Anda di halaman 1dari 2

Si Tukang Bid’ah di Tahun 1926

Oleh: Isngadi Marwah Atmadja


Beberapa tahun belakangan ini, muncul kecenderungan di kalangan ummat Islam tertentu yang
suka menghukumi segala sesuatu dengan sebutan bid’ah. Apa pun dihukumi bid’ah yang kadang
ditambahi dhalalah (sesat) yang tidak memakai tambahan pun menyebut semua bid’ah itu
dhalalah. Bagi mereka Peringatan milad dianggap bid’ah, perayaan Hari kemerdekaan
dibid’ahkan, refleksi akhir tahun disebut bid’ah, maulid Nabi bid’ah, sepak bola bid’ah, dll.
Bahkan, ada juga yang berpendapat memakai jas dan sepatu serta makan pakai piring dan sendok
apalagi ditambah garpu juga dianggap sebagai perbuatan bid’ah yang harus dihindari. Semua
perbuatan itu akan mengantarkan para pelakunya ke neraka.
Ternyata, hal ini bukan sesuatu yang baru. Pemikiran dan tindakan yang suka memberi label
bid’ah pada segala sesuatu itu setidaknya sudah terekam dalam Suara Muhammadiyah edisi
Muharram tahun 1345/Juli 1926 halaman 331-332. Di sini terekam soal jawab antara M
Moenawar Bin Halil dengan Redaksi Suara Muhammadiyah (saat itu pemimpin redaksi Suara
Muhammadiyah diemban oleh Abdul Azis). M Moenawar Bin Halil adalah pelanggan Suara
Muhammadiyah asal Kendal dengan nomor langganan 183.
Ada halaman-halaman itu M Moenawar Bin Halil mengabarkan tuduhan para kaum kolot yang
dialamatkan kepada Muhammadiyah. Kaum kolot saat itu menuduh Muhammadiyah sebagai
perkumpulan yang mungkir (mengingkari ajaran dan diutusnya Rasulullah SAW) serta menuduh
Muhammadiyah sebagai pusatnya ahlul bid’ah (tukang buat model-model baru yang sesuai
dengan nafsunya sendiri).
Adapun alasan kaum kolot menuduh Muhammadiyah seperti itu didasarkan pada lima hal yang
biasa dikerjakan oleh warga Muhammadiyah. Pertama, Muhammadiyah suka kegiatan olah raga
terutama sepak bola, padahal itu sesuatu yang diharamkan oleh kaum Islam kolot. Kedua,
sebagian warga Muhammadiyah suka belajar ilmu “strijk” yang juga diharamkan. Ketiga, warga
Muhammadiyah biasa memakai pakaian gaya Eropa. Keempat, warga Muhammadiyah biasa
berpotret padahal ada keterangan malaikat Rahmat tidak akan masuk rumah yang ada gambar
potretnya. Kelima, menulis Al-Qur’an dan hadits dengan huruf latin, sedangkan kaum Islam
kolot memandang huruf latin sebagai hal yang hina dan rendah.
Di sini M Moenawar Bin Halil meminta penjelasan redaksi Suara Muhammadiyah tentang
hukum kelima hal itu. Karena menurut M Moenawar Bin Halil, setiap hari kaum
Muhammadiyah Kendal selalu mendapat serangan dari kaum kolot tentang berbagai hal,
sedangkan lima hal ini merupakan masalah yang paling sulit dijawab.
Kelima hal itu dijawab oleh redaksi Suara Muhammadiyah dengan singkat. Hukum sport (olah
raga) itu mubah bahkan ada orang alim yang menyebutnya wajib karena kita diperintahkan untuk
mengejar kekuatan dengan cara apa saja (salah satunya dengan olah raga), dan Al-Qur’an juga
memerintahkan orang Islam untuk senantiasa menyiapkan kekuatan untuk melawan musuh.
Hukum strijk itu masuk kategori khilafiah (diperselisihkan) ada yang menyebut haram ada pula
yang menghalalkan, perselisihan tentang itu sudah ada sejak zaman ulama dahulu. Bagi
Muhammadiyah sendiri tidak akan mengharamkan segala sesuatu yang bersifat khilafiah.
Kecuali ada sesuatu yang jelas menunjukkan kemungkarannya, Muhammadiyah baru akan
berani menyatakan sesuatu itu sebagai hal yang haram.
Dalam berpakaian, Islam tidak memberikan batasan seperti apa. Hanya saja kalau pakaian Eropa
disebut haram karena tasabuh dengan orang kafir itu perlu ditanyakan kepada yang
mengharamkan itu, mereka mengharamkan karena merasa tidak pantas memakainya (karena
sudah tua) atau karena tidak mampu membelinya. Juga peku ditanyakan apa yang
mengharamkan itu juga tidak mau naik spoor (kereta api) naik otto (mobil), kalau datang ke
kerabat juga tidak mau duduk di kursi, makan di piring, minum teh dari cangkir dengan gula
yang manis? Kalau itu boleh dilakukan mengapa tidak dengan gaya pakaian? Karena tidak ada
hukum yang mengharamkan tasabuh soal pakaian, Nabi Muhammad juga pernah memakai
pakaian orang Majusi, beranikah mereka mengkafirkan Kanjeng Nabi Muhammad SAW?
Tentang potret, Moenawar Bin Halil disarankan untuk memeriksa orang yang mengharamkan
potret itu. Apakah dia menyimpan uang atau tidak. Karena di setiap uang meski hanya setengah
sen juga ada gambar yang diharamkan itu. Apakah itu gambar Raja Belanda maupun gambar Jan
Peterson Koen, dan gambar tokoh yang lain.
Di akhir pembahasan, Redaksi Suara Muhammadiyah kala itu memberi catatan bahwa kaum
yang hobi mengharamkan dan membid’ahkan segala sesuatu itu sama halnya dengan menaruh
noda di atas agama Islam yang mulia. Tampaknya, catatan itu juga masih berlaku hingga hari ini.
Kepada siapa catatan itu ditujukan? para pembaca pasti punya jawaban tersendiri.

Anda mungkin juga menyukai