Anda di halaman 1dari 2

W A C A N A P E M B A R U A N

Makna Agen Wahyu


yang Kontradiktif (2)
Sukidi

T
esis utama risalah berseri ini tetap pada lokus awhā dengan makna: “Lalu, dia (Jibril) mewahyukan
makna (the locus of meaning) yang terletak kepada hamba-Nya, yakni Nabi Muhammad, apa yang
tidak pada teks Al-Qur’an, tetapi pada pikiran Dia (Tuhan) wahyukan kepadanya (Jibril)” (al-Thabariy,
penafsir (the mind of interpreter). Adalah penafsir yang Jāmi‘ al-bayān ‘an ta’wīl āy al-Qur’ān, 30 vol. Cairo:
bertanggung jawab penuh dalam menafsirkan Al-Qur’an Mustafa al-Bābi al-Halabi, 1986, vol. 27, h. 47). Secara
dan memproduksi maknanya. Penafsiran Al-Qur’an spesifik, al-Thabariy merekam penafsiran Al-Qur’an
dari satu penafsir ke penafsir lainnya menghasilkan yang diatributkan kepada penafsir otoritatif awal, ‘Abd
pluralisme dan bahkan kontradiksi makna. Makna yang al-Rahmān b. Zayd, yang menafsirkan al-Najm/53:10
plural dan kontradiktif itu terbukti pada penafsiran al- dengan rujukan pada Jibril sebagai perantara dalam
Najm/53:10: fa-awhā ilā ‘abdihi mā awhā. mekanisme pewahyuan: “Jibril mewahyukan kepada
Selama ini, frase fa-awhā telah mengalami proses Rasul Tuhan apa yang Tuhan telah wahyukan
stabilisasi makna yang merujuk pada mediasi malaikat kepadanya, yakni Jibril” (awhā Jibrīl ilā rasūl Allāh
(the angelic mediation) dalam proses pewahyuan. mā awhā Allāh ilayhī) (lihat, al-Tabarī, Jāmi‘ al-bayān
Inilah makna yang direproduksi oleh penafsir modern 27:47).
M. Quraish Shihab melalui Tafsir al-Mishbah ketika dia Penafsiran fa-awhā dengan merujuk pada
menafsirkan fa-awhā ilā ‘abdihi dengan merujuk pada malaikat Jibril sebagai agen wahyu, yang tidak pernah
“malaikat Jibril [yang] mewahyukan kepada hamba- disebutkan sekali pun namanya dalam surat al-Najm
Nya, yakni Nabi Muhammad saw.” Reproduksi dan maupun dalam fase pewahyuan Al-Qur’an di Mekkah,
repetisi makna ini membuktikan bahwa tafsir modern menunjukkan fakta bahwa tradisi pembentukan makna
bersandarkan pada tradisi pembentukan makna (a pada teks Al-Qur’an merupakan produk pemikiran
tradition of meaning-making) al-Qurán yang telah manusia. Adalah penafsir yang memproduksi makna
terjadi di fase awal dan pertengahan Islam. Penafsir “malaikat Jbril” sebagai agen wahyu yang mewahyukan
agung di awal abad pertengahan, Abū Ja‘far b. Jarīr kepada hamba-Nya, yakni Muhammad. Makna atas
al-Thabariy (w. 310/923), merekam penafsiran otoritas mekanisme pewahyuan melalui malaikat Jibril ini
penafsir awal yang menafsirkan fa-awhā ilā ‘abdihi mā (Angelic Intermediary in Divine Revelation) tampaknya

