Beberapa tahun belakangan ini, muncul kecenderungan di kalangan ummat Islam tertentu yang suka menghukumi segala sesuatu dengan sebutan bid’ah. Apa pun dihukumi bid’ah yang kadang ditambahi dhalalah (sesat) yang tidak memakai tambahan pun menyebut semua bid’ah itu dhalalah. Bagi mereka Peringatan milad dianggap bid’ah, perayaan Hari kemerdekaan dibid’ahkan, refleksi akhir tahun disebut bid’ah, maulid Nabi bid’ah, sepak bola bid’ah, dll. Bahkan, ada juga yang berpendapat memakai jas dan sepatu serta makan pakai piring dan sendok apalagi ditambah garpu juga dianggap sebagai perbuatan bid’ah yang harus dihindari. Semua perbuatan itu akan mengantarkan para pelakunya ke neraka. Ternyata, hal ini bukan sesuatu yang baru. Pemikiran dan tindakan yang suka memberi label bid’ah pada segala sesuatu itu setidaknya sudah terekam dalam Suara Muhammadiyah edisi Muharram tahun 1345/Juli 1926 halaman 331-332. Di sini terekam soal jawab antara M Moenawar Bin Halil dengan Redaksi Suara Muhammadiyah (saat itu pemimpin redaksi Suara Muhammadiyah diemban oleh Abdul Azis). M Moenawar Bin Halil adalah pelanggan Suara Muhammadiyah asal Kendal dengan nomor langganan 183. Ada halaman-halaman itu M Moenawar Bin Halil mengabarkan tuduhan para kaum kolot yang dialamatkan kepada Muhammadiyah. Kaum kolot saat itu menuduh Muhammadiyah sebagai perkumpulan yang mungkir (mengingkari ajaran dan diutusnya Rasulullah SAW) serta menuduh Muhammadiyah sebagai pusatnya ahlul bid’ah (tukang buat model-model baru yang sesuai dengan nafsunya sendiri). Adapun alasan kaum kolot menuduh Muhammadiyah seperti itu didasarkan pada lima hal yang biasa dikerjakan oleh warga Muhammadiyah. Pertama, Muhammadiyah suka kegiatan olah raga terutama sepak bola, padahal itu sesuatu yang diharamkan oleh kaum Islam kolot. Kedua, sebagian warga Muhammadiyah suka belajar ilmu “strijk” yang juga diharamkan. Ketiga, warga Muhammadiyah biasa memakai pakaian gaya Eropa. Keempat, warga Muhammadiyah biasa berpotret padahal ada keterangan malaikat Rahmat tidak akan masuk rumah yang ada gambar potretnya. Kelima, menulis Al-Qur’an dan hadits dengan huruf latin, sedangkan kaum Islam kolot memandang huruf latin sebagai hal yang hina dan rendah. Di sini M Moenawar Bin Halil meminta penjelasan redaksi Suara Muhammadiyah tentang hukum kelima hal itu. Karena menurut M Moenawar Bin Halil, setiap hari kaum Muhammadiyah Kendal selalu mendapat serangan dari kaum kolot tentang berbagai hal, sedangkan lima hal ini merupakan masalah yang paling sulit dijawab. Kelima hal itu dijawab oleh redaksi Suara Muhammadiyah dengan singkat. Hukum sport (olah raga) itu mubah bahkan ada orang alim yang menyebutnya wajib karena kita diperintahkan untuk mengejar kekuatan dengan cara apa saja (salah satunya dengan olah raga), dan Al-Qur’an juga memerintahkan orang Islam untuk senantiasa menyiapkan kekuatan untuk melawan musuh. Hukum strijk itu masuk kategori khilafiah (diperselisihkan) ada yang menyebut haram ada pula yang menghalalkan, perselisihan tentang itu sudah ada sejak zaman ulama dahulu. Bagi Muhammadiyah sendiri tidak akan mengharamkan segala sesuatu yang bersifat khilafiah. Kecuali ada sesuatu yang jelas menunjukkan kemungkarannya, Muhammadiyah baru akan berani menyatakan sesuatu itu sebagai hal yang haram. Dalam berpakaian, Islam tidak memberikan batasan seperti apa. Hanya saja kalau pakaian Eropa disebut haram karena tasabuh dengan orang kafir itu perlu ditanyakan kepada yang mengharamkan itu, mereka mengharamkan karena merasa tidak pantas memakainya (karena sudah tua) atau karena tidak mampu membelinya. Juga peku ditanyakan apa yang mengharamkan itu juga tidak mau naik spoor (kereta api) naik otto (mobil), kalau datang ke kerabat juga tidak mau duduk di kursi, makan di piring, minum teh dari cangkir dengan gula yang manis? Kalau itu boleh dilakukan mengapa tidak dengan gaya pakaian? Karena tidak ada hukum yang mengharamkan tasabuh soal pakaian, Nabi Muhammad juga pernah memakai pakaian orang Majusi, beranikah mereka mengkafirkan Kanjeng Nabi Muhammad SAW? Tentang potret, Moenawar Bin Halil disarankan untuk memeriksa orang yang mengharamkan potret itu. Apakah dia menyimpan uang atau tidak. Karena di setiap uang meski hanya setengah sen juga ada gambar yang diharamkan itu. Apakah itu gambar Raja Belanda maupun gambar Jan Peterson Koen, dan gambar tokoh yang lain. Di akhir pembahasan, Redaksi Suara Muhammadiyah kala itu memberi catatan bahwa kaum yang hobi mengharamkan dan membid’ahkan segala sesuatu itu sama halnya dengan menaruh noda di atas agama Islam yang mulia. Tampaknya, catatan itu juga masih berlaku hingga hari ini. Kepada siapa catatan itu ditujukan? para pembaca pasti punya jawaban tersendiri.