014).

e. Perilaku

Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,

perasaan tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku menarik diri, kurang

perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan

nyata dan tidak.

f. Dimensi fisik

Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti

kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium,

intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalamwaktu yang lama.


g. Dimensi emosional

Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat

diatasi merupakan penyebab halusianasi itu terjadi, isi dari halusinasi dapat

berupa peritah memaksa dan menakutkan.Klien tidak sanggup lagi

menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat

sesuatu terhadap ketakutan tersebut.

h. Dimensi intelektual

Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan

halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya

halusinasi merupakan usha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang

menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang

dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengotrol

semua perilaku klien.

i. Dimensi sosial

Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan

comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi dialam nyata

sangat membahayakan. Klien asyik dengan dengan halusinasinya, seolah-

olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial,

kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi

halusinasi dijadikan kontrol oleh individu tersebut, sehingga jika perintah

halusinasiberupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung

keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interkasi yang

menimbulkan pengalaman
interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan klien tidak menyendiri

sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak

berlangsung.

j. Dimensi spiritual

Secara spiritualklien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas,

tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara

spiritual untuk menyucikan diri, irama sirkardiannya terganggu(Damaiyanti,

2012).

3. Rentang Respon Neurobiologis

Persepsi mengacu pada identifikasi dan interprestasi awal dari suatu

stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indra. Respon

neurobiologis sepanjang rentang sehat sakit berkisar dari adaptif pikiran logis,

persepsi akurat, emosi konsisten, dan perilaku sesuai sampai dengan respon

maladaptif yang meliputi delusi, halusinasi, dan isolasi sosial.

a. Respon adaptif

Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial

budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal

jika menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut.

Respon adaptif :

1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan

2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan


3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang

timbul dari pengalaman ahli

4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam

batas kewajaran

5) Hubungan social adalah proses suatu interaksi dengan orang

lain dan lingkungan

b. Respon psikosossial

Meliputi :

1) Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan

gangguan.

2) Ilusi adalah miss interprestasi atau penilaian yang salah tentang

penerapan yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena

rangsangan panca indra

3) Emosi berlebih atau berkurang

4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi

batas kewajaran

5) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi dengan

orang lain.

c. Respon maladapttif

Respon maladaptive adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah

yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan lingkungan, ada pun

respon maladaptive antara lain :


1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh

dipertahankan walaupun tidak diyakinioleh orang lain dan

bertentangan dengan kenyataan sosial

2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi

eksternal yang tidak realita atau tidak ada.

3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul

dari hati.Perilaku tidak terorganisirmerupakan sesuatu yang tidak

teratur.

4) Isolasi sosisal adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh

individu dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan

sebagai suatu kecelakaan yang negative mengancam

(Damaiyanti,2012).

Rentang respon dapat digambarkan sebagai berikut:

Rentang Respon Neurobiologis

Respon adaptif Respon maladaptif

Pikiran logis Proses pikir kadang terganggu Gangguan proses pikir waham
Persepsi akurat Ilusi Halusinasi
Emosi konsisten Emosi berlebihan/kurang Kerusakan proses emosi
Perilaku sesuai Perilaku tidak teroganisir Perilaku tidak sesuai Hub
sosial harmonis Isolasi social
4. Tahapan Halusinasi

Halusinasi yang dialami pasien memiliki tahapan sebagai berikut

a. Tahap I :

Halusinasi bersifat menyenangkan, tingkat ansietas pasien sedang.Pada tahap ini

halusinasi secara umum menyenangkan.

Karakteristik :

Karakteristik tahap ini ditandai dengan adanya perasaan bersalah dalam diri

pasien dan timbul perasaan takut.Pada tahap ini pasien mencoba menenangkan

pikiran untuk mengurangi ansietas.Individu mengetahui bahwa pikiran dan

sensori yang dialaminya dapat dikendalikan dan bisa diatasi (non psikotik).

Perilaku yang teramati:

1) Menyeringai / tertawa yang tidak sesuai

2) Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara

3) Respon verbal yang lambat

4) Diam dan dipenuhi oleh sesuatu yang mengasyikan.

b. Tahap II :

Halusinasi bersifat menyalahkan, pasien mengalami ansietas tingkat berat dan

halusinasi bersifat menjijikkan untuk pasien.