48 SUARA MUHAMMADIYAH 13 / 106 | 21 DZULKAIDAH - 5 DZULHIJAH 1442 H


W A C A N A P E M B A R U A N

sudah stabil dan tak pernah dipertanyakaan lagi secara yang diproduksi adalah proses mekanisme pewahyuan
kritis, sehingga ia telah terkanonisasikan menjadi antara Tuhan dan Muhammad yang termediasi melalui
bagian dari kebenaran dalam bingkai ortodoksi Islam. perantara Jibril. Namun, ada hal menarik yang selama
Konsekuensinya, produksi makna al-Najm/53:10 ini terabaikan dalam tradisi pemikiran Islam. Yakni,
adalah: “Lalu, dia [malaikat Jibril] mewahyukan kepada makna hamba Tuhan ini hampir tidak pernah dikaji
hamba-Nya, yakni Muhammad, apa yang Dia [Allah] secara kritis dalam diskursus pemikiran Islam. Padahal,
wahyukan.” Produksi makna ini tetap valid dalam identitas hamba Tuhan tampaknya mengandung
kerangka tradisi tafsir, baik tafsir al-Thabari maupun Ibn makna yang tak kalah kontradiktifnya. Siapakah
Kathīr, yang semakin meneguhkan tesis utama bahwa sebenarnya identitas hamba Tuhan: Muhammad atau
makna adalah produk pikiran penafsir, bukan sesuatu Jibrīl? Kontradiksi makna hamba Tuhan melalui risalah
yang inheren dalam teks Al-Qur’an yang ambigu. terpisah nantinya hanya akan menegaskan ulang tesis
Saya ingin mengeksplorasi kemungkinan makna utama bahwa tidak ada makna yang inheren dalam teks
lain atas al-Najm/53:10 ini. Jika subjek yang tersirat Al-Qur’an; bahwa makna berada dalam pikiran penafsir;
dari kata kerja fa-awhā adalah malaikat Jibril, maka dan bahwa pikiran dari satu penafsir ke penafsir lain
frase ‘abdihi, konsekuensinya, adalah hamba malaikat, memungkinkan terjadinya kontradiksi makna.
bukan hamba Tuhan. Namun karena frase ‘abdihi Karena itu, saya tetap berikhtiar untuk mengeksplorasi
hanya mungkin dipahami sebagai hamba Tuhan lagi kemungkinan makna lain lagi yang diproduksi atas
(God’s servant), bukan hamba malaikat, maka subjek al-Najm/53: 10. Secara spesifik, otoritas penafsir Al-Qur’an
tersirat dari frase fa-awhā ini mestinya lebih tepat periode awal dan pertengahan Islam melibatkan diri secara
ditafsirkan sebagai rujukan atas Tuhan itu sendiri, yang aktif dalam memproduksi kemungkinan makna lain lagi
mewahyukan kepada hamba-Nya, yakni Muhammad, yang selama ini terabaikan dalam penafsiran al-Najm/53:
melalui perantara malaikat Jibril. Dalam kerangka 10. Makna lain itu terkait dengan proses pewahyuan
tradisi tafsir, produksi makna ini juga memiliki validitas secara langsung antara Tuhan dan Muhammad, tanpa
dalam tradisi penafsiran Al-Qur’an dan memperoleh perantara malaikat Jibril lagi. Dengan kata lain, malaikat
legitimasinya melalui otoritias penafsir awal Qatāda b. Jibril tidak berperan sedikit pun dalam proses pewahyuan
Di‘āma hingga penafsir abad pertengahan Ibn Kathīr. Islam. Karena itu, konstruksi makna al-Najm/53: 10 itu
Seorang penafsir hebat al-Qurtubī merekam tradisi ditafsirkan sebagai rujukan atas Tuhan secara langsung
penafsiran yang di­atributkan kepada penafsir awal yang mewahyukan kepada Muhammad: “Lalu, Dia [Tuhan]
Qatāda b. Di‘āma yang berkomentar bahwa “Tuhan mewahyukan kepada hamba-Nya, yakni Muhammad, apa
mewahyukan kepada Jibril dan selanjutnya Jibril yang Dia [Tuhan] wahyukan.” Penafsiran ini tampaknya
mewahyukan kepada Muhammad” (awhā Allāh ilā Jibrīl tidak populer dalam tradisi Islam Sunni dan karena itu,
wa awhā Jibrīl ilā Muhammad) (lihat, al-Qurtubī, al- penafsiran ini sepenuhnya terabaikan dan bahkan mungkin
Jāmi‘ li-ahkām Al-Qur’ān, eds. Muhammad Ibrāhīm al- sengaja dilupakan dalam tradisi penafsiran Al-Qur’an.
Hafnāwī and Mahmūd Hāmid ‘Uthmān, 22 volme dalam Dalam konteks inilah, pada seri ketiga dalam risalah
12 volume, Cairo: Dār al-Hadīth, 1996, vol. 17, h. 84). ini, saya akan memfokskan sepenuhnya pada tradisi
Jadi, subjek tersirat dari frase fa-awhā adalah Tuhan penafsiran yang bersifat teosentris. Secara spesifik,
itu sendiri yang mewahyukan melalui perantara Jibril saya akan menghidupkan kembali tradisi penafsiran
yang untuk selanjutnya bertugas mewahyukan kepada otoritas penafsir awal dan pertengahan tentang produksi
Muhammad apa yang Tuhan wahyukan kepadanya, makna dalam mekanisme pewahyuan yang bersifat
yakni Jibril. Makna inilah yang juga direproduksi oleh teosentris, yang memungkinkan Muhammad untuk
Ibn Kathīr yang menafsirkan al-Najm/53:10 sebagai melihat Tuhannya secara langsung, bukan sekedar
berikut: “Lalu, Dia [Tuhan] mewahyukan kepada hamba- melihat perantara-Nya saja, yakni Jibril, seperti yang
Nya, Muhammad, apa yang Dia [Tuhan] wahyukan selama ini dipahami oleh mayoritas penafsir. Penafsiran
kepadanya melalui malaikat Jibrīl.” Konstruksi makna ini yang teosentris ini disandarkan pada otoritas para
sah dan valid belaka, sebab ia memberikan indikasi kuat penafsir awal dan pertengahan Islam, mulai dari Muqatil
bahwa Tuhan mewahyukan kepada hamba-Nya, yang b. Sulayman, Ja’far al-Sadiq, al-Tustari, al-Baghawi, al-
otomatis merujuk pada hamba Tuhan, melalui perantara Qurtubi sampai al-Suyuti.•
malaikat Jibril. Sekalipun penafsiran ini memiliki validitas ________
dalam tradisi penafsiran Al-Qur’an, tetap saja makna SUKIDI, Pemikir Islam.

SUARA MUHAMMADIYAH 13 / 106 | 1 - 15 JULI 2021 49

Anda mungkin juga menyukai