Karakteristik :

Pengalaman sensori yang dialami pasien bersifat menjijikkan dan menakutkan,

pasien yang mengalami halusinasi mulai merasa kehilangan kendali, pasien

berusaha untuk menjauhkan dirinya dari sumber yang


dipersepsikan, pasien merasa malu karena pengalaman sensorinya dan menarik

diri dari orang lain (nonpsikotik).

Perilaku yang teramati :

1) Peningkatan kerja susunan saraf otonom yang menunjukkan timbulnya

ansietasseperti peningkatan nadi, tekanan darah dan pernafasan.

2) Kemampuan kosentrasi menyempit.

3) Dipenuhi dengan pengalaman sensori, mungkin kehilangan

kemampuan untuk membedakan antara halusinasi dan realita.

c. Tahap III :

Pada tahap ini halusinasi mulai mengendalikan perilaku pasien, pasienberada

pada tingkat ansietas berat.Pengalaman sensori menjadi menguasai pasien.

Karakteristik:

Pasien yang berhalusinasi pada tahap ini menyerah untuk melawanpengalaman

halusinasi dan membiarkan halusinasi menguasai dirinya. Isi halusinasi dapat

berupa permohonan, individu mungkin mengalami kesepian jika pengalaman

tersebut berakhir (Psikotik)

Perilaku yang teramati:

1) Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh

halusinasinya dari pada menolak.

2) Kesulitan berhubungan dengan orang lain.


3) Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik, gejala fisik dari

ansietas berat seperti : berkeringat, tremor, ketidakmampuan mengikuti

petunjuk.

d. Tahap IV :

Halusinasi pada saat ini, sudah sangat menaklukkan dan tingkat ansietasberada

pada tingkat panik.Secara umum halusinasi menjadi lebih rumit dan saling terkait

dengan delusi.

Karakteristik :

Pengalaman sensori menakutkan jika individu tidak mengikuti perintah

halusinasinya. Halusinasi bisa berlangsung dalam beberapa jam atau hari apabila

tidak diintervensi (psikotik).

Perilaku yang teramati :

1) Perilaku menyerang - teror seperti panik.

2) Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain.

3) Amuk, agitasi dan menarik diri.

4) Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang komplek .

5) Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang.

5. Jenis halusinasi

a. Halusinasi Pendengaran ( akustik, audiotorik)

Gangguan stimulus dimana pasien mendengar suara-suara terutama suara-

suara orang, biasanya pasien mendengar suara orang yang sedang

membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk

melakukan sesuatu.
b. Halusinasi Pengihatan (visual)

Stimulus visual dalam bentuk beragam seperti bentuk pencaran cahaya,

gambaran geometrik, gambar kartun dan/ atau panorama yang luas dan

komplesk. Bayangan bias bisa menyenangkan atau menakutkan.

c. Halusinasi Penghidu (Olfaktori)

Gangguan stimulus pada penghidu, yamg ditandai dengan adanya bau busuk,

amis, dan bau yang menjijikan seperti : darah, urine atau feses. Kadang-

kadangterhidubauharum.Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang

dan dementia.

d. Halusinasi Peraba (Taktil, Kinaestatik)

Gangguan stimulus yang ditandai dengan adanya sara sakit atau tidak enak

tanpa stimulus yang terlihat. Contoh merasakan sensasi listrik datang dari

tanah, benda mati atau orang lain.

e. Halusinasi Pengecap (Gustatorik)

Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk,

amis, dan menjijikkan.

f. Halusinasi sinestetik

Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti

darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan

urine.
g. Halusinasi Viseral

Timbulnya perasaan tertentu di dalam tubuhnya, meliputi :

1) Depersonalisasi adalah perasaan aneh pada dirinya bahwa

pribadinya sudah tidak seperti biasanya lagi serta tidak sesuai

dengan kenyataan yang ada. Sering pada skizofrenia dan sindrom

obus parietalis. Misalnya sering merasa dirinya terpecah dua.

2) Derealisasi adalah suatu perasaan aneh tentang lingkungan yang

tidak sesuai dengan kenyataan. Misalnya perasaan segala suatu

yang dialaminya seperti dalam mimpi.

h. Pohon masalah pada halusinasi

Pohon masalah berdasarkan (Fitria, 2009) adalah sebagai berikut:

Effect Resiko Tinggi Prilaku Kekerasan

Core problem Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi

Causa Isolasi Sosial

Harga Diri Rendah Kronis


C. Konsep Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Halusinasi

1. Keperawatan Keluarga

Keperawatan keluarga merupakan pelayanan holistik yang menempatkan

keluarga dan komponennya sebagai fokus pelayanan dan melibatkan anggota

keluarga dalam tahap pengkajian, diagnosis keperawatan, perencanaan,

pelaksanaan, dan evaluasi (Depkes, 2010).

Keluarga yang mempunyai anggota keluarga menderita gangguan jiwa

( halusinasi ) adalah salah satu sasaran penyelenggaraan pelayanan kesehatan dari

Upaya Kesehatan Masyarakat di wilayah kerja Puskesmas.

Pelaksanaan keperawatan keluarga di lakukan dengan kunjungan ke rumah

keluarga pasien jiwa oleh Tim Home Care ( perawatan di rumah) Puskesmas

salah satunya adalah perawat sebagai pelaksana asuhan keperawatan yang

diberikan melalui tahapan proses keperawatan.

a. Pengkajian

Pengkajian dilakukan dengan cara wawancara dan observasi pada pasien dan

keluarga.

1) Tanda dan gejala halusinasi dapat ditemukan dengan wawancara,

melalui pertanyaan sebagai berikut :

a) Apakah mendengar suara-suara atau bisikan-bisikan?

b) Apakah melihat bayangan-bayangan yang menakutkan?

c) Apakah mencium bau tertentu yang menjijikkan?

d) Apakah merasakan sesuatu yang menjalar di tubuhnya?


e) Apakah merasakan sesuatu yang menjijikkan dan tidak

mengenakkan?

f) Seberapa sering mendengar suara-suara atau melihat bayangan

tersebut?

g) Kapan mendengar suara atau melihat bayang-bayang?

h) Pada situasi apa mendengar suara atau melihat bayang-bayang?

i) Bagaimana perasaan mendengar suara atu melihat bayangan

tersebut?

j) Apa yang telah dilakukan, ketika mendengar suara dan melihat

bayangan tersebut?

2) Tanda dan gejala halusinasi di dapatkan saat observasi :

a) Tampak bicara atau tertawa sendiri

b) Marah-marah tanpa sebab

c) Memiringkan atau mengarahkan telinga ke arah tertentu atau

menutup telinga

d) Menunjuk-nunjuk ke arah tertentu

e) Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas

f) Menghidu seperti membaui bau-bauan tertentu

g) Menutup hidung

h) Sering meludah

i) Muntah

j) Menggaruk permukaan kulit


b. Diagnosis Keperawatan Halusinasi

Masalah keperawatan yang muncul berdasarkan (Fitria, 2009) adalah sebagai

berikut

1) Risiko tinggi Perilaku Kekerasan.

2) Perubahansensori persepsi halusinasi.

3) Harga diri rendah kronis.

c. Rencana tindakan keperawatan

1) Rencana tindakan untuk klien halusinasi

Rencana keperawatan berdasarkan (Fitria,2009) adalah sebagai berikut:

Tujuan tindakan untuk klien adalah sebagai berikut:

a) Klien mengenali halusinasi yang dialaminya.

b) Klien dapat mengontrol halusinasinya.

c) Klien mengikuti program pengobatan secara optimal.

Tindakan keperawatan :

a) Membantu klien mengenali halusinasi.

Diskusi adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membantu

klien mengenali halusinasinya. Perawat dapat berdiskusi dengan

klien terkait isi halusinasi (apa yang didengar atau dilihat), waktu

terjadi halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi, frekuensi

terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabakan halusinasi muncul,

dan perasaan klien saat halusinasi muncul (komunikasinya sama

dengan yang diatas).


b) Melatih klien mengontrol halusinasi.

Perawat dapat melatih empat cara dalam mengendalikan halusinasi

pada klien. Keempat cara tersebut sudah terbukti mampu mengontrol

halusinasi seseorang. Keempat cara tersebut adalah menghardik

halusinasi, bercakap-cakap dengan orang lain, melakukan aktivitas

yang terjadwal, dan patuh minum obat dengan enam benar secara

teratur.

2) Rencana Tindakan keperawatan untuk keluarga pasien

Tujuan tindakan untuk keluarga:

a) Mengenal tentang halusinasi

b) Mengambil keputusan untuk merawat halusinasi

c) Merawat anggota keluarga yang mengalami halusinasi

d) Memodifikasi lingkungan yang mendukung pasien mengatasi

halusinasi

e) Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan untuk anggota keluarga

yang mengalami halusinasi

Tindakan keperawatan:

a) Mendiskusikan masalah yang dirasakan dalam merawat pasien

b) Menjelaskan tentang halusinasi: pengertian, tanda dan gejala,

penyebab terjadinya halusinasi, dan akibat jika halusinasi tidak

diatasi.

c) Membantu keluarga mengambil keputusan merawat pasien


d) Melatih keluarga cara merawat halusinasi

e) Membimbing keluarga merawat halusinasi

f) Melatih keluarga menciptakan suasana keluarga dan

lingkungan yang mendukung pasien mengatasi halusinasi

g) Mendiskusikan tanda dan gejala kekambuhan yang

memerlukan rujukan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan

h) Menganjurkan follow up ke fasilitas pelayanan kesehatan

secara teratur.

i) Evaluasi

4) Evaluasi keperawatan

a) Klien mampu menerapkan 4 cara mengontrol halusinasi:

1) Menghardik halusinasi

2) Mematuhi program pengobatan

3) Mengajak orang lain bercakap-cakap dengan bila timbul

halusinasi.

4) Menyusun jadwal kegiatan harian untuk mengurangi waktu

luang dan melaksanakan jadwal kegiatan tersebut secara

mandiri.

5) Menilai manfaat cara mengontrol halusinasi dalam

mengendalikan halusinasi.

b) Evaluasi keperawatan untuk keluarga:

Keluarga dapat:

1) Menjelaskan halusinasi yang dialami oleh pasien


2) Menjelaskan cara merawat pasien halusinasi

3) Mendemonstrasikan cara merawat pasien halusinasi

4) Memodifikasi lingkungan untuk membantu pasien

mengatasi masalahnya

5) Menjelaskan fasilitas kesehatan yang dapat digunakan

untuk mengatasi masalah halusinasi.

2. Dokumentasi Keperawatan Keluarga dengan halusinasi

Setiap tahapan proses keperawatan yang dilakukan pada keluarga yang

mempunyaianggota keluarga mengalami halusinasi didokumentasikan dari

pengkajian sampai evaluasi keperawatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip

dokumentasi.
Daftar Pustaka

Ali, Z. 2010, Pengantar Keperawatan Keluarga. EGC. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI.kmk-no-908-2010-ttg-pelayanan-keperawatan

keluarga. Jakarta: DEPKES RI; 2010.

Damayanti, M., & Iskandar.(2012). Asuhan Keperawatan Jiwa.Bandung : Refika


Aditama

Friedman, M. M. (2010). Buku Ajar Keperawatan Keluarga : Riset, Teori, dan


Praktek. Jakarta : EGC.

Fitria,Nita.2009. Perinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan


Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Jakarta
: Salemba Medika.

Kusumawati, F &Hartono, 2012.Buku Ajar Keperawatan Jiwa.Jakarta :


Salemba Medika

Mamnu‟ah. 2010. Stres dan StrategiKopingKeluargaMerawatAnggota Keluarga yang


Mengalami Halusinasi.Jurnal Kebidanan dan
Keperawatan.Yogyakarta: Stikes „Aisyiyah Yogyakarta.

Muhith, Abdul. 2011. Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta :Andi. Muhith,A.

(2015). PendidikanKeperawatanJiwa(TeoridanAplikasi).Yogyakarta:
Andi.
Ngadiran, Antonius. (2010). Analisi Fenomenologi tantang Pengalaman
Keluargatentang Beban dan Sumber Dukungan Keluarga dalam Merawat
Klien dengan Halusinasi. Jakarta: Universitas Indonesia.

Padila.(2012). Buku Ajar: Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Nuha Medika.

Prabowo, E. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:

Nuha Medika

Stuart, G.W., & Laraia, M.T (2009).Principle and practice of psyciatric nursin9th ed. St
Louis : Mosby year book

Videbeck, Yosep, I. (2009). Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Adi

Videbeck, S.L.(2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai